You are on page 1of 3

PEMILWA dan Kegalauan ADK

29 November 2013 pukul 15:10


Mengamati beberapa fenomena di kampus, saya melihat ada 2 momentum besar yang rentan
terhadap keteguhan para Aktivis Dakwah Kampus (ADK) dalam menjalankan aktivitas
dakwahnya. Tidak sedikit ADK yang galau di 2 momentum tersebut. Galau ini bisa berupa
mutung, sakit hati, kecewa dan puncaknya bisa 'mundur teratur' bahkan balik benci terhadap
aktivitas dakwah. Ke-2 momentum ini adalah OSPEK dan PEMILWA (Pemilihan Umum
Mahasiswa). Karena sekarang lebih dekat dengan PEMILWA maka ini dibahas lebih dulu, untuk
OSPEK mungkin dibahas di lain waktu, Insyaa'Allah.

PEMILWA adalah agenda tahunan. Rutin dilaksanakan sebagai regenerasi ORMAWA di
kampus. Seperti kita tahu, momentum PEMILWA ini selalu sarat akan kepentingan, -dan ini
normal-, karena selama manusia hidup, selama itulah akan terus ada kepentingan. Bahkan
orang yang mengaku tidak berkepentingan sekalipun, tetap memiliki kepentingan terhadap
ketidak-berkepentingannya. Jadi permasalahnnya bukan ada kepentingan atau tidak, melainkan
kepentingan macam apa yang dimiliki, karena apa, dan untuk apa ia diterapkan, terutama dalam
implementasi PEMILWA ini.

Seorang ADK, jika tidak melihat fenomena ini secara bijak dan menyeluruh, maka dia akan
terjebak dalam berbagai kegalauan yang berkecamuk dalam hati, fikiran dan sikapnya. Akhirnya
fenomena Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah -seperti judul bukunya Fathi Yakan- itu benar-
benar terjadi.

Nah, apa saja jenis kegalauan itu? Mari coba kita simak satu persatu.

1. Merasa Layak Mengampu Jabatan
Ada kalanya seorang ADK dengan berbagai pengalaman dan latar belakangnya hingga ia
merasa PD (jika tidak mau dibilang angkuh) untuk mendapat jabatan. Dia merasa, dari banyak
ADK lain, hanya dia sendiri yang layak mendapat jabatan tertentu. Padahal bisa jadi itu bagian
dari ego dirinya, tanpa pernah ia bertanya kepada orang lain tentang kelayakan dirinya.
Sehingga ketika semua ADK tidak memilih dia, atau memilih orang lain selain dia, akhirnya dia
menjadi galau, merasa tidak dihargai, tidak dianggap dan yang terparah malah balik benci
kepada ADK dan aktivitasnya. Dia merasa aktivitas dakwah tidak memberikan apa-apa untuk
dirinya. Padahal sejatinya dakwah itu tidak berbicara tentang apa yang kita inginkan, melainkan
tentang apa kontribusi kita untuk dakwah.

Setiap aktivis dakwah tak lebih dari sebuah batu-bata yang sama satu sama lain. Tak peduli di
mana ia berada -di atas atau di bawah-, yang terpenting adalah bagaimana cara agar dia turut
andil maksimal dalam bangunan indah dakwah ini, sebagai siapapun dan dalam posisi apapun.

2. Takut Disebut 'Haus Kekuasaan'
'Haus Kekuasaan'. Sebuah kata majemuk yang sering jadi jebakan bagi ADK. Tidak
bersemangat dalam Fastabiqul Khairaat menebar dakwah melalui segala jalur. Tiba-tiba dia
menjadi lemah jika dibilang 'Aktivis dakwah kok rebutan kekuasaan?', 'Dakwah ya dakwah aja
lewat masjid, atau lembaga dakwah di kampus, jangan bawa-bawa di tempat umum'. 'Dakwah
jangan di politisasi', dan lain sebagainya.

Menurut saya ini terjadi karena disorientasi niat dan ia melihat Islam serta dakwahnya secara
parsial. Ia menganggap yang namanya dakwah Islam hanya ada di masjid-masjid atau di
lembaga dakwah kampus. Tidak di tempat umum apalagi sampai 'berebut kekuasaan'. Padahal
Islam itu syamil wal mutakamil, sempurna dan menyeluruh, dan kekuasaan adalah bagian kecil
dari sempurnanya bangunan Islam. Sekitar 13 abad lamanya -sejak deklarasi Piagam Madinah
tahun 600an M hingga runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924 M-, menunjukkan bahwa
kekuasaan, politik, negara dan Islam adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Di era demokrasi saat ini, maka PEMILWA menjadi 'arena tanding' berbagai kepentingan. Jika ia
tidak diisi kebaikan dan orang baik, maka ia bisa terisi keburukan dan orang buruk, atau minimal
terisi kesia-siaan. Orang-orang yang tidak jelas orientasinya, bahkan mungkin malah
menyumbang keburukan saat ia menjabat itu, mereka PD-PD aja mencalonkan dan
mempromosikan diri di pentas kekuasaan. Kenapa kita, yang meyakini bahwa ini bagian dari
ikhtiar menebar dakwah dalam skala yang lebih luas, merasa down dan tiba-tiba loyo hanya
karena disebut 'haus kekuasaan'? Jika berharap kepada sesama manusia, maka bersiaplah
kecewa. Biarlah orang berkata apa, toh Allah lebih tahu atas niat di dalam hati kita.

