TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 Strategi Pemberdayaan Masyarakat Survival Pasca Bencana Indra 1,2 Agussabti 1,2 Syaiful Bahri 1,3 Muslem Zainuddin 1,4 T. Sofyan Umar 1 Eka Putra 1
1 ) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia 2 ) Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala 3 ) Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala 4 )
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri, Banda Aceh ABSTRACT Aceh is one of the provinces in Indonesia that closed with any disaster, like earthquake, tsunami, and flood. However, the communities that live in the province do not aware about impact of the suffers because of lack mitigation knowledge. So that, when the disaster occurred, such as tsunami on 2004, there are many communities that to be the victims. The aim of the research was to identification the characteristic of communities and natural resources to build a powered capacity model so that the community will powerful, robust, and more survive to any disaster. The research used survey method and take location in Baitussalam Sub District Aceh Besar and Teunom Subdistrict Aceh Jaya. The model suggested was empowering the community base on their internal and external potentials and the natural resources at the region with taking apart of all stakeholders, such as society, local leader, NGOs and government. Beside, to redesign carefully intervene strategy so that the community become more straggle, robust, and survive to the disaster. Beside, increasing knowledge about any disaster, the community need to be increase their life skill and entrepreneurship. Key words : Disaster, powered community, and survive
1. PENDAHULUAN Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat rawan bencana (gempa bumi, tsunami dan banjir). Namun, masyarakat yang tinggal di wilayah ini kurang memperhitungkan dampak dari bencana yang akan ditimbulkan karena masih rendahnya pengetahuan tentang kebencanaan. Oleh karena itu, tidak heran pasca bencana tsunami 2004 lalu, sungguhpun telah melalui masa darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi selama 5 tahun dengan menghabiskan dana triliunan rupiah, namun dampaknya terhadap pemulihan ekonomi masyarakat tidak cukup signifikan. Pada sektor perikanan misalnya, kondisi ekonomi nelayan tangkap atau pembudidaya (petambak) tetap saja masih memprihatinkan, tidak lebih baik atau sama dengan kondisi sebelum tsunami. Padahal, seperti diketahui bahwa banyak sekali bantuan livelihood oleh pemerintah dan NGOs kepada kedua sektor ini (perikanan tangkap dan budidaya) ketika masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami beberapa tahun lalu, seperti pemberian kapal/boat, alat tangkap, biaya operasional, rehab tambak dan saluran, bantuan agro-input, dan lain-lain (Agussabti, et al., 2010). Artinya, bantuan-bantuan tersebut belum mampu membuat masyarakat yang terkena bencana untuk bertahan hidup dalam artian hidup yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu dikaji model pemberdayaan untuk bertahan hidup masyarakat terkena bencana, khususnya tsunami dan banjir. Leiten dalam Aji (1997) membagi teori bertahan hidup menjadi dua model, yaitu model survival yang dicirikan dengan adanya kecenderungan bagi adanya usaha untuk suatu jaminan, kepercayaan diri pada seseorang terhadap keberadaan tertinggi atau takdir ketika ada pada posisi sulit, dan model emansipasi yang memiliki ciri adanya kecenderungan untuk memperbaiki posisi seseorang, dan adanya keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya kerjasama untuk saling mendukung. Dengan kata lain bahwa strategi survival dapat dilihat dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, strategi survival seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki seseorang, seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada Tuhan, keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki visi ke depan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh solidaritas sosial tempat seseorang bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling membantu. Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi (Slamet 2010). Melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, masyarakat yang telah diberdayakan akan mempunyai kemampuan yang memadai. Namun, kemampuan saja tidaklah cukup karenanya harus dibarengi dengan motivasi sehingga mereka berbuat, sementara sumber motivasi adalah karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi. Khan (1997) dalam Helmi (2010) menawarkan model pemberdayaan dalam
