You are on page 1of 14

ASURANSI IKLIM SEBAGAI JAMINAN PERLINDUNGAN KETAHANAN PETANI

TERHADAP PERUBAHAN IKLIM


1

Rizaldi Boer
Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific
Bogor Agricultural University (CCROM SEAP IPB)
Email: rizaldiboer@gmail.com

Abstracts

Crop insurance has been implemented in many developing countries for protecting farmers from
hazards such as drought, flood, pest and diseases etc. However, implementation of the crop
insurance is not sustainable as its implementation is relatively complex and also expensive. Pay-
out is done based on the crop failure. Thus insurance company has to do field verification to
each land of the policy insurance holders to avoid manipulation from the insurance holders and
wrong payment. As alternative, climate index insurance has been introduced and piloted in
many developing countries. The index insurance is relavely simple, practicable and low
operasional cost. The index serves as a proxy for the total losses. The index is defined
against events that are highly correlated with regional agricultural production. Rainfall is
one the common climate index that has been used. As example, from historical observation
if the crop failure due to drought always happened whenever rainfall fall below certain
level, than this level of rainfall can be defined as the index. The payout is given to the
insurance policy holder whenever the rainfall is fall below the index irrespective of the
crop failure. When crop fail but the rainfall condition does not fall below the index, the
insurance policy holders also could not get the payment. Thus there is no need to do the
field verification to farmers lands. Many developing countries have implemented the
climate index insurance with succeful. Climate Index Insurance is not only protect farmers
from climate hazards but also can encourage farmer to take opportunity of good climate to
improve crop productivity and to adopt new technologies that can adapt better to climate
stress.

Key words: Climate Index Insurance, drought, floods, crop productivity

Abstrak

Sistem asuransi pertanian atau tanaman sudah banyak dikembangkan di berbagai Negara untuk
melindungi petani kegagalan panen akibat bencana, seperti bencana iklim banjir, kekeringan,
serangan hama dan penyakit dan lain-lain. Akan tetapi asuransi ini tidak berkembang dengan

1
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 10: Pemantapan Ketahanan Pangan dan perbaikan Gizi
Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal, 20-21 November 2012. LIPI, Jakarta
baik karena pelaksanaannya sulit dan biaya operasional tinggi. Klaim diberikan berdasarkan
gagal atau tidak gagalnya tanaman sehingga pihak perusahaan asuransi harus mengeluarkan
biaya tinggi untuk melakukan verifikasi ke lapangan untuk menghindari manipulasi informasi
dari pemegang polis. Sebagai alternatif, asuransi indeks iklim mulai diperkenalkan karena
sistem ini lebih praktis dan biaya verifikasi jauh lebih murah. Dalam sistem ini yang
diasuransikan bukan tanaman, akan tetapi indek iklim yang disusun dan ditetapkan berdasarkan
kaitan atau hubungan kegagalan panen dengan perubahan kondisi iklim. Apabila indek atau
kondisi iklim yang sudah ditetapkan terjadi, maka pemegang polis akan mendapatkan
pembayaran terlepas apakah tanamannya gagal atau tidak gagal. Sebaliknya petani yang
tanamannya gagal akan tetapi kondisi iklim atau indek iklim yang ditetapkan tidak terpenuhi,
maka pemegang polis tidak dapat mengajukan klaim pembayaran ke pihak asuransi. Banyak
negara berkembang sudah mencoba melaksanakan asuransi indek iklim dengan berhasil.
Asuransi indek iklim tidak hanya melindungi petani dari bencana iklim tetapi juga dapat
mendorong petani untuk berani berinvestasi lebih besar untuk meningkatkan produktivitas
tanaman sehingga dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dari usahataninya dan juga
mengadopsi teknologi baru yang lebih tahan cekaman iklim.

Kata Kunci: Asuransi Indeks Iklim, Kekeringan, Banjir, produktivitas usahatani

1. Pendahuluan
Pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah
menyebabkan pola iklim global maupun regional mengalami perubahan. Intensitas dan frekuensi
kejadian iklim ekstrim cendrung mengalami peningkatan di banyak wilayah. Laporan sintesis ke
empat yang dikeluarkan oleh Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC, 2007)
mengkonfirmasi bahwa sistem fisik maupun biologi di banyak belahan dunia telah banyak yang
mengalami perubahan dengan arah yang konsisten dengan perubahan yang diharapkan sesuai
dengan respon sistem tersebut terhadap pemanasan global. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan
data seri pengamatan yang diambil dari 29,000 lokasi yang tersebar di seluruh dunia.
Seperti halnya Negara lain, di Indonesia kejadian iklim ekstrim yang menimbulkan bencana
kekeringan dan banjir telah meningkat secara konsisten (Boer dan Perdinan, 2008). Dalam
periode 1844-1960 kejadian kemarau panjang yang menyebabkan bencana kekeringan yang luas
telah terjadi sebanyak 30 kali atau dengan frekuensi satu kali dalam empat tahun. Dalam
periode 1961-2006, frekuensi meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer et al., 2007).
Lebih dari 75% kejadian kekeringan ini berasosiasi dengan fenomena El Nino (Boer dan
Subbiah, 2005). Hansen et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kejadian El Nino akhir-
akhir ini merupakan respon terhadap terhadap pemanasan global. Kejadian banjir juga sudah
menjadi bencana yang umum. Dalam periode 2001-2004 telah terjadi sebanyak 530 bencana
banjir di berbagai wilayah di Indonesia dan jumlah daerah yang mengalami banjir juga cendrung
meningkat. Bencana angin kencang (puting beliung) yang selama ini jarang melanda wilayah
pertanian di Jawa, sekarang sudah mulai sering terjadi
2
.

