You are on page 1of 12

51

DAMPAK PEMBANGUNAN JEMBATAN SURAMADU


TERHADAP MASYARAKAT MADURA: TINJAUAN DARI SISI
PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN
Taufiq Hidayat*)

Abstraction: Access ease from bridge Suramadu affect in area
development industrial. Industrial by class pluralism looked at has
Indonesia point of view as modern industrial state. In social thinking
Indonesia policies, industrial as city intellectual reflection. Turned that,
industry can be looked at as important reflection impact to be
supervised because can make at one particular character reshuffle. one
of the character that make possible can be felled or it to society that
be shifted culture. There two sides from explanation prestige local
culture and potential that is external side and the internal side. The
external side, the materialized existence acknowledgement a custom or
skill or ability planted in life society and the culture. The internal side
extant harmony existence, coalitions, and unitary from a class with
alive standard height, welfare, and peacefulness entire members.
Hence, industrialization insight, must have base democracy economy.
The fundamental reason : first, as maintenance justice principle and
economy democracy. Second, the siding of, enable ness, and
protection towards weak by all potential nation, especially government
as according to the ability. Third, effort rivalry climate creation that
well and market friendly intervention with generalization efforts walks
along with efforts create competitive market to achieves optimal
efficiency. Fourth, efforts moves rural district economy. Fifth, utilization
and soil use and natural resources. Sixth, people economy
development, in estate, husbandry, fishery, mining, industrial and
goods trade and service of scale micro as the kernel.
Keyword : impact, culture, system

Pendahuluan
Jembatan Suramadu yang melintasi Selat Madura mempermudah akses
Surabaya-Madura atau Madura-Surabaya. Kemudahan akses dari jembatan
Suramadu berdampak pada pembangunan wilayah Madura sebagai
pengembangan rencana program industrialisasi (disebutnya Madura sebagai
Batam ke dua). Industri oleh Kaum pluralis yang dipandang memiliki visi
Indonesia sebagai negara industri modern. Kelompok ini seperti yang ditulis
David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik
Indonesia (2003) meliputi intelektual kota. Sebagai intelektual kota dalam
menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kita teringat pada salah satu lirik lagu
52
dari Ebit G. Ade tengoklah kedalam sebelum bicara singkirkan debu yang
masih melekat . Inspirasi dari lirik lagu itu, yang jika dikaitkan dengan
demokrasi dapat dimaknai sebagai konsekuensi adanya control dan
pertentangan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan oleh kekuatan
kekuasan untuk kemudian bisa disingkirkan. Sebagai kelompok yang
bertentangan, pada awal Soeharto berkuasa banyak bergelimpangan, tetapi
kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan dalam wadah dan nuansa
baru dengan modifikasi visi misi. Salah satu contoh modifikasi visi misi adalah
kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi
(misalnya, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Kelompok mahasiswa ini
memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses
politik Orde Baru. Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang
paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme,
semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan.
Semangat yang tidak berubah itu (yang dipandang menguntungkan rakyat)
akan tetap dipertahankan sebagai dampak yang diharapkan masarakat dalam
proses perjalanan bangsa dan pembangunannya.
Di era yang disebut reformasi juga masih banyak pelaku intelektual yang
bertentangan tersingkirkan (seperti, Aktivis HAM Munir, Mahasiswa atau
orang-orang hilang karena memperjuangkan kepentingan rakyat, dan yang
terbaru kriminalisasi KPK terhadap Bibit dan Chandra untuk dilemahkan
keberadaannya). Fenomena semacam itu (tengoklah ke dalam sebelum bicara
singkirkan debu yang masih melekat) juga terjadi pada fenomena
industrialisasi dengan meminjam bahasa jurnalis dari koran ternama Kompas
yang menyebutnya Awas Deindustrialisasi. Dimana, deindustrialisasi
diungkapkan kepada public karena adanya pergeseran peran. Peran yang
tergeser terjadi dalam perekonomian yang sebelum krisis 1997/ 1998 ditopang
industry, kini bergeser ke sector jasa terutama jasa modern yang kurang
menyerap tenaga kerja, akibatnya jumlah penganggur semakin besar.
