You are on page 1of 26

1

BAB I
PENYAKIT GINJAL KRONIS DAN DIABETES MELITUS

A. Pendahuluan
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable
diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan
penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable
diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal
dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya
pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih
parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi
ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal.
1

Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti
penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan
di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik
lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik
yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi
ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa
komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah
atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap
penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko
untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
1


B. Gagal Ginjal Kronik
Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
2

ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m.
Batasan penyakit ginjal kronik sebagai berikut :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan
oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal
dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan
penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
1,2

Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
2,3

a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
3

diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
4

besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
2,3


C. Hubungan Gagal Ginjal Kronik dan Diabetes Melitus
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan
efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang
reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat,
terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap
pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen, dan mungkin inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan
intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus. Progresifitas kelainan ginjal
pada diabetes militus dapat dibedakan dalam 5 tahap:
1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
- Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50%
diatas niali normal menurut usia.
- Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.
- Glukosuria disertai poliuria.
- Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
2. Stadium II (Silent Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
- Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
- Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke
normal.
- Awal kerusakan struktur ginjal
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
5

- Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun
- Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi
protein 30-300mg/24j.
- Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
- Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).
- Hipertensi
- Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan
dijumpai fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk
sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.
3


D. Penggunaan Insulin pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Secara umum pada pasien diabetes disarankan untuk kontrol status
glikemia yang diukur dengan penurunan HbA
1c
di bawah 7%. Angka ini didukung
oleh banyak studi prospektif randomized control trial pada diabetes tipe 1 maupun
2. Pada pasien diabetes tipe 1 memang diterapi dengan insulin, walaupun terapi
insulin pada diabetes tipe 2 memiliki risiko sedikit lebih tinggi dalam terjadinya
hipoglikemia.
4

Beberapa studi observasional memperlihatkan hubungan antara kontrol
status glikemi yang buruk dengan penurunan GFR pada pasien dengan diabetes
tipe 1 dan tipe 2.
2
Dalam beberapa studi juga ditemukan bahwa penurunan HbA
1c

sampai sekitar 7.0% akan menurunkan angka terjadinya makroalbuminuria,
walaupun jumlah studi ini masih sedikit dan belum terdapat bukti kuat tentang
adanya hubungan kuat antara keduanya. Beberapa studi lain bahkan
menghubungkan antara penurunan HbA
1c
dengan penurunan kecepatan penurunan
GFR, walaupun bukti-bukti yang mendukungnya masih lemah. Sehingga penting
untuk diperhatikan dalam mengontrol status glikemi pasien pada GGK.
6

6

Diabetes menjadi tantangan dalam penanganan GGK, terutama pada end-
stage, uremia dan dialisis dapat mengganggu kontrol gula dengan mempengaruhi
sekresi, klirens, dan sensitifitas perifer terhadap insulin.
6

Beberapa hal seperti uremia, dapat meningkatkan resistensi insulin pada
GGK stadium V, berimbas pada penurunan kemampuan ginjal untuk menekan
glukoneogenesis hepar dan meregulasi pemakaian glukosa. Pada diabetes tipe 2
tanpa penyakit ginjal, resistensi insulin merangsang sekresi insulin tambahan. Hal
ini tidak terjadi pada GGK stadium akhir karena terjadinya asidosis metabolik,
defisiensi 1,25 dihidroksivitamin D dan hiperparatiroid sekunder. Hemodialisis
lebih jauh lagi mengganggu sekresi insulin, klirens, dan terjadinya uremia,
asidosis dan penumpukkan fosfat berakibat pada resistensi insulin. GGK stadium
akhir dan hemodialisis mengakibatkan pemaksaan eksresi, kerja, dan metabolisme
insulin yang mengakibatkan sulitnya memperkirakan serum glukosa.
6

Pada pemberian regimen untuk mengontrol gula darah pada pasien dengan
GGK perlu memperhatikan peningkatan atau perubahan sensitivitas regimen
tertentu, perubahan diet dan hal-hal yang terkait dengan kompleksitas perawatan
yang dibutuhkan oleh pasien. Sampai saat ini rekomendasi untuk perawatan
diabetes pada pasien GGK masih terbatas.
5
Sebagian besar oral anti diabetik
diekskresikan melalui ginjal sehingga menjadi kontraindikasi atau tidak
direkomendasikan dalam penatalaksanaan diabetes dengan GGK, sehingga insulin
menjadi pilihan terapi pada kasus ini.
6

Konsentrasi dekstrosa pada dialisa juga dapat mempengaruhi kadar gula
darah. Pada beberapa kasus dipakai dialysate yang rendah dekstrosa, yang
mungkin berhubungan dengan kejadian hipoglikemia. Sebaliknya, dialisa tinggi
dektrosa digunakan untuk peritoneal dialisis untuk meningkatkan ultrafiltrasi
namun hal ini dapat mengakibatkan hiperglikemia
6

