You are on page 1of 44

ABORTUS

1. Definisi
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu
bertahan hidup.
Abortus adalah berakirnya suatu kehamilan (oleh akibat tertentu) pada atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup diluar
kandungan.
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang
sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram.
Abortus adalah suatu usaha mengakhiri kehamilan dengan mengeluarkan hasil
pembuahan secara paksa sebelum janin mampu bertahan hidup jika dilahirkan.
Macam-Macam Abortus.
Abortus Imminens
Ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi servik.
Terjadi perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan suatu
kehamilan. Dalam kondisi seperti ini, kehamilan masih mungkin berlanjut atau
dipertahankan.
Abortus Insipiens.
Ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengana danya
dilatasi servik uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Aborsi
ini terjadi ketika ada pembukaan servik dan atau pecah ketuban di sertai perdarahan
dan nyeri pada abdomen bagian bawah atau pada punggung.
Perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih
berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang
berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.
Abortus Incomplete.
Perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar
dari kavum uteri melalui kanalis servikalis.
Ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Terjadi ketika plasenta tidakdikeluarkan
bersama janin pada saat terjadi aborsi
Abortus Complete
Perdarahan pada kehamilan muda dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkandari
kavum uteri
Missed Abortion (Retensi Janin Mati)
Perdarahan pada kehamilan muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yangtelah
mati hingga 8 minggu atau lebih. Kematian janin berusia 20 minggu, tetapi janin mati itu
tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
Abortus Habitualis
Ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-urut.
2. Etiologi
Hal-hal yang menyebabkan abortus dapat dibagi sebagai berikut:
o Kelainan hasil pertumbuhan konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin
ataucacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian mudigah pada hamil
muda.
Faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan ialah sebagai berikut:
a. Kelainan kromosom
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi
dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks



b. Lingkungan kurang sempurna
Bila lingkungan di endometrium disekitar tempat implantasi kurang
sempurnasehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
tergangganggu.
c. Pengaruh dari luar
Radiasi, virus, obat dan sebaginya dapat mempengaruhi baik hasil
konsepsimaupun lingkungan hidupnya dalan uterus. Pengaruh ini umumnya
dinamakan pengaruh teratogen
o Kelainan pada plasenta
Endarteritis dapat terjadi dalam villi koriales dan menyebabkan
oksigenasi plasenta tergganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
kematian janin.
Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi
menahun.
o Penyakit ibu
Penyakit mendadak, seperti pnemonia, tifus abdominalis, pielonefritis,malaria
dan lain-lain dapat menyebabkan abortus.
Toksin, bakteri,virus atau plasmodium dapat melalui plasenta masuk kejanin,
sehingga menyebabkan kematian janin, dan kemudian terjadilah abortus.
Anemia berat, keracunan, laparatomi, peritonitis umum, dan penyakit menahun
sperti gruselosis, mononukleosis infeksiosa, toksoplamosis juga dapat
menyebabkan abortus walaupun lebih jarang.
o Kelainan traktus genetalia

Retroversio uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkanabortus. Tetapi, harus dingat bahwa hanya retroversio uteri gravidi
inkarserataatau mioma submukosa yang memegang peranan penting. Sebab lain
abortusdalam trismerster kedua ialah servik inkompeten yang dapat disebabkan
olehkelemahan bawaan pada servik, diltasi servik berlebihan, konisasi, amputasi,
ataurobekan servik luas yang tidak dijahit.
3. Patologi

Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
oleh nekrosis jaringan disekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas
sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini
menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang
dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales
belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu
villi korealis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak
dilepaskan sempurna yangdapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14
minggu keatas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul
beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas
dengan lepas. Peristiwa aborsi ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur. Hasil
konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Adakalanya kantong
amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted
ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missedabortion).
Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia dapat
diliputi oleh lapisan bekuan darah. Isi uterus dinamakan mola kruenta.Bentuk ini menjadi
mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan dalam sisanya terjadi organisasi,
sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberosa; dalam hal
ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan korion.
Janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab
diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompressus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi
tipis seperti kertas perkamen (fetus papi raseus).
Kemungkinan lain pada janin-mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya
maserasi: kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar kerena terisi cairan,
dan janin berwarna kemerah-merahan.
4. Diagnosis

Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh
tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering
terdapat pula rasa mules. Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditentukannya kehamilan
muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau
imunologik bilamana hal itu dikerjakan harus diperhatikan macam dan
banyaknya perdarahan, pembukaan servik dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau
vagina.
Abortus Imminens
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan
melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, terus
membesar sebesar tuanya kehamilan, servik belum membuka, dan tes kehamilan positif.
Abortus imminens dapat disertai nyeri akibat kram tetapi bisa juga tidak.
Abortus Insipiens
Rasa mules sering dan kuat, perdarahan bertambah. Pada trimester pertama
kehamilan, tidak ditemukan perdarahan atau nyeri berlebihan, tanda-tanda vital dalam
batas normal, tidak mengalami distres emosional yang berat, dan kadar hematokrit
mencapai 30%.
Abortus Incomplete
Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat dirabadalam
kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan
mulai sebagai bercak dan berlanjut menjadi perdarahanhebat, atau dapat mulai sebagai
perdarahan hebat. Kram biasanya ada, dan ibumelihat keluarnya jaringan. Ibu melihat
pecah ketuban nyata bila usia gestasi adalah 12 minggu atau lebih
Abortus komplit

Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus
sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat dipermudah apabila hasil konsepsi dapat
diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua sudah keluar dengan lengkap.
Mi s s ed Abort i on (Retensi Janin Mati)
Dahulu diagnosis biasanya tidak dapat ditentukan dalam satu kali pemeriksaan
melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk menilai tanda-tanda tidak tumbuhnya
malahan mengecilnya uterus.
biasanya didahului olehtanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang
secara spontan atau setelah pengobatan. Bercak mungkin ada, kurang pertumbuhan uteri
dalam pemeriksaan, tidak ada gerakan jantung janin, terlihat pada USG atau ada jaringan
janin tanpa tanda viabilitas
Abortus Habitualis
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya
diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia menunjukkangambaran klinik yang
khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan servik tanpa disertai
mules, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mules yang
selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup normal.