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan gejala deindustrilalisasi itu
dalam vinalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 pembangunan industri
pengolahan di Jakarta, selasa (6/ 10). Faisal mengatakan, salah satu pemicu
deindustrialisasi adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit ke sector
industry secara nominal tetap tumbuh tetapi presentasenya makin rendah.
Menurut Faisal, Tahun 1985 hampir 40% kredit perbankan ke sector industry
pengolahan. Tahun 2008, industry manufaktur hanya memperoleh 15% kredit
perbankan. Jadi perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan
pembangunan property. Penurunan volume kredit perbankan berarti
kelangkaan pembiayaan investasi dan modal kerja bagi sektor industry.
Ditambahkan oleh Amir Sambodo (Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik,
Olefin, dan Plastik Indonesia bahwa perbankan lebih berkonsentrasi pada
penyaluran kredit ke sector konsumsi dibandingkan industry. Kondisi ini
diperparah dengan kebijakan pemerintah dalam harmonisasi tarif dan
kebijakan infrastruktur pendukung pertumbuhan industri. (Kompas, Rabu, 7
Oktober 2009). Hampir senada dengan pendapat tersebut, Ambar mengatakan,
53
penguatan rupiah berpotensi menggerakkan importer produk yang sesungguhnya
sudah diproduksi di dalam negeri. Ini akan menghancurkan isdustri domistik
Padahal, industry kita masih rendah daya saingnya. Produk impor yang lebih
murah cepat atau lambat akan menghancurkan industri domestic (dalam
Kompas,14 Oktober 2009).
Jika melihat sembilan tahun yang lalu, sektor industri pengolahan pada
tahun 2000 mencatat pertumbuhan sebesar 6,2%. Walaupun pertumbuhan
sektor ini lebih kecil dibandingkan sektor pengangkutan, listrik, dan bangunan,
namun mengingat pangsa sektor industri pengolahan yang sangat besar dalam
pembentukan PDB, maka dengan pertumbuhan tersebut menyebabkan
kontribusi sektor ini menjadi yang terbesar. Berkembangnya industri
pengolahan di Indonesia tentunya memiliki dampak yang positif terhadap
sektor-sektor lain diantaranya sektor tenaga kerja dan ekspor. Contoh lainnya,
perkembangan ekspor industri pengolahan untuk produk tekstil dari tahun
1992-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 1,60 % dan total pertumbuhan
produk tekstil sebesar 8,82% pada tahun 1996-1997. Hal ini mencerminkan
adanya perkembangan yang menggembirakan pada volume ekspor di pasar
dunia. Karenanya, industri pemintalan, tekstil, pakaian, dan kulit merupakan
produk unggulan yang menggunakan kandungan bahan baku dalam negeri
sebesar 89,6%. Namun disadari atau tidak disadari, ciri lain industri yang
tumbuh saat itu adalah rendah teknologi, sehingga tidak membutuhkan tenaga
kerja yang berketerampilan. Hal yang demikian itu, dalam proses
perkembangannya hingga tahun 2009, industrialisasi oleh sector perbankan
dipandang lebih berpotensi kearah kemodorotan dari pada kemanfaatannya untuk
masarakat yang masih rendah tingkat pendidikan, pengetahuan dan kemampuan
dalam daya saing produktivitas, sehingga penyaluran kreditnya sebagai paparan
Faisal, Sambodo dan Ambar lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan
pembangunan property.
Lepas dari pandangan tersebut di atas, bidang pendidikan menerima
ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem
pendidikan yang sangat minim dalam mengembangkan cara berpikir kritis.
Lemahnya cara berpikir kritis menjadikan perkembangan tenaga produktif
(teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya
produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri
manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga
kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang
mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga (kurang lebih 30
juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur.
Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah
dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah
tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini
hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan
masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per
bulan.
