You are on page 1of 5

40

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Survival Pasca Bencana
Indra
1,2
Agussabti
1,2
Syaiful Bahri
1,3
Muslem Zainuddin
1,4
T. Sofyan Umar
1
Eka Putra
1

1
) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala,
Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia
2
) Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
3
) Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala
4
)

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri, Banda Aceh
ABSTRACT
Aceh is one of the provinces in Indonesia that closed with any disaster, like earthquake, tsunami, and flood. However,
the communities that live in the province do not aware about impact of the suffers because of lack mitigation
knowledge. So that, when the disaster occurred, such as tsunami on 2004, there are many communities that to be the
victims. The aim of the research was to identification the characteristic of communities and natural resources to build a
powered capacity model so that the community will powerful, robust, and more survive to any disaster. The research
used survey method and take location in Baitussalam Sub District Aceh Besar and Teunom Subdistrict Aceh Jaya. The
model suggested was empowering the community base on their internal and external potentials and the natural
resources at the region with taking apart of all stakeholders, such as society, local leader, NGOs and government.
Beside, to redesign carefully intervene strategy so that the community become more straggle, robust, and survive to the
disaster. Beside, increasing knowledge about any disaster, the community need to be increase their life skill and
entrepreneurship.
Key words : Disaster, powered community, and survive


1. PENDAHULUAN
Aceh merupakan salah satu wilayah di
Indonesia yang sangat rawan bencana (gempa bumi,
tsunami dan banjir). Namun, masyarakat yang tinggal
di wilayah ini kurang memperhitungkan dampak dari
bencana yang akan ditimbulkan karena masih
rendahnya pengetahuan tentang kebencanaan. Oleh
karena itu, tidak heran pasca bencana tsunami 2004
lalu, sungguhpun telah melalui masa darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi selama 5 tahun dengan
menghabiskan dana triliunan rupiah, namun
dampaknya terhadap pemulihan ekonomi masyarakat
tidak cukup signifikan. Pada sektor perikanan
misalnya, kondisi ekonomi nelayan tangkap atau
pembudidaya (petambak) tetap saja masih
memprihatinkan, tidak lebih baik atau sama dengan
kondisi sebelum tsunami. Padahal, seperti diketahui
bahwa banyak sekali bantuan livelihood oleh
pemerintah dan NGOs kepada kedua sektor ini
(perikanan tangkap dan budidaya) ketika masa
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami
beberapa tahun lalu, seperti pemberian kapal/boat, alat
tangkap, biaya operasional, rehab tambak dan saluran,
bantuan agro-input, dan lain-lain (Agussabti, et al.,
2010). Artinya, bantuan-bantuan tersebut belum
mampu membuat masyarakat yang terkena bencana
untuk bertahan hidup dalam artian hidup yang
berkualitas. Oleh karena itu, perlu dikaji model
pemberdayaan untuk bertahan hidup masyarakat
terkena bencana, khususnya tsunami dan banjir.
Leiten dalam Aji (1997) membagi teori
bertahan hidup menjadi dua model, yaitu model
survival yang dicirikan dengan adanya kecenderungan
bagi adanya usaha untuk suatu jaminan, kepercayaan
diri pada seseorang terhadap keberadaan tertinggi atau
takdir ketika ada pada posisi sulit, dan model
emansipasi yang memiliki ciri adanya kecenderungan
untuk memperbaiki posisi seseorang, dan adanya
keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya
kerjasama untuk saling mendukung. Dengan kata lain
bahwa strategi survival dapat dilihat dari sisi internal
dan eksternal. Dari sisi internal, strategi survival
seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan
dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki seseorang,
seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada
Tuhan, keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan
memiliki visi ke depan untuk memperoleh kehidupan
yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival
dipengaruhi oleh solidaritas sosial tempat seseorang
bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling
membantu.
Pemberdayaan atau empowerment adalah
proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi
sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif
dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang
tinggi (Slamet 2010). Melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan, masyarakat yang telah
diberdayakan akan mempunyai kemampuan yang
memadai. Namun, kemampuan saja tidaklah cukup
karenanya harus dibarengi dengan motivasi sehingga
mereka berbuat, sementara sumber motivasi adalah
karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin
dipenuhi. Khan (1997) dalam Helmi (2010)
menawarkan model pemberdayaan dalam



