You are on page 1of 17

TUGAS UMAT ISLAM

Disusun oleh :
1. MUHAMMAD ROCHIM (103060017305)
2. NURCHOLIS HIDAYANTO (1030600_)
3. RADEN IRFAN (1030600-)



Dosen :
Bpk. Rahmad Gendro Legowo

Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN)
Tangerang Indonesia
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia memiliki
kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah satunya manusia diciptakan
dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak pada
penciptaannya yang baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran
yang telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka
dengan segala kesengsaraannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (95: 4 -- 6).
Paling kurang ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai
seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam kehidupan
ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.
Beribadah kepada Allah SWT
Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam
kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia,
seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang
artinya, "Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku." (51: 56).
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT,
paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat
yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal
oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu
amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai
sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal
yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk
dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala
cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.
Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT,
maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan
hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini
akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka
upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan
dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena
manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT.
Khalifah Allah di Muka Bumi
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam
kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai
khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman
yang artinya, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (2: 30).
Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat
mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan,
tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi
persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya. Allah SWT
berfirman yang artinya, "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan." (Shad: 26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi
penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan
dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang
sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang
artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (4: 58).
Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik,
keharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan
sampai karena kebencian kita kepadanya, keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa mereka
peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT
cepat atau lambat akan terwujud. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (5:
8).
Membangun Peradaban
Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak
memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh
Allah SWT untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah SWT
menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini. Allah berfirman yang artinya, "Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya." (11: 61).
Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab, ada lima pondasi masyarakat beradab
yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya, yaitu pertama, nilai-nilai agama Islam
yang datang dari Allah SWT, kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan
merenungkan segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan
segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus dijaga dan
dilestarikan. Dan kelima, keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah
hubungan seksual misalnya, manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.
Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah
digariskan oleh Allah SWT, maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang, hal
ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempurna dibanding binatang, juga
manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah SWT yang
diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih
sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang
artinya, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai." (7: 179).

Dari keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada,
apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak, bila tidak, maka
kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali
kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat, ia menjadi hamba Allah
yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tugas umat islam kepada Allah?
2. Apa tugas umat islam kepada sesama manusia?
3. Bagaimana kedudukan umat islam dibanding umat lain?

C. Tujuan
1. Mengetahui tugas umat islam kepada Allah
2. Mengetahui tugas umat islam kepada sesama Manusia
3. Mengetahui kedudukan umat islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tugas Umat Islam kepada Allah (Hablumminallah)

Dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, manusia sebagai makhluk Allah pada dasarnya
mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggungjawab yang dibebankan oleh Allah
kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Maraghy, ketika
menafsirkan ayat Innallaha yamurukum an tuaddu al-amanaati ila ahliha ... (Q.S. al-Nisa: 58), ia
mengemukakan bahwa amanah tersebut ada bermacam-macam bentuknya, yaitu:
Amanah hamba terhadap Tuhannya, yakni sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga oleh manusia,
yang berupa mengikuti segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, serta menggunakan
alat-alat potensialnya dan anggota badannya dalam berbagai aktivitas yang bisa menimbulkan
kemanfaatan baginya dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya, sehingga bila manusia
melanggarnya, maka berarti dia berkhianat kepada Tuhannya; Amanah hamba terhadap sesama
manusia, yakni mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya dan tidak mau menipu,
serta menjaga rahasia seseorang yang tidak pantas dipublikasikan; dan Amanah manusia terhadap
dirinya, yakni berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi dirinya untuk
kepentingan agama dan dunianya, tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya baik
untuk kepentingan akhirat maupun dunianya, serta berusaha menjaga dan memelihara kesehatan
dirinya.

Di dalam al-Quran dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap dan mampu
mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya makhluk yang lain justeru
enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu mengemban amanah tersebut,
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab : 72, yang artinya: Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanah itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh ().

Dari beberapa pendapat ahli tafsir tersebut dapat difahami bahwa tugas hidup manusia - yang
merupakan amanah dari Allah - itu pada intinya ada dua macam, yaitu : Abdullah (menyembah
atau mengabdi kepada Allah), dan Khalifah Allah, yang keduanya harus dilakukan dengan penuh
tanggung jawab.

