You are on page 1of 25

1

PENDAHULUAN
Darah merupakan jaringan cair yang sangat penting bagi manusia yang memiliki
banyak kegunaan untuk menunjang kehidupan. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat
mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Darah terdiri
atas dua bagian, bagian cair yang disebut plasma dan unsur unsur padat yaitu sel-sel darah.
Darah membentuk 6 sampai 8% dari berat badan tubuh total, volume darah secara
keseluruhan kira kira 5 liter. Tiga jenis sel darah utama adalah sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Cairan kekuningan yang membentuk
medium cairan darah yang disebut plasma darah membentuk 55% dari volume darah total.
Sedangkan 45% sisanya adalah sel darah. Eritrosit menempati bagian besar volumenya yaitu
sekitar 99%, trombosit (0,6 1,0%) dan leukosit (0,2%). (Ronald A.Sacher, Richard
A.McPherson, 2004; Evelyn C.Pearce, 1979)
Fungsi Darah Pada Tubuh Manusia :
1. Fungsi utama darah adalah untuk transportasi
2. Eritrosit tetap berada dalam system sirkulasi
Mengangkut Hemoglobin (Hb) mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan,
Hb merupakan pengatur keseimbangan asam basa
Mengkatalisis reaksi CO2 dan air secara cepat dengan bantuan enzim karbon
anhidrase
3. Leukosit bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh dan diangkut oleh darah ke
berbagai jaringan tepat sel sel tersebut melakukan fungsi fisiologiknya.
4. Trombosit berperan mencegah tubuh kehilangan darah akibat perdarahan.
5. Plasma merupakan pengangkut utama zat gizi dan produk sampingan metabolik ke
organ-organ tujuan untuk penyimpanan atau ekskresi.
6. Eosinofil berperan untuk melakukan fagositosis, yaitu memusnahkan setiap sel asing
yang memasuki tubuh. (Harun Yahya, 2008 ; Djunaedi Wibawa, 2011 ; Ronald
A.Sacher, Richard A.McPherson, 2004)
Hematopoiesis
Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan perkembangan
sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan
diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan peningkatan
atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent menghasilkan
2

sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan
diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang
berbeda-beda.
Tempat terjadinya hematopoiesis pada manusia :
1. Embrio dan Fetus
a. Stadium Mesoblastik, Minggu ke 3-6 s/d 3-4 bulan kehamilan : Sel-sel
mesenchym di yolk sac. Minggu ke 6 kehamilan produksi menurun diganti organ-
organ lain
b. Stadium Hepatik, Minggu ke 6 s/d 5-10 bulan kehamilan : Menurun dalam waktu
relatif singkat. Terjadi di Limpa, hati, kelenjar limfe
c. Stadium Mieloid, Bulan ke 6 kehamilan sampai dengan lahir, pembentukan di
sumsum tulang : Eritrosit, leukosit, megakariosit.
2. Bayi sampai dengan dewasa
Hematopoiesis terjadi pada sumsum tulang, normal tidak diproduksi di hepar dan
limpa, keadaan abnormal dibantu organ lain.
a. Hematopoiesis Meduler (N)
Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah sumsum tulang. Lebih dari 20
tahun : corpus tulang panjang berangsur angsur diganti oleh jaringan lemak
karena produksi menurun.
b. Hematopoiesis Ekstrameduler (AbN)
Dapat terjadi pada keadaan tertentu, misal: Eritroblastosis foetalis, An.Peniciosa,
Thallasemia, An.Sickle sel, Spherositosis herediter, Leukemia. Organ organ
Ekstrameduler : Limpa, hati, kelenjar adrenal, tulang rawan, ginjal, dll (Erslev AJ,
2001)
Macam macam hematopoiesis
1. Seri Eritrosit (Eritropoesis)
Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil),
perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu nukleoli
makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal, warna inti gelap
Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut :
a. Proeritroblas
3

Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit. Proeritroblas
adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20m. Inti mempunyai pola
kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola kromatin hemositoblas,
serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan sitoplasma bersifat basofil sedang.
Setelah mengalami sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas menjadi basofilik
eritroblas.
b. Basofilik Eritroblas
Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan diameternya rata-
rata 10m. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam jala-jala kasar, dan anak
inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang nampak basofil sekali.
c. Polikromatik Eritroblas (Rubrisit)
Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah berkali-kali secara
mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan hemoglobin yang cukup untuk
dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman
atau Giemsa, sitoplasma warnanya berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-
abu karena adanya hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam
sitoplasma yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas mempunyai jala
kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil.
d. Ortokromatik Eritroblas (Normoblas)
Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis. Normoblas lebih
kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung inti yang lebih kecil yang
terwarnai basofil padat. Intinya. secara bertahap menjadi piknotik. Tidak ada lagi
aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel bersama-sama dengan pinggiran
tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan dimakan oleh makrofagmakrofag yang
ada di dalam stroma sumsum tulang.
e. Retikulosit
Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan
mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat
mensintesis hemoglobin. (Child, J.A, 2010 ; Erslev AJ, 2001) Retikulosit dianggap
kehilangan sumsum retikularnya sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena
jumlah retikulosit dalam darah perifer normal kurang dari satu persen dari jumlah
eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama sebelum menjadi retikulosit
terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit terdapat baik pada sumsum tulang maupun
4

darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan waktu kurang lebih 2 3 hari
untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke dalam darah. (Bell dan Rodak, 2002)
f. Eritrosit
Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel ini berbentuk
lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada manusia, sel ini berada di
dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal pada tubuh laki laki
5,4 juta/l dan pada perempuan 4,8 juta/l. setiap eritrosit memiliki diameter sekitar
7,5 m dan tebal 2 m. (Ganong, William F.1998).
Perkembangan normal eritrosit tergantung pada banyak macammacam faktor,
termasuk adanya substansi asal (terutama globin, hem dan besi). Faktor-faktor lain,
seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor intrinsic (normal ada dalam getah
lamung), yang berfungsi sebagai koenzim pada proses sintesis, juga penting untuk
pendewasaan normal eritrosit.(Djunaedi Wibawa, 2011)
Pada sistem Eritropoesis dikenal juga istilah Eritropoiesis inefektif, yang dimaksud
Eritropoiesis inefektif adalah suatu proses penghancuransel induk eritroid yang
prematur disumsum tulang. Choi, dkk, dalam studinya bahwa pengukuran radio
antara retikulosit di sumsum tulang terhadap retikulosit di darah tepi merupakan
ukuran yang pentng untuk bisa memperkirakan beratnya gangguan produksi SDM.
(Choi JW. 2006)
2. Seri Leukosit
- Leukosit Granulosit / myelosit
Myelosit terdiri dari 3 jenis yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil yang
mengandung granula spesifik yang khas. Tahapan perkembangan myelosit yaitu :
1) Mieloblas
Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri
granulosit. Diameter berkisar antara 10-15m. Intinya yang bulat dan besar
memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti.
2) Promielosit
Sel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta anak
inti yang tak jelas.
3) Mielosit
Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada proses
diferensiasi timbul grnula spesifik, dengan ukuran, bentuk, dan sifat terhadap
pewarnaan yang memungkinkan seseorang mengenalnya sebagai neutrofil,
5

eosinofil, atau basofil. Diameter berkisar 10m, inti mengadakan cekungan
dan mulai berbentuk seperti tapal kuda.
4) Metamielosit
Setelah mielosit membelah berulang-ulang, sel menjadi lebih kecil kemudian
berhenti membelah. Sel-sel akhir pembelahan adalah metamielosit.
Metamielosit mengandung granula khas, intinya berbentuk cekungan. Pada
akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang. Karena sel-sel
bertambah tua, inti berubah, membentuk lobus khusus dan jumlah lobi
bervariasi dari 3 sampai 5. Sel dewasa (granulosit bersegmen) masuk
sinusoid-sinusoid dan mencapai peredaran darah. Pada masing-masing tahap
mielosit yang tersebut di atas jumlah neutrofil jauh lebih banyak daripada
eosinofil dan basofil.
- Leukosit non granuler
1) Limfosit
Sel-sel precursor limfosit adalah limfoblas, yang merupakan sel berukuran
relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung kromatin yang
relatif dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen dan basofil.
Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya menjadi lebih tebal
dan padat dan granula azurofil terlihat dalam sitoplasma. Ukuran selnya
berkurang dan diberi nama prolimfosit. Sel-sel tersebut langsung menjadi
limfosit yang beredar.
2) Monosit
Monosit awalnya adalah monoblas berkembang menjadi promonosit. Sel ini
berkembang menjadi monosit. Monosit meninggalkan darah lalu masuk ke
jaringan, disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70 hari
3. Seri Trombosit (Trombopoesis)
Pembentukan Megakariosit dan Keping-keping darah Megakariosit adalah sel
raksasa (diameter 30-100m atau lebih). Inti berlobi secara kompleks dan
dihubungkan dengan benang-benang halus dari bahan kromatin. Sitoplasma
mengandung banyak granula azurofil dan memperlihatkan sifat basofil setempat.
Megakariosit membentuk tonjolan-tonjolan sitoplasma yang akan dilepas sebagai
keping-keping darah. Setelah sitoplasma perifer lepas sebagai keping-keping darah,
megakariosit mengeriput dan intinya hancur. (Nadjwa Zamalek D, 2002 ; Indranila
KS, 1994).
6


