You are on page 1of 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ruang lingkup pelayanan medis yang dicakup cabang Ilmu Anestesi dan reanimasi,
meliputi:
1. usaha-usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional,
2. usaha usaha kedokteran gawat darurat (bantuan resusitasi, kedaruratan medik
dan terapi intensif),
3. usaha usaha kedokteran perioperatif yang meliputi evaluasi persiapan praoperatif,
tindakan anestesi dan reanimasi intraoperatif dan tindakan anestesia dan reanimasi
pascaoperatif.
Anestesi umum adalah tindakan untuk meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat pulih kembali (reversible), dengan kata lain pasien yang
diberikan anestsia umum akan mengalami Trias Anestesia yaitu: Hipnotik (mati ingatan),
Analgesia (mati rasa), dan relaksasi otot rangka/penurunan tonus (mati gerak). Tindakan
anestesi-analgesia berlandaskan kepada farmakologi dan fisiologi. Teknik anestesia umum
yaitu anestesia umum intravena, anestesi umum inhalasi dan anestesia imbang.
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior
nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer. Secara fisiologik
pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak
usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila
sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid
yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius.
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi fasies
adenoid, faringitis dan bronchitis serta sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba Eustachius
akan terjadi otitis media akut berulang dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif
kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga dapat menimbulkan gangguan tidur, ngorok, retardasi
mental dan pertumbuhan fisik berkurang.
Tujuan
Mengetahui teknik anestesi umum dengan inhalasi sungkup muka yang dilakukan
pada adenoidektomi pada hipertrofi adenoid.
2


GENERAL ANESTESI
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
No. Rekam Medik : 205785
Nama pasien : Khairunnisa
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Beringin no 5 Tembung, Medan
Suku : Melayu
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal masuk RS : 21 Oktober 2013
Tanggal operasi : 1 November 2013

B. Anamnesa
Autoanamnesa pada tanggal 21 Oktober 2013
Keluhan utama
Keluhan Tambahan
Riwayat Penyakit Sekarang




Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Operasi
Riwayat asma/alergi
Riwayat penyakit kencing manis
Riwayat penyakit jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat darah tinggi
Tidur mendengkur sejak 1 tahun lalu
-
Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan
keluhan tidur sering mendengkur sejak 1 tahun yang
lalu. Os juga merasa sulit menelan sejak 1 bulan
yang lalu.Os juga mengeluh sulit bernafas sejak 2
minggu yang lalu.

(-)
(-)
(-)
-
-
-
-

3


C. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda vital



Berat badan
Kepala
Mata
Telinga
Mulut
JMH
Leher
Thorak

Abdomen

Ekstremitas
Status Lokalis Leher

Sakit sedang
Compos mentis
Tekanan darah 110 / 80 mmHg
Nadi 84x/i
Respirasi 20/i
Suhu 36,7
33 kg
Bentuk normochepali
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
DBN
Buka Mulut 3 Jari, Malampati Grade 1
6 cm ( 4 jari )
Pembesaran kelenjar limfe (-), ROM (+)
Bentuk normal, simetris, cor dan pulmo dalam batas
normal
Soepel, peristaltik (+), NT (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Akral hangat (+), edema (-)
Inspeksi : Terlihat adanya benjolan, tidak terlihat
kemeraham
Palpasi : Teraba benjolan dengan diameter 5 cm,
konsistensi kenyal, mobile, batas tegas, nyeri tekan (+),
panas (-).

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
Haemoglobin : 13,4 g/dl
Hitung Eritrosit : 4.3
Hitung Leukosit : 5.600 /uL
4

Hematokrit : 36,8 %
Hitung Trombosit : 253.000 /uL
Indeks Eritrosit
MCV : 86,6 fL
MCH : 31,5 pg
MCHC : 36,4 %
Faal Hati
SGOT : 121 U/L
SGPT : 159 U/L
Faal Ginjal
Ur : 14 mg/dl
Cr : 0,4 mg / dl
Test Gula Darah
KGDS : 73 mg / dl
Foto Thorak
Dalam Batas Normal

E. Diagnosa
Hypertrofi Adenoid
F. Rencana Tindakan
Tindakan : Adenoidektomi
Anesthesi : GA- ETT
PS-ASA : 1
Posisi : Supine
Pernafasan : Kontrol Ventilator


5

G. Diskusi Penatalaksanaan
1. Pre-operatif
Pada tanggal 21 Oktober 2013, dokter anestesi yang bertanggung jawab
mengunjungi pasien yang akan dioperasi guna mengetahui kondisi terakhir pasien
Pasien puasa selama 8 jam sebelum dimulainya operasi pukul 17.00 WIB
Sebelum operasi bersihkan seluruh tubuh
Anamnesis (21 Oktober 13)
A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit
M : (-)
P : Riwayat DM (-), HT (-), asma (-)
L : Puasa mulai jam 09.00 pagi (8 jam sebelum operasi)
E : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan tidur sering
mendengkur sejak 1 tahun yang lalu. Os juga merasa sulit menelan sejak 1 bulan yang
lalu.Os juga mengeluh sulit bernafas sejak 2 minggu yang lalu.