1. Tugas manusia sebagai Abdullah (hamba Allah):
Tugas hidup manusia sebagai Abdullah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti:
memelihara beban/tugas-tugas kewajiban dari Allah yang harus dipatuhi, kalimah La ilaaha illa
Allah atau kalimat tauhid, dan atau marifah kepadaNya. Sedangkan Khalifah Allah merupakan
realisasi dari mengemban amanah dalam arti: memelihara, memanfaatkan, atau mengoptimalkan
penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial (termasuk indera, akal dan qalbu) atau
potensi-potensi dasar manusia, guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup.
Tugas hidup manusia sebagai abdullah bisa difahami dari firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzariyat
ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku.

Mengapa manusia bertugas sebagai abdullah? Untuk menjawab masalah ini bisa dikaitkan dengan
proses kejadian manusia yang telah dikemukakan terdahulu. Dari uraian terdahulu dapat difahami
bahwa pada dasarnya manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jasad/materi dan roh/immateri.
Jasad manusia berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya
mesti tunduk kepada aturan-aturan atau hukum Allah yang berlaku di alam materi (Sunnatullah).
Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada di alam arwah, sudah mengambil kesaksian di hadapan
Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh
kepadaNya (Q.S. al-Araf: 172). Karena itulah, kalau manusia mau konsisten terhadap eksistensi
dirinya atau naturnya, maka salah satu tugas hidup yang harus dilaksanakannya adalah abdullah
(hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan dan KehendakNya serta hanya
mengabdi kepadaNya).

Hanya saja diri manusia juga telah dianugerahi kemampuan dasar untuk memilih atau mempunyai
kebebasan (Q.S. al-Syams: 7-10), sehingga walaupun roh Ilahi yang melekat pada tubuh material
manusia telah melakukan perjanjian dengan Tuhannya (untuk bersedia tunduk dan taat
kepadaNya), tetapi ketundukannya kepada Tuhan tidaklah terjadi secara otomatis dan pasti
sebagaimana robot, melainkan karena pilihan dan keputusannya sendiri. Dan manusia itu dalam
perkembangannya dari waktu ke waktu suka melupakan perjanjian tersebut, sehingga pilihannya
ada yang mengarah kepada pilihan baiknya (jalan ketaqwaan) dan ada pula yang mengarah kepada
pilihan buruknya (jalan kefasikan). Karena itu Allah selalu mengingatkan kepada manusia, melalui
para Nabi atau Rasul-rasulNya sampai dengan Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi/rasul terakhir,
agar manusia senantiasa tetap berada pada naturnya sendiri, yaitu taat, patuh dan tunduk kepada
Allah SWT. (abdullah). Setelah rasulullah SAW. wafat, maka tugas memperingatkan manusia itu
diteruskan oleh para shahabat, dan para pengikut Nabi SAW. (dulu sampai sekarang) yang setia
terhadap ajaran-ajaran Allah dan rasulNya, termasuk di dalamnya adalah para pendidik muslim.

2. Tugas manusia sebagai Khalifah Allah

Tugas hidup manusia juga sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini dapat difahami dari firman
Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Apa yang dimaksud dengan khalifah? Kata khalifah berasal dari kata khalf (menggantikan,
mengganti), atau kata khalaf (orang yang datang kemudian) sebagai lawan dari kata salaf
(orang yang terdahulu). Sedangkan arti khilafah adalah menggantikan yang lain, adakalanya karena
tidak adanya (tidak hadirnya) orang yang diganti, atau karena kematian orang yang diganti, atau
karena kelemahan/tidak berfungsinya yang diganti, misalnya Abu Bakar ditunjuk oleh umat Islam
sebagai khalifah pengganti Nabi SAW, yakni penerus dari perjuangan beliau dan pemimpin umat
yang menggantikan Nabi SAW. setelah beliau wafat, atau Umar bin Khattab sebagai pengganti dari
Abu Bakar dan seterusnya; dan adakalanya karena memuliakan (memberi penghargaan) atau
mengangkat kedudukan orang yang dijadikan pengganti. Pengertian terakhir inilah yang dimaksud
dengan Allah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firmanNya
dalam Q.S. Fathir ayat 39, Q.S. al-Anam ayat 165.

