Professional Documents
Culture Documents
}. [HR Al
Bukhari (4945)]
Bantahan Keempat:
Takdir Allah itu adalah rahasia tersembunyi yang tidak diketahui melainkan
setelah peristiwa yang ditakdirkan itu terjadi, sedangkan kehendak hamba itu telah
ada sebelum perbuatan terjadi. Ini berarti bahwa kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan tidaklah didasarkan pengetahuan dia terhadap takdir Allah. Dengan ini,
maka tertolaklah alasannya dengan takdir karena sesuatu yang tidak diketahui oleh
seseorang tidaklah bisa menjadi hujjah baginya.
Bantahan Kelima:
Kita menyaksikan manusia bersemangat untuk mengejar perkara duniawi
yang bermanfaat bagi dirinya sampai berhasil mendapatkannya. Bila dia tidak
mendapatkan apa yang dikejarnya tersebut, dia tidak beralasan dengan takdir.
Lantas mengapa dia meninggalkan perkara-perkara agama yang bermanfaat
baginya dan berpaling kepada perkara-perkara yang membahayakannya, kemudian
beralasan dengan takdir? Bukankah kedua kondisi di atas adalah sama?
Bantahan Keenam:
Orang yang beralasan dengan takdir untuk meninggalkan kewajiban atau
melakukan kemaksiatan, bila dia dianiaya oleh orang lain dengan mengambil
hartanya atau melecehkan kehormatannya, lalu orang itu beralasan bahwa dia
melakukannya karena sudah ditakdirkan Allah, maka pastilah dia tidak akan
menerima alasan dari si penjahat tadi.
Ini tentunya sangat berlawanan dan aneh. Di satu sisi dia menolak alasan
orang yang mencuri hartanya karena takdir, namun di sisi lain dia malah beralasan
dengan takdir ketika dia melakukan kemaksiatan. Lantas apa bedanya dia dengan
si pencuri tadi ?
Disebutkan di sebuah riwayat bahwa Amirul Mu`minin Umar ibnul
Khaththab r.a memerintahkan petugas untuk memotong tangan seorang pencuri.
Lalu pencuri itu berkata: Tunggu dulu, wahai Amirul Mu`minin. Sesungguhnya
saya mencuri itu karena memang sudah takdir dari Allah. Lalu Umar membalas
alasan si pencuri tadi dengan berkata: Kamipun akan memotong tanganmu karena
ditakdirkan oleh Allah.
KESIMPULAN
Masalah Takdir adalah masalah klasik yang sering menjadi perdebatan dalam
kehidupan manusia, baik oleh para agamawan maupun para spiritualis. Karena takdir
merupakan pokok keimanan yang akan berimplikasi dalam realita kehidupan.
Pemahaman tentang takdir ini akan menentukan arah dan sikap seorang muslim
terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
Menjadikan takdir sebagai alasan ketika melakukan kejahatan dan
kemaksiatan adalah tidak benar dan alasannya tidak dapat diterima. Seandainya takdir
adalah hujjah untuk kemaksiatan, maka tentu akan menjadi hujjah bagi semuanya,
dalam segala urusan dan dalam kondisi apa pun. Sehingga tidak ada bedanya antara
orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat. Seperti tidak ada gunanya ketika
Allah SWT menjanjikan balasan pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi yang
berbuat jahat jika semua orang yang berbuat jahat diterima alasannya, yaitu karena
sudah takdir.
Oleh karena itu, seorang mukallaf senantiasa dituntut untuk melakukan
kebaikan (setelah dia tahu) dan meninggalkan keburukan selama akal sehatnya masih
belum hilang dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Tauhid 2 Ali, hal 176-181, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian. (Abu Ahmad
Taqiyuddin)
Syarh Lumatul Itiqad, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, hal: 55-56,
Darul Aqidah
http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2013/05/takdir-bukanlah-alasan-untuk-
berbuat.html 30 Juni 2014 07.40