Pemeriksaan fisik Pre-operasi
B1 ( Breath)
- Airway : clear
- RR : 20x/i
- SP : vesikuler ka=ki
- ST : ronchi, wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing (-/-/-)
- SpO2 : 97-100%
B2 ( Blood)
- Akral : Hangat/Merah/Kering
- TD : 120/80 mmHg
- HR : 80x/i, reguler
- T/V : kuat/cukup
B3 (Brain)
- Sensorium : Compos Mentis,
- Pupil : isokor, RC : +/+
B4 (Bladder)
- Kateter tidak terpasang

6

B5 (Bowl)
- Abdomen : soepel
- Peristaltik : normal (+)
B6 (Bone)
- Oedem : (-)
- Fraktur : (-)

2. Duranted Operatif
Lama Anestesi : 17.50 -
Lama Operasi : 18.11 - 19.30 WIB
Jenis Anestesi : GA ETT (General Anesthesi Endotracheal Tube)
Teknik Anestesi : Supine potition premedikasi preoksigenasi Induksi
propofol 80 mg Eye lead refleks Sleep non apneu Injeksi
Rocuronium 50 mg Sleep apneu Intubasi ETT cuff (+)
Suara paru kanan = kiri Fiksasi lalu sambungkan ke mesin
anestesi
a. Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di meja operasi, diukur kembali
tekanan darah, nadi dan saturasi TD : 98/87 mmHg, N : 112 x/menit,
saturasi O
2
98 %.
b. Kemudian dilakukan premedikasi dengan midazolam 2,5 mg, fentanyl 75 mg
secara intravena.
c. Setelah itu induksi anestesi dengan menggunakan propofol 80 mg, rocuronium
50 mg secara intravena dan pasien diposisikan dengan kepala ekstensi serta
trakea dan laringoskop berada di satu garis lurus.
d. Setelah dilakukan anastesi dan diberi pelumpuh otot dilakukan oksigenasi
dengan pemberian O
2
100% selama 4 menit. Sungkup muka dipegang dengan
tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
e. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan, gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan mulut.
Lidah pasien didorong dengan daun tersebut ke kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat
dengan lengan kiri sehingga terlihat uvula, laring dan epiglotis.
f. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat dan
tampak pita suara yang keputihan dan berbentuk huruf V. Pipa endotrakea
7

dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa
tepat melewati pita suara.
g. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi pipa. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan. Pipa difiksasi dengan plester.
h. Setelah dipastikan dada berkembang saat ventilasi dilakukan auskultasi dengan
stetoskop didapatkan suara nafas kanan dan kiri sama.
i. Lalu berikan maintenance anastesi dengan O
2
2 liter/menit, N
2
O 2 liter/menit
dan isovofluran 2,5 volume %.
j. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi dikontrol
setiap 5 menit selama berlangsungnya operasi. Perubahan tekanan darah pasien
berkisar pada tekanan sistolik 125 96 mmHg dan tekanan diastolnya 80 - 55
mmHg. Perubahan frekuensi nadi berkisar antara 52 85x/menit. Saturasi
oksigen berkisar pada 97-100%.
k. Resusitasi cairan peri-operatif : Terpasang 1 jalur infuse pada tangan kiri.
Operasi berjalan 1 jam 19 menit

3. Obat-obatan
Premedikasi :
o Midazolam 5mg
o Fentanyl 75 g
Induksi :
o Propofol 80 mg
o Isofluran 2 vol %
o N
2
O
o O
2

Relaksan :
o Rocuronium 60 mg
Jumlah cairan masuk :
o PO : RL 100 cc
o DO : RL 1000 cc
Produksi Urin : UOP tidak terpasang kateter
Perdarahan
o Kasa basah = -
8

o Kasa

basah = -
o Sunction = 100 cc
EBV : 65 x bb = 65 x 33 = 2145
10% = 214,5
20% = 429
30% = 643,5
4. Post-operatif
Operasi berakhir pukul 19.30 WIB
Setelah operasi selesai, pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah, nadi
dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette Score >8
o Pergerakan : 2
o Pernapasan : 2
o Warna Kulit : 2
o Tekanan Darah : 2
o Kesadaran : 2
Dalam hal ini, pasien memiliki score 10, sehingga bisa dipindahkan ke ruang
rawat.