Manusia adalah makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk yang lain (Q.S. al-Isra: 70) dan
ia dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk/kejadian, baik fisik maupun psikhisnya (Q.S. al-
Tin: 5), serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-potensi dasar (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Karena
itulah maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas mewujudkan
kemakmuran di muka bumi (Q.S. Hud : 61), serta mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan
hidup di muka bumi (Q.S. al-Maidah : 16), dengan cara beriman dan beramal saleh (Q.S. al-Rad :
29), bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan kesabaran
(Q.S. al-Ashr : 1-3). Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari Allah
sejak manusia pertama hingga manusia pada akhir zaman yang akan datang, dan merupakan
perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepadaNya (abdullah).

Tugas-tugas kekhalifahan tersebut menyangkut: tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri; tugas
kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga; tugas kekhalifahan dalam masyarakat; dan tugas
kekhalifahan terhadap alam.

Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi tugas-tugas:
menuntut ilmu pengetahuan (Q.S.al-Nahl: 43), karena manusia itu adalah makhluk
yang dapat dan harus dididik/diajar (Q.S. al-Baqarah: 31) dan yang mampu mendi-
dik/mengajar (Q.S. Ali Imran: 187, al-Anam: 51);
menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan (Q.S. al-Tahrim: 6) termasuk di dalamnya adalah menjaga dan
memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya; dan
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.

Kata akhlaq berasal dari kata khuluq atau khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/rohani, dan
khalq merupakan bentuk lahir/ jasmani. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan manusia terdiri atas
gabungan dari keduanya itu yakni jasmani (lahir) dan rohani (batin). Jasmani tanpa rohani adalah
benda mati, dan rohani tanpa jasmani adalah malaikat. Karena itu orang yang tidak menghiasi diri
dengan akhlak yang mulia sama halnya dengan jasmani tanpa rohani atau disebut mayit (bangkai),
yang tidak saja membusukkan dirinya, bahkan juga membusukkan atau merusak lingkungannya.
Tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga meliputi tugas membentuk rumah tangga
bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah dan mawaddah wa rahmah/cinta kasih (Q.S. ar-Rum:
21) dengan jalan menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai suami-isteri atau ayah-ibu dalam
rumah tangga.

Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugas-tugas :

(1) mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Hujurat: 10 dan 13, al-Anfal: 46);
(2) tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S. al-Maidah: 2);
(3) menegakkan keadilan dalam masyarakat (Q.S. al-Nisa: 135);
(4) bertanggung jawab terhadap amar ma^ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran: 104 dan 110); dan
(5) berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya adalah para
fakir dan miskin serta anak yatim (Q.S. al-Taubah: 60, al-Nisa: 2), orang yang cacat tubuh (Q.S.
Abasa: 1-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang lain dan lain-lain.

Sedangkan tugas kekhalifahan terhadap alam (natur) meliputi tugas-tugas:

(1) mengkulturkan natur (membudayakan alam), yakni alam yang tersedia ini agar dibudayakan,
sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia;
(2) menaturkan kultur (mengalamkan budaya), yakni budaya atau hasil karya manusia harus
disesuaikan dengan kondisi alam, jangan sampai merusak alam atau lingkungan hidup, agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi manusia dan lingkungannya; dan
(3) mengIslamkan kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap komitmen
dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-alamin, sehingga berbudaya berarti mengerahkan segala
tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran
ajaran Islam atau kebenaran ayat-ayat serta keagungan dan kebesaran Ilahi.


