You are on page 1of 10

TUGAS EKOLOGI PESISIR DAN LAUT

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL TERHADAP KAWASAN


EKOSISTEM PESISIR LAUT














Disusun Oleh:
Dini Yuliansari
081224153002



PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) BIOLOGI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau
dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki keanekaragaman bahari yang kaya,
dan produktifitas sektor perikanan yang tinggi serta sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan
laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada pada ekosistem
darat maupun yang ada di ekosistem laut. Kedua ekosistem ini memiliki karakteristik yang
jauh berbeda sehingga daerah pertemuan ekosistem ini menjadi sangat spesifik dan ekstrim.
Fluktuasi suhu, salinitas, dan pasang surut merupakan faktor lingkungan utama yang
berpengaruh terhadap ekosistem di wilayah tersebut. Wilayah ini disebut sebagai ekoton,
yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Akan tetapi kekayaan alam bahari ini sedang menghadapi resiko akibat
naiknya muka air laut yang diperkirakan merupakan dampak yang merusak dari perubahan
iklim global. Tindakan manusia merupakan salah satu yang menjadi penyebab utama dari
perubahan iklim yang terjadi.
Perubahan iklim adalah proses yang berskala global, tetapi dengan manifestasi
wilayah dan daerah beragam. Dampak ekologi lazimnya berlangsung lokal dan bervariasi
dari tempat ke tempat. Iklim mempengaruhi ekosistem dan spesies yang mendiami mereka
dalam banyak cara. Secara umum, setiap jenis ekosistem secara konsisten dikaitkan dengan
kombinasi tertentu dari karakteristik iklim. Untuk menerangkan bagaimana perubahan iklim
telah mempengaruhi spesies tertentu dan ekosistem khususnya ekosistem pesisir laut, maka
di dalam makalah ini disajikan serangkaian contoh dampak ekologi dari perubahan iklim
yang telah diamati.

1.2 Tujuan
a. Untuk memenuhi permintaan tugas Ekologi Pesisir
b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan terhadap kawasan pesisir laut akibat
perubahan iklim global

1.3 Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
mengenai daerah kawasan pesisir laut dan persoalan yang terkait di dalamnya berdasarkan
studi literatur dari beberapa jurnal. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dan rekomendasi dalam memecahkan dan menanggulangi permasalahan yang ada di
kawasan pesisir laut.



























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Wilayah pesisir
Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah
pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa
definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait sebagai berikut yaitu wilayah pesisir
merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-
daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses laut, seperti pasang surut, dan intrusi air laut., sedangkan batas di laut adalah
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi
dan mengalirnya air tawar ke laut, serta yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan (Supriharyono, 2000). Sedangkan menurut kesepakatan bersama dunia
internasional, pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan,
apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas,
yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan batas tegak lurus pantai (crossshore),
(Supriharyono, 2000).
Pesisir terbentuk akibat hempasan dari gelombang laut/ombak. Pesisir memiliki
bentuk yang tidak sama, hal ini disebabkan karena pesisir terbentuk akibat hempasan dari
gelombang laut serta ditambah dengan adanya terpaan dari badai (Matthews, 2005).
Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Bentuk yang
dapat diciptakan oleh pesisir ada beberapa macam yaitu bentuk gua dan lengkungan. Bentuk
gua dan lengkungan tersebut terbentuk dari tebing yang tergerus, namun suatu saat
lengkungan tersebut akan patah sehingga yang tertinggal hanya tiang batuannya saja dan
disebut tunggul (Riley, 2004). Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau tempat
tinggal paling penting di dunia bagi manusia dengan segala macam aktifitasnya. Awal tahun
1990 diperkirakan 50 % sampai 70 % penduduk di dunia tinggal di daerah pantai. Bila pada
saat itu penduduk di dunia berjumlah kurang lebih 5,3 milyar maka 2,65 sampai 3,7 milyar
tinggal di pantai (Edgren, 1993).
Berdasarkan pengertian wilayah pesisir, menunjukkan bahwa garis batas nyata
wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya
ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat (Supriharyono, 2000). Menurut Dahuri, dkk
(1996) ada tiga batasan yang dapat dipakai untuk menentukan batas wilayah pesisir,
meskipun penggunaannya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat, pertama batas
wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara artbitrer dari rata-rata pasang
tinggi dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas juridiksi propinsi, kedua
batas wilayah pesisir adalah daerah daratan terdapat kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumber daya pesisir, dan ketiga
batas wilayah pesisir kearah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah.
Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan sistem sungai yang bermuara di
wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang mungkin terjadi baik yang disebabkan oleh proses
alami maupun sebagai akibat kegiatan manusia akan mempengaruhi wilayah pesisir yang
bersangkutan. Oleh karena itu, secara alami wilayah pesisir merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem wilayah sungai (Supriharyono, 2000). Wilayah pesisir
mempunyai satu atau lebih ekosistem dan sumber daya pesisir (Dahuri, dkk, 1996).
Ekosistem wilayah pesisir terdiri dari laut dangkal permanen, terumbu karang, padang lamun,
dataran lumpur dan dataran pasir, mangrove, wilayah Pasang surut, estuarin, laguna air tawar
di pesisir pantai dan sistem-sistem hidrologis di bawah tanah (Finlayson, 2003). Sumber daya
pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui.
Sumber daya pesisir yang dapat diperbaharui antara lain sumber daya perikanan (Plankton,
Bentos, Ikan, Molusca, Crustacea, Mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan
mangrove dan terumbu karang. Sumber daya pesisir yang tidak dapat diperbaharui ialah
berbagai jenis bahan tambang (Dahuri, dkk, 1996).