54
Memperhatikan pandangan diatas, tentang industrialisasi dari sisi
dampak yang diharapkan dan yang tidak diharapkan, serta berbagai macam
fenomena masalah yang berkembang, maka industrilalisasi dapat dikatakan
mempunyai peranan penting. Pentingnya peranan industrialisasi, menjadikan
masarakat di wilayah Jawa Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
peranan industry dan bisnis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal
itu tercermin dari ajakan Gubernur pada masarakatnya melalui penyebaran
bender yang di pasang di kantor-kantor pemerintah, yang bertuliskan Ayo
Jadikan Industri dan Bisnis Pertanian Sebagai Jembatan Emas Menuju Jatim
Yang Makmur dan Berahlak Mulia. Ajakan itu memberikan inspirasi dan arti
strategis dalam menunjang pembangunan di wilayah Jawa Timur. Nilai
inspirasinya adalah bahwa dengan pemberdayaan sector insdustri dan bisnis
pertanian menjadikan masarakat lebih akomodatif mencapai cita dan harapan
kemakmuran dalam kemuliaan. Sedangkan arti strategisnya adalah, dengan
industry dan bisnis pertanian dapat memberikan capaian hasil kerja dan kinerja
masarakat yang kreatif dan inovatif dalam daya saing produktivitas
pemanfaatan sumber daya potensial alam yang dimiliki dan usaha ekonomi
yang ditekuninya. Oleh karena itu, industrialisasi menjadi salah satu kebijakan
program yang akan dijalankan dalam pengembangan pasca Suramadu.
Pengembangan kebijakan program industrialiasi yang akan dilaksanakan di
wilayah pengembangan Suramadu, tentu tidak akan terlepas dari pada
kebijakan organisasi yang dibentuk dengan nama Badan Pengembangan
Wilayah Suramadu (BPWS). Bentukan BPWS dari pusat dengan komposisi
personalinya yang telah dilantik oleh Presiden pada hari Jumat (3/ 7).
Keberadaan BPWS dalam perjalannya, juga tidak lepas dari masalah.
Sumber masalah yang berkembang di wilayah Madura adalah (1) belum
bekerjanya BPWS; (2) pembentukannya yang tidak melibatkan Ulama/ Rakyat
Madura; (3) BPWS sebagai sumber masalah baru karena belum tahu jalan
keluarnya/ kebijakan program untuk pengembangannya; (4) Tidak ada jaminan
BPWS dan orang-orang yang ada di dalamnya, siap memperjuangkan budaya
Islami Madura;(5) janji-janji pemerintah pusat dan provinsi kepada kalangan
ulama Madura dalam setiap kebijakan yang diterapkan di Madura pasca
pembangunan Jembatan Suramadu; (6) kajian dari pakar hukum dan tata ruang
kota bahwa BPWS menyalahi aturan yang ada dan terus menuai kritik.
Pengkritiknya adalah Bupati Bangkalan Fuad Amin dan LSM, Forum Ulama
Bangkalan (FUB) dengan KH Badrus Sholeh sebagai juru bicara FUB; Pengasuh
Ponpes Miftahud Tholibin, Kwanyar. Ancamannya, akan menutup paksa
Jembatan Suramadu jika kebijakan BPWS tidak segera direvisi dan siap
kehilangan Suramadu jika berdampak pada tatanan sosial budaya Madura
yang Islami hilang.
Bertitik tolak dari keberadaan BPWS yang dipermasalahkan adanya oleh
sebagian tokoh atau ulama di Madura, maka penting juga kita pahami bahwa
kemiskinan dari jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam
kemelaratan (termasuk sebagian besar warga di Madura). Kalau kita
menggunakan ukuran US$-PPP (purchasing power parity/keseimbangan
55
kemampuan daya beli)/ kapita/ hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia,
pada 2007 angka kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih
rendah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%). Yang
menyedihkan, suara 105,3 juta jiwa itu tidak terartikulasikan di ruang publik,
terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite
negara, pengusaha, politisi dan kelas menengah yang pongah. Kaum miskin
itu, dalam kata-kata Gabriel Marquez, adalah kekuatan yang membisu. Di sisi
lain, masyarakat diasumsikan memiliki sifat rasional dan selalu bereaksi terhadap
insentif material setiap saat.
Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah dampak social ekonomi
bagi masarakat lokal dalam kesejahteraan dengan adanya kebijakan
industrialisasi pasca Suramadu? Atau dapatkah industrialisasi dan potensi
sumbernya yang ada dapat dimanfaatkan oleh masarakat Madura? Apakah
industrialisasi dapat bersinergi dengan budaya local dan karateristik
potensinya? Atau dapatkah kebijakan industrialisasi pasca Suramadu mencapai
yang diharapkan dalam kearifan lokal perekonomian dan kesejahteraan
masarakat Madura? Pertanyaan ini sebagai paradigmatic kritis terhadap
dampak ekonomi social dari kebijakan industrialisasi dalam pengembangan
wilayah Suramadu. George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang
harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana
seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam
menjawab persoalan-persoalan tersebut. Secara sederhana paradigma diartikan
sebagai How to see the word yakni semacam kaca mata untuk melihat,
memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Paradigma kritis
penting dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Karena, paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait
dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas
dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Paradigma konflik
mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya
pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. Jadi
paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial,
ekonomi atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: (a).
Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik
hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya
untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegemoni, dominatif, dan
eksploitatif. (b). Analisis ekonomi untuk menemukan variabel ekonomi politik
baik pada level nasional maupun internasional. (c). Analisis kritis yang
membongkar the dominant ideology baik itu berakar pada agama, nilai-nilai
adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu
wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana. (d). Psikoanalisis yang akan
membongkar kesadaran palsu di masyarakat. (e). Analisis kesejarahan yang
menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor
sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran
suatu masyarakat.
56
Untuk kepentingan pokok bahasan dalam makalah ini, maka penulis
focuskan pada analisis dampak kebijakan industrialisasi pasca jembatan
Suramadu dalam structur format budaya, format ekonomi dan politik hukum
suatu masarakat mencapai kemajuan dan kemunduran dalam kesejahteraan.

Dampak Kebijakan Industrialisasi dalam Format Budaya, Ekonomi dan
Politik Hukum Masyarakat Mencapai Kesejateraan
Penulis sebagai pribadi setuju dengan kebijakan industrialisasi pasca
Suramadu. Mengingat, untuk perkembangan industri ini modal domestik
sudah memadai, salah satu kepemilikan yang disebut modal yang memadai
adalah budaya yang dominan berdasarkan semangat Puritanisme (sejumlah
ajaran yang dipakai oleh kaum puritan yang senantiasa berpegang teguh pada
kemurnian perangkat norma/ kaidah/ nilai). Dimana semangat Puritanisme itu
ada, dan dimiliki oleh masarakat Madura (seperti semangat gotong royong,
sopan santun, harga diri/ prinsip diri yang dikenal dengan slogan lebih baik
putih tulang dari pada putih mata), serta kepatutan dan kepatuhan kepada
Bepak-Bebuh-Guruh-Ratoh (artinya, bapak-ibu-guru-raja/ penguasa telah
membentuk, menjadikan dan menghasilkan masarakat Madura memiliki
kearifan dalam bertindak atau mengambil keputusan dan semangat jiwa
wiraswasta (misalnya, bekerja keras, merantau, produktif, hemat, dan hidup
sederhana) dengan memegang teguh petuah dari orang yang dihormati, yang
pada gilirannya telah menghasilkan semangat kapitalis. Karenanya, seruan
budaya lokal dan potensinya yang dirasakan atau sesuai harapan masarakat,
ada dan tidak tergeserkan oleh kebijakan industrialisasi pasca Suramadu,
sehingga eksistensinya menjadi bermartabat. Setidaknya ada dua sisi dari
pengertian memartabatkan budaya lokal dan potensinya bagi masarakat
Madura, yakni sisi eksternal dan sisi internalnya. Sisi eksternal dari upaya
memartabatkan budaya dan potensinya bagi masarakat Madura sebagai bagian
yang akan berwujud diakuinya keberadaan (eksistensi suatu adat atau skill)
dari nilai budaya atau kemampuan yang tertanam dalam kehidupan masarakat
dan kebudayaannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sedangkan sisi
internalnya akan berwujud adanya kekompakan, persatuan, dan kesatuan dari
suatu kaum serta tingginya taraf hidup, kesejahteraan, dan kedamaian seluruh
warga Madura. Sebab sungguh tidak akan ada martabat suatu budaya Madura
yang warganya hidup dalam keadaan terpecah belah, serta dalam kemiskinan,
kebodohan, serta keterbelakangan. Bagaimanapun juga, pelaksanaan instrumen
budaya nasional sebagai hak asasi manusia masih tetap tergantung pada
komitmen serta kondisi lokal setiap warga dalam suatu negara, walaupun
secara formal diakui bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, tidak
dapat dibagi, dan tidak terpisahkan satu sama lain. Kata lain, prinsip
pensakralan dan penyesuaian antara adat dengan Islam dalam masyarakat
Madura, memiliki kaitan langsung dengan pelbagai amalan sistem kehidupan
masarakat Madura dan juga perkembangan hukum Islam di tengah-tengah
masyarakat industrialisasi kini pasca Suramadu. Seluruh masyarakat hukum
adat di Indonesia beserta identitas kultural dan hak tradisionalnya, sejak tahun
57
2000 yang lalu telah mendapat perlindungan konstitusional yang sama
berdasar Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) amandemen kedua Undang-
Undang Dasar 1945.
