You are on page 1of 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing).
Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan
tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk
segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan
semilunar pada cantus.
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea.

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah
daerah dekat dengan garis equator dan khatulistiwa, sebuah hubungan antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-
laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.
1




2

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang pria bernama Tuan Abi berumur 35 tahun bekerja sebagai tukang ojek datang ke
poli mata dengan keluhan mata merah. Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak
hanya sebagian. Disertai rasa mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri
disangkal, fototobia disangkal. Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena
debu, hilang timbul selama 4 tahun. Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat trauma mata
disangkal.
3

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1. Status Pasien
3.1.1. Identitas Pasien
Nama: Tn. Abi
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin: Pria
Alamat: -
Pekerjaan: Tukang ojek
3.1.2. Autoanamnesis
1. Keluhan Utama: Mata merah
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka diperlukan informasi lebih lanjut dengan
melakukan anamnesis tambahan, yaitu :
2. Riwayat penyakit sekarang :
- Sejak kapan keluhan mata merah? (untuk mengetahui perjalanan penyakit akut/kronik)
- Dimana letak mata merahnya? Mata kanan/kiri atau keduanya?
- Apakah ada penurunan tajam penglihatan (buram)?
- Apakah mata merah sebagian atau menyeluruh?
- Apakah ada keluhan lain selain mata merah? Seperti rasa gatal (kemungkinan konjungtivitis
alergi)
- Apakah ada rasa perih? (konjungtivitis akut)
4

- Apakah terasa seperti ada benda asing (rasa menggajal)?
- Apakah mata berair (hiperlakrimasi)?
- Apakah disertai rasa silau?
- Apakah ada demam atau infeksi tenggorokan? (untuk kemungkinan adanya konjungtivitis viral)
- Apakah ada penyakit infeksi selain di mata? (Gonore)
3. Riwayat penyakit dahulu :
- Apakah sebelumnya pernah mengalami penyakit mata yang sama? (kemungkinan penyakit
yang cenderung rekuren) atau pernah mengalami penyakit mata yang lain?
- Apakah sebelumnya pernah menjalani operasi mata?
- Apakah pernah mengalami trauma mata?
- Apakah pasien memiliki riwayat penyakit sistemik? (DM, hipertensi, untuk mengetahui faktor
resiko)
- Apakah ada riwayat alergi?
4. Riwayat penyakit keluarga :
- Apakah ada anggota keluarga memiliki keluhan yang sama?
- Apakah ada penyakit keturunan? (glaucoma)
5. Riwayat kebiasaan :
- Apakah pasien memakai alat pelindung saat bekerja seperti helm dan kaca mata pelindung ?
(kemungkinan faktor resiko terpapar debu, sinar matahari)
- Riwayat pemakaian kacamata? (kemungkinan glaucoma)
- Apakah pasien menggunakan kontak lens?
6. Riwayat pengobatan :
5

- Apakah sudah pernah diobati? Jika pernah, obat apa yang digunakan?
3.1.3. Masalah dan Hipotesis
Daftar
Masalah
Dasar masalah Keterangan Hipotesis
Mata merah
- sebagian
Bertambahnya asupan
pembuluh darah atau
berkurangnya pengeluaran
darah oleh karena
pembendungan pembuluh
darah
Timbul jika terkena debu
Hilang timbul sejak 4
tahun
Infeksi dan inflamasi:
- Episkleritis
- Skleritis
- Pinguekulitis
- Konjungitvitis
flikten
Trauma:
- Perdarahan
subkonjuntiva
- Pseudopterigium
Vaskuler:
- Pterigium
Rasa
mengganjal
Jaringan fibrovaskular yang
tumbuh menutupi kornea
yang terkikis oleh debu
Pterigium
Pseudopterigium
Pinguekula
Mata berair Respon yang terjadi bila
terdapat benda asing pada
mata dan merupakan salah
satu upaya untuk
Infeksi:
- Skleritis
- Konjungtivitis
6

