You are on page 1of 80

aruh Faktor Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Mikroba

MARCH 24, 2012 BY ADMIN LEAVE A COMMENT


PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA

Tujuan :
Dapat mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba
Dapat menarik kesimpulan dan menyikapi hal tersebut jika terlibat lagi dalam proses mikrobiologi
Teori :
Kehidupan mikroorganisme umumnya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.
Ada 3 macam faktor lingkungan yang mempengaruhi, yaitu :
Faktor fisis, misalnya : suhu, pH, tekanan osmotik, kandungan oksigen dan lain-lain
Faktor kimia, misalnya senyawa beracun atau senyawa kimia lain yang berfungsi sebagai bahan
makanan
Faktor biologis, misalnya : interaksi dengan mikroba lainnya
Pengaruh Suhu
Peranan suhu terhadap pertumbuhan mikroorganisme sebenarnya merupakan petunjuk
adanyapengaruh suhu pada enzim di dalam sel mikroorganisme, Bila suhu rendah (di bawah optimum),
aktivitas enzim juga rendah dan dengan demikian pertumbuhan mikroba menjadi lambat. Pada titik
beku (di bawah minimum) semua aktivitas metrabolisme di dalam sel terhenti. Hal ini tidak hanya
disebabkan karena penghambatan aktivitas enzim secara langsung, tetapi juga karena sel kehilangan air
yang sangat diperlukan untuk penyerapan zat-zat makanan dan pengeluaran hasil-hasil buangan sel.
Mikroorganisme dapat dibedakan berdasarkan suhu optimum :
0 20 C = Psikrofil
20 50 C = Mesofil
50 100 C =Termofil
Pengaruh pH
Mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik pada jarak pH tertentu, misalnyabakteri pada pH 6,5 7,5,
khamir pada pH 4,0 4,5, sedangkan kapang pada selang pH yang lebih luas. Untuk menahan perubahan
pH, ke dalam medium sering ditambahkan larutan buffer (penyangga) dengan tujuan agar diperoleh
pertumbuhan mikroorganisme yang baik, sebab pada pH optimumnya, pertumbuhan mikroorganisme
akan terhambat.
Mikroorganisme dapat dibedakan berdasarkan pH tempat tumbuhnya :
pH asam : Asidofil
pH basa : Alkalofil
pH netral : Neutrofil
Pengaruh bahan kimia (Desinfektan)
Untuk membandingkan kekuatan desinfektan alam menghambat pertumbuhan bakteri dapat digunakan
cakram kertas. Pada cara ini cakram kertas dengan diameter tertentu dibasahi dengan desinfektan,
kemudian diletakkan pada permukaan agar dalam cawan petri yang telah di inokulasi. Kemudian
diinkubasi selama 48 jam. Jika desinfektan menghambat pertumbuhan bakteri, maka akan terlihat
daerah bening di sekeliling cakram kertas. Luas daerah benda ini menjadi ukuran kekuatan daya kerja
desinfektan
Zat makanan yang diserap bakteri, sebagian akan digunakan untuk membangun protoplasmanya
sehingga tumbuh mencapai besar tertentu kemudian membelah diri (berkembang biak)perkembangan
bakteri. Bakteri berkembang biak dengan jalan membelah diri, dari 1 menjadi 2, 2 menjadi 4
dan seterusnya. Interval waktu yang dibutuhkan bakteri untuk membelah diri berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya, misalnya:

Escherichia coli membelah diri setiap 15-29 menit
Salmonella typhy membelah diri setiap 23-24 menit
Sthaphylococcus tuberculosis membelah diri setiap 792-932 menit
Treponema pallida membelah diri setiap 1980 menit

Bila suatu jenis bakteri dalam keadaan yang baik dan makanan yang cukup dan membelah setiap 30
menit maka 1 bakteri yang membelah diri mulai jam 09.00 maka pada jam 12.00 akan menjadi 64, pada
jam 24.00 menjadi 17.000.000 dan pada jam 09.00 esok harinya menjadi 280.000.000.000.000
untunglah perkembangbiakan secepat ini tidak terjadi di alam karena banyak sekali faktor yang
memperngaruhi kehidupan bakteri.

Pengaruh Lingkungan pada Pertumbuhan dan Perkembangan Bakteri

a. Pengaruh suhu

Tiap jenis bakteri mempunyai suhu optimum di mana pertumbuhannya paling baik berdasarkan hal ini
bakteri dibagi dalam 3 golongan, yaitu:

Golongan
Suhu
Pertumbuhan

Minimun Optimum Maksimum
Psychrophil 0 10-15 30
Mesophil 15-25 25-37 40-55
Thermophil 25-45 50-60 60-90
dalam satuan derajat Celcius

bakteri-bakteri patogen pada manusi termasuk bakteri mesopil. Suhu optimumnya sama degan suhu
tubuh manusia (37 C)

1. Pengaruh suhu rendah.
Suhu rendah sampai di bawah suhu minimumnya, menyebabkan bakteri tidak dapat berkembang biak,
pada umumnya tidak segera mematikan bakteri, bahkan ada yang tahan bertahun-tahun pada minus 70
Celcius (C) Bakteri yang patogen pada manusia umunya mati pada suhu 0 C

2. Pengaruh suhu tinggi
Suhu tinggi lebih membahayakan kehidupan bakteri dibandingkan dengan suhu rendah. Bila bakteri
dipanaskan pada suhu di atas suhu maksimumnya, akan segera mati. Semua bakteri baik patogen
maupun tidak dalam bentuk vegetatifnya mati dalam waktu 30 menit pada suhu 60-65 C. Kenyataan ini
merupakan dasar tindakan pasteurisasi.

b. Cahaya

Sebagian besar bakteri adalah chemotrophe, karena itu pertumbuhannya tidak bergantung pada adanya
cahaya matahari. Pada beberapa spesies, cahaya matahari dapat membunuhnya karena pengaruh sinar
ultraviolet.

c. Pengeringan (kelembaban)

Air sangat penting untuk kehidupan bakteri terutama karena bakteri hanya dapat mengambil makanan
dari luar ke dalam bentuk larutan (holophytis). Semua bakteri tumbuh baik pada media yang basah dan
udara yang lembab, dan tidak dapat tumbuh pada media dan udara yang kering. Kenyataan
ini merupakan dasar pengawetan bahan makanan dengan pengeringan. Pada suasana kering ini
bakteri tidak dapat merombak bahan makanan yang ditempatinya. Di laboratorium bakteri atau virus
dapat dipertahankan hidup dalam keadaan kering, bila pembenihan dibekukan secara cepat kemudian
dikeringkan secara cepat pula di dalam ruang vacum (hampa udara). Cara ini penting dalam
pembentukan stok (cadangan) bakteri, virus, enzim, toxin, dan plasma darah, yang biasanya dibuat
dalam bentuk serbuk. Serbuk ini sangat lyophil (suka air) karena itu pembuatannya disebut proses
lyophil.

d. Keasaman (pH)

Umumnya asam mempunyai pengaruh buruk terhadap pertumbuhan bakteri. Kebanyakan lebih baik
hidup dalam suasana netral (pH 7,0) agau sedikit basa (pH 7,2-7,4) tetapi pada umumnya dapat hidup
pada pH 6,5-7,5. Bakteri-bakteri yang patogen pada manusia tumbuhan baik pada pH 6,8-7,4, yaitu sama
dengan pH darah. Beberapa bakteri dapat hidup pada suasana asam, misalnya bakteri yang hidup pada
gusi manusia, yaitu Streptococcus mutans. Ada pula bakteri yang tumbuh baik pada suasana basa
misalnya Vibrio cholera.

e. Pengaruh O2 dari udara

Berdasarkan responnya terhadapa 02 bebas ini, bakteri dibagi dalam 3 golongan , yaitu:
Bakteri aerob (obligate aerob), yaitu bakteri yang hanya hidup di dalam lingkungan yang mengandung
02 bebas. Misalnya: Vibrio cholera, Bacillus anthracis,Corynebacterium diptheriae.
Bakterii anaerob (obligate anaerob), yaitu bakteri yang hanya dapat hidup di dalam lingkungan yang
tidak mengandung 02 bebas. Misalnya, Clostridium tetani,treponea pallida.
Fakultatif aerob, yaitu bakteri yang hidup di dalam lingkungan, baik yang mengandung 02 bebas ataupun
tidak. Misalnya: Salmonella typhi, Neisseria meningitis dan Streptococcus pyogenes.
Bakteri-bakteri fakultatif aerob pada umumnya akan lebih baik tumbuh pada lingkungan yang
mengandung sedikit 02 bebas, karena itu lebih tepat bila dinamakan bakteri microaerophil.

f. Pengaruh tekanan osmotik

Air keluar dan masuk ke dalam bakteri melalui proses osmosis, karena perbedaan tekanan osmotik
antara cairan yang ada di dalam dengan yang ada di luar sel bakteri. Untuk kelangsungan hidupnya,
bakteri tidak mudah dipengaruhi oleh tekanan osmotik cairan di sekitarnya, karena mempunyai
membran sitoplasma yang secara aktif mengatur ke luar masuknya zat ke dalam sel bakteri, termasuk
air. Akan tetapi, larutan hipertonis di sekitar bakteri akan menyebabkan bakteri sukar atau sama sekali
tidak dapat tumbuh bahkan dapat membunuhnya. Kenyataan ini dalam kehidupan sehari-hari digunakan
untuk mengawetkan ikan asing dan dendeng.

g. Pengaruh zat kimia (desinfektan) terhadap mikroba

Mengubah permebialitas membran sitoplasma sehingga lalu-lintas zat-zat yang keluar masuk ke sel
mikroba menjadi kacau.
Oksidasi. Beberapa oksidator kuat dapat mengoksidasi unsur sel tertentu sehingga fungsi unsur itu
terganggu, misalnya mengoksidasi suatu enzim.
Terjadi ikatan kimia. Ion-ion logam tertentu dapat mengikatkan diri pada beberapa enzim sehingga
fungsi enzim itu terganggu.
Memblokir beberapa reaksi kimia. Misalnya preparat sulfa memblokir sintesa folic acid di dalam sel
mikroba.
Hydrolusa. Asam atau basa kuat dapat menghidroliskan struktur sel sehingga hancur.
Mengubah sifat koloid protoplasma sehingga menggumpal dan selnya mati.
sumber: Mikrobiologi & Parasitologi: dr. Indan Entjang: PT. Citra Aditya Bakti

Tag:

Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, Pertumbuhan dan perkembangan bakteri di alam, FAktor-
faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan bakteri, Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri, pengaruh faktor suhu
terhadap Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, Pengaruh faktor keasaman terhadap Pertumbuhan
dan perkembangan bakteri,Pengaruh faktor oksigen terhadap Pertumbuhan dan perkembangan
bakteri, Pengaruh faktor cahaya terhadap Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, Pengaruh faktor
kelembaban terhadap Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, Pengaruh faktor tekanan osmotik
terhadap Pertumbuhan dan perkembangan bakteri, pengaruh desinfektan terhadap Pertumbuhan dan
perkembangan bakteri,
LAPORAN 8 (Pengujian Viabilitas Sel Khamir dan Uji Aktivitas Ragi)
VI. PEMBAHASAN

Laporan ini akan membahas hasil praktikum pengujian viabilitas sel khamir dan uji aktivitas ragi yang
telah dilaksanakan pada tanggal 28 November 2011.
Praktikum kali ini terdapat dua perlakuan yaitu, pengujian viabilitas sel khamir dan uji aktivitas ragi roti.
Mikroba utama dalam ragi roti ini adalah jenis khamir Saccharomyces cerevisiae. Sel khamir ini memiliki
sifat-sifat fisiologi yang stabil, sangat aktif dalam memecah gula, terdispersi dalam air, mempunyai daya
tahan simpan yang lama, dan tumbuh dengan sangat cepat.
4.1 Pengujian Viabilitas Sel Khamir
Ragi yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu fermipan. Ragi fermipan dibuat menjadi suspensi.
Pada perlakuan pertama pengujian viabilitas sel khamir, bertujuan untuk mengamati jumlah sel khamir
yang hidup dan yang mati.sebelumnya 0,1 g ragi roti ditambahkan dengan 10 ml aquades steril didalam
erlenmeyer, yang selanjutnya dikocok, lalu ambil satu ose sampel dan di inokulasi pada objek
glas, suspensi ditetesi lagi dengan Methylen Blue, lalu lakukan pengamatan di bawah mikroskop. Pada
saat pengamatan di mikroskop kita dapat melihat dan membedakan antara sel khamir yang mati dan
hidup, yang ditandai dengan warna bening, yang menunjukkan sel khamir tersebut hidup dan yang
berwarna biru menunjukkan sel khamir yang mati karena menyerap metylen blue.
Jika viabilitas sel rusak, membran luar sel tidak dapat menahan cairan yang keluar masuk sel. Ini dapat
menyebabkan warna biru dari Methylen Blue masuk ke dalam sel, dan sel terlihat berwarna biru.
Sedangkan sel yang masih hidup terlihat tidak berwarna di bawah mikroskop. Sel yang masih hidup
masih memiliki viabilitas sel yang baik, sehingga membran luar selnya dapat mengatur apapun yang
keluar masuk sel. Sel khamir yang masih hidup ini dapat menahan Methylen Blue, sehingga menjadi
tidak berwarna. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa sel khamir yang mati sebanyal 33 sel
dan sel hidup sebanyak 15.
Adanya sampel yang menunjukkan sel mati lebih banyak dari sel hidup dapat dipahami mengingat
pengambilan 0,1 gram ragi diawal dilakukan secara acak. Kemungkinan bagian yang digunakan itu
adalah bagian yang sel matinya lebih banyak. Selain itu, Ruang pandang yang terbatas pada mikroskop
dapat menjadi salah satu penyebab ketidak-akuratan dalam menghitung jumlah mikroorganisme yang
hidup dan yang mati. Karena jarak pandang yang terbatas yaitu hanya sati sisi saja, tidak semua
mikroorganisme dapat terlihat dengan baik. Hal lain yang mungkin terjadi adalah kondisi lingkungan
tidak cocok untuk ragi dan penambahan alkohol untuk membersihkan objek glass menyebabkan sel
khamir banyak yang mati.
4.2 Uji Aktivitas Ragi
Praktikum selanjutnya adalah uji aktivitas ragi, untuk mengetahui pengembangan adonan dan juga
karakteristik roti itu sendiri. Pertama-tama 40 gram tepung ditambahkan 0,44 gram fermipan. Tepung
yang digunakan merupakan tepung yang memiliki kadar gluten yang tinggi sehingga cocok untuk
pembuatan roti. Campuran tepung cakra dan fermipan kemudian ditambahkan dengan aquades hangat
sedikit demi sekit hingga terbentuk adonan roti yang kalis. Adonan kalis dapat diidentifikasi dengan
terbentuknya adonan yang tidak lengket dan apabila dibelah adonan tidak menjadi pecah.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengembangan volume adonan roti yang telah dibuat. Volume
adonan dapat berkembang karena khamir menghasilkan gas CO2 yang membuat adonan
mengembang. Peningkatan volume adonan diamati setiap 10 menit selama 1 jam. Adonan dimasukkan
ke dalam gelas ukur dan ditutup dengan cling wrap.
Pengembangan volume yang meningkat dapat terjadi karena suhu adonan masih optimal bagi sel khamir
dan karena nutrisi yang dibutuhkan sel khamir masih banyak tersedia dalam tepung adonan, sehingga
pertumbuhan khamir meningkat. Hasil pengamatan dapat dlihat pada Tabel 1.





Tabel 1. Uji Aktivitas Ragi
Menit Tinggi
0 72 ml
10 74 ml
20 80 ml
30 93 ml
40 96 ml
50 97 ml
60 98 ml
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011)
Berdasarkan hasil pengamatan, tejadi pertambahan volume pada adonan setiap 10 menit, ketinggiannya
juga beratambah. Jadi memang benar bahwa dalam adonan ragi berfungsi sebagai:
Leavening agent (pengembang adonan), ragi mengkonsumsi gula dan mengubahnya menjadi gas
karbondioksida, sehingga adonan mengembang.
Memproses gluten (protein pada tepung), sehingga dapat membentuk jaringan yang dapat menahan gas
karbondioksida keluar.
Menghasilkan flavour (aroma dan rasa) pada adonan. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi, ragi
juga menghasilkan sejenis etanol yang dapat memberikan aroma khusus.
Tujuan dari gelas ukur tersebut ditutup dengan clingwarp dengan tujuan agar sel khamir dapat tumbuh
dan berkembang, karena sel khamir hanya dapat tumbuh pada lingkungan yang anaerobik, jika tidak kita
tutup maka tidak akan mengembang karena udara dapat masuk dan menghambat kerja dan
pertumbuhan sel khamir yang ada pada adonan roti. Selama pengadukan adonan dan fermentasi, ragi
roti menghasilan sedikit etanol dan gas CO2. Etanol yang dihasilkan akan menguap selama
pemanggangan, sedangkan gas CO2ditahan oleh gluten terigu sehingga roti mengembang. Semakin kuat
gluten menahan terbentuknya gas CO2, semakin mengembang volume adonan roti. Untuk
mengoptimalkan aktivitas ragi, perhatikan pula suhu pembuatan adonan. Ragi roti di dalam adonan akan
bekerja secara optimal bila suhunya di bawah 30C. Pemakaian mesin (mixer) yang terlalu lama untuk
mengaduk roti menimbulkan panas yang akan meningkatkan suhu adonan sehingga mengurangi
aktivitas ragi (yeast). Bila suhu adonan melebihi 30C, maka aktivitas ragi akan berkurang sehingga
fermentasi roti akan semakin lama. Akibatnya aroma roti menjadi asam, serat roti kasar, mudah keras,
dan roti menjadi tidak tahan lama.

V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum pengujian viabilitas sel khamir dan uji aktivitas ragi adalah sebagai berikut:
Dalam pembuatan roti, ditambahkan ragi untuk memprosesnya. Mikroba yang berperan adalah dari
spesies Saccharomyces cerevisiae.
Dalam ragi terdapat dua sel khamir, yaitu sel hidup dan sel mati.
Semakin banyak sel mati, maka semakin buruk kualitas ragi.
Ragi yang digunakan pada praktikum ini adalah ragi berkualitas buruk karena jumlah sel hidup lebih
sedikit dari sel mati.
Pada pengujian aktivitas ragi, volume adonan bertambah tiap 10 menit. Hal ini menunjukkan bahwa
aktivitas ragi memang benar-benar terjadi.
Pada pembuatan roti, ragi berfungsi sebagai pengembang adonan (ragi mengkonsumsi gula yang
menghasilkan karbondioksida), memproses gluten (membuat jaringan sehingga gas karbondioksida
tertahan didalam), dan mengahasilkan flavour (aroma dan rasa, yang terbentuk karena ragi juga
memproduksi sejenis etanol).

DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Buckle, K.A., R.A Edwards., G.H Fleet., dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo
dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Desroiser, Norman, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji Muljohardjo. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.

PERTANYAAN DAN DISKUSI

Berdasarkan pengamatan, apakah viabilitas sel khamir pada ragi yang dibuat masih tetap tinggi?Jika
tidak, apa alasannya?
Jawab : tidak tinggi viabilitasnya, sebab sudah banyak sel khamir yang mati daripada sel khamir yang
masih hidup.
Bagaimana tingkat keberhasilan pembuatan ragi roti berdasarkan cara yang telah dilakukan. Jelaskan!
Jawab : 10%. Hal ini didasarkan pada hasil uji aktivitas ragi yang telah dibuat. Ragi tersebut
hanya mengembang sedikit demi sedikit bahkan ada yang tidak mengalami pengembangan sehingga
dapat disimpulkan apabila ada komponen lain yang menghambat keberhasilan pembuatan ragi roti.
Amilase adalah sebuah enzim yang diproduksi oleh sebagian besar organisme, mulai dari bakteri hingga
manusia.
Amilase digunakan untuk memecah zat tepung menjadi gula untuk produksi energi. Suhu optimal enzim
ini akan bervariasi, tergantung pada tiap jenis organisme.
Enzim amilase umumnya bekerja maksimal pada suhu tubuh normal dan aktivitasnya akan menurun
seiring terjadinya penyimpangan dari suhu normal.
Berikut adalah hasil penelitian mengenai pengaruh suhu pada aktivitas enzim amilase yang dilakukan
pada beberapa organisme.
Pseudoalteromonas Arctica
Sekelompok peneliti mengisolasi enzim amilase dari Pseudoalteromonas Arctica, sebuah bakteri laut
lokal di Samudra Arktik yang mengelilingi pulau Spitzbergen di Norwegia.
Dalam edisi 2010 November Journal Protein, para peneliti menyatakan bahwa suhu optimal enzim
amilase pada bakteri tersebut adalah 30 derajat Celcius dan aktivitas molekul berkurang hingga 65
persen pada suhu nol derajat Celcius.
Studi ini juga melaporkan bahwa aktivitas enzim amilase menurun tajam pada suhu di atas 40 derajat
Celcius.
Heliodiaptomus viduus
Zooplankton air tawar, Heliodiaptomus viduus, mengandung sejumlah besar amilase sekitar 2.400
molekul untuk setiap gram berat badan.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam edisi Maret 2006 The Turkish Journal of Zoology melaporkan
bahwa enzim amilase dalam organisme ini akan beraktivitas maksimum antara suhu 30,25 dan 70,25
derajat Celcius pada pH 6.0.
Penelitian ini lebih lanjut melaporkan bahwa aktivitas enzimatik paling optimal terjadi pada suhu 30
derajat Celcius.
Selain itu, enzim menjadi tidak aktif pada suhu 60,25 derajat Celcius setelah dua jam dan 70,25 derajat
Celcius setelah satu jam.
Bacillus iicheniformis
Edisi Januari 1989 dari jurnal Biotechnology and Bioengineering melaporkan bahwa enzim -amilase
dari bakteri terisolasi, Bacillus iicheniformis, aktif pada berbagai rentang suhu.
Para peneliti menyesuaikan suhu suatu medium yang mengandung bakteri secara bertahap dari 4 ke 22
hingga 37 dan akhirnya 80 derajat Celcius.
Mereka menemukan bahwa aktivitas enzimatik meningkat seiring dengan suhu, sampai enzim
didenaturasi pada suhu 80 derajat Celcius.
Bacillus subtilis
Sebuah artikel yang diterbitkan dalam edisi Juli 2009 Biotechnology Progress menyelidiki potensi
penggunaan enzim amilase yang diisolasi dari Bacillus subtilis, sebagai indikator tekanan, suhu dan
waktu pada proses pasteurisasi.
Para peneliti menemukan bahwa aktivitas enzim amilase tidak mengalami hambatan pada suhu mulai
dari 10 sampai 50 derajat Celcius, tetapi menurun ketika tekanan dan waktu ditingkatkan.[]
1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka
Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk transformasi tenaga atau
pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia. Dalam mahkluk hidup, reaksi metabolisme
berlangsung dengan melibatkan suatu senyawa protein yang disebut enzim. Enzim merupakan protein
yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Fungsi
khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan
tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya
(Martoharsono, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator pada reaksi
kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi
pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi
oleh lingkungan. Salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap kerja enzim adalah pH. pH optimal
enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim
mengalami inaktivasi (Gaman & Sherrington, 1994).
Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara total
aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil. Enzim hanya aktif pada kisaran pH yang
sempit. Oleh karena itu media harus benar-benar dipelihara dengan menggunakan buffer (larutan
penyangga). Jika enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka pH optimumnya akan berbeda pada
suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim memiliki karakteristik pH optimal dan aktif
dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak kasus, bentuk kurva menandakan dari keaktifan enzim
berbanding pH yang terkandung di dalamnya (Almet & Trevor, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan sebagai
segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung
dan amilase, hewan memiliki hanya amilase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada
manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang,
menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-
1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi
dengan iodin memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu persamaan
reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan kofaktor, pH optimal,
daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau bertambahnya hasil reaksi. Penentuan
ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju
reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero order reaction) terhadap substrat. Pengamatan
reaksinya dengan berbagai cara kimia atau spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme
pengikatan substrat oleh enzim, yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced
fit(Wirahadikusumah, 1989).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim
menurun. Pada suhu 45C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana
dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan
menjelang suhu 55C fungsi katalitik enzim menjadi punah (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini juga
terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun
tidak. Karena itu pada suhu 40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan
pada suhu 100oC masih ada gumpalan gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu
ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk yang lebih sederhana.
Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa, maltotriosa atau oligosakarida. Enzim ini terdapat
dalam air liur (ptialin) dan getah pankreas yang membantu pencernaan karbohidrat dalam makanan.
Darah normal juga mengandung sedikit amilase dari hasil pemecahan sel yang berlangsung secara
normal. Pada penyakit radang pankreas, gondongan, kencing manis, kadarnya dalam darah meningkat.
Sebaliknya pada penyakit hati, kadarnya menurun (Anonim, 1990).
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengkatalisis satu
reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap
disakarida yang lain. Hanya molekul laktosa saja yang akan sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman &
Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35C dan 40C,
yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu
50C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100C semua enzim
rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak
berkurang (Gaman & Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 180-230C atau
maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk
protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan mendenaturasi enzim
(Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan kecepatan reaksi karena molekul
atom mempunyai energi yang lebih besar dan mempunyai kecenderungan untuk berpindah. Ketika
temperatur meningkat, proses denaturasi juga mulai berlangsung dan menghancurkan aktivitas molekul
enzim. Hal ini dikarenakan adanya rantai protein yang tidak terlipat setelah pemutusan ikatan yang
lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis
enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau
alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat berfungsi dalam
kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada residu terminal
karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim tidak boleh
terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan terjadinya
denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH optimum tertentu, pada umumnya sekitar 4,58, dan
pada kisaran pH tersebut enzim mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson & Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa ion anorganik, misalnya
ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim dan dikenal sebagai aktivator (Gaman
& Sherrington, 1994).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya pada tanaman yang
mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa serealia serta bahan makanan pokok.
Dimana amilase ini akan mengkatalis hidrolisis karbohidrat yang berupa pati menjadi dekstrin dan
kemudian menjadi maltosa, yang terjadi saat perkecambahan serealia. Pati yang merupakan
polisakarida dan tidak larut dalam air dingin serta membentuk koloid pada air panas memiliki reaksi
spesifik dengan iodium. Poligalakturonase, peroksidase dan fosfatase semuanya merupakan enzim yang
berfungsi menguraikan komponen kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi
(Kartasapoetra, 1994).
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia. Beberapa faktor penting yang
mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi berbagai komponen (seperti substrat, produk, enzim,
kofaktor, dll), pH, temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh pH
larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis hubungan antara kecepatan reaksi dan pH
ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng. Setiap enzim mempunyai pH optimum yang berbeda
beda (Lee, 1992).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35 C dan 40 C, yaitu
suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu
50 C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100 C semua
enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat
banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas katalisasi air penting untuk
menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak memiliki interaksi dengan
protein.
Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.
Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang berkembang dalam struktur
protein (Fox, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat diartikan sebagai
segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung
dan amylase; hewan memiliki hanya amylase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada
manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang,
menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-
1000 molekul glukosa yang saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi
dengan iodine memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, amilase pada ludah dan
pankreas berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk aligosakarida,
di mana dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh disakarida atau trisakarida dalam jumlah kecil.
Contohnya, amilase pada mamalia memiliki pH optimum 6-7, bergantung pada ada atau tidaknya ion
halogen (Whitackr, 1994).
amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :
a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi amylase akan mempercepat proses kerja dari viskositas dan perubahan
warna iodine (Whitackr, 1994).
Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa.
Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana dibutuhkan pH yang
terkontrol dan tepat ( Fardiaz, 1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk melarutkan kotoran yang masih
terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan
fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak
terjadi perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang berbeda dan
pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer, tabung reaksi, timbangan
analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch, beaker glass, vortex, cawan dan batang porselin.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan Buffer pada pH 3,5,7,9,
larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang tanah segar, kecambah kacang hijau, kecambah
kacang tanah dan pepaya (menatah dan mendidih).
2.2. Metode
Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu ditambahkan dengan 30
ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring dengan kain mori dan filtrat yang dihasilkan
ditampung. Larutan tersebut ada yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8) dan ada yang
dipanaskan (kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing tabung reaksi diberi label dan diisi
dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke dalamnya masing masing tabung berbeda yaitu 1
ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml buffer pH 5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel
di bawah ini :
Tabung
Larutan pati 2 2 2 2 2
Enzim = tidak dididihkan
(setelah inkubasi 2 menit)
4 4 4 4 4
1 Aquades 2 - - - -
2 Buffer pH 3 - 2 - - -
3 Buffer pH 5 - - 2 - -
4 Buffer pH 7 - - - 2 -
5 Buffer pH 9 - - - - 2
Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath 38oC selama 2 menit.
Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau dipanaskan tadi ditambahkan ke masing masing
tabung reaksi dan di-vortex. Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali terhadap tabungtabung reaksi
tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict ditambahkan ke setiap tabung reaksi dan diukur
besar OD ( Optical Density ) pada 620. Grafik hubungan antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas enzim, dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Kel
Tabung
1
aquades
2
pH 3
3
pH 5
4
pH 7
5
pH 9
B1 + B2 0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213
B3 + B4 1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480
B5 + B6 0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415
B7 + B8 0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146
B9 + B10 0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552
B11
B12
B13
0,9948
0,3391
0,4248
0,9458
0,2412
0,2143
0,8561
0,1957
0,5701
0,7878
0,2120
0,6078
0,9005
0,2080
0,6193
Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-B13 mengalami perlakuan
enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2 & B9 + B10 Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11
Kecambah Kacang Hijau, B5 + B6 & B12 Pepaya Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.
Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan

Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok berbeda satu dengan yang
lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada kelompok B9-B13 (enzim mendidih) jika dibandingkan
dengan nilai absorbansi kelompom B1-B8 (enzim tidak mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah
pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan kelompok B9-B13
tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak dididihkan sedangkan pada percobaan
kelompok B9-B13 enzim dididihkan dengan perlakuan pH yang sama dari percobaan tersebut terdapat
perbedaan hasil pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan dihasilkan nilai OD berada ditingkat nilai
absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada enzim yang dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada
ditingkat absorbansi yang lebih rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau
suhu, yang ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai absorbansinya
semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu tinggi. Enzim memiliki suhu optimum yaitu
sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena
merupakan salah satu bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan Tranggono & Setiadji (1989). Pada
enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi inaktif karena terjadi perubahan struktur enzim.
Sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington (1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan
40oC. Sehingga jika suhu berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari
menurunnya nilai absorbansinya.
Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH optimum untuk
melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai absorbansinya. Pada bahan yang tidak
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7, pada pepaya mentah pada
pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Sedangkan pada bahan yang
dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh
pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah
pada pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurutGaman
& Sherrington (1994) semakin besar atau basa pH yang digunakan maka semakin rendah nilai OD-nya
dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu
yang terlalu tinggi pun dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal enzim
adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami
inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau
alkalis,sedangkan aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat terjadi karena terjadi
kesalahan saat praktikum saat pengukuran absorbasi atau mungkin juga setiap bahan yang berbeda
memang memiliki pH optimumnya masing-masing.
Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35C dan 40C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di
bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50C enzim secara bertahap menjadi inaktif
karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah,
enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang, hal ini sesuai
pernyataanGaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya
dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim menurun. Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan
denaturasi protein dan hilangnya secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan
panas terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan menggunakan larutan
buffer inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan tepat.
5. KESIMPULAN
Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja enzim optimum, karena
suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara total
aktivitas enzim.
Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan mengalami aktivasi saat
penambahan pH.
Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim yang dipengaruhi oleh pH
dan suhu tertentu.
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.
Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada university Press.
Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang Company. United
States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Thermal Death Time (TDT)
Golongan bakteri yang dapat hidup pada batas-batas temperature yang sempit,
misalnya Gonococcus yang hanya dapat hidup pada kisaran 30-40oC. golongan mikroba yang memiliki
batas temperatur minimum dan maksimum tidak telalu besar, disebut stenotermik. Tetapi Escherichia
coli tumbuh pada kisaran temperatur 8-46oC, sehingga beda (rentang) antara temperatur minimum
besar, inilah yang disebut golongan euritermik. Bila mikroba dipiara dibawah temperatur minimum atau
sedikit diatas temperatur maksimum tidak segera mati, melainkan dalam keadaan dormansi (tidur).
Berdasarkan daerah aktivitas temperatur, mikroba di bagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Mikroba psirkofilik (kryofilik) adalah golongan mikroba yang dapat tumbuh pada daerah
temperatur antara 0 C sampai 30 C, dengan temperatur optimum 15 C. kebanyakan golongan ini
tumbuh d tempat-tempat dingin, baik di daratan maupun di lauatan.
b. Mikroba mesofilik adalah golongan mikroba yang mempunyai temperatur optimum pertumbuhan
antara 25 C-37 C minimum 15 C dan maksimum di sekitar 55 C. umumnya hidup di dalam alat
pencernaan, kadang-kadang ada juga yang dapat hidup dengan baik pada temperatur 40 C atau lebih.
c. Mikroba termofilik adalah golongan mikroba yang dapat tumbuh pada daerah temperature tinngi,
optimum 55C-60 C, minmum 40 C, sedangkan maksimum 75 C. golongan ini terutama terdapat di dalam
sumber-sumber air panas dan tempat-tempat lain yang bertemperatur lebih tinggi dari 55 C.
Grafik pertumbuhan mikroba pada berbagai kisaran suhu pertumbuhan
Temperatur tinggi melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim.
Hal ini akan menyebabkan terhentinya metabolisme. Dengan nilai temperatur yang melebihi maksimum,
mikroba akan mengalami kematian. Titik kematian termal suatu jenis mikroba (Thermal Death Point)
adalah nilai temperatur serendah-rendahnya yang dapat mematikan jenis mikroba yang berada dalam
medium standar selama 10 menit dalam kondisi tertentu. Laju kematian termal (thermal Deat Rate)
adalah kecepatan kematian mikroba akibat pemberian temperatur. Hal ini karena tidak semua spesies
mati bersama-sama pada suatu temperatur tertentu. Biasanya, spesies yang satu lebih tahan dari pada
yang lain terhadap suatu pemanasan, oleh karena itu masing-masing spesies itu ada angka kematian
pada suatu temperatur. Waktu kematian temal (Thermal Death Time) merupakan waktu yang
diperlukan untuk membunuh suatu jenis mikroba pada suatu temperatur yang tetap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi titik kematian termal antara lain ialah waktu, temperatur,
kelembaban, bentuk dan jenis spora, umur mikrroba, pH dan komposisi medium. Contoh waktu
kematian thermal (TDT/ thermal death time) untuk beberapa jenis bakteri adalah sebagai berikut :
Nama mikroba Waktu
(menit)
Suhu (0C)
Escherichia coli 20-30 57
Staphylococcus aureus 19 60
Spora Bacilus subtilis 20-50 100
Spora Clostridium botulinum 100-330 100

KARAKTERISTIK BACILLUS SUBTILIS
Bacillus subtilis termasuk jenis Bacillus. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif, katalase positif yang
umum ditemukan di tanah. Bacillus subtilis mempunyai kemampuan untuk membentuk endospora yang
protektif yang memberi kemampuan bakteri tersebut mentolerir keadaan yang ekstrim. Tidak seperti
species lain seperti sejarah, Bacillus subtilis diklasifikasikan sebagai obligat anaerob walau penelitian
sekarang tidak benar. Bacillus subtilis tidak dianggap sebagai patogen walaupun kontaminasi makanan
tetapi jarang menyebabkan keracunan makanan. Sporanya dapat tahan terhadap panas tinggi yang
sering digunakan pada makanan dan bertanggung jawab terhadap kerusakan pada roti.

Bacillus subtilis selnya berbentuk basil, ada yang tebal dan yang tipis. Biasanya bentuk rantai atau
terpisah. Sebagian motil dan adapula yang non motil. Semua membentuk endospora yang berbentuk
bulat dan oval. Baccillus subtlis merupakan jenis kelompok bakteri termofilik yang dapat tumbuh pada
kisaran suhu 45 C 55 C dan mempunyai pertumbuhan suhu optimum pada suhu 60 C 80 .
Definisi mikroba adalah sebagai ilmu yang mempelajari tentang organisme mikroskopis. Mikrobiologi
berasal dari bahasa Yunani, mikros = kecil, bios = hidup dan logos = ilmu. Ilmuwan menyimpulkan bahwa
mikroorganisme sudah dikenal lebih kurang 4 juta tahun yang lalu dari senyawa organik kompleks yang
terdapat di laut, atau mungkin dari gumpalan awan yang sangat besar yang mengelilingi bumi. Sebagai
makhluk hidup pertama di bumi, mikroorganisme diduga merupakan nenek moyang dari semua
makhluk hidup. Awal perkembangan ilmu mikrobiologi pada pertengahan abad 19 oleh beberapa
ilmuwan dan telah membuktikan bahwa mikroorganisme berasal dari mikroorganisme sebelumnya
bukan dari tanaman ataupun hewan yang membusuk. Selanjutnya ilmuwan membuktikan bahwa
mikroorganisme bukan berasal dari proses fermentasi tetapi merupakan penyebab proses fermentasi,
misalnya buah anggur menjadi minuman yang mengandung alkohol. Ilmuwan juga menemukan bahwa
mikroba tertentu menyebabkan penyakit tertentu. Pengetahuan ini merupakan awal pengenalan
dan pemahaman akan pentingnya mikroorganisme bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Awal
abad 20 ahli mikrobiologi telah meneliti bahwa mikroorganisme mampu menyebabkan berbagai macam
perubahan kimia baik melalui penguraian maupun sintesis senyawa organik yang baru. Hal inilah yang
disebut dengan biohemial divesity atau keaneka ragaman biokimia yang menjadi ciri khas
mikroorganisme. Disamping itu, yang penting lainnya adalah mekanisma kimia oleh mikroorganisme
sangat mirip dengan unity in biochemistry yang artinya bahwa proses biokimia pada mikroorganisme
adalah sama dengan proses biokimia pada semua makhluk hidup termasuk manusia. Bukti yang lebih
baru menunjukkan bahwa informasi genetik pada semua organisme dari mikroba hingga manusia adalah
DNA.
Pengambilan informasi genetika dari mikrorganisme karena sifatnya sederhana dan
perkembangbiakan yang sangat cepat serta adanya berbagai variasi metabolisma. Saat ini
mikroorganisme diteliti secara insentif untuk mengetahui dasar fenomena biologi. Mikroorganisme juga
merupakan sebagai sumber produk dan proses yang menguntungkan masyarakat, misalnya: alkohol
yang dihasilkan melalui proses fermentasi dapat digunakan sebagai sumber energi. Strain-strain dari
mikroorganisme yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika dapat diterima. Sekarang insulin yang
dibutuhkan manusia dapat diproduksi dalam jumlah tak terhingga oleh bakteri yang telah direkayasa.
Mikroorganisme juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk membersihkan lingkungan, misalnya:
dari tumpukan minyak di lautan dipergunakan sebagai herbisida dan insektisida di bidang pertanian. Hal
ini karena mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk mendekomposisi/menguraikan senyawa
kimia komplek. Kemampuan mikroorganisme yang telah direkayasa untuk tujuan tertentu
menjadikan lahan baru dalam mikrobiologi industri yang dikenal dengan bioteknologi. Jika anda
membaca tentang mikroorganisme anda akan menghargai, mengagumi mikroorganisme seperti bakteri,
alga, protozoa dan virus merupakan organisme yang sering tidak terlihat. Beberapa diantaranya bersifat
patogen bagi manusia, hewan maupun tumbuhan. Beberapa dapat menyebabkan lapuknya kayu dan
besi. Tetapi banyak diantaranya berperan penting dalam lingkungan sebagai dekomposer. Beberapa
diantaranya digunakan dalam menghasilkan (manufacture) substansi yang penting di bidang kesehatan
maupun industri makanan.
Leewenhoek dan Mikroskopnya
Antony van Leeuwenhoek (16321723) sebenarnya bukan peneliti atau ilmuwan yang profesional.
Profesi sebenarnya adalah sebegai wine terster di kota Delf, Belanda. Ia biasa menggunakan kaca
pembesar untuk mengamati serat-serat pada kain. Sebenarnya ia bukan 3 orang pertama dalam
penggunaan mikroskop, tetapi rasa ingin tahunya yang besar terhadap alam semesta menjadikannya
salah seorang penemu mikrobiologi.
Leewenhoek menggunakan mikroskopnya yang sangat sederhana untuk mengamati air sungai, air
hujan, saliva, feses dan lain sebagainya. Ia tertarik dengan banyaknya benda-benda bergerak tidak
terlihat dengan mata biasa. Ia menyebut benda-benda bergerak tadi dengan animalcule yang
menurutnya merupakan hewan-hewan yang sangat kecil. Penemuan ini membuatnya lebih antusias
dalam mengamati benda-benda tadi dengan lebih meningkatkan fungsi mikroskopnya. Hal ini dilakukan
dengan menumpuk lebih banyak lensa dan memasangnya di lempengan perak. Akhirnya Leewenhoek
membuat 250 mikroskop yang mampu memperbesar 200300 kali. Leewenhoek mencatat dengan teliti
hasil pengamatan tersebut dan mengirimkannya ke British Royal Society. Salah satu isi suratnya yang
pertama pada tanggal 7 September 1974 ia menggambarkan adanya hewan yang sangat kecil, sekarang
dikenal dengan protozoa. Antara tahun 16321723 ia menulis lebih dari 300 surat yang melaporkan
berbagai hasil pengamatannya. Salah satu diantaranya adalah bentuk batang, kokus maupun spiral yang
sekarang dikenal dengan bakteri.
Penemuan-penemuan tersebut membuat dunia sadar akan adanya bentuk kehidupan yang sangat
kecil dan akhirnya melahirkan ilmu mikrobiologi. Penemuan Leewenhoek tentang animalcules menjadi
perdebatan dari mana asal animalcules tersebut. Ada dua pendapat, satu mengatakan animacules ada
karena proses pembusukan tanaman atau hewan, melalui fermentasi misalnya. Pendapat ini
mendukung teori yang mengatakan bahwa makhluk hidup berasal dari proses benda mati melalui
abiogenesis. Konsep ini dikenal dengan generatio spontanea. Kedua mengatakan bahwa animalcules
berasal dari animalcules sebelumnya seperti halnya organismea tingkat tinggi. Pendapat atau teori ini
disebut biogenesis. Mikrobiologi tidak berkembang sampai perdebatan tersebut terselesaikan dengan
dibuktikannya kebenaran teori biogenesis. Pembuktian ini dilakukan berbagai macam eksperimen yang
nampaknya sederhana tetapi memerlukan waktu labih dari 100 tahun.
.
Mikroba Dengan Lingkungan
Semua makhluk hidup sangat bergantung pada lingkungan sekitar, demikian juga jasat renik. Makhluk-
makhluk halus ini tidak dapat sepenuhnya menguasai faktor-faktor lingkungan, sehingga untuk hidupnya
sangat bergantung kepada lingkungan sekitar. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari faktor
lingkungan adalah dengan cara menyesuaikan diri (adaptasi) kepada pengaruh faktor dari luar.
Penyesuaian mikroorganisme terhadap faktor lingkungan dapat terjadi secara cepat dan ada yang
bersifat sementara, tetapi ada juga perubahan itu bersifat permanen sehingga mempengaruhi bentuk
morfologi serta sifat-sifat fisiologik secara turun menurun.
Kehidupan mikroba tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, akan tetapi juga mempengaruhi
keadaan lingkungan. Misalnya, bakteri termogenesis menimbulkan panas di dalam medium tempat
tumbuhnya. Beberapa mikroba dapat pula mengubah pH dari medium tempat hidupnya, perubahan ini
dinamakan perubahan secara kimia. Aktivitas mikroba dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya.
Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan fisiologi mikroba. Beberapa
kelompok mikroba sangat resisten terhadap perubahan faktor lingkungan. Mikroba tersebut dapat
dengan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Faktor lingkungan meliputi faktor-faktor
abiotik (fisika dan kimia), dan faktor biotik.
Faktor faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
1. Pengaruh Suhu atau Temperatur
Masing-masing mikrobia memerlukan suhu tertentu untuk hidupnya. Suhu pertumbuhan suatu mikrobia
dapat di bedakan dalam suhu minimum, optimum dan maksimum. Berdasarkan atas perbedaan suhu
pertumbuhannya dapat di bedakan mikrobia yang psikhrofil, mesofil, dan termofil. Untuk tujuan
tertentu suatu mikrobia perlu di tentukan titik kematian termal (thermal death point) dan waktu
kematian termal (thermal death time)-nya. Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama bagi tiap-tiap
spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan medium
pada suhu 60C, sebaliknya ,bakteri yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu
tetap hidup setelah di panasi dengan uap 100C atau lebih selama kira-kira setengah jam. Untuk
sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk membunuh setiap spesies bakteri ialah
pemanasan selama 15 menit dengan tekanan 15 pound serta suhu 121C di dalam autoklaf.
Di dalam keadaan basah, maka protein dari bakteri lebih cepat menggumpal daripada di dalam
keadaan kering, pada temperatur yang sama. Berdasarkan ini, maka sterilisasi barang-barang gelas di
dalam oven kering itu memerlukan suhu yang lebih tinggi daripada 121 C dan waktu yang lebih lama
daripada 15 menit. Sedikit perubahan pH menuju ke asam atau ke basa itu sangat berpengaruh kepada
pemanasan. Berhubung dengan ini, maka buah-buahan yang masam itu lebih mudah disterilisasikan
daripada sayur-sayur atau daging. Untuk menentukan suhu maut bagi bakteri orang mengambil
pedoman sebagai berikut: Suhu maut (Thermal Death Point) ialah suhu yang serendahrendahnya yang
dapat membunuh bakteri yang berada di dalam standard medium selama 10 menit.Tapi tidak semua
individu dari suatu spesies itu mati bersama-sama pada suatu suhu tertentu. Biasanya, individu yang
satu lebih tahan daripada individu yang lain terhadap suatu pemanasan. Sebaliknya jika suatu standard
suhu sudah ditentukan seperti pada perusahaan pengawetan makanan atau dalam perusahaan susu,
maka lamanya pemanasan merupakan faktor yang berbeda-beda bagi tiap-tiap spesies. Biasanya
standard suhu itu diatas titik didih dan pemanasan setinggi ini perlu bagi pemusnahan bakteri yang
berspora. Umumnya bakteri lebih tahan suhu rendah daripada suhu tinggi. Hanya beberapa spesies
neiseria mati karena pendinginan sampai 0 C dalam kedaan basah. Bakteri patogen yang biasa hidup di
dalam tubuh hewan atau manusia dapat bertahan sampai beberapa bulan pada suhu titik
beku. Pembekuan itu sebenarnya tidak berpengaruh kepada spora, karena spora sangat sedikit
mengandung air. Pembekuan bakteri di dalam air lebih cepat membunuh bakteri daripada kalau
pembekuan itu di dalam buih, buih tidak membeku sekeras air beku. Bahwa pembekuan air itu
menyebabkan kerusakan mekanik pada bakteri mudahlah dimaklumi, tentang efek yang lain misalnya
secara kimia, kita belum tahu. Pembekuan secara perlahan-lahan dalam suhu -16C ( es campur garam )
lebih efektif dari pada pembekuan secara mendadak dalam udara beku (-190C). Juga pembekuan
secara terputus-putus ternyata lebih efektif dari pada pembekuan secara terus menerus. Sebagai
contoh, piaraan basil tipus mati setelah dibekukan putus putus dalam waktu 2 jam, sedang piaraan itu
dapat bertahan beberapa minggu dalam keadaan beku terus-menerus. Mengenai pengaruh suhu
terhadap kegiatan fisiologi, maka seperti halnya dengan mahluk-mahluk lain, mikrooganisme pun dapat
bertahan di dalam suatu batas-batas suhu tertentu. Batas-batas itu ialah suhu minimum dan suhu
maksimum, sedang suhu yang paling baik bagi kegiatan hidup itu disebut suhu optimum.

GRAFIK SUHU PADA BAKTERI
Berdasarkan itu adalah tiga golongan bakteri, yaitu:

Bakteri termofil (politermik), yaitu bakteri yang tumbuh dengan baik sekali pada suhu setinggi 55
sampai 65C, meskipun bakteri ini juga dapat berbiak pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi daripada
itu, yaitu dengan batas-batas 40C sampai 80C. Golongan ini terutama terdapat didalam sumber air
panas dan tempat-tempat lain yang bersuhu lebih tinggi dari 55C.

Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang hidup baik di antara 5 dan 60C, sedang suhu
optimumnya ialah antara 25 sampai 40C, minimum 15C dan maksimum di sekitar 55C. Umumnya
hidup di dalam alat pencernaan, kadang-kadang ada juga yang dapat hidup dengan baik pada suhu 40C
atau lebih.

Bakteri psikrofil (oligotermik), yaitu bakteri yang dapat hidup di antara 0 sampai 30C, sedang suhu
optimumnya antara 10 sampai 20C. Kebanyakan dari golongan ini tumbuh di tempat-tempat dingin
baik di daratan ataupun di lautan.
Golongan bakteri yang dapat hidup pada batas-batas suhu yang sempit, misalnya,Gonococcus itu hanya
dapat hidup subur antara 30 dan 40 C, jadi batas antara minimum dan maksimum tidak terlampau
besar, maka bakteri semacam itu kita sebut stenotermik. Sebaliknya Escherichia coli tumbuh baik antara
8 C sampai 46C, jadi beda antara minimum dan maksimum suhu di sini ada lebih besar daripada yang
di sebut di atas, maka Escherichia coli itu termasuk golongan bakteri yang kita sebut euritermik. Pada
umumnya dapat di pastikan, bahwa suhu optimum itu lebih mendekati suhu maksimum daripada suhu
minimum.Hal ini nyata benar bagi Gonococcus dan Escherichia coli, keduanya mempunyai optimum
suhu 37 C.

BAKTERI GONOCOCCUS

BAKTERI ESCHERICHIA COLI
Bakteri yang diplihara di bawah Temperatur tinggi melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan
denaturasi protein dan enzim. Hal ini akan menyebabkan terhentinya metabolisme. Dengan nilai
temperatur yang melebihi maksimum, mikroba akan mengalami kematian. Titik kematian termal suatu
jenis mikroba (Thermal Death Point) adalah nilai temperatur serendah-rendahnya yang dapat
mematikan jenis mikroba yang berada dalam medium standar selama 10 menit dalam kondisi tertentu.
Laju kematian termal (thermal Deat Rate) adalah kecepatan kematian mikroba akibat pemberian
temperatur. Hal ini karena tidak semua spesies mati bersama-sama pada suatu temperatur tertentu.
Biasanya, spesies yang satu lebih tahan dari pada yang lain terhadap suatu pemanasan, oleh karena itu
masing-masing spesies itu ada angka kematian pada suatu temperatur. Waktu kematian temal (Thermal
Death Time) merupakan waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu jenis mikroba pada suatu
temperatur yang tetap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi titik kematian termal antara lain ialah waktu, temperatur,
kelembaban, bentuk dan jenis spora, umur mikrroba, pH dan komposisi medium. Contoh waktu
kematian thermal (TDT/ thermal death time) untuk beberapa jenis bakteri adalah sebagai berikut :
Nama mikroba Waktu
(menit)
Suhu (0C)
Escherichia coli 20-30 57
Staphylococcus aureus 19 60
Spora Bacilus subtilis 20-50 100
Spora Clostridium botulinum 100-330 100

2. Kelembaban dan Pengaruh Kebasahan serta Kekeringan
Mikroba yang tahan kekeringan adalah yang dapat membentuk spora, konidia atau dapat membentuk
kista. Bakteri sebenarnya mahluk yang suka akan keadaan basah, bahkan dapat hidup di dalam air.
Hanya di dalam air yang tertutup mereka tak dapat hidup subur, hal ini di sebabkan karena kurangnya
udara bagi mereka. Tanah yang cukup basah baiklah bagi kehidupan bakteri. Banyak bakteri yang mati
jika terkena udara kering. Meningococcus,yaitu bakteri yang menyebabkan meningitis, itu mati dalam
waktu kurang daripada satu jam, jika digesekkan di atas kaca obyek. Sebaliknya,spora-spora bakteri
dapat bertahan beberapa tahun dalam keadaan kering.
Pada proses pengeringan, air akan menguap dari protoplasma. Sehingga kegiatan metabolisme berhenti.
Pengeringan dapat juga merusak protoplasma dan mematikan sel. Tetapi ada mikrobia yang dapat tahan
dalam keadaan kering, misalnya mikrobia yang membentuk spora dan dalam bentuk kista. Adapun
syarat-syarat yang menentukan matinya bakteri karena kekeringan itu ialah Bakteri yang ada dalam
medium susu, gula, daging kering dapat bertahan lebih lama daripada di dalam gesekan pada kaca
obyek. Demikian pula efek kekeringan kurang terasa, apabila bakteri berada di dalam sputum ataupun di
dalam agar-agar yang kering. Pengeringan ditempat yang terang itu pengaruhnya lebih buruk daripada
pengeringan ditempat yang gelap. Pengeringan pada suhu tubuh (37C) atau suhu kamar (+ 26 C) lebih
buruk daripada pengeringan pada suhu titik-beku. Pengeringan di dalam udara efeknya lebih buruk
daripada pengeringan di dalam vakum ataupun di dalam tempat yang berisi nitrogen.
3. Pengaruh Perubahan Nilai Osmotik
Tekanan osmosis sebenarnya sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Apabila mikroba
diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami plasmolisis, yaitu terkelupasnya
membran sitoplasma dari dinding sel akibat mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan
hipotonis, maka sel mikroba akan mengalami plasmoptisa, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke
dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah. Berdasarkan tekanan osmose yang diperlukan dapat
dikelompokkan menjadi (1) mikroba osmofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar gula tinggi,
(2) mikroba halofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar garam halogen yang tinggi, (3)
mikroba halodurik, adalah kelompok mikroba yang dapat tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh
pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat mencapai 30 %. Contoh mikroba osmofil adalah
beberapa jenis khamir. Khamir osmofil mampu tumbuh pada larutan gula dengan konsentrasi lebih dari
65 % (aw = 0,94). Contoh mikroba halofil adalah bakteri yang termasuk Archaebacterium,
misalnya Halobacterium. Bakteri yang tahan pada kadar garam tinggi, umumnya mempunyai kandungan
KCl yang tinggi dalam selnya. Selain itu bakteri ini memerlukan konsentrasi Kalium yang tinggi untuk
stabilitas ribosomnya. Bakteri halofil ada yang mempunyai membran purple bilayer, dinding selnya
terdiri dari murein, sehingga tahan terhadap ion Natrium.
4. Kadar Ion Hidrogen (pH)
Mikroba umumnya menyukai pH netral (pH 7). Beberapa bakteri dapat hidup pada pH tinggi (medium
alkalin). Contohnya adalah bakteri nitrat, rhizobia, actinomycetes, dan bakteri pengguna urea. Hanya
beberapa bakteri yang bersifat toleran terhadap kemasaman, misalnya Lactobacilli,
Acetobacter, dan Sarcina ventriculi. Bakteri yang bersifat asidofil misalnya Thiobacillus. Jamur umumnya
dapat hidup pada kisaran pH rendah. Apabila mikroba ditanam pada media dengan pH 5 maka
pertumbuhan didominasi oleh jamur, tetapi apabila pH media 8 maka pertumbuhan didominasi oleh
bakteri.
Atas dasar daerah-daerah pH bagi kehidupan mikroorganisme dibedakan menjadi 3 golongan besar
yaitu:
Mikroorganisme yang asidofilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0-5,0
Mikroorganisme yang mesofilik (neutrofilik), yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 5,5-8,0
Mikroorganisme yang alkalifilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4-9,5 Suhu,
lingkungan, gas dan pH adalah faktor-faktor fisik utama yang harus dipertimbangkan di dalam
penyediaan kondisi optimum bagi pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri.
Nama mikroba Ph
minimum optimum Maksimum
Escherichia coli 4,4 6,0-7,0 9,0
Proteus vulgaris
Enterobacter aerogenes
Pseudomonas aeruginosa
Clostridium sporogenes
Nitrosomonas spp
Nitrobacter spp
Thiobacillus Thiooxidans
Lactobacillus acidophilus
4,4
4,4
5,6
5,0-5,8
7,0-7,6
6,6
1,0
4,0-4,6
6,0-7,0
6,0-7,0
6,6-7,0
6,0-7,6
8,0-8,8
7,6-8,6
2,0-2,8
5,8-6,6
8,4
9,0
8,0
8,5-9,0
9,4
10,0
4,0-6,0
6,8
Untuk menumbuhkan mikroba pada media memerlukan pH yang konstan, terutama pada mikroba yang
dapat menghasilkan asam. Misalnya Enterobacteriaceae dan beberapaPseudomonadaceae. Oleh
karenanya ke dalam medium diberi tambahan buffer untuk menjaga agar pH nya konstan. Buffer
merupakan campuran garam mono dan dibasik, maupun senyawa-senyawa organik amfoter. Sebagai
contoh adalah buffer fosfat anorganik dapat mempertahankan pH diatas 7,2. Cara kerja buffe adalah
garam dibasik akan mengadsorbsi ion H+ dan garam monobasik akan bereaksi dengan ion OH-

5. Tegangan Muka
Tegangan muka mempengaruhi cairan sehingga permukaan cairan tersebut menyerupai membran yang
elastis. Seperti telah diketahui protoplasma mikroba terdapat di dalam sel yang dilindungi dinding sel,
maka apabila ada perubahan tegangan muka dinding sel akan mempengaruhi pula permukaan
protoplasma. Akibat selanjutnya dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan bentuk morfologinya.
Zat-zat seperti sabun, deterjen, dapat mengurangi tegangan muka cairan/larutan. Umumnya mikroba
cocok pada tegangan muka yang relatif tinggi.

6. Pengaruh Sinar
Kebanyakan bakteri tidak dapat mengadakan fotosintesis, bahkan setiap radiasi dapat berbahaya bagi
kehidupannya. Sinar yang nampak oleh mata kita, yaitu yang bergelombang antara 390 m sampai 760
m , tidak begitu berbahaya; yang berbahaya ialah sinar yang lebih pendek gelombangnya, yaitu yang
bergelombang antara 240 m sampai 300 m . Lampu air rasa banyak memancarkan sinar
bergelombang pendek ini. Lebih dekat, pengaruhnya lebih buruk. Dengan penyinaran pada jarak dekat
sekali, bakteri bahkan dapat mati seketika, sedang pada jarak yang agak jauh mungkin sekali hanya
pembiakannya sajalah yang terganggu. Spora-spora dan virus lebih dapat bertahan terhadap sinar ultra-
ungu. Sinar ultra-ungu biasa dipakai untuk mensterilkan udara, air, plasma darah dan bermacam-macam
bahan lainya. Suatu kesulitan ialah bahwa bakteri atau virus itu mudah sekali ketutupan benda-benda
kecil, sehingga dapat terhindar dari pengaruh penyinaran. Alangkah baiknya, jika kertas-kertas
pembungkus makanan, ruang-ruang penyimpan daging, ruang-ruang pertemuan, gedung-gedung
bioskop dan sebagainya pada waktu-waktu tertentu dibersihkan dengan penyinaran ultra-ungu.
Faktor faktor kimia yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
Pada umumnya kerusakan bakteri dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
A. Oksidasi
Zat zat seperti H2O2,Na2BO4 mudah benar melepaskan O2 untuk menimbulkan oksidasi. Klor didalam
air menyebabkan bebasnya O2, sehingga zat ini merupakan desinfektan.
B. Koagulasi atau penggumpalan protein
Zat seperti perak, tembaga dan zat-zat organik seperti fenol, etanol menyebabkan terjadinya
penggumpalan protein. Dan protein yang menggumpal itu telah mengalami denaturasi dan tidak dapat
berfungsi lagi.
C. Depresi dan ketegangan permukaan
Sabun dapat mengurangi ketegangan permukaan oleh karena itu dapat menyebabkan hancurnya
bakteri.
Beberapa Desinfektan dan Antiseptic adalah sebagai berikut :
a. Fenol Dan Senyawa-Senyawa Lain Yang Sejenis
Larutan fenol 2 sampai 4% berguna bagi desinfektan. Kresol atau kreolin lebih baik khasiatnya
daripada fenol. Lisol ialah desinfektan yang berupa campuran sabun dengan kresol; lisol lebih banyak
digunakan daripada desinfektan-desinfektan yang lain. Karbol ialah lain untuk fenol. Seringkali orang
mencampurkan bau-bauan yang sedap, sehingga desinfektan menjadi menarik.
b. Formaldehida (CH2O)
Suatu larutan formaldehida 40% biasa disebut formalin. Desinfektan ini banyak sekali digunakan
untuk membunuh bakteri, virus, dan jamur. Formalin tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh
manusia, akan tetapi banyak digunakan untuk merendam bahanbahan laboratorium, alat-alat seperti
gunting, sisir dan lain-lainnya pada ahli kecantikan.
c. Alkohol
Etanol murni itu kurang daya bunuhnya terhadap bakteri. Jika dicampur dengan air murni,
efeknya lebih baik. Alcohol 50 sampai 70% banyak digunakan sebagai desinfektan.
d. Yodium
Yodium-tinktur, yaitu yodium yang dilarutkan dalam alcohol, banyak digunakan orang untuk
mendesinfeksikan luka-luka kecil. Larutan 2 sampai 5% biasa dipakai. Kulit dapat terbakar karenanya ,
oleh sebab itu untuk luka-luka yang agak lebar tidak digunakan yodium-tinktur.

e. Klor Dan Senyawa Klor
Klor banyak digunakan untuk sterilisasi air minum. Persenyawaan klor dengan kapur atau natrium
merupakan desinfektan yang banyak dipakai untuk mencuci alat-alat makan dan minum.

f. Zat Warna
Beberapa macam zat warna dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada umumnya bakteri
gram positif iktu lebih peka terhadap pengaruh zat warna daripada bakteri gram negative. Hijau berlian,
hijau malakit, fuchsin basa, kristal ungu sering dicampurkan kepada medium untuk mencegah
pertumbuhan bakteri gram positif. Kristal ungu juga dipakai untuk mendesinfeksikan luka-luka pada
kulit. Dalam penggunaan zat warna perlu diperhatikan supaya warna itu tidak sampai kena pakaian.
g. Obat Pencuci (Detergen)
Sabun biasa itu tidak banyak khasiatnya sebagai obat pembunuh bakteri, tetapi kalau dicampur
dengan heksaklorofen daya bunuhnya menjadi besar sekali. Sejak lama obat pencuci yang mengandung
ion (detergen) banyak digunakan sebagai pengganti sabun. Detergen bukan saja merupakan
bakteriostatik, melainkan juga merupakan bakterisida. Terutama bakteri yang gram positif itu peka
sekali terhadapnya. Sejak 1935 banyak dipakai garam amonium yang mengandungempat bagian.
Persenyawaan ini terdiri atas garam dari suatu basa yang kuat dengan komponen-komponen. Garam ini
banyak sekali digunakan untuk sterilisasi alat-alat bedah, digunakan pula sebagai antiseptik dalam
pembedahan dan persalinan, karena zat ini tidak merusak jaringan, lagipula tidak menyebabkan sakit.
Sebagai larutan yang encer pun zat ini dapat membunuh bangsa jamur, dapat pula beberapa genus
bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Agaknya alkil-dimentil bensil-amonium klorida makin lama
makin banyak dipakai sebagai pencuci alat-alat makan minum di restoran-restoran. Zat ini pada
konsentrasi yang biasa dipakai tidak berbau dan tidak berasa apa-apa.

