You are on page 1of 26

MAKALAH

MK. TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR


Pengukuran Erosi di Lapangan
(Pengamatan Plot Erosi dan Parameter Klimatologi)



Oleh:
1. Norman Fajar (240110090088)
2. Lauravista S.F (240110090096)
3. Ray Chandra (240110090103)
4. Adhi Karno W (240110090108)
5. Gina Yunitasari (240110090109)
6. Humam M.Z (240110090073)
7. Grafi Tungga A. (240110090138)










JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012
BAB I
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan
partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk
hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi
tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses
penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau
gabungan keduanya.
Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di
kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna
lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan
perladangan, kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik
dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman
pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan
vegetasi alaminya. Khususnya di lahan kering, peluang terjadinya erosi sangat
tinggi terutama oleh angin. Sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan untuk
mengurangi dampak erosi tersebut.
Sebelum melakukan konservasi lahan, terlebih dahulu harus dilakukan
perhitungan erosi agar konservasi yang dilakukan tepat guna, efektif, dan efisien.
Oleh karena itu mahasiswa khususnya mahasiswa teknik pertanian perlu
melakukan perhitungan erosi di lahan dalam konteks ini adalah plot erosi yaitu
pengukuran erosi berbentuk pemodelan dari lahan yang sebenarnya.
Pengukuran di lapangan dilakukan dengan menggunakan sistem petak
(plot) dengan ukuran, kemiringan, panjang lereng dan jenis tanah tertentu
(diketahui). Ukuran petak yang standar mempunyai panjang 22 m (memanjang ke
arah kemiringan lahan), lebar 1,8 m, namun tetap dimungkinkan untuk membuat
petak dengan ukuran yang berbeda. Model ini jarang digunakan kerena
membutuhkan biaya yang cukup besar dan juga waktu yang tepat yaitu pada saat
musim hujan. Akan tetapi,model ini memberikan data yang akurat karena
dilakukan pengukuran langsung dilapangan.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami cara pengukuran erosi dengan menggunakan
metode petak percobaan.
2. Mahasiswa dapat memahami cara pengukuran erosi di lapangan.
3. Mahasiswa dapat menghitung data hujan, erosi dan limpasan. Serta
menyiapkan data sesuai format.
4. Mahasiswa dapat membuat grafik hubungan antara parameter sesuai tugas
dan dapat menganalisis sesuai teori dari pustaka.
5. Mahasiswa dapat memilih tanaman dan tindakan konservasi sehingga
menurunkan nilai harkat Indeks Bahaya Erosi dari tiap-tiap perlakuan.
1.3 Metodologi Pelaksanaan
1.3.1 Alat dan Bahan
1. Plot erosi beserta kelengakapan bak/ember
2. Pita ukur 3 m dan 50 m
3. Pengukur sudut kemiringan
4. Ombrometer
5. Pengukur waktu
6. Gelas ukur 1 liter sebagai pengukur volume curah hujan, air limpasan, dan
sedimen
7. Plastik 0,5 kg dan 5 kg sebagai tempat tanah tererosi
8. Oven
9. Cawan
10. Kanebo untuk mengeringakan ember dan menyerap air pada tanah yang
tererosi
1.3.2 Prosedur Pelaksanaan
1. Mahasiswa melakukan pengamatan durasi hujan dan ketinggian curah
hujan
2. Setelah hujan selesai, pengamatan dilakukan pada volume limpasan dan
sedimen yang terdapat pada bak/ember di outlet plot erosi.
A. Volume air limpasan / Va (cm
3
/ml)
Va diukur dari keseluruhan air dan sedimen yang tertampung di bak
(V1 ml) kemudian dikurangi dengan volume dariberat kering tanah (Vt).
Va = V1 - Vt
B. Berat kering tanah (gr)
Jumlah tanah tererosi didapat dari jumlah keseluruhan tanah yang