mengeluarkan benda asing
tersebut
flikten
Trauma:
- Pseudopterigium
- Perdarahan
subkonjungtiva
Vaskuler:
- Pterigium
Penurunan
ketajaman
visus
Jaringan fibrovaskular yang
tumbuh menarik kornea ke
arah nasal yang membuat
kecembungan kornea
berubah
OD 6/ 10 C 0.75 aksis
135
Kelainan refraksi:
- Miopi
astigmatisme
- Pterigium
Kelainan
pada
konjungtiva
bulbi
Massa/jaringan
fibrovaskular kemungkinan
disebabkan oleh iritasi
kronis akibat debu, sinar
UV, dan udara panas yang
mengenai konjungtiva bulbi
sehingga terjadi degenerasi
elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular
dengan permukaan yang
menutupi epithelium. Hal
ini merupakan ciri khas dari
pterigium
1
. Mata merah
(hiperemis) kemungkinan
diakibatkan oleh
OD + OS terdapat massa/
jaringan fibrovaskuler
(bagian nasal) berbentuk
segitiga dengan puncak
di kornea dan hiperemis
Trauma:
- Pseudopterigium

Vaskuler:
- Pterigium
7


Dari anamnesis didapatkan pasien laki-laki dengan keluhan mata merah. Pada klasifikasi
penyakit mata merah terbagi menjadi dua yaitu sebagian dan seluruh mata, pada pasien tampak
mata merah sebagian. Penyakit mata merah sebagian dan pasien mengaku penglihatan tidak
buram maka hipotesis yang dapat ditegakkan adalah skleritis, episkleritis, pterigium,
pseudopterigium, pinguekulitis, hematoma subkonjungtiva dan konjungtivitis flikten.
Dianalisa dari jenis kelamin pasien laki-laki dan didapatkan juga pekerjaan pasien
sebagai tukang ojek maka pasien beresiko banyak terpapar debu, sinar matahari, dan udara panas
yang cukup lama yang mana hal ini dapat menimbulkan respon di mata.
Kemungkinan respon akibat terpajan terlalu lama pada keadaan ini adalah ini adalah
pterigium dan pinguekulitis. Kedua penyakit ini dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik. Di
dukung usia pasien 35 tahun, pada usia produktif ini dengan pasien sering bekerja di luar
ruangan sehingga sering terpapar debu, udara panas dan sinar matahari yang dapat menjadi
penyebab mata merah pada pasien. Karena usia pasien 35 tahun maka ini dapat menyingkarkan
hipotesis konjungtivitis flikten yang terjadi biasanya pada anak-anak.
Pada anamnesis selanjutnya pasien mengaku mata disertai rasa mengganjal, mata berair,
tidak nyeri dan penglihatan tidak buram maupun fotofobia. Pada pterigium juga dapat disertai
rasa mengganjal, karena pterigium didapatkan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga di konjungtiva mata hingga kornea. Mata berair pada pasien kemungkinan di
akibatkan oleh terjadinya peradangan pada mata maka sekresi musin dari kelenjar meibom
menurun sehingga air cepat menguap dan sebagai respon kelenjar air mata mengeluarkan cairan
mata lebih banyak lagi.
Dari riwayat sebelumnya juga didapatkan mata merah terutama jika terkena debu dan
hilang timbul selama 4 tahun. Ini menunjukkan keadaan eksaserbasi akut dan mendukung
hipotesis ptergium maupun pinguekula yang perjalanan penyakitnya sama dengan pasien yaitu
melebarnya pembuluh darah
di konjungtiva
8

karena mata yang sering iritasi akibat terpajan debu, udara panas dan sinar matahari yang lama
dan berulang-ulang.
Hipotesis pseudopterigium dapat disingkirkan dengan pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan sonde jika tidak dapat masuk kecelah antara konjungtiva dan jaringan tersebut.
Riwayat trauma pada pasien disangkal maka dapat menyingkirkan hipotesis hematoma
subkonjungtiva dan pseudopteregium. Hipotesis skleritis dan episkleritis dapat diperiksa dengan
pemeriksaan fisik
3.1.4. Pemeriksaan Fisik
Untuk menunjang diagnosis, selain anamnesis yang lengkap juga menyeluruh, pemeriksaan fisik
juga dibutuhkan untuk mendukung diagnosis.
STATUS GENERALIS : Dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS :

OD OS Interpretasi
Visus 6/10 C-0.75 aksis
135 6/6
6/6 OD : Pada pasien, hanya dapat
membaca pada jarak 6 meter,
padahal pada orang normal
dapat dibaca pada jarak 10
meter. Gangguan visus pada
pasien ini bisa dikoreksi
menjadi 6/6 dengan lensa
silindris -0.75 axis 135
derajat. Hal ini menandakan
bahwa pasien menderita
astigmatisme.
9

