Orde baru yang cenderung membangun kekuasaannya dengan memanfaatkan
birokrasi pemerintah, lebih memilih bentuk sentralistik dalam birokrasi karena dinilai sebagai cara yang terbaik untuk mendukung stabilitas politik dan ekonomi. Sentralisasi pemerintah mengakibatkan terhambatnya sebagian besar sistem ekonomi, sarana/prasarana di daerah. Pemerintah pusat begitu dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun. Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Fungsi lembaga eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya yang ditandai dengan tidak adanya rotasi eksekutif dalam orde baru, sehingga kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan pasifnya lembaga legislatif karena pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti lembaga administrasi yang sifatnya formalitas belaka. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Pusat, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah. Adanya eksploitasi sumber daya ecara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia, yang juga menyebabkan timbulnya kesenjangan ekonomi. Dalam urusan politik, orde baru membuat struktur politik cenderung otoriter dan birokrasi menjadi institusi yang dominan, karena penyeimbang dan pengawas lembaga- lembaga publik seperti LSM dan organisasi-organisasi profesi telah dihilangkan perannya melalui kebijakan massa mengambang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja. Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai- partai politik tidak dapat menggunakan ikatan ideologinya untuk mengikat konstituennya. Hal ini mendorong munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akan tetapi, kuatnya dominasi negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Hasil pembangunan telah mencitakan kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini terjadi karena adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia. Akibatnya terjadi krisis multidimensional yaitu krisis politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 dan munculnya era Reformasi. Reformasi adalah suatu perubahan tatanan perikehidupan lama menuju tata perikehidupan baru dan secara hukum menuju kearah yang lebih baik. Perubahan itu didasarkan pada pola pikir yang bersifat terbuka , transparan, jujur, dan bersih. Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam sisitem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang-Undang Dasar 1945. Era ini ditandai dengan adanya pergantian serta perpindahan kekuasaan dari penguasa yang kental dengan dengan nuansa militernya ke penguasa yang memiliki latar belakang sipil. Perpindahan kekuasaan tersebut pada akhirnya juga menyebabkan ikut berubahnya struktur dan kondisi perpolitikan di Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Berubahnya struktur politk tersebut dapat kita lihat pada bidang pelembagaan atau pemisahan kekuasaan maupun timbulnya relasi yang berbeda antara militer dengan politik pada masa kini. Kedudukan eksekutif menjadi setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif dan yudikatif. Eksekutif masih memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem presidensil, namun tetap diimbangi oleh lembaga legislatif. Eksekutif dibantu oleh jajaran menteri diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan memaksimalkan upaya mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar kepada persetujuan DPR. Adanya perubahan yang sangat signifikan pada sistem administrasi sebelum dan sesudah reformasi dan berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan analisa perbandingan antara sistem administrasi Indonesia sebelum dan setelah reformasi.