Hal yang demikian itu, sungguh amatlah arif untuk mengkaitkan upaya
pemartabatan adat istiadat sebagai budaya khas lokal dengan konteks
kenegaraan yang berwawasan industrialisasi. Dengan wawasan industrialisasi,
mereka berusaha menangkap setiap kesempatan yang datang. Semua
kesempatan yang datang dapat ditangkap dari kebijakan industrialisasi pasca
Suramadu yang diharapkan telah dirancang dan harus memiliki/ mempunyai
basis/ bercirikan ekonomi kerakyatan. Alasan mendasar: Pertama, ciri utama
sistem ekonomi kerakyatan adalah penegakan prinsip keadilan dan demokrasi
ekonomi, disertai kepedulian terhadap yang lemah. Sistem ekonomi tersebut
harus memungkinkan seluruh potensi bangsa, baik sebagai konsumen, sebagai
pengusaha maupun sebagai tenaga kerja, tanpa membedakan suku, agama, dan
gender, mendapatkan kesempatan, perlindungan dan hak untuk memajukan
kemampuannya dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan
partisipasinya secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam
memanfaatkan serta memelihara kekayaan alam dan lingkungan hidup. Di
dalam melaksanakan kegiatan tersebut, semua pihak harus mengacu kepada
peraturan yang berlaku. Kedua, sejalan dengan ciri pertama, adalah
pemihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap yang lemah oleh
semua potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya.
Pemerintah melaksanakannya melalui langkah-langkah yang ramah pasar.
Sedangkan, penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro,
kecil, menengah dan koperasi (UKMK) termasuk petani dan nelayan kecil,
merupakan prioritas utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan.
Ketiga, Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang
ramah pasar serta upaya pemerataan berjalan seiring dengan upaya
menciptakan pasar yang kompetitif untuk mencapai efisiensi optimal.
Misalnya, hubungan kemitraan antara usaha besar UKMK harus berlandaskan
kompetensi bukan belas kasihan. Untuk itu, prioritas dilakukan bagi
penghapusan praktek-praktek dan perilaku-perilaku ekonomi diluar aturan
permainan yang dianggap wajar dan adil oleh masyarakat seperti praktek
monopoli, pengembangan sistem perpajakan progresif yang efektif dan
deregulasi yang diarahkan untuk menghilangkan ekonomi beaya tinggi.
Keempat, pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terkait dengan upaya
menggerakkan ekonomi pedesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat
pembangunan pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah
kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya harus merupakan
prioritas, antara lain, dengan meningkatkan pembangunan prasarana pedesaan
dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk
jaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan. Kelima,
pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti
hutan, laut, air, udara dan mineral secara adil, transparan dan produktif
dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak masyarakat
58
adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Keenam,
pembangunan ekonomi rakyat, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan/ pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan
jasa yang berskala mikro dan kecil, merupakan inti dari pembangunan sistem
ekonomi kerakyatan.