Gambar 1. hematopoeisis
Perubahan massa sel darah merah menimbulkan 2 keadaan yang berbeda (Price &
Wilson, 1994). Jika jumlah sel darah merah berkurang maka timbul suatu keadaan yang kita
kenal dengan anemia. Sebaliknya jika jumlah massa sel darah merah terlalu banyak maka
akan terjadi polisitemia. Di sini akan diuraikan sedikit tentang anemia, terutama anemia
aplastik.
Definisi anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin
dan volume pada sel darah merah per 100 ml darah (Price dan Wilson, 1994). Dapat
disimpulkan dari definisinya bahwa anemia merupakan efek dari perubahan patofisiologis,
yang dapat diamati dari gejala fisik, anamnesa serta pemeriksaan laboratorium. Anemia lebih
dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Penyakit ini rentan dialami pada semua
siklus kehidupan (balita, remaja, dewasa, bumil, busui, dan manula). Anemia didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit
berdasarkan nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel
7

darah merah (eritrosit) dan Hb, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan
darah yang berlebihan.
Tabel 1.1 Nilai Ambang Batas Pemeriksaan Hematokrit dan Hemoglobin
Kelompok umur/jenis
kelamin
Konsentrasi hemoglobin
(< g/dl)
Hematokrit
( < %)
6 bulan-5 tahun
5-11 tahun
12-13 tahun
Wanita
Ibu hamil
Laki-laki
11.0
11.5
12.0
12.0
11.0
13.0
33
34
36
36
33
39
Sumber: WHO/UNICEF/UNU, 1997
ANEMIA APLASTIK

DEFINISI
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa (Widjanarko, 2007).
Definisi yang lain menyebutkan juga bahwa Anemia aplastik didefinisikan sebagai
pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang, dan diklasifikasikan menjadi jenis
primer dan sekunder (Hoffbrand, 2005)
Ada pula yang mendukung Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoesis yang
ditandai oleh penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya sistem
keganasan hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang (Aghe,
2009).

PREVALENSI
Ditemukan lebih dari 70 % anak-anak menderita anemia aplastik. Tidak ada
perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan, namun beberapa penelitian
nampak insiden pada laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penyakit ini termasuk penyakit
yang jarang dijumpai dinegara barat dengan insiden 1-3/ 1 juta/tahun. Namun dinegara timur
8

seperti Thailand, negara asia lainnya seperti indonesia, Taiwan dan Cina insidennya lebih
tinggi. Penelitian pada tahun 1991 diBangkok didapatkan 3.7/1 juta/tahun. ( Aghe,2009 )


ETIOLOGI
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik, yaitu
penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam mencari penyebab ini
karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan dan karena belum adanya model binatang
percobaan yang tepat. Penyebab anemia aplastik dapat dibedakan atas penyebab primer dan
sekunder (Bakta, 2006).
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1. Faktor kongenital.
Anemia aplastik yang diturunkan : sindroma fanconi yang biasanya disertai kelainan
bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan
sebagainya.(Aghe, 2009)
- Anemia Fanconi, adalah kelainan autosomal resesif yang di tandai oleh defek pada
DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukimia dan tumor padat
(Wijanarko, 2007).
- Diskeratosis kongenita, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang
secara klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan
leukoplakia mukosa. Diskeratosis kongenita autosomal dominan disebabkan mutasi
pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) dan pada akhirnya
mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal (Wijanarko,
2007).
- Sindrom Shwachman-Diamond, adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi, penyakit ini memiliki resiko myelodisplasia
atau leukimia pada usia yang sangat muda (Wijanarko, 2007).
- Trombositopenia amegakryositik, adalah kelainan yang ditandai dengan
trombositopenia berat dan tidak adanya megakryosit pada saat lahir ( Wijanarko,
2007).
- Aplasia sel darah merah murni/pure red cell anemia (PRCA), yaitu anemia yang
timbul karena kegagalan murni sistem eritroid tanpa kelainan sistem mieloid atau
megakaryosit (Bakta, 2006).
9