2
Lihat Situs Badan National Pengendalian Bencana - http://dibi.bnpb.go.id

Kejadian bencana kekeringan dan banjir pada saat ini menempati urutan pertama sebagai
penyebab kegagalan panen di Indonesia (Hadi, 2000). Lebih dari 50% kegagalan panen
tanaman padi di Indonesia diakibatkan oleh kedua bencana ini (Ditjen Perlindungan Tanaman,
2002). Kegagalan panen yang beruntun akibat bencana iklim menyebabkan kondisi petani
semakin sulit. Berdasarkan survei rumah tangga petani yang dilakukan di Indramayu ditemukan
bahwa kejadian kekeringan yang terjadi di tahun 2003 akibat kejadian El Nino telah
meningkatkan jumlah rumah tangga miskin secara signifikan yaitu dari 54% menjadi 68%
dibanding tahun normal 2001 (Boer et al., 2004). Akibat dari kegagalan panen, selain petani
tidak mendapatkan penghasilan pada musim tersebut juga kehilangnya investasi yang sudah
dikeluarkan sehingga untuk menutupi kebutuhan hidup dan musim tanam berikutnya sebagian
besar petani harus berhutang atau dengan mengadaikan barang-barang yang dimiliki. Sebagian
petani ada yang tidak dapat keluar dari beban hutang dengan para rentenir. Demikian juga di
NTT, pada tahun 2006 saat terjadi kemarau panjang akibat kejadian El Nino, 60% dari
pendapatan petani berasal dari subsidi pemerintah, sementara pada tahun normal jumlah rumah
tangga petani yang memerlukan subsidi sumber pendapatan petani (Kief and Soekarjo, 2007).
Salah satu mekanisme perlindungan yang sudah umum dikembangkan untuk melindungi petani
dari bencana ialah asuransi. Asuransi adalah sistem pengaturan keuangan untuk memberikan
perlindungan kepada seseorang dari risiko. Dalam kontek pertanian, risiko dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti kegagalan panen akibat bencana, serangkan hama penyakit tanaman dan
lain-lain. Apabila petani ingin mendapat perlindungan dari risiko, maka ia dapat membeli polis
asuransi pertanian seharga tertentu yang disebut premi. Apabila petani pemegang polis terkena
bencana dan mengalami gagal panen maka dia berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan
nilai pertangungan yang disepakati dalam polis yang nilainya jauh lebih besar dari nilai premi
yang dibayarkan. Namun demikian apabila kegagalan panen bukan disebabkan oleh bencana
yang disepakati di dalam polis, maka pembayaran nilai pertangungan tidak dapat dilakukan dan
uang premi yang dibayarkan tidak dapat diambil kembali.
Sistem asuransi pertanian sudah banyak dikembangkan di berbagai Negara untuk melindungi
petani dari bencana. Namun demikian sistem asuransi ini tidak berkembang dengan baik karena
pelaksanaannya sulit. Kegagalan panen akibat bencana yang dialami oleh ratusan atau bahkan
ribuan petani harus diverifikasi ke lapangan untuk menghindari penipuan sehingga
membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Sebagai alternatif, asuransi indeks iklim mulai
diperkenalkan karena sistem ini lebih praktis dan biaya verifikasi jauh lebih murah (Osgood
2007). Dalam sistem ini yang diasuransikan bukan tanaman, akan tetapi indek iklim yang
disusun dan ditetapkan berdasarkan kaitan atau hubungan kegagalan panen dengan perubahan
kondisi iklim. Apabila indek atau kondisi iklim yang sudah ditetapkan terjadi, maka pemegang
polis akan mendapatkan pembayaran terlepas apakah tanaman gagal atau tidak gagal.
Sebaliknya petani yang tanamannya gagal akan tetapi kondisi iklim atau indek iklim yang
ditetapkan tidak terpenuhi, maka pemegang polis tidak dapat mengajukan klaim pembayaran ke
pihak asuransi. Tulisan ini membahas potensi pengembangan asuransi iklim di Indonesia dalam
melindungi petani kecil dari bencana iklim sehingga memiliki ketahanan yang lebih baik
terhadap dampak dari perubahan iklim.

