You are on page 1of 22

PENDAHULUAN

Orde baru yang cenderung membangun kekuasaannya dengan memanfaatkan


birokrasi pemerintah, lebih memilih bentuk sentralistik dalam birokrasi karena dinilai
sebagai cara yang terbaik untuk mendukung stabilitas politik dan ekonomi. Sentralisasi
pemerintah mengakibatkan terhambatnya sebagian besar sistem ekonomi,
sarana/prasarana di daerah.
Pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara.
Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi
daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial
budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan
ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan
inisiatif lokal untuk membangun.
Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara
sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada
presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Fungsi lembaga
eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya yang ditandai dengan tidak adanya rotasi
eksekutif dalam orde baru, sehingga kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan
pasifnya lembaga legislatif karena pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti
lembaga administrasi yang sifatnya formalitas belaka.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya
dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi
rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70%
dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Pusat, sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah. Adanya eksploitasi sumber daya ecara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia, yang juga menyebabkan timbulnya kesenjangan ekonomi.
Dalam urusan politik, orde baru membuat struktur politik cenderung otoriter dan
birokrasi menjadi institusi yang dominan, karena penyeimbang dan pengawas lembaga-
lembaga publik seperti LSM dan organisasi-organisasi profesi telah dihilangkan perannya
melalui kebijakan massa mengambang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai-
partai politik tidak dapat menggunakan ikatan ideologinya untuk mengikat konstituennya.
Hal ini mendorong munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, kuatnya dominasi negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan
masyarakat tidak berjalan dengan baik. Hasil pembangunan telah mencitakan kesenjangan
antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini terjadi karena adanya praktik-praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berkembang dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Akibatnya terjadi krisis multidimensional yaitu krisis politik, ekonomi, dan sosial.
Hal ini yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan munculnya era
Reformasi.
Reformasi adalah suatu perubahan tatanan perikehidupan lama menuju tata
perikehidupan baru dan secara hukum menuju kearah yang lebih baik. Perubahan itu
didasarkan pada pola pikir yang bersifat terbuka , transparan, jujur, dan bersih.
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan yang
mendasar dalam sisitem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak
pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang-Undang Dasar 1945. Era ini
ditandai dengan adanya pergantian serta perpindahan kekuasaan dari penguasa yang
kental dengan dengan nuansa militernya ke penguasa yang memiliki latar belakang sipil.
Perpindahan kekuasaan tersebut pada akhirnya juga menyebabkan ikut berubahnya
struktur dan kondisi perpolitikan di Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Berubahnya
struktur politk tersebut dapat kita lihat pada bidang pelembagaan atau pemisahan
kekuasaan maupun timbulnya relasi yang berbeda antara militer dengan politik pada masa
kini.
Kedudukan eksekutif menjadi setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif
dan yudikatif. Eksekutif masih memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem
presidensil, namun tetap diimbangi oleh lembaga legislatif. Eksekutif dibantu oleh jajaran
menteri diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan memaksimalkan
upaya mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar kepada
persetujuan DPR.
Adanya perubahan yang sangat signifikan pada sistem administrasi sebelum dan
sesudah reformasi dan berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan analisa
perbandingan antara sistem administrasi Indonesia sebelum dan setelah reformasi.