Memperhatikan pandangan sistem ekonomi kerakyatan itu, penting kita
renungkan dan pikirkan pertanyaan ini apakah reformasi ekonomi berbasis
kepentingan rakyat kecil berjalan sesuai harapan mensejahterakan, terutama
kesejahteraan bagi rakyat yang termajinalisasi atau penyandang masalah
ekonomi-sosial? Sistem ekonomi kerakyatan menurut MPR RI Nomor
IV/ MPR/ 1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 (Bab
IV, B. Ekonomi), adalah sebagai berikut: 1. Sistem ekonomi kerakyatan dalam
sistem ekonomi pasar: Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang
bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan
sehat . 2. Mengakui ketidaksempurnaan pasar: Mengembangkan
persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur
monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan
masyarakat.
Berpijak pada pandangan teori system eknomi kerakyatan dan yang
disemangati dengan keputusan MPR RI tersebut di atas, maka penting
dipersiapkan dan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, guna
memenuhi berjalannya system dimaksud sesuai harapan. Dalam konteks dan
kepentingan ini, maka pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh
negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai
program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT
atau raskin atau PKH yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang
sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat
diakses oleh seluruh warga Madura. Pengecualian hanya berlaku bagi warga
Madura yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap
pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara. Selain
itu, penting juga memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah
melalui pengembangan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro,
bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar yang
akomodatif. Kemudian, penting memantapkan kinerja dampak dari strategi
pembangunan pertanian yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang semata tanpa didukung oleh tujuan pemerataan
melalui pendistribusian yang baik mengakibatkan kesenjangan dalam
masyarakat. Keadaan tersebut juga ditengarai menjadi penyebab utama
tingginya jumlah masyarakat miskin. Dengan memberdayakan asset ekonomi
yang dimiliki masyarakat miskin merupakan bentuk pendistribusian yang
bijaksana, dimana selama ini masyarakat miskin hanya mendapat pembagian
(share) keuntungan terkecil dari kegiatan ekonomi yang ada. Campur tangan
dan penetrasi pemerintah menjadi terlalu jauh dalam proses globalisasi yang
hegemoni dalam memudahkan pelaksanaan kontrol global seringkali
menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Milton Friedman, ekonom
59
pemegang nobel, mengatakan bahwa globalisasi telah menjadi mungkin untuk
menghasilkan produk dimanapun, menggunakan sumber daya dimanapun,
oleh perusahaan yang berada dimanapun, dan untuk dijual dimanapun (dalam
Yanuar Ikbar, 2006). Namun dibalik pandangan itu, para analis yang
mengkritik pandangan globalisasi menggambarkan bahwa globalisasi
perdagangan dan keuangan kontemporer sebagai penyebab utama dari
tingginya pengangguran, penurunan dalam standar kerja, ketidakseimbangan,
kemiskinan, krisis keuangan dan degradasi lingkungan dalam skala besar. Ini
terjadi paling akhir dalam penghujung tahun 2005 di Hongkong dalam
konfrensi WTO, sehingga sejumlah aksi menentang idea globalisasi ekonomi
dan memberikan tekanan bagi Negara maju menghilangkan proteksi produkasi
pertanian (idem). Hal ini ada kesamaan dengan strategi pemerataan
pembangunan melalui trickle down effect yang dipandanag terbukti sulit
diimplementasikan, dimana di satu sisi sumberdaya terkonsentrasi pada
sebagian kecil masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang
relatif mapan. Paham neoklasik yang dianut paradigma pembangunan
pertanian, kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil, bahkan
menciptakan ketergantungan baik di tingkat lokal maupun nasional (dalam
Korten dan Sjahrir ,1984). Di Indonesia pelaksanaan pemikiran neo-klasik telah
baik penerapannya, namun karena model ini bersifat kontradiktif dan kurang
memberikan ruang bagi proses demokrasi bagi tipe masyarakat yang bersifat
demokratis, maka justru menghasilkan pemaksaan dan kesenjangan (dalam
Budiman, 1991). Hal ini memunculkan maraknya isu reformasi, sehingga
berkembang iklim politik yang kondusif maupun yang kurang kondusif terkait
dengan makin maraknya isu reformasi dengan jargon-jargon kebebasan
berpendapat, hak asasi manusia (HAM), dan perubahan struktur kekuasaan
negara.