3. Post Power Syndrom
Ini sebenarnya agak nyambung sama penyakit nomer satu. Post Power Syndrom, penyakit
pasca kekuasaan. Ada kalanya seorang ADK, karena sebelumnya ia telah mengampu jabatan
tertentu maka ia merasa layak untuk 'naik jenjang' dengan mengampu jabatan yang lebih tinggi
dan bergengsi. Seorang ketua kelas merasa layak menjadi ketua HIMA, seorang ketua HIMA
merasa layak menjadi Ketua BEM Fakultas, dan dari Fakultas merasa layak menjadi Ketua BEM
Universitas.

Nah, jika ternyata kenyataan sebaliknya, ia tidak didukung oleh teman ADK yang lain, maka ia
bisa mutung dan kecewa. Ia sudah terbiasa sibuk dengan hingar-bingar dan gegap-gempita
sambutan publik, kemudian tiba-tiba merasa tidak lagi berharga karena sekarang tidak menjabat
apa-apa. Salah satu pelampiasannya, biasanya dia akan sibuk mengotak-atik, mengkritik dan
menjelek-jelekkan organisasi yang pernah dipimpinnya bahkan terhadap dakwah, -tanpa solusi-
padahal sudah dipimpin orang lain dan ia tidak menjabat apa-apa lagi, plus mengagung-
agungkan lembaga itu ketika dipimpin oleh dia sendiri. Jika konteksnya konsultasi dan diskusi
mungkin tidak mengapa. Masalahnya seringkali ini dilakukan di forum yang tidak tepat dan
malah menjadi kontra-produktif dengan proses kebaikan dan perbaikan.

Rupanya kita harus belajar ikhlas dari ilmu beton di gedung-gedung tinggi. Simaklah beton itu, ia
salah satu yang paling berjasa membuat gedung-gedung itu kuat dan tegak, tapi sedikitpun ia
tidak mau menonjolkan diri, bahkan sedikit mencuat keluar saja ia harus rela digergaji.

orang yang lebih kuat dalam memelihara diri dari berbuat kemaksiatan dari musuh-musuh
kalian...

...Janganlah kalian mengatakan, "Sesungguhnya musuh kita lebih buruk dari kita sehingga tidak
mungkin mereka menang atas kita meskipun kita berbuat keburukan." Karena, berapa banyak
kaum-kaum yang dikalahkan oleh orang-orang yang lebih buruk dari mereka. Sebagaimana
orang-orang kafir Majusi telah mengalahkan Bani Israil setelah mereka melakukan perbuatan
maksiat. Mintalah pertolongan kepada Allah bagi diri kalian sebagaimana kalian meminta
kemenangan dari musuh-musuh kalian. Dan aku pun meminta hal itu kepada Allah bagi kami
dan bagi kalian..."

6. Kacang Lupa Pada Kulitnya
Ini muncul biasanya ketika tampuk kepemimpinan sudah didapatkan. Tiba-tiba dia seperti
kacang yang lupa pada kulitnya. Garam yang lupa pada lautnya. Teh manis yang lupa pada
gulanya. Nasi telor yang lupa pada telornya. Atau nasi kucing yang lupa pada kucingnya (lho).
Intinya, dia menganggap sampainya dia ke puncak kepemimpinan semata-mata karena dirinya
sendiri. Entah karena ketokohannya, sikapnya, keterkenalannya, dan lain sebagainya. Sehingga
dia merasa ada ADK lain atau tidak, dia tetap akan mendapatkan jabatan karena faktor dirinya
sendiri itu.

Akhirnya ketika menjabat, dia menjadi lupa dengan nilai-nilai dakwah dan kebaikan yang dia
perjuangkan. Dia merasa yang penting organisasi yang dia pimpin bisa sukses dihadapan publik,
tanpa memahami bagimana pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah.

Perlahan tapi pasti, pemahaman dan fikrah dakwahnya menjadi luntur. Ibadah mulai berkurang.
Membina tidak mau dilakukan. Maksiat sedikit demi sedikit mulai berjalan. Datang halaqah mulai
telatan bahkan hingga ditinggalkan. Dia merasa bahwa mendapat jabatan adalah bagian dari
puncak kesuksesan hingga dengan mudahnya motivasi dan keikhlasan jadi tinggal kenangan.

Meski memang kadang di sisi lain, dia merasa benar-benar menjadi sosok yang bekerja sendiri
dan merasa ditinggalkan dalam kesendirian. Secara manusiawi memang ini mengakibatkan
kegalauan. Mungkin ini jadi PR juga tentang komitmen ukhuwwah bagi yang lain. Tapi yang
jelas, sejatinya hal ini tidak boleh jadi alasan untuk mundur dan memisahkan diri dari jalan
kebaikan. Cukuplah Allah sebaik baik pemberi pertolongan.

END NOTE
Prinsip utama dakwah itu murni masalah keikhlasan, kesabaran, dan pemahaman utuh akan
hakikat perjuangan. Selebihnya tinggal beramal dan bekerja maksimal.

Tarbiyah itu tentang proses. Jika terjadi ketidakfahaman, jangan kurung diri dalam keegoisan.
Bertanya dengan lapang dada. Berdiskusi dengan ringan hati. Selalu ada hikmah di setiap
keadaan. Selalu ada jalan dalam menempuh kebaikan.

Luruskan niat, sempurnakan ikhtiar.

Allaahu musta'an. Allaahu a'lam.

You might also like