You are on page 1of 7

Analisis, Juni 2012, Vol.1. No.

1 : 86 92 ISSN 2252-7230
86
EFEKTIFITAS JAKSA SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN
Effectiveness of Prosecutors Authority as Corrupt Criminal Investigator
in South Sulawesi High Court

Rahmawati Azis
1
, Aminuddin Ilmar
2
, Muhadar
3
1
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
2
Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar
3
Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin Makassar


ABSTRAK
Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang dirubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 menjadi filter
pemberantasan korupsi, kejaksaan RI diharapkan sebagai ujung tombak terdepan di dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia. UU No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan menjadi
dasar atas tugas dan kewenangan yang dimiliki kejaksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektifitas kewenangan penyidkan Tindak Pidana Korupsi yang diberikan oleh Undang-undang
kepada Kejaksaan R.I guna memberantas tindak pidana korupsi dan kendala yang dihadapi oleh
Kejaksaan R.I pada umumnya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada khususnya dalam melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di
Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini normatif empiris yaitu survei lapangan dengan
mewawancarai dan memberikan quisioner kepada para jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan,
sedangkan untuk mendapatkan data sekunder dilakukan studi kepustakaan dan dokumentasi.
Pengambilan sampel dilakukan khusus di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pelaksanaan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di makassar menunjukkan
efektifitas yang cukup baik, hal tersebut tertuang dalam trend peningkatan penyidikan tindak pidana
korupsi dan data penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan di Makassar yang dari tahun ke tahun terus meningkat.
Kata Kunci : kewenangan,jaksa penyidik korupsi


ABSTRACT
Law changed 31 year in 1999 wich from the law 20 year in 2001 to filter the eradication of
investigating corruption,prosecutor RI are expected as the spearhead in the forefront of fighting
corruption in indonesia. Law number 16 year in 2004 on the basis of the prosecutors duties and
authority in owned by the prosecution. The research intends to acknowledge the effectiveness of crime
investigations of corruption authority granted by law to RI prosecutors to covercome corruption and
the obstacles encountered by the RI General Attorney particularly in investigating corruption. The
research was carried out in South Sulawesi General Attorney. The methods which were used in doing
the research was normative Empirical, it was field survey by interviewing prosecutors in South
Sulawesi General Attorney, whereas to obtain secondary data done by library research and
documentation. Sampling was done specifically in the Makassar General Attorney in South Sulawesi.
The results showed that the effectiveness implementation of criminal investigation executed by
Prosecutors in South Sulawesi High Court in Makassar shows a fairly good. it is stated that the trend
of increasing corruption investigation and corruption data handling by the prosecutors in South
Sulawesi High Court more becoming better and rapidly increasing.
Keyword : authority, prosecutor of investigator a corruption


kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230
87
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang
sedang berkembang perlu melakukan
pembangunan di segala bidang. Hakekat
suatu pembangunan adalah proses
perubahan terus menerus menuju suatu
peningkatan kehidupan masyarakat.
Dengan demikian pembangunan
senantiasa akan menimbulkan perubahan,
baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam segala aspek kehidupan.
Tindak pidana korupsi di Indonesia
Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun. Selain itu juga terdapat
UU yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi yang kemudian secara berturut-
turut mengalami perubahan sebanyak 4
(empat) kali. Yang pertama, berubah
adalah PERPU NO 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
menjadi UU No 1 Tahun 1961. Yang
kemudian berubah untuk kedua kalinya
menjadi UU No 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian berubah untuk ketiga kalinya
menajdi UU No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dan yang keempat disempurnakan
berubah menjadi UU NI 21 tahun 2000
tentang Perubahan atas UU No 31 tahun
1999.
Undang-undang No 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diubah menjadi
Undang-undang No 20 tahun 2001
menjadi andalan untuk memberantas
Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut
diharapkan mampu memenuhi dan
menjawab perkembangan kebutuhan
masyarakat dalam upaya mencegah dan
memberantas secara lebih efektif Tindak
Pidana Korupsi yang sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian
negara pada khususnya serta pada
masyarakat pada umumnya.
Selain UU No 31 tahun 1999 yang
dirubah menjadi UU No 20 tahun 2001
menjadi filter pemberantasan korupsi,
Kejaksaan Republik Indonesia juga
diharapkan sebagai ujung tombak
terdepan di dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia. UU No 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan R.I menjadi dasar
tentang tugas dan kewenangan yang
dimiliki oleh Kejaksaan R.I. Atas dasar
kewenangan tersebut, Kejaksaan Agung
Republik .Indonesia diharapkan mampu
bertindak untuk memberantas korupsi.
Telah banyak berbagai upaya baik berupa
surat edaran maupun petunjuk teknis telah
dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung R.I.
Salah satu upaya yang menarik penulis
adalah Kejaksaan Agung Republik
Indonesia mengeluarkan Surat Edaran
Jaksa Agung No: SE-001/A/JA/01/2003
tanggal 15 Januari 2003 tentang
peningkatan Penanganan Tindak Pidana
Korupsi.
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menjelaskan efektifitas kewenangan
penyidikan tindak pidana korupsi yang
diberikan oleh Undang-undang kepada
Kejaksaan R.I guna memberantas tindak
korupsi di Indonesia dan untuk
mengetahui kendala yang dihadapi oleh
Kejaksaan R.I pada umumnya , Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan pada khususnya
dalam melakukan penyidikan tindak
pidana korupsi.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penulis dalam penelitiannya
menggunakan penelitian yang bersifat
empiris namun penulis berupaya
menggabungkannya dengan penelitian
normatif. Terjadinya penggolongan kajian
hukum ke dalam spesialisasi timbul dari
kehendak untuk membuat dan
menegakkan batas yurisdiksi kewenangan
yang jelas dan tegas demi kepentingan
profesionalisme.
Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian
dilapangan, penulis memilih lokasi
penelitian pada Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan di Kota Makassar
dengan pertimbangan bahwa Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan merupakan level
tertinggi struktur Kejaksaan pada tingkat
Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230
88
Provinsi. Selain itu penulis memper-
timbangkan bahwa Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan memiliki Jaksa berbagai
macam latar belakang, dari yang
struktural maupun fungsional, dari
golongan jaksa yang pada level bawah
(gol III/a) hingga golongan Jaksa yang
pada level tertinggi (Gol IV/d), sehingga
penulis berharap dapat mengakomodasi
Jaksa secara keseluruhan pada wilayah
hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer, data
yang diperoleh dari penelitian di lapangan
dengan mengadakan wawancara
(interview) kepada para Jaksa yang
bertugas di Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan, Data sekunder, data yang
diperoleh melalui studi kepustakaan dan
data telaah dari beberapa tulisan kritis dan
artikel hukum yang sangat update.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini guna
memperoleh data dan informasi adalah
wawancara, pengumpulan data yang
dilakukan peneliti secara lansung dengan
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan dengan penelitian kepada
para narasumber atau responden studi
dokumentasi, dan observasi.
Analisis Data
Dalam analisis data, dipisahkan data
mana yang terkait serta data mana yang
tidak terkait. Data yang terkumpul
dianalisis setelah melalui proses
klasifikasi berupa pengelompokkan data
ke dalam kelas-kelas yang telah
ditentukan. Klasifikasi data merupakan
langkah awal mengadakan perubaha data
mentah menuju pada pemanfaatan data
