Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat
dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh. 2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat. 3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin) 4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian. 5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu. 6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar. 7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat. 8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain. 9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya. Nyatakan Kasih Dengan Tenun Jika kilau emas dan berlian sebagai kado Valentine lainnya menuai banyak masalah. Dan hari kasih sayang masih dirasa penting untuk dimeriahkan. Bagaimana tetap dapat menunjukkan kasih sayang, tanpa melukai lingkungan dan kemanusiaan? Nyatakanlah kasihmu dengan Tenun! Tenun merupakan kain tradisional khas di hampir seluruh daerah Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. Tenun memiliki makna, nilai sejarah, dan teknik yang tinggi dari segi warna, motif, dan jenis bahan, serta benang yang digunakan. Setiap daerah memiliki semua kekhasan itu. Erny Tallo, 2005 di dalam bukunya Pesona Tenun Flobamora menggolongkan tekhnik menenun ke dalam tiga kelompok, yaitu, tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan variasi jenis kain yang mewakili tradisi setempat. Motif yang dihasilkan pun cukup beragam mulai dari bentuk fauna (zoomorpic), figur manusia (antropomorph), stilisasi tumbuhan (flora), geometris serta replika ragam hias kain patola India. Untuk kain tenun Rote, hiasan motifnya bernuansa geometris dan motif tumbuhan dengan ukuran tertentu seperti motif kembang delapan, jelamprang, tangkai bunga dengan warna dasar hitam (Dula Nggeo) dikombinasikan dengan warna merah, putih dan biru hitam. Untuk kain tenun Sabu, motif yang dikembangkan bernuansa lingkungan flora dan fauna seperti motif bunga, daun lontar, burung, ayam dan kuda. Terlepas dari ragam motif tadi, kain tenun pada mulanya hanya berupa sarung (untuk perempuan) yang dibuat 2-3 bulan. Sementara selimut (untuk laki-laki) dibuat antara 5-6 bulan. Harganya pun bervariasi, umumnya sebuah selendang berukuran 0,5 x 1,5 meter, harganya berkisar Rp 50 ribu - Rp 75 ribu. Namun seiring bergantinya waktu, modifikasi tenun menghasilkan bermacam motif dan model, mulai dari bahan safari, aneka tas, taplak meja, bed cover, hiasan dinding, hingga aneka cinderamata lainnya. Modifikasi itu sesungguhnya dilakukan atas kesadaran, bahwa gaya hidup publik semakin tergerus, seiring gemerlap kehidupan anak muda yang terkepung budaya lain lebih tepatnya westernisasi. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung Sumba, Jarang sekali terlihat anak muda tekun menenun. Yang tersisa hanya generasi senja yang jumlahnya semakin menyusut. Generasi penerus bangsa ini lebih memilih sibuk dengan cara khasnya, mulai dari berkirim pesan pendek sembari tersenyum sendiri, cekikikan, dan sejurus kemudian menangis sesenggukan, di depan HP dan layar komputer. Karenanya, sekalipun pemerintah Belanda tahun 2004, pernah menganugerahi Prince Claus Award pada tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara. Dan mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe, berbaik hati menjadikan tenun ikat sebagai pakaian seragam para PNS. Namun semua itu belum cukup kuat untuk mengembalikan tradisi tenun, yang sudah kadung sekarat.
Akan Tinggal Kenangan?