5. Penanganan

1. Penilaian Awal

Untuk penanganan yang memadai, segera lakukan penilaian dari :

a. Keadaan umum pasien
b. Tanda - tanda syok (pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan sistolik
<90mmHg, nadi > 112 x/menit)
c. Bila syok disertai dengan masa lunak di adneksa, nyeri perut bawah, adanya
cairan bebas dalam kavum pelvis (kemungkinan kehamilan ektopik yang
terganggu)
d. Tanda - tanda infeksi atau sepsis (demam tinggi, secret berbau vaginam,nyeri
perut bawah, dinding perut tegang, nyeri goyang porsio, dehidrasi,gelisah atau
pingsan).
e. Tentukan melalui evaluasi medik apakah pasien dapat di tatalaksana fasilitas
kesehatan setempat atau di rujuk (setelah dilakukan stabilisasi)
2. Penanganan Spesifik
A. Abortus Imminens
Tidak diperlukan pengobatan medis yang khusus atau tirah baring secara total.
Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan, karena cara ini
menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya rangsang
mekanik.
Anjurkan untuk tidak melakukan aktifitas fisik secara berlebihan atau
melakukan hubungan seksual.
Bila perdarahan :
a) Berhenti : lakukan asuhan antenatal terjadwal dan penilaian ulang bila terjadi
perdarahan lagi .
b) Terus berlangsung : nilai kondisi janin (uji kehamilan atau USG). Lakukan
konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain (hamil ektopik atau mola).
c) Pada fasilitas kesehatan dengan sarana terbatas, pemantuan hanya dilakukan
melalui gejala klinik dan hasil pemeriksaan gynekologi.
B. Abortus Insipiens
lakukan prosedur evakuasi hasil konsepsi
Bila usia gestasi 16 minggu, evakuasi dilakukan dengan peralatan Aspirasi
Vakum Manual (AVM) setelah bagian-bagian janin dikeluarkan.
Bila usia gestasi 16 minggu, evakuasi dilakukan dengan prosedur Dilatasi dan
Kuretase (D & K).
Bila prosedur evakuasi tidak dapat segera dilaksanakan atau usia gestasi
lebih besar dari 16 minggu, lakuakn tindakan pendahuluan dengan :
o Infuse Oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS atau RL, mulai dengan 8tetes/menit
yang dapat dinaikkan 40 tetes/menit, sesuai dengan kondisikontraksi uterus hingga
terjadi pengeluaran hasil konsepsi.
o Ergometrin 0,2 mg IM yang diulangi 15 menit kemudian.
o Misoprostol 400 mg per oral dan apabila masih diperlukan, dapat di ulangidengan
dosis yang sama setelah 4 jam dari dosis awal.
o Hasil konsepsi yang tersisa dalam kavum uteri dapat dikeluarkan dengan AVM
atau D & K (hati hati resiko perforasi).
C. Abortus Incomplete
Hasil konsepsi yang terperangkap pada servik yang disertai perdarahan hinggaukuran
sedang, dapat dikeluarkan secara digital atau vunam ovum. Setelah itu evaluasi
perdarahan :
Bila perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg IM atau misoprostol 400mg per oral.
Bila perdarahan terus berlangsung, evakuasi sisa hasil konsepsi denganAVM atau
D&K (pilihan tergantung dari usia gestasi, pembukaan servikdan keberadaan bagian-
bagian janin)
Bila tak ada tanda-tanda infeksi, beri antibiotika profilaksis (ampisilin 500 mgoral
atau doksisiklin 100 mg)
Bila terjadi infeksi, beri ampisilin 1 gram dan metronidazol 500 mg setiap 8 jam.
Bila terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi dibawah 16 minggu, segeralakukan
evakuasi dengan AVM.
Bila pasien tampak anemi, berikan sulfasferosus 600 mg per hari selama 2minggu
(anemia sedang) atau transfusi darah (anemia berat).
Pada beberapa kasus, abortus inkomplit erat kaitannya dengan abortus tidakaman,
oleh sebab itu perhatikan hal-hal berikut ini :
Pastikan tidak ada komplikasi berat seperti sepsis, perforasi uterus ataucidera intra
abdomen (mual/muntah, nyeri punggung, demam, perutkembung, nyeri perut bawah,
dinding perut tegang).
Bersihkan ramuan tradisional, jamu, bahan kaustik, kayu atau benda-bendalainnya
dari regio genetalia.Berikan boster tetanus toksoid 0,5 ml bilatampak luka kotor pada
dinding vagina atau kanalis servisis dan pasien pernah di imunisasi.
Bila riwayat imunisasi tidak jelas, berikan serum anti tetanus (ATS) 1500Unit IM
diikuti dengan pemberian tetanus toksoid 0,5 ml setelah 4 minggu.
Konseling untuk kontrasepsi pasca keguguran dan pemantuan lanjut
Abortus Complete.
Apabila kondisi pasien baik, cukup diberi tablet Ergometrin 3x1 tablet perhariuntuk 3
hari.
Pasien mengalami anemia sedang, berikan tablet Sulfas Ferosus 600 mg perhari
selama 2 minggu disertai dengan anjuran mengkonsumsi makanan bergizi(susu,
sayuran segar, ikan, daging, telur). Untuk anemia berat, berikan tranfusidarah.
Apabila tidak terdapat tanda-tanda infeksi tidak perlu diberi antibiotika, atau bila
kawatir akan infeksi dapat diberi antibiotika profilaksis
Missed Abortion.
Missed abortion seharusnya seharusnya ditangani di rumah sakit atas pertimbangan :
Plasenta dapat melekat sangat erat didinding rahim, sehingga prosedurevakuasi
kuretase akan lebih sulit dan resiko perforasi lebih tinggi.
Pada umumnya kanalis servisis dalam keadaan tertutup sehingga perlutindakan
dilatasi dengan batang laminaria selama 12 jam .
Tingginya kejadian komplikasi hipofibrinogenemia yang berlanjut dengangangguan
pembekuan darah.
Apabila diputuskan untuk mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus
yang besarnya tidak melebihi 12 minggu sebaiknya dilakukan pembukan serviksuteri
dengan memasukkan laminaria selama 12 jam dalam kanalis servikalis,yang
kemudian dapat diperbesar dengan busi Hegar sampai cunam ovum
atau jari dapat masuk ke dalam kavum
uteri. Jika kehamilan lebih dari 12 minggu,maka pengeluaran hasil konsepsi dapat
dilakukan dengan infus intravenaoksitosin. Dosis oksitosin dapat dimulai dengan 20
tetes/menit dari cairan 500ml glukosa 5% dengan 10 iu oksitosin.
6. Komplikasi
Komplikasi yanag berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi dansyok
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat
terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiper retrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan teliti. Jika
ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan
bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus
pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena
perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan kandung kemih atau
usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus
segera dilakukan untuk menentukan luasnya cidera, untuk selanjutnya mengambil
tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus,
tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus bu
atan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis. Umumnya pada abortus infeksius
infeksi terbatas pada desidua.
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi
berat (syok endoseptik).