Pada pasien dengan GGK stadium III hingga V, memiliki risiko tinggi
mengalami hipoglikemia. Hal ini disebabkan dua hal: (1) penurunan klirens
insulin dan beberapa oral anti diabetik, dan (2) glukoneogenesis yang terganggu.
Dengan penurunan massa ginjal, jumlah glukoneogenesis juga berkurang.
Penurunan kemampuan glukoneogenesis ini memperbesar risiko hipoglikemi
7

karena tingginya kadar insulin atau kurangnya asupan makanan untuk mencegah
hipoglikemia.
4,6

Sekitar sepertiga dari jumlah insulin didegradasi di ginjal, sehingga
kerusakan ginjal akan berhubungan dengan pemanjangan masa paruh insulin.
Pasien diabetes tipe 1 dengan kadar kreatinin yang tinggi (> 2,2 mg/dL) memiliki
risiko lima kali lebih besar dalam mengalami hipoglikemia. Sehingga perlu
dilakukan monitor kadar gula pasien serta mengurangi dosis insulin untuk
mencegah hipoglikemia.
4,7

Tidak ada guidelines atau rekomendasi tentang jenis insulin yang harus
digunakan dalam penanganan kasus gagal ginjal kronis. Beberapa studi
menyarankan menghindari insulin long-acting, sementara beberapa studi lain
mengatakan sebaliknya.
7


Tabel 1. Pengelolaan nefropati diabetik berdasarkan fungsi renal
stage Deskripsi GFR
(ml/min per
1,73 m
2
luas
permukaan
tubuh)
Rekomendasi Regimen Obat
1 Gangguan ginjal
dengan GFR
normal atau
sedikit
meningkat
90 A1c ~ <7.0%
TD < 130/85
LDL <
100mg/dL
ACE/ARB jika
mikroalbumin urin
30mg/g kreatinin
2 Ganguuan ginjal
dengan GFR
sedikit menurun
60-89 A1c ~ <7.0%
TD < 130/85
LDL <
100mg/dL
ACE/ARB untuk
semua pasien
3 Penurunan
sedang GFR
30-59 A1c ~ <7.0%
TD < 130/85
LDL <
100mg/dL
Rujuk ke
nefrolog
Monitor anemia
Monitor
hiperparatiroid
sekunder
ACE/ARB untuk
semua pasien
Stop sulfonilurea
kecuali glipizide,
nateglinide, AGI dan
GLP-1 analogue
Eritropoietin jika
Hb<9mg/dL
Kurangi dosis
dipeptyl peptidase-4
inhibittor
8

4 Penurunan besar
GFR
15-29 A1c ~ <7.0%
TD < 130/85
LDL <
100mg/dL
Rujuk ke
nefrolog
Monitor anemia
Monitor
hiperparatiroid
sekunder
ACE/ARB untuk
semua pasien dengan
monitoring K serum
Terapi insulin
Eritropoietin jika
Hb<9mg/dL



5 Gagal ginjal
tahap akhir
<15 atau
dialisis
Dialisis atau
transplantasi
ginjal


Ada beberapa hal yang menghambat pengendalian gula darah pada pasien
dengan GGK, salah satunya adalah inakurasi pengukuran HbA
1c
pada GGK
(AJKD). Konsentrasi HbA
1c
pada pasien dengan GGK stadium akhir mengalami
peningkatan palsu. Peningkatan kadar urea nitrogen pada pasien GGK stadium
akhir mengakibatkan pembentukkan hemoglobin terkarbamilasi yang oleh
electrical-charge-based assay tidak bisa dibedakan dengan hemoglobin
terkarboksilasi, sehingga mengakibatkan pemeriksaan lebih tinggi palsu.
4

Beberapa faktor lain yang membuat konsentrasi HbA
1c
terkesan lebih
rendah dari yang seharusnya adalah berkurangnya umur eritrosit, hemolisis,
defisiensi besi, transfusi darah, penggunaan eritropoietin stimulating agent.
Namun untuk beberapa pasien dengan hemodialisis memiliki kadar gula lebih
rendah dibandingkan angka konsentrasi HbA
1c
karena dipengaruhi kadar gula di
sekitarnya.
4,6

Sekalipun terjadi angka palsu, pemeriksaan HbA
1c
masih dapat
dipertanggung jawabkan dalam pengukuran status gula pada GGK stadium akhir.
Fruktosamin terglikasi dan albumin merupakan alat lain untuk mengukur kadar
gula dengan beberapa keuntungan lain dibandingkan HbA
1c
pada pasien dengan
dialisis. Namun pemeriksaan ini belum matang dan dapat dipengaruhi oleh
kondisi yang menganggu metabolisme protein.
4

Pasien dialisis jangka panjang tidak lagi membutuhkan kontrol gula yang
baik untuk mencegah deteriorisasi fungsi ginjal. Namun, kontrol yang baik masih
9

bisa mencegah atau memperlambat perkembangan retinopati, neuropati dan
mungkin penyakit makrovaskuler. Survival rates lebih tinggi pada pasien dengan
kontrol gula baik pada pasien dengan peritoneal dialisis

dan hemodialisis. Sebuah
studi menunjukkan, HbA
1c
merupakan prediktor yang signifikan dari survival
rate.
7

