Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak rakyat banyak untuk mendapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh karena itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. UU ini mengatur apa saja tindakan yang termasuk dalam jenis korupsi serta pelaku yang terlibat dan besar sanksi, baik uang maupun lama penahanan, yang dikenakan atas tiap tindakan korupsi. UU tindak pidana korupsi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1960. Namun dalam perjalanannya UU ini seringkali berganti dan diubah oleh pemerintah. UU No.31 tahun 1999 adalah UU tindak korupsi pertama yang dibuat setelah masa reformasi yang kemudian dilakukan beberapa perubahan diantaranya, mendeskripsikan lebih jelas apa saja yang termasuk dalam tindak pidana korupsi, sanksi yang dikenakan atas tindakan tersebut, serta siapa saja yang dianggap pelaku tindak korupsi. UU No.20 tahun 2001 merupakan UU tipikor hasil perubahan dari UU No. 31 tahun 1999. Dari segi hukum, suatu tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur-unsur untuk dimasukkan dalam tindak pidana. Unsur-unsur tersebut secara umum harus dibuktikan sbb : 1. Ada subyek (setiap orang) 2. Yang melakukan suatu tindakan tertentu (memperkaya diri sendiri, memberi sesuatu, atau menjanjikan sesuatu, dll) 3. Dengan cara melawan hukum 4. Yang berakibat kerugian terhadap pihak lain (merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, mempengaruhi pembuatan suatu keputusan yang bertentangan dengan kewajiban si pegawai negeri atau hakim, dll). Unsur-unsur tersebut harus dipenuhi dalam suatu tindakan pidana korupsi disertai dengan alat buktinya dan disesuaikan dengan tiap pasal yang ada dalam UU tindak pidana korupsi. Dalam UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 terdapat beberapa jenis perbuatan yang tergolong ke dalam kategori korupsi dengan pengelompokan berbeda. Diantaranya : 1. Perbuatan merugikan keuangan negara Ada di pasal 2 dan 3 UU No.31 tahun 1999, tentang memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan wewenang. Dipidana penjara seumur hidup, dengan atau pidana penjara min. 4 tahun, maks. 20 tahun dengan denda sejumlah uang min. Rp200 juta dan maks. Rp. 1 M. 2. Perbuatan suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim) a. Penyuapan atau pemberian hadiah kepada pegawai negeri Diatur dalam pasal 5 ayat 1 (a) dan (b), tentang sogokan untuk pegawai negeri agar melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan pemberi suap. Kemudian pasal 5 ayat 2, tentang pegawai negeri yang menerima sogokan. Dalam pasal ini, pemberi maupun penerima sogokan terancam hukuman pidana penjara min. 1 tahun, maks. 5 tahun, dengan denda min. Rp 50 juta, dan maks. Rp. 250 juta. Pasal 13, tentang pemberian hadiah pada pegawai negeri, terkena pidana penjara maks. 3 tahun dengan denda maks. Rp 150 juta. Dan pasal 11 tentang penerimaan hadiah yang dilakukan pegawai negeri terancam hukuman 1 hingga 5 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 250 juta. Lalu pasal 12 (a) dan (b), tentang pegawai negeri yang menerima suap terancam pidana seumur hidup, atau pidana penjara min. 4 hingga maks. 20 tahun dan denda min. Rp 200 juta, maks. Rp 1 M.
b. Penyuapan kepada hakim Terdapat di pasal 6 ayat 1 (a), (b),dan ayat 2, tentang penyuapan hakim dan advokat untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat dalam pengadilan diancam hukuman penjara selama 3 hingga 15 tahun penjara dengan sanksi Rp 150 juta hingga Rp 750 juta. Kemudian pasal 12 ayat (c), dan (d) bagi hakim dan advokat yang menerima suap terancam pidana seumur hidup atau hukuman penjara selama 4 hingga 20 tahun dengan sanksi Rp 200 juta hingga Rp 1 M. 3. Penggelapan bukti berupa surat, uang, akta, dll, dalam jabatannya Diatur dalam pasal 8, tentang pegawai negeri yang melakukan tindakan penggelapan berupa uang, atau surat berharga, dimana uang tersebut berada dalam kekuasaannya karena suatu jabatan. Dipidana min. 3 hingga 15 tahun dengan denda sejumlah Rp 150 juta hingga Rp 750 juta. Pasal 9 mengatur tentang pemalsuan buku dan daftar yang digunakan untuk alat administrasi dengan hukuman penjara min. 1 hingga 5 tahun dengan denda Rp 50 juta hingga Rp 200 juta. Kemudian pasal 10 ayat (a), (b), dan (c) mengatur tentang pegawai negeri yang merusak bukti, membiarkan orang lain merusak bukti, atau membantu orang lain merusak bukti berupa barang, surat berharga, atau akta yang akan digunakan untuk membuktikan sesuatu dikenai ancaman penjara selama 2 hingga 7 tahun dengan denda Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.