DAFTAR PUSTAKA


1. Cunningham, Gary, F. dkk. 2006.Obstetri Williams Vol. 2. Jakarta: EGC, 951-964.

2. Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC, 697-683.

3. Saifuddin, Abdul Bahri.
2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 145-148.



























KETUBAN PECAH DINI



Latar Belakang
Ketuban Pecah Dini (KPD) yang terjadi pada kehamilan kurang bulan merupakan
masalah yang besar dibidang obstetrik, karena dapat menimbulkan kontribusi yang besar
terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan maternal.
Insidensi ketuban pecah dini lebih kurang 10% dari semua kehamilan. Pada
kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm
insidensinya 2% dari semua kehamilan. Hampir semua KPD pada kehamilan preterm akan
lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban
pecah.2 Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas.
Ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi
30-40%. Neonatologis dan ahli obstetri harus bekerja sebagai tim untuk memastikan
perawatan yang optimal untuk ibu dan janin.
Pada sebagian besar kasus, penyebab KPD belum ditemukan. Faktor yang disebutkan
memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan
selama kehamilan.
Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya
infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Dilema sering
terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan
yang cukup bulan atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan sehingga masa
tunggu akan memanjang, yang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi. Sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan
harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup

ANATOMI FISIOLOGI
1 Anatomi Air Ketuban
Normalnya volume cairan ketuban pada usia kehamilan usia 10 20
minggu, sekitar 50 250 ml. Ketika memasuki minggu 30 40, jumlahnya mencapai 500
1500ml.



Ciri-ciri kimiawi dari air ketuban adalah :
Air ketuban berwarna putih kekeruhan, berbau khas amis, dan berasa manis, reaksinya
agak alkalis atau netral, berat jenis 1,008. Komposisinya terdiri atas 98 % air. Sisanya
albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam
anorganik. Kadar protein kira-kira 2,6 gr % per liter terutama sebagai albumin.
Terdapat lesitin dan sfingomielin amat penting untuk mengetahui apakah janin
mempunyai paru-paru yang sudah siap untuk berrfungsi. Dengan peningkatan kadar lesitin
permukaan alveolus paru-paru diliputi oleh zat yang dinamakan surfaktan dan merupakan
syarat untuk berkembangnya paru-paru dan untuk bernapas. Menilai hal ini dipakai
perbandingan antara lesitin dan sfingomielin.
Kadang-kadang, pada partus warrna air ketuban ini menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur mekonium (kotoran pertama yang dikeluarkan bayi dan yang mengandung
empedu). Berat jenis likuor menurun dengan tuanya kehamilan (1,025-1,010).
Dari mana air ketuban berasal masih belum diketahui dengan pasti, masih dibutuhkan
penyelidikan lebih lanjut. Telah banyak teori dikemukakan mengenai hal ini, antara lain
bahwa air ketuban berasal dari lapisan amnion, terutama dari bagian plasenta. Teori lain
mengemukakan kemungkinan berasalnya dari plasenta.
Peredaran air ketuban cukup baik. Dalam 1 jam didapatkan perputaran lebih kurang
500 ml. Cara perputaran ini terdapat banyak teori, antara lain bayi menelan air ketuban yang
kemudian dikeluarkan melalui air kencing. Apabila janin tidak menelan air ketuban ini janin
dengan stenosis akan didapat keadaan hidramnion.
Fungsi Air Ketuban :
Melindungi janin terhadap trauma dari luar
Memungkinkan janin bergerak dengan bebas
Melindungi suhu tubuh janin
Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus, sehingga serviks membuka
Membersihkan jalan lahir

Ketuban Pecah Dini
Pengertian
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya tanpa disertai tanda
inpartu dan setelah 1 jam tetap tidak diikuti dengan proses inpartu sebagaimana
mestinya. ( Manuaba, 2007).
Etiologi
Penyebab pasti dari KPD ini belum jelas, namun menurut Saifudin (2007) ketuban
pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya
tekanan intrauterine. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh adanya infeksi yang
dapat berasal dari vagina dan serviks.Akan tetapi ada beberapa keadaan yang berhubungan
dengan terjadinya KPD ini, diantaranya adalah :
Trauma : Amniosintesis, pemeriksaan pelvis dan hubungan seksual.
Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang tidak sanggup terus menutup,
melainkan perlahan-lahan membuka.
Peningkatan tekanan intrauterus pada kehamilan kembar, atau polihidramnion.
Infeksi vagina, serviks atau korioamnionitis serta bakteri vagina.
Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi.
Gejala Klinik
1. Ketuban pecah tiba tiba
2. Cairan tampak di introitus
3. Tidak ada his dalam 1 jam
Penilaian Klinis
Tentukan pecahnya selaput ketuban. Di tentukan dengan adanya cairan ketuban
dari vagina, jika tidak ada dapat dicoba dengan gerakan sedikit bagian terbawah janin
atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan
dengan test lakmus (mitrazin test) merah menjadi biru, membantu dalam menentukan
jumlah cairan ketuban dan usia kehamilan, kelainan janin.
Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan USG
Tentukan ada tidaknya infeksi :suhu ibu lebih besar atau sama dengan 38oC, air ketuban
yang keluar dan berbau, janin mengalami takhikardi, mungkin mengalami infeksi
intrauterine
Tentukan tanda-tanda inpartu: kontraksi teratur, periksa dalam dilakukan bila akan
dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik.
Komplikasi
1. Ibu
a. Infeksi
Infeksi bakteri di dalam uterus terjadi antara jaringan ibu dan membran janin (yaitu di dalam
rongga koriodesidua), di dalam membran bayi (amnion dan korion), di dalam plasenta, di
dalam cairan amnion, atau di dalam tali pusat atau janin. Infeksi membran fetus seperti
dicatat oleh temuan histologis atau kultur, disebut korioamnionitis. infeksi tali pusat disebut
funisitis, infeksi cairan amnion disebut amnionitis.
2. Janin
a. Prolaps tali pusat :tali pusat yang teraba keluar atau berada di samping dan melewati bagian
terendah janin di dalam jalan lahir, tali pusat dapat prolaps ke dalam vagina atau bahkan di
luar vagina setelah ketuban pecah.
b. Trauma pada waktu lahir
c. Premature : Setelah ketuban pecah biasannya segera disusul oleh persalinan, periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 % terjadi dalam 24 jam setela ketuban
pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.( Wordpress. 2009)
d. Oligohidramnion : Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc. Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya
perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. ( Wordpress.2009)
Penanganan
1. Penanganan Konservatif
a. Rawat di Rumah Sakit
b. Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tak tahan ampicilin) dan
metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
c. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau
sampai air ketuban tidak keluar lagi.
d. Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatife
beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi
pada kehamilan 37 minggu.
e. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (
salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam.
f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotic dan lakukan induksi.
g. Nilai tanda-tanda infeksi ( suhu, leukosit, dan tanda-tanda infeksi intrauterine).
h. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru
janin, dan kalau memungkinkan periksa kader lesitin dan spingomielin tiap minggu.
Dosis. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5
mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
2. Penanganan Aktif
a. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula
diberikan misoprostol 50 ug intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
b. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tnggi. Dan persalinan diakhiri :
Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak
berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
Bila skor pelvic > 5, inguksi persalinan, partus pervaginam.


























DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, S.(2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP.
2. Razimaulana. (2008). Infeksi Intrauterine dan Persalinan Prematur. Sumber Internet :
(http://razimaulana.wordpress.com/2008/12/26/infeksi-intrauterine-dan-persalinan-
prematur).
3. Referat Obstetry dan Gynecology. (2009). Prolaps Tali Pusat (Occult
Prolase). Sumber Internet : (http:// referat-obstetry-dan-ginecology-prolaps-tali-pusat-
occult-prolapse.html/2009.
4. Sualman, K. (2009). Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan
Preterm.SumberInternet:(http://authorKamisahSualman.blogspot.com/2009/pentalaks
anaan ketuban pecah dini.html).















ATONIA UTERI

Pengertian Atonia Uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri(plasenta telah lahir).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek.
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan
bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak
terkendali.
Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri
Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
1. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan,
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsia atau
eklamsia.
8. umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan
memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya belum terlepas dari uterus.
Manifestasi Klinis
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Tanda dan gejala atonia uteri
1. perdarahan pervaginam
2. konsistensi rahim lunak
3. fundus uteri naik
4. terdapat tanda-tanda syok
diagnosis
Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat
atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah
keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan
kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,
dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala
III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10
unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-
acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-
10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih
efektif dibanding oksitosin.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Atonia Uteri
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan
pertama yang harus dilakukan tergantung pada keadaaan klinisnya.
NO Langkah penatalaksanaan Alasan
1
Masase fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta(maksimal 15 detik)
Masase merangsang kontraksi uterus. Saat
dimasase dapat dilakukan penilaia kontraksi
uterus
2
Bersihkan bekuan darah adan selaput
ketuban dari vaginadan lubang servik



Bekuan darah dan selaput ketuban dalam
vagina dan saluran serviks akan dapat
menghalang kontraksi uterus secara baik.
3
Pastikan bahwa kantung kemih
kosong,jika penuh dapat dipalpasi,
lakukan kateterisasi menggunakan
teknik aseptik
Kandung kemih yang penuh akan dapat
menghalangi uterus berkontraksi secara baik.
4
Lakukan Bimanual Internal (KBI)
selama 5 menit
Kompresi bimanual internal memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah
dinding uterusdan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi.
5
Anjurkan keluarga untuk mulai
membantu kompresi bimanual
eksternal
Keluarga dapat meneruskan kompresi
bimanual eksternal selama penolong
melakukan langkah-langkah selanjutnya
6 Keluarkan tangan perlahan-lahan Menghindari rasa nyeri
7
Berikan ergometrin 0,2 mg IM
(kontraindikasi hipertensi) atau
misopostrol 600-1000 mcg
Ergometrin dan misopostrol akan bekerja
dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi
uterus
8
Pasang infus menggunakan jarum 16
atau 18 dan berikan 500cc ringer
laktat + 20 unit oksitosin. Habiskan
500 cc pertama secepat mungkin
Jarum besar memungkinkan pemberian larutan
IV secara cepat atau tranfusi darah. RL akan
membantu memulihkan volume cairan yang
hilang selama perdarahan.oksitosin IV akan
cepat merangsang kontraksi uterus.
9 Ulangi kompresi bimanual internal
KBI yang dilakukan bersama dengan
ergometrin dan oksitosin atau misopostrol akan
membuat uterus berkontraksi
10 Rujuk segera
Jika uterus tidak berkontaksiselama 1 sampai 2
menit, hal ini bukan atonia sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat darurat di
fasilitas yang mampu melaksanakan bedah dan
tranfusi darah
11
Dampingi ibu ke tempat rujukan.
Teruskan melakukan KBI
Kompresi uterus ini memberikan tekanan
langung pada pembuluh darah dinding uterus

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri
terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi
plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
Manajemen Atonia Uteri ( Penatalaksanaan)
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi
dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring
jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan.Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15
detik),Jika uterus berkontraksi maka lakukan evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
dan merangsang uterus berkontraksi
12
Lanjutkan infus RL +20 IU oksitosin
dalam 500 cc larutan dengan laju 500
cc/ jam sehingga menghabiskan 1,5 I
infus. Kemudian berikan 125 cc/jam.
Jika tidak tersedia cairan yang cukup,
berikan 500 cc yang kedua dengan
kecepatan sedang dan berikan minum
untuk rehidrasi
RL dapat membantu memulihkan volume
cairan yang hilang akibat perdarahan.
Oksitosin dapat merangsang uterus untuk
berkontraksi.
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami
laserasi dan jahit atau rujuk segera
3. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks.
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong,Lakukan kompresi bimanual internal (KBI)
selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-
lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM
(jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan
berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi
KBI
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
4. pemberian Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin
menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan
tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu
nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan
tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang
setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada
miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat
menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.
Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap
15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 g = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti:
nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi
otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek
samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri.
Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan
persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan
penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-
90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi
batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan
segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-
3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum
latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3
cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi
kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina
atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah
rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
6.Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya
harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka
yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher B
Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum
akibat atonia uteri.
7. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang jmembutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13
per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan
vaginal.
Daftar Pustaka
1. James R Scott,et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi.