KERANGKA KONSEPTUAL

Menurut Karl. D. Jackson dalam Winarno (2007 : 27) menyebut orde baru sebagai
masyarakat politik birokrasi, menggambarkan bagaimana arena politik sangat didominasi
oleh birokrasi negara. Menurutnya dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana
telah dicirikan dalam orde baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan dalam
birokrasi, korps militer dan administrasi sipil. Kelompok-kelompok diluar birokrasi, sebagai
konsekuensi kuatnya organanisasi birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, partai politik,
kelompok-kelompok kepentingan dan gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini kebijakan nasional dibuat
dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut di tujukan
untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi.
Dalam orde baru sistem pemerintahan cenderung bersifat sentralistik dengan
memanfaatkan birokrasi sebagai penopangnya. Hal ini menyebabkan individu-individu
didalamnya leluasa untuk melakukan praktik KKN.
Menurut Nurcholis (2005 : 6), Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan
pemerintahan (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat. Yang dimaksud
pemerintah pusat adalah presiden dan para menteri. Jika suatu negara memusatkan
semua kewenangan pemerintahannya pada tangan presiden dan para menteri, tidak
dibagi-bagi kepada pejabatnya di daerah dan/atau pada daerah otonom maka disebut
sentralisasi.
Dalam sentralisasi semua kewenangan baik politik maupun administrasi berada di
tangan presiden dan para menteri (pemerintah pusat). Atau dengan kata lain berada pada
puncak jenjang organisasi. Sebagai konsekuensinya dalam melaksanakan kewenangan ini
anggarannya dibebankan kepada APBN.
Pada kenyataannya, orde baru menyebabkan timbulnya krisis multidimensional. Krisis
moneter yang berlangsung pada pertengahan tahun 1997 menjadi penyulut bagi krisis
lain. Seperti pendapat Winarno (2007 : 41), implikasi krisis ekonomi dan moneter serta
kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi
pemerintahan Soeharto hancur lebur. Bahkan lebih parah lagi, rezim ini tidak lagi
dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dan akibatnya
krisis ekonomi berkembang menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan.
Krisis multidimensional inilah yang menyebabkan runtuhnya orde baru dan munculnya
era reformasi. Reformasi berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan formare yang berarti
membentuk. Dalam hal ini reformasi didefinisikan sebagai usaha untuk membentuk
kembali. Soetandyo Wignjosoebroto dalam Winarno (2007 : 45) menyimpulkan bahwa
istilah reformasi mengimplikasikan unsur dan makna koreksi kritis didalamnya. Dengan
demikian, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai usaha untuk membentuk ulang dan
membangun ulang suatu struktur, melainkan sebagai usaha melaksanakan perbaikan di
dalam tatanan struktur.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada era reformasi didasarkan pada prinsip
desentralisasi, hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Adanya pemerintah daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi
berasal dari bahasa Latin, yaitu De yang berarti lepas, dan Centrum yang berarti pusat.
Decentrum berarti melepas dari pusat. Menurut Rondinelli dalam Nurcholis (2005 : 9),
desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan
administratif dari pemerintah pusat kepada organsasi wilayah, satuan administratif daerah,
organisasi semi otonom, pemerintah daerah atau organsasi non pemerintah/lembaga
swadaya masyarakat.
Dalam konteks negara kesatuan penerapan asas sentralisasi dan desentralisasi dalam
organisasi negara bangsa tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum. Artinya pemerintah
pusat tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan secara sentralisasi
atau sebaliknya, pemerintah daerah sepenuhnya menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang diserahkan. Yang bisa dilakukan, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan
yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi seperti pertahanan, politik luar
negeri & moneter serta adapula urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara
desentralisasi.
Ada perbandingan yang sangat signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan pada orde
baru dan reformasi. Orde baru dengan sistem sentralistiknya, sedangkan era reformasi
berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pada orde baru.




ANALISA

Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia
(terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan
dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki
sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan
presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian
kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi
anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945
pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap
ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi
manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya.

