You are on page 1of 7

LOGIKA, Vol. 1, No.

2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315


38
Potensi Limbah Padat-cair Industri
Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku
Film Plastik Biodegradabel
Feris Firdaus
1
dan Chairil Anwar
2
1
Peneliti di Lembaga Penelitian UII Jogjakarta
2
Dosen Pasca sarjana UGM Jogjakarta
Abstract
The research about utilization of solid-liquid waste of tapioca flour in-
dustries as raw materials for creating biodegradable plastics, was car-
ried out. The raw materials of biodegradable plastics obtained then leaded
to polymerization process under themperature 80-90
0
C for about 5-10
minutes. The created biopolymer was molded on a polyethilene cast then
kept into oven under themperature 40-50
0
C for about 2-3 days. The dry
biodegradable plastic film got out for room themperature conditioning
for about 2 days then it was disengaged from the polyetilene cast and
ready for biodegradable test, delutable and mechanical properties. The
yield show that produced plastic films were extreemly biodegradable for
1-2 weeks lifetimes in the land and delutable for 1 week lifetimes in the
water. Besides, They had characteristic mechanical properties like strength
3.924 Pa for plastic film made of cassavas bark, pulp and cassavas
bark extract. Elongation 13.966 % for plastic film made of cassavas bark,
9.217 % for plastic film made of cassavas pulp and 11.208 % for plastic
film made of cassavas bark extract. As the comparative test, plastic film
made of polyetilene had strength 10.464 Pa and elongation 4.583.
Key Words : solid-liquid waste, polimerization, biodegradable plastic film.
Pendahuluan
Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil
akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan.
Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradabel merupakan bahan
plastik yang ramah terhadap lingkungan. Di Jepang telah disepakati penggunaan nama
plastik hijau (GURIINPURA) untuk plastik biodegradabel.
Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan
yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Griffin (1994), plastik
biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami
perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya
oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan Seal (1994),
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
39
kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang berubah
kedalam senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses
degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami.
Penduduk dunia yang berjumlah 3 milyar di tahun 1960 meningkat 2 kali lipat
menjadi lebih dari 6 milyar hanya dalam kurun waktu 40 tahun. Peningkatan jumlah
penduduk ditambah dengan penggunaan sumber daya alam dan energi secara besar-
besaran berakibat terciptanya sampah yang menumpuk dalam jumlah sangat besar.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk pelestarian lingkungan, kebutuhan
bahan plastik biodegradabel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Proyeksi
kebutuhan plastik biodegradabel hingga tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Japan Bio-
degradable Plastik Society. Di tahun 1999, produksi plastik biodegradabel hanya sebesar
2500 ton, yang merupakan 1/ 10.000 dari total produksi bahan plastik sintetis. Pada
tahun 2010, diproyeksikan produksi plastik biodegradabel akan mencapai 1.200.000
ton atau menjadi 1/ 10 dari total produksi bahan plastik. Industri plastik biodegradabel
akan berkembang menjadi industri besar di masa yang akan datang karena potensi
alam Indonesia yang demikian besar (Pranamuda, 2003).
Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrad-
able masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya
manusia dalam penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian
yang terbatas. Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu
lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk
kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung
oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat
diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk
dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung
tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.
Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya
menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan
menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara
tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa
khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat
tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam. Indonesia sebagai negara
yang kaya sumber daya alam (hasil pertanian), sangat potensial menghasilkan berbagai
bahan biopolimer, sehingga teknologi kemasan plastik biodegradable mempunyai
prospek yang baik (Latief, 2001).
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memanfaatkan
limbah padat-cair industri tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan film plastik
biodegradable. Disamping itu, ingin mengetahui gambaran sifat fisik atau mekanik
(warna, kekuatan tarik dan elongasinya), kelarutannya dalam air dan sifat
biodegradabilitasnya.
Kajian Pustaka
Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan
melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan
padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
40
dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada
bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut
sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak
menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke
rubbery (elastis) dari zein murni dengan kadar air 15 35 %. Hasil penelitian
menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 160
o
C untuk
tepung zein dengan kadar air di atas 25 %. Dibawah suhu 65
o
C zein terlihat seperti
cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160
o
C
ikatan silang agregat zein menjadi lemah. Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari
jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapat dicetak menjadi film kemasan
plastik.
Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982),
sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein
yang bertumpuk. Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui
ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul
zein (Latief, 2001).
Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat
pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh
Yamada, et. al. (1995), Frinault, et. al. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan
metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan
mekanik film yang dihasilkan. Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai
biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.
Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar
(zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v).
Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50
o
C
selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan
10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin. Dibiarkan selama 5 jam
pada suhu 30 sampai 45
o
C dengan room humidity / RH ruangan terkendali. Film yang
terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada
suhu ruang selama 24 jam.
Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar
(casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari :
pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser,
pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.
Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan
dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70
o
C
selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine. Selanjutnya
dibiarkan selama 3 6 jam pada suhu 35
o
C dengan RH ruangan 50 %. Film kemudian
dikeringkan selama 12 18 jam pada suhu 30
o
C pada RH 50 %. Dilanjutkan dengan
conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksperimental yang dilakukan di
laboratorium yang sering disebut sebagai Experimental Research. Sampel yang
digunakan merupakan sampel simulasi dari limbah padat-cair (cairan, kulit dan ampas
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
41
singkong) industri pembuatan tepung tapioka. Kulit (yang berwarna putih) dan ampas
singkong tersebut dijadikan sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel
sedangkan limbah cairnya dijadikan sebagai pelarut dalam proses polimerisasi
(berdasarkan prosedur pembuatan tepung tapioka PDII-LIPI dan RISTEK, 2000).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah filler : kulit dan ampas singkong (dalam bentuk
bubur/pulp), matriks : ekstrak kulit singkong, pelarut : ethanol 70 % dan limbah cairan/
air limbah, plasticizer : gliserin/gliserol. Sedangkan alat yang digunakan adalah
termometer, pemanas listrik, gelas beker dan pengaduk, timbangan listrik, pemarut
semi mekanis, saringan, oven, cetakan (bahan polyethilene), tenso lab (alat uji mekanik),
media pengujian biodegradabilitas dan kelarutan, foto warna.
Proses Pembuatan
Kulit putih yang diperoleh diparut/dihaluskan dengan pemarut semi mekanis
sehingga diperoleh bubur/pulp kulit singkong basah. Selanjutnya diekstrak sari patinya
dengan pelarut air limbah kemudian dipisahkan dalam bejana berbeda. Ampas singkong
basah 20 gram (sekali proses) dicampur dengan ekstrak kulit 100 ml, dipanaskan sambil
diaduk pada suhu 80-90
0
C selama 5-10 menit, setelah terbentuk biopolimer, segera
ditambahkan pelarut ethanol 70 % 20 ml dan gliserol 10 ml sambil diaduk dengan
pemanasan berlanjut selama 2-3 menit.
Untuk sampel kulit singkong dapat diproses seperti halnya pada sampel ampas
singkong. Biopolimer yang dihasilkan dicetak di atas cetakan bahan PE yang licin
kemudian disimpan dalam oven pada suhu 40-50
0
C selama 2-3 hari, setelah itu
dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari. Diperoleh masing-masing dua jenis
film yang berasal dari kulit dan ampas singkong yang siap untuk diuji karakteristiknya.
Mekanisme Pengujian
Film yang dihasilkan difoto dengan foto visual biasa untuk mengetahui tekstur
fisik dan warnanya kemudian dilakukan berbagai pengujian seperti uji biodegradabilitas,
kelarutan dalam air, elongasi dan kekuatan tariknya. Film plastik biodegradable yang
dihasilkan diuji sifat biodegradabilitasnya dengan cara dikubur di dalam tanah dengan
ukuran film kurang lebih (10x10) cm dan kedalaman tanah 20 cm dan luas (15x15) cm.
Proses penguburan dilakukan selama 1 minggu kemudian dilakukan pengamatan. Uji
kelarutan plastik biodegradable dalam air dilakukan dengan cara memasukkan lembaran
film plastik dengan ukuran kurang lebih (2x10) cm ke dalam bejana yang berisi air
sambil diaduk secara manual dan roses ujinya dilakukan selama 1 minggu sambil
diamati perkembangannya.
Uji mekanik yang berupa uji kekuatan tarik dan elongasi merupakan uji yang sangat
penting kaitannya dengan kualitas film plastik biodegradable yang dihasilkan. Sampel
film plastik yang akan diuji dipotong dengan ukuran (2,5 x 20) cm, kemudian dikaitkan
secara horisontal pada penjepit/pengait yang ada pada alat Tenso Lab dengan
peregangan normal. Setelah film plastik terpasang pada masing-masing pengaitnya,
pengujian kuat tarik dan elastisitas dapat dilakukan. Perangkat alat ini berupa alat
peregang yang didukung oleh data komputer yang dapat diamati langsung pada saat
pengujian.
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
42
Hasil dan Pembahasan
Film plastik biodegradable yang dihasilkan
Gambar 1.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari kulit singkong
Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable
dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna
bening/jernih tetapi banyak terdapat flok-flok coklat yang menghiasi lembaran film plastik
biodegradable. Rekomendasi untuk penelitian berikutnya adalah bagaimana caranya
menghilangkan flok-flok coklat tersebut sehingga warna film plastik biodegradable dapat
mencapai kejernihan/bening sempurna (Lihat Gambar 1).