41


Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
organisasi/kelompok/masyarakat adalah dimulai dari
desire, trust, confident, credibility, dan accountability.
Penelitian ini mencoba menawarkan alternatif
model pemberdayaan menuju masyarakat survive
pasca bencana.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober -
Desember 2010. Lokasi penelitian di 2 wilayah
bencana (bencana yang dimaksud adalah gempa
bumi/tsunami, dan banjir), wilayah tsunami mengambil
lokasi di Desa Lambada Lhok, Labuy, dan Lam Ujong
Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
Sedangkan wilayah banjir mengambil lokasi di Desa
Gampong Baro dan Rambong Payong Kecamatan
Teunom Kabupaten Aceh Jaya.
Pengumpulan data dilakukan melalui : (a)
Participant observation (pengamatan terlibat) dan (b)
wawancara mendalam (indept interveiw) terhadap
orang yang mengalami langsung bencana tsunami dan
banjir, tokoh masyarakat, pemimpin formal desa
(keuchik, imum meunasah dan seketaris desa), tokoh
adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan. Data
dianalisis dengan pendekatan kualitatif melalui
pemaknaan dan penjelasan terhadap berbagai
fenomena dan fakta sosial serta informasi yang
diperoleh terkait dengan budaya kesiapsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana. Interpretasi
data juga dilakukan terhadap apa yang terdapat dibalik
realitas yang muncul dari gejala yang diamati terhadap
budaya kesiapsiagaan masyarakat di lima desa tersebut,
untuk itu kode-kode kebudayaan menjadi sesuatu
yang sangat penting untuk diperhatikan (Abdullah
2007).


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketika terjadinya bencana di suatu wilayah,
sebagian besar pihak luar (pemerintah atau
danatur/NGO), memandang korban bencana sebagai
objek, bukan sebagai subjek. Kondisi ini dirasakan
masyarakat Aceh ketika terjadinya bencana gempa
bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004. Sebagian
besar pihak luar menganggap korban tsunami sebagai
objek (yang lemah), sehingga program-program yang
dibantu oleh pihak luar lebih bersifat kebutuhan jangka
pendek, bersifat fisik, paternalistik dan dirancang
menurut formatnya masing-masing yang belum tentu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Akibatnya,
berbagai bantuan yang diberikan kurang mampu
membuat masyarakat (korban) mandiri. Bahkan
setelah bencana tsunami akibat banyaknya program
bantuan dari luar telah menggeser mental masyarakat
menjadi lebih tergantung pada pihak luar. Namun
fenomena sedikit berbeda pada masyarakat korban
banjir, perhatian pihak luar terhadap korban banjir
lebih terbatas dibandingkan dengan korban tsunami,
hanya pihak pemerintah lokal yang biasanya intervensi
untuk membantu korban banjir, sedang donatur/ NGO
luar jarang terlibat. Kondisi ini menyebabkan
kemampuan survival korban banjir lebih tinggi
dibandingkan korban tsunami.
Ada beberapa model intervensi yang telah
dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat korban
bencana, baik yang dilakukan pemerintah maupun
donatur/NGO. Pada masyarakat korban tsunami model
intervensi yang dilakukan umumnya melalui tiga tahap,
yaitu: (1) tahap rescue (tanggap darurat), (2) tahap
rehabilitasi dan restorasi, dan (3) tahap rekonstruksi.
Kegiatan pada tahap rekonstruksi, tujuannya adalah
pembangunan kembali seluruh sistem, meliputi: sistem
ekonomi (produksi, perdagangan, perbankan), sistem
transportasi, sistem telekomunikasi, sistem sosial dan
budaya, serta sistem kelembagaan.
Setelah enam tahun pasca-tsunami banyak hal
yang telah dilakukan, terutama di bidang rehabilitasi
seperti: pembangunan perumahan penduduk yang
terkena dampak tsunami, pembangunan infra-struktur
publik, dan perbaikan di bidang perekonomian
masyarakat (livelihood). Namun banyak hal juga yang
belum terlaksana guna menopang kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.
Menurut hasil penelitian Gheneve (2008), dari 450
program pembangunan Aceh pasca tsunami ternyata
hanya 85 program yang fokus pada pemberdayaan
masyarakat, sedangkan yang lain lebih bersifat bantuan
fisik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar yang
dilakukan pada saat pasca bencana adalah memberi
bantuan yang bersifat fisik kepada masyarakat korban
bencana, bukan bantuan non-fisik atau peningkatan
kapasitas yang membuat mereka mampu memecahkan
masalah yang mereka hadapi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
diperlukan sebuah model pemberdayaan masyarakat
korban bencana yang menempatkan mereka sebagai
subjek, bukan sebagai objek. Dengan demikian
diharapkan mereka mampu membangun kembali
penghidupannya (survive). Model pemberdayaan yang
dimaksud secara tentatif berdasarkan hasil penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 1.