Sekitar 50-an tahun silam masyarakat Biboki tidak saja menjadikan tenun sebagai pakaian adat, tetapi lebih dari itu sebagai sumber kehidupan. Sejumlah perempuan berkumpul saling bantu merajut kapas menjadi benang, memintal benang, dan kemudian merakitnya menjadi kain Tenun yang disebut Songket. Tenun buat komunitas Biboki adalah sebuah ikatan cinta, kasih dan kekeluargaan. Menariknya, bahan pembuat tenun dengan mudah mereka dapatkantanpa merogoh kocek sesenpun. Para pekerja yang mayoritas perempuan, memunguti buliran kapas yang banyak tersebar di semak-semak padang ilalang Biboki. Dengan cekatan perempuan terampil itu memilah kapas yang nyaris beterbangan, mirip dengan tradisi tanam padi yang banyak dilakukan perempuan Jawa. Sesekali terdengar cekikikan dari obrolan khas yang mengalir ringan tanpa batas ruang. Tak jarang terdengar teriakkan salah satu dari mereka, untuk bertanya hasil pungutan kapas dari kelompok lain di seberangnya, atau sekedar menggoda dengan canda khas masyarakat desa. Cara ini digunakan para pekerja untuk mengusir penat, hingga fajar memuncah di ufuk barat. Andai saja tradisi itu masih lestari, pemandangan padang ilalang yang kala itu diguyur senja merah kekuningan, dan para perempuan yang sibuk menjinjing karung kapas, berjalan pulang secara berkelompok, menjadikan rona senja semakin indah. Sayang, sejak pemerintah menerapkan program reboisasi dengan melakukan penanaman sejuta pohon, di padang ilalang yang sebelumnya banyak ditumbuhi kapas liar. Tradisi membuat songket mengalami penurunan. Para pengrajin yang belum dikarunia modal besar merasa kesulitan untuk mengganti kain kapas yang mudah didapat secara gratis, dengan benang yang harganya bisa mencapai Rp. 2.000. Jika satu kain membutuhkan 200 benang, dapat dibayangkan berapa ratus ribu uang yang harus disisihkan pengrajin. Padahal sebelumnya mereka cukup mengumpulkan 5 kg kapas padang ilalang. Pewarna alami yang kala itu menjadi satu-satunya pewarna tenun, tidak saja lebih bertahan lama, sekitar 10 tahunan, dibanding pewarna kimia (wantek) yang hanya bertahan 6 tahun. Tetapi lebih dari itu dapat meringkankan beban pengrajin secara ekonomi. Mereka cukup meluangkan waktu untuk mengambil kunyit, mengkudu, nila, daun kacang, dan kulit pohon noba yang sebelumnya mereka tanam di kebun dan pekarangan rumah. Tak hanya persoalan ekonomi, tergusurnya masyarakat dari tenun, membuat ruh budaya yang sebelumnya melekat, kini semakin kehilangan makna. Di Palembang, sebelumnya nilai perempuan yang akan menikah ditentukan kepandaiannya dalam menenun. Semakin halus tenunannya, semakin wanita itu diangap baik. Konon, hasil tenunan mencerminkan ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya. Mungkin, pada zaman sekarang, hal seperti ini terasa mendramatisir, tetapi, nilai filosofis dari cerita itu adalah betapa pentingnya makna tenun bagi masyarakat. Di Molo, calon pengantinlah yang menenun selendang untuk diberikan kepada rombongan keluarga mempelai, bersama Okomama, atau tempat sirih. Ini bentuk penghormatan orang Molo terhadap keluarga pengantin. Sementara di Sumba, Flores, dan Timor kain tenun kerap digunakan sebagai salah satu mas kawin pernikahanselain binatang ternak, yang akrab disebut belis. Budaya ini dimaksudkan mempererat temali dua keluarga, sebab kain tenun tidak saja dikhususkan bagi mempelai perempuan, tetapi juga dihadiahkan bagi keluarga besar yang sedarah. Semakin tinggi status sosial, ekonomi, dan pendidikan perempuan, semakin banyak jumlah Belis yang disertakan. Kelas masyarakat bawah biasanya hanya menghadiahi 3-5 lembar kain tenun, kelas menengah membawa 6-10 lembar, sedangkan Kelas atas menghadiahi 10-20 lembar. Saat publik gemar menggunakan cincin, permata, dan berlian dalam melangsungkan pernikahan, model Bilis bisa menjadi alternatif. Saat 1 gram emas meninggalkan 2,1 ton limbah lumpur tailing dan berpotensi merusak kehidupan di lokasi tambangnya, termasuk penghidupan perempuan. Selembar kain tenun (bilis) yang dihasilkan dari 5 Kg kapas dan puluhan kilogram pewarna alami, justru sanggup melestarikan ribuan meter persegi lahan dan keberlanjutan komunitas. Pembuatan selembar tenun yang memakan waktu relatif lama, merupakan pelajaran bagi kita, untuk tidak memandang tenun hanya sekedar kain. Lebih dari itu, motif dan warna yang digoreskan mencerminkan sebuah ikatan cinta, kasih dan kekeluargaan. Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni : 1. Tenun Ikat ; disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi. 2. Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) tenunan buna yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai. 3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai. Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon. Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna. Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut : 1). Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada. 2). Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Utara. 3). Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat. Kain Tenun, Corak, Motif dan Ragam, bagian Budaya Indonesia Diposkan oleh Rohman RoRaSH Al Banna di 18.35
Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Nusa Tenggara Timur merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya. Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja. Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti : 1. Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh. 2. Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat. 3. Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin) 4. Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian. 5. Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu. 6. Dari segi ekonomi sebagai alat tukar. 7. Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat. 8. Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain. 9. Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni) Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen. Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya. Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni : 1. Tenun Ikat ; disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi. 2. Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) "tenunan buna" yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai. 3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon. Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut : 1. Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada. 2. Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Utara. 3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat. v