Tabel 2. Penilaian kadar gula darah pada diabetes dan GGK.
8

Pengukuran Frekuensi Target
HbA
1c
-2 kali per tahun pada pasien stabil yang
mencapai target terapi
-Setiap 3 bulan saat dilakukan pergantian terapi
atau jika target tidak tercapai
<7.0%
Glukosa kapiler
preprandial
-Dengan insulin injeksi multipel: 3 kali per
hari
-Dengan pengobatan insulin lebih sedikit, agen
oral, nutrisi: per hari atau ketika dibutuhkan
90-130
mg/dL
Glukosa 2 Jam PP (peak) -Jika dibutuhkan
-Dapat berguna pada pasien dengan
gastroparesis dan yang menggunakan rapid
insulin sebelum makan
<180
mg/dL
Tabel 2. ADA standards for assessment os glycemic control

Pada orang sehat tanpa diabetes, sel beta pankreas mensekresi kebutuhan
insulin basal secara konstan setiap harinya sekitar 0,5 unit/kgBB/hari. Sekitar
setengahnya disekresikan pada saat post prandial sebagai respon stimulasi
glukosa.
4,6,9

Insulin disekresikan melalui sirkulasi portal, insulin melewati hepar dan
dimetabolisme sekitar 75%, 25% sisanya dimetabolisme oleh ginjal. Sekitar 60%
dari insulin di arteri di filtrasi oleh glomerolus dan 40% secara aktif disekresi
menuju tubulus nefron. Kebanyakan insulin disini diubah menjadi asam amino
dan hanya sekitar 1% yang masih utuh.
4,6,9

Untuk pasien dengan diabetes yang menerima insulin eksogen,
metabolisme ginjal memainkan peran lebih penting karena insulin tidak
mengalami metabolisme hepar. Pasien dengan GGK akan memiliki masa paruh
insulin yang lebih panjang dikarenakan hal ini.
4,6,9

10

Ada beberapa preparat insulinyang tersedia, rapid acting, intermediate
acting, long acting dan premixed combination. Di bawah ini adalah tabel preparat
insulin dengan onset, peak dan durasi.

Preparat Insulin Onset Peak Durasi
Efektif
Dosis pada gangguan
ginjal
Rapid acting
-Regular
-Lispro
(Humalog)
-Aspart
(Novolog)

30-60
menit
5-15 menit
5-15 menit

2-3 jam
30-90
menit
30-90
menit

8-10 jam
4-6 jam
4-6 jam
Kurangi dosis 25%
pada GFR 10-
50mL/mnt, dan 50%
pada GFR < 10mL/mnt
Long acting
-Neutral
protamine
hagedorn
- Glargine
(Lantus)
- Detemir
(Levemir)

2-4 jam

2-4 jam
3-4 jam

4-10 jam

-
3-14 jam

12-18
jam

20-24
jam
6-23
(19.9)
jam
Kurangi dosis 25%
pada GFR 10-
50mL/mnt, dan 50%
pada GFR < 10mL/mnt
Promixed
-70/30 human
mixed
- 70/30 aspart
mixed
-75/25 lispro
mixed

30-60
menit
5-15 menit
5-15 menit

3-12 jam
30-90
menit
30-90
menit

12-18
jam
12-18
jam
12-18
jam
Kurangi dosis 25%
pada GFR 10-
50mL/mnt, dan 50%
pada GFR < 10mL/mnt
Tabel 3. Persiapan insulin: pertimbangan pada pasien dengan gangguan ginjal
Asinpreis et al, memperlihatkan profil farmakokinetik Lispro (Humalog),
yang memiliki onset kerja lebih cepat dan durasi yang pendek, yang tidak hanya
berguna untuk koreksi hiperglikemia tapi juga menurunkan risiko episode
hipoglikemi lambat yang banyak terjadi pada pasien dengan hemodialisis.
Beberapa penulis menyarankan long-acting insulin untuk kebutuhan basal dan
penggunaan short acting sebelum makan, dua atau tiga kali setiap hari.
4,6,9




11

BAB II
PENYAKIT HATI KRONIS DAN DIABETES MELITUS

A. Pendahuluan
Penyakit hati dapat menyebabkan atau diakibatkan atau terjadi bersamaan
dengan diabetes melitus. Hati berperan dalam menjaga homeostasis glukosa
normal. Pada penyakit hati kronis, seperti sirosis hati dan infeksi hepatitis C
kronis dilaporkan terjadi gangguan sensitifitas insulin yang diikuti dengan
perubahan metabolisme glukosa seperti tingginya prevalensi resistensi insulin di
mana 57% dari pasien sirosis menunjukkan resistensi insulin meningkat dan
intoleransi glukosa. Hubungan antara penyakit hati kronis dengan gangguan
metabolisme glukosa telah diketahui dengan nama hepatogenous diabetes.
10,11,12