5. Terapi Post Operasi
Bed rest
IVFD RL 30 gtt/i
Minum sedikit-sedkit bila sudah sadar penuh
Inj. Ketorolac 30mg/8 jam IV, bila nyeri
Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV, bila mual




9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. General Anestesi
Anestesi umum (general anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU).
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
yangbersifat reversibel. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
Hipnosis (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran).
Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Sedangkan relaksasi otot
didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk
mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.
Hanya eter yang memiliki trias anestesia karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-
obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.
1. Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa atau membuat kondisi pasien dari sadar ke stadium
pembedahan (stadium III Skala Guedel). Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk
mempermudah kegiatan induksi anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah,
beberapa menit sebelum induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara/rute :
a. Intravena (paling sering)
b. Inhalasi
c. Intramuskular
d. Per rektal
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksi
intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu sampai
pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun
maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah
(geriatri, pasien pre syok). Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi
ketamin. Induksi inhalasi dapat dikerjakan dengan teknik :
10

1) Steal induction.
2) Gradual induction.
3) Single breath induction.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
1) Tidak berbau menyengat atau merangsang
2) Baunya enak
3) Cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda induksi berhasil
adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada
kelopak mata. Dalam kasus ini anestesi yang di gunakan adalah General Anastesi
dengan teknik inhalasi yaitu Endotrakeal Tube atau lebih dikenal dengan sebutan GA
ETT.
2. Tehnik Intubasi Endotrakeal
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa
melalui mulut atau melalui hidung dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakea.
Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke
dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan (Anonim, 2002).
Tujuan Intubasi Endotrakheal adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial,
mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi
endotrakheal yaitu (Anonim, 1986) :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.


11

3. Indikasi dan kontraindikasi bagi pelaksanaan intubasi Endotrakeal Tube
Indikasi menurut Gisele tahun 2002 :
Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
danlain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida
di arteri.
Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain(Anonim, 1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara
lain:
Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan
intra pulmonal.
Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
Tracheostomni.
Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkanuntuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
12

4. Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan sedangkan
kepala dalam keadaan ekstensi disebut sebagai Sniffing in the air possition. Kesalahan
yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
5. Teknik Pemasangan
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakeal (Mansjoer Arif et.al.,
2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang
bawah yang lebih lebar selama intubasi.
Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada
leher di sendi atlantooccipital.
Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
6. Alat-alat
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakeal (Anonim,
1989) antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis
laringoskop yaitu :
1) Blade lengkung (McIntosh) biasa digunakan pada laringoskop dewasa.
2) Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai
teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena
mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis
dengan blade lurus lebih sering terjadi.
b. Pipa endotrakeal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali
pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakea. Untuk operasi tertentu misalnya di
daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
13

endotrakeal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon
yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung
bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler,
sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah
mukosa yang lebih luasdengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil. Pipa tanpa balonbiasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai
pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trakea. Pipa pada orang dewasa
biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan
perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm.
Pada anak-anak dipakai rumus : Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut
merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar danlebih kecil.
Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya
jari kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan
nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill)
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik
melalui orofaring.
f. Alat pengisap atau suction.
7. Tindakan Intubasi
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang
telah ditetapkan (Anonim, 1989) antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
14

lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakeal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali
setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.
8. Obat-Obatan yang Dipakai
Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi
endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain :
Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat
yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 100 mg, diberikan setelah
pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa
15

menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation,
Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision
intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian
O2dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan.
Metode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin
dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.
Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis
besar dapat mendepresi pernafasan.
N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan
relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring
dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
o Menghisap lozenges anagesik.
o Spray mulut, faring, cord.
o Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
o Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat
lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat
dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubai tanpa anestesi.
9. Komplikasi Intubasi Endotrakheal tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal
cuff.
Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,
tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
16

Komplikasi pemasukan pipa endotracheal :
Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi :
Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara
sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
Gangguan refleks berupa spasme laring
10. Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan
dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah maka akan
didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk
itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman
anestesi.
Pada penggunaan eter sebagai anestetik tunggal indikator kedalaman anestesi sangat
gampang dilihat. Anestetis tinggal mencocokkan dengan Skala Guedel. Namun ketika
eter tidak lagi digunakan, maka cara menilai kedalaman anestesi perlu modifikasi.
Indikator klinis yang sering dipakai untuk menilai kedalaman anestesi adalah respon
terhadap rangsang bedah yaitu ;
a) Respon otonomik berupa tekanan darah, nadi, respirasi, air mata, dan keringat
(PRST).
b) Respon somatik (gerakan, batuk, menahan napas).
Hitungan secara kasar, kebutuhan rumatan anestesi pasien dewasa adalah :
- N2O 3-4 liter per menit
- O2 3 liter permenit
- Halotan 1-2 volume %
- Isofluran 2- 3 volume %
- Enfluran 2 3 volume %
- Sevofluran 2- 3 volume %
17