tertampung di bak plot erosi. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Ambil keseluruhan tanah yang tertampung di plot erosi, kering anginkan
selama satu hari. Kemudian timbang. (Berat basah / A gram)
2. Ambil sampel dari A gram sebanyak 3 cawan (Berat sampel basah / B1,
B2, B3 gram)
3. Berat kering tanah tererosi
E = (A/B) x C
E = Berat kering tanah tererosi
A = Berat basah tanah tererosi
B = Berat sampel basah
C = Berat sampel kering
C. BD Tanah (gr/cm
3
)
1. Ambil seberat tanah kering mutlak missal beratnya adalah A gram
2. Masukkan ke dalam gelas ukur berisi air sehingga terbaca perubahan
volume air (V)
3. BD tanah = A/V (gr/cm
3
)
BAB II
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Menghitung Erosi di Lapangan
Dari berbagai macam cara dalam monitoring akan tingkat lajunya erosi,
maka ada dua cara pendekatan yang telah banyak dipergunakan di berbagai
negara dewasa ini ialah :
a. Dengan monitoring sediment transport yang melalui suatu titik
pengamatan pada pengeluaran dari suatu daerah pengaliran dan cara ini
relatif lebih mudah.
b. Mempelajari kejadian erosi itu sendiri, termasuk beberapa pengukuran
diatas permukaan tanah sendiri. Untuk mempekirakan besarnya erosi
dipakai formula Universal Soil Loss Equation.
Perhtiungan erosi di lapangan dapat dilakukan dengan metode petak kecil
yaitu suatu metode suatu metode yang menggunakan lahan sepanjang 22 m dan
lebar 2 m untuk tanaman semusim sedangkan untuk tanaman tahunan lebar petak
4 m dan panjang lereng 22 m. Ditentukan pula bahwa kemiringan lereng standar
yang digunakan untuk pengukuran erosi dengan petak kecil ini adalah 9%.
Prinsip dari metode petak kecil ini adalah bahwa sekeliling petak diberi
sekat yang maksudnya agar curah hujan yang jatuh di atas permukaan lahan tidak
terinfiltrasi secara horizontal ke kanan dan ke kiri petak; sementara di ujung petak
ditampung dengan penampung selebar petakan yang diberi nama kolektor drain.
Metode petak kecil ini menampung erosi dan limpasan hujan pada setiap kejadian
hujan yang menimbulkan erosi.
Pengukuran jumlah tanah tererosi adalah merupakan kumulatif dari jumlah
hari kejadian hujan yang menimbulkan erosi. Misalnya untuk tanaman jagung
dengan umur tanaman seratus hari maka dengan pengukuran di lapangan ini
didapatkan data jumlah tanah erosi seumur tanaman jagung. Pengukuran erosi
dengan macam ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar,
namun hasilnya akurat.
2.2 Cara Pendugaan Erosi
Pendugaan erosi diperlukan untuk meramalkan besar erosi yang telah
dan/atau akan terjadi pada suatu lahan dengan atau tanpa pengelolaan tertentu.
Selain itu juga digunakan untuk memilih praktek penggunaan lahan dalam arti
luas yang mempunyai produktivitas tinggi dan berkelanjutan. Menurut Rahim
(2000:55) pendekatan erosi dapat dilakukan dengan cara:
1) Pendekatan Laboratorium
Pendugaan erosi di laboratorium adalah dengan melakukan pengukuran erosi
tanah yang ditempatkan pada petak-petak kecil dan diberi perlakuan hujan buatan
(rainfall simulator). Tetapi perilaku erosi di laboratorium tidak sama dengan
keadaan alami di lapangan.
2) Pendekatan Lapangan
Pengukuran erosi yang dilakukan di lapangan adalah dengan menggunakan
sistem petak kecil maupun petak yang berukuran besar. Pendugaan dengan
menggunakan petak percobaan, pada dasarnya memang mendekati kondisi alami
yang sebenarnya. Namun cara ini membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu yang
tidak kecil. Selain itu juga untuk mengetahui laju dan jumlah erosi yang terjadi
pada berbagai jenis penggunaan lahan dan berbagai jenis penggunaan tanaman
pada berbagai jenis tanah dan topografi (kemiringan dan panjang lereng) juga