2. Sekilas Perkembangan Penerapan Sistem Asuransi untuk Pertanian di Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian sudah mulai mencoba melakukan analisis
kelayakan penerapan sistem asuransi untuk pertanian sejak tahun 1982. Pada tahun tersebut
Kelompok Kerja untuk Asuransi Pertanian telah dibentuk dan diberi tugas untuk mengkaji
kemungkinan penerapan asuransi tanaman (crop insurance) dan merancangnya serta mencari
bantuan pendanan bagi pelaksanaannya dari luar negeri. Namun Kelompok Kerja ini tidak
berhasil melaksanakan tugasnya dan walaupun masa kerjanya diteruskan sampai 1984. Pada
tahun 1985 dibentuk kelompok kerja baru akan tetapi tetap tidak berhasil melaksanakan tugasnya
seperti yang diharapkan (Pasaribu et al., 2009).
Pada tahun 1999 Kementrian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
kembali membentuk Tim untuk asuransi pertanian. Tim ini pada tahun 2000 telah berhasil
melaksanakan kegiatan pilot asuransi tanaman yang pelaksanaannya dikombinasikan dengan
asuransi jiwa. Kegiatan pilot dilaksanakan melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah
Propinsi Sumatera Utara bersama Lembaga Asuransi BUMIDA dan Bank Pembangunan Daerah
Sumut. Namun demikian kegiatan pilot ini tidak berhasil berkembang menjadi skala besar dan
berhenti sampai pada skala pilot saja (Pasaribu et al., 2009). Pada tahun 2008, kembali
Kementrian Pertanian mengembangkan model asuransi untuk ternak sapi dan tanaman padi
dengan nilai premium mencapai 3.5% dari harga sapi dan biaya input tanaman per musim.
Kegiatan pilot dilaksanakan di Jawa, namun program ini juga tidak berlanjut karena tidak adanya
ketertarikan pihak asuransi.
Melalui kerjasama dengan FAO, kembali Kementerian Pertanian melalui Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun 2008 melakukan analisis kelayakan penerapan
asuransi pertanian untuk tanaman padi dan telah melaksanakan kegiatan pilot di dua pusat
pertanaman padi di Indonesia yaitu Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara dan Kabupaten
Tabanan-Bali (Hadi et al., 2009). Hasil kajian merekomendasikan sangat perlunya melibatkan
petani dan pemerintah daerah dalam mengembangkan model asuransi tanaman yang sesuai
dengan kondisi daerahnya masing-masing. Kendala hukum dan peraturan serta kelembagaan
yang menghambat minat pihak swasta untuk masuk ke dalam bisnis asuransi pertanian perlu
segera diatasi. Kementerian Pertanian dalam hal ini telah membentuk Konsorsium Penjamin
Asuransi Pertanian yang keangotaannya meliputi Pemerintah Daerah, Koperasi Petani dan
Perusahaan Asuransi. Selain itu, juga dibentuk Kelompok Kerja Asuransi Komunitas Pertanian
berkerjsama dengan PT Asuransi Bumi Putra untuk mengembangkan dan melaksanakan sistem
asuransi pertanian dalam skala yang luas.
Pada saat ini Kementerian Pertanian sudah menyiapkan dana yang cukup besar untuk
mendukung peluasan pelaksanaan program asuransi tanaman padi di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi Selatan yang mencakup luasan 100,000 ha
3
. Nilai uang pertangungan per hektar 3.7
juta rupiah dengan nilai premi sebesarn Rp110.000,- per musim atau Rp220.000,- per tahun.
Sebesar 80% dari uang premi ini akan disubsidi oleh pemerintah dan diharapkan dalam lima
tahun petani mampu membayar premi secara penuh tanpa subsidi. Polis asuransi diberikan
bukan kepada individu petani tetapi kepada Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN).
Pedoman untuk pelaksanaan program ini sedang disusun oleh Kelompok Kerja Asuransi
Komunitas Pertanian dibawah koordinasi langsung Wakil Menteri Pertanian. Banyak
perusahaan asuransi yang berminat untuk masuk ke dalam bisnis ini namun mereka
membutuhkan adanya lembaga penjaminan (reinsurance).

3
Komunikasi Pribadi dengan Dr. Sahat Pasaribu dari Pusat Kajian Sosial-Ekonom dan Kebijakan Pertanian,
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian
Kementerian Pertanian saat ini masih melihat Asuransi Indek Iklim sebagai sebagai satu
alternatif instrument baru untuk perlindungan petani subsisten di Indonesia. Di beberapa Negara
berkembang dan keterbelakang lain, asuransi indek iklim sudah cukup berkembang dan sudah
mulai diterapkan, seperti di India (Hess, 2003), Malawi (Hess and Syroka, 2005), Tanzania and
Kenya (Osgood 2007; Osgood et al., 2007). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa
asuransi indek iklim/cuaca lebih sesuai diterapkan di Negara berkembang dari pada sistem
asuransi pertanian yang dikenal selama ini (Hazell, 1992; Hazell et al, 2006; Hess, 2003; Collier
et al., 2009). Di banyak Negara asuransi pertanian umumnya tidak berkelanjutan. Lebih jauh
Osgood (2007a, b) menyatakan bahwa asuransi indek iklim tidak hanya bermanfaat sebagai
perlindungan bagi petani tetapi juga mendorong petani untuk lebih berani melakukan perbaikan
budidaya tanaman dengan penggunaan varietas ungul dan input yang lebih baik.
Penerapan asuransi indeks iklim untuk pertanian di Indonesia pada saat ini masih dalam taraf
penelitian. Beberapa yang sudah dilakukan diantaranya asuransi indek iklim untuk tanaman
jagung untuk wilayah Indonesia Timur yang dilakukan oleh International Finance Corporation
dan Kemitraan Australia Indonesia (IFC dan AIP, 2010), untuk tanaman padi di Indramayu oleh
Centre for Climate Risk and Opportunity Management-IPB bekerjasama dengan International
Research Institute for Climate and Society (IRI)-Columbia University USA dan oleh IPB dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian melalui program Kerja
sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa asuransi indek iklim sangat berpotensi untuk dikembangkan (Boer et al.,
2011).