Berbagai faktor patogenetik terlibat dalam pengembangan dari resistensi
insulin. Kadar insulin serum lebih tinggi pada pasien diabetes dengan penyakit
hepar kronis dibandingkan pasien dengan DM yang disebabkan oleh gaya hidup,
menunjukkan bahwa selain over-makan, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik,
patofisiologi hiperinsulinemia merupakan faktor yang mendasari pada pasien
dengan penyakit hepar kronis. Apabila glukosa darah dikirim ke hati melalui vena
portal, hiperinsulinemia pada pasien dengan sirosis hepar mungkin merupakan
factor sekunder baik pada sel parenkim hepar kerusakan atau pada portal-
systemic shunting. Tingkat degradasi insulin di hepar berkurang pada pasien
dengan sirosis hepar. Selain itu, meskipun terjadi perifer hiperinsulinemia, tingkat
insulin di portal dan vena hepatik mengalami penurunan pada pasien sirosis
dengan sistemik portal-systemic shunting.
10,11

Hiperinsulinemia juga terlihat pada pasien dengan infeksi hepatitis C
kronis (HCV) yang tidak menunjukkan kerusakan sel parenkim hepar yang berat
dan portal-systemic shunting. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
resistensi insulin di hepar dapat menjadi faktor terjadinya hiperinsulinemia pada
pasien dengan penyakit hepar kronis, seperti infeksi kronis HCV dan sirosis
hepatis.
10,11

12

B. Penyakit Hati Kronis dan Diabetes Mellitus
Penyakit hati dapat menyebabkan atau diakibatkan atau terjadi
bersamaan dengan diabetes melitus. Hati berperan dalam menjaga
homeostasis glukosa normal. Hubungan yang menjelaskan patogenesis
penyakit hati dengan homeosatasis abnormal glukosa dapat dilihat di tabel 4.
Tabel 4. Penyakit Hati dan Diabetes Mellitus
9

1. Penyakit hati yang terjadi sebagai konsekuensi dari diabetes melitus
Deposit glikogen
Steatosis dan steatohepatitis nonalkoholik (NASH)
Fibrosis dan sirosis
Penyakit biliar, cholelithiasis, cholesistitis
Komplikasi dari terapi diabetes (kolestatik dan necroinfamatori)
2. Diabetes melitus dan abnormalitas dari homeostasis glukosa yang terjadi
sebagai komplikasi dari penyakit hati
Hepatitis
Sirosis
Karsinoma Hepatoseluler
Kegagalan hepar fulminan
Transplantasi hati postorthotopik
3. Penyakit hati yang terjadi secara bersamaan dengan diabetes melitus dan
abnormalitas homeostasis glukosa
Hemokromatosis
Penyakit penyimpanan glukosa
Penyakit autoimunbilier

Pada penyakit hati kronis, seperti sirosis hati dilaporkan terjadi
gangguan sensitifitas insulin yang diikuti dengan perubahan metabolisme
glukosa seperti tingginya prevalensi resistensi insulin dan intoleransi glukosa.
Hampir semua pasien sirosis hati mengalami resistensi insulin, dimana 60-
80% adalah intoleransi glukosa, dan kira-kira 20% berkembang menjadi
Diabetes Melitus.
11

13

Hubungan antara penyakit hati kronis dengan gangguan metabolisme
glukosa telah diketahui dengan nama hepatogenous diabetes. Gangguan
metabolisme glukosa menjadi lebih buruk sejalan dengan progresi hepatitis
kronis menjadi SH. Patogenesa terjadinya DM yang terjadi pada pasien SH
(hepatogenous diabetes) sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi diduga berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin yang ditandai
dengan hiperglikemia dan hiperinsulinemia.
11

Hati memegang peranan penting dalam metabolisme glukosa dimana
hati dapat menyimpan glikogen dan memproduksi glukosa melalui
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Pada keadaan fisiologis, hepatosit
merupakan tempat utama metabolisme glukosa hati, namun metabolisme
insulin dilakukan oleh sel hati non parenkimal yaitu sel Kupffer, sel endotelial
sinusoidal dan hepatic stellate cells (HSC) yang berkontribusi terhadap
degradasi insulin dan terlibat dalam modulasi metabolisme glukosa hepatosit
selama proses inflamasi via pengeluaran sitokin. Insulin merupakan mediator
utama pada hemostasis glukosa dan setiap perubahan aksinya akan
menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.
11


Kerusakan Hati dan Etiologinya dalam Hubungannya dengan Diabetes
Melitus Tipe 2
Kerusakan hati pada diabetes melitus dapat terjadi akibat adanya
perlemakan hati, obesitas dan resistensi insulin. Perlemakan hati sebagai
akibat dari akumulasi trigliserid intraseluler karena peningkatan asam lemak
bebas dan liponeogenesis de novo dalam hepatosit. Pada saat yang sama
terjadi penurunan sekresi VLDL dari hepar. Kerusakan hati terdiri dari
nekrosis seluler dan inflamasi akibat peningkatan stress oksidatif di
mitokondria trigliserid menyebabkan peningkatan radikal bebas dan
peroksisom. Stres oksidatif di mitokondria juga ditingkatkan oleh aksi dari
adipokin (sitokin yang diproduksi oleh adiposit) seperti leptin dan tumor
necrosis factor- (TNF-) yang diproduksi sangat banyak. Penurunan
adiponektin yang merupakan pengatur adipokin, menyokong adanya aktivitas
14

infamasi adipokin. Mediator kimiawi yang berasal dari inflamasi dan nekrosis
sel, yaitu adipokin mengaktifkan sel stelat hati dan menginduksi peningkatan
kolagen, connective tissue growth factor dan akumulasi matrix ekstraseluler
sehingga menyebabkan fibrosis (gambar 1).
11