B. Tugas Umat Islam kepada Sesama Manusia (Hablumminannas)

Hablun minannas adalah berhubungan antar sesama manusia. Sebagai umat beragama,
setiap orang harus menjalin hubungan baik antar sesamanya setelah menjalin hubungan baik
dengan Tuhannya. Dalam kenyataan sering kita saksikan dua hubungan ini tidak padu. Terkadang
ada seseorang yang dapat menjalin hubungan baik dengan Tuhannya, tetapi ia bermasalah dalam
menjalin hubungan dengan sesamanya. Atau sebaliknya, ada orang yang dapat menjalin hubungan
secara baik dengan sesamanya, tetapi ia mengabaikan hubungannya dengan Tuhannya. Tentu saja
kedua contoh ini tidak benar. Yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana ia dapat menjalin dua
bentuk hubungan itu dengan baik, sehingga terjadi keharmonisan dalam dirinya.
Islam datang untuk mempersatukan hati dengan hati, menyusun barisan dengan tujuan
menegakkan bangunan yang tunggal dan menghindari factor-faktor yang dapat menimbulkan
perpecahan, kelemahan, sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Sehingga mereka yang bersatu itu
memiliki kemampuan untuk merealisasi tujuan luhur dan niat sucinya*
1. Apabila engkau menjumpainya engkau berikan salam kepadanya.
2. Apabila iamengundangmu engkau memperkenankan undangannya.
3. Apabila ia meminta nasehat, engkau menasehatinya.
4. Apabila ia bersin dan memuji Allah, hendaklah engkau mentasymitkannya (berdoa
untuknya).
5. Apabila ia sakit hendaklah engkau menjenguknya.
6. Apabila ia mati hendaklah engkau antarkan jenazahnya. (HR.Muslim dan Tirmizi).