2. Faktor didapat
Sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik sebagian lanilla dihubungkan dengan:
bahan kimia:
1. Hidrokarbon siklik: benzena & trinitrotoluena
2. Insektisida: chlorade atau DDT
3. Arsen anorganik (Bakta,2006)
obat-obatan :
Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas utamanya;
efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Berbeda dengan hal
tersebut, reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik
tanpa hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan suatu
penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara kuantitatif menilai
pengaruh obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik, beberapa
psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas. (Aghe, 2009)
Tidak semua hubungan selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat
digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum (antibiotic untuk demam
atau gejala infeksi virus) atau memprovokasi gejala pertama dari penyakit sebelumnya
(petechiae akibat NSAID yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada konteks
penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada beberapa
orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab utama, namun
dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan
kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko selalu lebih besar
ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol
dicurigai menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti
dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang). Perkiraan resiko biasanya lebih
rendah ketika penelitian berdasarkan populasi ( Harisson, 2008).
Akibat kehamilan
Pada kehamilan kadang-kadang ditemikan pansitopenia yang disertai aplasia sumsum
tulang yang berlangsungnya bersifat sementara. Mungkin ini disebabkan oleh estrogen
dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak adanya
perangsang hematopoiesis. Anemia ini sembuh setelah terminasi kehamilan dan dapat
kambuh lagi pada kehamilan berikutnya (Wijanarko, 2007).
infeksi :
10

Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia
aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan
kejadian. Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2
bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif (non-A,
non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang tidak terdeteksi.
Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis seronegatif dan
kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini. Anemia aplastik terkadang
terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum
pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus
B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red
Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan
hitung darah yang ringan sering terjadi pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan
virus namun sembuh kembali setelah infeksi berakhir (Harrison, 2008).

Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem
sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan
mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel
hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula
pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Aghe,2009).
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya
paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai
terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan
penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima
radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum
tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk
sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi
yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada
dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan
jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
(Solander, 2006)

KLASIFIKASI
11

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi
tidak berat, berat, atau sangat berat (lihat tabel). Resiko morbiditas dan mortalitas lebih
berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka
kematian setelah 2 tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat
atau sangat berat sekitar 80%, infeksi jamur dan sepsis bakterial adalah penyebab kematian
utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi (Widjanarko, 2007).
Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut

:
A. Klasifikasi menurut kausa :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi(solander,2006)
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.
Anemia aplastik berat





Anemia aplastik sangat berat

Anemia aplastik bukan berat
- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x10
9
/l
trombosit <20x10
9
/l
retikulosit < 20x10
9
/l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil
<0,2x10
9
/l
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
o netrofil < 1,5x10
9
/l
o trombosit < 100x10
9
/1
o hemoglobin <10 g/dl

(Wijanarko, 2007)
12


PATOGENESIS
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia
aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologi
penyakit ini yaitu :
1. kerusakan sel hematopoitik
2. kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. proses imunologik yang menekan hematopoisis (Aghe, 2009)
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-
obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi
aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan
DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai
DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang
ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak kemungkinan yang harus
13

disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti maka digolongkan ke dalam
penyebab idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan
sumsum tulang adalah iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan
yang terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan
sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan
baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas langsung atau
defisiensi selsel stromal. Penyimpangan proses imunologis yang terjadi pada anemia aplastik
berhubungan dengan infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia.
Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan interaksi antara
progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro (microenvironment) pada
sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi
oleh faktor pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan
pemeriksaan flouresent activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34+
dan adhsesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal.
Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa mekanisme yaitu kerusakan
pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan
hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang melalui mekanisme imunologis.
Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam kerusakan jaringan sumsum
tulang melalui pelepasan limfokin seperti interferon- (IFN-) dan tumor necrosis factor
(TNF-). Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel
T.aktivasi reseptor Fas melalui Fas-Ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek
IFN- melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen dan
masuk ke dalam siklus sel. IFN- juga menginduksi pembentukan nitric oxide synthase
(NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek
toksiknya menyebar.

MANIFESTASI KLINIS
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan. Hitung jenis darah
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-
debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia
meningkatkan kerentana terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan
demam (Widjanarko,2007).
14

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia
tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-
organ.

Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan
adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga
dikeluhkan (Solander,2006).
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel). Pada tabel terlihat bahwa
pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
(Widjanarko, 2007).


Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5
terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-
macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada
satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis
(Widjanarko, 2007).
Keluhan Pasien Anemia Apalastik & Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik
15















PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboraturium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya
eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis
(Widjanarko, 2007).
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm
3
dan trombosit kurang dari
20.000/mm
3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari
200/mm
3
menandakan anemia aplastik sangat berat.(Solander, 2006)
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan
merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.(Aghe,2009)

Jenis Keluhan

%
Jenis Pemeriksaan
Fisik

%
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13
Pucat
Pendarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali
100
63
34
26
20
7
6
3
16
7
0
16

Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional. Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum
biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit
yang bersirkulasi (Solander,2006).
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang
kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag
dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain
daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran
partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan,
beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi
megakariosit rendah(Solander,2006).
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi
dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual
hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk
mengklarifikasi diagnosis (Aghe,2009).
c. Laju endap darah
Laju endap darah selalu meningkat. Ditemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai
laju endap darah lebi dari 100 mm dalam jam pertama(Widjanarko, 2007).
d. Faal Hemostasis
waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal (Widjanarko, 2007).
e. Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka pemeriksaan virologi
perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya. Evaluasi diagnosis anemia aplastik
meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, provovirus, dan sitomegalovirus
f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab terjadinya
anemia aplastik.
17


Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa
anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang
yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada
pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidak hadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak (Solander, 2006).
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat
membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang
berseluler (Widjanarko, 2007).
Radionuclide Bone Marrow Imaging
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik
dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang
atau iodium cloride yang akan terikat pada transferrin(Widjanarko, 2007).

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel

Penyebab Pansitopenia
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis


18

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia
tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan
sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang
abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het),
prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik
serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia
aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan
megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit
unilobuler)(Solander, 2006).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik
abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi (Aghe, 2009).
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel
limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang (Solander, 2006).
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik
lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang
normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik(Harrison, 2008).

PENATALAKSANAAN
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien.
Menejemen awal Anemia Aplastik:
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
19

infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien(Solander,2006)



a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells
sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm
3
. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm
3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi
trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap
trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada
manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG)
atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada
15
:
o Anemia aplastik bukan berat
o Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
o Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm
3

Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
1
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi
ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan
20

proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. Sebuah protokol pemberian ATG dapat dilihat
pada tabel.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG,
siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar
46%.
1
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif.
Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid
dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar
tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis.
Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya
mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin.
9
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini,
studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya,
75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam
1 tahun setelah terapi ATG.
21



c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-
faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.
1
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap
siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG
kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan
hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik.
Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi
penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah
dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
11,15

Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-
sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan
pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai
terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi,
transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya
sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk
transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang
berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin
meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan
sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).
15
Pasien dengan usia > 40
tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia
muda.
9,10

22




Gambar : Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang
dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.
10

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.
10
Pasien dengan umur kurang
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan.
15
Akan tetapi survival pasien yang menerima
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.
9,10

Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi
selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari
donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk
mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk
akibat tansfusi.
15

Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut:
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm
3
dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm
3
.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm
3
dan
trombosit dibawah 100.000/mm
3
.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering terjadi dari anemia aplastik ini adalah perdarahan dan
rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya kadar trombosit dan kurangnya
23

kadar leukosit. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, kadar leukosit dan trombosit ini
menurun diakibatkan kegagalan sumsum tulang.
Terapi anemia aplastik juga dapat menyebabkan komplikasi pada penderita anemia
aplastik ini. Komplikasi yang dimaksud adalah GVHD (Graft-Versus-Host-Disease). Hal ini
merupakan kegagalan dari terapi transplantasi sumsum tulang. Maksudnya transplantasi
sumsum tulang merupakan salah satu terapi untuk penderita Anemia Aplastik. Terapi ini
dapat dilakukan jika si pasien masih muda dan HLA si pendonor cocok dengan si penderita.
HLA yang cocok biasanya jika berasal dari saudara kandung atau orang tua si penderita.
GVHD terjadi sebagai bukti bahwa terapi yang dilakukan gagal.

PROGNOSIS

Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25% dari pasien meninggal
dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada pasien yang mengalami
transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya adalah 70-90%, walaupun 20%-30%
dari pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang mengalami Graft versus Host
Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang intensif memberikan peningkatan
yang signifikan pada Blood Count pada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko
36% dari pasien kambuh setelah 2 tahun















24













DAFTAR PUSTAKA

Salonder H. Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
Bakta IM. Buku Panduan Hematologi Ringkas. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI,2006
Bakhshi, Sameer, MD. 2009. Aplastic Anemia. http://www.emedicine.com/
Aghe NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw Hill, 2009:617-25.

http://www.docstoc.com/docs/159607808/Pathway-Anemia-Aplastik
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-mugiyanti0-5260-2-bab2.pdf
http://d-progis.blogspot.com/
http://titoxanswer.blogspot.com/2011/12/anemia-aplastik.html
http://adnesmareta94.blogspot.com/2013/03/anemia-aplastik.html
http://nerdyna.blogspot.com/2011/09/anemia.html
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/7897/5980
25

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/2/jtptunimus-gdl-s1-2007-erianiradi-97-2-bab2.pdf

You might also like