42


Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532

Gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum
ada dua lembaga yang memberikan bantuan kepada
masyarakat setelah terjadinya bencana, yaitu lembaga
pemerintah dan lembaga donatur/NGO. Ada 5 jenis
bantuan, yaitu (1) modal usaha (cash), (2) pangan, (3)
fasilitas tempat tinggal, (4) peralatan/bahan untuk
pengembangan usaha (in-kind), dan (5) peningkatan
kapasitas (pelatihan). Dari kelima jenis bantuan
tersebut yang lebih sering diberikan adalah bantuan
yang bersifat fisik (modal usaha dan pangan) daripada
yang bersifat non-fisik (pedampingan dan pelatihan).
Kondisi ini terjadi karena pihak luar sering melihat
korban bencana sebagai objek, bukan subjek yang
dapat membantu dirinya sendiri. Akibatnya
membentuk sikap mental ketergantungan korban
bencana terhadap pihak luar.
Untuk menghindari terjadinya sikap mental
ketergantungan masyarakat dan keberhasilan
pemberdayaan, maka diperlukan adanya komponen
pemberdayaan yang terdiri dari (1) lembaga/aktor
pemberdayaan yang profesional, (2) pemberdayaan
adaptif, (3) motif pemberdayaan, (4) inovasi dalam
pemberdayaan. Kapasitas aktor akan menentukan
kemampuannya untuk menerapkan strategi yang
adaptif dalam pedampingan masyarakat. Namun
kapasitas dan strategi ini akan mencapai hasil yang
optimal jika didukung dengan motif pemberdayaan
yang berorientasi pada penerima manfaat dan ditunjang
dengan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat lokal.
Upaya pemberdayaan untuk mengubah
perilaku ketergantungan menjadi perilaku mandiri
dipengaruhi oleh strategi intervensi, potensi lokal
(termasuk lingkungan fisik dan lingkungan sosial), dan
karakteristik masyarakat itu sendiri. Strategi intervensi
sebaiknya ada keseimbangan antara bantuan fisik dan
peningkatan kapasitas masyarakat sehingga bantuan
yang diberikan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
Bantuan Pemerintah:
Modal Usaha (cash)
Pangan
Fasilitas Tempat Tinggal
Bahan/alat Pengembangan Usaha
Bantuan Donatur/NGOs:
Modal Usaha (cash)
Pangan
Fasilitas Tempat Tinggal
Bahan/alat Pengembangan Usaha
Komponen Pemberdayaan
Lembaga/aktor pemberdayaan
Pemberdayaan yang adaptif
Motif pemberdayaan
Inovasi dalam pemberdayaan
Karakteristik Masyarakat
Terkena Bencana
Keyakinan terhadap bencana
Persepsi terhadap bantuan
Strategi penghidupan
Budaya saling membantu
Lifeskill

Strategi
Intervensi
Potensi Lokal

Output
Prilaku Mandiri masyarakat
korban bencana
Pengetahuan meningkat
Usaha berkembang
Pendapatan meningkat
Outcome
masyarakat lebih survive dalam
menghadapi bencana meningkat