A. Nilai-nilai politik dalam sistem administrasi
1. Masa Orde Baru
Birokrasi menjadi kendaraan politik rezim berkuasa untuk meraih ataupun
mempertahankan kekuasaannya, akibatnya birokrat (pegawai negeri atau aparatur
negara) tidak pernah bisa menjadi individu yang bebas dalam menentukan pilihan
politik.
Pada masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi
anggota Golkar. Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi
ke Golkar. Keterlibatan pegawai negeri sebagai anggota maupun pengurus partai
politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral. Kebijakan monoloyalitas
pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi loyalitas
tunggal kepada Golkar. Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai negeri
menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri kepada Golkar.
Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi instrumen efektif bagi
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Secara politis, argumentasi di balik kehadiran Korpri adalah dalam rangka untuk
menghilangkan sekat-sekat pembedaan menurut garis-garis politik-ideologis yang
merambah birokrasi pada orde sebelumnya. Penyatuan pegawai negeri kedalam satu
wadah (KORPRI) dimaksudkan sebagai pembersihan birokrasi dari pengaruh-
pengaruh politik. Penataan struktur dan pengembangan profesionalisme pegawai
dilakukan agar mekanisme kerja birokrasi dapat berlangsung secara lebih efisien dan
prinsip monoloyalitas pegawai negeri diterapkan agar jajaran birokrasi benar-benar
dapat menjadi alat pemerintah (bukan alat partai) untuk mencapai misi nasionalnya.
Namun dalam perkembangannya, Korpri justru berkembang menjadi instrumen politik
dari kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan politik, sekaligus
sebagai instrumen mobilisasi politik ke dalam dan ke luar. Posisi instrumentalis
birokrasi secara politis, ideologi, bahkan ekonomi, justru menghasilkan wajah terburuk
birokrasi dalam bentuk pelayanan publik yang diskriminatif dan kelumpuhan hampir
total pada prinsip meritokrasi.
Dominasi politik di birokrasi , tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik
saja, tetapi didukung oleh kultur PNS yang dibawa dari lingkungan sosialnya yang
lebih mengutamakan pola hubungan patron klien atau pola hubungan paternalistik.
Akibatnya loyalitas PNS pada profesi bergeser menjadi loyal kepada pribadi
atasannya. Selama setengah abad, hak politik PNS berjalan mengikuti hak politik dari
atasan PNS.
Kepentingan penguasa menjadi sentral dalam kehidupan dan perilaku birokrasi di
Indonesia. Secara historis, birokrasi Indonesia memang tidak memiliki tradisi untuk
menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas. Di zaman kerajaan , birokrasi
kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk
melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat, karena itu
orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi melayani
dan menyejahterakan raja dan keluarganya , yang mereka adalah penguasa. Pada
zaman kolonial, pemerintah kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah Belanda memperkenalkan
perubahan dan nilai birokrasi modern lebih sebagai cara untuk mempermudah
pengontrolan negara jajahan dan rakyatnya.
Pada periode Orde Baru kepemimpinan Orde Baru berpendapat bahwa birokrasi
hanya akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi
kalau birokrasi mempunyai struktur komando hirarkis yang tersentralisasi di bawah
kepemimpinan politik rezim Orde Baru. Struktur birokrasi yang tersentralisasi
dipandang perlu untuk menjamin loyalitas birokrasi sebagai prasyarat bagi
terwujudnya stabilitas politik.Birokrasi tidak dituntut untuk sensitif terhadap aspirasi
rakyat. Fungsinya lebih sebagi mobilisator massa daripada artikulator aspirasi massa.
Karakteristik birokrasi semacam ini melahirkan tipe sumber daya birokrasi yang
mempunyai profesionalisme tertentu. Atribut utama birokrasi adalah loyalitas dan
kemampuan melaksanakan apa yang diperintahkan atasan.