Mengucapkan Salam
Islam datang untuk mempersatukan hati dengan hati, menyusun barisan dengan tujuan
menegakkan bangunan yang tunggal dan menghindari factor-faktor yang dapat menimbulkan
perpecahan, kelemahan, sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Sehingga mereka yang bersatu itu
memiliki kemampuan untuk merealisasi tujuan luhur dan niat sucinya . Oleh karena itu awal
pertemuan dengan sesama muslim agar hati mereka terikat satu dengan yang lainnya hingga
timbulnya rasa saling menyinta dimulai dengan mengucapkan dan menyebarkan salam :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Sabda Rasulullah SAW:
Demi Dzat yang diriku dalam genggamanNya, mereka tidak masuk surga sehingga mereka
beriman, dan mereka tidak beriman sehingga mereka saling menyinta. Maukah kamu aku
tunjukkan sesuatu yang jika kamu mengerjakannya kamu saling menyinta? Sebarkan salam di
kalangan kamu.
Salam yang merupakan alat penghormatan kaum muslimin lebih menegaskan bahwa agama
mereka adalah agama damai dan aman, serta mereka adalah penganut salam (perdamaian) dan
pencinta damai. Dalam hadis Rasulullah saw bersabda :
?Sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kami dan jaminan
keamanan untuk kaum zimmah kami.?
Dan seseorang tidak layak memulai pembicaraan kepada sesamanya sebelum ia memulainya
dengan ucapan salam, karena salam adalah ungkapan rasa aman dan tidak ada pembicaraan
sebelum adanya rasa aman.
Rasulullah saw bersabda : ?Ucapkan salam sebelum memulai berbicara.?
Memenuhi Undangan
Seorang muslim yang mengundang saudaranya, maka ia berhak didatangi, oleh karena itu
kewajiban yang diundang adalah mendatangi undangan tersebut sebagai mana sabda Rasulullah
saw : Penuhilah undangan ini jika kamu diundang.
Undangan yang diberikan dari sesama muslim menunjukkan penghormatan dan perhatian yang
besar kepada saudaranya yang diundang tersebut sehingga bagi yang tidak memenuhi undangan
tentu saja menyebabkan kekecewaan. Mengabaikan undangan disamakan dengan
pembangkangan kepada Allah dan Rasul, begitu juga sebaliknya saat seseorang yang datang tanpa
diundang diumpamakan seperti pencuri, karena kedatangannya tidak diinginkan oleh yang
mengundang seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud : Barangsiapa diundang kemudian dia
tidak memenuhi undangan tersebut, maka ia telah membangkang pada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa masuk tanpa diundang, maka ia masuk sebagai pencuri.
Memberi Nasehat
Memberi nasehat kepada sudara muslim yang memintanya hendaklah dipenuhi. Karena nasehat
ini dapat mendorong saudaranya kearah kebaikan. Nasehat yang tulus akan berbekas dan
berpengaruh sehingga dapat masuk kedalam relung hati yang terbuka untuk menerimanya. Bagi
yang menasehati saudaranya, hendaknya ia mengerjakan apa yang diucapkan, mengamalkan apa
yang dinasehatkan, sebab nasehat yang tidak diamalkan dan tidak dijiwai tidak akan berbekas
pada jiwa yang dinasehati. Dan sesungguhnya agama ini adalah nasehat sebagaimana sabda
Rasulullah saw : ?Agama itu nasehat? Kami bertanya kepada beliau, ?Nasehat kepada siapa ??
Beliau menjawab : ?Terhadap Allah, Quran, RasulNya, pemimpin-pemimpin dan seluruh kaum
Muslimin?.
Mendoakannya ketika bersin
Mendoakan saudara yang bersin merupakan wujud perhatian dan kasih sayang terhadap
saudaranya, sebab tatkala saudaranya itu bersin dan mengucapkan pujian kepada penciptanya :
?Alhamdulillah?, serta merta ia yang mendengarkannya menanggapi dengan mengucapkan
?Yarhamukallah? (Semoga Allah memberimu Rahmat), ia merupakan ucapan simpati dan doa atas
kondisi saudaranya yang senantiasa memuji Allah dalam setiap keadaan khususnya saat ia bersin.
Maka mendoakan dengan Rahmat layak diberikan pada saudaranya yang telah memuji Allah
tersebut. Saat mendapatkan doa Rahmat, maka saudaranya itu hendaknya juga membalas doa
bagi yang telah mendoakannya dengan mengucapkan : Yahdini wayahdikumullah wa yuslih
balakum? (Semoga Allah memberiku dan engkau petunjuk dan semoga Allah memperbaiki
keadaanmu).
Doa tersebut cerminan telah terjalinnya ikatan hati antara sesama muslim yang senantiasa
menghendaki kebaikan bagi saudaranya.
Menjenguknya ketika sakit
Merupakan kewajiban umat Islam untuk mengunjungi saudaranya yang sakit. Hal ini dapat
meringankan beban derita sisakit yang merana sendirian dan merasa terasing. Kedatangannya
hendaknya dapat meringankan beban sisakit dan dapat menghiburnya.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
?Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : ?Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak
menjengukKu. ?Ia berkata : ?Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjengukMu sedang Engkau
adalah Tuhan sekalian Alam ?? Allah menjawab ?Tidakkah kamu mengetahui bahwa seorang
hambaKu fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya ? Tidakkah kamu mengetahui bahwa
andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapatiKu di sisinya ? (HR.Muslim).
Rasulullah saw memberikan motivasi kepada umatnya agar menjenguk orang sakit dengan
menempatkannya di antara buah-buahan surga, sabda Rasulullah saw :
Sesungguhnya seorang muslim apabila menjenguk saudaranya sesama muslim, maka ia tetap
berada di antara buah-buahan surga yang siap dipetik, sampai akhirnya ia kembali (HR.Muslim).
Sangat indah sekali ajaran Islam, setiap kebaikan yang dilakukan untuk orang lain tidak luput
balasannya di sisi Allah swt.
Mengiringi jenazahnya
Persaudaraan sejati tidak sebatas pada alam dunia saja, saat ajal menjemput, saudaranya ikut
berta?ziyah dan mengiringi jenazahnya dan menyaksikan jasad saudaranya dimasukkan kedalam
liang lahat, iringan terakhir di dunia dan kelak akan berjumpa di surganya Insya Allah.
Allah swt bahkan akan memberikan pakaian kehormatan bagi mu?min yang berta?ziyah kepada
saudaranya sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Amrbin Haram : Tiadalah di antara
mu?min berta?ziyah kepada saudaranya yang mendapat musibah, kecuali Allah mengenakan
pakaian kehormatan pada hari kiamat.