Kondisi adanya seperti tersebut diatas, merupakan sebagai cerminan
kepemilikan peran penting dalam membentuk kesadaran kaum petani
terhadap hasil produksi dan memberikan pengaruh kuat terhadap gagasan
partisipasi. Hal ini sebagaimana yang dialami Suroso. Suroso mewakili gambaran
sebagian besar petani Indonesia, yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5
hektar. Petani seperti Suroso itulah yang kini harus berhadapan dengan isu-isu
global. Seperti perdagangan bebas lengkap dengan beragam muslihat yang
dikembangkan negara-negara maju melalui Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO). Menghadapimuslihat itu Suroso hanya bisa menerima.Yosing
penting nandur sing apik. Payu kono ora payu kono. (Ya penting menanam dengan
baik, laku dijual syukur, tidak laku dijual syukur, tidak laku ya tidak apa-apa),
kata Suroso, yang memiliki 1.500 rumpun salak. Bagi Suroso, dan petani
lainnya hidup urusan Tuhan. Mereka menyakini kepasrahan akan
mendatangkan berkah, termasuk keberhasilan berproduksi (dalam Kompas,14
Oktober2009). Dengan kata lain You may not abandon yourself to despair.
Keadaan ini juga mempengaruhi proses terbentuknya kelembagaan
(organisasi) kaum petani sebagai wacana dan wadah penyampaian aspirasi
mereka terhadap pemerintah untuk menyuarakan ketidakadilan dan
60
kemarjinalan yang dialami kaum petani. Pentingnya partisipasi masyarakat
dalam program pembangunan berkelanjutan dapat dikaji melalui giatnya
pelaksanaan Otonomi Daerah dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerahyang diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, yang
menegaskan daerah Kabupaten dan Kota yang berwenang mengatur dan
berdasarkan aspirasi masyarakat guna makin terwujud dan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dituntut agar mampu
membina hubungan harmonis dan menjadikan pembangunan sebagai bagian
yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta mampu memberi ruang dan waktu untuk terciptanya masyarakat yang
sejahtera dan maju. Hubungan harmonis tersebut dimaksudkan jika
pemerintah dan masyarakat dapat berperan, baik sebagai pemerakarsa maupun
sebagai partisipan. Pemerakarsa dan partisipasi pemerintah dan masyarakat
petani sebagai bentuk perwujudan pemberdayaan masyarakat miskin di
pedesaan. Perwujudannya sangat diharapkan demi terlaksana dan tercapainya
tujuan dari program pemberdayaan bagi masarakat miskin di pedesaan. Fokus
utama program pemberdayaan bagi masarakat miskin yang memungkinkan
dapat dikembangkan adalah integrasi jagung-ternak, agar mampu
memanfaatkan kotoran ternak sapi sebagai pupuk untuk memacu peningkatan
unsur hara tanah sebagai sumber utama kesuburan lahan usaha tani, terutama
untuk dapat meningkatkan produksi jagung mereka (jagung merupakan
produk unggulan masarakat Madura). Aspek tujuan integrasi jagungternak
lainnya adalah pemanfaatan limbah hijauan tanaman jagung sebagai sumber
pakan ternak yang utama, di samping penggunaan pakan konsentrat yang
dianjurkan, sebagai hasil sampingan dari produksi jagung yang dapat dimakan
dan dijual.