3. Asuransi Indeks Iklim di Indonesia

3.1. Asuransi Indeks Iklim dan Penetapan Nilai Indeks
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, asuransi indek iklim tidak menggunakan kegagalan
panen sebagai pemicu (trigger) klaim pembayaran pertanggungan. Yang digunakan ialah indek
iklim. Indek iklim merupakan proxy yang digunakan untuk menjelaskan kegagalan panen pada
suatu wilayah atau luasan (misalnya desa, kecamatan, atau kabupaten), bukan kegagalan panen
yang dialami oleh setiap pemegang polis. Jadi indek iklim harus dibangun dari unsur iklim yang
berkorelasi tinggi dengan kejadian gagal panen yang luas yang terjadi di suatu wilayah. Jadi
pembayaran pertangungan dilakukan bukan berdasarkan dari gagal panen tanaman tetapi dari
kondisi iklim yang telah memenuhi nilai indek iklim yang diukur dari suatu satelit atau alat
pengamatan iklim lainnya di suatu stasiun yang mewakili wilayah dimana asuransi indek
diterapkan.
Asuransi indek iklim merupakan sistem asuransi yang relatif baru yang dikembangkan untuk
membantu petani dalam mengelola risiko iklim. Perbedaan yang sedikit antara sistem asuransi
pertanian dan asuransi indek iklim telah dapat mengatasi beberapa persoalan mendasar yang
ditemui pada sistem asuransi pertanian. Dalam hal ini perusahaan asuransi tidak perlu
mengunjungi lapangan untuk mengecek atau memverifikasi apakah tanaman rusak atau gagal
panen, tetapi cukup dengan memantau kondisi iklim yang diukur pada stasiun cuaca acuan
tempat pelaksanaan asuransi indek. Dengan demikian biaya operasional asuransi akan jauh lebih
murah sehingga harga premiumnya juga bisa lebih rendah dari sistem asuransi pertanian. Di
Afrika, pembayaran uang pertangungan langsung ditransfer ke rekening pemegang polis
bilamana hasil pengukuran cuaca selama periode asuransi telah memenuhi nilai indek iklim.
Untuk asuransi indeks iklim di bidang pertanian, unsur iklim yang paling sering digunakan
dalam menyusun indek adalah curah hujan. Kegagalan panen pada umumnya berhubungan
dengan anomali hujan. Gagal panen akibat kekeringan disebabkan karena menurunnya hujan
jauh di bawah normal atau akibat banjir karena hujan jauh di atas normal. Sebagai contoh ialah
indek iklim yang dikembangkan dengan menggunakan hubungan antara data luas terkena
kekeringan dan gagal panen (puso) padi di musim kemarau akibat kekeringan dengan data
anomali hujan. Berdasarkan data historis yang ada diperoleh bahwa luas terkena kekeringan
meningkat tajam dan meluas bila mana curah hujan selama musim kemarau lebih rendah dari
200 mm, dan puso (gagal panen) bila mana curah hujan kurang dari 75 mm. Berdasarkan
hubungan ini, dapat ditetapkan bahwa tinggi hujan yang dapat mentrigger terjadi pembayaran
nilai pertangungan kepada pemegang polis ialah 200 mm, sedangkan pembayaran nilai
pertangungan secara penuh (exit) dilakukan apabila curah hujan yang turun pada musim kemarau
lebih rendah dari 75 mm. Apabila curah hujan yang turun selama musim kemarau diantara 75
mm dan 200 mm, maka besar nilai pertangungan yang dibayarkan hanya sebagian saja sesuai
dengan proporsi hujan yang diterima selama musim kemarau tersebut (Gambar 1). Persamaan
umum untuk menghitung besarnya nilai pertangungan yang dibayarkan (Y) sesuai dengan hujan
yang diterima selama periode pertangungan (musim kemarau) ialah sebagai berikut:
Y = (1 (Jumlah Hujan Exit) / (Trigger Exit))* Nilai Pertangungan












Gambar 1. Indek hujan dan persentase pembayaran nilai pertagungan

Sebagai ilustrasi, misalkan polis asuransi indek iklim memiliki nilai pertangungan sebesar 4
juta
4
. Apabila selama periode pertangungan (musim kemarau) hujan yang turun di atas 200 mm,
maka petani tidak akan mendapatkan pembayaran nilai pertangungan sama sekali. Kalau hujan
MK yang diterima 100 mm, maka petani pemegang polis dapat menerima pembayaran nilai
pertangungan sebesar:
Y = (1 (Jumlah Hujan Exit) / (Trigger Exit))* Nilai Pertangungan
Y = (1-(100-75)/(200-75))*4 juta rupiah
Y = (1- 20/120)*4 = 3.2 juta rupiah
Apabila hujan yang turun selama musim kemarau di bawah 75 mm, maka pemegang polis akan
mendapatkan pembayaran penuh yaitu 4 juta rupiah. Jadi dalam asuransi indek iklim, petani
akan mendapatkan pembayaran apabila hujan yang turun di bawah nilai terentu atau nilai indek.
Apabila terjadi gagal panen akan tetapi hujan yang turun lebih tinggi dari nilai index (trigger),
maka pembayaran nilai pertangungan tidak dapat dilakukan. Sebaliknya apabila hujan yang
turun lebih rendah dari trigger dan tanaman tidak gagal, pembayaran tetap dilakukan karena yang
diasuransikan adalah indek iklimnya bukan tanaman.
Metode perhitungan klaim pembayaran yang dikembangkan bisa berbeda dari formula umum di
atas. Disamping itu indeks iklim juga dapat ditetapkan menurut fase pertumbuhan tanaman
karena kebutuhan air tanaman berbeda untuk setiap fase pertumbuhan dan tingkat sensitifitas
tanaman terhadap kekurangan air juga berbeda antara fase. Pada kebanyakan tanaman, fase
pembungaan merupakan fase yang paling sensitif terhadap kekurangan air. Terjadinya
penurunan hujan yang sedikit pada fase pembungaan dapat menurunkan hasil tanaman secara
signifikan. Dengan demikian bentuk polis asuransi indek iklim yang dikembangkan memberikan
nilai klaim yang lebih tinggi pada fase yang sensitif terhadap kekerungan air untuk setiap