Gambar 1. Kerusakan hati yang disebabkan DM tipe 2

Pada keadaan terjadinya kerusakan pada hati, maka terjadi gangguan
pada hemostasis metabolisme glukosa oleh karena terjadinya resistensi insulin
dan gangguan sensitivitas sel pankreas. Resistensi insulin terjadi pada
jaringan otot, hati dan lemak. Sementara itu, etiologi dari penyakit hati sangat
penting terhadap perkembangan hepatogenous diabetes: non alkoholic fatty
liver disease (NAFLD), alkohol, virus hepatitis C, hemokromatosis dan NASH
(gambar 2).
11

15


Gambar 2. Etiologi sirosis hepatis yang paling banyak dihubungkan dengan
diabetes melitus

Patogenesis Hepatogenous Diabetes
Hepatogenous diabetes (HD) berhubungan dengan penurunan
sustained viral response (SVR) dan progresi fibrosis yang cepat pada pasien
hepatitis C kronis. HD juga dapat meningkatkan komplikasi dari sirosis seperti
varises esofagus dan gagal hati serta peningkatan mortalitas. HD juga
merupakan faktor resiko untuk terjadinya komplikasi hepatocellular carcinoma
(HCC) (gambar 3).
11














Gambar 3. Pengaruh HD dan resistensi insulin dapat mempengaruhi akhir dari
penyakit hati kronis
16

Patofisiologi dari HD sangat kompleks dan tidak diketahui pasti.
Resistensi insulin memegang peranan penting terhadap gangguan metabolisme
glukosa. Disebutkan bahwa penurunan ekstraksi insulin oleh hati yang rusak
dan adanya shunt portosistemik akan menghasilkan hiperinsulinemia dan
diperberat dengan peningkatan kadar hormon kontra insulin seperti glukagon,
hormon pertumbuhan, insulin like growth factor, sitokin.
11

Namun studi terbaru pada pasien sirosis hati Child B menyatakan
bahwa hiperinsulinemia terjadi karena penurunan sensitifitas sel pankreas
sementara gangguan ektraksi insulin oleh hati tidak memegang peranan. Dan
menjadi perdebatan juga apakah faktor genetik dan lingkungan dan penyebab
penyakit hati seperti HCV, alkohol dapat mengganggu sekresi insulin oleh sel
pankreas. Sebagai kesimpulan, tampaknya gangguan toleransi glukosa dapat
dihasilkan dari 2 gangguan yang terjadi secara simultan yaitu resistensi insulin
dan tidak adekuatnya sekresi sel pankreas untuk mengeluarkan insulin dalam
mengatasi gangguan kerja insulin sehingga akhirnya menyebabkan
hiperglikemia puasa dan profil toleransi glukosa diabetes (gambar 4).
11



















Gambar 4. Patofisiologi Hepatogenous Diabetes
17

HCV dan Resistensi Insulin
Intoleransi glukosa dan DM terjadi pada lebih dari 40% dan 17%
pasien hepatitis C kronik. Mekanisme bagaimana HCV menyebabkan
terjadinya resistensi insulin masih belum jelas diketahui. Resistensi insulin
sejajar dengan tahap fibrosis hepar dikaitkan dengan penurunan respon tingkat
virologi (SVR) dengan menggunakan interferon dan ribavirin. Dengan
demikian, resistensi insulin terlibat dalam perkembangan penyakit dan
keberhasilan pengobatan dan penting untuk memahami patogenesis resistensi
insulin pada pasien dengan hepatitis C kronis.
10

Perubahan tingkat serum leptin, tumor adiponektin, nekrosis factor-
alpha dan interleukin-6 diketahui terkait dengan perkembangan resistensi
insulin. Namun, pada pasien dengan hepatitis C kronis, perubahan dalam
sitokin tidak selalu berkorelasi dengan insulin resistensi. Di sisi lain, resistensi
insulin dapat meningkatkan HCV pada cDNA-transfected cell hepatoma dan
tikus dan kadar protein serum HCV berhubungan dengan perkembangan
resistensi insulin pada pasien dengan hepatitis C kronis. Selain itu, resistensi
insulin berhubungan dengan kinetika load HCV dan terus ditingkatkan melalui
pembersihan HCV dengan interferon terapi. Temuan ini menunjukkan bahwa
HCV adalah penting sebagai faktor untuk penkembangan resistensi insulin.
10

Baru-baru ini, hubungan antara genotipe HCV dan resistensi insulin
telah terungkap. HCV genotipe 1, 3 dan 4 berhubungan dengan resistensi
insulin lebih parah. Dalam sel hepatoma manusia, HCV genotipe 1 mengatur-
suppressor of cytokine signaling (SOCS) 3 dan penyebab penekanan pada
insulin receptor substrate (IRS) 1/2, yang kemudian menekan insulin yang
menginduksi fosforilasi dari subunit p85 dari phosphatidylinositol 3-kinase dan
Akt dan mengurangi penyerapan glukosa (Gambar 5). Perubahan ini tidak
terlihat pada sel hepatoma yang terinfeksi dengan HCV genotipe 2,
menunjukkan bahwa IRS1 / 2 degradasi melalui up-peraturan SOCS3 adalah
genotipe spesifik mekanisme. Dalam perjanjian dengan hasil ini dari dasar
penelitian, ekspresi hepar SOCS3 lebih tinggi pada pasien dengan HCV
genotipe 1 dibandingkan pada mereka dengan genotipe 2 dan meningkat
18

ekspresi hepar SOCS3 berkorelasi dengan respon yang buruk terhadap
pengobatan antivirus.
10
