2. Era Reformasi
Orde Reformasi saat ini, orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai dan
simbol-simbol menunjukkan bagaimana para pejabat mempersepsikan dirinya lebih
sebagai penguasa daripada sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Pendekatan politik
yang terlalu kuat telah mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal.
Selama ini pegawai negeri identik sebagai pegawai pemerintah yang harus tunduk
patuh pada pemerintah. Padahal antara pemerintah dan negara itu berbeda. Negara
relatif tetap, sedang pemerintah bersifat periodik. Pegawai negeri adalah instrumen
pemerintah dan juga instrumen negara.Tapi mental yang mestinya abdi negara masih
terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, birokrasi penuh dengan pendekatan
kekuasaan , padahal mestinya birokrat yang bagus itu penuh dengan profesionalisme.
Birokrasi yang berorientasi pada profesionalisme dan lepas dari kepentingan
politik memang merupakan suatu keniscayaan mengingat bahwa pucuk pimpinan
birokrasi adalah para politisi yang mempunyai kedudukan sebagai ketua atau paling
tidak duduk dalam jajaran kepengurusan partai politik yang tentunya mempunyai
dasar pemikiran membela kepentingan ideologi ataupun konstituen partainya.
Birokrasi yang tidak tergantung pada rezim politik sangat sulit berkembang di
Indonesia, karena secara tradisional birokrasi dibentuk untuk mengabdi kepada
pemegang kekuasaan sebagai produk dari bekerjanya pemahaman ide kekuasaan
yang memusat ke tangan Raja dan pola pikir dan tindakan kita selama 32 tahun
terakhir terkooptasi oleh pemahaman bahwa jabatan politis di birokrasi hanya
dipegang oleh satu kekuatan politik, sehingga melahirkan pola hubungan yang
dominatif, subordinatif dan marginalisasi aktor politik. Akibat kedua faktor ini, maka
Pemilu lebih berfungsi sebagai arena penajaman perbedaan kepentingan daripada
upaya mencari pemahaman yang sama mengenai masalah kenegaraan. Kemenangan
dalam pemilu dipahami sebagai kemenangan dalam satu peperangan.Struktur
birokrasi pun dipandang sebagai pampasan perang yang harus dikuasai.
Orde Reformasi yang memunculkan sistem multipartai dalam pemilu belum
mampu membentuk birokrasi yang netral. Bahkan Riswanda Imawan menyatakan
politisasi birokrasi tetap berlangsung dalam bentuk parpolisasi birokrasi yang rentan
terhadap konflik internal dalam tubuh birokrasi. Masuknya tokoh-tokoh partai politik
kedalam birokrasi menyebabkan birokrasi diwarnai kepentingan partai sehingga tidak
lagi sebagai agen pelayanan publik yang netral.
Kalau parpolisasi birokrasi sebagaimana sinyalemen Riswanda Imawan diatas
benar , maka birokrasi akan terseret dalam konflik internal yang berpusar sekitar
masalah distribusi dan alokasi nilai (sumber daya) birokrasi diantara kekuatan politik
yang menguasai birokrasi. Fokus perhatian puncak pimpinan birokrasi (pejabat politik)
akan lebih banyak terserap pada bagaimana memperjuangkan kepentingan partai dan
konstituennya . Akibatnya jelas, impian masyarakat akan penyelenggaraan
administrasi publik yang berkualitas, akuntabel dan responsif akan semakin menjauh.

B. Struktur dan pola hubungan antara lembaga-lembaga negara
1. Masa Orde Baru
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan
Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :
a) Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di
dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan
tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
b) Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara
sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada
presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden
mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan.
c) Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini
memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh
ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang
merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah menetapkan Undang-
Undang Dasar, Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, Mengangkat kepala
negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada
Majelis. Presiden adalah mandataris dari Majelis yang berkewajiban menjalankan
ketetapan-ketetapan Majelis.
e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada
di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi
juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang
berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.
f) Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan
undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari
DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari
Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer,
dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara.
Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak
tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan
pembantu presiden.
h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan
berarti ia diktator atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab
kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR
karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah
anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk
mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila
dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.
i) Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai,
yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang
kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden Soeharto.

