You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini masih merupakan masalah
dalam kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Di Amerika Serikat osteoporosis
menyerang 20-25 juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50% penduduk di
atas umur 75-80 tahun. Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk
wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen
setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis.
Penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap memiliki risiko terkena penyakit
osteoporosis. Sama seperti pada wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen.
Bedanya, laki-laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Jumlah usia
lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414 persen dalam kurun waktu 1990-2025, sedangkan
perempuan menopause yang tahun 2000 diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun
2015.
Beberapa fakta seputar penyakit osteoporosis yang dapat meningkatkan kesadaran akan ancaman
osteoporosis berdasar Studi di Indonesia:
Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita sebanyak 18-36%, sedangkan pria
20-27%, untuk umur di atas 70 tahun untuk wanita 53,6%, pria 38%. Lebih dari 50% keretakan
osteoporosis pinggang di seluruh dunia kemungkinan terjadi di Asia pada 2050. (Yayasan Osteoporosis
Internasional) Mereka yang terserang rata-rata berusia di atas 50 tahun. (Yayasan Osteoporosis
Internasional) Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis atau
keretakan tulang. (Yayasan Osteoporosis Internasional) Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko
terkena penyakit osteoporosis. (depkes, 2006).
Berdasar data Depkes, jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dan merupakan Negara
dengan penderita osteoporosis terbesar ke 2 setelah Negara Cina.
Peran perawat adalah memberikan pengetahuan mengenai osteoporosis, program pencegahan,
pengobatan, cara mengurangi nyei dan mencegah terjadinya faktur.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Osteoporosis
2.1.1 Pengertian
A. Osteoporosis
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan masa tulang total. Terdapat perubahan
pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resoprsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan
tulang, mengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan
mudah patah. Tulang menjadi mudah fraktur dengan stress yang tidak akan menimbulkan pada tulang
normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur konversi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur
daerah koulum femoris dan daerah tronkanter, dan patah tulang coles pada pergelangan tangan. fraktur
kompresi ganda fertebra mengakibatkan deformitas skeletal.
Osteoporosis merupakan penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang
rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan meningkatnya fragilitas
tulang sehingga tulang cenderung untuk mengalami fraktur spontan atau akibat trauma
minimal.(Consensus Development Conference, 1993).

B. Kifosis
Kolaps bertahap tulang vertebra tidak menimbulkan gejala, hanya terlihat sebagai kifosis
progresif. Dengan berkembangnya kifosis terjadinya pengurangan tinggi badan. kehilangan masa tulang
merupakan fonomenal universal yang berkaitan dengan usia. kalsitonin yang menghambat resorsi tulang
dan merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. estrogen yang menghambat pemecahan
tulang juga berkurang bersama pertambahan usia. Hormon paratiroid disisi lain meningkatkan bersama
bertambahnya usia dan meningkatkan resorsi tulang. Kosekuensi perubahan ini kehilangan tulang net
bersama berjalannya waktu.

Jenis Osteoporosis
Bila disederhanakan, terdapat dua jenis osteoporosis, yaitu osteoporosis primer dan sekunder.
A. Osteoporosis primer adalah kehilangan massa tulang yang terjadi sesuai dengan proses penuaan,
sedangkan osteoporisis sekunder didefinisikan sebagai kehilangan massa tulang akibat hal hal
tertentu. Sampai saat ini osteoporosis primer masih menduduki tempat utama karena lebih banyak
ditemukan dibanding dengan osteoporosis sekunder. Proses ketuaan pada wanita menopause dan
usia lanjut merupakan contoh dari osteoporosis primer.

B. Osteoporisis sekunder mungkin berhubungan dengan kelainan patologis tertentu termasuk
kelainan endokrin, epek samping obat obatan, immobilisasi, Pada osteoporosis sekunder, terjadi
penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menimbulkan fraktur traumatik akibat faktor
ekstrinsik seperti kelebihan steroid, artritis reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom
malabsorbsi, mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, varian status
hipogonade, dan lain-lain.