HIPEREMESIS GRAVIDARUM

1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Mual dan muntah dikeluhkan oleh sekitar tiga perempat ibu hamil, umumnya terjadi
selama trimester pertama. Biasanya mual dan muntah disertai dengan keluhan banyak
meludah (hipersalivasi), pening, perut kembung, dan badan terasa lemah. Keluhan ini secara
umum dikenal sebagai morning sickness karena terasa lebih berat pada pagi hari. Namun,
mual dan muntah dapat berlangsung sepanjang hari. Rasa dan intensitasnya seringkali
dideskripsikan menyerupai mual muntah karena kemoterapi untuk kanker.
Keluhan mual dan muntah pada ibu hamil jarang yang dapat dihilangkan seluruhnya.
Untungnya gejala dapat diringankan, misalnya dengan membatasi makan tidak sampai
kenyang, makan sedikit tapi sering, menghindari makanan tertentu, atau pemberian
antiemetik. Namun, pada sejumlah kasus mual muntah cukup berat sehingga langkah-langkah
di atas tidak berhasil dan terjadi masalah-masalah seperti penurunan berat badan, dehidrasi,
kelainan keseimbangan asam-basa, dan ketosis. Kondisi ini disebut hiperemesis gravidarum.
Hiperemesis gravidarum dapat diklasifikasikan secara klinis menjadi tiga tingkat, yaitu:
Tingkat I
Hiperemesis gravidarum tingkat I ditandai oleh muntah yang terus menerus disertai
dengan intoleransi terhadap makan dan minum. Terdapat penurunan berat badan dan
nyeri epigastrium. Pertama-tama isi muntahan adalah makanan, kemudian lendir
beserta sedikit cairan empedu, dan kalau sudah lama bisa keluar darah. Frekuensi nadi
meningkat sampai 100 kali/menit dan tekanan darah sistolik menurun. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan mata cekung, lidah kering, turgor kulit menurun, dan
urin sedikit berkurang.
Tingkat II
Pada hiperemesis gravidarum tingkat II, pasien memuntahkan segala yang dimakan
dan diminum, berat badan cepat menurun, dan ada rasa haus yang hebat. Frekuensi
nadi 100-140 kali/menit dan tekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg. Pasien
terlihat apatis, pucat, lidah kotor, kadang ikterus, dan ditemukan aseton serta bilirubin
dalam urin.

Tingkat III
Kondisi tingkat III ini sangat jarang, ditandai dengan berkurangnya muntah atau
bahkan berhenti, tapi kesadaran menurun (delirium sampai koma). Pasien mengalami
ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, dan dalam urin ditemukan bilirubin
dan protein.

2. EPIDEMIOLOGI
3

Mual dan muntah terjadi dalam 50-90% kehamilan. Gejalanya biasanya dimulai pada
gestasi minggu 9-10, memuncak pada minggu 11-13, dan berakhir pada minggu 12-14. Pada
1-10% kehamilan, gejala dapat berlanjut melewati 20-22 minggu. Hiperemesis berat yang
harus dirawat inap terjadi dalam 0,3-2% kehamilan.
Di masa kini, hiperemesis gravidarum jarang sekali menyebabkan kematian, tapi masih
berhubungan dengan morbiditas yang signifikan.
Mual dan muntah mengganggu pekerjaan hampir 50% wanita hamil yang bekerja.
Hiperemesis yang berat dapat menyebabkan depresi. Sekitar seperempat pasien
hiperemesis gravidarum membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari sekali.
Wanita dengan hiperemesis gravidarum dengan kenaikan berat badan dalam
kehamilan yang rendah (7 kg) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan
neonatus dengan berat badan lahir rendah, kecil untuk masa kehamilan, prematur, dan
nilai Apgar 5 menit kurang dari 7.
3. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk hiperemesis gravidarum adalah:
o Kehamilan sebelumnya dengan hiperemesis gravidarum
o Berat badan tinggi
o Kehamilan multipel
o Penyakit trofoblastik
o Nuliparitas
o Merokok berhubungan dengan risiko yang lebih rendah untuk hiperemesis
gravidarum
4. PATOFISIOLOGI
Etiologi mual dan muntah yang terjadi selama kehamilan masih belum diketahui, namun
terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan terjadinya hiperemesis gravidarum. Faktor
sosial, psikologis dan organobiologik, yang berupa perubahan kadar hormon-hormon selama
kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum. Disfungsi pada
traktus gastrointestinal yang disebabkan oleh pengaruh hormon progesteron diduga menjadi
salah satu penyebab terjadinya mual dan muntah pada kehamilan. Peningkatan kadar
progesteron memperlambat motilitas lambung dan mengganggu ritme kontraksi otot-otot
polos di lambung (disritmia gaster). Selain progesteron, peningkatan kadar hormon human
chorionic gonadotropin (hCG) dan estrogen serta penurunan kadar thyrotropin-stimulating
hormone (TSH), terutama pada awal kehamilan, memiliki hubungan terhadap terjadinya
hiperemesis gravidarum walaupun mekanismenya belum diketahui. Pada studi lain ditemukan
adanya hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori dengan terjadinya hiperemesis
gravidarum. Sebanyak 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum yang diteliti
pada studi tersebut menunjukkan hasil tes deteksi genom H. pylori yang positif.