OS : Visus pasien normal
Gerak bola mata


(normal ke segala
arah)




(normal ke
segala arah)
Pada pemeriksaan ini, pasien
mengikuti arah delapan obyek
(superior, inferior, nasal, temporal,
supero nasal-temporal, infero nasal-
temporal) didapatkan hasil
NORMAL
TIO n/p
(normal/palpasi)
n/p
(normal/palpasi)
Mengindikasikan pada pasien tidak
menderita glaukoma
Palpebra Normal Normal Tidak terdapat kelainan pada
palpebra
Konjungtiva
bulbi
Massa/Jaringan
fibrovaskular
(bagian nasal)
berbentuk segitiga
dengan puncak di
kornea, hiperemis
Massa/Jaringan
fibrovaskular
(bagian nasal)
berbentuk
segitiga dengan
puncak di
limbus kornea,
hiperemis
Tanda patognomonik pada
penderita pterigium

Kornea Jernih Jernih Kornea yang normal berwarna
jernih sempurna dan transparan.
Pada pasien ini NORMAL
COA Dalam Dalam Tidak terdapat kelainan pada COA
Iris / Pupil Normal Normal Iris normal, pelebaran dan
10

penyempitan pupil juga normal
Lensa Jernih Jernih Normal
Vitreus Jernih Jernih Normal
Fundus Normal Normal Normal

STATUS LOKALIS
OD OS

OD : terdapat kelainan pada subepitel konjungtiva bulbi, terdapat jaringan fibrovaskuler
yang berbentuk segitiga. Batas pterigium sudah melewati limbus kornea, mendekati
pupil.
OS : terdapat kelainan pada subepitel konjungtiva bulbi, terdapat jaringan fibrovaskuler
yang berbentuk segitiga. Puncak pterigium berbatas pada limbus.

3.2. DIAGNOSIS KERJA
Pterigium oculi dextra stadium III dengan Astigmatisme dan Pterigium oculi sinistra
stadium I



11

Dasar Diagnosis
1. Anamnesis:
Dari anamnesis diketahui pasien berjenis kelamin laki-laki dan bekerja sebagai tukang ojek yang
sangat beresiko tinggi untuk terpajan debu ataupun sinar matahari yang dapat memicu terjadinya
pterigium, dan sebagai tambahannya secara epidemiologi pterigium lebih sering terjadi pada
laki-laki. Dari anamnesis juga diketahui keluhan pasien berupa mata merah, terasa mengganjal,
tidak buram, tidak nyeri, tidak fotofobia dan riwayat operasi mata serta trauma disangkal, dari
keluhan tersebut kita dapat menyingkirkan kemungkinan lain seperti episkleritis, skleritis,
konjungtivitis, pseudopteregium dan perdarahan subkonjungtiva.
2. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan mata terlihat adanya jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada
bagian nasal, ini merupakan tanda khas patognomonik dari pterigium. Pasien juga terkena
astigmatisma pada mata kanan, kemungkinan disebabkan pterigum sudah mengenai kornea
sehingga kornea tertarik. Untuk mata kiri termasuk stadium I pterygium hanya terbatas pada
limbus kornea. Sedangkan untuk mata kanan termasuk stadium III karena pterygium sudah
melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
3.3. DIAGNOSIS BANDING
1. Pinguekula
Pinguekula tampak seperti bercak putih-kekuningan di bagian nasal dari
kornea. Pinguekula disebabkan oleh degenarasi hyalin oleh karena
rangsangan yang lama oleh debu atau sinar yang sering terjadi pada orang
lanjut usia.



12

3.4. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun
dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu
atau iritan yang lain.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.
Daerah nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian
nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.
UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada
stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
2

Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan
proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
13

basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh
karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan
degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada
pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik
tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet
1,3