h. Sulfonamida
Sejak 1937 banyak digunakan persenyawaan-persenyawaan yang mengandung belerang sebagai
penghambat pertumbuhan bakteri dan lagi pula tidak merusak jaringan manusia. Terutama bangsa
kokus seperti Streptococcus yang menggangu tenggorokan,Pneumococcus, Gonococcus, dan
Meningococcus sangat peka terhadap sulfonamida.Penggunaan obat-obat ini, jika tidak aturan akan
menimbulkan gejalagejala alergi, lagi pula obat-obatan ini dapat menimbulkan golongan bakteri menjadi
kebal terhadapnya. Khasiat sulfonamida itu terganggu oleh asam-p-aminobenzoat. Asam-p-
aminobenzoat memegangperanan sebagai pembantu enzim-enzim pernapasan, dalam hal itu dapat
terjadi persaingan antara sulfanilamide dan asam-paminobenzoat. Sering terjadi, bahwa bakteri yang
diambil dari darah atau cairan tubuh orang yang habis diobati dengan sulfanilamide itu tidak dapat
dipiara di dalam medium biasa. Baru setelah dibubuhkan sedikit asam-p-aminobenzoat ke dalam
medium tersebut, bakteri dapat tumbuh biasa.
Faktor faktor Biologi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
a. Netralisme
Netralisme adalah hubungan antara dua populasi yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat
terjadi pada kepadatan populasi yang sangat rendah atau secara fisik dipisahkan dalam mikrohabitat,
serta populasi yang keluar dari habitat alamiahnya. Sebagai contoh interaksi antara
mikroba allocthonous (nonindigenous) dengan mikroba autochthonous(indigenous), dan antar
mikroba nonindigenous di atmosfer yang kepadatan populasinya sangat rendah. Netralisme juga terjadi
pada keadaan mikroba tidak aktif, misal dalam keadaan kering beku, atau fase istirahat (spora, kista).
b. Komensalisme
Hubungan komensalisme antara dua populasi terjadi apabila satu populasi diuntungkan tetapi
populasi lain tidak terpengaruh. Contohnya adalah:
Bakteri Flavobacterium brevis dapat menghasilkan ekskresi sistein. Sistein dapat digunakan
oleh Legionella pneumophila.
Desulfovibrio mensuplai asetat dan H2 untuk respirasi anaerobic Methanobacterium.
c. Sinergisme
Suatu bentuk asosiasi yang menyebabkan terjadinya suatu kemampuan untuk dapat melakukan
perubahan kimia tertentu di dalam substrat. Apabila asosiasi melibatkan 2 populasi atau lebih dalam
keperluan nutrisi bersama, maka disebut sintropisme. Sintropisme sangat penting dalam peruraian
bahan organik tanah, atau proses pembersihan air secara alami.
d. Mutualisme (Simbiosis)
Mutualisme adalah asosiasi antara dua populasi mikroba yang keduanya saling tergantung dan sama-
sama mendapat keuntungan. Mutualisme sering disebut juga simbiosis. Simbiosis bersifat sangat
spesifik (khusus) dan salah satu populasi anggota simbiosis tidak dapat digantikan tempatnya oleh
spesies lain yang mirip. Contohnya adalah Bakteri Rhizobium sp. yang hidup pada bintil akar tanaman
kacang-kacangan. Contoh lain adalah Lichenes (Lichens), yang merupakan simbiosis antara algae
sianobakteria dengan fungi. Algae (phycobiont) sebagai produser yang dapat menggunakan energi
cahaya untuk menghasilkan senyawa organik. Senyawa organik dapat digunakan oleh fungi (mycobiont),
dan fungi memberikan bentuk perlindungan (selubung) dan transport nutrien / mineral serta
membentuk faktor tumbuh untuk algae.
e. Kompetisi
Hubungan negatif antara 2 populasi mikroba yang keduanya mengalami kerugian. Peristiwa ini
ditandai dengan menurunnya sel hidup dan pertumbuhannya. Kompetisi terjadi pada 2 populasi
mikroba yang menggunakan nutrien / makanan yang sama, atau dalam keadaan nutrien terbatas.
Contohnya adalah antara protozoa Paramaecium caudatum dengan Paramaecium aurelia.
f. Amensalisme (Antagonisme)
Satu bentuk asosiasi antar spesies mikroba yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan, pihak lain
diuntungkan atau tidak terpengaruh apapun. Umumnya merupakan cara untuk melindungi diri terhadap
populasi mikroba lain. Misalnya dengan menghasilkan senyawa asam, toksin, atau antibiotika.
Contohnya adalah bakteri Acetobacter yang mengubah etanol menjadi asam asetat. Thiobacillus
thiooxidans menghasilkan asam sulfat. Asam-asam tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri
lain. Bakteri amonifikasi menghasilkan ammonium yang dapat menghambat populasi Nitrobacter.
g. Parasitisme
Parasitisme terjadi antara dua populasi, populasi satu diuntungkan (parasit) dan populasi lain
dirugikan (host / inang). Umumnya parasitisme terjadi karena keperluan nutrisi dan bersifat spesifik.
Ukuran parasit biasanya lebih kecil dari inangnya. Terjadinya parasitisme memerlukan kontak secara fisik
maupun metabolik serta waktu kontak yang relatif lama. Contohnya adalah bakteri Bdellovibrio yang
memparasit bakteri E. coli. Jamur Trichodermasp. memparasit jamur Agaricus sp.
PEMBAHASAN
Upaya Mempertahankan Viabilitas Mikroorganisme Akibat Pengaruh Lingkungan :
Mikrobiologi adalah sebuah cabang dari ilmu biologi yang
mempelajarimikroorganisme. Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat
kecil sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan. Mikroorganisme disebut juga organisme
mikroskopik. Mikroorganisme seringkali berhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sel_%28biologi%29″>sel
tunggal (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler). Namun, beberapa protista bersel tunggal
masih terlihat oleh mata telanjang dan ada beberapa spesies multisel tidak
terlihat mata telanjang.Virus juga termasuk ke dalam mikroorganisme meskipun tidak bersifat seluler.
Cara Bakteri Mempertahankan Viabilitas :
1. Peremajaan Berkala
Peremajaan dengan cara memindahkan atau memperbarui biakan mikroba dari biakan lama ke
medium tumbuh yang baru secara berkala, misalnya sebulan atau dua bulan sekali. Teknik ini
merupakan cara paling tradisional yang digunakan peneliti untuk memelihara koleksi egativ mikrobadi
laboratorium. Cara ini jugadigunakan untuk penyimpanan dan pemeliharaan egativ mikroba yang belum
diketahui cara penyimpanan jangka panjangnya. Peremajaan berkala tidak dianjurkan untuk
penyimpanan jangka panjang. Teknik ini mempunyai berbagai kendala, di antaranya kemungkinan
terjadi perubahan egativ melalui seleksi varian, peluang terjadinya kontaminasi, dan terjadi kekeliruan
pemberian label. Kendala tersebut memberi peluang yang lebih besar terjadinya kehilangan isolate
dibandingkan dengan teknik lain. Meskipun demikian, banyak bakteri dan jamur yang dapat bertahan
hidup dalam tabung agar miring yang tertutup rapat hingga sepuluh tahun atau lebih, baik didalam suhu
ruang maupun dikulkas hal ini menunjukkan adanya kinerja bakteri dalam mempertahankan viabilitas
perkembangannya.
2. Penyimpanan dalam Akuades Steril
Beberapa jenis bakteri, terutama yang berbentuk batang dan bereaksi Gram egative
seperti Pseudomonas dapat disimpan cukup lama dalam akuades steril pada suhu ruang atau suhu 10-
15oC. Tidak semua bakteri dapat disimpan dengan baik menggunakan cara ini, misalnya pada anggota
genus Pseudomonas, Agrobacterium, dan Curtobacterium. Pada kondisi penyimpanan ini bakteri yang
disimpan masih berpeluang tumbuh dengan lambat, sehingga tidak dapat dijamin stabilitas genetiknya
untuk jangka panjang. Penyimpanan dengan cara ini juga memungkinkan terjadinya kontaminasi. Oleh
karena itu, cara ini lebih dianjurkan sebagai alternative penyimpanan jangka sedang atau sebagai
pendamping penyimpanan jangka panjang.
Tahap penyimpanan mikrobadalam akuades steril adalah se-bagai berikut:
Akuades steril disiapkan dalam botol dengan tutup berdrat ukuran 25 ml, 5-10 ml/botol atau dalam
tabung ependorf.
Mikroba yang akan disimpan ditumbuhkan dalam bentuk biakan murni pada medium agar miring yang
sesuai.
Biakan bakteri berumur 24-48 jam disimpan dengan beberapacara seperti:
Menambahkan 3-5 ml akuades steril ke dalam biakan miring, mengocok tabung hingga diperoleh
suspense pekat bakteri (108-109sel/ml), dan memindahkan 1 ml suspensi ke dalam tiap botol yang berisi
air steril.
Memindahkan satu ose biakan miring bakteri ke dalam tabung reaksi berisi 3-5 ml akuades steril, tabung
dikocok hingga suspensi merata, dan memindahkan 1 ml suspensi ke dalam tiap botol yang berisi air
steril.
Memindahkan satu ose biakan miring bakteri langsung ke dalam tiap botol yang berisi air steril dan
mengocok hingga merata.
Botol ditutup rapat dan disim-pan pada suhu ruang atau suhu10-15oC
Uji viabilitas mikroba dan peme-liharaan stok isolat dilakukanse-cara rutin.
Penumbuhan kembali biakan dilakukan dengan mengambil botol dari tempat penyimpanan, mengocok,
dan mengambil satu ose suspense dan menumbuhkan pada medium cair atau langsung pada medium
agar yang sesuai.
3. Penyimpanan dalam Minyak Mineral
Salah satu cara sederhana untuk memelihara biakan bakteri, khamir dan jamur adalah dengan cara
menyimpan dalam tabung agar miring dan menutup dengan minyak mineral atau parafin cair. Dasar
teknik penyimpanan ini adalah mempertahankan viabilitas mikroba dengan mencegah pengeringan
medium, sehingga waktu peremajaan dapat diperpanjang hingga beberapa tahun. Beberapa jenis jamur
dapat bertahan hidup sampai 20 tahun. Daya tahan hidup mikroba lebih baik apabila biakan disimpan
pada suhu kulkas (4oC). Mikroba yang akan dipelihara ditumbuhkan pada tabung berisi medium agar
miring atau medium cair (broth) yang sesuai, kemudian permukaan biakan ditutup dengan minyak
mineral steril setinggi 10-20 mm dari permukaan atas medium. Teknik ini sederhana, tetapi kurang
praktis untuk ditransportasi. Disamping itu, keberadaan minyak mineral mengakibatkan peremajaan
menjadi kotor.
Cara penyimpanan dalam minyak mineral menurut adalah sebagai berikut :
Penyediaan tabung reaksi dengan tutup berdrat atau botol McCartney berisi medium agar miring yang
sesuai untuk mikroba yang akan dipelihara.
Penyediaan minyak mineral atau parafin cair steril, diautoklaf pada suhu 121oC selama 60 menit.
Menumbuhkan mikroba yang akan disimpan dalam tabung agar miring selama 2448 jam dan
memeriksa kemurnian biakan untuk menghindari kontaminasi.
Setelah mikroba tumbuh baik, parafin cair steril dimasukkan ke dalam botol secukupnya, sehingga
permukaan parafin atas berada 10-20 mm di atas permukaan medium agar.
Botol biakan yang telah diberi parafin cair disimpan pada suhu ruang atau dikulkas.
Uji viabilitas mikroba dan pemeliharaan isolat dilakukan secara periodik dan rutin, paling tidak setiap
tahun.
Penumbuhan kembali (reco- very) mikroba (bakteri, khamir) dilakukan dengan cara mengambil secara
aseptik sebagian biakan dari tabung, memindahkan dan mensuspensikan pada medium cair. Minyak
mineral mengapung di permukaan suspensi dan sebagian suspensi digoreskan pada medium agar yang
sesuai. Biakan jamur digoreskan langsung pada medium agar.
4. Penyimpanan Dalam Tanah Steril
Banyak bakteri dan jamur yang dapat bertahan hidup dengan baik pada tanah kering yang disimpan
pada suhu ruang untuk waktu yang lama, hingga 20 tahun atau lebih. Teknik penyimpanan mikroba pada
tanah kering terutama berguna untuk fungi, Streptomyces sp., dan bakteri yang membentuk spora
seperti Bacillus sp., dan Clostridium sp., Rhizobium sp., juga dapat disimpan dengan baik dengan cara ini.
Teknik ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu biaya murah, penyimpanan pada suhu ruang, dan
stabilitas genetik mikroba dapat dipertahankan.
Cara penyimpanan dalam tanah steril adalah sebagai berikut:
Diambil tanah yang agak liat, di kering anginkan dan diayak untuk memisahkan partikel tanah yang agak
besar dan membuang sisa-sisa tanaman.
Tanah yang sudah kering dan di ayak dimasukkan ke dalam tabung atau botol dengan tutup berdrat
ukuran 25 ml hingga1 cm dari permukaan tutup.
Tabung atau botol yang berisi tanah diberi akuades steril hingga kebasahan 50% kapasitas lapang,
kemudian diautoklaf pada suhu 121oC tiga kali berturut-turut selama tiga hari masing-masing selama
satu jam.
Bila mana diperlukan, sterilitas tanah diuji dengan menumbuhkan contoh tanah pada medium agar.
Selanjutnya, botol dioven kering pada suhu 105oC selama satu jam dan setelah dingin disimpan di dalam
desikator hingga digunakan.
Suspensi mikroba yang akan disimpan (sel, spora atau konidia, miselia) dibuat dalam larutan steril
pepton 2% dalam akuades.
Suspensi mikroba (0,1 ml) di ambil dengan pipet steril dan di masukkan ke dalam tiap botol yang telah
disiapkan.
Botol dikembalikan ke desikator untuk disimpan di dalamnya atau setelah kering diambil dan disimpan
di ruangan.
Mikroba yang disimpan diuji viabilitasnya setiap tahun dengan menumbuhkan pada medium agar.
Penumbuhan kembali bakteri dilakukan dengan cara mengambil secara aseptik sebagian contoh tanah
dari botol penyimpanan, memindahkan ke medium cair diikuti dengan menggoreskan suspensi medium
cair pada medium agar yang sesuai atau langsung dengan menumbuhkan contoh tanah pada medium
agar.
5. Penyimpanan Menggunakan Potongan Kertas Filter
Teknik penyimpanan ini mirip teknik penyimpanan dengan lempengan gelatin. Sebagai pengganti
lempengan gelatin digunakan bundaran potongan kertas filter steril. Teknik ini juga sederhana dan
mudah, tetapi sangat efektif untuk penyimpanan bakteri. Namun demikian, data tentang keefektifan
penyimpanan dan daya tahan hidup bakteri dalam penyimpanan masih sedikit, sehingga perlu diteliti
lebih lanjut.
Tahapan teknik penyimpanan bakteri menggunakan potongan kertas filter menurut adalah sebagai
berikut:
Mikroba yang akan disimpan dibiakkan pada medium yang sesuai.
Suspensi pekat bakteri (108-109 sel/ml) dibuat dalam larutan pepton 1%, susu skim 1%, atau
Naglutamat 1%.
Bundaran kertas steril dibuat dengan alat pelubang kertas, dimasukkan ke dalam botol kecil ukuran 10
ml dengan tutup berdrat, 25-50 bundaran kertas filter/botol. Botol disterilkan de-ngan oven 105oC
selama 1 jam.
Beberapa tetes suspensi mikroba dimasukkan secara aseptic ke dalam botol yang berisi kertas filter
hingga menjadi jenuh air.
Isi botol dikering vakumkan menggunakan alat vaccum freeze dryer , kemudian ditutup rapat dan
disimpan pada suhu ruang atau di kulkas.
Uji viabilitas bakteri dilakukan secara periodik dan rutin, paling tidak setiap tahun.
Penumbuhan kembali bakteri dilakukan dengan cara mengambil secara aseptik satu bundaran kertas
filter dari botol penyimpanan, memindahkannya ke medium cair, menggoreskan suspensi medium cair
pada medium agar yang sesuai, serta menginkubasikan pada suhu optimal untuk pertumbuhan mikroba.
6. Penyimpanan In Vacuo dalam Gas Fosfopentaoksida
Teknik penyimpanan ini disebut juga teknik Sordelli, karena mula-mula ditemukan oleh
Sordelli(Lapageet al., 1970). Biakan mikroba disimpan dalam serum kuda yang ditempatkan dalam
tabung gelas kecil atau ampul. Tabung ini ditempatkan di dalam tabung lain yang lebih besar berisi
sedikit fosfopentaoksida (P2O5) dan disimpan pada suhu ruang atau di kulkas. Teknik ini sesuai untuk
penyimpanan jangka panjang bakteri, khamir, dan jamur. Mikroba tersebut dapat bertahan hidup
dengan baik selama 5-28 tahun, tergantung pada strain mikroba yang disimpan.
Cara bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika
Meminum antibiotika untuk mengobati pilek atau penyakit yang disebabkan oleh virus, tidak
hanya tidak bermanfaat tetapi juga dapat menimbulkan bahaya. Dalam jangka panjang hal ini dapat
membuat bakteri menjadi lebih sulit untuk dimusnahkan. Penggunaan antibiotika yang sering & tidak
sesuai keperluan dapat menghasilkan jenis bakteri baru yang dapat bertahan terhadap pengobatan yang
diberikan atau yang disebut dengan resistensi bakteri. Jenis bakteri baru ini memerlukan dosis yang
lebih tinggi atau antibiotika yang lebih kuat untuk dapat dimusnahkan.
Penggunaan antibiotika mendorong perkembangan bakteri yang resisten. Setiap seseorang
menggunakan antibiotika, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh tetapi bakteri yang resisten akan
tetap ada, tumbuh & bereproduksi. Penyebab utama meningkatnya bakteri yang resisten adalah
penggunaan antibiotika secara berulang & tidak sesuai range terapi. Kunci untuk mengontrol
penyebaran bakteri yang resisten ini adalah penggunaan antibiotika secara tepat & sesuai range terapi
(takaran, frekwensi dan lama penggunaan obat).
Beberapa pathogen membentuk suatu mekanisme untuk menetralisasi senyawa toksik yang
dihasilkan oleh fagositosis, menjauhi bahkan membunuh fagositosit.
Berikut beberapa cara yang dilakukan oleh pathogen:
Kapsul anti Fagositosit
Beberapa bakteri terhindar dari Fagositosis dikarenakan memiliki kapsul. Struktur permukaan
kapsul tersusun atas gel hidropilik yang menghambat kerja fagositosit. Komposisi kimia penyusun gel
tersebut telah teridentifikasi pada beberapa bakteri. Pada 3 tipe Pneumococcus, gel tersebut
mengandung sebagian besar molekul yang tersusun atas polimer glukosa dan asam glukuronik.
Pada Bacillus antrachis mengandung polipeptida asam D-glutamic. Sedangkan beberapa bakteri lainnya
(Bacillus megaterium) mengandung protein dan karbohidrat. Kapsul sangat berpengaruh terhadap
kemampuan fagositosit. Pada fase eksponensial, pertumbuhan kapsul sangat tinggi dan organisme
tervirulensi dan pada fase stasioner pertumbuhan kapsul akan menurun dan organisme yang tervirulensi
berkurang.
Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperature tinggi, tergantung dari
kemampuannya untuk melawan fagositosis.Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul
polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan glukosa, berkombinasi dengan 2-
acetamido-2-deoxyglucose, N-acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang
memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan faktor virulensi yang penting.
Kapsul-kapsul tersebut menghalangi fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi. Hasil
selanjutnya dihilangkan bersama dengan pengeluaran residu asam sialik, dan kekurangan serum
antibodi untuk melengkapi antigen tidaklah opsonik. Meskipun infeksi/penyerangan bisa saja
dihubungkan dengan semua serotype, namun golongan dengan kapsul serotype III mendominasi isolat
dari infeksi neonatal.
Produksi Senyawa Kimia Untuk Membunuh Fagosit
Banyak antifagosit membunuh fagosit dan sukses menginfeksi. Beberapa diantaranya dapat
memperbanyak diri dalam jaringan, melepaskan materi yang dapat membunuh fagosit. Streptococci
pathogen mengeluarkan haemolisin (streptolisin) yang dapat melisis sel darah merah dan berperan
dalam meracun polymorphs dan makrofag. Streptolysin O mungkin berikatan dengan kolesterol pada
membran sel, dan 1-2 penambahan polymorphs, polymorph granula meledak sehingga bagian sel keluar
ke sitoplama. Enzim lisosom terkurung di vakuola fagosit, membantu sel untuk fungsi pencernaan, tetapi
ketika sudah cukup banyak enzim dikeluarkan ke sitoplasma mengakibatkan sitoplasma meluruh dan sel
mati. Streptolysin membuat kerusakan pada lisosom, membuat fungsi sebagaisuicide bags.
Streptolysin S lebih berpotensial pada membrane. Berbagai macam haemolysin dikeluarkan oleh
Staphylococci pathogen dan dapat membunuh fagosit. Tidak ada haemolytic leucocidin yang diproduksi
berhubungan dengan virulensi staphylococcal. Tergolong menjadi 2 protein antigen, berperan sebagai
sinergis pada membrane leukosit dan menyebabkan keluarnya granula lisosom seperti pada Streptolysin
O. Listeria monocytogenesmengeluarkan toksin sitolitik. Secara umum, polymorph lebih mudah
dibunuh dibandingkan dengan makrofag, dimungkinkan karena lisosomnya lebih mudah
dikeluarkan. Entamoeba histolytica dapat membunuh polymorph dengan kontak fisik. Peranan lain dari
aksi toxic pada fagosit setelah fagositosis telah diambil alih, mengeluarkan substansi cytotoxic secara
langsung melalui dinding vakuola dan kedalam sel. Fagosit dapat dikatakan mati akibat keracunan
makanan. Sebagai contoh, virulen shigella membunuh makrofag tikus setelah fagositosis, mengingat
avirulen shigella pasti melakukan hal yang sama dan akan terbunuh dan dimakan. Beberapa Chlamydia
memperbanyak diri di dalam makrofag setelah difagositosis dan merusak sel dengan menginduksi
keluarnya kandungan lisosom ke dalam sitoplasma. Virulen intraseluler bacteria Mycobacterium,
Brucella dan Listeria banyak memperlihatkan virulensi dengan memperbanyak diri didalam makrofag.
Makrofag biasanya dihancurkan dan mekanismenya belum diketahui.
Menghambat dengan cara Absorpsi pada permukaan sel fagosit
Ada cara yang dilakukan mikroorganisme untuk menghindar dari fagosit tanpa meracuni fagosit.
Ketika komponen ekstraseluler Mycoplasma hominis ditambahkan pada polymorph manusia secara in
vitro maka tidak terlihat secara jelas adanya absorbsi yang dilakukan oleh Mycoplasma di permukaan
polymorh. Tetapi adanya antibody pada mycoplasama terjadi absorpsi, ingesti dan digesti. Kegagalan
dari absorpsi tidak diketahi dengan jelas, tetapi dimungkinkan karena Mycoplasma merusak polymorph,
yang ditunjukkan dengan peningkatan oksidasi glukosa dan membuat cacat pagosit E.coli hingga mati.
Leishmania parasit mampu modulasi fungsi makrofag banyak dalam rangka untuk
mempromosikan kelangsungan hidup dalam host. Sementara kita telah melihat bahwa lapisan
permukaan parasit bertanggung jawab untuk memicu banyak dari efek ini, kita tidak langsung
membahas mekanisme intraselular di mana sinyal dikomunikasikan. Beberapa jalur sinyal intraselular
yang dimodulasi oleh Leishmania dibahas dalam bagian berikutnya :
Mycobacterium tuberolosis menyebabkan tubercolosis. Tergolong pathogen intraselular yang tumbuh
dan hidup didalam sel fagositik. Bakteri ini menggunakan glikolipid dinding sel untuk mengabsobsi
radikal hidroksil, anion superoksida dan oksigen yang toksik bagi beberapa spesies yang diproduksi oleh
fagosit.
Streptococcus pyogenes merupakan pathogen pada manusia yang menyebabkan berbagai penyakit
infeksi kulit ringan sampai sistemik, termasuk faringitis dan impetigo. Umumnya merupakan patogen
ekstraseluler yang dapat bertahan dan dapat hidup lama didalam inang dengan cara menghindari
mekanisme pertahanan inang. Sehingga S.pyrogenes melakukan banyak strategi untuk menghindari
system kekebalan tubuh.
Staphylococcus aureus memproduksi komponen pigmentasi yang disebut carotenoid yang dapat
menetralisir singlet oxygen dan melindungi diri dari pembunuhan.
Streptococcus pneumonia Merupakan salah satu bakteri yang memiliki pertahanan terhadap
fagositosis berupa kapsul. Biasa bakteri yang memiliki kapsul resisten terhadap fagositosis. Karena
kapsul dapat melindungi sel bakteri.
Leishmania merupakan parasit yang dapat menghindari makrofag dengan cara meninduksi
produksi atau sekresi beberapa sinyal molekul immunosuppressive seperti metabolit asam arachidonik,
sitokinase TGF- dan IL-10. Efeknya terjadi pada tipe sel yang berbeda, baik secara langsung maupun
tidak langsung tergantung dengan respon normal terhadap imun dan kemampuan parasit.

KAJIAN RELIGI
Di dalam Al-Quran secara tersirat Allah SWT telah menyiratkan akan pentingnya pengaruh lingkungan
bagi kehidupan makhluk hidup yang ia ciptakan termasuk mikroorganisme yang juga merupakan salah
satu contoh makhluk hidup ciptaan Allah SWT, hal ini tersirat dalam beberapa ayat di dalam Al-Quran
diantaranya dalam:
Q.S AL BAQARAH 164


Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Q.S ASY SYUURA 29


Artinya : Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-
makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya
apabila dikehendaki-Nya.
TAUSYIAH
ALLAH menguji KEIKHLASAN bila sendirian. ALLAH memberi kita KEDEWASAAN bila ada MASALAH.
ALLAH melatih KESABARAN kita dalam KESAKITAN. ALLAH tidak pernah mengambil sesuatu yang kita
sayang dan kita cintai, kecuali menggantikannya dengan yang LEBIH BAIK.
Berharap semua ini dapat diterima dan dimaknai dengan baik sehingga kita mampu menjadi orang-
orang yang senantiasa BERSYUKUR atas seluruh NIKMAT yang ALLAH berikan pada kita disetiap keadaan.
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan tentang UPAYA MEMPERTAHANKAN VIABILITAS MIKROORGANISME
AKIBAT PENGARUH LINGKUNGAN maka dapat disimpulkan bahwa :
Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, yaitu pengaruh temperatur,
kelembaban dan pengaruh kebasahan serta kekeringan, pengaruh perubahan nilai osmotic, kadar ion
Hidrogen (pH), tegangan muka, tekanan, hidrostatik, pengaruh sinar.
Faktor lingkungan kimia yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, yaitu Fenol Dan Senyawa-
Senyawa Lain Yang Sejenis, Formaldehida (CH2O), alcohol, yodium, Klor Dan Senyawa Klor, zat warna,
Obat Pencuci (Detergen), Sulfonamida, antibiotik, garam-garam logam.
Faktor lingkungan biologi yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, yaitu netralisme,
komensalisme, sinergisme, mutualisme (simbiosis), kompetisi, Amensalisme (Antagonisme), parasitisme.
DAFTAR PUSTAKA
Annonymous, 2011. Mikrobiologi. http://id.wikipedia.org/wiki/Mikrobiologi . Diakses tanggal 04
Desember 2011.
Annonymous, 2011. Mikroorganisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Mikroorganisme. Diakses tanggal 04
Desember 2011.
Annonymous, 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba.http://faktor-faktor-
yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba. Diakses tanggal 08 Desember 2011.
Annonymous, 2001. Metode Penyimpanan Dan Pemeliharaan Mikroba Dalam Mempertahankan
Viabilitas.http://www.scribd.com/doc/75921669/metde-pnyimpaman-dan-pemeliharaan-mikroba-
dalam-mempertahankan-viabilitas.html. Diakses Tanggal 21 Desember 2011
Bacus, J. N. 1984. Utilization of Microorganisme In Meat Processing Research Studies. Press. ltd,
England.
Fardiaz, S. 1992. Analisa Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada, Kerjasama Dengan PAU antar
Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Lay, B.W. 1994. Analisis mikroba di laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada, 1994, Jakarta.
Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology, Third Edition. CRC Press LLC Boca Raton, Florida.
Sudarmaji, B. Haryono dan Suhardi. 1989. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Waluyo, Lud. 2008. Buku Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang.
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA
TUJUAN
Untuk memberi pengetahuan mahasiswa mengenai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan mikroba.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu biotik dan faktor abiotik.
a. faktor biotik adalah pengaruh mikroba oleh mikroba lainnya, mikroba lain tersebut dapat
berkomensalisme secara positif contohnya bersimbiosis / hidup saling menguntungkan atau negatif /
saling merugikan dimana yang satu akan membunuh yang lainnya. secara rinci, hubungan mikroba satu
dengan mikroba lainnnya tersebut, terbentuk dalam sebuah simbiosis.
Ada 3 jenis simbiosis yang dpt terjadi, yaitu :
1. Simbiosis Mutualisme; kedua anggota asosiasi memperoleh keuntungan (saling mengntungkan),
Contohnya: Bakteri E. Coli yang ada dalam usus besar manusia.
2. Simbiosis Komensalisme; Salah satu anggota asosiasi menerima keuntungan; yaitu dapat tumbuh
lebih cepat, dapat mencapai populasi total yang besar; dan pada umumnya tumbuh lebih baik.
Anggota yang lain tidak terpengaruh. Contohnya : pengikatan nitrogen di udara oleh bakteri pengikat
nitrogen dalam tanah, PertumbuhanArthrobacter citerus pada medium yang
mengandung saccharomyces cereviceae.
3. Simbiosis antagonisme, kompetisi, atau parasitisme; Salah satu anggota asosiasi dihambat atau
dimusnahkan; sedangkan anggota yang lain mendapat keuntungan.(saling merugikan, menghambat).
Contohnya : kompetissi antara E. Coli dengan S. aureus,( pertumbuhan E. coli menghambat daur
pertumbuhan S. aureus. )
b. faktor abiotik, terdiri dari temperature, sumber nutrien, sumber mineral, bahan toksik / logam berat,
pH, oksigen, dll.
ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Rak Tabung reaksi
2. Tabung reaksi
3. Media Nutrien Agar
4. Biakan murni bakteri : Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Candida albicans
5. Antibiotik kloramfenikol
6. Logam berat Cd, Pb
Bahan :
1.Batang kaca bentuk Luntuk spread
2. Pipet volume
3. Api bunsen dan spirtus
4. Alkohol
5. Kapas
6. Aluminium foil
PROSEDUR KERJA
A. Pertumbuhan mikroba pada cawan Petri:
1. Mempersiapkan 3 cawan Petri yang telah steril.
Mengambil 0,1 biakan murni bakteri dengan pipet volume dan memasukkannya ke dalam cawan Petri
steril secara aseptik
Mengisi cawan Petri yang berisi bakteri dengan nutrient agar secara aseptik.
Membersihkan peralatan dan bahan ke tempat semula secara aseptik.
Menghomogenkan bakteri dengan memutar cawan Petri membentuk angka 8.
Meletakkan masing-masing cawan Petri pada suhu yang berbeda yaitu cawan Petri ke-1 diletakkan pada
suhu kamar, cawan Petri ke-2 pada lemari es, dan cawan Petri ke3 pada oven, semua percobaan
diletakkan di masing-masing suhu yang berbeda selama 1 hari .
Mengamati perbandingan pertumbuhan mikroba setelah diletakkan pada suhu yang berbeda.
B. Pertumbuhan Mikroba pada cawan Petri:
1. Mempersiapkan 3 tabung reaksi yang telah berisi nutrient agar.
Melewatkan jarum ose pada api Bunsen hingga nyala api berpijar.
Mengambil biakan bakteri dengan jarum ose dan meletakkan ke dalam tabung reaksi dengan bentuk
zigzag secara aseptik
Membersihkan peralatan dan bahan ke tempat semula secara aseptik.
Meletakkan masing-masing tabung reaksi pada suhu yang berbeda yaitu tabung reaksi ke-1 diletakkan
pada suhu kamar, tabung reaksi ke-2 pada lemari es, dan tabung reaksi ke3 pada oven, semua
percobaan diletakkan di masing-masing suhu yang berbeda selama 1 hari .
Mengamati perbandingan pertumbuhan mikroba setelah diletakkan pada suhu yang berbeda.
Hasil Pengamatan
Pada perlakuan dengan antibiotik kloramfenikol terlihat adanya daerah terang disekitar paper disk
sedangkan pada daerah kontrol (aquades) tidak terdapat adanya daerah terang. Adanya daerah terang
adalah karena Sacharomieces tidak dapat tumbuh akibat adanya antibiotik.


Pada perlakuan dengan logam berat Cu terlihat adanya daerah terang disekitar paper disk (Cu)
sedangkan pada daerah kontrol (aquades) tidak terdapat adanya daerah terang. Adanya daerah terang
adalah karena Sacharomieces tidak dapat tumbuh akibat adanya logam berat Cu.