4
Dalam praktek, besar biaya pertangungan yang ditetapkan pada umumnya sama dengan besar kebutuhan
pinjaman atau investasi yang diperlukan untuk melakukan usahatani calon pemegang polis.
0%
100%
50%
Pembayaran Niiai
pertagungan
secara penuh
Pembayaran niiai
pertangungan
sebagian
Tidak ada
pembayaran Nilai
pertagungan
B
e
s
a
r
P
e
m
b
a
y
a
r
a
n
(
%

n
i
l
a
i
P
e
r
t
a
n
g
u
n
g
a
n
)

Trigger
Exit
75 200
HujanMusimKemarau
milimeter penurunan nilai hujan dari nilai indek. Sebagai ilustrasi, polis asuransi indek iklim
yang dirancang untuk ditawarkan ke petani di suatu wilayah dengan menggunakan stasiun hujan
acuan yang ada di wilayah tersebut. Setiap fase pertumbuhan tanaman memiliki indek iklim
yang berbeda. Besarnya klaim ditetapkan berdasarkan per milimeter perbedaaan hujan yang
diterima selama musim tanam pada setiap fase pertumbuhan dengan nilai indek seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tanaman padi untuk fase vegetative dan pembungaan memiliki
indek iklim 250 mm dan fase pengisian biji 131 mm. Artinya berdasarkan pengamatan atau
penelitian yang dilakukan tanaman padi mulai mengalami cekaman dan penurunan hasil
bilamana hujan yang diterima selama fase vegetative dan pembungaan kurang dari 250 mm,
sedangkan pengisian biji 131 mm. Misalkan nilai pertangungan polis asuransi indek iklim
selama musim tanam ialah 5 juta rupiah. Tinggi hujan selama musim tanam untuk setiap fase
pertumbuhan berturut-turut 60, 50 dan 50 mm. Mengikuti formula perhitungan yang ditetapkan
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, diperoleh total nilai klaim 5,983,000 rupiah. Karena nilai
pertangungan hanya 5 juta rupiah, maka total klaim yang diterima pemegang polis maksimum
hanya 5 juta rupiah.

Tabel 1. Ilustrasi perhitungan nilai klaim polis asuransi indek iklim dengan nilai pertangungan
5 juta rupiah
Fase Indeks
Hujan
(mm)
(1)
Nilai per
mm defisit
(Rupiah)
(2)
Kumulatif
hujan
(mm)
(3)
Perhitungan
Keuntungan
(Rupiah)
(4)=(1-3)*2
Nilai Klaim
(Rupiah)
(5)=(4)*Nilai
pertangungan/
1,000,000
Vegetatif 250 2500 60 475,000 2,375,000
Pembungaan 250 3000 50 600,000 3,000,000
Pengisian biji 131 1500 50 122,000 608,000
TOTAL Klaim

5,983,000

Indek iklim untuk asuransi dapat dikembangkan dengan menggunakan unsur iklim lain yang
terkait dengan bencana yang menjadi perhatian. Misalnya di Filipina, Indek asuransi yang
digunakan dalam melindungi petani dari bencana angin topan ialah kecepatan angin dan jalur
angin topan yang dapat dipantau melalui satelit. Bagi petani yang mengikuti polis asuransi ini,
apabila dari data satelit terlihat lahan petani peserta polis dilewati oleh jalur angin topan yang
kecepatan melebihi nilai index kecepatan angin yang sudah ditetapkan, maka petani akan
langsung otomatis menerima klaim pembayaran sesuai dengan nilai pertangungannya tanpa
harus ada penilaian ke lapangan (www.microensure.com). Di Kenya untuk ternak, juga
dikembangkan indek asuransi yang menggunakan data Normalized Differential Vegetation Index
(NDVI) yang diproses dari satelit (Chantarat et al., 2012). NDVI merupakan indikator yang
secara luas sudah digunakan untuk memonitor kekeringan. Di Afrika, NDVI digunakan sebagai
peringatan dini untuk menduga risiko kematian bagi ternak sapi (Sung and Weng, 2008). Di
Indonesia, karena kegagalan panen tanaman semusim akibat kekeringan seringkali berasosiasi
dengan fenomena El Nino, penggunaan indek ENSO (suhu muka laut di kawasan laut Pasifik)
sebagai indek asuransi iklim sangat potential untuk dikembangkan.