Pterygium menimbulkan gangguan dari fungsi kornea dengan menyebabkan kornea
tertarik dan timbul kegagalan dalam meneruskan cahaya sehingga bayangan akan difokuskan di
depan retina (penurunan visus) dan difokuskan pada beberapa titik (astigmatisme). Jaringan
Fibrovaskuler tersebut juga dapat menyebabkan reaksi peradangan, konjungtiva akan
melepaskan mediator mediator seperti histamin , leukotrien , prostaglandin sehingga
menyebabkan gejala seperti mata merah atau hiperemis, gatal , dan mata berair.
Secara histologis pterigium dianggap lesi degeneratif, dicontohkan oleh degradasi lapisan
Bowman dan elastosis. Saat ini, bagaimanapun, pterygia digambarkan sebagai gangguan
proliferatif menyerupai respon penyembuhan luka menyimpang. histopatologis, pterygia ditandai
oleh pertumbuhan, hiperplastik centripetally diarahkan diubah sel epitel limbal disertai dengan
pembubaran lapisan Bowman, epitel-mesenchymal transisi, dan diaktifkan stroma fibroblastik
dengan peradangan, neovaskularisasi, dan remodeling matriks, dimediasi melalui tindakan
bersama dari sitokin, faktor pertumbuhan, dan metaloproteinase matriks.
Histopatologi dari kolagen abnormal pada area degenerasi elastik menunjukkan basofilia
dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin.Kornea menunjukkan destruksi pada lapisan
membrana Bowman akibat pertumbuhan fibrovaskular, disertai dengan peradangan ringan.
Epitelnya dapat normal, tipis atau menebal kadang disertai displasia.


14

3.5. PENATALAKSANAN
a. Medika Mentosa
Dapat diberikan steroid topikal untuk mengatasi peradangan pada jaringan okular dengan
Prednisolone opthalmic 1%, tetes 2x1 hari selama 5-7 hari.
Selama tidak mengenai kornea, belum diperlukan tindakan operasi.
Indikasi operasi antara lain:
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih dari 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair, dan silau karena astigmatisme
d. Kosmetik
Adapun teknik operasi yang dilakukan adalah:
Bare Sclera: tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area
sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% 50%).
Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai
ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.


15


b. Non Medika Mentosa
Diberikan edukasi kepada pasien untuk menggunakan kacamata pelindung dan helm tertutup
ketika mengendarai motornya supaya terhindar dari pajanan debu dan sinar UV.
3.6. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium dapat berupa:
- Iritasi dan mata merah
Pterigium mudah meradang dan akan berwarna merah bila terjadi iritasi.
- Gangguan penglihatan sentral
Karena pertumbuhan jaringan fibrovaskular pada pterigium bersifat invasif dan
degeneratif, bila jaringan tersebut telah melewati limbus maka dapat menutupi media
penglihatan. Selain itu, jaringan fibrovaskular tersebut dapat menarik kornea sehingga
timbul astigmatisma. Komplikasi gangguan penglihatan merupakan salah satu indikasi
dilakukannya pembedahan.
- Jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea
16

Pada kornea, dapat terjadi pergantian lapisan membrana Bowman oleh hialin dan
jaringan elastin. Dengan demikian pterigium dapat menimbulkan kerusakan sampai
membrana Bowman yang kemungkinan bila kerusakannya luas dan besar
penyembuhannya dapat meninggalkan jaringan parut pada kornea.
- Terbatasnya gerakan bola mata dan diplopia
Dapat timbul akibat keterlibatan yang luas otot ekstraokular . Diplopia terutama
disebabkan karena scarring pada M. Rectus media. Pada pasien dengan pterigium yang
sudah diangkat, dapat terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi hal ini sangat
jarang terjadi.
Adapun komplikasi yang timbul pasca operasi pterigium antara lain:
> Infeksi dan reaksi bahan jahitan
> Diplopia
> Jaringan parut pada kornea
> Ectasia pada kornea dan atau sklera
Komplikasi berupa penipisan sklera dan atau kornea tersebut dapat terjadi beberapa
tahun atau dekade setelah dilakukan operasi pengangkatan pterigium.
> Rekurensi pasca operasi
Merupakan komplikasi tersering pasca operasi, terutama pada pembedahan dengan
teknik eksisi sederhana dimana tingkat rekurensi dapat mencapai 50-80%. Angka
rekurensi tersebut rata-rata berkurang 5-15% dengan penggunaan konjungtival/limbal
autografts atau transplantasi membran amniotik pada saat eksisi.
11