Gambar 1. Model Pemberdayaan menuju Masyarakat yang Survive




43


Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
penerima manfaat. Untuk itu diperlukan strategi
intervensi yang dibagi dalam lima langkah, yaitu:
1. Melaksanakan program pemberdayaan masyarakat
berbasis kelompok atau sub-kelompok secara
konsisten, sinergis, dan terpadu.
2. Apabila dilakukan intervensi dengan pendekatan
kelompok, maka perlu melakukan pemberdayaan
kelompok dalam upaya menggeser kelompok
sebagai wadah penerima bantuan menjadi
kelompok sebagai pengelola program. Hal ini
dapat diwujudkan melalui tiga tahap, yaitu: (1)
tahap persiapan sosial dan diikuti dengan kegiatan
memfasilitasi participatory planning process
serta kucuran modal melalui program hibah-
bergulir; (2) tahap persiapan sosial dan
memfasilitasi participatory planning process
serta kucuran modal melalui kredit
subsidi/kemudahan khusus; dan (3) tahap
menfasilitasi pertumbuhan hubungan kemitraan
dalam sistem ekonomi pasar menuju kemandirian.
Melalui tiga tahap tadi suatu kelompok dapat
dibangun kekuatannya dan berfungsi sebagai
pengelola yang mampu mengikat anggotanya
dengan tiga nilai, yaitu: nilai sosial (kebersamaan
dan tolong menolong), nilai ekonomi (modal dan
pemasaran), dan nilai kelembagaan (keterikatan
dalam satu wadah). Dengan demikian, diharapkan
dengan nilai-nilai inilah semua anggota akan
secara otomatis terikat dengan kelompoknya.
Kondisi ini akan bisa terwujud, apabila kita
mampu melakukan penguatan kelompok (pelatihan
manajemen dan pembukuan kelompok) serta
pembinaan dan pendampingan kelompok secara
berkelanjutan. hal ini dapat diwujudkan apabila
perencanaan, alokasi dana dan fasilitas untuk
tenaga pendampingan tersedia secara memadai.
3. Melakukan penyaluran bantuan modal untuk
kelompok binaan (penguatan modal, pemasaran,
dan pengembangan hubungan kemitraan melalui
penguatan akses kelompok dari hilir sampai ke
hulu).
4. Sinkronisasi program pemberdayaan kelompok
dan pelatihan dengan program bantuan dari
pemerintah/NGOs
5. Melakukan perbaikan kreatifitas kerja masyarakat
melalui berbagai pelatihan dan program bantuan
sesuai dengan potensi lokal dan karakteristik
masyarakat setempat.
Pemberdayaan kepada masyarakat korban
bencana sebaiknya tidak mengandalkan input dari luar,
tetapi harus berbasis potensi lokal. Selama ini banyak
pemberdayaan yang dilakukan terhadap korban
bencana cenderung mengabaikan potensi lokal
sehingga bantuan yang diberikan kurang sinkron
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
akibatnya, apabila dipaksakan maka output dari
pemberdayaan berupa perilaku masyarakat yang
mandiri sulit dicapai.
Selain mempertimbangkan strategi intervensi
dan potensi lokal, untuk mencapai output yang
diharapkan berupa perilaku mandiri masyarakat korban
setelah bencana, maka perlu mempertimbangkan
karakteristik masyarakat korban bencana. Berdasarkan
temuan penelitian berbasis data lapangan ada beberapa
karakteristik masyarakat korban bencana, yaitu:
pertama, keyakinan terhadap bencana. Sebagian besar
korban bencana, baik di wilayah tsunami maupun di
wilayah banjir, percaya bahwa bencana merupakan
cobaan dari Allah, dan kalau sudah dikehendaki Allah
dipercaya tidak ada yang bisa menolaknya. Selain itu,
mereka juga meyakini bahwa setiap bencana pasti ada
hikmahnya. Jadi sebagian besar mereka lebih banyak
yang pasrah sehingga sebagian mereka melahirkan
sikap apatis. Namun sebagian lagi akibat bencana
menumbuhkan sifat kerja keras dan kebersamaan yang
mampu melihat peluang di tengah kesulitan karena
bencana.
Kedua, persepsi terhadap bantuan. Sebagian
masyarakat melihat bantuan sebagai kepentingan
jangka pendek sehingga muncul kecenderungan
memanfaatkan untuk konsumsi. Namun ada sebagian
masyarakat yang memanfaatkan bantuan untuk
kepentingan jangka panjang. Pada saat mendapatkan
bantuan, mereka menyimpan sebagian pendapatan
mereka untuk investasi modal usaha sehingga ketika
masa pemberian bantuan berakhir mereka sudah
memiliki usaha yang lebih permanen dan
berkelanjutan. Contohnya apa yang dilakukan oleh
Ismail Bin M. Ilyas, umur: 45 Tahun, Pendidikan:
Tamat SMA, Pekerjaan sebagai Tukang Bengkel, Dia
mampu membuka bengkel sendiri setelah tsunami yang
modalnya dikumpulkan saat bekerja pasca tsunami.
Ketiga, strategi penghidupan. Strategi
penghidupan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah menyangkut mata pencaharian, mengurangi
konsumsi, membaca peluang ke depan, strategi
berkeluarga dan memilih pasangan hidup. Setelah
terjadinya bencana, banyak kehancuran yang diderita
oleh masyarakat, termasuk kehancuran tempat usaha
dan kehilangan mata pencaharian. Oleh sebab itu,
kemampuan bertahan hidup dipengaruhi oleh
kemampuannya menyusun strategi dan menata
penghidupan ke arah yang lebih baik pasca bencana,
seperti menghemat pengeluaran dan menginvestasi
kembali menjadi modal usaha.
Keempat, budaya saling membantu. Tingkat
kerjasama antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan
ada perbedaan tingkat kerjasama atau saling membantu
antara masyarakat di wilayah tsunami dan di wilayah
banjir. Di wilayah tsunami karena banyaknya bantuan
yang datang setelah bencana menyebabkan mental
ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar lebih
tingi. Sementara di wilayah banjir, masyarakat lebih
mandiri karena kurangnya bantuan pihak luar pasca