Angka-angka tadi disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis pembedahan, dan
teknik anestesi. Pasien lemah, bedah obstetri (peripartum) dan respirasi kendali
membutuhkan konsentrasi obat yang lebih sedikit. Pasien berotot kekar, atlet, dan
respirasi spontan membutuhkan konsentrasi obat yang lebih tinggi. Jika anestesi
tanpa menggunakan N2O maka kebutuhan konsentrasi halotan atau
enfluran/isofluran/sevofluran menjadi lebih tinggi.
Dalam melakukan rumatan anestesi, jika anestesi dangkal, maka lakukan
penambahan konsentrasi obat, namun jika anestesi dalam lakukan pengurangan
konsentrasi obat.
Tanda-tanda anestesi dangkal (kurang dalam) di antaranya :
o takikardi
o hipertensi
o keluar air mata
o berkeringat (kening menjadi basah)
o pasien bergerak-gerak (kecuali pasien mendapat pelemas otot)
o napas lebih cepat (jika respirasi spontan)
Untuk mengembalikan ke anestesi yang adekuat, dapat dilakukan cara-cara berikut :
o hiperventilasi
o penambahan narkotika
o penambahan sedatif
o penambahan pelemas otot
o atau kombinasi semua di atas.
Jika pembedahan masih berlangsung lama, sementara durasi pelemas otot hampir
berakhir dan teknik respirasi kendali tetap ingin dipertahankan, maka dapat
diberikan tambahan pelemas otot dengan dosis dari dosis intubasi. Jika durasi obat
pelemas otot adalah 30 menit, maka di menit 25 sudah harus diberikan tambahan
obat.






18

B. Adenoid

a. Anatomi
Adenoid / tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular
yang terletak pada aspek posterior nasofaring. Adenoid terletak pada dinding posterior
nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior,
kompleks tuba eustachius-telinga tengah-kavum mastoid pada bagain lateral.
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal,
beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Inervasi sensible
merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan
makroskopik dari adenoid menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan
tonsila palatine. Adenoid adalah organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam
bentuk lipatan yang dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila
palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi.

19

b. Fisiologi
Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan
limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi
IgA sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi
tubuh dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul asing.
c. Definisi
Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior
nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Pembesaran adenoid adalah
membesarnya ukuran adenoid pada nasofaring yang dapat diketahui dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan klinik THT dan pemeriksaan foto polos lateral.
d. Epidemiologi
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah
operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan
jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.

e. Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada
masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup
membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak
yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau
ISPA. Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yag berulang kali antara usia 4-14
tahun.


20

f. Gejala Klinis
Pembesaran adenoid menimbulkan beberapa gangguan :
1. Obstruksi nasi
Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung
sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus
bernapas melalui mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistic antara
pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.
2. Facies Adenoid
Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid
mempunyai tampak muka yang karakteristik.
Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang
pendek. Namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan
menghisap dari botol dalam jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak
berkembang/ hipoplastik, sedut alveolar atas lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi.
3. Efek pembesaran adenoid pada telinga
Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media
efusi telah dibuktikan baik secara radiologis dan penelitian tentang tekanan oleh
Bluestone.
4. Sleep apnea
Sleep apnea pada anak pertama kali diperkenalkan oleh Gastatut, berupa
adanya episode apnea saat tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga
disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya
obstruksi, sentral atau campuran.
Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu
pandangan kosong dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit cekung dan tinggi.
Karena pernapasan melalui hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koane,
terjadi gangguan pendengaran, dan penderita sering beringus. Pada pemeriksaan tepi
anterior adenoid yang hipertrofi terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus
dan konka mengerut, dengan cermin dahi, adenoid juga terlihat melalui mulut.
Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan bawah, adenoid yang
membesar dapat diraba.

21

g. Tatalaksana
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang
menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan
penyulit lain. Operasi dilakukan dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi
operasi adalah celah palatum atau insufisiensi palatum karena operasi ini dapat
mengakibatkan rinolalia aperta.

Indikasi adenoidektomi:
1. Sumbatan sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui
mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah
muka dan gigi ( adenoid face ).
2. Infeksi adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik,
otitis media akut berulang.
3. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas.

h. Prognosis

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan
individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna,
kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan nafas
dapat diatasi.



22

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Anestesi umum (general anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU).
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
yangbersifat reversibel. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
Hipnosis (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa
melalui mulut atau melalui hidung dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakea.
Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke
dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan (Anonim, 2002).
Tujuan Intubasi Endotrakheal adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial,
mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi
endotrakheal yaitu (Anonim, 1986) :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior
nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer. Secara fisiologik
pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak
23

usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila
sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid
yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius. Pembesaran
adenoid menimbulkan beberapa gangguan :
1. Obstruksi nasi
2. Facies Adenoid
3. Efek pembesaran adenoid pada telinga
4. Sleep apnea
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan
obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi
dilakukan dengan alat khusus (adenotom).

You might also like