17

3.7. PROGNOSIS
Ad Visam: Dubia ad Bonam
Pada oculi dextra memang terdapat gangguan penglihatan berupa astigmatisma tetapi
dengan koreksi lensa C-0,75 masih dapat dicapai visus normal sehingga tidak ada penurunan
visus. Pada oculi sinistra tidak ditemukan kelainan visus, gerakan kedua mata tidak terhambat ke
segala arah dan hasil pemeriksaan media penglihatan masih dalam batas normal.
Ad Vitam: ad Bonam
Kami menentukan prognosis ad vitam bonam karena pterigium yang diderita pasien
bersifat lokal (bukan sistemis). Hal ini juga ditunjang oleh hasil pemeriksaan status generalis
yang dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya penyakit sistemik yang mengancam jiwa
pasien.
Ad Sanationam: Dubia ad Malam
Meskipun telah dilakukan operasi, kemungkinan rekurensi pterigium pada pasien ini
masih ada. Sebab, pekerjaan pasien merupakan faktor resiko untuk terpapar debu, sinar UV dan
udara panas yang merupakan penyebab dari pterigium tersebut.
Ad Kosmetikum: dubia ad bonam
Pterigium pada mata kanan yang diderita pasien apabila dilakukan tindakan operasi akan
menghilangkan jaringan fibrovaskular dan memperbaiki kosmetikumnya . Pada mata kiri pasien
ini belum mengenai kornea namun dapat pula segera menginvasi korneanya dengan cepat bila
mata masih sering terpajan debu ataupun sinar matahari kembali.
18

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1. ANATOMI
Anatomi Kelopak Mata
1. Kelenjar :
Kelenjar Sebasea
Kelenjar Moll atau Kelenjar Keringat
Kelenjar Zeis pada pangkal rambut, berhubungan dengan folikel rambut dan juga menghasilkan
sebum
Kelenjar Meibom (Kelenjar Tarsalis) terdapat di dalam tarsus. Kelenjar ini menghasilkan sebum
(minyak).
2. Otot-otot Palpebra:
M. Orbikularis Okuli
M. Levator Palpebra

3. Di dalam kelopak mata terdapat :
Tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang
bermuara pada margo palpebra
Septum Orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan pembatas isi
orbita dengan kelopak depan
Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran
pembukaan rongga orbita. Tarsus (tediri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong
kelopak dengan kelenjar Meibom (40 buah di kelopak mata atas dan 20 buah di kelopak bawah)
19

Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah A. Palpebrae
Persarafan sensorik kelopak mata atas dapat dibedakan dari remus frontal N. V, sedang kelopak
bawah oleh cabang ke II saraf ke V (N. V
2
)
7


Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama
kornea.
7



20

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
2.Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
3.Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi.

Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini
beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti
pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh
limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang
relatif sedikit.
7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva
terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-
sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.
7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan
konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian
21

menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan
wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian
besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
di tepi tarsus atas
Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan transparan dan avaskuler yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Permukaannya mempunyai lengkung teratur, mengkilap
licin oleh air mata. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah dan sekitar 0,65
di tepi. Diameter horisontalnya kira-kira 12 mm dan diameter vertikal 11 mm.
7




Kornea ke belakang melanjutkan diri sebagai sklera dan perbatasan antara kornea dan sklera
disebut limbus.

22

Kornea terdiri atas 5 lapis, dari luar ke dalam (anterior ke posterior) adalah :
1. Lapisan epitel
Merupakan lanjutan dari epitel konjungtiva bulbi. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5-6 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan macula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membrana bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
regenerasi.
3. Stroma (substansia propria)
Lapisan ini berkontribusi 90% terhadap ketebalan kornea. Terdiri atas lamella yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama terkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana descemet
Merupakan membran aseluler dan merupakan suatu membran elastik tipis yang jernih tersusun
padat dari serabut fibril. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 m.
5. Endothelium
23

Merupakan selapis sel kuboid yang melapisi bagian dalam dari kornea menghadap ke bilik mata
depan. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel
melekat pada membran descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humor akuos,
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer yang
larut ke dalam air mata.
Syaraf-syaraf sensorik kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis
V (trigeminus). Di epitel kornea tersebar akhiran syaraf sensibel yang telanjang. Bila kena
paparan maka akan menghasilkan rasa sakit. Jumlah yang banyak dari akhiran syaraf dan
lokasinya yang tersebar akan peka walaupun dengan sentuhan/abrasi yang halus pada epitel
kornea. Kejernihan dari kornea terjadi karena keseragaman struktur, avaskuler, dan deturgens.