C. Osteoporosis akibat pemakaian steroid
Harvey Cushing, lebih dari 50 tahun yang lalu telah mengamati bahwa hiperkortisolisme berhubungan
erat dengan penipisan massa tulang. Sindroma Cushing relatif jarang dilaporkan. Setelah pemakaian
steroid semakin meluas untuk pengobatan pelbagai kondisi penyakit, efek samping yang cukup serius
semakin sering diamati. Diperkirakan, antara 30% sampai 50% pengguna steroid jangka panjang
mengalami patah tulang (atraumatic fracture), misalnya di tulang belakang atau paha.
Penelitian mengenai osteoporosis akibat pemakaian steroid menghadapi kendala karena pasien-pasien
yang diobati tersebut mungkin mengalami gangguan sistemik yang kompleks. Misalnya, penderita artritis
rheumatoid dapat mengalami penipisan tulang (bone loss) akibat penyakit tersebut atau karena pemberian
steroid. Risiko osteoporosis dipengaruhi oleh dosis dan lama pengobatan steroid, namun juga terkait
dengan jenis kelamin dan apakah penderita sudah menopause atau belum.
Penipisan tulang akibat pemberian steroid paling cepat berlangsung pada 6 bulan pertama pengobatan,
dengan rata-rata penurunan 5% pada tahun pertama, kemudian menurun menjadi 1%-2% pada tahun-
tahun berikutnya. Dosis harian prednison 7,5 mg per hari atau lebih secara jelas meningkatkan
pengeroposan tulang dan kemungkinan fraktur. Bahkan prednison dosis rendah (5 mg per hari) telah
terbukti meningkatkan risiko fraktur vertebra.

2.1.2 Epidemologi
Wanita lebih sering mengalami osteoporosis dan lebih ekstensif lebih dari pria karena masa puncak masa
tulang juga lebih rendah dan efek kehilangan estrogen selama menopause. wanita afrika/amerika memiliki
masa tulang lebih besar dari pada wanita kaukasia lebih tidak rentang terhadap osteoporosis. Wanita
kaukasia tidak gemuk dan berkerangka kecil mempunyai resiko tinggi osteoporosis.lebih setengah dari
semua wanita diatas usia 45 tahun memperlihatkan bukti pada sinar x adanya osteoporosis.
Identifikasi awal wanita usia belasan dan dewasa muda yang mempunyai resiko tinggi dan pendidikan
untuk meningkatkan asupan kalsium, berpartisipasi dalam latihan pembebanan berat badan teratur, dan
mengubah gaya hidup misalnya mengurang penggunaan cafein,sigaret dan alcohol akan menurunkan
resiko menurukan osteporsis, faraktur tulang dan kecacatan yang diakibatkan pada usia lanjut.
Prevelensi osteoporosis pada wanita 75 tahun adalah 90%. Rata rata wanita usia 75 telah kehilangan
25% tulang kortikalnya dan 40% trabekularnya.dengan bertambahnya usia populasi ini isendensi fraktur
1,3jt pertahun,nyeri , dan kecacatan yang berkaitan dengan nyeri meningkat.