41
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 organisasi/kelompok/masyarakat adalah dimulai dari desire, trust, confident, credibility, dan accountability. Penelitian ini mencoba menawarkan alternatif model pemberdayaan menuju masyarakat survive pasca bencana.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober - Desember 2010. Lokasi penelitian di 2 wilayah bencana (bencana yang dimaksud adalah gempa bumi/tsunami, dan banjir), wilayah tsunami mengambil lokasi di Desa Lambada Lhok, Labuy, dan Lam Ujong Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan wilayah banjir mengambil lokasi di Desa Gampong Baro dan Rambong Payong Kecamatan Teunom Kabupaten Aceh Jaya. Pengumpulan data dilakukan melalui : (a) Participant observation (pengamatan terlibat) dan (b) wawancara mendalam (indept interveiw) terhadap orang yang mengalami langsung bencana tsunami dan banjir, tokoh masyarakat, pemimpin formal desa (keuchik, imum meunasah dan seketaris desa), tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan. Data dianalisis dengan pendekatan kualitatif melalui pemaknaan dan penjelasan terhadap berbagai fenomena dan fakta sosial serta informasi yang diperoleh terkait dengan budaya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Interpretasi data juga dilakukan terhadap apa yang terdapat dibalik realitas yang muncul dari gejala yang diamati terhadap budaya kesiapsiagaan masyarakat di lima desa tersebut, untuk itu kode-kode kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan (Abdullah 2007).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketika terjadinya bencana di suatu wilayah, sebagian besar pihak luar (pemerintah atau danatur/NGO), memandang korban bencana sebagai objek, bukan sebagai subjek. Kondisi ini dirasakan masyarakat Aceh ketika terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004. Sebagian besar pihak luar menganggap korban tsunami sebagai objek (yang lemah), sehingga program-program yang dibantu oleh pihak luar lebih bersifat kebutuhan jangka pendek, bersifat fisik, paternalistik dan dirancang menurut formatnya masing-masing yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Akibatnya, berbagai bantuan yang diberikan kurang mampu membuat masyarakat (korban) mandiri. Bahkan setelah bencana tsunami akibat banyaknya program bantuan dari luar telah menggeser mental masyarakat menjadi lebih tergantung pada pihak luar. Namun fenomena sedikit berbeda pada masyarakat korban banjir, perhatian pihak luar terhadap korban banjir lebih terbatas dibandingkan dengan korban tsunami, hanya pihak pemerintah lokal yang biasanya intervensi untuk membantu korban banjir, sedang donatur/ NGO luar jarang terlibat. Kondisi ini menyebabkan kemampuan survival korban banjir lebih tinggi dibandingkan korban tsunami. Ada beberapa model intervensi yang telah dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat korban bencana, baik yang dilakukan pemerintah maupun donatur/NGO. Pada masyarakat korban tsunami model intervensi yang dilakukan umumnya melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap rescue (tanggap darurat), (2) tahap rehabilitasi dan restorasi, dan (3) tahap rekonstruksi. Kegiatan pada tahap rekonstruksi, tujuannya adalah pembangunan kembali seluruh sistem, meliputi: sistem ekonomi (produksi, perdagangan, perbankan), sistem transportasi, sistem telekomunikasi, sistem sosial dan budaya, serta sistem kelembagaan. Setelah enam tahun pasca-tsunami banyak hal yang telah dilakukan, terutama di bidang rehabilitasi seperti: pembangunan perumahan penduduk yang terkena dampak tsunami, pembangunan infra-struktur publik, dan perbaikan di bidang perekonomian masyarakat (livelihood). Namun banyak hal juga yang belum terlaksana guna menopang kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkelanjutan. Menurut hasil penelitian Gheneve (2008), dari 450 program pembangunan Aceh pasca tsunami ternyata hanya 85 