Anatomi Bola Mata
Dindingnya terdiri dari 3 lapisan:
1. Tunika Fibrosa:
Kornea dan sclera
2. Tunika vaskulosa ( =uvea)
Choroid, Corpus ciliaris dan Iris
3. Tunika sensoris (retina)
Retina



24

Vaskularisasi
1. Palpebra
Terdiri dari:
Supratrochlearis, supraorbitalis, lacrimalis dan A. nasalis dorsalis (cabang dari a. ophtalmica)
A. angularis (cabang a. facialis)
A. facialis transverses (cabang a. temporalis superficialis)
A. temporalis superficialis
Drainage vena sesuai arteinya, kemudian v. ophtalmica
2. Bola mata
Arteri yang menyuplai struktur dalam orbita termasuk bola mata adalah dari a. ophtalmica yang
merupakan cabang dari a. carotis interna. A. ophthalmica berjalan ke dalam cavum orbita melalui
canalis opticus bersama-sama dengan n. opticus
Ada 2 vena utama pada orbita yaitu:
v. ophtalmica superior
v. ophtalmica inferior
Inervasi
1. Palpebra
-Komponen sensoris semua cabang N.V
-komponen motoris
-N. VII menginervasi bag. Palpebra m. orbicularis oculi
-N. III menginervasi m. levator palpebra superior
25

Serabut simpatis menginervasi m. tarsalis superior
2. Bola mata
Saraf yang berjalan ke dalam cavum orbita: N. II, N.III, N.IV, N VI saraf otonom
Saraf yang berjalan keluar dari cavum orbita: N. V
1

4.2. KLASIFIKASI MATA MERAH
1) Mata merah visus normal
Merah sebagian:
- Episkleritis
Merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak anatara konjungtivadan
permukaan sklera.Episkleritis umumnya mengenai satu mata dan terutama perempuan
usia pertengahan dengan bawaan penyakit rematik. Keluhannya dapat berupa :
mata terasa kering.
rasa sakit yang ringan.
Mengganjal.
konjungtiva yang kemotik.


- Skleritis
Skleritis adalah reaksi radang yang mempengaruhi bagian luar berwarna putih yang
melapisimata.Penyakit ini biasanya disebabkan kelainan atau penyakit sistemik.
Gejala:
1. Kemerahan pada sklera dan konjungtiva.
26

2. Terdapat perasaan sakit yang berat yang dapat menyebar ke dahi, alis dan dagu
yang kadang membangunkan sewaktu tidur akibat sakitnya yang sering kambuh.
3. Fotofobia.
4. Mata berair.
5. Penglihatan menurun

- Perdarahan subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva dapat terjadi pada keadaan dimana pembuluh darah rapuh
(hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian
antikoagulan dan batuk rejan). Tanda dari hematoma subkonjungtiva adalah mata
merah bisa kecil atau luas di seluruh konjungtiva pasien, warna merah lama-lama
berubah jadi hitam seperti hematoma umumnya, dan tidak sakit.

- Pterigium
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celak kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pteregium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
mengalami peradangan dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna
merah. pterigium dapat mengenai kedua mata. Pterigium disebabkan iritasi kronis
akibat debu, cahaya sinar matahari (UV), dan udara yang panas. Pterigium akan
memberikan keluhan mata iritatif dan merah dan berair.

- Pinguekulitis
Pinguekulitis merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang
tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan
angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mta terutama di bagian nasal.
Pinguekula iritans ini merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa
27

konjungtiva.Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula, tetapi bila meradang
atau terjadi iritasi maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah
yang melebar.
- Konjungtivitis flikten
Konjungtivitis flikten merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi
terhadap bakteri atau antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena
alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap tuberkuloprotein, stafilokok,
limfogranuloma venerea, leismaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain
dalam tubuh. Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa
sakit, fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain dari pada
rasa sakit, pasien juga akan merasa silau disertai blefarospasme.

Merah menyeluruh:
- Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva, biasanya terdiri dari hyperemia
konjungtiva disertai dengan pengeluaran secret. Konjunctivitis dapat disebabkan
bakteri, virus, klamidia, alergi toksik, dan molluscum contagiosum.
2) Mata merah visus turun
- Keratitis
Keratitis adalah radang kornea yang biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea
yang terkena, seperti keratitis superfisialis dalam interstisial atau profunda. Keratitis
dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi
alergi terhadap yang diberi topikal, dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun.
Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa silau, dan merasa kelilipan.

