You are on page 1of 12

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEUANGAN


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG


PAPER
TAKDIR BUKANLAH ALASAN UNTUK BERBUAT MAKSIAT


Diajukan oleh :
Maulynda Arifah Rahmawati
NPM: 133060018405


Mahasiswa Program Diploma III Keuangan
Spesialisasi Akuntansi
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam
Tahun 2014
PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai takdir mejadi salah satu topik yang menarik di
kalangan umat muslim. Bagi umat Islam, takdir merupakan bagian dari Aqidah karena
merupakan bagian dari iman kepada qadha dan qadar dimana kata takdir adalah
bagian dari qadar. Oleh karena itu, takdir merupakan bahasan yang sangat penting
sebab takdir akan menentukan arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal
yang terjadi selama hidupnya.
Selain menjadi bahasan yang sangat penting, takdir dalam Islam juga
menjadi masalah yang pelik, terdapat konsep bahwa nasib semua manusia telah
ditetapkan, ada yang ditakdirkan berakhir baik (khusnul khatimah) dan ada pula yang
ditakdirkan berakhir buruk (suul khatimah). Dengan demikian, kehidupan yang
sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan dalam kitab Lauhul Mahfudz
yang terjaga rahasianya dan tidak satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya.
Sebagai manusia yang dapat dilakukan adalah menjemput takdir.
Manusia diwajibkan untuk selalu bertawakal atas setiap kejadian yang terjadi
kepadanya karena semua kejadian yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah
SWT. Begitu pula dengan setiap peristiwa baik itu bencana atau sesuatu yang
menggembirakan adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT. Dengan bekal
keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin
tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya dan tidak berbangga diri
dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan
sesuai ketentuan-ketentuan Illahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka
kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras
untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat
Rabbulalamin dan menjadi penghuni Surga.
PEMBAHASAN