Adapun praktik pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada
daerah tingkat II. Selanjutnya pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa
pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan
memuat tiga aspek utama, yaitu aspek administrasi, aspek politik, dan aspek
kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan dan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Aspek politik merujuk
pada upaya pendemokrasian pemerintah di daerah, sedangkan aspek kemandirian
dimaksudkan agar daerah mampu mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan
rumah tangganya sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi
dimana masyarakat ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan
daerah. Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan
dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat
dan daerah.
Konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-undang, terutama
UU No. 5 Tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum dapat dilaksanakan sesuai dengan
yang diharapkan. Hal ini karena meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah
memberikan penekanan pada Dati II sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah,
tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I masih
memegang kendali kekuasaan secara signifikan. Asas desentralisasi yang seharusnya
menjadi pijakan utama untuk melaksanakan otonomi daerah berada di bawah
bayang-bayang asas dekosentrasi. Sebagai konsekuensinya sentralisme menjadi ciri
khas yang mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru.
Sentralisme yang dikembangkan pada masa pemerintahan Orde Baru telah membuat
pemerintah daerah tidak lagi responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Hal ini terjadi karena pemerintah daerah tidak diberi ruang untuk mengenali
permasalahan yang dihadapi, dan mengembangkan cara yang efektif untuk mengatasi
masalah tersebut. Segalanya telah ditetapkan di pusat sehingga daerah kehilangan
kreativitasnya.

2. Era Reformasi
Hubungan antar lembaga-lembaga negara dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Negara Indonesia adalah negara Hukum.
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia
dan prinsip due process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, kekuasaan ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
b) Sistem Konstutisional
Sistem Konstitusional pada era reformasi berdasarkan Check and Balances.
Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan
untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga
negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem check and
balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-
undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya
sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar, ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan
berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang
dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan
wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat,
dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang
diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan
kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui
pemilihan umum.
c) Sistem Pemerintahan
Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan
mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab
kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam
pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya
manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana
yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.
d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut
UUD.
Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden
dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat.
f) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem
pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem
presidensial.
g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan
pembubarannya diatur dalam undang-undang.
h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang.
MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya. Demikian juga
DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat,
juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas.
i) Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai.

Otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 1999, adalah
kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku dan titik berat otonomi diletakkan di daerah tingkat
II seperti telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Secara filosofis
landasan yang mendasari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah bahwa
otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan akan tumbuh prakarsa atau inisiatif dan
kreativitas daerah untuk mendaya-gunakan potensi setempat, dan menjadi semakin
responsif terhadap permasalahanpermasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata
lain, melalui pelaksanaan otonomi daerah ini, pemerintahan daerah diharapkan akan
semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melayani dan merespon
segala tuntutan masyarakat, dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada (Soni
Soemarsono, 2001). Ada beberapa hal pokok yang perlu digarisbawahi menyangkut
pelaksanaan otonomi. Pertama, menyangkut desentralisasi itu sendiri. Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 nampaknya berusaha mendefinisikan desentralisasi
dengan merujuk pada pengertian desentralisasi sebagaimana sering dibahas dalam
kajian teoritik, yaitu desentralisasi dalam pengertian administratif dan desentralisasi
dalam pengertian politik. Desentralisasi administratif (administrative decentralization)
lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan formal. Titik berat lebih
ditekankan pada susunan organisasi atau administratif. Dalam pengertian ini,
desentralisasi merupakan transfer pertanggungan jawab mengenai perencanaan,
manajemen, dan peningkatan ataupun alokasi berbagai sumber dari pemerintah pusat
dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada berbagai unit lembaga pemerintah dan
unit-unit yang lebih bawah. Sementara itu pengertian desentralisasi politik lebih
menekan-kan pada transfer otoritas pembuatan keputusan kepada daerah dan
kepada kelompok yang sebelumnya tidak terwakili atau termarjinalisasi. Tujuan
desentralisasi politik adalah memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warga
negara atau para wakil yang duduk di lembaga perwakilan dalam proses pembuatan
keputusan publik. Pada masa lampau, desentralisasi administratif lebih dominan
dibandingkan dengan desentralisasi politik. Akibatnya, pemerintah daerah kurang
mempunyai otoritas dalam mengambil keputusan-keputusan politik menyangkut
alokasi sumber daya pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya.
Kuatnya pelaksanaan asas dekonsentrasi dibandingkan dengan asas
desentralisasi membuat daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat. Kedua,
keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pembangunan. Konsekuensi yang
paling penting sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi politik adalah keterlibatan
masyarakat (daerah) dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa lampau
pembangunan sangat bersifat sentralistik dimana rakyat berada dalam posisi marginal
dalam proses pengambilan keputusan. Segala sesuatu menyangkut program-program
pembangunan telah digariskan oleh pemerintah pusat dalam suatu lingkaran elit
terbatas, dan pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana dari program
pembangunan yang telah digariskan. Masyarakat dalam kondisi seperti itu hanya
menjadi .penggembira. dalam proses pembangunan dan keberadaannya hanya
dibutuhkan sebagai implementor kebijakan melalui mobilisasi massa yang dilakukan
oleh elit-elit lokal. Ketiga, perbaikan pelayanan birokrasi daerah melalui penciptaan
lembaga birokrasi yang lebih responsif. Pelaksanaan otonomi daerah yang
menyandarkan pada Dati II diharapkan akan menciptakan karakter pemerintahan
daerah yang lebih kreatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam skala yang lebih luas pelaksanaan otonomi daerah ini ditujukan untuk
merangsang daerah-daerah agar mengembangkan potensi yang dimiliki guna
menopang pembangunan daerahnya masing-masing. Dengan kata lain, pemberlakuan
undang-undang ini diharapkan akan memacu daerah untuk secara kreatif
mengembangkan potensi yang dimiliki secara mandiri melakukan pembangunan
daerah.

C. MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DALAM KONTEKS DEMOKRASI
Pada masa pemerintahan orde baru ditandai dengan tatanan birokrasi yang tidak
demokratis. Birokrasi pemerintahan pada waktu itu sangat kuat, sentralistis, dan
otoritarian. Selama periode tersebut, birokrasi pemerintah, termasuk PNS dibuat tidak
netral dengan konsep monoloyalitas. Konsep tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan
satu golongan yang sedang memerintah (sistem yang memihak pada kekuatan politik
yang ada, yakni memihak kepada Golkar). Landasan di Indonesia pada periode ini adalah
mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Salah satu ciri dominan dalam Sistem Manajemen PNS pada periode ini
adalah sentralisasi (oleh pemerintah pusat) pada hampir semua proses manajemen PNS,
yaitu mulai dari proses rekruitmen dan seleksi sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah
yang merupakan subordinat dalam pemerintahan hanya melaksanakan semua kebijakan
yang telah dibentuk lembaga pengelola PNS, yakni Badan Administrasi Kepegawaian
Negara (BAKN).
Pada masa Orde Baru, PNS dipolitisasi dengan cara monoloyalitas terhadap Golkar,
yang menjadikan PNS dari sebagai abdi masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal
pegawai negeri memang tidak dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam
pemilihan umum, namun pada kenyataannya mereka dimobilisasi untuk memenangkan
Golkar. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya
diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar.
Setelah adanya Reformasi 1998, terjadi perubahan paradigma kepemerintahan. PNS
yang sebelumnya dikenal sebagai alat kekuasaan pemerintah, kini diharapkan menjadi
unsur aparatur negara yang profesional dan netral dari pengaruh semua golongan dari
partai politik (misalnya menggunakan fasilitas negara untuk golongan tertentu) serta tidak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas
tersebut, pegawai negeri dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik. PNS
memiliki hak memilih dalam Pemilu, sedangkan anggota TNI maupun Polri, tidak memiliki
hak memilih atau dipilih dalam Pemilu.
Pada masa reformasi ini ditandai dengan terjadinya pergantian sistem pemerintahan
dari yang bersifat sentralistis ke desentralisasi yang dikenal juga dengan era Otonomi
Daerah. Demikian halnya dengan manajemen PNS, yakni dengan penerapan UU Nomor
43 Tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1974, dimana Manajemen PNS di
Daerah menjadi wewenang Daerah masing-masing (yang semula merupakan wewenang
Pemerintah Pusat, Decentralized System). Dengan ditetapkannya UU Nomor 43 Tahun
1999 tersebut, secara prinsip terdapat perubahan paradigma dalam bidang kepegawaian
di Indonesia, yaitu dari pendekatan tata usaha kepegawaian menjadi PNS yang berbasis
kompetensi dasar dan prestasi kerja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan itu, konsep yang dianut dalam Sistem Kepegawaian di Indonesia
meliputi :
a. Sumber wewenang, peranan, dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintah pada
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
b. Perumusan kebijakan nasional berupa norma, standar, dan prosedur ditetapkan dan
diselenggarakan oleh pemerintah.
c. Manajemen operasional diselenggarakan di daerah sesuai kewenangan yang diberikan
oleh pemerintah pusat.
d. Pengawasan dan pengadaan dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 di atas
berupaya untuk meningkatkan pengelolaan Pegawai Negeri melalui suatu sistem yang
disebut Manajemen PNS. Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Kebijakan-
kebijakan yang terdapat dalam Manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar,
prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS,
pemindahan, gaji, tunjangan, kesejah-teraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan
kedudukan hukum. Secara terperinci pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
memuat beberapa hal yang didalamnya merupakan bagian dari keseluruhan isi dari
Manajemen PNS (MPNS). Hal-hal tersebut adalah :
a. Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah
b. Penekanan pembinaan PNS berdasarkan sistem prestasi kerja, kompetensi dan
prestasi kerja.
c. Penetapan gaji harus mampu memacu produktivitas pegawai.
d. Dibentuknya Komisi Kepegawaian Negara yang bertugas membantu Presiden dalam
merumuskan kebijaksanaan manajemen kepegawaian;
e. PNS harus diangkat dalam jabatan tertentu.
f. Pengangkatan dalam jabatan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, atau
golongan.
g. Penyelenggaraan kesejahteraan selain meliputi program asuransi kesehatan, asuransi
pensiun dan tabungan hari tua, ditambah dengan adanya asuransi pendidikan bagi
putra-putri PNS dan tabungan perumahan, dimana selain adanya iuran dari PNS,
Pemerintah juga menanggung subsidi dan iuran program pensiun dan asuransi
kesehatan.
h. Perubahan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) menjadi Badan
Kepegawaian Negara (BKN), yang tugasnya lebih terfokus pada paradigma
pengembangan sumber daya PNS.
i. Dibentuknya Badan Kepegawaian Daerah yang merupakan perangkat Daerah.