- Ulkus Kornea
Ulserasi kornea dapat meluas ke dua arah yaitu melebar dan mendalam. Ulkus yang
kecil dan superfisial akan lebih cepat sembuh, kornea dapat jernih kembali.Pada ulkus
yang menghancurkan membran Bowman dan stroma, akan menimbulkan sikatriks
28

kornea.Gejala subjektif sama seperti gejala keratitis. Gejala objektif berupa injeksi
siliar, hilangnya sebagaian jaringan kornea, dan adanya infiltrat. Pada kasus yang
lebih beratdapat terjadi iritis disertai hipopion.

- Uveitis
Radang uvea dpat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau iris dan keadaan
ini disebut iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka keadaan ini disebut siklitis.
Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior/
iridosiklitis. Uveitis anterior akut ada yg granulomatosa dan nongranulomatosa.
Uveitis anterior akut granulomatosa terjadi akibat sarkoiditis, sifilis, tuberkulosos,
virus, jamur (histoplasmosis), atau parasit (toxoplasmosis). Uveitis anterior akut
nongranulomatosa disebabkan karena trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes
simplex, sindrom Bechet, sindrom Posner Schlosman, pascabedah, infeksi
adenovirus, parotitis, influenza, dan klamidia. Keluhan pasien dengan uveitis akut
adalah mata sakit, merah, fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair, dan
mata merah. Keluhan sukar melihat dekat karena ikut meradangnya otot-otot
akomodasi.

- Glaukoma Akut
Seseorang yang datang dalam fase serangan akut glaukoma memberi kesan
sepertiorang yang sakit berat dan kelihatan payah; mereka diantar oleh orang lain atau
dipapah. Penderita sendiri memegang kepalanya karena sakit, kadang-kadang pakai
selimut. Hal inilah yang mengelabui dokter umum; sering dikiranya seorang
penderitadengan suatu penyakit sistemik.
Dalam anamnesis, keluarganya akan menceritakan bahwa sudah sekian hari
penderitatidak bisa bangun, sakit kepala dan terus muntah-muntah, nyeri dirasakan di
dalam dan di sekitar mata. Penglihantannya kabur sekali dan dilihatnya warna pelangi
disekitar lampu.Pada pemeriksaan, ditemukan kelopak mata bengkak, konjungtiva
bulbi yang sangathiperemik (kongestif), injeksi siliar dan kornea yang suram. Bilik
29

mata depan dangkaldapat dibuktikan dengan memperhatikan bilik mata depan dari
samping. Pupil tampak melebar, lonjong miring agak vertikal atau midriasis yang
hampir total.

- Panoftalmitis
Panoftalmitis adalah peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul Tenon
sehingga bola mata merupakan rongga abses. Panoftalmitis memberikan gejala
kemunduran tajam penglihatan disertai rasa sakit, mata menonjol, edema kelopak,
konjungtiva kemotik, kornea keruh, bilik mata dengan hipopion dan reflex di dalam
fundus dan okuli

- Endoftalmitis
Endoftalmitis adalah peradangan berat yang terjadi pada seluruh jaringan intraocular,
yang mengenai dua dinding bola mata, yaitu retina dan koroid tanpamelibatkan
sklera dan kapsula tenon, yang biasanya terjadi akibat adanya infeksi.

- Oftalmina simpatika
Merupakan peradangan bilateral dengan penglihatan menurun dengan mata merah.
Biasanya akibat trauma tembus atau bedah mata intraokular. Tanda dini adalah
gangguan binokular akomodasi atau tanda radang ringan uvea anterior dan posterior.
Tanda yang terlihat pada oftalmina simpatika adalah mata sakit dan fotofobia pada
kedua mata.
8


4.3. PTERYGIUM
Definisi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga
30

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah
10


Etiologi dan Faktor Risiko
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata,
infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik
secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi
menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin
karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok
anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar
yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di
basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan
faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan
dysplasia.
2

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya
atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami
pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam
ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
31

olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial
dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium
terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan
meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor.
Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis
terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda
neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif.
9

1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada
pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53
tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over
produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

32

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia
dekade dua dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan
bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain
juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang
kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah
yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok,
pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium
33

Gejala
Pterygium dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Pterygium dapat hanya terdiri atas sedikit
vaskular dan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan. Pterygium dapat aktif dengan tanda-tanda
hiperemia serta dapat tumbuh dengan cepat.
Pasien yang mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik).
Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi, perubahan tajam penglihatan,
sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila
pterygium menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya astigmatisme. Efek
lanjutnya yang disebabkan membesarnya ukuran lesi menyebabkan terjadinya diplopia yang
biasanya timbul pada sisi lateral. Efek ini akan timbul lebih sering pada lesi-lesi rekuren
(kambuhan) dengan pembentukan jaringan parut.