KERANGKA KONSEPTUAL
Menurut Karl. D. Jackson dalam Winarno (2007 : 27) menyebut orde baru sebagai masyarakat politik birokrasi, menggambarkan bagaimana arena politik sangat didominasi oleh birokrasi negara. Menurutnya dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana telah dicirikan dalam orde baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan dalam birokrasi, korps militer dan administrasi sipil. Kelompok-kelompok diluar birokrasi, sebagai konsekuensi kuatnya organanisasi birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, partai politik, kelompok-kelompok kepentingan dan gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini kebijakan nasional dibuat dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut di tujukan untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi. Dalam orde baru sistem pemerintahan cenderung bersifat sentralistik dengan memanfaatkan birokrasi sebagai penopangnya. Hal ini menyebabkan individu-individu didalamnya leluasa untuk melakukan praktik KKN. Menurut Nurcholis (2005 : 6), Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan pemerintahan (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat. Yang dimaksud pemerintah pusat adalah presiden dan para menteri. Jika suatu negara memusatkan semua kewenangan pemerintahannya pada tangan presiden dan para menteri, tidak dibagi-bagi kepada pejabatnya di daerah dan/atau pada daerah otonom maka disebut sentralisasi. Dalam sentralisasi semua kewenangan baik politik maupun administrasi berada di tangan presiden dan para menteri (pemerintah pusat). Atau dengan kata lain berada pada puncak jenjang organisasi. Sebagai konsekuensinya dalam melaksanakan kewenangan ini anggarannya dibebankan kepada APBN. Pada kenyataannya, orde baru menyebabkan timbulnya krisis multidimensional. Krisis moneter yang berlangsung pada pertengahan tahun 1997 menjadi penyulut bagi krisis lain. Seperti pendapat Winarno (2007 : 41), implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan Soeharto hancur lebur. Bahkan lebih parah lagi, rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dan akibatnya krisis ekonomi berkembang menjadi krisis politik dan krisis kepercayaan. Krisis multidimensional inilah yang menyebabkan runtuhnya orde baru dan munculnya era reformasi. Reformasi berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan formare yang berarti membentuk. Dalam hal ini reformasi didefinisikan sebagai usaha untuk membentuk kembali. Soetandyo Wignjosoebroto dalam Winarno (2007 : 45) menyimpulkan bahwa istilah reformasi mengimplikasikan unsur dan makna koreksi kritis didalamnya. Dengan demikian, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai usaha untuk membentuk ulang dan membangun ulang suatu struktur, melainkan sebagai usaha melaksanakan perbaikan di dalam tatanan struktur. Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada era reformasi didasarkan pada prinsip desentralisasi, hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Adanya pemerintah daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu De yang berarti lepas, dan Centrum yang berarti pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Menurut Rondinelli dalam Nurcholis (2005 : 9), desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organsasi wilayah, satuan administratif daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah atau organsasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat. Dalam konteks negara kesatuan penerapan asas sentralisasi dan desentralisasi dalam organisasi negara bangsa tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum. Artinya pemerintah pusat tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan secara sentralisasi atau sebaliknya, pemerintah daerah sepenuhnya menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan. Yang bisa dilakukan, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi seperti pertahanan, politik luar negeri & moneter serta adapula urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Ada perbandingan yang sangat signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan pada orde baru dan reformasi. Orde baru dengan sistem sentralistiknya, sedangkan era reformasi berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pada orde baru.
ANALISA
Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya.