Inkubasi pada lemari es dan inkubasi pada suhu 600C tidak terlihat adanya pertumbuhan mikroba tetapi
pada suhu kamar 380C terlihat adanya pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
Saccharomices dapat melakukan pertumbuhan optimal pada suhu kamar 380C dan termasuk mikroba
mesofil.
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Antibiotika Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Antibiotika adalah suatu substansi ( zat zat ) kimia yang diperoleh dari atau dibentuk dan dihasilkan
oleh mikrporganisme, dan zat zat itu dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat
kegiatan mikroorganisme yang lain.
Antibiotika ada yang mempunyai spektrum luas, artimya antibiotika yang efektif digunakan bagi banyak
spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiril; ada juga antibiotika berspektrum sempit, artinya hanya
efektifdigunakan untuk spesies tertentu. Penisilin hanya efektif digunakan untuk memberantas
terutama jenis kokus, karena itu penisilin dikatakan mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiklin
efektif bagi kokus, basil, dan jenis spiril tertentu. Oleh karena itu antibiotik ini dikatakan memiliki
spektrum yang luas.
Sifat sifat Antibiotika yaitu:
Maenghambat atau membunuh patogen tanpa merusak inang ( host )
Bersifat bakterisida dan bukan bakteriostatik
Tidak menyebabkan resistensi pada kuman
Berspektrum luas
Tidak bersifat alergenik
Tetap aktif dalam plasma, cairan atau badan eksudat
Larut dalm air serta stabil
Bacterisidal level, didalam tubuh cepat dicapai dan bertahan untuk waktu yang lama.
Mekanisme Kerja antibiotika
Antibiotika menganggu bagian bagian yang peka di dalam sel, yaitu :
Antibiotika yang mempengaruhi dinding sel
Contoh : Penisilin, sefalosporin, basitrasin, sikloserin, ristosetin, vankomisin
Antibiotika yang menganggu fungsi membran sel
Contoh : polimiksin, kolistin, nistatin, amforoterisin B
Antibiotika yang menghambat sintesa protein
Contoh : Aktinomisin, rifampisin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, klindamisin.
Antibiotika yang menghambat sintesa asam nukleat
Contoh : asam nalidiksat, novobiosin, pirimetamin, sulfonamida, trimetoprim
B. Pengaruh Logam Berat Terhadap Pertumbuhan Mikroba
Logam berat berfungsi sebagai antimikrobe oleh karena dapat mempresipitasikan enzim enzim atau
protein essensial dalam sel. Logam logam yang sering dipakai adalah Hg, Ag, As, Zn, dan Cu. Daya
antimikrobe dari logam berat, dimana pada konsentrasi yang kecil saja dapat membunuh mikrobe
dinamakan daya oligodinamik. Tetapi garam dari logam berat ini mudah merusak kulit, merusak alat
alat yang terbuat dari logam, dan harganya mahal.
C. Pengaruh Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kehidupan. Beberapa jenis mikrobe
dapat hidup pada daerah temperatur yang luas sedang jenis lainnya pada daerah yang terbatas. Pada
umumnya batas daerah temperatur bagi kehidupan mikrobe terletak antara 0 90o C, dan kita kenal
ada temperatur minimum, optimum, dan maksimum. Temperatur minimum adalah nilai paling rendah
dimana kegiatan mikrobe masih dapat dapat berlangsung.Temperatur maksimum adalah temperatur
tertinggi yang masih dapat digunakan untuk aktivitas mikrobe, tetapi pada tingkatan kegiatan fisiologi
yang paling minimal. Sedangkan temperatur yang paling baik bagi kegiatan hidup dinamakan temperatur
optimum.
Untuk menemukan temperatur maut bagi mikrobe, ada beberapa pedoman sebagai berikut :
a. Temperatur maut / Titik kematian Termal ( Thermal Death Point )
Temperatur serendah rendahnya yang dapat membunuh mikrobe yang berada di medium standar
selama 10 menit pada kondisi tertentu.
b. Laju kematian termal ( Thermal Death Rate )
kecepatan kematian mikrobe akibat pemberian temperatur. Hal ini karena bahwa tidak semua spesies
mati bersama sama pada suatu temperatur tertentu. Biasanya, spesies satu lebih tahan daripada
spesies yang lain terhadap suatu pemanasan. Oleh karena itu, masing masing spesies itu ada angka
kematian pada suatu temperatur.
c. Waktu kematian thermal ( Thermal Death Time )
waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu jenis mikrobe pada suatu temperatur yang tetap.
Pembekuan itu sebenarnya tidak berpengaruh pada spora, karena spora sangat sedikit mengandung air.
Pembekuan bakteri di dalam air lebih cepat membunuh daripada kalau pembekuan itu dilakukan di
dalam buih karena buih tidak dapat membeku sekeras air beku. Pembekuan air hanya dapat
menyebabkan kerusakan mekanik pada bakteri.
Pembekuan secara perlahan lahan dalam temperatur 16oC ( es dicampurdengan garam ) lebih efektif
dari pada pembekuan secar mendadak dalam udara beku ( - 190oC ). Pembekuan secara terputus
putus ternyata lebih efektif daripada pemanasan terus menerus.
Berdasarkan pada daerah aktivitas temperatur, mikrobe dapat dibagi menjadi tiga golongan utama,
yaitu :
a. Mikrobe Psikrofil yakni golongan mikrobe yang dapat tumbuh pada 0 30oC, dengan temperatur
optimum 10 - 15oC. Kebanyakan dari golongan ini tumnuh di tempat tempat dingin, baik di daratan
maupun di lautan.
b. Mikrobe Mesofil adalah golongan mikrobe yang dapat hidup dengan baik pada temperatur 5 60oC,
sedang temperatur optimumnya 25 40oC. Umumnya hidup dalam alat pencernaan.
c. Mikrobe Termofil yakni golongan mikrobe yang tumbuh pada suhu 40 80oC, dan temperatur
optimumnya 55 65oC. Golongan mikroba ini terutama terdapat di sumber sumber air panas dan
tempat- tempat lain yang bertemperatur tinggi.
KESIMPULAN
Faktor faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba diantaranya yaitu :
a. Antibiotik menyebabkan terbentuknya zona terang ( halo ) disekitar media bakteri.
b. Logam berat menyebabkan terbentuknya zona terang atau ( halo ) disekitar bakteri.
c. Pengaruh suhu mikroba tumbuh optimum pada suhu kamar. Sedangkan pada suhu rendah dan
suhu tinggi pertumbuhannya terhambat.
DAFTAR PUSTAKA
1.Waluyo,Lud.Drs.M.Kes.2004.Mikrobiologi Umum.Universitas Muhammadiyah Press : Malang.
2.Schlegel,H.G. dan Schmidt, K.1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
OLEH: DR.H.M.AGUS KRISNO BUDIYANTO,M.KES
DOSEN PENDIDIKAN BIOLOGI UMM
Tiap-tiap makhluk hidup itu keselamatannya sangat tergantung kepada keadaan sekitarnya, terlebih-
lebih mikro organisme. Makhlukmakhluk halus ini tidak dapat menguasai faktor-faktor luar sepenuhnya,
sehingga hidupnya sama sekali tergantung kepada keadaan sekelilingnya. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri ialah dengan menyesuaikan diri (adaptasi) kepada pengaruh faktor-faktor luar.
Penyesuaian diri dapat terjadi secara cepat serta bersifat sementara waktu, akan tetapi dapat pula
perubahan itu bersifat permanen sehingga mempengaruhi bentuk morfologi serta sifat-sifat fisiologi
yang turun menurun. Kehidupan bakteri tidak hanya di pengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan akan
tetapi juga mempengaruhi keadaan lingkungan. Misal, bakteri termogenesis menimbulkan panas di
dalam media tempat ia tumbuh. Bakteri dapat pula mengubah pH dari medium tempat ia hidup,
perubahan ini di sebut perubahan secara kimia.
Adapun faktor-faktor lingkungan dapat di bagi atas faktor-faktor biotik dan faktor-faktor abiotik. Faktor-
faktor biotik terdiri atas mahluk-mahluk hidup, sedang faktor-faktor abiotik terdiri dari faktor-faktor
alam (fisika) dan faktorfaktor kimia.
5.1 Faktor-Faktor Abiotik.
Faktor abiotik adalah faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan yang bersifat fisika dan kimia. Di
antara faktor-faktor yang perlu di perhatikan ialah suhu, pH, tekanan osmose, pengeringan, sinar
gelombang pendek, tegangan muka dan daya oligodinamik.
1. Suhu
Masing-masing mikrobia memerlukan suhu tertentu untuk hidupnya. Suhu pertumbuhan suatu mikrobia
dapat di bedakan dalam suhu minimum, optimum dan maksimum. Berdasarkan atas perbedaan suhu
pertumbuhannya dapat di bedakan mikrobia yang psikhrofil, mesofil, dan termofil. Untuk tujuan
tertentu suatu mikrobia perlu di tentukan titik kematian termal (thermal death point) dan waktu
kematian termal (thermal death time)- nya.
Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah
mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60C, sebaliknya ,bakteri
yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap hidup setelah di panasi dengan
uap 100C atau lebih selama kira-kira setengah jam. Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh
setiap spesies untuk membunuh setiap spesies bakteri ialah pemanasan selama 15 menit dengan
tekanan 15 pound serta suhu 121C di dalam autoklaf.
Dalam cara menentukan daya tahan panas suatu spesies perlu di perhatikan syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Berapa tinggi suhu.
2. Berapa lama spesies itu berada di dalam suhu tersebut.
3. Apakah pemanasan bakteri itu di lakukan di dalam keadaan kering ataukah di dalam keadaan basah.
4. Beberapa pH dari medium tempat bakteri itu di panasi.
5. Sifat-sifat lain dari medium tempat bakteri itu di panasi.
Mengenai pengaruh basah dan kering ini dapat diterangkan sebagai berikut. Di dalam keadaan basah,
maka protein dari bakteri lebih cepat menggumpal daripada di dalam keadaan kering, pada temperartur
yang sama. Berdasarkan ini, maka sterilisasi barang-barang gelas di dalam oven kering itu memerlukan
suhu yang lebih tinggi daripada 121 C dan waktu yang lebih lama daripada 15 menit. Sedikit perubahan
pH menju ke asam atau ke basa itu sangat berpengaruh kepada pemanasan. Berhubung dengan ini,
maka buah-buahan yang masam itu lebih mudah disterilisasikan daripada sayur-sayur atau daging.
Untuk menentukan suhu maut bagi bakteri orang mengambil pedoman sebagai berikut: Suhu maut
(Thermal Death Point) ialah suhu yang serendahrendahnya yang dapat membunuh bakteri yang berada
di dalam standard medium selama 10 menit. Ketentuan ini mencakup kelima syarat-syarat tersebut
diatas. Perlu diperhatikan kiranya, bahwa tidak semua individu dari suatu spesies itu mati bersama-sama
pada suatu suhu tertentu. Biasanya, individu yang satu lebih tahan daripada individu yang lain terhadap
suatupemanasan, sehingga tepat jugalah bila kita katakana adanya angka kematian pada suatu suhu
(Thermal Death Rate). Sebaliknya jika suatu standard suhu sudah ditentukan seperti pada perusahaan
pengawetan makanan atau dalam perusahaan susu, maka lamanya pemanasan merupakan faktor yang
berbeda-beda bagi tiap-tiap dapatlah kita adakan penentuan waktu maut (Thermal Death Rate).
Biasanya standard suhu itu diatas titik didih dan pemanasan setinggi ini perlu bagi pemusnahan bakteri
yang berspora. Umumnya bakteri lebih tahan suhu rendah daripada suhu tinggi. Hanya beberapa spesies
neiseria mati karena pendinginan sampai 0 C dalam kedaan basah. Bakteri patogen yang bias hidup di
dalam tubuh hewan atau manusia dapat bertahan sampai beberapa bulan pada suhu titik beku.
Pembekuan itu sebenarnya tidak berpengaruh kepada spora, karena spora sangat sedikit mengandung
air. Pembekuan bakteri di dalam air lebih cepat membunuh bakteri daripada kalau pembekuan itu di
dalam buih, buih tidak membeku sekeras air beku. Bahwa pembekuan air itu menyebabkan kerusakan
mekanik pada bakteri mudahlah dimaklumi, tentang efek yang lain misalnya secara kimia, kita belum
tahu. Pembekuan secara perlahan-lahan dalam suhu -16C ( es campur garam ) lebih efektif dari pada
pembekuan secara mendadak dalam udara beku (-190 C ). Juga pembekuan secara terputus-putus
ternyata lebih efektif dari pada pembekuan secara terusmenerus. Sebagai contoh, piaraan basil tipus
mati setelah dibekukan putus putus dalam waktu 2 jam, sedang piaraan itu dapat bertahan beberapa
minggu dalam keadaan beku terus-menerus.
Mengenai pengaruh suhu terhadap kegiatan fisiologi, maka seperti halnya dengan mahluk-mahluk lain,
mikrooganisme pun dapat bertahan di dalam suatu batas-batas suhu tertentu. Batas-batas itu ialah suhu
minimum dan suhu maksimum, sedang suhu yang paling baik bagi kegiatan hidup itu disebut suhu
optimum. Berdasarkan itu adalah tiga golongan bakteri, yaitu:
Bakteri termofil (politermik), yaitu bakteri yang tumbuh dengan baik sekali pada suhu setinggi 55
sampai 65C, meskipun bakteri ini juga dapat berbiak pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi daripada
itu, yaitu dengan batas-batas 40C sampai 80C. Golongan ini terutama terdapat didalam sumber air
panas dan tempat-tempat lain yang bersuhu lebih tinggi dari 55C.
Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang hidup baik di antara 5 dan 60C, sedang suhu
optimumnya ialah antara 25 sampai 40C, minimum 15C dan maksimum di sekitar 55C. Umumnya
hidup di dalam alat pencernaan, kadang-kadang ada juga yang dapat hidup dengan baik pada suhu 40C
atau lebih.
Bakteri psikrofil (oligotermik), yaitu bakteri yang dapat hidup di antara 0 sampai 30C, sedang suhu
optimumnya antara 10 sampai 20C. Kebanyakan dari golongan ini tumbuh di tempat-tempat dingin
baik di daratan ataupun di lautan.
Pada tahun 1967 di Yellowstone Park di temukan bakteri yang hidup dalam air yang panasnya 93 94 C
dan pada tahun 1969 berapa spesies lagi di tempat yang sama yang juga sangat termofil. Spesies-spesies
itu di tabiskan menjadi Thermus aquaticus, Bacillus caldolyticus, dan Bacillus caldotenax. Dalam praktek,
batas-batas antara golongan-golongan itu sukar di tentukan, juga di antara beberapa individu di dalam
satu golongan pun batas-batas suhu optimum itu sangat berbeda-beda. Bakteri termofil agak
menyulitkan pekerjaan pasteurisasi, karena pemanasan pada pasteurisasi itu hanya sekitar 70 C saja,
sedang pada suhu setinggi itu spora-spora tidak mati. Spora bakteri termofil juga merepotkan
perusahaan pengawetan makanan. Selama bahan makanan di dalam kaleng itu di simpan pada suhu
yang rendah, spora-spora tidak akan tumbuh menjadi bakteri. Akan tetapi, jika suhu sampai naik sedikit,
besarlah bahaya akan rusaknya makanan itu sebagai akibat dari pertumbuhan spora-spora tersebut.
Sebaliknya, bakteri psikrofil dapat mengganggu makanan yang di simpan terlalu lama di dalam lemari es.
Golongan bakteri yang dapat hidup pada bata-batas suhu yang sempit, misalnya, Conococcus itu hanya
dapat hidup subur antara 30 dan 40 C, jadi batas antara minimum dan maksimum tidak terlampau
besar, maka bakteri semacam itu kita sebut stenotermik. Sebaliknya Escherichia coli tumbuh baik antara
8 C sampai 46 C, jadi beda antara minimum dan maksimum suhu di sini ada lebih besar daripada yang
di sebut di atas, maka Escherichia coli itu termasuk golongan bakteri yang kita sebut euritermik. Pada
umumnya dapat di pastikan, bahwa suhu optimum itu lebih mendekati suhu maksimum daripada suhu
minimum.Hal ini nyata benar bagi Gonococcus dan Escherichia coli, keduanya mempunyai optimum
suhu 37 C. Bakteri yang dipiara di bawah
suhu minimum atau sedikit di atas suhu maksimum itu tidak segera mati, melainkan berada di dalam
keadaan tidur (dormancy).
Suhu berpengaruh terhadap kinerja reaksi dalam mikroorganisme. Kecepatan reaksi kimia merupakan
fungsi langsung daripada suhu dan mengikuti hubungan yang dikemukakan semula oleh Arrhenius :
Log10 V = H* + C
2.303RT
v ialah kecepatan reaksi, H* ialah energi aktivitas pada reaksi, R ialah konstante gas, T ialah suhu dalam
derajat Kelvin. Karena itu, kecepatan reaksi kimia sebagai fungsi T menghasilkan garis lurus dengan
lereng negatif (Gambar 10.6). Gambar 10.7 menunjukkan kecepatan tumbuh E. coli yang dapat
disamakan dengan fungsi T . Kurvenya linear hanya pada bagian kisaran suhu untuk tumbuh. Sebab
kecepatan tumbuh dengan tibatiba sangat menurun pada batas atas dan bawah kisaran suhu. Kecepatan
tumbuh pada suhu tinggi yang menurun tiba-tiba disebabkan oleh denaturasi panas protein dan
mungkin pula denaturasi struktur sel seperti membran. Pada suhu maksimum untuk tumbuh maka
reaksi yang merusak menjadi sangat besar. Suhu itu biasanya hanya berapa derajat lebih tinggi daripada
suhu untuk kecepatan tumbuh maksimal, yang dinamakan suhu optimum.
Gambar 5.3 Hubungan antara kecepatan reaksi kimiawi dan suhu menurut rumus arrthenius
Dari pengaruh suhu pada kecepatan reaksi kimia, dapat diramalkan bahwa semua bakteri dapat
melanjutkan tumbuhnya (meskipun dengan kecepatan yang makin lama makin lebih rendah) selama
suhu diturunkan sampai sistem itu membeku. Akan tetapi, kebanyakan bakteri berhenti tumbuh pada
suhu (suhu minimum untuk tumbuh ) jauh di atas titik beku air. Setiap mikroorganisme mempunyai suhu
yang tepat untuk pertumbuhan, tetapi di bawah suhu ini pertumbuhan tidak terjadi betapa pun lamanya
masa
inkubasi.
Nilai suhu kardinal menurut angka (minimum, optimum, dan maksimum) dan kisaran suhu yang
memungkinkan pertumbuhan, sangat beragam pada bakteri. Beberapa bakteri yang diisolasi dari
sumber air panas dapat tumbuh pada suhu setinggi 95C; yang diisolasi dari lingkungan dingin, dapat
tumbuh sampai suhu serendah 10C jika konsentrasi solut yang tinggi mencegah mediumnya menjadi
beku. Berdasarkan kisaran suhu untuk tumbuh, bakteri seringkali dibagi atas tiga golongan besar:
termofil, yang tumbuh pada suhu tinggi (diatas 55C); mesofil, yang tumbuh baik antara 20C sampai
45C dan psikrofil, yang tumbuh baik pada 0C.
Seperti juga dalam sistem klasifikasi biologis yang kerap kali benar, terminologi ini menunjukan
perbedaan yang lebih jelas di antara tipe-tipe daripada yang di jumpai di alam. Klasifikasi reaksi suhu
tiga pihak tidak memperhitungkan seluruh variasi di antara bakteri berkenaan dengan adanya perluasan
kisaran suhu yang memungkinkan pertumbuhan. Perbedaan dalam kisaran suhu di antara termofil
kadang-kadang dinyatakan dengan istilah stenotermofil (organisme yang tidak dapat tumbuh di bawah
37 C),
dan euritermofil (organisme yang dapat tumbuh di bawah 37 C). psikrofil yang masih dapat tumbuh di
atas 20 C di sebut psikrofil fakultatif; dan yang tidak dapat tumbuh di atas 20 C di sebut psikrofil
obligat.
Garis dengan satu tanda panah menunjukkan batas suhu tumbuh untuk paling sedikit satu galur spesies
itu terdapat variasi di antara bermacam galur beberapa spesies. Tanda dengan dua panah menunjukkan
bahwa pada batas suhu sebenarnya terletak di antara tanda panah tersebut. Garis dengan titik-titik
menunjukkan bahwa pertumbuhan minimum belum ditentukan. Data yang menggambarkan kisaran
suhu tumbuh berbagai macam bakteri menunjukkan sifat termofil, mesofil, dan psikrofil yang agak
berubah-ubah.
Kisaran suhu yang memungkinkan pertumbuhan itu berubah-ubah seperti halnya suhu-suhu maksimum
dan minimum. Kisaran suhu beberapa bakteri kurang dari 10C, sedangkan untuk lainnya dapat sampai
50C.
Faktor yang menentukan batas suhu untuk tumbuh telah disingkapkan oleh dua macam penelitian;
perbandingan antara sifat organisme dengan kisaran suhu yang sangat berbeda; dan analisis sifat mutan
yang peka terhadap suhu, kisaran suhunya menjadi lebih sempit oleh perubahan satu mutan. Ada dua
macam mutan yang peka terhadap suhu; mutan peka panas, dengan suhu tumbuh maksimum yang
menurun ; dan mutan peka dingin, dengan suhu tumbuh minimum yang menaik.
Studi mengenai kinetika denaturasi panas pada enzim dan struktur sel yang berprotein (misalnya
flagelum, ribosom) menunjukkan bahwa banyak protein khusus pada bakteri termofil lebih tahan panas
daripada protein homolognya dari bakteri mesofil. Mungkin pula untuk mengira-ngirakan ketahanan
panas menyeluruh protein sel yang dapat larut, dengan mengukur kecepatan protein di dalam ekstrak
bakteri menjadi tidak larut karena denaturasi panas pada beberapa suhu yang berbeda. Percobaan
seperti ini (Tabel 10.6). Dengan jelas menunjukkan bahwa pada hakekatnya semua protein bakteri
termofilik setelah perlakuan panas tetap pada tingkat asalnya yang sebenarnya menghilangkan semua
protein mesofil yang sekelompok. Karena itu adaptasi mikroorganisme termofilik terhadap suhu di
sekitarnya hanya dapat dicapai dengan perubahan mutasional yang mempengaruhi struktur utama
kebanyakan (jika tidak semua) protein sel tersebut. Meskipun adaptasi evalusionar yang menghasilkan
termofil agaknya melibatkan ,mutasi yang meningkatkan ketahanan panas proteinnya , namun
kebanyakan mutasi yang berpengaruh pada struktur utama suatu protein khusus ( misalnya enzin)
mengurangi ketahanan panas protein tersebut, walaupun banyak di antara mutasi ini mungkin
berpengaruh sedikit atau tidak sama sekali pada sifat-sifat katalitik. Akibatnya, dengan tidak adanya
seleksi tandingan oleh tantangan panas, maka suhu maksimum untuk pertumbuhan mikroorganisme
apa pun harus menurun secara berangsur-angsur sebagai akibat mutasi acak yang berpengaruh pada
struktur pertama proteinnya. Kesimpulan ini ditunjang oleh pengamatan bahwa bakteri psikrofilik
yangdiisolasi dari air antartik mengandung sejumlah besar protein yang luar biasa labilnya terhadap
panas.
Pada suhu rendah, semua protein mengalami sedikit perubahan bentuk, yang dianggap berasal dari
melemahnya ikatan hidrofobik yang memegang peran penting dalam penentuan struktur tartier
(berdimensi tiga). Semua tipe ikatan lain pada protein menjadi lebih kuat bila suhu diturunkan.
Pentingnya bentuk yang tepat untuk fungsi sebenarnya protein alosterik dan untuk perakitan sendiri
protein ribosomal menjadi kedua kelas protein ini teramat peka terhadap inaktivasi dingin. Oleh karen
aitu, tidaklah mengherankan bahwa mutasi yang menaikkan suhu minimum untuk pertumbuhan
biasanya terjadi di dalam gen yang menyandikan protein-protein ini.
Susunan lipid pada hampir semua organisme, baik prokariota maupun eukariota, berubah-ubah
menurut suhu tumbuh. Bila suhu turun, kandungan relatif asam lemak tidak jenuh didalam lipid selular
meningkat. Ilustrasi kejadian ini pada E. coli tampak pada perubahan dalam susunan lemak ini adalah
komponen penting daripada adaptasi suhu pada bakteri. Titik cair lipid berhubungan langsung dengan
asam lemak jenuh. Akibatnya, derajat kejenuhan asam lemak pada lipid membran menentukan derajat
keadaan cairnya pada suhu tertentu. Karena fungsi membran bergantung pada keadaan cair komponen
lipid, dapatlah dipahami bahwa pertumbuhan pada suhu rendah haruslah diikuti dengan penambahan
derajat ketidakjenuhan asam lemak.
2. pH
Mikrobia dapat tumbuh baik pada daerah pH tertentu, misalnya untuk bakteri pada pH 6,5 7,5; khamir
pada pH 4,0 4,5 sedangkan jamur dan aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia
mempunyai pH minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan atas perbedaan
daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yang asidofil, mesofil ( neutrofil ) dan
alkalofil. Untuk menahan perubahan dalam medium sering ditambahkan larutan bufer. pH optimum
pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri antara 6,5 dan 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh
dalam keaadaan sangat masam atau sangat alkalin, bila bakteri di kuitivasi di dalam suatu medium yang
mula-mula disesuaikan pHnya misal 7 maka mungkin pH ini akan berubah sebagai akibat adanya
senyawasenyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya. Pergesaran pH ini dapat
sedemikian besar sehingga mengahambat pertumbuhan seterusnya organisme itu. Pergeseran pH dapat
dapat dicegah dengan menggunakan larutan penyangga dalam medium, larutan penyangga adalah
senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan perubahan pH.
Istilah pH pada suatu symbol untuk derajat keasaman atau alkanitas suatu larutan; pH=log (1/[H+])
dengan [H+] sebagai konsentrasi ion hydrogen. pH air suling ialah 7,0 (netral); cuka 2,25; sari tomat, 4,2;
susu, 6,6; natrium bikarbonat (0,1N), 8,4; susu magnesia, 10,5.
Tabel 5.7 Indikator Asam Basa
NAMA INTERVAL pH PK INDIKATOR WARNA
ASAM BASA
Biru timol 8,0 9,6 1,7 Merah kuning
Biru brom fenol 3,0 4,6 4,1 Kuning biru
Merah metal 4,4 6,2 5,0 Merah kuning
Biru brom timo l 6,0 7,6 7,1 Kuning biru
Merah feno 6,8 8,4 7,8 Kuning merah
Merah kresol 7,0 8,8 8,2 Kuning merah
Fenolftalein 8,2 9,8 9,6 Tak berwarna -merah muda
Tabel 5.8 pH minimum, optimum, dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri
Bakteri KISARAN pH UNTUK PERTUMBUHAN
Batas bawah Optimum Batas atas
Thiobacillus 0,5 2,0-3,5 6,0
Thiooxidans 4,0-4,5 5,4-6,3 7,0-8,0
Acetobacter aceti 4,2 7,0-7,5 9,3
Staphylococcus aureus 5,5 7,0-7,5 8,5
Azotobacter spp 6,0 6,8 7,0
Clhorobium limicola 6,0 7,5 7,8 9,5
Thermos aquaticus
Atas dasar daerah-daerah pH bagi kehidupan mikroorganisme dibedakan menjadi 3 golongan besar
yaitu:
Mikroorganisme yang asidofilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0-5,0
Mikroorganisme yang mesofilik (neutrofilik), yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 5,5-8,0
Mikroorganisme yang alkalifilik, yaitu jasad yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4-9,5
Suhu, lingkungan, gas dan pH adalah faktor-faktor fisik utama yang harus dipertimbangkan di dalam
penyediaan kondisi optimum bagi pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri. Beberapa kelompok
bakteri mempunyai persyaratan tambahan. Sebagai contoh, organisme fotoautotrofik (fotosintetik)
harus diberi sumber pencahayaan, karena cahaya adalah sumber energinya. Pertumbuhan bakteri dapat
dipengaruhi oleh keadaan tekanan osmotik (tenaga atau tegangan yang terhimpun ketika air berdifusi
melalui suatu membran) atau tekanan hidrostatik (tegangan zat alir). Bakteri tertentu, yang disebut
bakteri halofilik dan dijumpai di air asin, wadah berisi garam, makanan yang diasin, air laut, dan danau
air asin, hanya tumbuh bila mediumnya mengandung konsentrasi garam yang tinggi. Air laut
mengandung 3,5 persen natrium klorida; di danau air asin, konsentrasi natrium kloridanya dapat
mencapai 25 persen. Mikroorganisme yang membutuhkan NaCl untuk pertumbuhannya di sebut halofil
obligat mereka tidak akan tumbuh kecuali bila konsentrasi garamnya tinggi, yang dapat tumbuh dalam
larutan natrium kloride tetapi tidak mensyaratkannya disebut halofil fakultatif mereka tumbuh dalam
lingkungan berkonsentrasi garam tinggi atau rendah. Ini menunjukkan adanya tanggapan terhadap
tekanan osmotik. Telah diisolasi bakteri dari parit-parit terdalam dilautan yang tekanan hidrostatiknya
mencapai ukuran ton meter persegi.
Tabel 5.9 Kondisi-kondisi fisik yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri
Kondisi Fisik Tipe Bakteri Kondisi Biakan
(Kelompok Psikologis) (Inkubasi
Suhu (kisaran Psikrofil 0 30c
pertumbuhan) : Mesofil 25 40c
minimum dan Termofil :
maksimum; Termofil 25 55c
optimumnya pada Fakultatif (bebas pilih)
suatu titik didalam Termofil obligat 45 75c
kisaran bergantung ada
spesies Aerob Hanya tumbuh bila
ada oksigen bebas
Anaerob Hanya tumbuh
Persyaratan akan gas tanpa oksigen
Anaerob fakultatif bebas
Tumbuh baik tanpa
Mikroaerofil oksigen bebas
Tumbuh bila ada
oksigen bebas
dalam jumlah
sedikit
Kebanyakan bakteri
berkaitan dengan
kehidupan hewan dan pH optimum 6,5
Keasaman atau tumbuhan 7,5
alkanitas (pH) Beberapa spesies eksotik
pH minimum 0,5;
Fotosintetik (autotrof dan pH maksimum 9,5
heterotrof)
Cahaya sumber cahaya
Halofil (halofil obligat)
Salinitasi konsentrasi garam
yang tinggi, 10 15% NaCl
3. Kelembaban
Mikroorganisme mempunyai nilai kelembaban optimum. Pada umumnya untuk pertumbuhan ragi dan
bakteri diperlukan kelembaban yang tinggi diatas 85C, sedangkan untuk jamur dan aktinomises
diperlukan kelembaban yang rendah dibawah 80C. Kadar air bebas didalam lautan (aw) merupakan nilai
perbandingan antara tekanan uap air larutan dengan tekanan uap air murni, atau 1/100 dari
kelembaban relatif. Nilai aw untuk bakteri pada umumnya terletak diantara 0,90 0,999 sedangkan
untuk bakteri halofilik mendekati 0,75. Banyak mikroorganisme yang tahan hidup didalam keadaan
kering untuk waktu yang lama seperti dalam bentuk spora, konidia, arthrospora, klamidospora dan kista.
Seperti halnya dalam pembekuan, proses pengeringan protoplasma, menyebabkan kegiatan
metaobolisme terhenti. Pengeringan secara perlahan-lahan menyebabkan perusakan sel akibat
pengaruh tekanan osmosa dan pengaruh lainnya dengan naiknya kadar zat terlarut.
4. Tekanan osmosis
Pada umumnya mikrobia terhambat pertumbuhannya di dalam larutan yang hipertonis. Karena sel-sel
mikrobia dapat mengalami plasmolisa. Didalam larutan yang hipotonis sel mengalami plasmoptisa yang
dapat di ikuti pecahnya sel. Beberapa mikrobia dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmose yang