C. Kedudukan Umat Islam
UMAT Islam adalah kelompok manusia yang menganut Islam sebagai agama atau pedoman
hidupnya. Sifat-sifat atau karakter yang dilekatkan Allah SWT kepada umat Islam atau yang harus
ada dalam diri setiap Muslim antara lain sebagai berikut:
1. Umat Pilihan atau Umat Terbaik.
Kalian (umat Islam) adalah umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan
mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah (Q.S. 3:110).
Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlag bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang
paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman (Q.S. 3:139).
Allah SWT menegaskan, umat Islam adalah umat terbaik atau paling tinggi derajatnya di antara
umat-umat lain. Hal itu karena umat Islam memiliki akidah, syariah, dan norma-norma yang sesuai
dengan fitrahnya sebagai manusia, yakni akidah, syariah, dan norma-norma Islam yang diturunkan
oleh Sang Mahapencipta dan Maha Pengatur Semesta Alam, yakni Allah SWT.
Kewajiban utama sebagai umat terbaik, selain beriman kepada Allah SWT, adalah melaksanakan
amar maruf nahyi munkar, yakni mengajak manusia lain kepada kebaikan (marufat) dan
mencegah kemunkaran (munkarat). Jika tugas tersebut tidak dilaksanakan, maka akibatnya adalah
sebagaimana disabdakan Nabi Saw, yang artinya:
Demi Allah, hendaklah kamu beramat maruf nahyi munkar atau Allah akan menurunkan adzab
kepadamu, lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah tidak akan mengabulkan doamu (Q.S.
Tirmidzi.
Tugas amar maruf nahyi munkar ini diberikan kepada umat Islam, karena tujuan utama syariat
Islam itu sendiri adalah membangun kehidupan manusia atas dasar marufat dan
membersihkannya dari munkarat. Marufat adalah kebaikan, yakni nama untuk segala kebajikan
atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima sebagai baik oleh hati nurani manusia.
Munkarat sebaliknya, yaitu segala dosa dan kejahatan yang sepanjang masa telah dikutuk oleh
watak manusia sebagai jahat.
Dalam Islam, marufat adalah hal-hal yang wajib, sunat, dan mubah dilakukan oleh umat Islam.
Sedangkan munkarat adalah hal-hal yang haram dan makruh dilakukan. Marufat wajib
ditegakkan, sekaligus meruntuhkan munkarat.
2. Umat Pertengahan.
Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kami menjadi saksi atas manusia
(Q.S. 2:143);
Umat Pertengahan maksudnya adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau
mengambil jalan tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap
kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula sebagai selalu bersikap proporsional (itidal), tidak
berlebih-lebihan (israf), tidak kelewat batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan
bertele-tele (tanathu), dan tidak mempersulit diri (tasydid). Dengan demikian, sebagai umat
pertengahan, umat Islam tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk ibadah (misalnya
sampai meninggalkan kehidupan duniawi) dan dalam peperangan sekalipun (Q.S. 2:190); tidak
membesar-besarkan masalah kecil; mendahulukan yang wajib atau lebih penting ketimbang yang
sunah atau kurang penting; berbicara seperlunya alias tidka bertele-tele; tidak terlalu panjang
membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S. Al-Araf:31).
Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
kikir dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian (Q.S. Al-Furqon:67).
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya,
Hindarkanlah daripadamu sikap melampuai batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-
orang sebelum kamu telah binasa karenanya (H.R. Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari
Abdullah bin Abbas).
Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrem sebagai berikut yang oleh
Dr. Yusuf Qordhowi dikategorikan sebagai tanda-tanda atau buki-bukti ekstremitas.
1. Fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain.
2. Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT. Misalnya, memaksa orang lain
mengerjakan hal-hal sunah dengan menganggapnya seolah-olah wajib, atau mengerjakan
sesuatu yang lebih berat/sulit daripada yang ringan/mudah. Padahal, sejalan dengan
firman Allah SWT yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (Q.S.
2:185), diriwayatkan bahwa tidaklah Rasulullah Saw disuruh memilih di antara dua