Dalam rangka reformasi politik telah pula disesuaikan beberapa hal penting diantaranya
yaitu :
a. Netralitas PNS dari pengaruh semua golongan dan partai politik harus dijamin.
b. Pengaturan tentang anggota ABRI dipisahkan menjadi TNI dan POLRI.

Secara garis besar, jabatan PNS dibagi atas :
a. Jabatan struktural adalah jabatan secara tegas ada dalam struktur organisasi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga yang
bersangkutan dengan persetujuan tertulis dari MENPAN & RB, yang dibagi dalam 10
jenjang, mulai dari Eselon V.b sampai dengan Eselon I.a
b. Jabatan fungsional adalah jabatan yang walaupun tidak secara tegas tercantum dalam
struktur organisasi, tetapi ditinjau dari sudut fungsinya jabatan itu harus ada untuk
memungkinkan organisasi itu menjalankan tugas pokoknya, seperti Dosen, Hakim,
Peneliti, dan lain-lain.

Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah
yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari
berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang
meliputi:
(a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada
kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi
bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti
prinsip merit sistem tetapi lebih pada marriage sistem (sistem kekeluargaan)
yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini.
(b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka
pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan
besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai,
pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari sindrom kepartaian.
(c) Kedepannya, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan.
manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang
netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik.
Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan
kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain
dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian
tidak dikembalikan terpusat.