3.2. Manfaat Asuransi Indeks Iklim bagi Petani
Pembayaran pertangungan dalam asuransi indeks iklim tidak terkait dengan kelangsungan hidup
tanaman atau gagal panen karena pembayaran dilakukan apabila nilai trigger yaitu indek iklim
terpenuhi. Hal ini dapat mendorong petani yang sudah menjadi pemegang polis asurtansi indek
iklim untuk mau mencoba teknologi budidaya baru untuk menjamin kelangsungan hidup
tanamannya. Misalkan ada varietas baru yang lebih tahan kering dan berdaya hasil lebih tinggi
tapi harga lebih mahal. Bagi petani yang sudah dilindungi oleh asuransi indek iklim akan lebih
berani mencoba varietas baru ini walaupun harga lebih mahal. Hal ini karena petani memiliki
kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan ganda. Kalau kondisi iklim jelek dan memenuhi
nilai indek, pembayaran nilai pertangungan dilakukan apakah tanaman mati atau tidak mati.
Karena varietas baru yang digunakan, tanaman tidak gagal, maka petani selain dapat pembayaran
dari asuransi sesuai dengan nilai pertangungannya juga tetap memperoleh pendapatan dari hasil
tanamannya.
Petani di Negara berkembang pada umumnya masih menggunakan input rendah, sehingga
senjang hasil atau perbedaan antara hasil tanaman yang diperoleh dan hasil potensialnya masih
cukup besar. Hasil penelitian di Jawa, menunjukkan bahwa rata hasil padi masih di bawah 6
t/ha, sementara potensi hasil dapat mencapai 8 t/ha. Petani seringkali tidak berani untuk
meningkatkan pemberian input dan/atau menggunakan benih berkualitas dan berdaya hasil lebih
tinggi karena selain keterbatasan biaya juga tidak berani mengambil risiko terjadinya gagal
panen akibat kondisi iklim yang kurang baik. Apabila petani berani mencari pinjaman untuk
meningkatkan input dan menggunakan benih yang lebih berkualitas, maka apabila kondisi iklim
normal (baik), hasil tanaman yang diperoleh jauh lebih tinggi dari biasa sehingga tambahan
pendapatan yang diperoleh akan jauh melebihi biaya tambahan yang dikeluarkan untuk input.
Secara historis/alami, kondisi iklim yang baik (iklim normal) lebih sering dibanding kondisi
iklim yang kurang baik (iklim tidak normal). Apabila petani berani mengambil peluang ini
seharusnya petani dapat meningkatkan produktivitas usahataninya. Persoalannya ialah petani
tidak tahu apakah kondisi iklim pada suatu musim akan baik atau tidak.
Adanya asuransi indek iklim akan dapat mendorong petani untuk mengambil peluang ini, karena
kalau investasi tambahan dikeluarkan dan ternyata kondisi iklim tidak baik, maka petani akan
dapat perlindungan dari asuransi. Sebaliknya kalau kondisi iklim baik, petani tidak akan dapat
klaim dari asuransi akan tetapi peningkatan penghasilan dari kenaikan hasil tanaman bisa jauh
melebihi biaya tambahan untuk input dan menutupi biaya premi. Jadi program asuransi indek
iklim dapat dilihat tidak hanya dari sisi perlindungan pada petani tetapi juga mendorong petani
untuk berani mencoba alternatif teknologi baru untuk memanfaatkan kondisi iklim yang baik
sehingga pendapatan dari usaha tani bisa jauh lebih tinggi.
Di Indonesia, petani pangan seringkali terjerat utang oleh tengkulak atau rentenir. Hal ini
biasanya terjadi akibat dari kegagalan panen oleh bencana iklim atau penyebab lainnya, sehingga
pada musim tersebut petani tidak memperoleh penghasilan. Sementara petani tetap memerlukan
biaya untuk kehidupan dan juga untuk kegiatan usahatani musim selanjutnya. Upaya
peminjaman uang ke Bank pada umumnya kurang disukai oleh petani karena harus ada jaminan
dan prosedur administrasi yang harus dilalui. Sebagai pilihan petani lebih suka meminjam ke
Tengkulak walaupun dengan bunga yang jauh lebih tinggi yang biasanya harus di bayar setelah
panen. Karena tingginya bunga yang dibebankan, petani dari hasil panennya seringkali tidak
bisa membayar lunas hutangnya dan akhirnya dari musim ke musim selalu terjerat hutang. Di
lain pihak Bank mensyaratkan adanya jaminan karena hal tersebut dapat digunakan sebagai
pegganti pinjaman apabila petani tidak sanggup membayar akibat satu dan lain hal seperti gagal
panen. Adanya asuransi indek iklim seyogyanya dapat dijadikan sebagai peganti jaminan dalam
meminjam uang ke Bank karena apabila petani gagal panen akibat kondisi iklim yang buruk,
petani akan dilindungi oleh asuransi dan uang pertangungan tersebut dapat digunakan untuk
membayar pinjaman.
Berdasarkan diskusi dengan petani di Indramayu, petani merasa sangat terbantu apabila ada
kebijakan bahwa polis asuransi iklim dapat digunakan sebagai jaminan dalam peminjaman uang
ke Bank. Besarnya perbedaan bunga antara tengkulak dengan bank jauh melebihi nilai premi
yang harus dikeluarkan oleh petani. Di beberapa daerah bunga yang diterapkan tengkulak bisa
mencapai 60% dari nilai pinjaman selama satu musim tanam (6 bulan), sementara nilai premi
hanya berkisar antara 10-15% dari biaya input, bahkan bisa lebih rendah lagi. PT Asuransi
Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5% untuk asuransi gagal panen akibat
serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan akibat kekurangan air irigasi atau anomali iklim.
Sedangkan Martirez (2009) memberikan contoh besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap
berbagai bencana (Multi Risk Cover) sebesar 12,27%. Sedangkan untuk risiko tinggi terhadap
bencana alam (Natural Disaster Cover) premi yang harus dibayar sebesar 9,07%. Namun
demikian kebijakan tentang penggunaan polis asuransi sebagai peganti jaminan dalam
peminjaman uang ke bank masih belum ada aturannya.
Terlepas dari ada tidaknya kebijakan ini, petani di Indramayu tetap melihat bahwa kebijakan
asuransi iklim sangat diperlukan dalam membantu dan melindungi petani dari risiko iklim dan
mendorong petani untuk berani mencoba teknologi budidaya yang lebih adaptif terhadap
keragaman iklim. Hasil survei yang dilakukan oleh Estiningtyas et al. (2012) terhadap petani
Indramayu menunjukkan bahwa sebagian besar petani (82,5%) tertarik untuk mengikuti asuransi
indek iklim. Besaran premi yang sanggup dibayar oleh petani cukup beragam (Gambar 2).
Sebagian besar petani memiliki kesediaan membayar premi sebesar 200-300 ribu rupiah per
musim. Namun demikian ada yang bersedia membayar sampai 400-500 ribu rupiah per musim.


