You are on page 1of 26

3

PENDAHULUAN

Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain
itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar,
2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
(Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah
ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas
yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani,
dan otore (Kerschner, 2007).

Klasifikasi
Gambar 1. Skema Pembagian Otitis Media

4
Gambar 2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala



Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain
tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%)
dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-
patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai
pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga
5
sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus,
atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap
fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi
bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay
(ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas
kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran
pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
(Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada
anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras
Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat
6
membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-
anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti
di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan
adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi
tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah.
Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran
napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,
2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang
tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta
membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut
Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:




7
Tabel 1. Skor OMA
Skor Suhu Gelisah Tarik
telinga
Kemerahan
Pada
Membran
Timpani
Bengkak
Pada
Membran
Timpani
0 < 38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 > 39,0 Berat Berat Berat Berat,
termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0
hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat
atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA
ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau
39,5C rektal (Titisari, 2005).

Fisiologi, Patologi dan Patogenesis
Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada
otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah
nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru
terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat
mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi
muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan
tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius
mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret.
8
Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah
dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring
ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan
telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada
mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba
Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan
refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur
proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat
obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi
cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga
tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga
tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.
Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-
mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius.
Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga
menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus
bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu
karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak
bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses
9
inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di
telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan
dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme
pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi
adenoid (Kerschner, 2007).

Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan
orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan
kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran
pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang
dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar,
2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu
drainase melalui tuba Eustachius.
Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua
berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius
meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem
pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi
di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar
dibanding orang dewasa.
Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu,
adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah
melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).






10
Gambar 3. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang
Dewasa



Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba
Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar 4. Membran Timpani Normal

11

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi
membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,
refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani
kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku
di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan
otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di
kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan
satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).




12
Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis


3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain
itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel
superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah
liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu
gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan
pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan
kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik
akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-
vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju
13
liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup
kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih
sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen


4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat
pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya
pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau
nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut
otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap
berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).


14
Gambar 7. Membran Timpani Peforasi


5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut
menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa
perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara
terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa
otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di
kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).

Diagnosis
Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
15
berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,
yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat
cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat
bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran
timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala
inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi
semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi
39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat
menyerupai OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda
yang ada pada OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat
menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.




16
Table 2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi
Gejala dan tanda Otitis Media Akut

Otitis Media
dengan Efusi
Nyeri telinga (otalgia), menarik
telinga (tugging)
+ -
Inflamasi akut, demam + -
Efusi telinga tengah + +
Membran timpani membengkak
(bulging), rasa penuh di telinga

+/- -
Gerakan membran timpani
berkurang atau tidak ada

+ +
Warna membran timpani
abnormal seperti menjadi putih,
kuning, dan biru

+ +
Gangguan pendengaran + +
Otore purulen akut + -
Kemerahan membrane timpani,
erythema
+ -

Penatalaksanaa
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
17
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian
antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi da lam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin
masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10
hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik
18
dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian
antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi
supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri
yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of
Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Usia Diagnosis Pasti (certain) Diagnosis meragukan
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika
gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika
gejala ringan
Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
19
cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat
dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of
Pediatric, 2004).

Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi
(Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga
luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak
harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat
pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode
OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan
terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi
second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
20
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara
signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi
otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak
pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2007).

Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai
dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut
Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada
komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis
nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan
intracranial (abses otak, tromboflebitis).

Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

21
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama Pasien : An. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sindurjan RT 01/02 Purworejo
Tanggal Masuk RS : 20 Agustus 2012
Ruang : Poli THT RSUD Saras Husada
Dokter yang merawat : dr. Tolkha Amiruddin, Sp. THT, KL

B. Anamnesa
Keluhan Utama : Telinga kanan nyeri
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan telinga kanan nyeri. Nyeri dirasakan sudah
sejak kemarin (1 hari). Anak mengatakan juga disertai demam. Pendengaran
dirasakan anak tidak menurun dan merasakan penuh pada telinga. Tidak ada
riwayat trauma sebelumnya. Tidak ada keluar cairan dari telinga.

2. Riwayat Penyakit Dahulu
Anak belum pernah merasakan gejala yang sama. Riwayat sering
membersihkan teling sendiri (+), Asthma (-), Alergi (-), Riwayat anak sering
batuk dan bersin (-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.