perkara, melainkan selalu memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama tidak
mendatangkan dosa.
3. Memperberat yang tidak pada tempatnya. Misalnya, memasalahkan pakaian ala Barat dan
mengharuskan memakai pakaian ala Arab, atau memasalahkan penggunaan masjid untuk
memutar film tentang sejarah dan iptek.
4. Sikap kasar dan keras dalam berdakwah. Padahal, dakwah harus dilakukan dengan bijak,
pelajaran yang baik, serta perdebatan atau dialog yang lebih baik (Q.S. 16:25). Rasulullah
Saw sendiri adalah orang yang penyayang, lemah-lembut, dan tidak berperangai jahat atau
kasar hati (Q.S. 9:128, 3:159). Bahkan, Allah SWT pun memerintahkan Nabi Musa dan
Harun untuk mendakwahi Firaun dengan perkataan yang lemah-lembut (Q.S. 20:43-44).
Sikap tegas dan keras tidak diperkenankan Islam kecuali dalam dua tempat, yakni di
medan perang (Q.S. 9:123) dan dalam rangka pelaksanaan sanksi hukum (Q.S. 24:2).
5. Buruk sangka terhadap manusia. Yakni memandang orang lain dengan kacamata hitam
atau negative thinking, seraya menyembunyikan kebaikan mereka dan membesar-
besarkan keburukan mereka. Menuduh juga termasuk sikap ekstrem, demikian juga
mengorek-ngorek aib dan mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal, Allah SWT
memerintahkan umat Islam untik menghindari kebanyak buruk sangka (Q.S. 49:12).
Demikian juga Rasulullah Saw dengan sabdanya, Hindarkanlah dirimu dari buruk sangka,
karena sesungguhnya prasangka adalah sebohong-bohong ucapan (H.R. Bukhari dan
Muslim). Bahkan, sebagian para salaf berkata, Sungguh aku selalu mencari alasan
pembenaran bagi saudaraku sampai 70 kali, setelah itu aku berkata: Mungkin masih ada
alasan lain yang tidak kuketahui.
6. Terjerumus kepada jurang pengkafiran. Ini puncak (klimaks) sikap ekstrem karan
mengkafirkan orang lain berarti menggugurkan kerhormatannya, menghalalkan jiwa dan
hartanya, serta mengabaikan haknya untuk tidak diganggu dan diperlakukan secara adil.
Karena itulah, Rasulullah Saw memperingatkan, Barangsiapa berkata kepada saudaranya
(sesama Muslim) Hai Kafir!, maka berlakulah perkataan itu pada salah seorang dari
keduanya. Dari Usamah bin Zaid diberitakan, Rasulullah Saw bersabda, Barangsiapa
mengucapkan Laa ilaaha illallaah, maka ia telah masuk Islam serta terpelihara jiwa dan
hartanya. Kalaupun ia mengucapkan kalimat itu karena takut atau hendak berlindung dari
tajamnya pedang, maka perhitungannya pada Allah. Sedangkan bagi kita cukuplah
dengan yang nyata (lahiriah).
3. Tegas terhadap Orang Kafir dan Berkasih Sayang dengan Sesama Muslim.
Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang
kafir tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka (Q.S. Al-Fath:29).
A. Tegas terhadap Orang Kafir.
Umat Islam bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yakni kaum kuffar yang memusuhi,
membenci, dan memerangi umat Islam.
Perangilah di jalan Allah setiap orang yang memusuhi kamu dan janganlah kamu melampaui
batas (berbuat zhalim). Karena Allah tidak suka kepada orang yang melampaui batas (Q.S.
2:190).
Berperang di jalan Allah, antara lain berupa berperang melawan orang kafir yang memerangi umat
Islam, disebut jihad fi sabilillah. Asal makna jihad adalah mengeluarkan segala kesungguhan,
kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini (diiktikadkan) bahwa jalan itulah yang benar.
Secara harfiyah, jihad berarti pengerahan seluruh potensi (untuk menangkis serangan musuh).
Yang menjadi latar belakang atau motif jihad didasarkan pada antara lain Q.S. At-Taubah:13-15
dan An-Nisa:75-76, yakni:
1. mempertahankan diri, kehormatan, dan harta dari tindakan sewenang-wenang musuh,
2. memberantas kedzaliman yang ditujukan pada umat Islam,
3. membantu orang-orang yang lemah (kaum dhuafa), dan
4. mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Imam Syafii mengatakan, jihad adalah memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Juga,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Atsir, jihad berarti memerangi orang Kafir dengan
bersungguh-sungguh, menghabiskan daya dan tenaga dalam menghadapi mereka, baik dengan
perkataan maupun perbuatan.
Kewajiban jihad (berperang) tiba bagi umat Islam, apabila atau dengan syarat:
1. Jika agama dan umat Islam mendapat ancaman atau diperangi lebih dulu (QS 22:39,