Gambar 2. Presentase petani di Indramayu menurut kesanggupan atau kesediaan membayar
premi (Willingness to Pay-WTP; Estiningtyas et al. 2012)
y = -2.9051x
2
+ 21.658x - 15.075
R = 0.8217
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
0 100-200 300-400
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

(
%
)

WTP (Rp. x1000)

3.3. Tantangan dan Peluang dalam Pengembangan Asuransi Indeks Iklim di Indonesia

Di dalam pengembangan asuransi index iklim, keberadaan alat pengukur unsur iklim yang data
mewakili areal pertanian tempat pelaksanaan asuransi sangat diperlukan karena data iklim
merupakan trigger untuk pembayaran nilai pertangungan. Alat ukur yang andal dan akurat,
disamping tenaga pengamat yang dipercaya menjadi sangat krusial dalam pelaksanaan asuransi
indek iklim. Risiko moral hazards karena adanya manipulasi dari tenaga pengamat dapat diatasi
dengan penggunaan stasiun pengukur cuaca otomotis atau AWS (Automatic weather station).
Dalam beberapa kasus, pengamatan unsur iklim bisa digunakan dengan data pengukuran radar
atau satelit. Namun demikian data iklim hasil pengukuran satelit memiliki tingkat kesalahan
sehingga penggunaannya perlu kalibrasi dan verifikasi.
Produk polis asuransi indek iklim bersifat unik. Indek hanya berlaku pada lokasi tertentu dimana
indek tersebut disusun dan pada periode waktu tertentu. Artinya kalau polis asuransi indek iklim
yang disusun adalah untuk musim kemarau pada wilayah tertentu, maka polis juga hanya berlaku
untuk periode waktu tersebut pada lokasi tersebut. Pada wilayah lain harus dibangun lagi indek
iklim yang sesuai dengan wilayah tersebut. Tantangannya ialah menentukan luas wilayah yang
dapat diwakili oleh indek iklim yang ditawarkan. Dalam hal ini yang harus dilakukan ialah
menentukan berapa luasan wilayah yang dapat diwakili oleh stasiun yang digunakan dalam
menyusun indek tersebut.
Tantangan lain ialah karena indek iklim bersifat unik, dimana indek yang disusun bersifat
spesifik lokasi, maka diperlukan waktu untuk menyusun indek iklim. Selain itu sosialisasi
kepada petani calon peserta polis sangat diperlukan untuk membangun pemahaman tentang
asuransi indek iklim dan bagaimana petani bisa memahami bahwa asuransi indek iklim tidak
hanya semata-mata untuk melindungi dari kondisi iklim buruk, tetapi juga membuka peluang
bagi petani untuk berani melakukan upaya perbaikan budidaya dan usahatani pada kondisi iklim
yang baik. Jadi petani pemegang polis asuransi indek iklim harus bisa memanfaatkan polisnya
untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari kegiatan usahataninya. Apabila keuntungan
yang diperoleh dari keikutsertaan dalam polis asuransi dengan upaya perbaikan budidaya tidak
bisa melebihi biaya premium dan biaya tambahan untuk perbaikan budidaya, maka polis asuransi
indek iklim tidak akan berkelanjutan walaupun kepada petani peserta polis diberikan subsidi
untuk membayar premi.
Menurut Martirez (2009), waktu yang diperlukan untuk persiapan dan operasionalisasi polis
asuransi indek iklim paling tidak satu tahun. Waktu yang terlama ialah untuk penyusunan indek
dan sosialisasi asuransinya kepada petani, yaitu sekitar 6 bulan (Gambar 3). Tantangan lain
ialah bagaimana dapat menarik perusahaan asuransi nasional untuk mau terjun ke bisnis asuransi
indek iklim. Untuk itu membangun pemahaman bagi perusahaan asuransi juga sangat
diperlukan.
Asuransi indek iklim pada saat ini dalam kancah negosiasi isu perubahan iklim di PBB dilihat
sebagai salah satu upaya adaptasi yang potensial untuk dikembangkan di Negara berkembang.
Perusahaan asuransi besar dunia juga sudah banyak yang mau menjadi lembaga penjamin bagi
perusahaan asuransi nasional yang mau terjun ke dalam asuransi indek iklim ini seperti Swis Re
Life Company America, Munich Reinsurance Company dan lain-lain.














Gambar 3. Proses persiapan dan pelaksanaan asuransi indek iklim (domodifikasi dari Martirez,
2009).

4. Penutup
Indonesia telah mulai mengembangkan asuransi pertanian/tanaman sejak tahun 1982, akan tetapi
belum ada satupun yang berjalan dan berhasil. Pemerintah melalui Kementrian Pertanian
mencoba kembali penerapan asuransi pertanian/tanaman tahun 2008 dan kebijakan dan dana
subsidi untuk pelaksanaan asuransi tanaman sudah dipersiapkan. Pengalaman banyak negara
sampai saat ini juga menunjukkan bahwa penerapan asuransi tanaman dengan subsidi tidak ada
yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mencoba mencari alternative
sistem asuransi lain untuk dikembangkan di bidang pertanian. Sistem asuransi indek iklim
dinilai sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena faktor iklim merupakan salah
satu faktor dominan penyebab kegagalan panen. Penelitian di banyak Negara menunjukkan
bahwa untuk Negara berkembang sistem asuransi indek iklim dinilai lebih sesuai untuk
dikembangkan.