2.2 Perubahan Iklim Global
Pemerintah-pemerintah dunia telah meminta serangkaian penilaian otoritatif
pengetahuan ilmiah tentang perubahan iklim, dampaknya, dan pendekatan yang mungkin
untuk menangani perubahan iklim. Penilaian seperti ini dilakukan oleh sebuah organisasi
yakni Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Setiap lima sampai tujuh
tahun, IPCC menggunakan masukan dari sejumlah relawan dari ribuan ilmuwan untuk
mensintesis pengetahuan dan dampak perubahan iklim. Kesimpulan IPCC, melalui review
intens dan evaluasi oleh masyarakat ilmiah dan pemerintah-pemerintah dunia, menghasilkan
laporan akhir yang semua negara resmi menerima informasi tersebut. Informasi dalam
laporan IPCC tersebut telah melalui serangkaian review dan merupakan sintesis paling
otoritatif tentang penetahuan perubahan iklim.
Pada 2007, IPCC melaporkan bahwa suhu rata-rata bumi jelas menandakan
pemanasan. Beberapa baris menunjukkan bukti ilmiah bahwa rata-rata suhu permukaan
global bumi telah meningkat 0,75 C sejak 1850 (titik awal untuk jaringan global pengukuran
suhu bumi) seperti tampak pada gambar di bawah ini.











Gambar : kenaikan rata rata suhu permukaan bumi dari tahun 1860 2000

Terjadinya perubahan iklim secara global mengakibatkan timbulnya permasalahan
permasalahan yaitu :
A. Permukaan Air Laut
Perubahan iklim telah memicu mencairnya es kutum yang menyebabkan permukaan
air air laut meningkat. Tidak hanya suhu hangat menyebabkan gletser dan es mencair tanah
(menambah volume yang lebih untuk lautan), tetapi air laut juga memperluas volume dan
menghangatkan. Permukaan laut global rata-rata meningkat sebesar 1,7 mm / tahun selama
abad 20, tetapi sejak pengukuran satelit dimulai pada tahun 1992, telah naik 3,1 mm / tahun
(IPCC, 2007). Hilangnya lahan basah telah berkurang kemampuan wilayah itu untuk
memberikan jasa ekosistem, termasuk perikanan komersial, berburu rekreasi dan memancing,
dan habitat langka, terancam, dan spesies migrasi, serta melemahnya kapasitas daerah untuk
menyerap gelombang badai seperti yang terbesar di Amerika Serikat yakni Badai Katrina
(Hari et al. 2007). Permukaan air laut lebih tinggi juga dapat mengubah salinitas dan pola
sirkulasi air dari muara pesisir dan teluk, dengan berbagai konsekuensi untuk campuran
spesies yang dapat berkembang di sana.
B. Siklus Air
Perubahan iklim sampai saat ini telah menghasilkan efek rumit pada persediaan air,
pasokan, permintaan, dan kualitas. Ketika curah hujan musim dingin jatuh, di tempat sub-
tropis, sebagai hujan salju dan bukan sebagai snowpacks gunung mencair lebih awal, lebih
sedikit air yang "disimpan" dalam bentuk salju untuk rilis lambat sepanjang musim panas
(Mote, 2005), ketika dibutuhkan oleh satwa liar di dalam dan sekitar sungai dan sungai dan
untuk pertanian dan penggunaan rumah tangga. Bahkan jika jumlah curah hujan tidak
berubah, suhu hangat berarti bahwa kelembaban menguap lebih cepat, sehingga jumlah air
yang tersedia bagi tanaman menurun. Interaksi yang kompleks antara suhu dan kebutuhan air
dan ketersediaan berarti bahwa perubahan iklim dapat memiliki berbagai macam efek pada
ekosistem.
C. Cuaca Ekstrim
Karakter cuaca ekstrim dan kejadian iklim juga berubah dalam skala global. Jumlah
hari embun beku di daerah midlatitude menurun, sedangkan jumlah hari dengan ekstrim suhu
hangat meningkat. Perubahan ini tampaknya bertentangan konsisten dengan iklim di mana
masukan yang lebih besar dari energi panas yang mengarah ke siklus air lebih aktif. Selain
itu, suhu laut hangat yang terkait dengan peningkatan baru-baru fraksi badai yang tumbuh ke
kategori yang paling merusak hingga level 4 dan 5 (Emanuel 2005;. Webster et al 2005).

