You are on page 1of 2

Posted by Novi Ahimsa Rosikha on August 27, 2013 at 5:23am

Salam kenal, saya Ahimsa, seorang mahasiswa 21 tahun, yang bercita-cita untuk menjadi Ibu
rumah tangga (walaupun sekarang belum menikah, hehe). Untuk teman-teman yang punya
cita-cita yang sama dan untuk siapapun calon Ibu serta para Ibu, saya punya cerita inspiratif dari
seorang ibu rumah tangga. Berikut saya repost catatan saya dari
blog http://azaleav.wordpress.com/2013/08/01/inspirative-housewife-story/ . Semoga
bermanfaat dan mohon kritik sarannya. Tiga anaknya tidak sekolah di sekolah formal layaknya
anak-anak pada umumnya. Tapi ketiganya mampu menjadi anak-anak teladan, dua di antaranya
sudah kuliah di luar negeri di usia yang masih seangat muda. Saya cuma berdecak gemetar
mendengarnya. Bagaimana bisa? Minggu (21/ 7) lalu, saya mengikuti acara Forum Indonesia
Muda (FIM) Ramadhan yang diadakan di UNPAD. Niat awalnya mau nabung ilmu dan inspirasi
sebelum pulang kampung, selain juga memang karena pengisi acaranya inspiring. Eh, pembicara
yang paling saya tunggu ternyata berhalangan hadir. But, thats not the point. Semua pembicara
yang hadir memang sangat inspiring, tapi saya benar-benar dikejutkan di sesi terakhir.
Tentang parenting. Awalnya saya pikir sesi ini mau membicarakan apa gitu. Do you know
actually? It talks about a success and inspiring housewife. Saya langsung melek. Lupa lapar. Like
my dream becomes closer. Saya mencari seminar yang membahas tentang keiburumahtanggaan.
Nggak tahunya nemu di sana. Lihatlah daftar mimpi besar saya nomor 1-4. Rasanya terbahas
semua sore itu. (No offense nomor 2, gue juga kagak tahu kalau urusan itu :p ) Baiklah,
mukadimah ini akan terlalu panjang kalau saya lanjutkan. Namanya Ibu Septi Peni Wulandani.
Kalau kalian search nama ini di google, kalian akan tahu bahwa Ibu ini dikenal sebagai Kartini
masa kini. Bukan, dia bukan seorang pejuang emansipasi wanita yang mengejar kesetaraan
gender lalala itu. Bukan. Beliau seorang ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung
jaritmatika, juga seorang wanita yang amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesia. Seorang
wanita yang ingin mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita seutuhnya.
Dalam sesi itu, beliau bercerita kiprahnya sebagai ibu rumah tangga yang mendidik tiga anaknya
dengan cara yang bahasa kerennya anti mainstream.Its like Im watching 3 Idiots. But this is not
a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia. Semuanya berawal saat beliau memutuskan
untuk menikah. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa
peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu
Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh
seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami
mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu
kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk
menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah
tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran. Akhirnya beliaupun menikah.
Pernikahan yang unik. Sepasang suami istri ini sepakat untuk menutup semua gelar yang mereka
dapat ketika kuliah. Aksi ini sempat diprotes oleh orang tua, bahkan di undangan pernikahan
mereka pun tidak ada tambahan titel/ gelar di sebelah nama mereka. Keduanya sepakat bahwa
setelah menikah mereka akan memulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka akan belajar dari
mana saja. Pasangan ini bahkan sering ikut berbagai kuliah umum di berbagai kampus untuk
mencari ilmu. Gelar yang mereka kejar adalah gelar almarhum dan almarhumah. Subhanallah.
Tentu saja tujuan mereka adalahkhusnul khatimah. Sampai di sini, sudah kebayang kan bahwa
pasangan ini akan mencipta keluarga yang keren? Ya, keluarga ini makin keren ketika sudah
ada anak-anak hadir melengkapi kehidupan keluarga. Dalam mendidik anak, Ibu Septi
menceritakan salah satu prinsip dalam parenting adalah demokratis, merdekakan apa keinginan
anak-anak. Begitupun untuk urusan sekolah. Orang tua sebaiknya memberikan alternatif terbaik
lalu biarkan anak yang memilih. Ibu Septi memberikan beberapa pilihan sekolah untuk anaknya:
mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau tidak sekolah? Dan wow,
anak-anaknya memilih untuk tidak sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak mencari ilmu kan?