program yang fokus pada pemberdayaan masyarakat, sedangkan yang lain lebih bersifat bantuan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar yang dilakukan pada saat pasca bencana adalah memberi bantuan yang bersifat fisik kepada masyarakat korban bencana, bukan bantuan non-fisik atau peningkatan kapasitas yang membuat mereka mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan sebuah model pemberdayaan masyarakat korban bencana yang menempatkan mereka sebagai subjek, bukan sebagai objek. Dengan demikian diharapkan mereka mampu membangun kembali penghidupannya (survive). Model pemberdayaan yang dimaksud secara tentatif berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
42
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532
Gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum ada dua lembaga yang memberikan bantuan kepada masyarakat setelah terjadinya bencana, yaitu lembaga pemerintah dan lembaga donatur/NGO. Ada 5 jenis bantuan, yaitu (1) modal usaha (cash), (2) pangan, (3) fasilitas tempat tinggal, (4) peralatan/bahan untuk pengembangan usaha (in-kind), dan (5) peningkatan kapasitas (pelatihan). Dari kelima jenis bantuan tersebut yang lebih sering diberikan adalah bantuan yang bersifat fisik (modal usaha dan pangan) daripada yang bersifat non-fisik (pedampingan dan pelatihan). Kondisi ini terjadi karena pihak luar sering melihat korban bencana sebagai objek, bukan subjek yang dapat membantu dirinya sendiri. Akibatnya membentuk sikap mental ketergantungan korban bencana terhadap pihak luar. Untuk menghindari terjadinya sikap mental ketergantungan masyarakat dan keberhasilan pemberdayaan, maka diperlukan adanya komponen pemberdayaan yang terdiri dari (1) lembaga/aktor pemberdayaan yang profesional, (2) pemberdayaan adaptif, (3) motif pemberdayaan, (4) inovasi dalam pemberdayaan. Kapasitas aktor akan menentukan kemampuannya untuk menerapkan strategi yang adaptif dalam pedampingan masyarakat. Namun kapasitas dan strategi ini akan mencapai hasil yang optimal jika didukung dengan motif pemberdayaan yang berorientasi pada penerima manfaat dan ditunjang dengan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Upaya pemberdayaan untuk mengubah perilaku ketergantungan menjadi perilaku mandiri dipengaruhi oleh strategi intervensi, potensi lokal (termasuk lingkungan fisik dan lingkungan sosial), dan karakteristik masyarakat itu sendiri. Strategi intervensi sebaiknya ada keseimbangan antara bantuan fisik dan peningkatan kapasitas masyarakat sehingga bantuan yang diberikan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Bantuan Pemerintah: Modal Usaha (cash) Pangan Fasilitas Tempat Tinggal Bahan/alat Pengembangan Usaha Bantuan Donatur/NGOs: Modal Usaha (cash) Pangan Fasilitas Tempat Tinggal Bahan/alat Pengembangan Usaha Komponen Pemberdayaan Lembaga/aktor pemberdayaan Pemberdayaan yang adaptif Motif pemberdayaan Inovasi dalam pemberdayaan Karakteristik Masyarakat Terkena Bencana Keyakinan terhadap bencana Persepsi terhadap bantuan Strategi penghidupan Budaya saling membantu Lifeskill
Strategi Intervensi Potensi Lokal
Output Prilaku Mandiri masyarakat korban bencana Pengetahuan meningkat Usaha berkembang Pendapatan meningkat Outcome masyarakat lebih survive dalam menghadapi bencana meningkat
Gambar 1. Model Pemberdayaan menuju Masyarakat yang Survive
43
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 penerima manfaat. Untuk itu diperlukan strategi intervensi yang dibagi dalam lima langkah, yaitu: 1. Melaksanakan program pemberdayaan masyarakat berbasis kelompok atau sub-kelompok secara konsisten, sinergis, dan terpadu. 