dibutuhkan biaya yang tinggi, tenaga kerja yang banyak, dan waktu yang relatif
lama.
3) Pendekatan Gabungan
Pendekatan ini dilakukan melalui interprestasi data dengan penginderaan jauh
(remote sensing images) misalnya foto udara dan citra satelit. Dengan metode ini
erosi bentang lahan pada areal yang luas dapat dilakukan dengan mudah dan
efektif. Metode ini dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sarana dan prasarana
yang memadai terutama peralatan untuk pemrosesan citra (image processor) dan
juga alat untuk interpretasi potret udara meliputi stereoskop dari yang sederhana
sampai yang lebih canggih.
4) Pendekatan Permodelan
Pendekatan ini adalah dengan menggunakan pendekatan matematika, yang
dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978), rumus ini pertama kali
dikembangkan dari kenyataan bahwa erosi adalah fungsi erosivitas dan
erodibilitas. Rumus ini dikenal dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah
(PUKT) atau Universal Soil-Loss Equation (USLE). Rumus ini digunakan di
suatu wilayah dimana curah hujan dan jenis tanahnya relatif sama sedangkan yang
beragam adalah faktor panjang lereng, kemiringan lereng, serta pengelolaan lahan
dan tanaman (L, S, P, C).
Rumus USLE tersebut adalah sebagai berikut (Wischmeir dan Smith, 1978
dalam Asdak, 2004: 355):
A = R K LS C P
Dimana :
A = Besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan. Besarnya kehilangan tanah
atau erosi dalam hal ini hanya terbatas pada erosi kulit dan erosi alur. Tidak
termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak termasuk
sedimen yang terendapkan di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar.
R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu, umumnya
diwujudkan dalam bentuk indeks erosi rata-rata (El). Faktor R juga
merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan
yang dapat menyebabkan terjadinya erosi.
K = Faktor erodibilitas tanah untuk horizon tertentu, dan merupakan kehilangan
tanah per satuan luas untuk indeks erosivitas tertentu. Faktor K adalah indeks
erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan mudah tidaknya partikel-
partikel tanah terkelupas dari agregat tanah oleh gempuran air hujan atau air
larian.
L = Faktor panjang lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan
perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng tertentu
dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft.
S = Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan
merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk
tingkat kemiringan lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk
kemiringan 9%.
C = Faktor pengelolaan (cara bercocok tanam) yang tidak mempunyai satuan dan
merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada
kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan
tanah pada keadaan tilled continuous fallow.
P = Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan
dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah
pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya, teknik penanaman
sejajar garis kontur, penanaman dengan teras, penanaman dalam larikan)
dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus
terhadap garis kontur.
Nilai besaran erosi pada suatu lahan dapat dibagi 2 (dua) bagian yaitu:
1. Erosi Potensial
Erosi potensial adalah erosi yang pada dasarnya dititikberatkan pada
faktor-faktor yang diluar pengaruh aktivitas manusia seperti faktor-faktor diatas
ditambah dengan faktor yang sangat dipengaruhi oleh akyivitas manusia, seperti
kemiringan lahan dan jenis tanah . Rumusnya adalah:
A = R K LS C
2. Erosi Aktual
Erosi aktual adalah erosi yang dipengaruhi oleh vegetasi penutup lahan
dan praktek tata guna lahan. Rumusnya adalah:
A = R K LS C P