D. Es Laut Antartika
Setiap tahun daerah ini tertutup oleh es laut di Samudra Antartika mengembang di
musim dingin dan kontraksi di musim panas. Pada paruh pertama abad ke-20 minimum
daerah laut es tahunan di Kutub Utara biasanya di kisaran 10-11.000.000 km2 (ACIA 2005).
Pada September 2007 es laut wilayah yang mencair minimal satu hari sebesar 4,1 juta km2
(1,64 juta mi2), terus menurut sekitar setengah sejak 1950-an (Serreze et al. 2007).
Penurunan di daerah ini diimbangi dengan penurunan dramatis dalam tingkat ketebalan. Dari
1975 hingga 2000 rata-rata ketebalan es laut Kutub Utara mengalami penurunan sebesar 33
persen, 3,7-2,5 m (Rothrock et al. 2008).

E. Keasaman Laut
Sekitar sepertiga dari karbon dioksida (CO2) yang dipancarkan oleh aktivitas manusia
telah terserap oleh lautan, sehingga memoderasi (meredam) peningkatan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer dan pemanasan global. Namun, seperti halnya karbon dioksida larut dalam
air laut, asam karbonat terbentuk, yang memiliki efek pengasaman, atau menurunkan pH, laut
(Orr et al. 2005). Meskipun tidak disebabkan oleh pemanasan, pengasaman merupakan hasil dari
peningkatan karbon dioksida, gas rumah kaca utama yang sama yang menyebabkan pemanasan.
Pengasaman laut memiliki dampak banyak pada ekosistem laut. Sampai saat ini, percobaan
laboratorium telah menunjukkan bahwa meskipun pengasaman laut mungkin bermanfaat untuk
beberapa spesies, kemungkinan akan sangat merugikan sejumlah besar spesies mulai dari
karang untuk lobster dan dari bulu babi untuk moluska (Raven et al 2005, Fabry et al 2008).















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perubahan iklim terhadap wilayah pesisir secara umum
Tingkat perubahan iklim sekarang melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun
terakhir. Debat tentang iklim perubahan telah sekarang mencapai suatu langkah dimana
kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan perubahan
iklim yang berdampak berbagai sendi-sendi kehidupan. Salah satu sendi kehidupan yang vital
dan terancam oleh adanya perubahan iklim ini adalah wilayah pesisir yang sangat berkaitan
erat dengan perubahan iklim.
Pemanasan global, salah satu perubahan iklim global, memiliki dampak yang buruk
bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah
yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh
daratan dan lautan. Dalam ringkasan teknisnya, Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan tiga faktor penyebab
kerentanan wilayah ini yaitu :















Gambar : Deskripsi pengaruh peubahan iklim terhadap wilayah pesisir (IPCC, 2007)

Pertama, pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah
pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi
bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun
terakhir (tahun 1980-2000). Peneliti bidang Meteorologi di AS mencatat adanya
peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik dalam seratus tahun terakhir.
Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai
tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai
tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali
badai tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai
tahun tenang saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga
dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung
sepanjang pemanasan global masih terjadi.

Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar
antara 1-3C. Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada
meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis.
Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation
(ENSO) di tahun 1997-1998.World Resource Institute tahun 2002 menyatakan suhu
air laut yang meningkat 1-3C pada saat itu telah memicu peristiwa pemutihan
terumbu karang yang terbesar sepanjang sejarah. Hampir sekitar 18% terumbu karang
di Asia Tenggara rusak dan hancur. Di Indonesia sendiri cakupannya mulai dari
perairan Sumatera, Jawa, Bali hingga Lombok. Terjadi kematian sebanyak 90-95%
terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Seribu dan 2 tahun setelah kejadian
baru pulih 30%. El nino tahun itu juga telah menyebabkan sekitar 90% terumbu
karang di Kepulauan Mentawai mengalami kematian. Ekosistem terumbu karang di
perairan Indonesia seluas 51.875km2, yang setara dengan sepertiga luas pulau Jawa,
terancam rusak dan hancur secara permanen jika pemanasan global terus berlangsung.
Ini juga berarti terancamnya kelangsungan berbagai macam kehidupan biota laut yang
tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini. Kerusakan terumbu karang juga berarti
hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang akan memicu peningkatan laju abrasi
pantai.

3.2. Dampak perubahan iklim terhadap Ekosistem Terumbu Karang di wilayah
pesisir

You might also like