Gambar 5 Skema untuk perbedaan genotipe HCV dalam patogenesis molekuler
resistensi insulin dan hepatocarcinogenesis. HCV: Hepatitis C virus;
STAT: Sinyal transduser dan aktivator transkripsi; SOCS: Suppressor
dari sitokin signaling; mTOR: target mamalia dari rapamycin; PPAR:
Peroxisome proliferator-diaktifkan reseptor; IGFBP: insulin-seperti
protein faktor pertumbuhan mengikat; IGF: Insulin-like growth factor;
IRS: Insulin substrat reseptor; MAPK: Mitogenactivated
protein kinase.

19

Dua lebih lanjut mekanisme dilaporkan dalam HCV genotipe 1:
aktivasi target pada mamalia dari rapamycin dan up-regulatory fosforilasi serin
dari IRS1 (Gambar 5). Selain itu, subsitusi asam amino di wilayah dengan
HCV genotipe 1b [Gln70 (His70) dan / atau Met91] baru-baru ini dilaporkan
sebagai prediktor signifikan untuk resistensi insulin. Meskipun mekanisme
molekuler yang mendasari tetap tidak jelas, temuan ini menunjukkan unik
patogenesis molekuler untuk resistensi insulin pada HCV genotipe 1. HCV
genotipe 3 juga menyebabkan down-regulator IRS1; Namun, patogenesis
molekul berbeda dari yangdari HCV genotipe 1. HCV genotipe 3
mempromosikan down-regulasi dari IRS1 hingga yang mengatur SOCS7 tetapi
tidak SOCS3 (Gambar 5). Ekspresi SOCS-7 mRNA adalah independen
transduser sinyal dan sebagai aktivator transkripsi 3 dan dimodulasi oleh
Peroxsisome proliferator-activated receptor aktivitas gamma (Gambar 5).
HCV genotipe 4 adalah varian yang paling umum di Timur Tengah dan Afrika
dan peningkatan prevalensi di negara-negara Barat. Infeksi
dengan HCV genotipe 4 dikaitkan dengan prevalensi tinggi steatosis hepatik
dan obesitas, namun dampak dari adiponektin pada resistensi insulin masih
kontroversial dan mekanisme spesifik resistensi insulin pada infeksi HCV
genotipe 4 juga tetap tidak jelas. Selain langsung asosiasi HCV dengan
intraseluler insulin, steatosis hati dikaitkan dengan peningkatan BMI dan
resistensi insulin dan indeks HOMA dilaporkan menjadi prediktor SVR pada
pasien dengan HCV non 3 genotipe. Pada pasien dengan HCV genotipe 3,
steatosis hati secara langsung berhubungan dengan sirkulasi dan hati viral load,
yang dimediasi oleh gangguan perakitan dan sekresi very low- density
lipoprotein dan oleh up-regulator sterol yang tergantung protein signaling,
yang mengatur lipogenesis dan menghambat asam lemak bebas mitokondria b-
oksidasi.
10


Penilaian Pasien DM Pada Penyakit Hepar
Glukosa plasma dan hemoglobin A1c (HbA1c) umumnya digunakan
untuk penilaian rutin dan manajemen pasien DM tipe-2. Tingkat HbA1c pada
20

pasien dengan HCC lebih tinggi dibanding pasien dengan sirosis hepar atau
subyek kontrol. Pada pasien dengan sirosis hepar, bagaimanapun, HbA1c tidak
mewakili kontrol glikemik pada pasien sirosis dengan lengkap karena umur
eritsosit yang pendek yang disebabkan oleh hipersplenisme. Data ini
menunjukkan bahwa penilaian dan pengelolaan DM hepatogenous
menggunakan HbA1c adalah tidak akurat, meskipun kontrol glukosa rendah
terkait dengan kejadian HCC.
10

Kontrol ketat kadar glukosa darah dapat meningkatkan kelangsungan
hidup pada pasien HCV. Pada pasien dengan HCV terkait sirosis hepar,
prognosis untuk pasien dengan hiperglikemia (Glukosa plasma puasa 7,0
mmol / L; 126 mg / dL) lebih buruk daripada mereka yang normoglycemia.
Oleh karena itu, glukosa plasma puasa <7.0 mmol / L (126 mg / dL) bermakna
terjadi hepatogenous DM. Puasa insulin serum dan penilaian homeostasis
model yang resistensi insulin (HOMA-IR) juga digunakan sebagai penanda
toleransi glukosa. Pada pasien dengan HCV infeksi, HCC pengembangan
dikaitkan dengan peningkatan tingkat serum puasa dan oleh HOMA-IR. Selain
itu, HCC kekambuhan juga telah terbukti terkait dengan HOMA-IR. Selain itu,
prognosis lebih buruk pada pasien HCC dengan peningkatan insulin serum
puasa atau HOMA-IR. Data ini menunjukkan bahwa penilaian insulin juga
bermakna pada pasien dengan sirosis hepar. Secara keseluruhan, glukosa
plasma puasa dan baik insulin serum atau HOMA-IR digunakan sebagi
penilaian resistensi insulin hepatogenous diabetes.
10