2.1.3 Patogenesis/Etiologi
Remodeling tulang normal pada orang dewasa akan meningkatkan masa tulang sampai sekitar usia 35
tahun. genetik, nutrisi, pilihan gaya hidup dan aktifitas fisik mempengaruhi puncak masa tulang
menghilangnya estrogen pada saat menopause dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorsi
tulang dan berlangsung terus menerus selama bertahun tahun pascamenopouse. Pria mempunyai massa
tulang yang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Akibatnya, insidensi
osteoporosis lebih rendah pada pria. Faktor nutrisi mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Vitamin D
penting untuk absorpsi kalsium dan untuk mineralisasi tulang normal. Diet mengandung kalsium dan
vitamin D harus mencukupi untuk mempertahankan remodeling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium
dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang
dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian yang dianjurkan (RDA=Recomment daily allowence)
kalsium meningkat pada adoleasens dan dewasa muda (11-24 thn) sampai 1200 mg untuk
memaksimalkan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tapi 1000-1500 mg/hari
untuk wanita pascamenopouse biasanya dianjurkan, lansia menyerap kalsium diet kurang efisien dan
mensekresikannya lebih cepat melalui ginjal maka wanita pascamenopouse dan lansia perlu
mengkonsumsi kalsium dalam jumlah talk terbatas. Bahan katabolic endogen (diproduksi oleh tubuh) dan
eksogen (dari sumber luar) dapat menyebabkan osteoporosis. Kortikosteroid berlebih, syndrome chusing,
hipertiroidsme dan hiperparatiroidesme menyebabkan kehilangan tulang. Derajat osteoporosis
berhubungan dengan durasi terapi kortikosteroid. Ketika terapi dihentikan atau masalah metabolisme
telah diatasi, perkembangan osteoporosis akan berhenti namun restorasi kehilangan massa tulang biasanya
tidak terjadi. Keadaan medis menyerta (misalnya sindrom malabsorpsi intoleransi laktosa,
penyalahgunaan alcohol, gagal gnjal,gagal hepar dan gangguan endokrin) mempengaruhi pertumbuhan
osteoporosis. Obat obatan misalnya isoniasit, heparin, tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium,
kortikosteroid) mempengaruhi tubuh dan metabolism kalsium.
Imobilitas menyumbang perkembangan osteoporosis. Pembentukan tulang dipercepat dengan adanya
stress berat badan dan aktifitas otot. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inalktifitas umum,
tulang akan diresorpsilebh cepat dari pmbentukannya dan terjadilah osteoporosis.

2.1.4. Faktor Resiko
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen
yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami
menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.

2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun,
wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang
trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid
meningkat.


3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko terbesar.
Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya
adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit
hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.

4. Keturunan Penderita osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah. Osteoporosis
menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan
bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang
sama.


5. Gaya Hidup Kurang Baik
Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung fosfor yang
merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.

6. Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan
rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton University
Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan hubungan antara minuman
berkafein dengan keroposnya tulang.Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih
banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu
kafein dan alkohol bersifat toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang
(osteoblas).

7. Malas Olahraga
Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses
pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak
gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.


8. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena
osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan
tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang
sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung,
dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses
pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara
langsung tidak langsung.Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan
terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek
rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah
berhenti.
9. Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil
kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.

10. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan
alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah
tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain
itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke
dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.


11. Kurus dan Mungil
Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal kurang dari 57 kg,
padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang
menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut,
terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung
kurang terbentuk sempurna.