Selain itu, nilai tambah lain yang diperoleh petani adalah bertambahnya
pendapatan petani yang diperoleh dari hasil penjualan kelebihan kotoran
ternak tersebut kepada petani lain yang membutuhkannya sebagai pupuk
tanaman mereka. Ini bertujuan untuk mengemukakan dengan lebih
komprehensif pentingnya peran partisipasi masyarakat petani dalam
pelaksanaan program integrasi jagung-ternak yang dapat dijadikan sebagai
salah satu strategi pemberdayaan masarakat petani terhadap cengkeraman
kemiskinan. Partisipasi mereka dalam program tersebut sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan produksi ternak dan usaha tani jagung mereka
melalui pemanfaatan limbah hijauan dan kotoran ternak, dalam rangka
meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan upaya
mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntukabel antara
komponen pemerintah, masyarakat, dan swasta, yang dilandasi aturan
kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki
secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan
mengedepankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik (good
governance), yaitu: 1) partisipatif; 2) tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif
61
dalam proses pembangunan diantaranya melalui berbagai program kebijakan
pembangunan pertanian dimaksudkan agar dapat menjembatani antara
aspirasi dan kebutuhan masyarakat petani di pedesaan. Sisi lain, makna
partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa
terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan pertanian di
pedesaan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat
bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat petani dalam
penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Karenanya,
sifat dan naluri partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti
kelompok tani, paguyuban, dan lainnya sebagai lembaga tradisional yang
masih hidup dan bertahan terus diberdayakan, serta dimanfaatkan sebagai
asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya
yang menjiwainya. Di samping itu, dapat menjadi salah satu potensi yang bisa
dikembangkan menjadi lembaga, baik yang adopsi teknologi maupun yang
berorientasi pasar, serta yang bermanfaat bagi wadah untuk menampung dan
mengembangkan diri petani di pedesaan. Kelembagaan ini merupakan
konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian
masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Dengan demikian,
masyarakat selanjutnya jadi semakin dapat memposisikan diri pada nilai dan
kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi
dan individualis. Dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut
kelestarian dan kebersamaan semata, melainkan eksploitasi dan sukses
finansial semata. Jika masarakat tidak dapat mampu memposisikan diri pada
nilai dan kekuatan luar, maka masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor
yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah keterjaminan
kehidupan social yang dapat diarahkan kepada peningkatan daya tahan, daya
tarik dan daya saing yang berbasis market driven (memandu pasar) dan market
driving (yang mengemudikan pasar) baik melalui inovasi teknologi tepat guna
dan penyediaan, serta pengembangan infrastruktur yang terkait dan bantuan
kredit lunak dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi petani di lahan
marginal tersebut. Hal yang demikian ini dapat terlaksana dengan dukungan
aparat pemerintahan yang baik (good governance), demi tercapainya tujuan
pembangunan pertanian di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat petani yang umumnya miskin (secara ekonomi). Kemiskinan
merupakan suatu kenyataan yang melekat pada mayoritas masyarakat petani
di pedesaan, dan merupakan salah satu perwujudan dari keberagaman. Seperti
diketahui bahwa diantara kesamaan yang dimiliki masyarakat, terdapat pula
ketidaksamaan satu sama lain. Sebagian masyarakat mampu melakukan dan
memperoleh penghasilan untuk dapat menghidupi diri sendiri dan
keluarganya. Di sisi lain sebagian masyarakat secara ekonomi tidak mampu
melakukannya tanpa bantuan orang lain.


62
Kesimpulan

1. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi
dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis penegakan prinsip
keadilan; demokrasi ekonomi yang disertai kepedulian terhadap yang
lemah; pemihakan; pemberdayaan; perlindungan; penciptaan iklim
persaingan usaha yang sehat; intervensi yang ramah pasar; upaya
pemerataan dalam menciptakan pencitraan hubungan kemitraan antara
usaha besar dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK);
pemberdayaan ekonomi rakyat dengan upaya mempercepat pembangunan
pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah
perbatasan dan daerah terbelakang lainnya sebagai prioritas (seperti,
pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan
keterkaitan desa-kota dengan jejaringan produksi dan distribusi yang saling
menguntungkan); pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya
alam secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak
rakyat setempat, termasuk hak masyarakat adat dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup; serta pembangunan ekonomi rakyat
berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/ pertambakan,
pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala
mikro dan kecil.
2. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi
dengan pendistribusian asset ekonomi kepada masyarakat miskin yang
berbasis campur tangan dan penetrasi pemerintah untuk memudahkan
pelaksanaan kontrol global yang seringkali menyingkirkan norma dan nilai
sosial lokal. Selain, itu juga adanya program industrialisasi penting
memartabatkan nilai-nilai budaya local yang agamis.
3. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi
bersama pemerintah dan masyarakat dalam membina hubungan peranan
harmonis sebagai pemerakarsa dan partisipasi yang berfokus pada program
pemberdayaan pengembangan integrasi jagung-ternak. Selain itu, adanya
industrialisasi di Madura, penting memberdayakan pola pengolahan
industry dalam pemanfaatan potensi sumber alam.

You might also like