tinggi; tergantung pada larutanya dapat dibedakan jasad osmofil dan halofil atau halodurik. Medium
yang paling cocok bagi kehidupan bakteri ialah medium yang isotonik terhadap isi sel bakteri. Jika
bakteri di tempatkan di dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap isi sel, maka bakteri akan
mengalami plasmolisis. Larutan garam atau larutan gula yang agak pekat mudah benar menyebabkan
terjadinya plasmolisis ini. Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air
sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain, bakteri dapat mengalami
plasmoptisis. Berdasarkan inilah maka pembuatan suspense bakteri dengan menggunakan air murni itu
tidak kena, yang digunakan seharusnyalah medium cair.
Jika perubahan nilai osmosis larutan medium tidak terjadi sekonyongkonyong, akan tetapi perlahan-
lahan sebagai akibat dari penguapan air, maka bakteri dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak terjadi
plasmolisis secara mendadak.
6. Senyawa toksik
Ion-ion logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, Zn, Li, dan Pb. Walaupun pada kadar sangat rendah akan
bersifat toksis terhadap mikroorganisme karena ion-ion logam berat dapat bereaksi dengan gugusan
senyawa sel. Daya bunuh logam berat pada kadar rendah disebut daya ologodinamik. Anion seperti
sulfat tartratklorida, nitrat dan benzoat mempengaruhi kegiatan fisiologi mikroorganisme. Karena
adanya perbedaan sifat fisiologi yang besar pada masing-masing mikroorganisme maka sifat meracun
dari anion tadi juga berbeda-beda. Sifat meracun alakali juga berbeda-beda, tergantung pada jenis
logamnya. Ada beberapa senyawa asam organik seperti asam benzoat, asetat dan sorbet dapat
digunakan sebagai zat pengawet didalam industry bahan makanan. Sifat meracun ini bukan disebabkan
karena nilai pH, tetapi merupakan akibat langsung dari molekul asam organik tersebut terhadap
gugusan didalam sel.
7. Tegangan Muka
Tegangan muka mempengaruhi cairan sehingga permukaannya akan menyerupai membran yang elastis,
sehingga dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme. Protoplasma mikroorganisme terdapat
didalam sel yang dilindungi dinding sel. Dengan adanya perubahan bahan pada tegangan muka dinding
sel, akan mempengaruhi permukaan protoplasma, yang akibatnya dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perubahan bentuk morfologinya. Bakteri yang hidup didalam alat pencernaan dapat
berkembangbiak didalam medium yang mempunyai tegangan permukaan relatif rendah. Tetapi
kebanyakan lebih menyukai tegangan permukaan yang relatif tinggi.
8. Tekanan Hodrostatik dan Mekanik
Beberapa jenis mikroorganisme dapat hidup didalam samudra pasifik dengan tekanan lebih dari 1208 kg
tiap cm persegi, dan kelompok ini disebut barofilik. Selain itu tekanan yang tinggi akan menyebabkan
meningkatnya beberapa reaksi kimia, sedang tekanan diatas 7500 kg tiap cm persegi dapat
menyebabkan denaturasi protein. Perubahan-perubahan ini mempengaruhi proses biologi sel jasad
hidup.
9. Kebasahan dan kekeringan
Bakteri sebenarnya mahluk yang suka akan keadaan basah, bahkan dapat hidup di dalam air. Hanya di
dalam air yang tertutup mereka tak dapat hidup subur; hal ini di sebabkan karena kurangnya udara bagi
mereka. Tanah yang cukup basah baiklah bagi kehidupan bakteri. Banyak bakteri menemui ajalnya, jika
kena udara kering. Meningococcus, yaitu bakteri yang menyebabkan meningitis, itu mati dalam waktu
kurang daripada satu jam, jika digesekkan di atas kaca obyek. Sebaliknya,spora-spora bakteri dapat
bertahan beberapa tahun dalam keadaan kering.
Pada proses pengeringan, air akan menguap dari protoplasma. Sehingga kegiatan metabolisme berhenti.
Pengeringan dapat juga merusak protoplasma dan mematikan sel. Tetapi ada mikrobia yang dapat tahan
dalam keadaan kering, misalnya mikrobia yang membentuk spora dan dalam bentuk kista. Adapun
syarat-syarat yang menentukan matinya bakteri karena kekeringan itu ialah:
Bakteri yang ada dalam medium susu, gula, daging kering dapat bertahan lebih lama daripada di dalam
gesekan pada kaca obyek. Demikian pula efek kekeringan kurang terasa, apabila bakteri berada di dalam
sputum ataupun di dalam agar-agar yang kering.
Pengeringan di dalam terang itu pengaruhnya lebih buruk daripada pengeringan di dalam gelap.
Pengeringan pada suhu tubuh (37C) atau suhu kamar (+ 26 C) lebih buruk daripada pengeringan pada
suhu titik-beku.
Pengeringan di dalam udara efeknya lebih buruk daripada pengeringan di dalam vakum ataupun di
dalam tempat yang berisi nitrogen. Oksidasi agaknya merupakan faktor-maut.
10. Sinar gelombang pendek
Sinar-sinar yang mempunyai panjang gelombang pendek (misalnya sinar, sinar Ultra violet, sinar gama),
mempunyai daya penetrasi yang cukup besar terhadap mikribia. Sinar-sinar tersebut dapat
menyebabkan kematian. Perubahan genetik (mutasi) atau penghambatan pertumbuhan mikrobia. Sinar-
sinar tersebut banyak digunakan di dalam praktek sterilisasi dan pengawetan bahan makanan.
Kebanyakan bakteri tidak dapat mengadakan fotosintesis, bahkan setiap radiasi dapat berbahaya bagi
kehidupannya. Sinar
yang nampak oleh mata kita, yaitu yang bergelombang antara 390 m sampai 760 m , tidak begitu
berbahaya; yang berbahaya ialah sinar yang lebih pendek gelombangnya, yaitu yang bergelombang
antara 240 m sampai 300 m . Lampu air rasa banyak memancarkan sinar bergelombang pendek ini.
Lebih dekat, pengaruhnya lebih buruk. Dengan penyinaran pada jarak dekat sekali, bakteri bahkan dapat
mati seketika, sedang pada jarak yang agak jauh mungkin sekali hanya pembiakannya sajalah yang
terganggu. Spora-spora dan virus lebih dapat bertahan terhadap sinar ultra-ungu. Sinar ultra-ungu biasa
dipakai untuk mensterilkan udara, air, plasma darah dan bermacam-macam bahan lainya. Suatu
kesulitan ialah bahwa bakteri atau virus itu mudah sekali ketutupan benda-benda kecil, sehingga dapat
terhindar dari pengaruh penyinaran. Alangkah baiknya, jika kertas-kertas pembungkus makanan, ruang-
ruang penyimpan daging, ruang-ruang pertemuan, gedunggedung bioskop dan sebagainya pada waktu-
waktu tertentu dibersihkan dengan penyinaran ultra-ungu. Sinar X dan sinar radium yang bergelombang
lebih pendek daripada sinar ultra-ungu juga dapat membunuh mikroorganisme, akan tetapi memerlukan
lebih banyak dosis daripada sinar ultra-ungu. Bakteri yang disinari dengan sinar X kerap kali mengalami
mutasi. Aliran listrik tidak nampak berbahaya bagi kehidupan bakteri. Jika ada bakteri yang mati
karenanya, hal ini di sebabkan oleh panas atau oleh zat-zat yang timbul di dalam medium sebagai akibat
daripada arus listrik, seperti ozon dan klor (chlor).
11. Tegangan muka
Tegangan muka mempengaruhi cairan sehingga permukaan cairan itu menyerupai membran yang
elastik. Demikian juga permukaan cairan yang menyelubungi sel mikrobia. Tekanan dari membran cairan
ini di teruskan ke dalam protoplasma sel melalui dinding sel dan membran sitoplasma, Sehingga dapat
mempengaruhi kehidupan mikrobia. Kebanyakan bakteri lebih menyukai tegangan muka yang relatif
tinggi. Tetapi adapula yang hidup pada tegangan muka yang relatif rendah. Misalnya bakteri-bakteri
yang hidup dalam saluran pencernaan. Sabun mengurangi ketegangan permukaan, dan oleh karena itu
dapat menyebabkan hancurnya bakteri. Diplococcus pneumoniae sangat peka terhadap sabun. Empedu
juga mempunyai khasiat seperti sabun; hanya bakteri yang hidup di dalam usus mempunyai daya tahan
terhadap empedu. Bolehlah dikatakan pada umumnya, bahwa bakteri yang Gram negatif lebih tahan
terhadap pengurangan (depresi) tegangan permukaan daripada bakteri yang Gram positif.
12. Daya oligodinamik
Ion-ion logam berat seperti Hg++ , Cu++ , Ag++ dan Pb++ pada kadar yang sangat rendah bersifat toksis
terhadap mikrobia. Karena ion-ion tersebut dapat bereaksi dengan bagian-bagian penting dalam sel.
Daya bunuh logam-logam berat pada kadar yang sangat rendah ini di sebut daya oligodinamik. Garam
dari beberapa logam berat seperti air rasa dan perak dalam jumlah yang kecil saja dapat membunuh
bakteri, daya mana di sebut oligodinamik. Hal ini mudah sekali di pertunjukkan dengan suatu
eksperimen. Sayang benar garam dari logam berat itu mudah merusak kulit, makan alatalat yang terbuat
dari logam, dan lagipula mahal harganya. Meskipun demikian, orang masih biasa menggunakan
merkuroklorida (sublimat) sebagai desinfektan. Hanya untuk tubuh manusia lazimnya kita pakai
merkurokrom, metafen atau mertiolat. Persenyawaan air rasa yang organic dapat pula dipergunakan
untuk membersihkan biji-bijian supaya terhindar dari gangguan bangsa jamur. Nitrat perak 1 sampai 2%
banyak digunakan untuk menetesi selaput lender, misalnya pada mata bayi yang baru lahir untuk
mencegah gonorhoea. Banyak juga orang yang mempergunakan persenyawaan perak dan protein.
Garam tembaga jarang dipakai sebagai bakterisida, akan tetapi banyak digunakan untuk menyemprot
tanamantanaman mematikan tumbuhan ganggang dikolam-kolam renang.
13. Desinfektan
Pada umumnya bakteri muda itu kurang daya-tahannya terhadap desinfektan daripada bakteri yang tua.
Pekat encernya konsentrasi, lama berada dibawah pengaruh desinfektan, merupakan faktor-faktor yang
masuk pertimbangan pula. Kenaikan suhu menambah daya desinfektan. Selanjutnya, medium dapat
juga menawar daya desinfektan. Susu, plasma darah, dan zat-zat lain yang serupa protein sering
melindungi bakteri terhadap pengaruh desinfektan tertentu. Dalam menggunakan desinfektan haruslah
diperhatikan hal-hal tersebut dibawah ini. Apakah suatu desinfektan tidak meracuni suatu jaringan,
apakah ia tidak menyebabkan rasa sakit, apakah ia tidak memakan logam, apakah ia dapat diminum,
apakah ia stabil, bagaimanakah baunya, bagaimanakah warnanya, apakah ia mudah dihilangkan dari
pakaian apabla desinfektan tersebut sampai kena pakaian, dan apakah ia murah harganya. Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan orang sulit untuk menilai suatu desinfektan. Zat-zat yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan bakteri dapat dibagi atas garam-garam logam, fenol dan senyawa-
senyawa lain yang sejenis, formaldehida, alcohol, yodium, klor dan persenyawaan klor, zat warna,
detergen, sulfonamide, dan anti biotik.
a. Fenol Dan Senyawa-Senyawa Lain Yang Sejenis
Larutan fenol 2 sampai 4% berguna bagi desinfektan. Kresol atau kreolin lebih baik khasiatnya daripada
fenol. Lisol ialah desinfektan yang berupa campuran sabun dengan kresol; lisol lebih banyak digunakan
daripada desinfektan-desinfektan yang lain. Karbol ialah lain untuk fenol. Seringkali orang
mencampurkan bau-bauan yang sedap, sehingga desinfektan menjadi menarik.
b. Formaldehida (CH2O)
Suatu larutan formaldehida 40% biasa disebut formalin. Desinfektan ini banyak sekali digunakan untuk
membunuh bakteri, virus, dan jamur. Formalin tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh manusia,
akan tetapi banyak digunakan untuk merendam bahanbahan laboratorium, alat-alat seperti gunting,
sisir dan lain-lainnya pada ahli kecantikan.
c. Alkohol
Etanol murni itu kurang daya bunuhnya terhadap bakteri. Jika dicampur dengan air murni, efeknya lebih
baik. Alcohol 50 sampai 70% banyak digunakan sebagai desinfektan.
d. Yodium
Yodium-tinktur, yaitu yodium yang dilarutkan dalam alcohol, banyak digunakan orang untuk
mendesinfeksikan luka-luka kecil. Larutan 2 sampai 5% biasa dipakai. Kulit dapat terbakar karenanya ,
oleh sebab itu untuk luka-luka yang agak lebar tidak digunakan yodium-tinktur.
e. Klor Dan Senyawa Klor
Klor banyak digunakan untuk sterilisasi air minum. Persenyawaan klor dengan kapur atau natrium
merupakan desinfektan yang banyak dipakai untuk mencuci alat-alat makan dan minum.
f. Zat Warna
Beberapa macam zat warna dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada umumnya bakteri gram
positif iktu lebih peka terhadap pengaruh zat warna daripada bakteri gram negative. Hijau berlian, hijau
malakit, fuchsin basa, kristal ungu sering dicampurkan kepada medium untuk mencegah
pertumbuhanbakteri gram positif. Kristal ungu juga dipakai untuk mendesinfeksikan luka-luka pada kulit.
Dalam penggunaan zat warna perlu diperhatikan supaya warna itu tidak sampai kena pakaian.
g. Obat Pencuci (Detergen)
Sabun biasa itu tidak banyak khasiatnya sebagai obat pembunuh bakteri, tetapi kalau dicampur dengan
heksaklorofen daya bunuhnya menjadi besar sekali. Sejak lama obat pencuci yang mengandung ion
(detergen) banyak digunakan sebagai pengganti sabun. Detergen bukan saja merupakan bakteriostatik,
melainkan juga merupakan bakterisida. Terutama bakteri yang gram positif itu peka sekali terhadapnya.
Sejak 1935 banyak dipakai garam amonium yang mengandung empat bagian. Persenyawaan ini terdiri
atas garam dari suatu basa yang kuat dengan komponen-komponen. Garam ini banyak sekali digunakan
untuk sterilisasi alat-alat bedah, digunakan pula sebagai antiseptik dalam pembedahan dan persalinan,
karena zat ini tidak merusak jaringan, lagipula tidak menyebabkan sakit. Sebagai larutan yang encer pun
zat ini dapat membunuh bangsa jamur, dapat pula beberapa genus bakteri Gram positif maupun Gram
negatif. Agaknya alkil-dimentil bensil-amonium klorida makin lama makin banyak dipakai sebagai
pencuci alat-alat makan minum di restoran-restoran. Zat ini pada konsentrasi yang biasa dipakai tidak
berbau dan tidak berasa apa-apa.
h. Sulfonamida
Sejak 1937 banyak digunakan persenyawaan-persenyawaan yang mengandung belerang sebagai
penghambat pertumbuhan bakteri dan lagi pula tidak merusak jaringan manusia. Terutama bangsa
kokus seperti Streptococcus yang menggangu tenggorokan, Pneumococcus, Gonococcus, dan
Meningococcus sangat peka terhadap sulfonamida. Penggunaan obat-obat ini, jika tidak aturan akan
menimbulkan gejalagejala alergi, lagi pula obat-obatan ini dapat menimbulkan golongan bakteri menjadi
kebal terhadapnya. Khasiat sulfonamida itu terganggu oleh asam-p-aminobenzoat. Asam-p-
aminobenzoat memegang peranan sebagai pembantu enzim-enzim pernapasan, dalam hal itu dapat
terjadi persaingan antara sulfanilamide dan asam-paminobenzoat. Sering terjadi, bahwa bakteri yang
diambil dari darah atau cairan tubuh orang yang habis diobati dengan sulfanilamide itu tidak dapat
dipiara di dalam medium biasa. Baru setelah dibubuhkan sedikit asam-p-aminobenzoat ke dalam
medium tersebut, bakteri dapat tumbuh biasa.
.
Gambar 5.5 Rumus bangun sulfonamide dan asam-p-aminobenzoat
i. Antibiotik
Menurut Waksman, antibiotik ialah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, dan zat-zat itu dalam
jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat kegiatan mikroorganisme yang lain. Antibiotik
yang pertama dikenal ialah pinisilin, yaitu suatu zat yang dihasilkan oleh jamur Pinicillium. Pinisilin di
temukan oleh Fleming dalam tahun 1929, namun baru sejak 1943 antibiotik ini banyak digunakan
sebagai pembunuh bakteri. Selama Perang Dunia Kedua dan sesudahnya bermacam-macam antibiotik
diketemukan, dan pada dewasa ini jumlahnya ratusan.
Genus Streptomyces menghasilkan streptomisin, aureomisin, kloromisetin, teramisin, eritromisin,
magnamisin yang masing-masing mempunyai khasiat yang berlainan. Akhir-akhir ini orang telah dapat
membuat kloromisetin secara sintetik, obat-obatan ini terkenal sebagai kloramfenikol. Diharapkan
antibiotik-antibiotik yang lain pun dapat dibuat secara sintetik pula.
Ada yang kita kenal beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh golongan jamur, melainkan oleh
golongan bakteri sendiri, misalnya tirotrisin dihasilkan oleh Bacillus brevis, basitrasin oleh Bacillus
subtilis, polimiksin oleh Bacillus polymyxa.Antibiotik yang efektif bagi banyak spesies bakteri, baik kokus,
basil, maupun spiril, dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya, suatu antibiotik yang hanya
efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik yang spektrumnya sempit. Pinisilin hanya efektif untuk
membrantas terutama jenis kokus, oleh karena itu pinisilin dikatakan mempunyai spektrum yang
sempit. Tetrasiklin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu, oleh karena itu tetrasiklin dikatakan
mempunyai spektrum luas. Sebelum suatu antibiotik digunakan untuk keperluan pengobatan, maka
perlulah terlebih dahulu antibiotik itu diuji efeknya terhadap spesies bakteri tertentu. Pada medium
agar-agar yang telah disebari spesies bakteri tertentu diletakkan beberapa kepingan kertas yang masing-
masing mengandung antibiotik yang diuji dalam kontrentasi yang tertentu. Jika sesudah 24 jam
kemudian tidak nampak pertumbuhan bakteri sekitar bahwa bakteri itu tercekik pertumbuhannya oleh
antibiotik yang terkandung dalam kepingan kertas. Besar kecilnya daerah kosong sekitar kepingan kertas
itu sesuai dengan konsentrasi antibiotik yang terkandung didalamnya.
Sesuai dengan keperluan, maka suatu antibiotik dapat diberikan kepada seorang pasien dengan jalan
penelanan atau penyuntikan. Penyuntikan dapat dilakukan intra vena (dalam pembuluh darah balik)
atau intra muscular (dalam daging).
a. daerah pertumbuhanbakteri
b. kepingan kertas yangmengandung antibioticdalam konsentasitertentu.
c. daerah kosong
a. daerah pertumbuhanbakteri
b. kepingan kertas yangmengandung antibioticdalam konsentasitertentu.
c. daerah kosong
Gambar 5.6 Pengaruh antibiotic terhadap pertumbuhan bakteri, M adalah agar-agar lempengan yang
disebari bakteri
j. Garam Garam Logam
Garam dari beberapa logam berat seperti air raksa dan perak dalam jumlah yang kecil saja dapat
menumbuhnkan bakteri, daya mana disebut oligodinamik. Hal ini mudah sekali dipertunjukkan dengan
suatu eksperimen.
Sayang benar garam dari logam berat itu mudah merusak kulit, maka alatalat yang terbuat dari logam,
dan lagi pula mahal harganya. Meskipun demikian orang masih bisa menggunakan merkuroklorida
(sublimat) sebagai desinfektan. Hanya untuk tubuh manusia lazimnya kita pakai merkurokrom, metafen
atau mertiolat.
Persenyawaan air rasa yang organik dapat pula dipergunakan untuk membersihkan biji bijian supaya
terhindar dari gangguan bangsa jamur. Nitrat perak 1 sampai 2% banyak digunakan untuk menetesi
selaput lendir, misalnya pada mata bayi yang baru lahir untuk mencegah gonorhoea. Banyak juga orang
mempergunakan persenyawaan perak dengan protein. Garam tembaga jarang dipakai sebagai
bakterisida, akan tetapi banyak digunakan untuk menyemprot tanaman dan untuk mematikan
tumbuhan ganggang di kolamkolam renang.
Cara Menilai Khasiat Desinfektan
Untuk mengetahui kekuatan masing-masing desinfektan, orang perlu mempunyai suatu ukuran pokok.
Adapun zat yang dipakai ialah fenol. Mikroorganisme yang dipakai sebagai penguji khasiat desinfektan
ialah Salmo nella typhosa, kadang-kadang digunakan juga Micrococcus aureus. Desinfektan yang akan
diuji itu di encerkan menurut perbandingan tertentu. Misal, kita membuat 2 larutan fenol, yang satu
(1:90) dan yang lain (1:100). Di samping itu kita membuat beberapa larutan suatu desinfektan A yang
akan kita banding khasiatnya dengan khasiat fenol. Katakan, larutan desinfektan A itu (1:300), (1:350),
(1:400), (1:450). Dari tiap-tiap larutan kita ambil 5 ml untuk kita masukkan dalam tabung steril
banyaknya tabung sesuai dengan banyaknya larutan fenol dan desinfektan A. kita memerlukan 3
perangkat dalam pengujian ini, yaitu 12 tabung untuk desinfektan 0,5 ml inokulum Salmonella typhosa
yang masih muda. Setelah 5 menit berada di dalam larutan, maka diambillah satu kolong inokulum
untuk digesekkan pada agar-agar lempengan, dan piaraan ini kemudian disimpan dalam suhu 37 C.
Setelah berselang 48 jam piaraan dapat diperiksa tentang ada tidaknya koloni-koloni Salmonella. Jika tak
ada pertumbuhan, hal ini berarti bahwa bakteri telah mati ketika diambil dari tabung yang berisi larutan
desinfektan. Hal semacam ini dikerjakan pula dengan perangkat kedua, dimana Salmonella dibiarkan
berada dalam larutan selama 10 menit. Di dalam perangkat yang ketiga bakteri dibiarkan selama 15
menit berada dalam desinfektan.
5.2 Faktor-Faktor Biotik
Faktor-faktor biotik ialah faktor-faktor yang disebabkan jasad (mikrobia)
atau kegiatannya yang dapat mempengaruhi kegiatan (pertumbuhan) jasad atau mikrobia lain. Faktor-
faktor tersebut antara lain ialah adanya asosiasi atau kehidupan bersama diantara jasad. Asosiasi dapat
dalam bentuk komensalisme, mutualisme, parasitisme, simbiose, sinergisme, antibiose dan sintropisme.
Komensalisme
Merupakan asosiasi yang sangat renggang, dimana salah satu jenis mendapatkan keuntungan sedang
lainnya tidak mendapat keuntungan atau kerugian.
Mutualisme
Merupakan bentuk assosiasi dimana masing-masing jenis mendapat keuntungan. Sering simbiosis
dipakai untuk menyatakan bentuk assosiasi yang mutualistik, tetapi sekarang orang lebih banyak
menggunakan istilah mutualisme. Sebagai contoh mutualisme antara bakteri Rhizobium dengan polong-
polongan.
Parasitisme
Merupakan bentuk assosiasi diantara parasit dengan jasad inang. Jasad parasit yang obligat dapat
merusak jasad inang dan pada akhirnya memusnahkan. Keadaan ini akan dapat pula memusnahkan
(melenyapkan) parasitnya sendiri, karena jasad inang sebagai sumber kehidupannya.
Simbiosis
Simbiosis ialah asosiasi antara dua atau lebih jasad (mikrobia) di mana satu jenis (spesies) di antara jasad
yang berasosiasi tersebut mendapat keuntungan, Sedangkan jasad yang lain mungkin mengalami
kerugian atau tidak, tergantung pada macamnya simbiose. Simbiose dapat dibedakan tiga macam, ialah
komensalisme, mutualisme, dan
parasitisme.
Sinergisme
Sinergisme ialah suatu bentuk asosiasi yang menyebabkan terjadinya suatu kemampuan untuk
melakukan perubahan kimia tertentu dalam suatu subtrat atau medium. Tanpa sinergisme masing-
masing mikkrobatidak mampu melakukan perubahan tersebut.
Antibiosis
Antibiosis disebut juga antagonisme atau amensalisme ialah suatu bentuk asosiasi antara jasat
(mikkroba) yang menyebabkan salah satu pihak dalam asosiasi tersebut terbunuh. tErhambat
pertumbuhannya atau mengalami gangguan-gangguan yang lain. Contohnya adanya pembentukan
toksindan sat-sat antibiotika oleh salah satu mikroorganisme pada suatu asosiasi.
Sintropisme
Sintropisme disebut juga nutrisi bersama atau mutualnutrition ialah bentuk asosiasi yang lebih komplek .
sebab biasanya terdiri atas berjenis-jenis mikroorganisme yang satu dengan yang lainnyaakan saling
menstimulasi kegiatan {pertumbuhan}-nya misalnya mikrobia jenis pertama akan menguraikan suatu
subtrad yang hasilnya dapat digunakan dan di uraikan oleh mikrobia jenis kedua dan yang hasil hasilnya
dapat digunakan oleh mikrobia jenis ketiga dan seterusnya yang hasil hasilnya akhirnya dapat
menstimulasi kegiatan mikrobia jenis pertama.
5.3 Fungi Dan Lingkungannya
Christensen (1957) membagi fungi dalam 3 golongan berdasar keadaan lingkungan perkembangannya
yaitu: 1) fungi lapangan (field fungi), 2) fungi penyimpanan (storage fungi) dan 3) fungi perusakan
lanjutan (advanced decay fungi). Golongan 3) merupakan bagian sementara, sedang 2 bagian terdahulu
khusus padakomoditas biji-bijian. (Bothast, 1978). Fungi lapangan menyerang bijian yang sedang dan
masak penuh dengan kandungan air paling sedikit 20% atau keseimbangan lembab relatif (Rh) 90
100%; fungi penyimpanan menyerang bijian yang tersimpan setelah panen dengan kandungan air
sekitar 13 20 % atau keseimbangan lembab relative (Rh) 70 90% (Bothast, 1978).
Contoh fungi lapangan adalah alternaria, Fusarium, Helminthosporium dan Cladosporium (Uraguci dan
yamazaki, 1978). Juga termasuk pula Curvularia, Stemphylium, Epicoccum dan Nigospora yang
umumnya menyerang dekat atau saat panen (Bothast, 1978). Menurut Christensen dan Kauftmann
(1969) dilaporkan lebih dari 150 spesies fungi telah diisolasi dari bagian biji tanaman. Fungi yang
dominan pada suatu komoditas tergantung atas macam tanaman, wilayah atau lokasi geografis dan
keadaan iklim. Alternaria, umumnya banyak terdapat pada biji sayuran atau biji serealia, namun tidak
hanya terbatas pada biji serealia. Cladosporium umumnya pada biji serelia dalam kondisi basah selama
panennya, dan pada tempat
penyimpanan fungi ini hamper tidak terdapat. Helminthosporium banyak didapat pada jenis padi,
barley, dan obat khususnya bila terjadi cuaca lembab sebelum panen. Fusarium banyak terdapat pada
serealia yang baru dipanen. Pada barley, gandum, dan jagung dikenal sebagai bentuk kudis biji-biji
yangdemikian dapat mendatangkan kercunan pada hewan maupun manusia(Uraguchi dan Yamazaki,
1978). Beberapa spesies tertentu penicillium kadang-kadang dimasukkan dalam fungi lapangan (Mislivec
dan Tuite, 1970).
Fungi penyimpanan juga terdiri dari beberapa spesies antara lain Penicillium, Aspergillus dan
Sporendomena dan kadang-kadang beberapa jenis khamir (Uraguchi dan Yamazaki, 1978). Penicillium
dan Aspergillus merupakan fungi yang diketahui ada dimana-mana dan hamper terdapat disetiap
wilayah. Kebanyakan fungi penyimpanan terdiri dari dari 5 atau 6 golongan Apergillus dan baru
kemudian dan beberapa spesies Penicillium sampai terjadi kerusakan lebih lanjut (Christensen dan
Kaufmann, 1974). Wallace (1973)menyebutkan 26 spesies Aspergillus dan 66 spesies Penicillium yang
dapat diisolasi pada produk simpanan. Selain Aspergillus dan Penicillium dikategorikan pula dalam fungi
penyimpanan adalah Absidia, Mucor, Rhizopus, Chaetomium, Scopulariopis, Paecylomices, dan
Neurospora. Ibasidia, Mucor dan Rhizopus pada umumnya ada hubungannya dengan kerusakan pada
kondisi lembab, karena mereka menghendaki suatu lembab relatif (Rh) minimum 88% untuk
pertumbuhannya, mereka bukanlah fungi pemula kerusakan bahan dalam penyimpanan (Wallace,
1973). Kekecualian adalah Aspergillus flavus yang dapat menyerang bahan dilapangan (meski termasuk
fungi penyimpanan) demikian pula Fusarium akan dapat melanjutkan kerusakan bahan bijian dalam
gudang (meski termasuk fungi lapangan) bila kandungan air bahan cukup tinggi (Lillehoj dkk,1975;1976;
Caldwell dan Tuite, 1974).
Terdapat beberapa faktor pokok yang akan mempengaruhi perkembangan fungi pada bahan pangan
yang disimpan, antara lain: 1) Kandungan air bijian yang disimpan, 2) suhu ruang penyimpanan,
3)periode penyimpanan, 4) derajat awal penyerangan oleh fungi sebelum sampai tempat penyimpanan,
5) banyknya benda-benda asing (bukan bahan sejenisnya) dan 6) terdapatnya aktivitas serangga dan
kutu dalam ruang simpan (Uraguchidan Yamazaki, 1978). Faktor-faktor seperti disebutkan diatas
ditujukan pada bahan dimana fungi tumbuh, maka untuk pertumbuhan fungi endiri memerlukan faktor
fisik-khemis antara lain 1) suhu, 2) aktivitasair (water activity), 3) tekanan osmosis, 4) pH, 5) potensial
oksidasi-reduksi
(Eskin dkk, 1975). Suhu dan aktivitas air sangatlah penting dan perlu mendapat perhatian, disamping
faktor lainnya. Lihatlah dua table dibawah ini. Fungi pada umumnya akan dapat berkembang baik pada
aw sekitar 0,65- 0,80, sedangkan golongan fungi hidrofil diinginkan aw mencapai 0,89. Dalam kaitannya
dengan kelembaban relatif (Rh) yang dapat diukur dari sekeliling bahan maka umumnya diharapkan
kelembaban relatif sekitar 70-80%.
Setiap jenis fungi selain adalah batasan-batasan normal, mempunyai kekhususan diantara spesies dan
lainnya seperti terlihat pada beberapa table kelembaban relatif, suhu dan lainnya. Dibawah ini diberikan
gambaran Rh ruang penyimpanan dan suhu untuk pertumbuhan beberapa fungi penyimpanan yang
penting.
Kelembaban relatif minimum untuk perkecambahan fungi umumnya adalah 75% pada suhu biasa, dalam
keadaan iniuntuk setiap bahan bijian akan berbeda kandungan airnya sesuai komposisi (Pomeranz,
1974). Keseimbangan lembab relatif bijian lebih penting daripada kandungan air guna mengendalikan
kerusakan fungi dalam ruang penyimpanan, meskipun keduanya mempunyai hubungan erat.
Pertumbuhan fungi berkaitan dengan kenaikan suhu yang dipengaruhi berbagai faktor antara
laininaktivitas thermal enzim, kehilangan substrat, mengecilnya oksigen dan kandungan air atau
akumulasi CO2 menjadi terbatas. Hubungan antara bagian-bagian tersebut sangat kompleks maka
kondisi minimum, optimum dan maksimum
sebagaimana tercantum dalam tabel diatas adalah perkiraan (Christensen dan Kaufmann, 1974)
PENGARUH SUHU, pH, KONSENTRASI ENZIM TERHADAP KECEPATAN REAKSI ENZIMATIK