2.1.5. Fisiologi-Patofisiologi
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk bulat dan batang padat serta
terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum tulang. Tulang ini merupakan jaringan yang terus
berubah secara konstan, dan terus diperbaharui. Jaringan yang tua akan digantikan dengan jaringan tulang
yang baru. Proses ini terjadi pada permukaan tulang dan disebut sebagai remodelling.
Dalamremodeling ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang dan osteoblast sebagai
pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah. Aktivitas osteoclast menjadi lebih dominan
dibandingkan dengan aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis. Separuh perjalanan hidup
manusia, tulang yang tua akan diresorpsi dan terbentuk serta bertambahnya pembentukan tulang baru
(formasi). Pada saat kanak-kanak dan menjelang dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan
dibandingkan dengan proses resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat dan
padat. Proses pembentukan tulang ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan dengan resorpsi tulang
sampai mencapai titik puncak massa tulang (peak bone mass), yaitu keadaan tulang sudah mencapai
densitas dan kekuatan yang maksimum. Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang
30 tahun. Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai meningkat dan melebihi
proses formasi tulang. Kehilangan massa tulang terjadi sangat cepat pada tahun-tahun pertama masa
menopause, osteoporosis-pun berkembang akibat proses resorpsi yang sangat cepat atau proses
penggantian terjadi sangat lambat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan selama kehidupan melalui
tiga fase yaitu fase pertumbuhan, fase konsolidasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak
90% dari massa tulang dan akan berakhir pada saat epifise tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi
yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak pada umur tiga
puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang berkurang ( bone loss ) sebanyak
35-50 tahun.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor sistemik adalah
hormonal yang berkainan dengan metabolisme Kalsium, seperti hormon paratiroid, Vitamin D, kalsitonin,
estrogen, androgen, hormon pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan faktor lokal adalah Sitokin dan
faktor pertumbuhan lain (IGF). (Permana, 2008)
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh pemberian steroid sehingga
mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone
resorption). Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah
transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu,
steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik menunjukkan penurunan
tingkat aposisi mineral, dan penipisan dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin
pendek. Efek steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap hormon
paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-dihidroksi vitamin D. Sintesis dan
aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan
tulang dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang mengalami
resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai gangguan resorpsi tulang
masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid.
Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons
osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama
dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun, kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan
peningkatan kadar hormon paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan
peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap segmen-segmen usus tidak sama.
Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi
kalsium, steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urin. Pada pasien dengan pemberian steroid
jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan
penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin mengganggu metabolisme vitamin D,
walaupun dugaan ini belum didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihidroksi vitamin D dalam serum menurun
akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hidroksi vitamin D menjadi 1,25 dihidroksi vitamin D
tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis, sehingga fungsi gonadterganggu.
Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH dan menurunkan
produksi estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi hormon
seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling memperkuat efek terhadap laju penipisan
tulang. Ketika bone thinning terjadi, bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian
kortikal. Dengan demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan setelah pemakaian steroid
eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan
normal. Resiko osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi.
Belum jelas, apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/dl
atau yang setara dan dosis yang dihirup lebih besar dari 800-1200 g beclomethasone, 800-1000 g
budesonide, 750 g fluticasone, dan 1000 g flunisolide) dalam jangka waktu pendek ( 6 bulan), atau
dosis yang rendah (prednison 7,5 mg/dl) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko
osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi dengan ditandai kehilangan massa
tulang yang signifikan. Secara umum, dosis yang rendah lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun
tidak jelas berapa dosis yang benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan
pemberian 5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian steroid
dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko osteoporosis dan pemantauan secara terus-
menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat digambarkan sebagai 2 proses
utama. Proses yang pertama adalah penurunan pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi
steroid secara kronik menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik secara langsung.
Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid
mengakibatkan resoprsi tulang dan hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon
steroid seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan resorpsi tulang
(Wachjudi, 2008).

Gambar 2.1 Patofisiologi Osteoporosis Akibat Steroid (Wachjudi, 2008)


2.1.6. Manifestasi Klinis
Osteoporosis merupakan silent disease. Penderita osteoporosis umumnya tidak mempunyai keluhan sama
sekali sampai orang tersebut mengalami fraktur.Osteoporosis mengenai tulang seluruh tubuh, tetapi
paling sering menimbulkan gejala pada daerah-daerah yang menyanggah berat badan atau pada daerah
yang mendapat tekanan (tulang vertebra dan kolumna femoris). Korpus vertebra menunjukan adanya
perubahan bentuk, pemendekan dan fraktur kompresi. Hal ini mengakibatkan berat badan pasien menurun
dan terdapat lengkung vertebra abnormal(kiposis). Osteoporosis pada kolumna femoris sering merupakan
predisposisi terjadinya fraktur patologik (yaitu fraktur akibat trauma ringan), yang sering terjadi pada
pasien usia lanjut.
Masa total tulang yang terkena mengalami penurunaan dan menunjukan penipisan korteks serta trabekula.
Pada kasus ringan, diagnosis sulit ditegakkan karena adanya variasi ketebalan trabekular pada individu
normal yang berbeda.
Diagnosis mungkin dapat ditegakkan dengan radiologis maupun histologist jika osteoporosis dalam
keadaan berat. Struktur tulang, seperti yang ditentukan secara analisis kimia dari abu tulang tidak
menunjukan adanya kelainan. Pasien osteoporosis mempunyai kalsium,fosfat, dan alkali fosfatase yang
normal dalam serum.
Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara factor genetic dan factor lingkungan,
yaitu :
1. Factor genetic meliputi: usia jenis kelamin, ras keluarga, bentuk tubuh, tidak pernah melahirkan.
2. Factor lingkungan meliputi: merokok, alcohol, kopi, defisiensi vitamin dan gizi, gaya hidup,
mobilitas, anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan.
Kedua factor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap kalsium dari darah ke tulang,
peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak tercapainya masa tulang yang maksimal dengan
resobsi tulang menjadi lebih cepat yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari
pada pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang disebut osteoporosis.