2.2.1 Faktor perhitungan USLE
Dari persamaan USLE tersebut maka besarnya erosi diperoleh dari
perhitungan faktor-faktor di bawah ini:
2.2.1.1 Faktor Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas adalah kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi. Untuk
menentukan faktor erosivitas dapat diukur dengan menggunakan rumus yang
dipakai oleh Soemarwoto 1991 berikut:
R = 0,41 x H
1.09

Keterangan:
R : Besarnya Erosivitas
H : Curah Hujan Tahunan
Indeks erosivitas hujan (R) yang digunakan adalah EI30 yang sangat
berkorelasi dengan erosi pada beberapa tempat di Jawa. EI30 merupakan
perkalian antara energi kinetik hujan (E) dengan intensitas hujan maksimum
selama 30 menit (Wischmeier et al., 1958).
Rumus penduga R atau EI30 menurut Lenvain, 1975 (dalam Bols, 1978)
adalah :
R = 2,34H
1,98
R : curah hujan (dalam dm)
Rumus penduga R atau EI30 menurut Lenvain, (Asdak, 2007) adalah :
R = 2,21H
1,98

R : curah hujan (dalam cm)
2.2.1.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah (K) adalah besaran yang menunjukkan kemampuan
tanah dalam menahan daya pemecahan tanah oleh air hujan. Besarnya faktor
erodibilitas tanah sangat dipengaruhi oleh struktur tanah, kandungan bahan
organik, tekstur tanah dan permeabilitas tanah.
Hujan yang sama pada tanah dengan nilai Erodibilitas (K) yang tinggi akan
lebih mudah tererosi dari pada tanah dengan indeks erodibilitas rendah. Untuk
penentuan erodibilitas tanah dengan kandungan debu dan pasir sangat halus > 70
% dihitung dengan rumus:
100 K = 1,292[2,1M
1,14
(10
-4
)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3)]

Keterangan:
K = Indeks erodibilitas tanah
M = (% debu + pasir sangat halus) (100- % lempung)
a = Bahan organik (% C organik x 1.724)
b = Kode struktur tanah
c = Kode tingkat permeabilitas tanah.
Penilaian struktur dan permeabilitas tanah masing-masing menggunakan
tabel 1 dan 2 yaitu sebagai berikut :


Tabel 1. Penilaian struktur tanah
Tipe Strukur tanah Kode Penilaian
Granular sangat halus (very fine granular) 1
Granular halus (fine granular) 2
Granular sedang dan besar (medium, coarse granular) 3
Gumpal, lempeng, pejal (blocky, platty, massif) 4
Sumber: Wischmeier et al., 1971

Tabel 2. Penilaian permeabilitas tanah
Kelas permeabilitas tanah Kode penilaian
Cepat (rapid)
1
Sedang sampai cepat (moderate to rapid)
2
Sedang (moderate)
3
Sedang sampai lambat (moderate to slow)
4
Lambat (slow)
5
Sangat lambat (very slow)
6
Sumber: Wichmeser et al. (1971)
Tabel 3. Prakiraan nilai K untuk beberapa jenis tanah
No Jenis Tanah Nilai K
1 Latosol (haplorthox) 0,09
2 Latosol merah (humox) 0,12
3 Latosol merah kuning (typic haplorthox) 0,26
4 Latosol coklat (typic tropodult) 0,31
5 Latosol (epiaquatic tropodult) 0,31
6 Regosol ((troporthents) 0,14
7 Regosol (oxic dystropept) 0,12 0,16
8 Regosol (typic entropept) 0,29
9 Gley humic (typic tropoquept) 0,13
10 Gley humic (trapoquept) 0,20
11 Gley humic (aquic entropept) 0,26
12 Lithosol (litic eutropept) 0,16
13 Lithosol (orthen) 0,29
14 Grumosol (chromudert) 0,21
15 Hydromorf abu-abu (tropofluent) 0,20
16 Podsolik (tropudults) 0,16
17 Podsolik merah kuning (tropudults) 0,32
18 Mediteran (tropohumults) 0,10
19 Mediteran (tropaqualfs) 0,22
20 Mediteran (tropudalfs) 0,23
Sumber : Arsyad, 1989 dan Asdak, 1995
2.2.1.3 Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Dalam USLE faktor panjang dan kemiringan lereng digabung menjadi
satu. Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan,
semakin curam suatu lereng persentase kemiringan semakin tinggi sehingga
makin cepat laju limpasan permukaan. Dengan singkatnya waktu infiltrasi, maka
volume limpasan semakin besar. Jadi dengan meningkatnya persentase
kemiringan, erosi yang terjadi juga semakin besar. Untuk menghitung nilai LS
digunakan rumus:
LS = (, + , +, )/
Keterangan:
Ls = Faktor panjang dan kemiringan lahan
L = Panjang lereng (m)
S = Kemiringan lereng (%)
Untuk karakteristik DAS, kemiringan lereng pada setiap satuan lahan perlu
diklasifikasikan, klasifikasi kemiringan lereng menurut Chay Asdak adalah
sebagai berikut:
Tabel 4. Nilai Kemiringan Lereng
No Kelas Lereng Nilai Klasifikasi
1 I 0 8 % Datar
2 II 8 15 % Landai
3 III 15 25 % Agak cuiram
4 IV 25 45 % Curam
5 V >45 % Sangat curam

Besarnya nila LS juga dapat diperoleh dengan menggunakan Nomograf
Faktor LS disajikan pada gambar berikut :