A. Nilai-nilai politik dalam sistem administrasi 1. Masa Orde Baru Birokrasi menjadi kendaraan politik rezim berkuasa untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaannya, akibatnya birokrat (pegawai negeri atau aparatur negara) tidak pernah bisa menjadi individu yang bebas dalam menentukan pilihan politik. Pada masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi anggota Golkar. Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi ke Golkar. Keterlibatan pegawai negeri sebagai anggota maupun pengurus partai politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar. Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai negeri menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri kepada Golkar. Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi instrumen efektif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Secara politis, argumentasi di balik kehadiran Korpri adalah dalam rangka untuk menghilangkan sekat-sekat pembedaan menurut garis-garis politik-ideologis yang merambah birokrasi pada orde sebelumnya. Penyatuan pegawai negeri kedalam satu wadah (KORPRI) dimaksudkan sebagai pembersihan birokrasi dari pengaruh- pengaruh politik. Penataan struktur dan pengembangan profesionalisme pegawai dilakukan agar mekanisme kerja birokrasi dapat berlangsung secara lebih efisien dan prinsip monoloyalitas pegawai negeri diterapkan agar jajaran birokrasi benar-benar dapat menjadi alat pemerintah (bukan alat partai) untuk mencapai misi nasionalnya. Namun dalam perkembangannya, Korpri justru berkembang menjadi instrumen politik dari kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan politik, sekaligus sebagai instrumen mobilisasi politik ke dalam dan ke luar. Posisi instrumentalis birokrasi secara politis, ideologi, bahkan ekonomi, justru menghasilkan wajah terburuk birokrasi dalam bentuk pelayanan publik yang diskriminatif dan kelumpuhan hampir total pada prinsip meritokrasi. Dominasi politik di birokrasi , tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik saja, tetapi didukung oleh kultur PNS yang dibawa dari lingkungan sosialnya yang lebih mengutamakan pola hubungan patron klien atau pola hubungan paternalistik. Akibatnya loyalitas PNS pada profesi bergeser menjadi loyal kepada pribadi atasannya. Selama setengah abad, hak politik PNS berjalan mengikuti hak politik dari atasan PNS. Kepentingan penguasa menjadi sentral dalam kehidupan dan perilaku birokrasi di Indonesia. Secara historis, birokrasi Indonesia memang tidak memiliki tradisi untuk menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas. Di zaman kerajaan , birokrasi kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat, karena itu orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi melayani dan menyejahterakan raja dan keluarganya , yang mereka adalah penguasa. Pada zaman kolonial, pemerintah kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah Belanda memperkenalkan perubahan dan nilai birokrasi modern lebih sebagai cara untuk mempermudah pengontrolan negara jajahan dan rakyatnya. Pada periode Orde Baru kepemimpinan Orde Baru berpendapat bahwa birokrasi hanya akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi kalau birokrasi mempunyai struktur komando hirarkis yang tersentralisasi di bawah kepemimpinan politik rezim Orde Baru. Struktur birokrasi yang tersentralisasi dipandang perlu untuk menjamin loyalitas birokrasi sebagai prasyarat bagi terwujudnya stabilitas politik.Birokrasi tidak dituntut untuk sensitif terhadap aspirasi rakyat. Fungsinya lebih sebagi mobilisator massa daripada artikulator aspirasi massa. Karakteristik birokrasi semacam ini melahirkan tipe sumber daya birokrasi yang mempunyai profesionalisme tertentu. Atribut utama birokrasi adalah loyalitas dan kemampuan melaksanakan apa yang diperintahkan atasan.
2. Era Reformasi Orde Reformasi saat ini, orientasi pada penguasa masih sangat kuat. Nilai dan simbol-simbol menunjukkan bagaimana para pejabat mempersepsikan dirinya lebih sebagai penguasa daripada sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Pendekatan politik yang terlalu kuat telah mengakibatkan layanan kepada masyarakat menjadi minimal. Selama ini pegawai negeri identik sebagai pegawai pemerintah yang harus tunduk patuh pada pemerintah. Padahal antara pemerintah dan negara itu berbeda. Negara relatif tetap, sedang pemerintah bersifat periodik. Pegawai negeri adalah instrumen pemerintah dan juga instrumen negara.Tapi mental yang mestinya abdi negara masih terkalahkan oleh abdi pemerintah. Akibatnya, birokrasi penuh dengan pendekatan kekuasaan , padahal mestinya birokrat yang bagus itu penuh dengan profesionalisme. Birokrasi yang berorientasi pada profesionalisme dan lepas dari kepentingan politik memang merupakan suatu keniscayaan mengingat bahwa pucuk pimpinan birokrasi adalah para politisi yang mempunyai kedudukan sebagai ketua atau paling tidak duduk dalam jajaran kepengurusan partai politik yang tentunya mempunyai dasar pemikiran membela kepentingan ideologi ataupun konstituen partainya. Birokrasi yang tidak tergantung pada rezim politik sangat sulit berkembang di Indonesia, karena secara tradisional birokrasi dibentuk untuk mengabdi kepada pemegang kekuasaan sebagai produk dari bekerjanya pemahaman ide kekuasaan yang memusat ke tangan Raja dan pola pikir dan tindakan kita selama 32 tahun terakhir terkooptasi oleh pemahaman bahwa jabatan politis di birokrasi hanya dipegang oleh satu kekuatan politik, sehingga melahirkan pola hubungan yang dominatif, subordinatif dan