2.1.7. Prognosis
Prospek untuk pasien dengan osteoporosis sangat tergantung pada mana terjadi fraktur. Selain itu, jika
pengobatan dimulai ketika penyakit tulang terdeteksi dini, hasilnya lebih baik.

Patah tulang pinggul adalah konsekuensi yang sangat berbahaya dari osteoporosis pada orang tua. Sekitar
20% dari mereka yang mengalami patah tulang pinggul akan meninggal di tahun berikutnya fraktur.
Hanya satu-sepertiga dari pasien hip-patah tulang kembali tingkat pra-fraktur mereka fungsi. Sepertiga
pasien hip-patah tulang dibuang ke panti jompo dalam tahun setelah patah tulang.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada
vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa
korteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya
korpus vertebra menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang
intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
2. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyao nilai penting dalam
diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm
3
baisanya tidak menimbulkan fraktur
vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm
3
ada pada hampir semua klien
yang mengalami fraktur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi ekstrogen merangsang
pembentukkan Ct)
Kadar 1,25-(OH)
2
-D3 absorbsi Ca menurun.
Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.

2.1.9. Penatalaksanaan
Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup, dengan pengingkatan
asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi terhadap demineralisasi skeletal.
Terdiri dari 3 gelas vitamin D susu skim atau susu penuh atau makanan lain yang tinggi kalsium (mis keju
swis, brokoli kukus, salmon kaleng dengan tulangnya) setiap hari. Untuk meyakinkan asupan kalsium
yang mencukupi perlu diresepkan preparat kalsium(kalsium karbonat)
Pada menopause, terapi pergantian hormone(HRT=hormone replacemenet therapy) dengan estrogen dan
progesteron dapat diresepkan untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah
tulang yang diakibatkannya. Wanita yang telah mengalami pengangkatan ovarium atau telah menjalani
menopause prematur dapat mengalami osteoporosis pada usia yang cukup muda;penggantian hormon
perlu dipikirkan pada pasien ini estrogen menurunkan resorpsi tulang tapi tidak meningkatkan massa
tulang. Penggunaan hormon dalam jangka panjang masih dievaluasi. Estrogen tidak akan mengurangi
kecepatan kehilangan tulang dengan pasti. Terapi estrogen sering dihubungkan dengan sedikit
pengingkatan insidensi kanker payudara dan endometrial. Maka selama HRT pasien harus diperiksa
payudaranya setiap bulan dan diperiksa panggulnya termasuk masukan papanicolaou dan biopsi
endometrial (bila ada indikasi), sekali atau dua kali setahun.
Obat-obat lain yang dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis termasuk kalsitonin, natrium
fluorida, dan natrium etidronat. Kalsitonin secara primer menekan kehilangan tulang dan diberikan secara
injeksi subkutan atau intra muscular. Efek samping ( mis gangguan gastrointestinal, aliran panas,
frekuensi urin) biasanya ringan dan kadang-kadang dialami. Natrium fluoride memperbaiki aktifitas
osteoblastik dan pembentukan tulang ; namun,kualitas tulang yang baru masih dalam pengkajian. Natrium
etidronat, yang menghalangi resorpsi tulang osteoklastik, sedang dalam penelitian untuk efisiensi
penggunaannya sebagai terapi osteoporosis.

2.1.10 Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah. Osteoporosis
sering mengakibatkan fraktur.
Fraktur patologis pada:
- Tulang belakang
- Kolumna femoris
- Pergelangan tangan = tersering

You might also like