5. GEJALA KLINIS
Hiperemesis gravidarum dijumpai pada trimester pertama kehamilan, di mana pasien
datang dengan keluhan mual dan muntah. Sesuai dengan beratnya penyakit yang dialami,
dapat pula dijumpai penurunan berat badan, hipersalivasi, tanda-tanda dehidrasi (hipotensi
postural dan takikardi).
6. DIAGNOSIS
Secara klinis penegakan diagnosis hiperemesis gravidarum dilakukan dengan
menegakkan diagnosis kehamilan terlebih dahulu (amenore yang disertai dengan tanda-tanda
kehamilan). Lebih lanjut pada anamnesis didapatkan adanya keluhan mual dan muntah hebat
yang dapat mengganggu pekerjaan sehari-hari. Pada pemeriksaan fisis diijumpai tanda-tanda
vital abnormal, yakni peningkatan frekuensi nadi (>100 kali per menit), penurunan tekanan
darah, dan dengan semakin beratnya penyakit dapat dijumpai kondisi subfebris dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisis lengkap dapat dijumpai tanda-tanda dehidrasi,
kulit tampak pucat dan sianosis, penurunan berat badan, uterus yang besarnya sesuai dengan
usia kehamilan dengan konsistensi lunak, dan serviks yang livide saat dilakukan inspeksi
dengan spekulum. Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh peningkatan relatif
hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan hipokalema, benda keton dalam darah, dan
proteinuria.

7. KOMPLIKASI
Hiperemesis gravidarum yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan dehidrasi pada
penderita. Dehidrasi muncul pada keadaan ini akibat kekurangan cairan yang dikonsumsi dan
kehilangan cairan karena muntah. Keadaan ini menyebabkan cairan ekstraseluler dan plasma
berkurang sehingga volume cairan dalam pembuluh darah berkurang dan aliran darah ke
jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan (nutrisi) dan oksigen yang
akan diantarkan ke jaringan mengurang pula. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan
ibu adalah menurunnya keadaan umum, munculnya tanda-tanda dehidrasi (dalam berbagai
tingkatan tergantung beratnya hiperemesis gravidum), dan berat badan ibu berkurang. Risiko
dari keadaan ini terhadap ibu adalah kesehatan yang menurun dan bisa terjadi syok serta
terganggunya aktivitas sehari-hari ibu. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan janin
adalah berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen yang diterima janin. Risiko dari keadaan ini
adalah tumbuh kembang janin akan terpengaruh.
Selain dehidrasi, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. Ketidakseimbangan elektrolit muncul akibat cairan ekstraseluler dan plasma
berkurang. Natrium dan klorida darah akan turun. Kalium juga berkurang sebagai akibat dari
muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan
ibu adalah bertambah buruknya keadaan umum dan akan muncul keadaan alkalosis metabolik
hipokloremik (tingkat klorida yang rendah bersama dengan tingginya kadar HCO3 & CO2
dan meningkatnya pH darah). Risiko dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah bisa
munculnya gejala-gejala dari hiponatremi, hipokalemi, dan hipokloremik yang akan
memperberat keadaan umum ibu. Dampak keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah juga
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Hiperemesis gravidum juga dapat mengakibatkan berkurangnya asupan energi (nutrisi) ke
dalam tubuh ibu. Hal ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak dalam tubuh
ibu habis terpakai untuk keperluan pemenuhan kebutuhan energi jaringan. Perubahan
metabolisme mulai terjadi dalam tahap ini. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna,
maka terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik, dan
aseton dalam darah. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan ke jaringan berkurang dan
tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu
adalah kekurangan sumber energi, terjadinya metabolisme baru yang memecah sumber energi
dalam jaringan, berkurangnya berat badan ibu, dan terciumnya bau aseton pada pernafasan.
Risikonya bagi ibu adalah kesehatan dan asupan nutrisi ibu terganggu. Dampak keadaan ini
terhadap kesehatan janin adalah berkurangnya asupan nutrisi bagi janin. Risiko bagi janin
adalah pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu.
Frekuensi muntah yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya robekan pada selaput
jaringan esofagus dan lambung. Keadaan ini dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal.
Pada umumnya robekan yang terjadi berupa robekan kecil dan ringan. Perdarahan yang
muncul akibat robekan ini dapat berhenti sendiri. Keadaan ini jarang menyebabkan tindakan
operatif dan tidak diperlukan transfusi.
8. TATA LAKSANA DAN PENCEGAHAN
Penatalaksanaan awal mual dan muntah pada kehamilan dapat mencegah hiperemesis
gravidarum. Penatalaksanaan utama sering melibatkan istirahat dan penghindaran dari
rangsangan yang berperan sebagai pemicu. Di bawah ini adalah penatalaksanaan dalam
kondisi kegawatdaruratan:
Untuk keluhan hiperemesis yang berat pasien dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit
dan membatasi pegunjung.
Penghentian pemberian makanan per oral 24 48 jam.
Penggantian cairan dan pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Larutan normal saline
atau ringer laktat dapat digunakan dalam kondisi itu.
Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine, dan atau tiamin dapat
dipertimbangkan. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg dapat
diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa.
Lanjutkan penatalaksanaan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan
sampai hasil uji menunjukkan jumlah keton urin hilang atau sedikit.
Penatalaksanaan mual dan muntah pada kehamilan dengan vitamin B6 atau vitamin B6
ditambah doxylamine sangat aman dan efektif serta dapat digunakan sebagai terapi
farmakologis lini pertama (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2004).
Pemberian multivitamin pada saat terjadinya konsepsi juga menurunkan derajat keparahan
gejala.

Penatalaksanaan Konvensional

Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan farmakologi yang terbukti. Modalitas terapi dan
obat-obatan yang telah diteliti efektivitasnya dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2. Pasien yang
mengalami mual dan muntah yang berat pada kehamilan sebelumnya dapat mengkonsumsi
antiemetik sebagai profilaksis atau segera setelah mengalami gejala pada kehamilan
berikutnya, yang dikenal sebagai pre-emptive therapy.

Farmakoterapi dengan antiemetik dan piridoksin telah terbukti efektif. Piridoksin dijual
dalam bentuk formulasi kombinasi dengan doxylamine. Walaupun dalam bentuk kombinasi,
Benedektin dihetikan dari pasaran di USA pada tahun 1980 karena isu ketidakpastian, ACOG
2004 merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah setengah dari 25 mg doxylamine
(antihistamin) yang dikonsumsi per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama.
Piridoksin merupakan obat kelas A dan aman diberikan pada kehamilan.