Gambar 1. Nomograf Faktor LS
2.2.1.4 Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor C adalah faktor pengelolaan tanaman. Faktor pengelolaan tanaman
merupakan gabungan antara jenis tanaman, pengelolaan sisa-sisa tanaman, tingkat
kesuburan, dan waktu pengelolaan tanah. Adanya tanaman dapat menekan laju
limpasan permukaan dan erosi. Tanaman mampu mempengaruhi laju erosi karena:
1) adanya intersepsi air hujan oleh tajuk daun
2) adanya pengaruh terhadap limpasan permukaan.
3) adanya pengaruh terhadap sifat fisik tanah.
4) adanya peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi.
Dengan adanya tanaman menyebabkan air hujan yang jatuh tidak langsung
memukul massa tanah, tetapi terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman.
Selanjutnya tidak semua air hujan tersebut diteruskan ke permukaan tanah karena
sebagian akan mengalami evaporasi. Kejadian ini akan mengurangi jumlah air
yang sampai ke permukaan tanah yang disebut hujan lolos tajuk. PUSLITTAN
telah melaksanakan penelitian-penelitian lapangan untuk menilai faktor C
beberapa jenis pertanaman. Nilai faktor C dapat dilihat pada tabel 2 berikut:



Tabel 5. Prakiraan Nilai C
No Macam Penggunaan
Nilai Faktor
(C)
1. Tanah terbuka tanpa tanaman 1,000
2. Sawah 0,010
3. Tegalan tidak dispesifikan 0,700
4. Ubi kayu 0,800
5. Jagung 0,700
6. Kedelai 0,399
7. Kentang 0,400
8. Kacang Tanah 0,200
9. Padi 0,561
10. Tebu 0,200
11. Pisang 0,600
12. Akar wangi (sereh wangi) 0,400
13. Rumput bede (tahun pertama) 0,287
14. Rumput bede (tahun kedua) 0,002
15. Kopi dengan penutup tanah buruk 0,200
16. Talas 0,850
17. Kebun campuran

- Kerapatan tinggi 0,100
- Kerapatan sedang 0,200
- Kerapatan rendah 0,500
18. Perladangan 0,400
19. Hutan alam

- Seresah banyak 0,001
- Seresah sedikit 0,005
20. Hutan Produksi

- Tebang habis 0,500
- Tebang Pilih 0,200
21. Semak belukar/ padang rumput 0,300
22. Ubi kayu + kedelai 0,181
23. Ubi kayu + kacang tanah 0,195
24. Padi Sorgun 0,345
25. Padi kedelai 0,417
26. Kacang tanah + gude 0,495
27. Kacang tanah + Kacang tunggak 0,571
28. Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0,049
29. Padi + mulsa jerami 4 ton/ ha 0,096
30. Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ ha 0,128
31. Kacang tanah + mulsa clotaria 3 ton/ ha 0,136
32. Kacang tanah + mulsa kacang tunggak 0,259
33. Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ ha 0,377
34. Padi + mulsa crotalaria 3 ton/ ha 0,387
35. Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami 0,079
36. Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0,357
37. Alang-alang murni subur 0,001
38. Karet * 0,200
39. Permukiman

** 0,500
Sumber: Data Pusat Penelitian Tanah (1973 1981) tidak dipublikasikan
*) Morgan, 1987 dalam Rahim, 2000
*) Setya Nugraha, 1997
Tabel 6. Nilai Faktor C untuk Berbagai Tanaman dan Pengelolaan Tanaman
No Macam Penggunaan
Nilai Faktor
(C)
1. Hutan A atau semak belukar dengan luas
penutupan lahan >80%
0,001
2. Hutan B atau semak belukar dengan luas
penutupan lahan 50 80%
0,08
3. Lahan rumput 0,2
4. Perkebunan 0,3
5. Persawahan (luas areal > 80%) 0,001
6. Persawahan (luas areal 50 80%) 0,04
7. Persawahan ( luas areal 20 50%) 0,07
8. Sawah tadah hujan 0,1
9. Lahan kering 0,5
10. Kebun campuran 0,25
11. Lahan gundul 1,0
12. Daerah longsoran 1,0
13. Jurang (cliff portion) 0,3
14. Perkampungan A (>80%) 0,4
15. Perkampungan B (50-80%) 0,35
16. Perkampungan C (20-50%) 0,3
17. Sungai A (river deposit area) 1,0
18. Sungai B (paddy used area) 0,02
19. Bangunan beton 0,0
Sumber : Kitahara (2002), M.J Kirby (2002), RP Stone (2004)
2.2.1.5 Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah (P)
Faktor P adalah faktor tindakan konservasi tanah. Faktor ini merupakan
bentuk usaha manusia untuk membatasi semaksimal mungkin pengaruh erosi
terhadap lahan.
Untuk penilaian faktor P di lapangan akan lebih mudah bila digabungkan
dengan faktor C, sebab kenyataannya kedua faktor tersebut berkaitan erat. Faktor-
faktor pada PUKT masing-masing telah tersedia pada banyak publikasi. Data
tersebut diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang banyak dilakukan di tanah air:
Tabel 7. Prakiraan Nilai P untuk Berbagai Tindakan Konservasi
No Tindakan Konservasi Tanah Nilai P
1. Teras Bangku
1)



