Teori belajar (learning theory), berbeda dengan teori pembelajaran (intstructional
theory). Teori belajar berusaha menjelaskan bagaimana kegiatan belajar
berlangsung, sedangkan teori pembelajaran (instruksional) berusaha memberikan resep-resep tertentu baqaimana menciptakan kondisi yang diperlukan agar dapat dicapai tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat dicapai. Karena itu teori belaiar bersifat deskriptif karena ingin menjelaskan bagaimana kegiatan belajar berlangsung menurut sudut pandangan tertentu. Teori tentang permbeiajaran (instrusinal) bersifat preskriptif karena memberikan resep-resep tertentu atau apa dan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan dalam rangka memberikan kondisi yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Sama seperti teori belajar yang terdapat bermacam-macam teori berdasarkan pandangan yang dimiliki terhadap apa yang dimaksud dengan belajar itu, maka demikian juga terdapat berbagai teori pembelajaran sesuai dengan adanya berbagai pendapat tentang apa yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar dan bagaimana seharusnya diciptakan kondisi yang dapat mempermudah untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Teori Belajar Behaviorisme Menurut aliran behaviorisme (tingkah laku), belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dana respon. Atau lebih tepat dapat dikatakan perubahan yang dialami murid/mahasiswa dalam kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Thorndike berpendapat bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkrit (dapat diamati) atau juga dapat berwujud sesuatu yang non konkrit (tidak dapat diamati). Watson, mengatakan bahwa stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Teori Watson disebut sebagai aliran tingkah laku (behaviorisme). Clark Hull. Edwin Guthrie dan B.F. Skinner, menggunakan variabel stimulus-respon dalam menjelaskan teori-teori mereka. Clark Hull sangat terpengaruh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti dalam teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasannya menempati posisi sentral. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis itu, meskipun respon mungkin bermacam-macam bentuknya. Edwin Guthrie berpendapat bahwa stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis. Hal penting dalam teori Guthrie adalah bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Karena itu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat dan bahkan menjadi kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. ltulah sebabnya mengapa kebiasaan merokok (sebagai suatu contoh) sulit ditinggalkan. Karena seringkali perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan hanya satu stimulus saja (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus-stimulus yang lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman, ingin nampak gagah, dan lain-lain. Maka setiap kali salah satu (atau lebih) stimulus itu muncul, maka segera pula keinginan merokok itu timbul. Guthrie juga percaya bahwa hukuman memegang peran penting dalam proses belajar. Menurut Guthrie, suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Menurut Skinner deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan). Pada dasarnya setiap manusia yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan tersebut. Sedangkan respon yang diberikan ini juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Karena itu untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Teori Belajar Kognitivisme Teori kognitif, sebaliknya, lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori sibernetik. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah dan melalui proses yang mengalir, bersambungan dan menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang utuh. Seperti bila orang sedang membaca suatu artikel, bukanlah huruf-huruf yang terpisah-pisah yang diserap dalam pikiran kita, tetapi adalah kata, kalimat dan alinea yang kesemuanya seolah menjadi satu kesatuan, mengalir dan masuk secara total bersamaan ke pikiran kita. Piaget menyebutkan ada tiga tahapan dalam proses belajar yaitu asimilasi (proses penyatuan, pengintegrasian), akomodasi (penyesuaian struktur kognitif) dan equilibrasi (penyeimbangan yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi). Misalnya seorang murid sudah mengetahui prinsip penjumlahan. Jika guru memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada di benak murid) dengan prinsip perkalian (sebagao informasi baru) inilah yang disebut proses asimilasi. Jika murid diberi sebuah soal perkalian. maka situasi ini disebut proses akomodasi. yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa tersebut dapat terus mengembangkan dan menambah ilmunya, tapi sekaligus menjaga stabililas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi yaitu proses penyeimbangan "antara dunia luar'' dan "dunia dalam". Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized). Dengan kemampuan equilibrasi yang baik, seseorang dapat dan mampu menata berbagai informasi yang dimilikinya dalam urutan yang baik, jernih dan logis. Menurt Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dimiliki siswa. Piaget membagi dalam empat tahap yaitu 1) Tahap sensomotorik (1,5 sampai 2 tahun) 2) Tahap praoperasional (2 - 3 sampai 7 - 6 tahun) 3) Tahap operasional konkrit (7 - 8 sampai 12 - 14 tahun) 4) Tahap operasional forntal (14 tahun atau lebih) Secara umum dapat dikatakan makin tinggi tingkat kognitif seseorang, maka makin teratur (dan juga makin abstrak) cara berfikirnya. Guru hendaknya memahami tahap- tahap perkembangan muridnya, agar dapat memberikan materi penjelasan dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap yang dimiliki siswanya. Ausubel berpendapat murid akan belajar dengan baik jika apa yang disebutnya "advance organizers" (pengatur kemajuan belajar) dapat didefinisikan dan disajikan dengan baik dan tepat oleh guru kepada siswanya . Advance organizers adalah konsep atau informasi umum yang mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.