Pterygium memiliki tiga bagian :
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman
pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.
Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
b. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang
menginvasi kornea seperti halnya kepala.
34

c. Bagian badan atau ekor. Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan
area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda
khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan
2


Klasifikasi Pterygium

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya
dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada
tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar.
Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk
pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada
kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
35

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

3. Berdasarkan lokasi pterygium dapat dibagi menjadi:
- Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
- Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal.

4. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:
- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium (disebut cap dari pterygium)
- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi
tidak pernah hilang.
5. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan
slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas
2


Pemeriksaan Dalam Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan keluhan yang bermacam, mulai dari tak ada. Gejala
hingga keluhan seperti mata kemerahan, membengkak, gatal, iritasi, pandangan kabur yang
berhubungan dengan lesi yang meninggi pada satu atau kedua mata

36

2. Pemeriksaan Fisik
Pterigium muncul dengan perubahan fibrovaskular yang beragam pada permukaan konjungtiva
dan kornea. Lebih sering muncul dari daerah konjungtiva nasal dan meluas hingga ke kornea
nasal, walaupun bisa juga bisa dari lokasi lain misal temporal. Tampilan klinis bisa dibedakan
menjadi dua kategori umum, yaitu:
- Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik. Pterigia pada grup ini tampak lebih
datar dan tumbuh lambat dan memiliki insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
- Grup kedua datang dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular yang
meninggi secara signifikan. Pterigium pada grup ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi
setelah dieksisi.
1

Terapi
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium
meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium
adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan
akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid.
Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan
dihentikan.
Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah
mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau
bola mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium yang
membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan teriritasi.
37

Paska operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi
lainnya.
Indikasi Operasi McReynold
1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.
Jenis Operasi pada Pterygium antara lain :
Bare Sclera: tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area
sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% 50%).
Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai
ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.

38

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan opthalmologi, dan status lokalis dapat
disimpulkan bahwa Tn. Abi menderita pterigium derajat 3 okuli dextra dengan astigmatisme dan
pterigium derajat 1 okuli sinistra. Pterigium pada mata kanan Tn Abi sudah memenuhi indikasi
operasi sebab telah terjadi gangguan penglihatan berupa astigmatisma akibat penarikan kornea
oleh pterigium. Akan tetapi karena pterigium memiliki tingkat rekurensi yang cukup tinggi
terutama pada pasien dengan factor resiko seperti Tn. Abi, maka apabila Tn. Abi menolak
melakukan tindakan operasi bisa diberikan alternatif lain seperti, pemberian kacamata koreksi
dan air mata buatan, serta dilakukan follow up agar dapat diambil tindakan segera apabila terjadi
peningkatan progresivitas terhadap fungsi penglihatan Tn. Abi dan yang terpenting adalah
mengurangi factor resiko dengan cara melindungi mata dari paparan sinar UV, debu, angin, dll
dengan menggunakan helm dan kacamata pelindung terutama saat bekerja.
39

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2009.
2. Anonim. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Surabaya:
Penerbit Airlangga; 2006. hal 102 4
3. Pterigium. Available from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm. Accessed on March
6, 2013 Updated March 8, 2008.
4. Wijana, N. Konjungtiva. Ilmu penyakit mata. 6th ed. Jakarta: Abadi Tegal; 1993; p. 42
5. Fisher, JP. Pterygium. Medscape reference. [cited November 11, 2011]. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1192527. Accessed on March 6, 2013.
6. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the
Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American
Academy of Ophtalmology; 2008. P.8-13, 366
7. Snell RS. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit EGC; 2003.
8. Widyasari J. Klasifikasi Mata Merah. Available at:
http://www.scribd.com/jessiewidyasari/d/36492907-Mata-Merah. Accessed March 6, 2013.
9. Caldwell M. Pterygium. Available at http://www.eyewiki.aao.org/Pterygium. Accessed on
March 8, 2012. Updated October 23, 2011.

10. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:Badan Penerbit FKUI; 2011. p 180-1

You might also like