C. Penggunaan Insulin pada Penyakit Hepar Kronis
Insulin adalah hormon pertumbuhan mempromosikan dengan efek
mitogenik, dimana insulin eksogen dan sulphonylureas dapat meningkatkan kadar
insulin serum, dianggap mencetuskan karsinogenesis. Bahkan, sebuah studi
kohort melaporkan bahwa insulin eksogen meningkatkan risiko keganasan pada
pasien dengan DM. Eksogen insulin dan sulphonylureas dikenal dapat
meningkatkan kanker payudara, kanker kolorektal dan kanker pankreas pada
pasien dengan DM.
10

21

Hubungan antara agen anti-diabetes dan karsinoma hepatoseluler (HCC)
pertama kali dijelaskan pada 1986 oleh Lawson et al, membuktikan bahwa
penggunaan insulin eksogen atau sulfoniluera meningkatkan pengembangan dan
kekambuhan kanker hepar pada pasien dengan hepatitis C kronis (Tabel 5). Ini
karena insulin memiliki mitogenik dan efek proliferatif, anti-diabetes bisa
menjadi faktor karsinogenik. Insulin berikatan dengan reseptor insulin dan
mengaktifkan jalur protein kinase mitogenactivated. Insulin juga bereaksi silang
dengan insulin seperti faktor pertumbuhan (IGF) -1 reseptor dan mengaktifkan
kaskade Raf, yang menyebabkan mitosis dan proliferasi sel. Selain itu kelebihan
insulin sebagai pengikat IGF mengikat protein, yang mengakibatkan peningkatan
tingkat bebas serum IGF-1 (Gambar 6). Dengan demikian, hiperinsulinemia
disebabkan oleh penggunaan insulin eksogen atau sulfoniluera dapat
meningkatkan hepatokarcinogenesis.
10


Gambar 6. Mekanisme HCC pada hiperinsulinemia dan penggunaan insulin
eksogen atau sulfonilurea

Hubungan insulin eksogen atau generasi kedua sulfoniluera dengan HCC
lebih jelas dinilai dari wanita dibandingkan pada laki-laki. Seks mempengaruhi
perkembangan HCC dan perempuan kurang rentan terhadap kanker hepar
dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa penggunaan
22

insulin eksogen atau 2 generasi sulfonilurea dapat mempercepat pembangunan
HCC terutama pada pasien yang memiliki faktor negatif bagi
perkembangan kanker hati.
10

Penelitian yang dilakukan Donadon V, et al (2009) menunjukkan bahwa
efek terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dengan penyakit hati kronis dapat
memperberat dari resistensi insulin, hiperinsulinemia dan komplikasi diabetes.
Oleh karena itu penggunaan insulin dapat dijadikan marker untuk mengetahui
lama dan tingkat keparahan dari diabetes.
13


D. Dampak Anti Diabetes yang lain terhadap Penyakit Hepar Kronis
1. Metformin
Metformin adalah biguanide oral dengan efek sensitisasi insulin.
Namun, biguanides dilaporkan dapat mempengaruhi pasien dengan sirosis
hepar seperti terjadi asidosis laktat dan dianggap sebagai kontraindikasi dalam
situasi ini. Baru-baru ini Romero-Gomez dkk pertama kali melaporkan untuk
menambahkan metformin ke peginterferon dan ribavirin sebagai insulin aman
sebagai pengobatan untuk pasien dengan HCV infeksi genotipe 1 dan DM.
Dalam intent-to-treat analisis, tidak ada efek menguntungkan metformin
terhadap SVR, namun pada pasien wanita dengan resistensi insulin, metformin
dapat menambahkan antivirus dua kali lipat SVR(58% vs 29%).
10

Donadon V, et al dalam penelitiannya melaporkan metformin dapat
mengurangi risiko kanker hati pada pasien dengan DM dan penyakit hepar
kronis. Metformin juga dikenal dapat mempengaruhi respon sel kanker
terhadap insulin dalam vitro. Dengan demikian, metformin memiliki potensi
manfaat sebagai insulin sensitizer untuk pasien yang menerima pengobatan
antivirus atau mereka dengan sirosis hepar (Tabel 5).
10,13






23

Tabel 5. Efek Agen Antidiabetik Terhadap Penyakit Hepar Kronis

2. Pioglitazone
Pioglitazone adalah thiazolidinedione dengan efek sensitisasi insulin.
Baru-baru Overbeck dkk melaporkan dengan menambahkan pioglitazone
kepegylated interferon alfa dan ribavirin dapat meningkatkan resistensi insulin,
namun, tidak ada pasien yang mencapai tanggapan virologi yang memuaskan
setelah 12 minggu dari pengobatan (Tabel 5). Di sisi lain, Khattab dkk
melaporkan bahwa pioglitazone dapat meningkatkan virologi respon terhadap
terapi antiviral pada pasien hepatitis C dengan resistensi insulin (Tabel 5).
10

