You are on page 1of 11

1

DISTEMPER PADA ANJING (CANINE DISTEMPER)






Paper



disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Penyakit Infeksius Veteriner




oleh



Nama : Muhammad Iqbal
NIM : 1102101010101
Kelas : A

















FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2014


2

Canine Distemper Virus (CDV)

Distemper anjing atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat
menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu bifase, leukopenia, radang
saluran pencernaan dan pernafasan dan sering diikuti oleh komplikasi berupa
gangguan syaraf pusat. Distemper juga menyerang segala umur maupun ras
terutama pada hewan yang tidak divaksinasi (Laurensius, 2009).
Ada empat tipe penyakit distemper pada anjing, yaitu tipe pernafasan,
pencernaan, kulit, saraf maupun kombinasi dari beberapa tipe tersebut.

A. Faktor Penting
Canine distemper virus termasuk dalam genus morbilivirus dari famili
paramyxoviridae yang memiliki hubungan erat dengan virus campak pada
primata, peste des petits ruminants pada ruminansia kecil, dan rinderpest pada
hewan ungalata. Canine distemper virus peka terhadap sinar ultraviolet,
pemanasan dan kekeringan. Virus distemper akan rusak pada suhu 50-60
o
C
selama 30 menit. Ukuran virus distemper cukup besar berkisar antar 150-250
nm, merupakan virus single-stranded RNA yang diselubungi oleh lipoprotein.
Rantai virus ini terdiri dari enam struktural protein, nukleokapsid, phospho-
(P), (L) besar, matriks-(M), hemagglutinin (H), dan Protein fusi (F). Sekitar
selubung lipid sekitar virion terdapat dua glikoprotein permukaan yaitu F dan
H yang menjadi reseptor untu ikatan virus dan sel inang. Virus juga memiliki
protein M yang berfungsi menghubungkan glikoprotein permukaan dan
nukleokapsid selama pematangan virus (Beineke et al.2009).
Pada kasus distemper yang menyebabkan adanya ensefalopati pada
otak biasanya ditemukan adanya badan inklusi khas dari canine distemper
virus. Badan inklusi oleh canine distemper virus terutama terdapat dalam
astrosit. Karakteristik badan inklusi eosinofilik pada kasus distemper juga
dapat diamati pada sel epitel vesika urinaria, paru-paru, abdomen, ginjal, dan
tonsil.

3

Inang Rentan dan Strain Virus
Canine distemper dilaporkan dapat terjadi pada semua jenis karnivora.
Infeksi canine distemper pada hewan pernah dilaporkan pada hewan dari
famili anidae, Felidae, Hyaenidae, Mustelidae, Procyonidae, Ursidae,
dan Viverridae. Infeksi canine distemper virus secara experimental juga
pernah dilaporkan pada primata. Secara alami infeksi canine distemper juga
dilaporkan pada Japanese macaque (Macaca fuscata) dan collared peccaries
(Tayassu tajacu), yang menyebabkan adanya kejadian enchepalitis. Infeksi
canine distemper di laporkan pernah menyebabkan outbreak kematian pada
Baikal dan Caspian seals serta kucing besar di Srengeti Park (Beineke et
al. 2009). Beberapa penelitian terbaru mengungkapkan bahwa terdapat
beberapa cluster dari canine distemper virus. Isolat canine distemper virus
pada anjing yang diidentifikasi dijepang berbeda dengan canine distemper
virus yang di identifikasi didaerah Eropa dan Amerika. Perbedaan ini
didasarkan pada adanya perbedaan pada urutan protein.

B. Etiologi
Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya
antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical
symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper
terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L)
pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2
protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi
protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya.
Virus distemper termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus Morbilivirus
dan spesies Canine Distemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi
galur beraneka ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur
37C dan dalam beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan
mudah dapat merusak infektivitas virus (Kardena dkk., 2011).


4

C. Patogenesis
Secara eksperimen dan alami tingkat keparahan infeksi distemper virus
cukup beragam mulai dari 1 sampai 4 minggu tergantung dari strain virus,
umur hewan dan tingkat kekebalan terhadap canine distemper virus yang
dimiliki. Infeksi virus distemper umumnya terjadi melalui saluran pernafasan
oronasal. Virus distemper masuk dalam tubuh melalui aerosol berupa droplet
yang masuk kedalam saluran pernafasan. Dari udara, canine distemper virus
kemudian akan berkontak dengan bagian epitel pada sistem respirasi bagian
atas. Dari cavum nasi, faring dan paru-paru, magrofag akan membawa virus ke
limponodus lokal. Canine distemper virus paling pertama akan bereplikasi
dalam magrofag dan monosit kemudian menyebar ke sel-sel limfatik lokal
yaitu tonsil dan limfonodus peribronkhial (Beineke et al. 2009).
Selanjutnya jumlah virus akan meningkat secara signifikan karena
adanya replikasi virus. Virus ini kemudian disebarkan keseluruh tubuh melalui
peredaran darah (terjadinya viremia). Virus bermultipikasi didalam folikel
limfoid limpa, lamina propria lambung dan usus halus, limfonodus
mesenterika dan sel kuppfer hati. Akibatnya secara klinis terjadi peningkatan
suhu tubuh dan leukopenia. Leukopenis disebbakan oleh adanya infeksi virus
pada oragan-oragan limforetikular sehingga menyebabkan adanya kerusakan
pada sel T dan sel B. Penyebaran virus oleh darah biasanya terjadi pada hari
ke 8 9 setelah terinfeksi.
Pada hari ke 9 14, umumnya hewan yang memiliki kekebalan
yang tinggi akan melakukan proses penyembuhan dengan sendirinya melalui
proses sitotoksik. Pada hewan yang memiliki titer antibodi dan sitotoksin yang
dihasilkan oleh perantara yang tinggi akan mengeliminasi virus pada jaringan
sehingga secara umum hewan tidak akan menunjukkan gejala sakit.
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel
makrofag alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam
kelenjar getah bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan
kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu
badan akan meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran
5

darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai
membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon infeksi
dan jika mampu mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa
menunjukkan gejala klinik. Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut
maka anjing tersebut akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut.
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka
akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik,
kemudian limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke
permukaan epitel dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital
sampai ke susunan syaraf pusat (CNS).
Pada hewan yang memiliki sistem imum yang rendah, canine
distemper virus akan berkembang didalam beberapa jaringan. Akibatnya virus
dapat tumbuh dan berada dalam tubuh dalam waktu yang lebih lamaterutama
dijaringan uvea, saraf dan integumen misalnya telapak kakai. Keberadaan
canine distemper virus pada jaringan saraf dapat menyebabkan adanya
gangguan saraf sedangkan adanya canine distemper virus pada kulit ditelaapk
kakai dapat menyebabkan adanya hiperkeratosis dan menyebabkan hard pad
disease.

D. Gejala Klinis
Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian
secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi
biasa terjadi selama stadium ini. Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang
terinfeksi menderita 2 fase : 1) Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah
dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (Hard
Pad Disease), 2) Fase Neurologi/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak
dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :Chewing Gum
Fit): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan
melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif
dan permanen.
6

Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan
juga terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris
(paru) adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk.
Selanjutnya terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang
pleuritis. Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian
terlihat adanya akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing
terlihat depresi dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala
saluran pencernaan meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah
mulainya penyakit, gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing,
dicirikan oleh perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus,
serangan menyerupai ayan, ataxia, dan paresis.

E. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada anamnesa (data epidemiologis), gejala klinis
yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti RT-PCR, FAT, isolasi
virus pada TAB melalui jalur CAM, morfologi virus dan tes ELISA untuk
antibodi spesifik distemper.

F. Diferensial Diagnosa
Infeksi Adenovirus 2
Infeksi Bordetella broncoseptica
Mikoplasma
Toxoplasmosis

G. Prognosa
Pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksinasi
prognosisnya baik. Sedangkan untuk kasus berat (belum divaksinasi),
prognosisnya meragukan sampai infausta ( Subronto., 2006).



7

H. Terapi dan Pengobatan
Antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi
terjadinya infeksi sekunder. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik broad
spektrum.
1. Terapi cairan dan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang dan
mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.
2. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing meninjukkan
gejala sarafi.
3. Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan
berdurasi lama asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi, misalnya
berapa kali harus diulang sebelum vaksinasi booster tahunan.
4. Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang diperlukan anjing dapat
terpenuhi. Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga
dan tidak mudah terserang penyakit.
5. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit. Menjaga kebersihan
lingkungan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran virus.

Kesimpulan
1. Berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, diagnosis
sementara yang dapat dimunculkan adalah suspect Canine Distemper
Virus (CDV). Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium
virologi untuk meneguhkan diagnose, anjing kasus dengan nomor protokol
427/N/12 menunjukkan hasil positif terinfeksi Canine Distemper Virus
pada uji RT-PCR.
2. Ditemukannya E. coli pada identifikasi bakteri melalui biakan pada usus
tersebut merupakan flora normal.



8

DAFTAR PUSTAKA

Adikara, I Putu Arya. 2012. Canine Distemper Virus (CDV) Pada Anjing Shit
Tzu. Thesis. Nomor Protokol 427/N/12. Bali.

Beineke A, Puff C, Seehusen F, Baumgrtner W. 2009. Pathogenesis and
immunopathology of systemic and nervous canine Distemper. Veterinary
Immunology and Immunopathology 127 : 118.
Erawan, I Gusti Made Krisna., I Nyoman Suartha, Emy Sapta Budiari, Diana
Mustikawati, dan I Wayan Batan. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit
Distemper pada Anjing di Denpasar. Jurnal Veteriner September 2009
Vol. 10 No. 3 : 173-177 ISSN : 1411 8327.

Kardena, I. M., I. B. O. Winaya, I. K. Berata. (2011). Gambaran Patologi Paru-
Paru Anjing Lokal Bali yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Jurnal
Veteriner 3 (1) : 17-24.
Laurensius, A. (2008). Distemper Pada Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan.
Yogyakarta. (http://annavet.blogspot.com/2009/04/distemper-pada-anjing-
olehlaurensius.html) Tanggal akses : 19 Februari 2014.
Lobetti, R. (2009). http://www.lowchensaustralia.com/health/distemper/htm.
Tanggal akses : 19 Februari 2014.
Schalmm. 2010. Schalmms Veterinary Hematology. Blackwell.






9

Gambar 1.
Anjing Protokol 427/N/12.

Gambar 2.
Hemoragi pada paru-paru.


Gambar 3.
Hemoragi pada meningen.

Gambar 4.
Kongesti otak.


Gambar 5.
Hemoragi dan penebalan V.U.

Gambar 6.
Limpa hemoragi dan membengkak.
10


Gambar 7.
Otak mengalami kongesti dan
hemoragi.


Gambar 8.
Pnemonia hemoragi dan kongesti pada
pembuluh darah besar.

Gambar 9.
Peningkatan sel glia pada
otak (gliosis).


Gambar 10.
Hemoragi dan infiltrasi sel radang
monomorfonuklear pada limpa.


11




Gambar 11.
Vesica urinaria mengalami penebalan
pada mukosa dan infiltrasi eritrosit.

Gambar 12.
Hati mengalami kongesti dan infiltrasi
radang monomorfonuklear.

You might also like