Antiemetik konvensional, seperti penyekat reseptor H1, fenotiazin dan benzamin, telah
terbukti efektif dan aman. Antiemetik seperti proklorperazin, prometazin, klorpromazin dapat
menyembuhkan mual dan muntah dengan menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine
receptors melalui efek antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Terdapat
obat-obat keas C dengan keamanan yang belum dipastikan untuk digunakan pada kehamilan.
Namun, hanya didapatkan sedikit informasi mengenai efek terapi antiemetik terhadap
outcome fetus dari randomized controlled trial, walaupun tidak didapatkan hubungan antara
metoklopramid dan efek sampingnya, seperti malformasi, berat lahir rendah, dan persalinan
preterm. Terapi kombinasi dengan pyridoxine dan metoklopramid terbuti lebih baik
dibandingkan monoterapi lain. Jika terapi itu gagal, cairan kristaloid dapat diberikan untuk
memperbaiki dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan gangguan asam basa. Tiamin 100
mg dapat ditambahkan dalam 1 liter pertama dan pemberian cairan dilakukan sampai muntah
terkontrol.


Profilaksis Wernickes encephalopathy dengan suplementasi tiamin dapat dilakukan sebagai
upaya pencegahan komplikasi hiperemsis. Komplikasi itu jarang terjadi, tetapi perlu
diwaspadai jika terdapat gejala muntah berat disertai dengan gejala okular, seperti perdarahan
retina atau hambatan gerakan ekstraokular.


Penatalaksanaan Diet

Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan yang diberikan berupa
roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1 2 jam
setelah makan. Diet itu kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C, sehingga diberikan
hanya selama beberapa hari.

Diet hiperemesis II diberikan jika rasa mual dan muntah berkurang. Pemberian dilakukan
secara bertahap untuk makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama
makanan. Diet itu rendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D.

Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan. Pemberian
minuman dapat diberikan bersama makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali
kalsium.

Terapi Alternatif

Ada berbagai terapi alternatif lain yang sangat efektif. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe)
adalah salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan aktifnya,
disebut gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur
Cytotoxin associated gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Ekstrak jahe ini
sangat direkomendasikan oleh ACOG.

Dosisnya adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per
oral, 4 kali sehari.

The Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan stimulasi akupunktur P6 pada
pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual. National
Evidence-based Clinical (NICE) Guidelines Oktober 2003 merekomendasikan jahe,
akupunktur P6 dan antihistamin untuk tata laksana mual dan muntah dalam kehamilan,
dengan evidence level I. Juga telah ditunjukkan bahwa terapi stimulasi saraf tingkat rendah
pada aspek volar pergelangan tangan dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang
kenaikan berat badan.


Hanya ada sedikit bukti kalau kortikosteroid efektif.

Dalam dua RCT kecil, didapatkan
bahwa tidak ada kegunaan dari metilprednisolon ataupun placebo, tapi kelompok steroid
lebih sedikit yang mengalami readmission.

Antagonis serotonin kadang-kadang digunakan
oleh beberapa klinisi untuk pasien tidak hamil yang mengalami mual berat. Pada sebuah
penelitian, ondansentron ternyata tidak lebih baik daripada prometazin sehingga
penggunaannya terbatas.


Dengan muntah yang persisten, kita harus mencari adanya penyebab lain seperti
gastroenteritis, kolesistitis, pankreatits, hepatitis, ulkus peptikum, pielonefritis, dan
perlemakan hati dalam kehamilan.

Hampir semua wanita hamil akan memberikan respon yang baik dengan penatalaksanaan
yang telah disebutkan di atas. Bila masih ada muntah berkepanjangan, maka pemberian
nutrisi enteral harus dipikirkan. Vaisman dkk. (2004) telah menunjukkan keberhasilan
pemberian makan nasojejunal selama 4-21 hari pada 11 wanita hamil dengan mual dan
muntah refrakter. Pada sedikit sekali perempuan, nutrisi parenteral mungkin diperlukan.

9. DIAGNOSIS BANDING

Selain hiperemesis gravidarum, ada beberapa penyakit yang harus dipikirkan jika terjadi mual
dan muntah yang berat dan persisten pada ibu hamil, yaitu:
Ulkus peptikum
Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang
mengalami eksaserbasi. Gejalanya adalah nyeri epigastrik yang berkurang dengan
makanan atau antasid dan memberat dengan alkohol, kopi, atau OAINS. Nyeri tekan
epigastrik, hematemesis, dan melena dapat ditemukan.
Kolestasis obstetrik
Gejala yang khas untuk kolestasis adalah pruritus pada seluruh tubuh tanpa adanya
ruam. Ikterus, warna urin gelap, dan tinja terkadang pucat juga dapat ditemui
walaupun jarang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan kadar enzim
hati atau peningkatan bilirubin.
Acute fatty liver
Pada penyakit ini ditemukan perburukan fungsi hati yang terjadi cepat disertai dengan
gejala kegagalan hati seperti hipoglikemia, ganguan pembekuan darah, dan perubahan
kesadaran sekunder akibat ensefalopati hepatik. Penyebab kegagalan hati akut yang
lain harus disingkirkan, misalnya keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut.
Apendiksitis akut
Pasien dengan apendiksitis akut mengalami demam dan nyeri perut kanan bawah.
Uniknya, lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus
yang semakin membesar. Nyeri dapat berupa nyeri tekan dan nyeri lepas. Dapat
ditemukan tanda Bryan (timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder
(pasien berbaring miring ke kiri dan letak nyeri tidak berubah).
Diare akut
Gejal diare akut adalah mual dan muntah disertai dengan peningkatan frekuensi buang
air besar di atas 3 kali per hari dengan konsistensi cair.
DAFTAR PUSTAKA

1. Siddik D. Kelainan gastrointestinal. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro
GH, ed. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo,`ed. 4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2008: 814-28.
2. Cunningham FG, dkk. Williams Obstetric, ed. 22. McGraw-Hill; 2007.
3. Ogunyemi DA, Fong A. Hyperemesis Gravidarum [halaman di Internet]. Diperbarui 19
Juni 2009. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview
4. Quinlan JD, Hill DA. Nausea and vomiting of pregnancy. Am Fam Physician (serial
online) 2003 Diunduh dar:: http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p121.html.
5. ACOG (American College of Obstetrics and Gynecology): Practice Bulletin No. 52:
Nausea and Vomiting of Pregnancy. Obstet Gynecol. 2004;103:803-14.