marginalisasi aktor politik. Akibat kedua faktor ini, maka Pemilu lebih berfungsi sebagai arena penajaman perbedaan kepentingan daripada upaya mencari pemahaman yang sama mengenai masalah kenegaraan. Kemenangan dalam pemilu dipahami sebagai kemenangan dalam satu peperangan.Struktur birokrasi pun dipandang sebagai pampasan perang yang harus dikuasai. Orde Reformasi yang memunculkan sistem multipartai dalam pemilu belum mampu membentuk birokrasi yang netral. Bahkan Riswanda Imawan menyatakan politisasi birokrasi tetap berlangsung dalam bentuk parpolisasi birokrasi yang rentan terhadap konflik internal dalam tubuh birokrasi. Masuknya tokoh-tokoh partai politik kedalam birokrasi menyebabkan birokrasi diwarnai kepentingan partai sehingga tidak lagi sebagai agen pelayanan publik yang netral. Kalau parpolisasi birokrasi sebagaimana sinyalemen Riswanda Imawan diatas benar , maka birokrasi akan terseret dalam konflik internal yang berpusar sekitar masalah distribusi dan alokasi nilai (sumber daya) birokrasi diantara kekuatan politik yang menguasai birokrasi. Fokus perhatian puncak pimpinan birokrasi (pejabat politik) akan lebih banyak terserap pada bagaimana memperjuangkan kepentingan partai dan konstituennya . Akibatnya jelas, impian masyarakat akan penyelenggaraan administrasi publik yang berkualitas, akuntabel dan responsif akan semakin menjauh.
B. Struktur dan pola hubungan antara lembaga-lembaga negara 1. Masa Orde Baru Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut : a) Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat) Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. b) Sistem Pemerintahan Presidensiil Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan. c) Sistem Konstitusional Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah menetapkan Undang- Undang Dasar, Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah mandataris dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis. e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. f) Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden. h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia diktator atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela. i) Sistem Kepartaian Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden Soeharto.
Adapun praktik pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada daerah tingkat II. Selanjutnya pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan memuat tiga aspek utama, yaitu aspek administrasi, aspek politik, dan aspek kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Aspek politik merujuk pada upaya pendemokrasian pemerintah di daerah, sedangkan aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah mampu mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi dimana masyarakat ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan daerah. Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah. Konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-undang, terutama UU No. 5 Tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini karena meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah memberikan penekanan pada Dati II sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I masih memegang kendali kekuasaan secara signifikan. Asas desentralisasi yang seharusnya menjadi pijakan utama untuk melaksanakan otonomi daerah berada di bawah bayang-bayang asas dekosentrasi. Sebagai konsekuensinya sentralisme menjadi ciri khas yang mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru. Sentralisme yang dikembangkan pada masa pemerintahan Orde Baru telah membuat pemerintah daerah tidak lagi responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah tidak diberi ruang untuk mengenali permasalahan yang dihadapi, dan mengembangkan cara yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Segalanya telah ditetapkan di pusat sehingga daerah kehilangan kreativitasnya.
2. Era Reformasi Hubungan antar lembaga-lembaga negara dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Negara Indonesia adalah negara Hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, kekuasaan ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. b) Sistem Konstutisional Sistem Konstitusional pada era reformasi berdasarkan Check and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem check and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang- undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum. c) Sistem Pemerintahan Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. d) Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). e) Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat. f) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial. g) Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang. h) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya. Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. i) Sistem Kepartaian Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai.
Otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 1999, adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan titik berat otonomi diletakkan di daerah tingkat II seperti telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Secara filosofis landasan yang mendasari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah bahwa otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan akan tumbuh prakarsa atau inisiatif dan kreativitas daerah untuk mendaya-gunakan potensi setempat, dan menjadi semakin responsif terhadap permasalahanpermasalahan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, melalui pelaksanaan otonomi daerah ini, pemerintahan daerah diharapkan akan semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melayani dan merespon segala tuntutan masyarakat, dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada (Soni Soemarsono, 2001). Ada beberapa hal pokok yang perlu digarisbawahi menyangkut pelaksanaan otonomi. Pertama, menyangkut desentralisasi itu sendiri. Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 nampaknya berusaha mendefinisikan desentralisasi dengan merujuk pada pengertian desentralisasi sebagaimana sering dibahas dalam kajian teoritik, yaitu desentralisasi dalam pengertian administratif dan desentralisasi dalam pengertian politik. Desentralisasi administratif (administrative decentralization) lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan formal. Titik berat lebih ditekankan pada susunan organisasi atau administratif. Dalam pengertian ini, desentralisasi merupakan transfer pertanggungan jawab mengenai perencanaan, manajemen, dan peningkatan ataupun alokasi berbagai sumber dari pemerintah pusat dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada berbagai unit lembaga pemerintah dan unit-unit yang lebih bawah. Sementara itu pengertian desentralisasi politik lebih menekan-kan pada transfer otoritas pembuatan keputusan kepada daerah dan kepada kelompok yang sebelumnya tidak terwakili atau termarjinalisasi. Tujuan desentralisasi politik adalah memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warga negara atau para wakil yang duduk di lembaga perwakilan dalam proses pembuatan keputusan publik. Pada masa lampau, desentralisasi administratif lebih dominan dibandingkan dengan desentralisasi politik. Akibatnya, pemerintah daerah kurang mempunyai otoritas dalam mengambil keputusan-keputusan politik menyangkut alokasi sumber daya pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya. Kuatnya pelaksanaan asas dekonsentrasi dibandingkan dengan asas desentralisasi membuat daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat. Kedua, keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pembangunan. Konsekuensi yang paling penting sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi politik adalah keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa lampau pembangunan sangat bersifat sentralistik dimana rakyat berada dalam posisi marginal dalam proses pengambilan keputusan. Segala sesuatu menyangkut program-program pembangunan telah digariskan oleh pemerintah pusat dalam suatu lingkaran elit terbatas, dan pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana dari program pembangunan yang telah digariskan. Masyarakat dalam kondisi seperti itu hanya menjadi .penggembira. dalam proses pembangunan dan keberadaannya hanya dibutuhkan sebagai implementor kebijakan melalui mobilisasi massa yang dilakukan oleh elit-elit lokal. Ketiga, perbaikan pelayanan birokrasi daerah melalui penciptaan lembaga birokrasi yang lebih responsif. Pelaksanaan otonomi daerah yang menyandarkan pada Dati II diharapkan akan menciptakan karakter pemerintahan daerah yang lebih kreatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam skala yang lebih luas pelaksanaan otonomi daerah ini ditujukan untuk merangsang daerah-daerah agar mengembangkan potensi yang dimiliki guna menopang pembangunan daerahnya masing-masing. Dengan kata lain, pemberlakuan undang-undang ini diharapkan akan memacu daerah untuk secara kreatif mengembangkan potensi yang dimiliki secara mandiri melakukan pembangunan daerah.
C. MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DALAM KONTEKS DEMOKRASI Pada masa pemerintahan orde baru ditandai dengan tatanan birokrasi yang tidak demokratis. Birokrasi pemerintahan pada waktu itu sangat kuat, sentralistis, dan otoritarian. Selama periode tersebut, birokrasi pemerintah, termasuk PNS dibuat tidak netral dengan konsep monoloyalitas. Konsep tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan satu golongan yang sedang memerintah (sistem yang memihak pada kekuatan politik yang ada, yakni memihak kepada Golkar). Landasan di Indonesia pada periode ini adalah mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Salah satu ciri dominan dalam Sistem Manajemen PNS pada periode ini adalah sentralisasi (oleh pemerintah pusat) pada hampir semua proses manajemen PNS, yaitu mulai dari proses rekruitmen dan seleksi sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah yang merupakan subordinat dalam pemerintahan hanya melaksanakan semua kebijakan yang telah dibentuk lembaga pengelola PNS, yakni Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Pada masa Orde Baru, PNS dipolitisasi dengan cara monoloyalitas terhadap Golkar, yang menjadikan PNS dari sebagai abdi masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal pegawai negeri memang tidak dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam pemilihan umum, namun pada kenyataannya mereka dimobilisasi untuk memenangkan Golkar. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar. Setelah adanya Reformasi 1998, terjadi perubahan paradigma kepemerintahan. PNS yang sebelumnya dikenal sebagai alat kekuasaan pemerintah, kini diharapkan menjadi unsur aparatur negara yang profesional dan netral dari pengaruh semua golongan dari partai politik (misalnya menggunakan fasilitas negara untuk golongan tertentu) serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas tersebut, pegawai negeri dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik. PNS memiliki hak memilih dalam Pemilu, sedangkan anggota TNI maupun Polri, tidak memiliki hak memilih atau dipilih dalam Pemilu. Pada masa reformasi ini ditandai dengan terjadinya pergantian sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistis ke desentralisasi yang dikenal juga dengan era Otonomi Daerah. Demikian halnya dengan manajemen PNS, yakni dengan penerapan UU Nomor 43 Tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1974, dimana Manajemen PNS di Daerah menjadi wewenang Daerah masing-masing (yang semula merupakan wewenang Pemerintah Pusat, Decentralized System). Dengan ditetapkannya UU Nomor 43 Tahun 1999 tersebut, secara prinsip terdapat perubahan paradigma dalam bidang kepegawaian di Indonesia, yaitu dari pendekatan tata usaha kepegawaian menjadi PNS yang berbasis kompetensi dasar dan prestasi kerja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu, konsep yang dianut dalam Sistem Kepegawaian di Indonesia meliputi : a. Sumber wewenang, peranan, dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintah pada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. b. Perumusan kebijakan nasional berupa norma, standar, dan prosedur ditetapkan dan diselenggarakan oleh pemerintah. c. Manajemen operasional diselenggarakan di daerah sesuai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. d. Pengawasan dan pengadaan dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 di atas berupaya untuk meningkatkan pengelolaan Pegawai Negeri melalui suatu sistem yang disebut Manajemen PNS. Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Kebijakan- kebijakan yang terdapat dalam Manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejah-teraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum. Secara terperinci pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 memuat beberapa hal yang didalamnya merupakan bagian dari keseluruhan isi dari Manajemen PNS (MPNS). Hal-hal tersebut adalah : a. Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada Pemerintah Daerah b. Penekanan pembinaan PNS berdasarkan sistem prestasi kerja, kompetensi dan prestasi kerja. c. Penetapan gaji harus mampu memacu produktivitas pegawai. d. Dibentuknya Komisi Kepegawaian Negara yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan manajemen kepegawaian; e. PNS harus diangkat dalam jabatan tertentu. f. Pengangkatan dalam jabatan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, atau golongan. g. Penyelenggaraan kesejahteraan selain meliputi program asuransi kesehatan, asuransi pensiun dan tabungan hari tua, ditambah dengan adanya asuransi pendidikan bagi putra-putri PNS dan tabungan perumahan, dimana selain adanya iuran dari PNS, Pemerintah juga menanggung subsidi dan iuran program pensiun dan asuransi kesehatan. h. Perubahan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) menjadi Badan Kepegawaian Negara (BKN), yang tugasnya lebih terfokus pada paradigma pengembangan sumber daya PNS. i. Dibentuknya Badan Kepegawaian Daerah yang merupakan perangkat Daerah.
Dalam rangka reformasi politik telah pula disesuaikan beberapa hal penting diantaranya yaitu : a. Netralitas PNS dari pengaruh semua golongan dan partai politik harus dijamin. b. Pengaturan tentang anggota ABRI dipisahkan menjadi TNI dan POLRI.