Konstruksi Baik 0,04
Konstruksi Sedang 0,15
Konstruksi Kurang Baik 0,35
Teras Tradisional 0,40
2. Strip tanaman rumput bahia 0,40
3. Pengelolaan tanah dan penanaman menurut garis kontur


Kemiringan 0-8 % 0,50
Kemiringan 9-8 % 0,75
Kemiringan lebih dari 20 % 0,90
4. Tanpa tindakan konservasi 1,00
Sumber : Data pusat penelitian tanah (1973-1981 dalam Arsyad, 1989: 259)
Keterangan:
1)
Konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar dan keadaan
talud teras
2.2.2 Nilai Toleransi Erosi atau Toleransi Soil Loss (TSL)
Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan, adalah
perlu karena tidaklah mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah-tanah
yang diusahakan untuk pertanian. Kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar
terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berjangkarnya akar
tanaman dan untuk menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman
sehingga tanaman dapat tumbuh secara optimal.
Nilai toleransi erosi atau Tolerable Soil Loss (TSL) adalah laju erosi yang
dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/hektar/tahun yang terbesar yang masih dapat
dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup
untuk pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya
produktivitas yang tinggi secara lestari.
Suatu tanah yang dalam, bertekstur sedang dengan permeabilitas sedang
dan memiliki lapisan bawah yang baik bagi pertumbuhan tanaman, memiliki nilai
TSL lebih besar daripada tanah dangkal. Faktor-faktor yang dipertimbangkan
dalam menetapkan nilai TSL adalah sebagai berikut :
a. Kedalaman tanah
b. Ciri-ciri fisik dan sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan akar
c. Pencegahan terbentuknya erosi parit
d. Penyusutan kandungan bahan organik.
e. Kehilangan unsur hara
f. Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sedimen di lapangan.
Tabel 8 . Pedoman Penetapan Nilai TSL
No Sifat Tanah dan Substratum
Nilai TSL
(ton/ha/th)
1. Tanah dangkal (<25 cm) di atas batuan 0
2. Tanah sangat dangkal (<25 cm) di atas bahan telah
melapuk (tidak terkonsolidasi)
4,8
3. Tanah dangkal (25-50 cm) di atas bahan telah melapuk 9,6
4. Tanah dengan kedalaman sedang (50-90 cm) di atas
bahan telah melapuk
14,4
5. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah
yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk
16,8
6. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah
berpermeabilitas sedang, di atas substrata yang telah
melapuk
19,2
7. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah
berpermeabilitas lambat, di atas substrata yang telah
melapuk
24,0
8. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah
permeable, di ata substrata yang telah melapuk
30,0

2.2.3 Indeks Bahaya Erosi
Indeks bahaya erosi dapat diprediksi dengan cara memperhatikan adanya
erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur ( rill erosion), dan erosi parit (
gully erosion). Pendekatan lain untuk memprediksi Indeks bahaya erosi dilakukan
adalah dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun.
Indeks bahaya erosi disajikan dalam tabel di bawah ini.
Berdasarkan penelitian Hardjowigeno (1987) dalam Arsyad (1989) dapat
ditetapkan besarnya nilai TSL maksimum untuk tanah-tanah di Indonesia adalah
2,5 mm pertahun, yaitu tanah yang dalam dengan lapisan bawah (subsoil) yang
permeable dengan substratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami
pelapukan).
Indeks bahaya erosi dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut
(Hammer, 1981) :

Tabel 9. Indeks Bahaya Erosi
No Indeks Bahaya Erosi Kategori
1. < 1,00 Rendah
2. 1,01 4,00 Sedang
3. 4,01 10,00 Tinggi
4. > 10,00 Sangat tinggi
Sumber : Hammer, 1991