4. Review Sistem
Kepala & Leher : nyeri telinga (+), disfagia (-)
Respiratorius : sesak (-), batuk (-)
22
Cardiovascular : nyeri dada (-), sesak (-)
Gastrointestinal : Abdominal pain (-), mual (-), muntah (-)
Urogenital : BAK (+)

C. Pemeriksaan Fisik
1. Kesan umum : Baik.
Kesadaran : Komposmentis.
2. Tanda utama
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 84 x/m, isi dan tegangan : reguler
Suhu : 36,5 C
Pernapasan : 20 x/m Tipe : Thorakal
3. Status Generalis
a. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-), hiperpigmentasi (-), pucat (-).
b. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : Mesosefal
- Rambut : Warna hitam, distribusi merata.
- Nyeri tekan : (-)
c. Pemeriksaan Mata
- Palpebra : Edema (-/-), Ptosis (-/-)
- Konjunctiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor
d. Pemeriksaan Dada : Normochest, simetris, deformitas (-), ketinggalan gerak
(-).
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Pitting Edema - - - -
Sensibilitas + + + +
23
Refleks Fisiologis + + + +
Refleks Patologis - - - -

Status Lokalis THT
Telinga
Telinga Kanan Telinga Kiri
Normal, tragus pain (+)
ringan, heliks sign (-),
tidak mikrotia
Aurikula Normal, tragus pain (-),
heliks sign (-), tidak
mikrotia
Tenang, sedikit sempit,
tampak hiperemis, tidak
ada secret, ada serumen
Canalis Aucusticus
Eksterna
Tenang, tidak hiperemis,
tidak ada secret, tidak ada
serumen
Intak, bulging (+)
minimal, refleks cahaya
(+), hiperemi (+),
perforasi (-)
Membran Tympani Intak, refleks cahaya (+),
warna putih mengkilap
(+) Riene (+)
Lateralisasi (-) Weber Lateralisasi (-)
Sama dengan pemeriksa Schwabach Sama dengan pemeriksa

Hidung
Cavum nasi : tidak ada massa, tidak ada benda asing / tidak ada massa , tidak ada
benda asing
Mukosa : Tidak hiperemis
Konkha : edema -/-, hipertropi -/-
Meatus inferior : sekret -/-, polip -/-
Septum nasi : lurus
Pasase udara : +/+
Massa : -/-
Nasofaring/ Orofaring
24
Mukosa : tenang, granul (-), post nasal drip (-)
Tonsil : T1 T1, kripte melebar -/-, debritus -/-
Gigi : karies (-)
Leher
Pembesaran KGB submental -/-, submandibula -/-,

25
PEMBAHASAN

Pasien an. D usian 8 tahun datang dengan keluhan telinga kanan nyeri.
Nyeri dirasakan sudah 1 hari. Anak mengatakan juga disertai demam.
Pendengaran dirasakan anak tidak menurun. Tidak ada riwayat trauma
sebelumnya. Secara garis besar gejala otalgia pada anak sangat mungkin
merupakan gejala klinis OMA. Gejala bergantung pada stadium penyakit serta
umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa
nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat
riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang
dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di
telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang
dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
Pada pemeriksaan telinga didapatkan aurikula telinga kanan normal, tragus
pain (+), heliks sign (-), tidak mikrotia. Pada kanalis austikus eksternus telinga
kanan tenang, tampak hiperemis, tidak ada secret, ada serumen. Pada pemeriksaan
membran tympani telinga kanan intak, bulging (+) minimal, refleks cahaya (+),
hiperemi (+), perforasi (-). Telinga kiri semua dalam batas normal. Dalam
pemeriksaan ini anak masuk ke dalam stadium OMA hiperemis. Pada stadium ini,
terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh
membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses
inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani.
26
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin
masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. Diberikan obat tetes
hidung (dekongestan), dan obat antipiretik paracetamol 3x500 mg atau
seperlunya.
27
DAFTAR PUSTAKA

Alho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk Factors
for Acute Otitis Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143 (11).
American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians,
2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113(5):1451-
1465.
Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.
Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian
Tube Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd
ed. London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.
Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee,
K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.
Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F.,
Romero-Diaz, R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial
Resistance in 205 Pediatric Patients. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 56: 23-31.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 64-86.
Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam: Hassan, R.,
ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 49-58.
Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 59-62.
Homoe, P., Christensen, R.B., Bretlau, P., 1999. Acute Otitis Media and
Sociomedical Risk factors Amongst Unselected Children in Greenland. Int. J.
Pediatr. Otorhinolaryngol. 49: 37-52.
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
Klein, J.O., 2009. Acute Otitis Media in Children: Epidermiology, Pathogenesis,
Clinical Manifestations, and Complications. Up to Date.
Madiyono, B., Moeslichan, S.M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H.,
28
2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., ed. Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto, 302-331.
Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P.,
2002. A Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory
Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.
Onion, D.K., Taylor, C., 1977. The Epidermiology of Recurrent Otitis Media. Am.
J. Public Health 67 (5).
Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T., 2007.
Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory
Tract Infection: The Effect of Age. Pediatrics 119 (6).
Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and
Other Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysonss
Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.,
205-214.
Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media Study
Group. Epidemiology of Otitis Media During the First Seven Years of Life in
Children in Greater Boston: A Prospective, Cohort Study. J. Infect. Dis. 160 (1):
83-94.
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis
Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E., Hoffman,
H.J., Mitchell, A.A., 2004. Racial/Ethnic Disparities in the Diagnosis of Otitis
Media in Infancy. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 68: 795-804.
Zakzuok, S.M., Jamal, T.S., Daghistani, K.J., 2002. Epidermiology of Acute
Otitis Media Among Saudi Children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 62: 219-
222.

You might also like