1. Pengertian takdir
Kata Takdir berasal dari bahasa Arab, yakni Takdir () yang berakar kata
dari kata qaddara ( ) yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau
memberi kadar.
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang
meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya,
tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu
ada takdirnya, termasuk manusia.
Pengertian Takdir menurut istilah adalah ukuran yang sudah ditentukan
Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi boleh saja berubah jika
ada usaha untuk merubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentakdirkan demikian,
maka itu berarti bahwa Allah telah memberi kadar/ ukuran/ batas tertentu dalam
diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluknya. Kemampuan pada diri manusia
inilah yang boleh berubah, dan terkadang memang mengalami perubahan
disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri.
Pengertian Takdir menurut istilah tersebut, mencerminkan adanya
kemungkinan perubahan takdir dari Allah. Manusia mempunyai kemampuan
terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Namun,
manusia bisa mengubah takdirnya dengan akal dan usahanya.
2. Pengaruh takdir bagi manusia
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah
yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam rukun iman. Penjelasan tentang
takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits.
Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai
segala sesuatu yang sudah terjadi.
Banyak para filosof atau teolog serta ulama yang berbicara tentang takdir ini,
terbagi dalam dua aliran pemikiran besar yaitu :
Qadariyyah
istilah ini untuk mereka yang mengatakan bahwa kebebasan kehendak manusia,
dimana segala sesuatu adalah upaya dari manusia itu sendiri dengan kata lain
bahwa nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri.
J abbariyyah
Banyak dianut oleh kaum Asyariyyah yang mengatakan bahwa manusia tidak
memiliki ikhtiar atau kebebasan memilih, dengan kata lain, semua telah diatur oleh
sang pencipta, dan inilah yang menyebabkan berdampak manusia menjadi jumud
dan statis.
Pada hakikatnya kedua pemikiran ini pasti tidak akan terlepas dari
kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat dipertahankan. Kedua pendapat
tersebut masing-masing mencakup sebagian saja dari kebenaran. Percaya terhadap
qadha dan qadar serta ketauhidan perbuatan sama sekali tidak identik dengan
kebebasan sepenuhnya dari manusia. Sebagaimana juga kepercayaan kepada
ikhtiar dan kebebasan manusia tidak berarti pengingkaran terhadap qadha dan
qadar.
Manusia sejak terlahir di dunia ini telah memiliki sejenis kebebasan ikhtiar
serta kemampuan tertentu dalam aktifitas yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Keberadaan semua ini bersumber dari sitem Illahi yang riil dan alam ini ciptaan-
Nya, maka pengetahuan awal atau azali yang berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan manusia berarti bahwa Allah mengetahui sejak semula tentang siapa-
siapa yang akan taat dengan ikhtiar dan kebebasannya serta siapa-siapa yang
bermaksiat dengan ikhtiar dan kebebasan pula. Jadi yang merupakan keharusan
dan konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat dengan
kemauannya sendiri maupun maksiat dari si pelaku maksiat dengan
kemampuannya sendiri pula. Ilmu Allah adalah aktif dan positif, bukannya reaktif
dan pasif, akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat terpaksa
dan tidak memiliki ikhtiar, dan disaat melakukan kemaksiatan, ia berada dibawah
paksaan untuk bermaksiat dari sesuatu yang lebih tinggi daripadanya. Kebenaran
yang sesungguhnya yaitu keberadaan makhluk Allah sebagai sesuatu yang
memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam ilmu Illahi bersifat bebas dan
berikhtiar.
Manusia memiliki kebebasan untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan.
Sehingga timbul suatu pertanyaan, apakah perbuatan maksiat itu bersifat sukarela
dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa paksaan,
ataukah yang bersifat paksaan oleh sesuatu kekuatan yang berada diluar kekuatan
manusia ?
Sesungguhnya yang diketahui Allah sejak Azali, bukan adanya perbuatan
maksiat yang dipaksakan, melainkan perbuatan maksiat secara sukarela (ikhtiar).
Oleh karena pengetahuan Allah yang seperti itulah, maka seandainya orang
tersebut dipaksa, dijadikan majbur (tidak memiliki ikhtiar) untuk tidak berbuat
maksiat, atau sebaliknya dipaksa untuk melakukan maksiat, hal ini tentunya
mengalihkan atau mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.
Pengetahuan Allah yang Azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu
yang ada di alam ini dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar sama sekali bukanlah
Jabr. Konsekuensi ilmu Allah adalah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang
memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar secara tetap dan pasti. Oleh sebab
itu, dapat dibenarkan anggapan yang menyebutkan bahwa menjadikan dosa
sebagai sesuatu yang disebabkan oleh pengetahuan Allah, menurut anggapan yang
berakal adalah sama dengan ketidaktahuan.




3. Takdir bukanlah alasan untuk berbuat maksiat
Sebagian orang ada yang beralasan dengan takdir ketika berbuat maksiat atau
dosa. Seorang pencuri, perampok atau peminum minuman keras, bisa jadi akan
mengatakan, "Habis mau bagaimana, memang sudah dari sananya," maksudnya
sudah ditetapkan olah Allah SWT. Ada kalanya mereka mengatakan demikian
karena untuk menenangkan atau menghibur diri. Bahkan ada yang mengaku bahwa
itu adalah bagian dari keimanan terhadap qadha' dan qadar. Yakni qadar Allah
yang baik dan yang buruk yang manis maupun yang pahit, semuanya dari Allah.
Sehingga dengan alasan itu seakan-akan mereka terbebas dari kesalahan dan
tuntutan dosa karena apa yang dia lakukan berupa kemaksiatan adalah berasal dari
ketetapan Allah juga.
Pada dasarnya memang segala sesuatu adalah ciptaan Allah SWT, apa yang
Dia kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan
terjadi. Hanya Allah sendirilah yang bukan makhluk, baik Dzat maupun sifat-sifat-
Nya, sedangkan selain Dia adalah makhluk, Dialah Al- Khaliq. Dan di antara
makhluk Allah SWT adalah kebaikan dan keburukan. Makhluk ciptaan Allah yang
baik misalnya malaikat dan para nabi, dan makhluk Allah yang buruk misalnya
Iblis dan para penentang rasul.
Namun harus diingat bahwa Allah SWT menjadikan manusia ini bukan
seperti robot yang tergantung operator. Bukan pula seperti batu dan pohon.
Manusia adalah makhluk mukallaf yang diberi kemampuan dapat membedakan
yang baik dan buruk serta kemampuan memilihnya, sebagaimana firman-Nya,
artinya,

Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.
(QS.Hud:7)

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. 67:2)

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. 76:2)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk
diuji agar berbuat baik menurut kemampuannya. Dia akan melaksanakan atau
tidak setelah mengetahui kebaikan tersebut.
Ada sebagian orang yang melakukan kemaksiatan, kejahatan, kebidahan,
dan kekufuran dengan alasan bahwa dia sudah ditakdirkan oleh Allah untuk
melakukannya. Seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa dia tidak berhak untuk
dihukum karena dia melakukan ini bukan karena kehendaknya. Dia ingin
melegalkan hawa nafsunya untuk melakukan pelanggaran hukum dengan berdalih
kepada takdir.
Alasan ini adalah alasan yang batil dan tidak dapat diterima. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah, di dalam kitab Syarh Ushulits
Tsalatsah, telah membantah alasan seperti ini dari beberapa sisi.
Bantahan Pertama:
Allah SWT telah mendustakan orang-orang yang berbuat kesyirikan dengan
alasan takdir dan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Ini menunjukkan
bahwa apa yang mereka dalihkan selama ini adalah salah. Allah berfirman:
NO4OEc 4g~-.- W-O74O'= O
47.E- +.- .4` E4-4O'= 4
4^74.4-47 4 4L^`OEO }g` 7/E* _
CgEO =OOE -g~-.- }g` )_gUl~
_/4EO W-O~-O 4LEc4 ~ E-
ELgN ;}g)` Ug +ON_@OuC+- .4L W
p) ]ON)l+-> ) O}-- up)4 +^
) 4pONO^C` ^jg
Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-
Nya dan tidak (pula) kami akan mengharamkan sesuatu apapun (tanpa dalil).
Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul)
sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: Adakah kalian mempunyai
sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada kami?
Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah
berdusta. [QS Al Anam: 148]
Seandainya beralasan dengan takdir untuk melakukan kemaksiatan adalah
boleh, maka tidaklah mungkin Allah mengatakan mereka berdusta dan
menghukum mereka.
Bantahan Kedua:
Allah telah mengutus para rasul untuk menyampaikan syariat kepada umat
mereka agar tidak ada alasan bagi manusia untuk meninggalkan perintah Allah dan
melaksanakan larangan-Nya. Allah taala berfirman:
1EcGO 4)O]4:G` 4jOO4N`4 EEg
4pO74C +EELUg O>4N *.- OONO Eu4
cOO- _ 4p~E4 +.- -OCjG4N
V1EO ^g)
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah
diutusnya para rasul itu. Allah adalah Aziz (Maha Perkasa) lagi Hakim (Maha
Bijaksana). [QS An Nisa`: 165]
Seandainya beralasan dengan takdir untuk melakukan kemaksiatan adalah
boleh, maka apa gunanya Allah mengutus para rasul untuk membawa syariat-Nya.
Tentunya tidak ada gunanya karena mereka dapat beralasan dengan takdir.
Bantahan Ketiga:
Rasulullah SAW melarang kita untuk meninggalkan amalan dan berpangku tangan
dengan takdir. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Nabi bersabda:

Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan telah ditentukan tempat duduknya
di surga ataupun di neraka. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, tidakkah
kita cukup bertawakkal saja? Nabi menjawab: Beramallah kalian, karena setiap
orang akan dimudahkan jalannya. Kemudian Nabi membaca ayat
sampai kepada {