sehingga dapat terlihat kaitan satu sama
lainnya, juga tindaka ini sebagai awal
penafsiran untuk analisis. Berbagai data
yang diperoleh oleh penulis akan
dituangkan dalam tulisan ini mengguna-
kan metode deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Undang-undang No 31 tahun 1999
yang dirubah menjadi UU No 20 tahun
2001 menjadi filter pemberantasan
korupsi, Kejaksaan Republik Indonesia
juga diharapkan sebagai ujung tombak
terdepan di dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia. UU No 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan R.I menjadi dasar
tentang tugas dan kewenangan yang
dimiliki oleh Kejaksaan R.I. Dengan
demikian, pelaksanaan fungsi dan
wewenang Kejaksaan selaku Penyidik
tindak pidana korupsi yang dilakukan
dengan penuh tanggung jawab dan
profesionalisrne yang tinggi dan didukung
dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta peraturan penunjang
berupa petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan pimpinan. Hal ini diharapkan
nantinya Kejaksaan dapat menjadi motor
penggerak penegakan hukum di lndonesia
utamanya dalam bidang penyidikan tindak
pidana korupsi. Dari hasil penelitian
penulis di Kejaksaan tinggi Sulawesi
Selatan menunjukkan efektifitas yang
cukup baik, hal tersebut tertuang dalam
tabel peningkatan penyidikan tindak
pidana korupsi. Hal tersebut sesuai
dengan data penanganan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaaan
Tinggi Sulawesi Selatan yang dari tahun
ke tahun terus meningkat.
Sebagai bagian dari sistem hukum,
maka institusi kejaksaan beserta personil
penyidik didalamnya yang diberi
wewenang oleh undang-undang
melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi, diharapkan mampu melaksana-
kan wewenang tersebut dengan efektif
dan efesien dalam proses penegakan
hukum utamanya penegakan hukum
dalam memberantas tindak pidana
korupsi.
Hal tersebut dimaksudkan agar
kelemahan penyidik kejaksaan sebagai
sebuah sistem hukum dalam
melaksanakan pemberantasan tindak
pidana korupsi, tidak serta merta
berpengaruh negative terhadap sistem
hukum lainnya yang pada akhirnya dapat
kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230
89
berimplikasi pada lemahnya penegakan
hukum itu sendiri.
Peranan Penyidik dalam Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korupsi
Beberapa kasus korupsi yang disidik
oleh penyidik kepolisian maupun
kejaksaan sejak tahun 2008 hingga tahun
2011 dimakassar, terhadap tersangka ada
yang dilakukan tindakan hukum
penahanan dan kemudian ditangguhkan,
dan ada pula yang tidak dilakukan
penahanan sama sekali. Tindakan hukum
penggeledahan bahkan tidak pernah
dilakukan.
Tindakan hukum penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan
harta benda tersangka tindak pidana
korupsi, menurut penulis seharusnya
menjadi salah satu skala prioritas penyidik
dalam rangka mengefektifkan proses
penyelesaian perkara korupsi, utamanya
dalam hal upaya mengumpulkan alat bukti
sebanyak mungkin.
Penangkapan, penahanan, penggele-
dahan dan penyitaan harta benda
tersangka tindak pidana korupsi dapat
menjadi salah satu bagian strategis yang
jitu bagi penyidik untuk menyakinkan
publik tentang kinerja penyidik dalam
menangani perkara korupsi.
Penangkapan, penahanan, penggele-
dahan dan penyitaan harta benda
tersangka tindak pidana korupsi juga
menjadi sangat urgen dalam perspektif
pencitraan institusi penegak hukum dalam
hal ini Kejaksaan. Salah satunya adalah
karena dapat menjadi indikator bagi
publik tentang bagaimana profesionalisme
dan kinerja penyidik melaksanakan
penyidikan tindak pidana korupsi dengan
cara-cara yang luar biasa, sebagaimana
karakter kejahatan korupsi yang juga
merupakan kejahataan luar biasa
Sebagai bagian dari sistem hukum,
maka institusi kejaksaan beserta personil
penyidik didalamnya yang diberi
wewenang oleh undang undang
melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi, diharapkan mampu
melaksanakan wewenang tersebut dengan
efektif dan efesien dalam proses
penegakan hukum utamanya penegakan
hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi.
Indikator keberhasilan penyidik
tindak pidana korupsi dalam mengemban
tugas memberantas KKN, antara lain
adalah keberhasilan membangun animo
dan mendorong aspirasi masyarakat agar
memiliki akses untuk berperan aktif
membantu mengungkap tindak pidana
korupsi dengan cara memberikan
informasi sebanyak mungkin kepada
institusi penyidik.
Hasil Kinerja Wujud Efektifitas
Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Jumlah penanganan perkara tindak
pidana Korupsi khusus pada Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan pada tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dari Januari 2008 hingga Desember 2011
menunjukkan adanya peningkatan
(tabel.1), dan grafik jumlah penanganan
perkara tindak pidana korupsi pada
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
(grafik.1). Untuk rekapitulasi secara
keseluruhan penanganan perkara tindak
pidana korupsi khususnya dalam tahap
penyidikan dan penuntutan se wilayah
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada
tahun 2008, 2009, 2010, 2011. (tabel.2).







Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230
90
Tabel 1. Jumlah penanganan perkara Tindak pidana Korupsi pada Kejati Sulsel
2008 2009 2010 2011
PENYELIDIKAN 1 3 10 13
PENYIDIKAN 6 12 25 10
PENUNTUTAN 13 11 14 14

Grafik 1. Jumlah Penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi pada Kejati Sulsel


Tabel 2. Rekapitulasi penyidikan dan penuntutan se wilayah Hukum Kejati Sulsel
2008 2009 2010 2011
PENYIDIKAN 54 75 167 118
PENUNTUTAN 76 95 130 119


Dalam berbagai dimensi, kendala-
kendala yang dihadapi penyidik dalam
proses penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi yaitu: Kurangnya peran
serta masyarakat melapor tindak pidana
korupsi. Pada umumnya masyarakat dan
LSM pemerhati korupsi memiliki animo
untuk memberikan informasi dugaan
tindak pidana korupsi kepada instansi
penyidik yang berwenang, akan tetapi
masyarakat sering kali dihinggapi
keraguan sebab dilain sisi mereka
meminta perlindungan kepada penyidik
agar identitasnya dirahasiakan, namun
disisi lain penyidik justru terfokus
menggali informasi lebih dalam kepada
pelapor yang bersangkutan secara
terbuka, bahwa pelapor yang justru
diminta untuk melengkapi bukti-bukti
kongkrit atas laporannya, padahal
sepengetahuan si pelapor bahwa
pengumpulan bukti-bukti yang lebih
mendalam adalah tugas penyidik.
Keterbatasan personil jaksa
Dibidang Tindak Pidana Khusus terdapat
7 orang jaksa, 4 orang fungsional dan 3
orang struktural. Kurangnya personil
jaksa menjadi salah satu kendala dalam
penyelesaian tindak pidana korupsi
karena jumlah tersebut tidak seimbang
dengan perkara yang masuk. Selain itu
para jaksa tersebut masih dibebani
0
5
10
15
20
25
30
2008 2009 2010 2011
PENYELIDIKAN
PENYIDIKAN
PENUNTUTAN
kewenangan, jaksa penyidik korupsi ISSN 2252-7230
91
perkara tindak pidana umum, sehingga
sering kali pemeriksaan perkara tindak
pidana korupsi bertabrakan dengan
jadwal sidang perkara tindak pidana
umum. Integritas penyidik dalam
pengungkap tindak pidana korupsi. Selain
itu integritas merupakan tata sikap yang
terwujud melalui pola perilaku jujur dan
konsisten. Pola perilaku yang jujur dan
konsisten merupakan satu kesatuan tata
sikap yang mutlak harus dimiliki dan di
implementasikan oleh seorang penyidik
dalam menjalankan tugas-tugas
penegakan hukum. Jikalau tata sikap
tersebut itu dimiliki oleh penyidik, maka
akan sulit bagi para pelaku korupsi untuk
mempengaruhi kerja-kerja dan
keputusan-keputusan penyidik dalam
proses penyelesaian suatu penyidikan,
apalagi jika mereka ingin diajak
berkompromi dengan menyalahgunakan
jabatan dan wewenangnya.