2. Apabila dilakukan intervensi dengan pendekatan kelompok, maka perlu melakukan pemberdayaan kelompok dalam upaya menggeser kelompok sebagai wadah penerima bantuan menjadi kelompok sebagai pengelola program. Hal ini dapat diwujudkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap persiapan sosial dan diikuti dengan kegiatan memfasilitasi participatory planning process serta kucuran modal melalui program hibah- bergulir; (2) tahap persiapan sosial dan memfasilitasi participatory planning process serta kucuran modal melalui kredit subsidi/kemudahan khusus; dan (3) tahap menfasilitasi pertumbuhan hubungan kemitraan dalam sistem ekonomi pasar menuju kemandirian. Melalui tiga tahap tadi suatu kelompok dapat dibangun kekuatannya dan berfungsi sebagai pengelola yang mampu mengikat anggotanya dengan tiga nilai, yaitu: nilai sosial (kebersamaan dan tolong menolong), nilai ekonomi (modal dan pemasaran), dan nilai kelembagaan (keterikatan dalam satu wadah). Dengan demikian, diharapkan dengan nilai-nilai inilah semua anggota akan secara otomatis terikat dengan kelompoknya. Kondisi ini akan bisa terwujud, apabila kita mampu melakukan penguatan kelompok (pelatihan manajemen dan pembukuan kelompok) serta pembinaan dan pendampingan kelompok secara berkelanjutan. hal ini dapat diwujudkan apabila perencanaan, alokasi dana dan fasilitas untuk tenaga pendampingan tersedia secara memadai. 3. Melakukan penyaluran bantuan modal untuk kelompok binaan (penguatan modal, pemasaran, dan pengembangan hubungan kemitraan melalui penguatan akses kelompok dari hilir sampai ke hulu). 4. Sinkronisasi program pemberdayaan kelompok dan pelatihan dengan program bantuan dari pemerintah/NGOs 5. Melakukan perbaikan kreatifitas kerja masyarakat melalui berbagai pelatihan dan program bantuan sesuai dengan potensi lokal dan karakteristik masyarakat setempat. Pemberdayaan kepada masyarakat korban bencana sebaiknya tidak mengandalkan input dari luar, tetapi harus berbasis potensi lokal. Selama ini banyak pemberdayaan yang dilakukan terhadap korban bencana cenderung mengabaikan potensi lokal sehingga bantuan yang diberikan kurang sinkron dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. akibatnya, apabila dipaksakan maka output dari pemberdayaan berupa perilaku masyarakat yang mandiri sulit dicapai. Selain mempertimbangkan strategi intervensi dan potensi lokal, untuk mencapai output yang diharapkan berupa perilaku mandiri masyarakat korban setelah bencana, maka perlu mempertimbangkan karakteristik masyarakat korban bencana. Berdasarkan temuan penelitian berbasis data lapangan ada beberapa karakteristik masyarakat korban bencana, yaitu: pertama, keyakinan terhadap bencana. Sebagian besar korban bencana, baik di wilayah tsunami maupun di wilayah banjir, percaya bahwa bencana merupakan cobaan dari Allah, dan kalau sudah dikehendaki Allah dipercaya tidak ada yang bisa menolaknya. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa setiap bencana pasti ada hikmahnya. Jadi sebagian besar mereka lebih banyak yang pasrah sehingga sebagian mereka melahirkan sikap apatis. Namun sebagian lagi akibat bencana menumbuhkan sifat kerja keras dan kebersamaan yang mampu melihat peluang di tengah kesulitan karena bencana. Kedua, persepsi terhadap bantuan. Sebagian masyarakat melihat bantuan sebagai kepentingan jangka pendek sehingga muncul kecenderungan memanfaatkan untuk konsumsi. Namun ada sebagian masyarakat yang memanfaatkan bantuan untuk kepentingan jangka panjang. Pada saat mendapatkan bantuan, mereka menyimpan sebagian pendapatan mereka untuk investasi modal usaha sehingga ketika masa pemberian bantuan berakhir mereka sudah memiliki usaha yang lebih permanen dan berkelanjutan. Contohnya apa yang dilakukan oleh Ismail Bin M. Ilyas, umur: 45 Tahun, Pendidikan: Tamat SMA, Pekerjaan sebagai Tukang Bengkel, Dia mampu membuka bengkel sendiri setelah tsunami yang modalnya dikumpulkan saat bekerja pasca tsunami. Ketiga, strategi penghidupan. Strategi penghidupan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah menyangkut mata pencaharian, mengurangi konsumsi, membaca peluang ke depan, strategi berkeluarga dan memilih pasangan hidup. Setelah terjadinya bencana, banyak kehancuran yang diderita oleh masyarakat, termasuk kehancuran tempat usaha dan kehilangan mata pencaharian. Oleh sebab itu, kemampuan bertahan hidup dipengaruhi oleh kemampuannya menyusun strategi dan menata penghidupan ke arah yang lebih baik pasca bencana, seperti menghemat pengeluaran dan menginvestasi kembali menjadi modal usaha. Keempat, budaya saling membantu. Tingkat kerjasama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan tingkat kerjasama atau saling membantu antara masyarakat di wilayah tsunami dan di wilayah banjir. Di wilayah tsunami karena banyaknya bantuan yang datang setelah bencana menyebabkan mental ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar lebih tingi. Sementara di wilayah banjir, masyarakat lebih mandiri karena kurangnya bantuan pihak luar pasca