44


Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011
ISSN 2088-4532
bencana, sehingga budaya saling membantu antara
sesama masyarakat lebih tinggi.
Kelima, lifeskill. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang
memiliki lifeskill umumnya lebih cepat membangun
kembali kondisi ekonominya dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki lifeskill. Biasanya mereka
yang memiliki lifeskill lebih mampu melihat peluang-
peluang yang tersedia pasca bencana dibandingkan
masyarakat tanpa lifeskill. Oleh sebab itu, lifeskill
merupakan kunci penting untuk dapat bertahan hidup
pasca bencana.
Keenam, mata pencaharian. Salah satu
dampak yang paling besar ketika dan setelah terjadinya
bencana adalah hilangnya mata pencaharian
masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi
masyarakat di suatu wilayah yang mata pencahariannya
tergantung pada lahan biasanya lebih rentan
dibandingkan wilayah yang mata pencahariannya tidak
begitu tergantung pada lahan. Oleh sebab itu, kondisi
ini akan mempengaruhi pada kemampuan bertahan
hidup masyarakat tersebut dalam menghadapi bencana.
Berdasarkan 6 karakteristik masyarakat yang
telah disebutkan di atas, maka strategi intervensi dalam
pemberdayaan masyarakat pasca bencana adalah
bagaimana mengoptimalkan potensi lokal dan
menggeser karakteristik masyarakat dari perilaku
ketergantungan pada bantuan pihak luar pasca bencana
menjadi perilaku mandiri, yang diindikasikan oleh: (1)
adanya peningkatan pengetahuan, bagaimana
masyarakat di wilayah bencana tersebut cepat sadar
dan belajar dari sebuah peristiwa bencana; (2)
berkembangnya usaha, bagaimana usaha yang
dikembangkan mampu berkelanjutan; dan (3)
meningkatnya pendapatan. bagaimana usaha yang
dikembangkan juga mampu memberi nilai tambah dan
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apabila
perilaku mandiri ini sudah terwujud dalam sebuah
masyarakat, maka akan mendorong munculnya
kemampuan masyarakat tersebut sehingga
meningkatkan kemampuan bertahan hidup (survival)
masyarakat tersebut dalam menghadapi bencana.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Model pemberdayaan yang diusulkan adalah
melibatkan lembaga/aktor pemberdayaan
profesional yang bekerjasama pemerintah,
Donatur/NGO dan seluruh stakeholders, termasuk
masyarakat yang terkena bencana dengan
memanfaatkan seluruh potensi yang ada, terutama
potensi yang ada pada diri masyarakat (internal)
dan eksternal seperti, potensi sumberdaya alam
dan bantuan pihak luar menyusun dan
mengimplementasikan strategi intervensi sehingga
masyarakat mampu mandiri dan survive (bertahan
hidup) dalam menghadapi bencana.
2. Ke depan, perlu adanya peningkatan pengetahuan
dan kapasitas masyarakat terkait dengan
ketrampilan berusaha atau berwirausaha
(enterprenuership), sebab ternyata masyarakat
yang punya beberapa ketrampilan lebih survive
dibandingkan dengan mereka yang tidak punya
ketrampilan apa-apa. Bantuan modal tanpa
dibarengi ketrampilan, tidak memberi dampak
jangka panjang bagi ekonomi masyarakat.


UCAPAN TERIMA KASIH
Tim peneliti Peer Group Sosial Ekonomi
mengucapkan terima kasih atas pendanaan menyeluruh
dari pihak MDF dan UNDP melalui project DRR-A
dengan nomor kontrak 537.K/TDMRC-
UNSYIAH/TU/XI/2010, Tanggal 5 November 2010,
dan juga atas kerjasama TDMRC dengan Pemerintah
Daerah Aceh dan Departemen Dalam Negeri
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I., 2007. Konstruksi dan Reproduksi
Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Agussabti, Indra, dan S. Tripa 2010. Aceh Post
Tsunami Recovery Status Report Project
Livelihodd Cases. Kerjasama
Tsunami and Disaster Mitigation Research Cent
re Unsyiah dan IRP/ADRC, Jepang.
Aji, G.B., 1997. Studi Mengenai Jaminan Sosial di
Indonesia: suatu Reproduksi terhadap Konsep-
konsep Pertukaran. Kumpulan makalah. PKK
UGM. Yogyakarta.
Helmi, S. 2010. Pemberdayaan.
http://shelmi.wordpress.com/2009/05/08/pembe
rdayaan-karyawan/. Diakses tanggal 15 April
2010
Slamet, M. 2010. Pemberdayaan.
http://www.unri.ac.id/download/manajemen.../P
EMBERDAYAAN%20.doc. Diakses tanggal
15 April 2011

You might also like