Daftar Pustaka

Boer, R. and A.R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In V.K. Boken, A.P.
Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A
global study, pp: 330-344. Oxford University Press, New York.
Boer, R., A.R. Subbiah, K. Tamkani, H. Hardjanto, and S. Alimoeso. 2004. Institutionalizing
Climate Information Applications: Indonesia Case. Proceeding
Desain
Produk
Pemasaran
Produsk
Interview petani
Interview dengan
pemangku
kepetingan
Pengadaan data
Desain Index
Uji coba polis
Dokumentasi
pembelajaran
Penyebaran polis
Penjelasan polis
Umpan Balik
konsumen
Pembelian polis
6 bulan 3 bulan
Periode
asuransi
Monitoring index
iklim
4 bulan
Perhitungan
klaim
Perhitungan klaim
Pembayaran klaim
1 bulan
Boer, R., and Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate change: its
socio-economic aspect. Proceeding of the EEPSEA Conference On Climate Change:
Impacts, Adaptation, And Policy In South East Asia With A Focus On Economics, Socio-
Economics And Institutional Aspects, 13-15 February 2008, Bali (http://www.eepsea.cc-
sea.org)
Boer, R., Sukardi, D. Hilman dkk. 2007. Climate Variability and Climate Change And Their
Implications In Indonesia. Ministry of Environment, Jakarta.
Boer, R., W. Estiningtyas, I. Lasm A. Buono dan A. Rakhman. 2011. Penyusunan Indeks
Asuransi Iklim Untuk Pengelolaan Risiko Iklim Bagi Petani Berbasis Usaha Tani Padi.
Laporan Penelitian Kerja sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi
(KKP3T). Bogor
Chantarat, S., A. G. Mude, C. B. Barrett, and M. R. Carter. 2012. Designing Index-Based
Livestock Insurance for Managing Asset Risk in Northern Kenya. Journal of Risk and
Insurance. DOI: 10.1111/j.1539-6975.2012.01463.x.
Collier, B., J. Skees, and B. Barnett. 2009. Weather Index Insurance and Climate Change:
Opportunities and Challenges in Lower Income Countries. The Geneva Papers 34:401
424
Estiningtyas, W., R. Boer., I. Las dan A. Buono. 2012. Analisis usahatani padi untuk
mendukung pengembangan asuransi indeks iklim: Studi Kasus di Indramayu. Diterima
untuk publikasi di Jurnal Penelitian dan Pengkajian Pertanian, Balai Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian.
Hadi, P. U, C. Saleh, A.S. Bagyo, R. Hendayana, Y. Marisa dan I. Sadikin. 2000. Studi
Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Hansen, J., Sato, M., Ruedy, R., Lo,K., Lea, D.W., and Medina-Elizade, M. 2006. Global
temperature change. Proceeding of National Academy of Science 103: 14288-14293.
Hazell, P.B.R. (1992) The appropriate role of agricultural insurance in lower income countries,
Journal of International Development 4: 567581.
Hazell, P.B.R. and Skees, J.R. (2006) Insuring against bad weather: Recent thinking, in R.
Radhakrishna, S.K. Rao, S. Mahendra Dev and K. Subbarao (eds) India in a Globalising
World: Some Aspects of Macroeconomy, Agriculture, and Poverty, New Delhi:
Academic Foundation.
Hess, U. (2003) Innovative financial services for rural India: Monsoon-indexed lending and
insurance for smallholders, working paper no. 9, Agriculture and Rural Development
Department, The World Bank, Washington, DC.
Hess, U. and Syroka, J. (2005) Weather-based insurance in southern Africa: The case of Malawi,
discussion paper 13, Agriculture and Rural Development Department, The World Bank,
Washington, DC.
IFC and AIP, 2011. Weather Index Insurance for Maize Production in Eastern Indonesia: A
feasibility study. International Finance Corporation -World Bank Group and Australia
Indonesia Partnership. Jakarta, 80 p.
Kieft, J and D. Soekarjo. 2007. Food and nutritional security assessment March 2007: Initial
impact analysis of the 2006/2007 crop season in comparison to 1997/1998 and 2002/2003
El Nino events for the Eastern NTT region. A Food and Nutritional Security Assessment
Report, CARE International Indonesia, Kupang.
Martirez. 2009. Microensure, Helping the poor weather lifes storm. Bahan Tayangan.
Osgood, D, M. McLaurin, M.Carriquiry, A. Mishra, F. Fiondella, J. Hansen, N. Peterson dan N.
Ward. 2007. Designing Weather Insurance Contracts for Farmers in Malawi, Tanzania
and Kenya. Final Report to The Commodity Risk Management Group, ARD, World
Bank.
Osgood, D. 2007. Index Insurance and Climate Risk Management in Malawi. World Bank,
CRMG, IRI, CU-CRED.
Pasaribu, S, M, I. Setiajie A, N.K. Agustin, E.M. Lokollo, H. Tarigan, J. Hestina dan Y.
Supriyatna. 2010. Pengembangan Asuransi UsahaTani Padi Untuk Menanggulangi Risiko
Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Pasaribu, S.M., H.P. Saliem, E. Ariningsih. 2009. Developing agricultural insurance for rice
farming. Final Report of Project CGP/RAS/214/IFA: Pro-Poor Policy Formulation,
Dialogue and Implementation At Country Level: Indonesia. Indonesian Center for
Agriculture Socio Economic and Policy Studies (ICASEPS) and Food And Agriculture
Organization-Regional Asia and The Pacific Office (FAO-RAP), Bogor.

You might also like