Gambar 2.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari ampas singkong
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
43
Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable
dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna
jernih/bening namun banyak dipenuhi dengan bintik-bintik putih sehingga warnanya
cenderung memutih dan kurang jernih/bening. Dilihat dari teksturnya, film plastik dari
ampas singkong cenderung lebih rapuh dan kurang elastis apabila dibandingkan dengan
film plastik dari kulit singkong (Lihat Gambar 1 dan 2). Rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk merekayasa warna film plastik yang
dihasilkan sehingga menjadi bening/jernih sempurna dan memiliki tekstur yang lebih
kuat dan elastisitasnya tinggi.
Gambar 3.
Film plastik biodegradable yang terbuat dari ekstrak kulit singkong
Film plastik yang dihasilkan dari bahan baku ekstrak kulit singkong memiliki tekstur
yang lebih rapuh dengan warna putih/krem. Secara fisik kualitasnya belum optimal
dan cenderung lebih baik film plastik yang dihasilkan dari kulit singkong walaupun
banyak bercak coklatnya. Elongasi film plastik tersebut lebih rendah dari film plastik
berbahan baku kulit singkong tetapi lebih tinggi dari film plastik yang berbahan baku
ampas singkong (Lihat Gambar 3).
Griffin (1994) menyatakan bahwa plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam
kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang
mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur,
algae). Sedangkan Seal (1994) berpendapat, kemasan plastik biodegradable adalah
suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana
paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme
secara alami.
Uji biodegradabilitas film plastik biodegradable
Proses uji biodegradable ini diperlukan untuk mempelajari tingkat ketahanan film
plastik yang dihasilkan kaitannya dengan pengaruh mikroba pengurai, kelembaban
tanah dan suhu bahkan faktor kimia fisik yang lain. Secara kimiawi, film plastik yang
dihasilkan jelas bersifat biodegradable, hal itu disebabkan oleh bahan baku yang
digunakan adalah bahan baku organaik dan alamiah yang mudah
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...
LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004 ISSN: 1410-2315
44
berinteraksi dengan air dan mikro organisme lain bahkan sensitif terhadap
pengaruh fisik/kimia lingkungan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah
kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi,
struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya
biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi
kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat
molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah serangan
mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellu-
lar). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium,
Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus,
Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium),
Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).
Setelah dilakukan penguburan selama 1 minggu, hasil pengamatan menunjukkan
bahawa film plastik telah terdekomposisi/terdegradasi secara alamiah di dalam tanah
walaupun masih tersisa sedikit, yang diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah
faktor mikro organisme pengurai, kelembaban tanah dan kadar air tanah. Alasan utama
membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang
dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah. Umumnya setelah sampah kemasan
dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui
proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen),
biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi).
Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi (Latief,
2001).
Pada minggu berikutnya, setelah dilakukan penggalian lagi, ternyata sisa-sisa
film plastik tersebut sudah bersih/terdegradasi sempurna. Kondisi tanah yang digunakan
untuk proses penguburan adalah sangat lembab dan banyak mengandung air serta
dimungkinkan banyak terdapat mikroba pengurai yang berperan. Karakter
biodegradabilitas telah teruji secara praktis bahwa film plastik yang dihasilkan ternyata
dapat dengan mudah diuraikan dalam tanah secara biologis maupun kimiawi dan
tentunya aman bagi lingkungan. Apabila dicermati dari sudut bahan baku dan chemi-
cal spiecies lain yang mendukung maka film plastik yang dibuang atau dikubur di alam/
tanah tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Uji kelarutan film plastik biodegradable dalam air
Proses ujinya dilakukan selama 1 minggu dan ternyata film plastik yang direndam
dalam air tersebut hancur tercerai-berai dan akhirnya larut dengan air. Fenomena ini
menunjukkan bahwa material komposisi penyusun film plastik biodegradable bersifat
hidrofilik/suka air, misalnya ethanol 70 %, air suling dan gliserol, semuanya dapat larut
dalam air, bahkan bahan bakunya yang berupa kulit dan ampas singkong memiliki
karakter hidrofilik.
Pada dasarnya karakter uji kelarutan film plastik dalam air hampir sama dengan
uji biodegradabilitas dalam tanah. Konsep dasarnya adalah bahwa film plastik yang
dihasilkan dapat dengan mudah dihancurkan secara alamiah, efektif dan efisien/
ekonomis dan tentunya ramah lingkungan. Pada uji kelarutan ini, faktor yang paling
menentukan adalah sifat hidrofilik film plastik dan didukung oleh pengadukan yang
secara mekanis dapat mempercepat kelarutan film plastik dalam air, tetapi karena
Feris Firdaus,Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung...

You might also like