PREEKLAMSIA BERAT

DEFENISI
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema akibat dari
kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, bahkan setelah 24 jam
post partum.
3

Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun
sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil umum
ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis pembuluh darah.
4

Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang kadarnya melebihi
0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau 1 gram/liter atau lebih dalam
urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu
6 jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang
serius.
4

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20
minggu atau lebih.
5-7

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO PREEKLAMPSIA
Preeklampsia dapat di temui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama kehamilan pertama
pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia pada primigravida lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida muda. Diabetes mellitus, mola
hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor
predisposisi terjadinya pre-eklampsia.
4

Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan / preeklampsia /eklampsia.
4

Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil
berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35
tahun, dapat terjadi hipertensi laten


Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih
tinggi untuk pre-eklampsia berat.
Ras/golongan etnik
mungkin ada perbedaan perlakuan/akses terhadap berbagai etnik di banyak Negara
Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat
sampai + 25%
Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin.
Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga
lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil
memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih
tinggi daripada monozigotik.
Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus
Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan pre-eklampsia
murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat diabetesnya.
Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan pre-eklampsia.
Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata
hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada pre-eklampsia.
Riwayat pre-eklampsia.
Kehamilan pertama
Usia lebih dari 40 tahun dan remaja
Obesitas
Kehamilan multiple
Diabetes gestasional
Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis.
4

ETIOLOGI
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga penyakit
ini disebut dengan The Diseases of Theories.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat
pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa
keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.
1

2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan
berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan
Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang
tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya,
pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
1

Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita
Preeklampsia-Eklampsia :
a) Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek imun dalam serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada Preeklampsia-
Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistem imun
humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia-Eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa
sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia-Eklampsia.
2

3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis, sehingga
menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga
terjadi Hipertensi dan Edema.
1

4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan melalui gen
resesif tunggal.
2
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-
Eklampsia antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak-anak
dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
c) Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil
dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada ipar mereka.
8

5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak essensial
terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan Loss
Angiotensin Refraktoriness yang memicu terjadinya preeklampsia.
1

6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi
penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan
pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
8


PATOGENESIS / PATOFISIOLOGI PRE EKLAMPSIA
Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi perubahan dan
gangguan vaskuler dan hemostatis.
Dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah
plasenta yang berkurang.
9

Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 -
25 (OH)
2
dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari
saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar
paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang
mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel.
Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah.
9

Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan prostaglandin
berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis prostaglandin dan
peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan vaskuler terhadap Angiotensin II.
Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor
berkurang, sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah
yang menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi arterial yang
membahayakan pembuluh darah karena gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia
dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin 1 yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan kebocoran antar sel endotel, sehingga
unsur-unsur pembentukan darah seperti thrombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel
yang menyebabkan gangguan ke berbagai sistem organ.
9

2.5. GEJALA KLINIS PEB
Gejala preeklampsia adalah :
1. Hipertensi
2. Edema
3. Proteinuria
4. Gejala subjektif : sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.
2


Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut :
1. TD 160 / 110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr / 24 jamatau kualitatif 3+ / 4+
3. Oliguria 500 ml / 24 jam
4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus
5. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan
6. Nyeri epigastrium
7. Edema paru atau sianosis
8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)
9. HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP = Low Platelet Counts)
10. Koma
2,9

Diagnosis preeklampsia bisa ditegakkan jika terdapat minimal gejala hipertensi dan proteinuria.
4

PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya retardasi pertumbuhan
intrauterin atau oligohidramnion
Edema pada muka yang memberat
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan berat badan secara tiba-
tiba dalam 1-2 hari.
4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk preeklampsia.
Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan
spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar asam urat serum pada wanita yang
menderita hipertensi kronik menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia superimpose.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita dengan
faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati, hitung
trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar
albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan. Semua pemeriksaan
ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas penyakit.
4

PROGNOSIS
Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.
4

KOMPLIKASI
Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
Hipofibrinogenemia
Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada
penderita pre-eklampsia.
Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada retina dapat
ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya apopleksia serebri.
Edema paru
Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum. Diketahui
dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau gagal
ginjal.
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai tahap
eklampsia.
4

DIAGNOSIS BANDING
1) Kehamilan dengan sindrom nefrotik
2) Kehamilan dengan payah jantung
5

3) Hipertensi Kronis
4) Penyakit Ginjal
5) Edema Kehamilan
6) Proteinuria Kehamilan
1


PENATALAKSANAAN PEB
1. Perawatan Aktif
a) Indikasi
Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek
Adanya gejala-gejala impending eklampsia
Adanya Sindrom Hellp
Kehamilan aterm ( > 37 minggu)
Apabila perawatan konservatif gagal.
5

b) Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL dari IGD.
2) Tirah baring miring ke satu sisi.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
a. Sulfas Magnesikus (MgSO
4
)
Syarat-syarat pemberian MgSO
4

- Tersedia antidotum MgSO
4
yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan
intravenous dalam 3 menit.
- Refleks patella positif kuat
- Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tanda distress pernafasan (-)
- Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
7



b) Diazepam
Digunakan bila MgSO
4
tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO
4
tidak dipenuhi. Cara pemberian:
Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada
perbaikan, rawat di ruang ICU.
8

6) Diuretika
Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongestif atau
edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/im.
7

7) Anti hipertensi
Tekanan darah sistolis > 180 mmHg, diastolis > 110 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan
diastolis < 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta.
Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-obat antihipertensi
parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan
infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.
Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet antihipertensi secara sublingual atau
oral. Obat pilihan adalah nifedipin yang diberikan 5-10 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24
jam.
7

8) Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan
cedilanid D.
7

2. Perawatan Konservatif
a) Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm kurang dari 37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
b) Pengobatan medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan aktif. Hanya
loading dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskuler saja dimana 4 gram pada
bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c) Pengobatan obstetri :
Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini
tidak dilakukan terminasi.
MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia ringan, selambat-
lambatnya dalam 24 jam.
Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan medisinal gagal dan harus
diterminasi.
Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4 20% 2 gram
intravenous.
d) Penderita dipulangkan bila :
Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan dan telah dirawat selama 3
hari.
Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan : penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
7

2. PENCEGAHAN
1) Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil
memeriksakan diri sejak hamil muda.
2) Mencari pada setiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya segera apabila
ditemukan.
3) Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah
dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
4

You might also like