Penelitian oleh Overbeck dkk mendaftarkan pasien dengan hepatitis C
kronis yang sebelumnya gagal menanggapi terapi peginterferon plus ribavirin,
sedangkan studi oleh Khattab dkk terdapat hepatitis C kronis pada pasien
dengan resistensi insulin.
10

Dengan demikian, pioglitazone tidak dapat meningkatkan efek terapi
antiviral pada pasien kronis hepatitis C. Namun, resistensi insulin berkurang
dalam kedua studi dan pioglitazone karena itu mungkin dapat untuk komplikasi
meningkatkan resistensi insulin terkait pada pasien dengan infeksi HCV.
Dipeptidyl peptidase-4 inhibitor Dipeptidyl peptidase (DPP) -4 inactivates
incretin hormom termasuk glucagon-like peptide-1 (GLP-1), meningkatkan
sekresi insulin dan mengurangi berat badan. DPP-4 inhibitor digunakan sebagai
agen anti-diabetes. DPP-4 juga dikenal sebagai CD26, kekebalan-regulasi
molekul diekspresikan pada sel-T, dan transfeksi dari HCV non-struktural
24

daerah genom dilaporkan meningkatkan DPP-4 ekspresi dalam sel hepatoma.
Pengobatan HCV pasien terinfeksi dengan interferon dapat menurunkan
serum DPP-4 , yang berhubungan dengan kekebalan aktivasi interferon-
induced.
10

Tingkat serum aktif GLP-1 HCV pada pasien terinfeksi secara
signifikan lebih rendah dibandingkan pasien yang terinfeksib virus hepatitis B
dan subyek sehat. GLP-1 melalui upregulation DPP-4 adalah mekanisme
patogenetik HCV terkait resistensi insulin. DPP-4 inhibitor menunjukkan
penurunan kadar glukosa plasma serta HbA1c tingkat insiden hipoglikemia
pada pasien DM tipe 2 rendah.
10






















25

BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Pada pemberian regimen untuk mengontrol
gula darah pada pasien dengan GGK perlu memperhatikan peningkatan atau
perubahan sensitivitas regimen tertentu, perubahan diet dan hal-hal yang terkait
dengan kompleksitas perawatan yang dibutuhkan oleh pasien.
Pathogenesis, penilaian, dan penyebab kematian pada resistensi insulin
dengan penyakit hepar kronis berhubungan dengan gaya hidup. Selain itu, insulin
eksogen atau sulfonilurea dapat membahayakan karena agen ini dapat
mencetuskan hepatocarcinogenesis. Oleh karena itu, diperlukan strategi terapeutik
yang unik untuk hepatogenous diabetes.



















26

DAFTAR PUSTAKA

1. Dirks JH, et al. 2005. Prevention of Chronic Kidney and Vascular Disease:
Toward Global Health Equity- The Bellagio 2004 Declaration. Kidney Int
Suppl:4889-4891
2. Brown WW et al. 2003. Identification of Persons at High Risk for Kidney
Disease Via Targeted Screening. The NKF Kidney Early Evaluation
Program. Kidney Int Suppl: S21-S40
3. Nahas AM. 2005. Chronic Kidney Disease: The Global Challenge.
Lancet;365:331-340
4. Nathan DM, et al. 2005. Intensive diabetes treatment and cardio-vascular
disease in patients with type 1 diabetes. N Engl J Med;353:2643-53.
5. Cavanaugh, et al. 2007. KDOQI clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for diabetes and chronic kidney disease. Am J
Kidney Dis;49:Suppl:S12-S154
6. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes
2011. Diabetes Care 2011;34:Suppl 1:S11-S61
7. Snyder RW, et al. 2004. Use of insulin and oral hypoglycemic medications in
patients with diabetes mellitus and advanced kidney disease. Semin Dial
17:365370
8. Shrishrimal, et al. 2009. Managing Diabetes in Hemodialysis Patient.
Clevealand Clinic Journal of Medicine.76:649-54
9. Levin A, et al. 2007. Guideline2: Management of Hyperglicemia and General
Diabetes Care in Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney
Disease. 49:62-74
10. Kawaguchi T, et al. 2011. Insulin resistance and chronic liver disease.
Baishideng: World J Hepatol; 3(5): 99-107
11. Compean DG, et al. 2009. Liver cirrhosis and diabetes: Risk factors,
pathophysiology, clinical implications and management. The WJG Press and
Baishideng:World J Gastroenterol; 15(3): 280-288
12. Levinthal GN, et al. 1999. Liver Disease and Diabetes Mellitus. CLINICAL
DIABETES VOL. 17 NO. 2
13. Donadon V, et al. 2009. Antidiabetic therapy and increased risk of
hepatocellular carcinoma in chronic liver disease. The WJG Press and
Baishideng:World J Gastroenterol; 15(20): 2506-2511

You might also like