KESIMPULAN
Bahwa pelaksanaan kewenangan
penyidikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh penyidik pada Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan menunjukkan
efektifitas yang cukup baik hal tersebut
tertuang dalam trend peningkatan
penyidikan tindak pidana korupsi. Hal
tersebut sesuai dengan data penanganan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan yang
dari tahun ke tahun terus meningkat.
Namun menurut penulis masih diperlukan
adanya perbaikan-perbaikan untuk
meningkatkan kualitas maupun kuantitas
penyidikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Kejaksaan.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
selaku penyidik dalam perkara tindak
pidana korupsi dalam menjalankan fungsi
dan wewenangnya terdapat faktor-faktor
yang menjadi kendala antara lain : Modus
operandi tindak pidana korupsi yang
semakin komplek, memerlukan
kecermatan dan ketelitian yang luar biasa
dari penyidik untuk mengungkap dan
membuktikan adanya suatu tindak pidana
korupsi. Subjek hukum tindak pidana
korupsi yang cenderung dilindungi korps/
institusinya, atasannya, atau kerabatnya
serta sulitnya menghimpun bukti
permulaan. Majemen kualitas dan
kuantitas sumber daya penyidik yang
masih perlu ditingkatkan. Sarana dan
prasana dalam hal kepentingan penyidikan
yang belum memadai, misalnya dalam
hal kendaraan operasional yang terbatas,
tidak adanya alat-alat canggih penyadapan
yang diharapakan dpaat membantu
mempercepat penanganan perkar tindakla
pidana korupsi. Terbatasnya anggaran
dana penyidikan yang ada dimana hal
tersebut membatasi kuantitas penyidikan
tindak pidana korupsi yang akan
dilakukan.
Pelaksanaan fungsi dan wewenang
Kejaksaan dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi hendaknya
dilakukan dengan memperhatikan secara
jelas, cermat dan teliti terhadap semua
peraturan perundang-undangan yang
menyangkut tindak pidana korupsi,
sehingga diharapkan institusi Kejaksaan
selaku penyidik dapat menjalankan fungsi
dan wewenangnya tersebut dengan
profesionalisme yang tinggi dan dapat
dipertanngungjawabkan secara hukum.
Meskipun proses penyidikan tindak
pidana korupsi sebagian menggunakan
aturan yang terdapat dalam KUHAP,
seharusnya untuk mempermudah
pelaksanaannya, diatur tersendiri dalam
Undang-Undang khusus tentang tindak
pidana korupsi yang disajikan secara
lengkap, hal ini juga untuk menghindari
perbedaan persepsi atau interprestasi
dalam penerapan hukum lebih lanjut, guna
mempermudah penanganan perkara
korupsi yang ditangani Kejaksaan,
petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan
yang diatur secara internal oleh pimpinan
Kejaksaan hendaknya tidak bersifat
menghambat perkara korupsi dikarenakan
pengaruh kepentingan kepentingan
tertentu.
Kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan fungsi dan wewenang
Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana
korupsi hendaknya tidak menjadi batu
Rahmawati Azis, Aminuddin Ilmar, Muhadar ISSN 2252-7230
92
sandungan dalam proses hukum. yang
sedang berlangsung, namun hal ini harus
diupayakan segera untuk dipikirkan oleh
intitusi Kejaksaan dengan mengadakan
perubahan mekanisme penanganan tindak
pidana korupsi guna mengurangi kendala
yang akan dihadapi dengan cara
melakukan evaluasi tiap tahun terhadap
penanganan tindak pidana korupsi yang
kemudian nantinya hasil evaluasi tersebut
dapat merumuskan segala bentuk kendala
yang dihadapi dan kemudian secara
bersama-sama merumuskan solusi atau
kebijakan yang ditempuh.disarnping itu,
peranan Pemerintah dan DPR sangat
dibutuhkan dalam hal pembuatan
kebijakan peraturan yang dapat
mempermudah penanganan perkara
korupsi yang ditangani Kejaksaan
utamanya dalam proses penyidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. (2008). Menguak Tabir
Hukum. Jakarta. Kencana.
Aswanto. (2011) Bahan Kuliah Tindak
Pidana Korupsi. Program Pasca
sarjana kelas kerjasama antara
Universitas Hasanudin dan
Kejaksaan Agung R.I.
Caherudin. (2008). Strategi pencegahan
dan penegakan hukum tindak pidana
korupsi. Aditama Bandung.
Hamzah,Andi. (1984). Korupsi di
Indonesia Masalah dan
pemecahannya. Jakarta. PT.
Gramedia.
Hartanti, Evi. (2007) Tindak Pidana
Korupsi ( edisi kedua ) Jakarta.Sinar
Grafika
KUHAP dan pejelasannya.
Lopa, Baharuddin. (2001). Kejahatan
Korupsi dan penegakan Hukum.
Jakarta, Kompas.
Undang-undang R.I No 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan.
Undang-undang R.I No 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang R.I No 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UU No 31
Tahun 1999.
www.kejaksaan.go.id

You might also like