44
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011 ISSN 2088-4532 bencana, sehingga budaya saling membantu antara sesama masyarakat lebih tinggi. Kelima, lifeskill. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang memiliki lifeskill umumnya lebih cepat membangun kembali kondisi ekonominya dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki lifeskill. Biasanya mereka yang memiliki lifeskill lebih mampu melihat peluang- peluang yang tersedia pasca bencana dibandingkan masyarakat tanpa lifeskill. Oleh sebab itu, lifeskill merupakan kunci penting untuk dapat bertahan hidup pasca bencana. Keenam, mata pencaharian. Salah satu dampak yang paling besar ketika dan setelah terjadinya bencana adalah hilangnya mata pencaharian masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi masyarakat di suatu wilayah yang mata pencahariannya tergantung pada lahan biasanya lebih rentan dibandingkan wilayah yang mata pencahariannya tidak begitu tergantung pada lahan. Oleh sebab itu, kondisi ini akan mempengaruhi pada kemampuan bertahan hidup masyarakat tersebut dalam menghadapi bencana. Berdasarkan 6 karakteristik masyarakat yang telah disebutkan di atas, maka strategi intervensi dalam pemberdayaan masyarakat pasca bencana adalah bagaimana mengoptimalkan potensi lokal dan menggeser karakteristik masyarakat dari perilaku ketergantungan pada bantuan pihak luar pasca bencana menjadi perilaku mandiri, yang diindikasikan oleh: (1) adanya peningkatan pengetahuan, bagaimana masyarakat di wilayah bencana tersebut cepat sadar dan belajar dari sebuah peristiwa bencana; (2) berkembangnya usaha, bagaimana usaha yang dikembangkan mampu berkelanjutan; dan (3) meningkatnya pendapatan. bagaimana usaha yang dikembangkan juga mampu memberi nilai tambah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apabila perilaku mandiri ini sudah terwujud dalam sebuah masyarakat, maka akan mendorong munculnya kemampuan masyarakat tersebut sehingga meningkatkan kemampuan bertahan hidup (survival) masyarakat tersebut dalam menghadapi bencana.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Model pemberdayaan yang diusulkan adalah melibatkan lembaga/aktor pemberdayaan profesional yang bekerjasama pemerintah, Donatur/NGO dan seluruh stakeholders, termasuk masyarakat yang terkena bencana dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada, terutama potensi yang ada pada diri masyarakat (internal) dan eksternal seperti, potensi sumberdaya alam dan bantuan pihak luar menyusun dan mengimplementasikan strategi intervensi sehingga masyarakat mampu mandiri dan survive (bertahan hidup) dalam menghadapi bencana. 2. Ke depan, perlu adanya peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat terkait dengan ketrampilan berusaha atau berwirausaha (enterprenuership), sebab ternyata masyarakat yang punya beberapa ketrampilan lebih survive dibandingkan dengan mereka yang tidak punya ketrampilan apa-apa. Bantuan modal tanpa dibarengi ketrampilan, tidak memberi dampak jangka panjang bagi ekonomi masyarakat.
UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti Peer Group Sosial Ekonomi mengucapkan terima kasih atas pendanaan menyeluruh dari pihak MDF dan UNDP melalui project DRR-A dengan nomor kontrak 537.K/TDMRC- UNSYIAH/TU/XI/2010, Tanggal 5 November 2010, dan juga atas kerjasama TDMRC dengan Pemerintah Daerah Aceh dan Departemen Dalam Negeri DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I., 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Agussabti, Indra, dan S. Tripa 2010. Aceh Post Tsunami Recovery Status Report Project Livelihodd Cases. Kerjasama Tsunami and Disaster Mitigation Research Cent re Unsyiah dan IRP/ADRC, Jepang. Aji, G.B., 1997. Studi Mengenai Jaminan Sosial di Indonesia: suatu Reproduksi terhadap Konsep- konsep Pertukaran. Kumpulan makalah. PKK UGM. Yogyakarta. Helmi, S. 2010. Pemberdayaan. http://shelmi.wordpress.com/2009/05/08/pembe rdayaan-karyawan/. Diakses tanggal 15 April 2010 Slamet, M. 2010. Pemberdayaan. http://www.unri.ac.id/download/manajemen.../P EMBERDAYAAN%20.doc. Diakses tanggal 15 April 2011