}. [HR Al
Bukhari (4945)]
Bantahan Keempat:
Takdir Allah itu adalah rahasia tersembunyi yang tidak diketahui melainkan
setelah peristiwa yang ditakdirkan itu terjadi, sedangkan kehendak hamba itu telah
ada sebelum perbuatan terjadi. Ini berarti bahwa kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan tidaklah didasarkan pengetahuan dia terhadap takdir Allah. Dengan ini,
maka tertolaklah alasannya dengan takdir karena sesuatu yang tidak diketahui oleh
seseorang tidaklah bisa menjadi hujjah baginya.


Bantahan Kelima:
Kita menyaksikan manusia bersemangat untuk mengejar perkara duniawi
yang bermanfaat bagi dirinya sampai berhasil mendapatkannya. Bila dia tidak
mendapatkan apa yang dikejarnya tersebut, dia tidak beralasan dengan takdir.
Lantas mengapa dia meninggalkan perkara-perkara agama yang bermanfaat
baginya dan berpaling kepada perkara-perkara yang membahayakannya, kemudian
beralasan dengan takdir? Bukankah kedua kondisi di atas adalah sama?
Bantahan Keenam:
Orang yang beralasan dengan takdir untuk meninggalkan kewajiban atau
melakukan kemaksiatan, bila dia dianiaya oleh orang lain dengan mengambil
hartanya atau melecehkan kehormatannya, lalu orang itu beralasan bahwa dia
melakukannya karena sudah ditakdirkan Allah, maka pastilah dia tidak akan
menerima alasan dari si penjahat tadi.
Ini tentunya sangat berlawanan dan aneh. Di satu sisi dia menolak alasan
orang yang mencuri hartanya karena takdir, namun di sisi lain dia malah beralasan
dengan takdir ketika dia melakukan kemaksiatan. Lantas apa bedanya dia dengan
si pencuri tadi ?
Disebutkan di sebuah riwayat bahwa Amirul Mu`minin Umar ibnul
Khaththab r.a memerintahkan petugas untuk memotong tangan seorang pencuri.
Lalu pencuri itu berkata: Tunggu dulu, wahai Amirul Mu`minin. Sesungguhnya
saya mencuri itu karena memang sudah takdir dari Allah. Lalu Umar membalas
alasan si pencuri tadi dengan berkata: Kamipun akan memotong tanganmu karena
ditakdirkan oleh Allah.

KESIMPULAN

Masalah Takdir adalah masalah klasik yang sering menjadi perdebatan dalam
kehidupan manusia, baik oleh para agamawan maupun para spiritualis. Karena takdir
merupakan pokok keimanan yang akan berimplikasi dalam realita kehidupan.
Pemahaman tentang takdir ini akan menentukan arah dan sikap seorang muslim
terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
Menjadikan takdir sebagai alasan ketika melakukan kejahatan dan
kemaksiatan adalah tidak benar dan alasannya tidak dapat diterima. Seandainya takdir
adalah hujjah untuk kemaksiatan, maka tentu akan menjadi hujjah bagi semuanya,
dalam segala urusan dan dalam kondisi apa pun. Sehingga tidak ada bedanya antara
orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat. Seperti tidak ada gunanya ketika
Allah SWT menjanjikan balasan pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi yang
berbuat jahat jika semua orang yang berbuat jahat diterima alasannya, yaitu karena
sudah takdir.
Oleh karena itu, seorang mukallaf senantiasa dituntut untuk melakukan
kebaikan (setelah dia tahu) dan meninggalkan keburukan selama akal sehatnya masih
belum hilang dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Tauhid 2 Ali, hal 176-181, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian. (Abu Ahmad
Taqiyuddin)
Syarh Lumatul Itiqad, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, hal: 55-56,
Darul Aqidah
http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2013/05/takdir-bukanlah-alasan-untuk-
berbuat.html 30 Juni 2014 07.40

You might also like