2:190),
2. Jika umat dan agama Islam mendapat gangguan yang akan mengancam eksistensinya,
serta untuk menegakkan kebebasan beragama (QS 8:39), dan
3. Jika hendak membela orang-orang yang tertindas (QS 4:75).
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang jihad dalam arti khusus ini (perang),
antara lain tentang keharusan siaga perang (QS 3:200, 4:71); ketentuan atau etika perang (QS
2:190,193, 4:75, 9:12, 66:9); sikap menghadapi orang kafir dalam perang (QS 47:4), dan uzur yang
dibenarkan tidak ikut perang (QS 9:91-92). Adapun ayat yang secara khusus menegaskan hukum
perang dalam Islam bisa disimak pada QS 2:216-218 yang mewajibkan umat Islam berperang demi
membela Islam. Dan, perang dalam Islam sifatnya untuk membela atau mempertahankan diri
atau defensif (QS 2:190).
Terhadap orang kafir yang tidak memerangi umat Islam atau hidup berdampingan secara damai,
umat Islam dilarang menyakiti atau menzhalimi mereka. Itulah sebabnya, dalam Islam ada istilah
toleransi. Umat Islam diharuskan menghormati keyakinan mereka dan tidak boleh memaksa
mereka untuk masuk Islam (Q.S. 2:256). Islam menjamin kebebasan beragama. Muhammad Saw
hanyalah seorang pengingat, bukan seorang pemaksa (Q.S. Ghasyiyah:21-22). Dalam menyikapi
keyakinan orang kafir, Allah SWT mengajarkan:
Katakanlah: Hai orang-orag kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu dan untukku agamaku (Q.S. Al-Kafirun: 1-6).
B. Berkasih Sayang terhadap Sesama Muslim.
Umat Islam adalah saudara satu sama lain karena ikatan akidah, syariah, dan akhlak yang sama,
yakni Islam (ukhuwah Islamiyah).
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (Q.S. AL-Hujurat:10).
Karena bersaudara, maka sesama Muslim sayang-menyayangi satu sama lain.
Sesama orang mukmin itu bagaikan satu bangunan yang saling meguatkan (H.R. Bukhari).
Tidak beriman seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri (H.R. Bukhori dan Muslim).
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih-mengasihinya, sayang-menyayanginya, dan
santun-menyantuninya, bagaikan satu tubuh yang jika satu anggotanya menderita sakit maka
menderita pula keseluruhan tubuh (H.R. Muslim).
Orang Muslim ialah yang menyelamatkan kaum Muslim dari (kejahatan) lisannya dan tangannya.
Dan Muhajir itu ialah siapa yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah (H.R. Muslim).
Ada lima kewajiban seorang Muslim terhadap Muslim lainnya: menjawab salam, memenuhi
undangan, mengantarkan jenazah, mengunjungi ketika sakit, bertasymit ketika bersih membaca
hamdalah (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Contoh ideal pelaksanaan kasih-sayang sesama Muslim adalah ketika kaum Anshar di Madinah
menolong dan menyayangi kaum Muhajirin Makkah. Mereka memperlihatkan idealisme sebuah
ukhuwah Islamiyah. Betapa kesatuan akidah Islam menjalinkan kesatuan hati dan jiwa umat,
melahirkan ikatan persaudaraan yang erat dan mesra. Persaudaran yang terjalin oleh rasa kasih-
sayang, senasib-sepenanggungan, memperhatikan orang lain sebagaimana memperhatikan diri
sendiri, sehingga mengikis habis penyakit-penyakit firaunisme, feodalisme, individualisme,
fanatisme golongan (hizbiyah), dan sebagainya. Allah SWT pun mengabadikan jalinan ukhuwah
mereka dalam Q.S. 59:9 dan 8:63.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai
makhluk Allah harus mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas
hidupnya di muka bumi. Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai dua tugas utama, yaitu: (1)
sebagai abdullah, yakni hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan
KehendakNya serta mengabdi hanya kepadaNya; dan (2) sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang
meliputi pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga/rumah tangga,
dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.

Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah
Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan
otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta
ini untuk kesejahteraan manusia Oleh karenanya manusia dituntut beramal shaleh, menghindari
dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat mungkar, jujur dan menghiasi diri dengan sikap
yang dianjurkan oleh agama.

Daftar Pustaka

http://zonaislam.net/?p=1008

You might also like