BAB III
3 HASIL

3.1 Hasil Pengamatan
Berikut merupakan tabel hasil perhitungan plot erosi yang berlokasi di
sekitar kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Pengambilan data dilaksanakan dari tanggal 23 April 2012 3 Juni 2012.
3.1.1 Perlakuan 1
Tabel 3.1 Pengamatan Plot Erosi
Informasi Plot Penelitian
Panjang (meter) 21,7
Lebar (meter) 2,27
Kemiringan (derajatdanpersen) 17,34
o
dan 31,22 %
Mulsa (ton/ha dan kg/plot) 4 ton/ha atau 19,7 kg/plot

Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Plot Erosi dengan Mulsa 4 ton/ha

3.1.2 Perlakuan 2
Tabel 3.3 Pengamatan Plot Erosi
Informasi Plot Penelitian
Panjang (meter) 21,16
Lebar (meter) 2,2
Kemiringan (derajatdanpersen) 17,34
0
atau 31,22 %
Mulsa (ton/ha dan kg/plot) 6 ton/ha atau 27,93 kg/plot

Tabel 3.4 Hasil Pengamatan Plot Erosi dengan Mulsa 6 ton/ha

3.1.3 Perlakuan 3
Tabel 3.5 Pengamatan Plot Erosi
Informasi Plot Penelitian
Panjang (meter) 21,16
Lebar (meter) 2,27
Kemiringan (derajatdanpersen) 17,34
o
dan 31,22 %
Mulsa (ton/ha dan kg/plot) -


Tabel 3.6 Hasil Pengamatan Plot Erosi Tanpa Mulsa
3.1.4 Perlakuan 4
Tabel 3.7 Pengamatan Plot Erosi
Informasi Plot Penelitian
Panjang (meter) 21,16
Lebar (meter) 2,2
Kemiringan (derajatdanpersen) 27 %
Mulsa (ton/ha dan kg/plot) 2 ton/ha atau 9,3 kg/plot

Tabel 3.8 Hasil Pengamatan Plot Erosi dengan Mulsa 2 ton/ha

3.1.5 Grafik Hubungan

Grafik 1. Hubungan tinggi curah hujan dengan erosi

Grafik 2. Hubungan tinggi curah hujan dengan limpasan


y = 5.535x + 29.76
R = 0.013
0.0
100.0
200.0
300.0
400.0
500.0
600.0
2.0 6.9 7.9 8.6 10.8 13.9 14.2 18.3 19.3 20.4 27.4
E
r
o
s
i

(
k
g
/
h
a
)
Tinggi curah hujan (mm)
4 ton/ha
6 ton/ha
0 ton/ha
2 ton/ha
y = 52.56x + 3368.
R = 0.026
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
20000.0
25000.0
30000.0
35000.0
40000.0
45000.0
2.0 6.9 7.9 8.6 10.8 13.9 14.2 18.3 19.3 20.4 27.4
L
i
m
p
a
s
a
n