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Dalam proses metabolisme di dalam tubuh terdapat berbagai macam reaksi kimia. Rekasi kimia ini
meupakan bagian dari sistem yang bekerja spesifik dan menghasilkan senyawa-senyawa kimia. Dalam
aktivitas metabolisme kita mengenal adanya katalisator. Katalisator dalam reaksi ini disebut enzim.
Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk berbagai reaksi kimia dalam
sistem biologik. Hampir tiap reaksi kimia dalam sistem biologis dikatalisis oleh enzim. Sintesis enzim
terjadi di dalam sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari sel tanpa merusak fungsinya.
Dengan peran enzim pada hampir tiap reaksi biologis, dapat dikatakan enzim memilki peran sangat
penting. Dalam mendukung perannya sebgai katalisator atau mempercepat reaksi yang terjadi tentu
saja ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain kosenntrasi enzim,
konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat. Oleh karena pentingnya enzim, maka
praktikum tentang faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim perlu dilakukan

I.2 Tujuan Percobaan
1. Memperlihatkan kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding dengan kenaikan suhu.
Reaksi enzimatik mempunyai suhu optimum.
2. Membuktikan bahwa keasaman ( pH ) mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik
3. Membuktikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Enzim
Enzim merupakan suatu kelompok protein yang berperan penting di dalam aktivitas biologic. Enzim
berfungsi sebagai katalisator si dalam sel dan sifatnya sangat khas. Di dalam jumlah sangat kecil, enzim
dapat mengatur reaksi tertentu sehingga di dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan hasil akhir reaksinya.di dalam sel terdapat banyak jenis enzim yang berlainan
kekhasannya, sehingga suatu enzim hanya mampu menjadi katalisator untuk reaksi tertentu saja. Ada
enzim yang dapat mengkatalisa suatu kelompok substrat, ada pula yang hanya satu kelompok substrat
saja, dan ada pula ynag bersifat stereospesifik. Karena enzim mengkataliser reaksi-reaksi di dalam
system biologis, maka enzim juga disebut sebgai biokatalisator
Bagian protein dari enzim disebut apo-enzim, sedangkan enzim keseluruhannya disebut haloenzim.
Bagian protein ( tak aktif ) + non-protein = haloenzim ( aktif )
( apoenzim ) ( gugus protestik )
Kespesifikan enzim dibedakan dalam : kespesifikan optik dan gugus ( M.T Simanjuntak, 2003 ).
Kespesifikan optik tampak pada enzim-enzim yang bekerja terhadap karbohidrat. Umumnya, enzim-
enzim ini hanya bekerja terhadap karbohidrat isomer D bukan L. Sebaliknya, enzim-enzim yang bekerja
terhadap asam amino dan protein hanya bekerja pada asam amino L dan bukan pada isomer D.
Kespesifikan gugus menunjukkan bahwa enzim hanya dapat bekerjaterhadap gugus yang tertentu.
Enzim alkohol dehidrogenase tidak dapat mengkatalisis reaksi dehidrogenasi pada senyawa bukan
alcohol ( Hafiz Soewoto,2000).
Klasifikasi enzim berdasar Commission on Enzim Of The Internasional uinion of Biochemistry ( CEIUB )
atau Internasional Enzim Commision ( IEC ) adalah sebgai berikut :
Enzim yang berperan dalam reaksi oksidasi-reduksi contoh oksigenase
Enzim yang berperan dalam reaksi pemindahan gugus tertentu contoh enzim transaminase
Enzim yang berperan dalam reaksi hidrolisis contoh peptidase
Enzim yang berperan dalam mengkatalisis reaksi addisi atau pemecahan ikatan rangkap contoh liase
Enzim yang berperan dalam mengkatalisis reaksi isomerisasi contoh alanin rasemase
Enzim yang berperan dalam mengkataliser reaksipembentukan ikatan dengan bantuan pemecahan
ikatan dalam ATP( ligase ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Seperti molekul protein lainnya sifat biologis enzim sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiko kimia.
Enzim bekerja pada kondisi tertentu yang rerlatif ketat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerj enzim
antara lain suhu, pH, oksidasi oleh udara atau senyawa lain, penyinaran ultraviolet, sinar x, , , dan .
Di samping itu, kecepatan reaksi enzimatik dipengaruhi pula oleh konsentrasi enzim maupun
substratnya ( Hafiz Soewoto,2000).
a. Pengaruh suhu :
Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat bekerja. Dengan
kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan mencapai suhu maksimum pada suhu
tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami
denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada suhu optimum. Enzim dalam tubuh
manusia mempunyai suhu optimum sekitar 37 C. Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada
pemanasan sampai 60 C, karena terjadi denaturasi( Hafiz Soewoto,2000) .
Suhu campuran reaksi juga berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Jika reaksi tersebut
dilangsungkan dalam berbagai suhu, kurva hubungan tersebut akan menunjukkan suhu tertentu, yang
menghasilkan laju reaksi yang maksimum. Dengan demikian, dalam hal ini juga ada kondisi optimum
yang disebut sebagai suhu optimum
Laju reaksi





A B

Suhu optimum t0
Pengaruh suhu terhadap laju reaksi enzimatik
Pada gambar tampak bahwa di luar suhu optimum, laju enzimatik selalu lebih rendah. Makin besar
perbedaan suhu reaksi dengan suhu optimum, makin rendah pula laju reaksinya. Akan tetapi, keadaan
yang menyebabkan rendahnya suhu di luar suhu optimum berbeda antara suhu yang lebih rendah
dengan suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih rendah (sisi A pada gambar), penyebab kurangnya
laju reaksi enzimatik yaitu kurangnya gerak termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan
antara molekul enzim dengan substrat. Jika kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi,


kompleks ES tidak terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah S menjadi P. Oleh
karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan makin kurang.
Pada daerah suhu yang lebih tinggi (sisi B pada gambar), gerak termodinamik akan lebih meningkat,
sehingga tumbukan antara molekul akan lebih sering. Akan tetapi laju reaksi tidak terus meningkat,
melainkan malah menurun dengan cara yang lebih kurang sebanding dengan selisih nilai dan suhu
optimum. Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak termodinamik meningkat, molekul protein enzim
juga mengalami denaturasi, sehingga bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh
lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin
sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-
S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit.