Secara garis besar, jabatan PNS dibagi atas : a. Jabatan struktural adalah jabatan secara tegas ada dalam struktur organisasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan dengan persetujuan tertulis dari MENPAN & RB, yang dibagi dalam 10 jenjang, mulai dari Eselon V.b sampai dengan Eselon I.a b. Jabatan fungsional adalah jabatan yang walaupun tidak secara tegas tercantum dalam struktur organisasi, tetapi ditinjau dari sudut fungsinya jabatan itu harus ada untuk memungkinkan organisasi itu menjalankan tugas pokoknya, seperti Dosen, Hakim, Peneliti, dan lain-lain.
Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang meliputi: (a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip merit sistem tetapi lebih pada marriage sistem (sistem kekeluargaan) yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. (b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari sindrom kepartaian. (c) Kedepannya, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan. manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat.
Untuk mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas tersebut, beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan dalam waktu dekat. (a) Penetapan formasi PNS oleh pemerintah pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan formasi ini diikuti pula dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan dalam jabatan yang berlaku umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk menghindari kesenjangan dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas, kepangkatan maupun jabatan yang dipangkunya. (b) Sistem evaluasi kinerja PNS yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi jabatan. Upaya ini dimungkinkan bila terdapat sistem dan program seleksi Calon PNS (CPNS) yang seragam dan mengacu pada merit sistem. Untuk itu perlu digunakan alat bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga obyektifitas dalam penerimaan CPNS dapat dipertahankan. (c) Pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah yang dibentuk saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi.
Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional, netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KESIMPULAN
1. Pemerintahan orde baru lebih bersifat sentralistik dan memanfaatkan birokrasi untuk memperkuat kekuasaan. Pemanfaatan ini mengakibatkan individu yang terlibat dalam birokrasi cenderung melakukan KKN. 2. Orde baru menyebabkan timbulnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Semua urusan terpusat di Pemerintah Pusat, sehingga Daerah tidak diberi kesempatan untuk mengembangan potensi yang dimilikinya. 3. Fungsi lembaga negara pada masa orde baru, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lembaga eksekutif terlalu dominan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Sedangkan, lembaga legislatif hanya sebagai simbol formalitas, pemilihan anggota legislatif juga banyak dipengaruhi oleh presiden. 4. Pada masa orde baru, PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik tertentu, dimana PNS dijadikan anggota dan pengurus mulai dari tingkat pusat sampai daerah. 5. Sistem pengelolaan pegawai dalam masa orde baru masih berdasarkan sistem kekeluargaan, hal ini dikarenakan praktik KKN yang membudaya. 6. Reformasi membuat pemerintahan bersifat desentralistik, hal ini ditandai dengan ditetapkannya undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dengan sistem ini, diharapkan kesenjangan antara Pusat dan Daerah yang terjadi selama orde baru dapat diperbaiki. 7. Fungsi lembaga negara pada reformasi telah diperbaiki dengan adanya Amandemen Undang-Undang, sehingga ada kejelasan pemisahan fungsi dan wewenang lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. 8. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, membuat PNS harus bersifat netral dan tidak berpartisipasi dalam partai politik. Menurut undang-undang ini, pengelolaan penetapan formasi PNS harus berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan serta pembinaan PNS berdasarkan sistem prestasi kerja. 9. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan PNS saat ini adalah pemerataan PNS di seluruh wilayah serta peningkatan profesionalisme PNS dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 10. Untuk menghadapi kendala tersebut, pemerintah harus menetapkan kebijakan- kebijakan dalam pengelolaan PNS seperti pengadaan dan penempatan PNS sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi, serta adanya pengembangan PNS yang berkelanjutan dalam rangka meningkakan profesionalime PNS sebagai abdi negara.
DAFTAR PUSTAKA
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik : Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo : Jakarta. Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi : Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik. Gava Media : Yogyakarta. Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Media Pressindo : Yogyakarta. http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/files/.../NETRALITAS-BIROKRASI.doc http://rahimoke.wordpress.com/2010/10/23/pengertian-dan-perkembangan-paradigma- administrasi/ http://www.bkn.go.id/attachments/077_jurnalvol3juni2009.pdf www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8576/ riaveriani.multiply.com/journal/item/8/Sistem-Kepegawaian