(
l
t
/
h
a
)
Tinggi curah hujan (mm)
4 ton/ha
6 ton/ha
0 ton/ha
2 ton/ha
3.2 Prosedur Analisis dan Pembahasan
Setelah melaksanakan perhitungan erosi dengan metode petak (plot erosi)
terdapat beberapa hal yang harus dibahas, seperti pelaksanaan prosedur,
kesesuaian data pengamatan dengan literatur, variabel yang mempengaruhi,
permasalahan yang terjadi, sampai pada hasil perhitungan bila dibandingkan
dengan teori.
Pada pelaksanaan prosedur, praktikan telah dibagi menjadi 4 kelompok
sesuai dengan banyaknya perlakuan. Setiap kelompok tersebut bertanggung jawab
terhadap masing-masing plot erosi. Tetapi pada perlakuan 2 terdapat data yang
kurang yaitu data limpasan pada tanggal 21 Mei 2012. Hal ini menyebabkan
grafik yang dihasilkan pun menjadi terputus.
Perhitungan erosi ini tidak jauh berbeda dengan resitasi mengenai
perhitungan erosi di lapangan. Perhitungan erosi yang bergantung pada volume
(Va), dan berat tanah basah, tanah kering (A dan B). Nilai erosi yang terlihat pada
praktikum ini dipengaruhi oleh iklim (curah hujan), tutupan lahan (mulsa), dan
faktor konservasi (kemiringan lahan).
Pengolahan data untuk memperoleh grafik cukup rumit, karena harus
mengurutkan data terlebih dahulu dari curah hujan terkecil sampai terbesar. Hal
ini dilakukan dengan harapan grafik yang dihasilkan mudah dibaca dan
dimengerti.
Menurut Suripin (2001), faktor iklim yang besar pengaruhnya terhadap
erosi tanah adalah hujan, temperatur dan suhu. Morgan (1963) menyimpulkan
bahwa rata-rata kehilangan tanah perkejadian hujan meningkat seiring dengan
meningkatnya intensitas hujan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa tingginya
curah hujan berbanding lurus dengan besarnya erosi yang terjadi. Hal itu dapat
terlihat di dalam Grafik 1. Dimana fungsi yang dihasilkan adalah fungsi linear
meskipun nilai R
2
ny sangat kecil yaitu 0,13. Nilai ini menunjukkan simpangan
yang terjadi dalam data. Semakin mendekati 1, semakin tinggi akurasi datanya.
Pada Grafik 2 juga terlihat bahwa trendline menunjukkan fungsi linear meskipun
nilainya hanya 0,26.
Apabila dilihat dari hasil pengamatan, terhadap besarnya erosi yang terjadi
sangat dipengaruhi oleh mulsa. Terlihat pada tabel, jumlah erosi terbesar terjadi
pada plot tanpa mulsa yaitu 692 kg/ha. Diikuti oleh plot dengan mulsa 6 ton/ha
yaitu sebesar 662 kg/ha. Apabila diperbandingkan diperbandingkan dengan tabel
prakiraan nilai C oleh Morgan (1987), Rahim (2000), dan Setya (1997) yang
dirangkum oleh PUSLITTAN, jumlah jerami yang ideal yaitu berkisar pada angka
2 4 ton/ha. 2/ ton/ha untuk mulsa jerami, 3 ton/ha untukmulsa clotaria, dan 4
ton/ha untuk mulsa jagung.
Permasalahan yang muncul ketika melaksanakan perhitungan erosi
menggunakan petak adalah banyaknya gangguan dari alam, misalnya, saat
menimbang volume dan berat tanah, bisa saja terdapat hewan di sekitar plot yang
tidak sengaja masuk.
Pengolahan data yang banyak dapat menggunakan bantuan ms.excel.
Terdapat beberapa data yang harus diubah dulu formatnya agar dapat dihitung
menggunakan ms.excel. Hal ini cukup memperlambat pengerjaan.
BAB III
4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah melaksanakan praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap besarnya jumlah erosi
adalah curah hujan.
2. Perhitungan erosi dapat dilaksanakan dengan metode petak dan metode
prakiraan.
3. Faktor C (tutupan lahan) dan P (konservasi oleh manusia) merupakan
faktor yang mampu direkayasa. Jika diolah dengan baik, maka jumlah
erosi pun dapat berkurang secara signifikan.
4. Plot yang memiliki jumlah erosi terbesar adalah plot tanpa mulsa. Hal
ini disebabkan oleh tanpa adanya tutupan lahan maka nilai C mendekati
1.
5. Jerami yang terlalu banyak tidak baik bagi lahan. Jumlah jerami yang
ideal berkisar antara 2 4 ton kg/ha
6. Metode petak lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan metode USLE
4.2 Saran
1. Praktikan terlebih dahulu harus memahami materi agar praktikum berjalan
sesuai prosedur.
2. Perhitungan volume, berat bsaha, dan berat kering hendaknya dilakukan
secara teliti agar data yang dihasilkan akurat.
3. Lebih sering mengecek plot erosi yang dibuat demi keakuratan data.





5 DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. hlm.103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering:
Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Bafdal, N., Amaru, K., Suryadi, E., & Ardiansah, I. (2012). Menghitung Curah
Hujan. In N. Bafdal, K. Amaru, E. Suryadi, & I. Ardiansah, Penuntun
Praktikum Teknik Pengawetan Tanah dan Air (pp. 01-02). Bandung:
Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian, FTIP, Universitas
Padjadjaran.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB-Press. Bogor.
Asdak, Chay., 1991, Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, Gadjah
Mada University Press,004.

You might also like