Ibu Septi dan keluarga punya prinsip: Selama Allah dan Rasul tidak marah, berarti boleh. Yang
diperintahkan Allah dan Rasul adalah agar manusia mencari ilmu. Mencari ilmu tidak melulu
melalui sekolah kan? Uniknya, setiap anak harus punya project yang harus dijalani sejak usia 9
tahun. Dan hasilnya? Enes, anak pertama. Ia begitu peduli terhadap lingkungan, punya banyak
project peduli lingkungan, memperoleh penghargaan dari Ashoka, masuk koran berkali-kali. Saat
ini usianya 17 tahun dan sedang menyelesaikan studi S1nya di Singapura. Ia kuliah setelah SMP,
tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah dengan biaya sendiri bermodal menjadi seorang
financial analyst. Bla bla bla banyak lagi. Keren banget. Saat kuliah di tahun pertama ia sempat
minta dibiayai orang tua, namun ia berjanji akan menggantinya dengan sebuah perusahaan.
Subhanallah. Uang dari orang tuanya tidak ia gunakan, ia memilih menjual makanan door to door
sambil mengajar anak-anak untuk membiayai kuliahnya. Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum
susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang
masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya
ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah
kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak. Elan,
si bungsu pecinta robot. Usianya masih amat belia. Ia menciptakan robot dari sampah. Ia percaya
bahwa anak-anak Indonesia sebenarnya bisa membuat robotnya sendiri dan bisa menjadi kreatif.
Saat ini, ia tengah mencari investor dan terus berkampanye untuk inovasi robotnya yang terbuat
dari sampah. Keren! Saya cuma menunduk, what Ive done until my 20? :0 Banyak juga peserta
yang lalu bertanya, kenapa cuma 3, Bu? hehe. Dari cerita Ibu Septi sore itu, saya
menyimpulkan beberapa rahasia kecil yang dimiliki keluarga ini, yaitu: 1. Anak-anak adalah jiwa
yang merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan 2. Anak-anak
sudah diajarkan tanggung jawab dan praktek nyata sejak kecil melalui project. Seperti yang saya
bilang tadi, di usia 9 tahun, anak-anak Ibu Septi sudah diwajibkan untuk punya project yang wajib
dilaksanakan. Mereka wajib presentasi kepada orang tua setiap minggu tentang project tersebut.
3. Meja makan adalah sarana untuk diskusi. Di sana mereka akan membicarakan tentang kami,
tentang mereka saja, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan apa yang dilakukan?
Oh ya, keluarga ini juga punya prinsip, kita boleh salah, yang tidak boleh itu adalah tidak belajar
dari kesalahan tersebut. Bahkan mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut
dengan false celebration. 4. Rasulullah SAW sebagai role model. Kisah-kisah Rasul diulas.
Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka di usia sekian berarti kita juga harus begitu.
Karena alasan ini pula Enes memutuskan untuk kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang
dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak dikenal sebagai anak dari
orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat. 5. Mempunyai vision board dan vision talk.
Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu
dengan orang-orang hebat, mereka akan share mimpi-mimpi mereka. Prinsip mimpi: Dream it,
share it, do it, grow it! 6. Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk
mencari nilai 7. Mereka punya prinsip harus jadi entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar
dari pekerjaannya di suatu bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia
dapat selama bekerja ia terapkan di bisnisnya. 8. Punya cara belajar yang unik. Selain belajar
dengan cara home schooling di mana Ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai
sumber, keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah proses belajar
hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke perusahaan besar dan mengajukan diri
menjadi karyawan magang. Jangan tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja.
Ngepel, membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang penting,
mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin perusahaan atau seorang yang
ahli setiap hari selama magang. 9. Hal terpenting yang harus dibangun oleh sebuah keluarga
adalah kesamaan visi antara suami dan istri. Thats why milih jodoh itu harus teliti. Hehe. Satu
cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta 10. Punya kurikulum

You might also like