Untuk mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian yang timbul sebagai
akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas tersebut,
beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan dalam waktu dekat.
(a) Penetapan formasi PNS oleh pemerintah pusat berdasarkan standar analisis
kebutuhan pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan
formasi ini diikuti pula dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan
dalam jabatan yang berlaku umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk
menghindari kesenjangan dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas,
kepangkatan maupun jabatan yang dipangkunya.
(b) Sistem evaluasi kinerja PNS yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan
kompetensi jabatan. Upaya ini dimungkinkan bila terdapat sistem dan program
seleksi Calon PNS (CPNS) yang seragam dan mengacu pada merit sistem. Untuk
itu perlu digunakan alat bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga
obyektifitas dalam penerimaan CPNS dapat dipertahankan.
(c) Pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani
kepegawaian di daerah yang dibentuk saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi.

Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan
saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional,
tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah
kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional,
netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta
mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta
Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


























KESIMPULAN

1. Pemerintahan orde baru lebih bersifat sentralistik dan memanfaatkan birokrasi untuk
memperkuat kekuasaan. Pemanfaatan ini mengakibatkan individu yang terlibat dalam
birokrasi cenderung melakukan KKN.
2. Orde baru menyebabkan timbulnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Semua urusan terpusat di Pemerintah Pusat, sehingga Daerah tidak diberi
kesempatan untuk mengembangan potensi yang dimilikinya.
3. Fungsi lembaga negara pada masa orde baru, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Lembaga eksekutif terlalu dominan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan tidak
berjalan dengan baik. Sedangkan, lembaga legislatif hanya sebagai simbol formalitas,
pemilihan anggota legislatif juga banyak dipengaruhi oleh presiden.
4. Pada masa orde baru, PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik tertentu,
dimana PNS dijadikan anggota dan pengurus mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
5. Sistem pengelolaan pegawai dalam masa orde baru masih berdasarkan sistem
kekeluargaan, hal ini dikarenakan praktik KKN yang membudaya.
6. Reformasi membuat pemerintahan bersifat desentralistik, hal ini ditandai dengan
ditetapkannya undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dengan sistem ini,
diharapkan kesenjangan antara Pusat dan Daerah yang terjadi selama orde baru
dapat diperbaiki.
7. Fungsi lembaga negara pada reformasi telah diperbaiki dengan adanya Amandemen
Undang-Undang, sehingga ada kejelasan pemisahan fungsi dan wewenang lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
8. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, membuat PNS harus
bersifat netral dan tidak berpartisipasi dalam partai politik. Menurut undang-undang
ini, pengelolaan penetapan formasi PNS harus berdasarkan standar analisis kebutuhan
pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan serta pembinaan PNS
berdasarkan sistem prestasi kerja.
9. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan PNS saat ini adalah pemerataan
PNS di seluruh wilayah serta peningkatan profesionalisme PNS dalam rangka
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
10. Untuk menghadapi kendala tersebut, pemerintah harus menetapkan kebijakan-
kebijakan dalam pengelolaan PNS seperti pengadaan dan penempatan PNS sesuai
dengan kebutuhan dan kualifikasi, serta adanya pengembangan PNS yang
berkelanjutan dalam rangka meningkakan profesionalime PNS sebagai abdi negara.































DAFTAR PUSTAKA


Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik : Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo :
Jakarta.
Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi : Bunga Rampai Pemikiran Administrasi
Negara/Publik. Gava Media : Yogyakarta.
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Media Pressindo :
Yogyakarta.
http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/files/.../NETRALITAS-BIROKRASI.doc
http://rahimoke.wordpress.com/2010/10/23/pengertian-dan-perkembangan-paradigma-
administrasi/
http://www.bkn.go.id/attachments/077_jurnalvol3juni2009.pdf
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8576/
riaveriani.multiply.com/journal/item/8/Sistem-Kepegawaian

You might also like