4. Melakukan pemerasan Terdapat dalam pasal 12 ayat (e), (f), dan (g) tentang pegawai negeri yang memaksa pihak lain (baik swasta, perorangan, atau pegawai negeri lainnya) untuk memberikan bayaran atas sesuatu yang tidak seharusnya, dapat terkena ancaman penjara seumur hidup atau, pidana penjara min. 4 hingga 20 tahun dan denda min. Rp 200 juta hingga Rp 1 M 5. Gratifikasi Diatur dalam pasal 12 B dan C, bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi diancam penjara min. 4 tahun hingga 20 tahun dan denda mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 1 M. 6. Melakukan kecurangan Diatur dalam pasal 7 ayat 1 (a) dan (b), tentang tindak kecurangan yang dilakukan oleh pemborong sehingga membahayakan keselamatan dan keamanan pihak lain, serta bagi pengawas yang membiarkan terjadinya tindak kecurangan. Kemudian (c), (d) dan pasal 7 ayat 2 mengatur tentang kecurangan yang dilakukan oleh tiap orang yang menyerahkan barang keperluan TNI/Polri serta pengawas dari penyerahan barang tersebut dan pihak penerima barang membiarkan tindakan curang akan dikenai ancaman penjara min. 2 hingga 7 tahun & denda min. Rp 100 juta maks. Rp 350 juta. Dari penjelasan UU diatas terlihat bahwa sanksi dan ancaman penjara yang dikenakan kepada pelaku tindak korupsi tidak sebanding dengan besaran nilai atau jumlah harta negara yang diambil oleh pelaku korupsi. Umumnya hukuman tahanan hanya selama 1, 3, 4, hingga 7 dan 20 tahun lamanya tergantung pada tindak korupsi yang dilakukan. Besaran denda yang dikenakan pun terhitung kecil, mulai dari Rp 50 juta hingga maksimal Rp 1 M. Korupsi pada umumnya, terutama di sektor publik, tidak dilakukan perorangan, melainkan dilakukan bersama dengan sekelompok pihak lainnya sehingga jumlah yang dikorupsi biasanya sangat besar hingga mencapai ratusan milyar rupiah. Contoh, total jumlah proyek bermasalah yang dilakukan Nazaruddin, menurut KPK, senilai Rp 6,037 T. Termasuk didalamnya adalah dugaan korupsi di dua departemen senilai Rp 2 T dan Rp 642 M. Dengan nilai proyek yang diduga korupsi hingga ratusan M ini dibandingkan dengan denda yang dikenakan maks. 1 M di tiap dakwaan, tentu sangat tidak signifikan. Itu hanya salah satu dari sekian banyak kasus korupsi, belum yang tersebar di berbagai instansi sektor lainnya. Hal ini menunjukkan ancaman hukuman dan sanksi yang dikenakan oleh perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan efek jera tidak hanya bagi pelaku namun juga pihak lain seperti masyarakat dan pihak swasta. Penelitian yang dilakukan oleh FEB UGM pernah mengungkapkan, dari hasil analisa yang dilakukan terhadap 1365 kasus korupsi, jumlah uang negara yang dikorupsi besarnya hingga mencapai Rp 168,19 T. Itu pun baru biaya yang terlihat atau eksplisit. Banyak aspek yang sulit untuk dinilai, seperti biaya sosial atas korupsi, opportunity lost yang hilang, dan lainnya. Indonesia belum memiliki rumusan perhitungan biaya yang diakibatkan oleh korupsi sehingga semestinya besaran nilai yang dikorupsi masih lebih besar daripada angka yang disebutkan.