I II




Interaksi enzim-substrat dalam suhu berbeda. I. enzim dalam suhu optimum. II. Enzim di atas suhu
optimum.
Pada sisi A dari kurva terdapat hubungan tertentu antara kenaikan suhu dengan laju
reaksi. Arrhenius secara empiris telah mengembangkan suatu rumusan umum antara laju suatu reaksi
kimia dengan suhu mutlak system reaksi tersebut. Yang dinyatakan sebagai berikut ( Mohamad Sadikin,
2002 ):


R adalah gas yang bernilai 1,987 kal per derajat per molar, T adalah suhu mutlak, E adalah suatu tetapan
yang dinamakan energi aktivitas dan kadalah tetapan laju reaksi.

b. Pengaruh pH :



Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan pengukuran aktivitas enzim pada beberapa
macam pH yang berlainan, sebagian besar enzim di dalam tubuh akan menunjukkan aktivitas maksimum
antara pH 5,0 sampai 9,0. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada pH optimum. Ada
enzim yang mempunyai pH optimum yang sangat rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH optimum
2. pada pH yang jauh di luar pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keaadan ini baik
enzim maupun substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang mengakibatkan enzim tidak
dapat berikatan dengan substrat( Hafiz Soewoto,2000) .
Sebagian besar enzim bekerja aktif dalam trayek pH yang sempit umumnya 5 - 9. Ini adalah hasil
merupakan hasilpengaruh dari pH atas kombinasi factor ( 1 ) ikatan dari substrat ke enzim ( 2 ) aktivitas
katalik dari enzim ( 3 ) ionisasi substrat dan ( 4 ) variasi struktur protein ( biasanya signifikan hanya pada
pH yang cukup tinggi ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Ada 2 alasan untuk menyelidiki pengaruh tingkat keasaman atau pH terhadap aktivitas emzim,
yaitu :
1. sebagai produk makhluk hidup secara teori selalu ada kemungkinan dari pengaruh ph ini terhadap
aktivitas biologis dari enzim ini.
2. sebagai suatu protein enzim tidak berbeda dengan protein lainnya.
Kurva hubungan antara pH dengan laju reaksi suatu enzim biasanya menghasilkan gambaran seperti
lonceng, seperti yang tampak pada gambar di bawah ini
Laju reaksi





pH optimum Ph
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi enzim
Kadang-kadang, seperti pada enzim amylase liur, hubungan tersebut tidak menunjukkan suatu titik
puncak, melainkan suatu garis merata (plateau setelah kurva yang naik, untuk kemudian turun lagi
sesudah plateau )

Laju reaksi
plateau



Rentangan pH optimum pH
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi. Tampak adanyaplateau.
Fenomena seperti ini dapat ditafsirkan sebab adanya molekul amylase dalam bentuk beberapa
molekul protein yang berbeda (isozim). Tiap molekul isozem niscaya bekerja pada pH yang sedikit
berbeda.
Perlu diingat bahwa dalam mencari hubungan antara derajat keasaman dengan laju reaksi
maksimum ini, rentangan pH yang diselidiki biasanya berkisar dalam rentangan yang tidak lebar dan
bukan dalam rentangan antara pH 1 sampai 14. Karena tidak ada sistem dapar masing-masing di sekitar
nilai kapasitas yang maksimum dari tiap dapar (rentangan pH di sekitar nilai pKa komponen asam tiap
dapar), bukan tidak mengkin ada interaksi yang merugikan antara enzim dan ion penyusun dapar dan
bukan karena pH yang disebabkan dapar itu sendiri.
Dalam gambar dapat dilihat adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja
maksimum. pH tersebut dinamakanpH maksimum. Dalam lingkungan keasaman seperti itu, protein
enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah
substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai pH optimum tersebut, struktur 3 dimensi
enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian molekul enzim
yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3
dimensi berubah akibat pH yang tidak optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).

c. Pengaruh konsentrasi enzim :
Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat dikatakan bahwa
kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi
enzim, reaksi makin cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Bagaimana akibat dari perubahan konsentrasi enzim terhadap reaksi enzimztik itu sendiri? Jawaban
dari pertanyaan ini harus dicari dari pengamatan yang dilakukan atas satu seri campuran yang terdiri
atas substrat dalam konsentrasi yang tetap dan enzim dalam konsentrasi yang berbeda-beda, dengan
volume akhir larutan yang sama. Pengamatan dapat dilakukan terhadap dua hal, yaitu :
1. terhadap hubungan antara selang waktu pengamatan dan konsentrasi produk yang terbentuk pada
tiap konsentrasi enzim.
2. terhadap hubungan antara konsentrasi enzim dan kecepatan reaksi enzimatik yang dikatalisis oleh
enzim tersebut.
Jika data hasil kedua pengamatan tersebut masing-masing disajikan dalam bentuk grafik, akan diperoleh
kurva seperti yang tampak dalam gambar 1 dan 2.
Jumlah produk
8
6
4
2

0 5 10 15 Menit
Gambar 1. hubungan jumlah produk terbentuk dengan lama reaksi enzimatik pada berbagai konsentrasi
enzim. Tiap garis kurva mewakili satu konsentrasi enzim.
Pada gambar 1 tampak bahwa makin besar konsentrasi enzim maka makin banyak pula produk yang
terbentuk dalam tiap waktu pengamatan. Dari pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi
enzim berbanding lurus dengan kecepatan enzim. Dengan bertambahnya waktu, pada tiap konsentrasi
enzim pertambahan jumlah produk akan menunjukkan defleksi, tidak lagi berbanding lurus sejalan
dengan berlalunya waktu tersebut. Fenomena itu tentu mudah dimaklumi, karena setelah selang
beberapa waktu, jumlah substrat yang tersedia sudah mulai berkurang, sehingga dengan sendirinya
produk olahan enzim juga akan berkurang. Akan tetapi pada gambar 1 tampak pula dengan jelas, bahwa
defleksi tersebut makin jelas dengan makin tingginya konsentrasi enzim. Sebaliknya, pada konsentrasi
enzim yang rendah, dalam jangka waktu pengamatan yang sama hubungan waktu dengan jumlah
produk yang dihasilkan masih berbanding lurus.
Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi, makin besar
konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi.


Laju reaksi



Enzim
Gambar 2. pengaruh konsentrasi enzim terhadap laju reaksi enzimatik.

Kadang-kadang terjadi penyimpangan dari persamaan ini, sehingga diperoleh garis agak melengkung.
Biasanya, penyimpangan ini terjadi jika enzim yang dipelajari tidak dalam keadaan murni, sehingga
mungkin terdapat senyawa-senyawa penghambat reaksi dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya,
penyimpangan juga terdapat dalam sediaan enzim dengan kemurniaan yang tinggi. Dalam keadaan ini,
penyimpangan disebabkan oleh senyawa pengaktif (aktivator), misalnya tidak adanya ion tertentu,
meskipun ph yang diperlukan sudah dipastikan dengan menggunakan larutan dapar dan tidak hanya
sekedar larutan dengan ph yang diperlukan tersebut ( Mohamad Sadikin, 2002 ).

d. Pengaruh konsentrasi substrat :
Pada suatu reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar, sedangkan kondisi lainnya tetap, maka
kecepatan reaksi (v) akan meningkat sampai suatu batas kecepatan maksimum (V). Pada titik maksimum
ini enzim telah jenuh dengan substrat.
Dalam suatu reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat membentuk kompleks enzim-substrat [ES],
kemudian kompleks ini akan terurai menjadi [E] dan produk [P]. Makin banyak kompleks [ES] terbentuk,
makin cepat reaksi berlangsung sampai batas kejenuhan [ES]. Pada konsentrasi substrat [S] melampaui
batas kejenuhan kecepatan reaksi akan konstan. Dalam keadaan itu seluruh enzim sudah berada dalam
bentuk kompleks E-S. Penambahan jumlah substrat tidak menambah jumlah kompleks E-S.

Fungsi enzim dalam kepentingan medis. Enzim terdistribusi di tempat-tempat tertentu di dalam
sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan fungsinya. Sebagai contoh, enzim-enzim yang berperan
dalam sintesis dan reparasi DNA terletak di dalam inti sel. Enzim yang mengkatalisasi berbagai reaksi
yang menghasilkan energi secara aerob terletak di dalam mitokondria. Enzim yang berhubungan dengan
berbagai biosintesis protein berada bersama ribosom. Dengan demikian reaksi kimia dalam sel berjalan
sangat terarah dan efisien.
Ada penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim tertentu, misalnya pada defisiensi
enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PDH/ G6PD). Sel darah merah penderita defisiensi G6PDH ini
sangta rentan terhadap pembebanan oksidatif, misalnya pada pemakaian obat analgetik tertentu dan
obat anti malaria. Pada pemakaian obat-obat tersebut dapat terjadi hemolisis intravaskuler.
Analisis enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk diagnosis berbagai penyakit.
Dasar penggunaan enzim sebagai penunjang diagnosis ialah bahwa (1) pada hakikatnya, sebagian besar
enzim terdapat dan bekerja dalam sel dan (2) bahwa enzim tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh
jaringan tertentu. Karena itu enzim intrasel seharusnya tidak ditemukan dalam serum dan bila
ditemukan, berarti sel yang membuatnya mengalami disintegrasi. Bila enzim yang diukur dalam serum
terutama dibuat oleh jaringan atau organ tertentu, maka peningkatan aktivitas dalam serum
menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan atau organ tersebut ( Hafiz Soewoto,2000). .

II.2 Pati
Pati ialah polisakarida simpanan yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tingkat tinggi. Homopolimer ini
terdiri atas campuran amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida linear dari unti-unit D-
glukosa yang dihubungkan oleh ikatan -(1,4)-glukosida. Bobot molekulnya beragam dari beberapa ribu
sampai 150.000. amilosa ini menghasilkan kompleks biru-hitam yang tajam dengan iodium akibat
masuknya I2 ke dalam gelung helical ynag terbentuk ketika amilosa berada dalam air. Amilopektin
memiliki rantai tulang punggung ( backbone ) yang sama dengan amilosa, tetapi dengan banyak
percabangan lewat ikatan -(1,6)-glukosida. Bobot molekulnya lebih besar daripada amilosa. Reaksi
amilopektin dan iodium membentuk kompleks merah-ungu..
Pati ( mailosa maupun amilopektin ) jika terhidrolisis sempurna ( semua ikatan asetal diputus ) akan
menghasilkan hanya D-glukosa. Namun jika dihidrolisis sebagian diperoleh produk yang berbeda:
amilosa menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarfida sedangkan amilopektin menghasilkan
campuran disakarida maltose dan isomaltosa. Dari hidrolisis parsial amilopektin, juga diperoleh
campuran oligosakarida yang biasa dirujuk sebgai dekstrin, digunakan untuk membuat lem, pasta,
atau kanji tekstil. Dekstrin tidak membentuk kompleks berwarna dengan iodium.
Hidrolisis sempurna biasanya dilakukan dengan asam encer pada suhu tinggi sedangkan hidrolisis parsial
umumnya terjadi secara enzimatik. Enzim -amilase dalam saluran pencernaan ( air liur dan cairan
pancreas ) akan menghidrolisis rantai lurus amilosa dan amilopektin secara acak menjadi campuran
glukosa dan maltose. Enzim -amilase pada tumbuhan secara lebih spesifik menghidrolisis amilosa
menjadi unit-unit maltose. Akhirnya tambahan enzim -(1,6)-glukosidase dapa menghidrolisis ikatan -
(1,6)-glikosida pada titik percabangan amilopektin dan menghasilkan hidrolisis sempurna ( Staf Pengajar
Kimia Organik IPB, 2005 ).

II.3 Enzim Amilase
Air liur mengandung enzim amylase liur, musin, air, dan garam natrium. Fungsi dari musin yaitu
lendir yang melekatkan butir-butir makanan dan melincirkan makanan. Sedangkan fungsi air yaitu
melembabkan dan melembutkan makanan. Adapun fungsi garam natrium yaitu menyediakan enzim
beralkali untuk kerja amylase liur. Enzim amylase sendiri di jelaskan di bawah ini.
Enzim Amilase mempunyai kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen Molekul
pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4-
dan alfa-l,6-glikosida.
Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil pemecahan dan letak ikatan yang
dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan glukoamilase. Enzim alfa-amilase merupakan endoenzim
yang memotong ikatan alfa-1,4 amilosa dan amilopektin dengan cepat pada larutan pati kental yang
telah mengalami gelatinisasi. Proses ini juga dikenal dengan nama proses likuifikasi pati. Produk akhir
yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-
amilase akan menghidrolisis ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil degradasi secara
acak di bagian tengah atau bagian dalam molekul. Enzim beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4-
glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2. bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi konfigurasi
posisi atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim ini memutus ikatan
amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan unit-unit maltosa dari ujung nonpe-
reduksi pada rantai polisakarida. Bila tiba pada ikatan alfa-1,6 glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti.
Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4- glukan glukohidro-lase atau EC 3.2.1.3. Enzim ini
menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4, tetapi hasilnya beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi
berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis
ikatan glikosida alfa-1,6 dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis
ikatan glikosida a-1,4(http://june-s.blogspot.com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html ).




















BAB III
MATERI DAN METODE

III.1 Alat dan Bahan

Alat :
a) Beaker glass
b) Tabung reaksi
c) Pipet volume
d) Pipet tetes
e) Erlenmeyer
f) Spektrofotometri
g) Incubator

Bahan :
a) Air liur
b) Larutan pati
c) Larutan iodium
d) Larutan pH 7 dan 11
e) Aquadest


III.2 Prosedur Kerja
Sebelum melakukan percobaan diambil sampel air liur dari praktikan dan ditempatkan pada
wadah
Pengaruh Suhu
a) air liur diencerkan 100 kali, dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan dalam
100ml air dalam labu ukur
b) larutan pati kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi tanda blangko dan uji
kemudian pasangan tabung diinkubasi pada suhu 40, 280, 370, 600, 1000 C selama 5 menit
c) larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi selama tepat 1 menit
d) ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung (untuk suhu
600 C dan 1000C dilakukan di luar penangas)
e) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi
dengan suhu

Pengaruh pH
a) Air liur diencerkan 100 kali dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan dalam 100ml
air dalam labu ukur
b) 0,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml larutan pH 7 (tabung A), o,5 ml larutan pati ditambah
dengan 0,5 ml larutan pH 11 (tabung B). Masing-asing tabung ditandai blanko dan uji. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 370 C selama minimal 5 menit
c) campuran larutan pati dengan larutan pH yang telah diinkubasi ditambahkan dengan 0,2 ml air liur
yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit.
d) ditambah larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
e) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi
dengan suhu

Pengaruh Konsentrasi Enzim
a) Air liur diencerkan dengan pengenceran 100 kali ; 200 kali ; 400 kali ; 600 kali
b) 1 ml larutan pati dimasukkan kedalam 8 tabung reaksi yang diberi tanda blangko dan uji kemudian
diinkubasi pada suhu 370 selama 5 menit
c) Air liur yang telah diencerkan diambil 0,2 ml (setiap konsentrasi) dimasukkan ke dalam tabung reaksi
d) Larutan pati yang telah diinkubasi dicampurkan ke air liur kemudian diinkubasi tepat 1 menit
e) Ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
f) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
g) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungakan kecepatan reaksi
dengan suhu





BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Adapun hasil percobaan yang kami lakukan adalah sebagai berikut :

Pengaruh Suhu
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680 nm
Suhu AB AU A/menit
40C 0,175 0,142 0,033
280C 0,245 0,194 0,051
370C 0,211 0,150 0,061
600C 0,226 0,183 0,043
1000C 0,255 0,189 0,066
Dari data di atas didapatkan kurva





Pengaruh pH
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680 nm dan
perubahn warna yang terjadi
pH AB AU A/menit Perubahan warna
7 0,093 0,1245 -0,0315 Coklat
11 0,003 0,011 -0,008 Biru




Dari data didapatkan kurva seperti di atas
Foto di bawah ini
memperlihatkan perbedaan
warna hasil reaksi anatara pH 7
dan 11







Gambar1. pH 7 Gambar2. pH 11
Kiri adalah Blanko,
Kanan adalah larutan uji

Pengaruh konsentrasi
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680 nm

Pengenceran Konsentrasi AB AU A/menit
100 X 0,01 0,207 0,173 0,024
200 X 0,005 0,200 0,120 0,08
400 X 0,0025 0,193 0,174 0,019
600 X 0,0017 0,185 0,189 -0,004
Dari data di
atas didapatkan
kurva


Keterangan:
?A/menit pada
judul tiap kurva
maksudnya
adalah A/menit.
A/menit diindikasi
kan sebagai laju
reaksi



BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan secara invitro mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim amylase yang terdapat pada air liur dalam memecah larutan pati. Faktor
yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya adalah konsentrasi enzim, konsentrasi ion hydrogen
(pH), suhu dan konsentrasi substrat. Namun kami tidak melakukan praktikum mengenai pengaruh
konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
Dalam praktikum kali ini digunakan bahan pati yang diindikasikan sebagai substrat. Sedangkan air
liur digunakan untuk mengetahui reaksi enzimatik dari enzim amylase di dalamnya. Larutan Iodium
digunakan sebagai indicator perubahan warna dari larutan uji.
Pada ketiga percobaan perlakuan hampir sama pada pembuatan larutan uji dan blanko. Perlakuan
yang sama pada larutan uji dan blanko yaitu sample yang sama yaitu larutan pati yang berfungsi sebagai
substrat lalu di inkubasi selama 5 menit pada suhu 370C ( untuk percobaan pengaruh suhu
dan konsentrasi enzim ) yang berfungsi untuk menyamakan kondisi suhu enzim dengan suhu tubuh.
Lalu mencampurkan pati dengan air liur dimana pada keadaan ini akan terjadi hidrolisis parsial.
Kemudian ditambahkan Larutan iodium yang akan menandakan perbedaan warna dari masing-masing
perlakuan pada percobaan factor yang mempengaruhi kerja enzim, larutan iodium ini merupakan
indicator adanya karbohidrat atau tidak dalam larutan.

Pengaruh Suhu
Suhu mempengaruhi aktivitas katalisis enzim. Diluar suhu optimum aktivitas enzim menjadi tidak
maksimal. Bila suhu terlalu rendah, enzim menjadi tidak aktif, karena tidak terjadi benturan antara
molekul enzim dengan substrat. Sedangkan bila suhu terlalu tinggi, dimana benturan yang terjadi
semakin banyak maka struktur tiga dimensi dari enzim tersebut akan terganggu sehingga enzim akan
mengalami denaturasi, atau dapat dikatakan enzim akan kehilangan sifat alamiahnya.
Pada percoban mengenai pengaruh suhu terhadap aktiivitas enzim, yang pertama kami lakukan
adalah pengenceran air liur hingga 100 kali. Kami juga menggunakan larutan pati sebagai larutan uji
untuk melihat aktivitas enzim amylase. Larutan pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml,
yang kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu 4, 28, 37, 60, 100 C yang masing-masing suhu
dibuat blanko dan uji. Setelah diinkubasi larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian
diinkubasi kembali selama tepat 1 menit dan ditambahkan larutan iodium 1 ml dalam 8 ml aquadest
pada masing-masing tabung, untuk suhu 600 C dan 1000 C dilakukan di luar penangas, perlakuan
tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses pemanasan. Setelah itu
dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm, dan
dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan
suhu.
Berdasarkan data hasil pengamatan, perubahan absorbansi per
menit yang diperoleh dari absorbansi larutan blanko dan
absorbansi larutan uji dapat dilihat dari kurva disamping.
Adapun kurva hasil percobaan memperlihatkan laju reaksi dari
enzim semakin cepat seiring bertambahnya suhu ini terlihat
pada kenaikan suhu dari 4oC hingga 37oC namun ketika suhu
mengalami kenaikan hingga 60oC terjadi penurunan laju reaksi.
Kedua keadaan ini diakibatkan oleh benturan antara enzim dan
substrat. Pada keadaan pertama yaitu 4oC hingga 37oC, telihat
peningkatan laju reaksi akibat adanya gerak termodinamik yang
secara perlahan membentuk produk dan pada titik optimum (
suhu optimum ) yaitu 37oC dapat dikatakan membentuk secara
sempurna karena enzim amylase yang merupakan enzim yang terdapat tubuh memilki suhu optimum
37oC. pada keadaan kedua yaitu suhu mengalami kenaikan hingga 60oC, pada keadaan ini perbenturan
antara enzim dan substrat terus berlangsung namun keadaan ini tidak menambah laju reaksi namun
mengurangi laju reaksi ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi sehingga bangun tiga
dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar
deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat
di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga
makin sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin, 2002 ) dari kurva laju reaksi yang semakin menurun.
Dari kurva terlihat bahwa pada suhu 100 oC terjadi kenaikan nilai absorbansi, sehingga didapatkan kurva
yang tidak sesuai teori. Hal ini disebabkan telalu lamanya tabung reaksi berada di luar penangas,
sehingga diperkirakan suhu dalam tabung berada di bawah 100 oC pada saat pencampuran sehingga
tumbukan antara enzim dan substrat mengalami penurun dan mendekati suhu optimum sehingga
menghasilkan laju reaksi yang menurun.

Pengaruh pH
Dari hasil percobaan kami tidak dapat membuktikan
bahwa keasaman mengaruhi kecepatan reaksi enzimatik.
Kesalahan ini terletak pada penambahan air liur yang tidak
sesuai dengan prosedur kerja dimana air liur yang ditambahkan
hanya 1ml bukan 2ml yang merupakan tahapan pada prosedur
kerja sehingga hasil absorbansi nilai A/menit menjadi minus.
Terlihat pada kurva di samping. Kurva di samping pun menjadi
rancu bila dibandingkan dengan kurva antara pH larutan enizm
amylase dari air liur dengan laju reaksi menurut Mohamad
Sadikin (2002)
Laju reaksi
plateau



Rentangan pH optimum pH
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi. Tampak adanyaplateau.
Dari kurva hasil percobaan terlihat semakin tinggi pH semakin tinggi nilai absorbansi yang
menandakan semakin tingginya laju reaksi dari pH 7 ke pH 11. Pada umumnya enzim bekerja maksimum
pada pH 5-9, namun dari kurva kita lihat enzim amylase dari air liur bekerja semakin tinggi dengan
bertambahnya pH ( yaitu pH 11 yang berada di luar kisaran pH untuk enzim bekerja maksimum). Kerja
enzim sebagai katalis dipengaruhi oleh pH. adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja
maksimum. pH tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan keasaman seperti itu, protein
enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah
substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai ph optimum tersebut, struktur 3 dimensi
enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian molekul enzim
yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3
dimensi berubah akibat ph yang tidak optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).
Dari pengamatan warna larutan uji, terlihat perbedaan warna yang signifikan antara larutan pati
yang dicampurkan dengan air liur pada pH 7 dan pada pH 11 setelah ditambahkan larutan iodium. Pada
larutan uji pH 7 warna yang dihasilkan yaitu coklat. Keadaan ini menandakan bahwa enzim amylase pada
air liur bekerja menghidrolisa larutan pati menjadi produk yang terdiri dari glukosa dan maltosa. Pada
pH 7 ini dapat dikatakan sudah tidak adanya karbohidrat ( dari larutan pati yang terdiri dari amilosa dan
amilopektin ) karena dihidrolisis oleh amylase terlihat dengan tidak didapatkan warna biru kehitaman (
menandakan adanya amilosa) ataupun merah ungu ( menandakan adanya amilopektin )ketika
ditambahkan larutan iodium. Kerja enzim amylase disini dikatatan sebagai hidrolisis parsial dan
memperlihatkan bahwa enzim amylase berada pada kondisi 3 dimensi yang tepat sehingga dapat
mengolah ( menghidrolisis ) karbohidrat dari larutan pati dengan sangat cepat.
Sedangkan hasil pengamatan pada pH 11 menunjukan warna biru pada larutan uji setelah
ditambhkan iodium. Ini menunjukan adanya kompleks pati iodium dimana dapat diindikasikan adanya
amilosa yang merupakan bagian dari pati ( karbohidrat ). Sehingga dapat dikatakan pada pH ini enzim
amylase tidak bekerja optimum dalam menghirdrolis larutan pati karena struktur 3 dimensi dari enzim
amylase telah berubah sehingga tidak dapat mengolah substrat dengan baik.

Pengaruh konsentrasi enzim
Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Pengaruh konsentrasi enzim ini yaitu
pembentukan produk, dimana makin besar konsentrasi enzim makin banyak pula produk yang
dihasilkan sehingga dapat dinyatakan bahwa laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
Pada percobaan pengaruh konsentrasi enzim ini, konsentrasi enzim amylase dari air liur yang berbeda-
beda didapatkan dari pengenceran larutan air liur. Larutan air liur diencerkan menjadi 100x, 200x, 300x,
400x dan konsentrasi yang di dapat yaitu 0,01; 0,005;0,0025; dan 0,0017. Dari konsentrasi ini sebelum
praktikum kita dapat memprediksikan jika laju reaksi akan mencapai titik tertinggi pada konsentrasi 0,01
dan titik terendah pada konsentrasi 0,0017.
Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi enzim terlihat
pada pergerakan laju reaksi dari 0,0017 hingga 0,0025
dimana laju reaksi semakin meningkat, namun kondisi ini ini
terus menurun pada konsentrasi 0,0025 hingga konsentrasi
0,01. Kondisi ini terlihat dari kurva di samping kanan.
Keadaan ini tidak dapat membuktikan teori yang
menyebutkan Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi,
makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi yang tertera pada kurva ( Mohamad
Sadikin, 2002).
Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan adanya kesalahan dalam prosedur kerja.
Kesalahan dalam prosedur kerja ini yaitu ketidaktelitian dalam pengenceran. Pengenceran yang
dimaksud adalah ketika mengencerkan air liur dari 100x menjadi 200x dan seterusnya.















BAB VI
KESIMPULAN

Dari hasil percobaan maka dapat kami simpulkan yaitu enzim dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor pertama yaitu suhu, aktivitas enzim semakin meningkat seiring bertambahnya
suhu terlihat dari laju reaksi namun aktivitasnya menurun setelah melewati suhu optimum. Faktor
kedua yaitu pH dimana terlihat perbedaan warna akibat kerja enzim pada pH yang berbeda, dan
aktivitas enzim dapat dikatakan bekerja cepat dan tepat pada pH optimumnya. Faktor ketiga yaitu
konsentrasi enzim, dimana semakin tinggi konsentrasi enzim semakin banyak produk yang dihasilkan.
Selain itu dapat kami simpulkan bahwa enzim amylase bekerja menghidrolis secara parsial larutan pati
yang merupakan karbohidrat. Enzim amylase bekerja maksimum pada pH 7 dan pada suhu 37 0C.
sehingga dapat dikatakan pH 7 merupakan pH optimum dalam kerja enzim amylase. Sedangakan suhu
37 0C merupakan suhu optimum bagi enzim amylase dalam melaksanakan kerjanya.


















DAFTAR PUSTAKA

Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika.
Soewoto, Hafiz, dkk. 2000. Biokimia Eksperimen Laboratorium.Jakarta: Widya Medika.
Staf Pengajar Kimia Organik. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Organik untuk Mahasiswa Program D3
Analisis Kimia. Departemen Kimia FMIPA-IPB.
http://june-s.blogspot.com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html
http://library.usu.ac.id/download/fmipa/farmasi-mtsim1.pdf

You might also like