You are on page 1of 19

E-Commerce Perlindungan Konsumen

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan
antara penjual dan pembeli disuatu tempat. Transaksi perdagangan dapat
timbul jika terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap
barang yang dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan
berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai akibat munculnya problem
kelangkaan barang. Semakin pesatnya teknologi pada zaman modern maka
perdagangan bisa melalui internet atau Online. Penggunaan internet yang
semakin luas dalam kegiatan bisnis Industri dan rumah tangga telah
mengubah pandangan manusia.
Ditengah globalisasi yang semakin terpadu ( Global Communication
network ) dengan semakin populernya internet. Seakan telah membuat dunia
menciut ( Shringking the world ) dan semakin memudarkan batas Negara
berikut kedaulatan dan tatanan masyarakat, begitu juga perkembangan
teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang secara
elektronik yang menggunakan media internet yang dikenal dengan e-
commerce atau kontrak dagang elektronik.
Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic
commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan,
pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau
televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan
transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen
inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
E-commerce telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring
dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Adapun Undang-
undang No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik ( UU ITE
E-Commerce Perlindungan Konsumen
2
). Kegaiatn-kegiatan yang berhubungan dengan E-commerce diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan No 12 tahun 2002 tentang hak
cipta, Undang-undang No 14 tahun 2001 tentang hak paten. Undang-undang
No 15 tahun 2001 tentang Merek, Undang-undang Telekomunikasi No 36
tahun 1999, Undang-undang tahun No 8 1999 tentang perlindungan
konsumen.
Pada makalah ini akan lebih dibahas mengenai Perlindungan
Konsumen. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen ( UUPK ) , faktor utama yang menjadi penyebab eksplorasi
terhadap konsumen sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran
konsumen akan haknya. Tentunya hal ini terkait erat dengan rendahnya
pendidikan konsumen, oleh karena itu keberadaan UUPK adalah sebagai
landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
Berdasarkan pada kondisi diatas upaya pemberdayaan konsumen
menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen
menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan
sangat sulit jika mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu.
Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
perekonomiannya adalah prinsip Ekonomi yaitu mendapatkan keuntungan
yang semaksimal mungkin dengan modal yang seminimal mungkin. Artinya
dengan pemikiran umum seperti ini sangat mungkin konsumen akan dirugikan
baik secara langsung maupun tidak langsung.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas dapat ditarik kesimpulan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah konsumen sudah mendapatkan perlindungan hukum dalam
transaksi jual beli barang bergerak maupun tidak bergerak dalam E-
commerce (penggunaan charge card / credit card di internet
ataupun di berbagai merchant secara offline) berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada ?
E-Commerce Perlindungan Konsumen
3
2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan bagi konsumen yang
dirugikan terkait dengan transaksi jual beli barang bergerak melalui
E-commerce ?
1.3 RUANG LINGKUP MASALAH
Mengingat luasnya permasalahan dan ketentuan hukum dalam bisnis
dan perdagangan di Indonesia sehingga merupakan hal yang tidak mungkin
untuk dibahas salam satu tulisan terlebih dalam bentuk makalah. Maka dalam
penulisan ini ruang lingkup masalah hanya dibatasi pada pembahasan
perlindungan hukum bagi Konsumen dalam E-Commerce dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah-masalah diatas
pembahasan hanya terbatas pada perlindungan konsumen dalam E-
commerce menurut UUPK dan UU ITE dan juga akan dibahas mengenai
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen dalam hal konsumen
dirugikan dalam E-commerce.
1.4 TUJUAN PENULISAN
Dalam suatu tulisan haruslah mempunyai tujuan yang hendak dicapai,
adapun tujuan yang hendak dicapai adalah :
1.4.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat menyatakan dan menuangkan pikirannya
dalam suatu karya ilmiah secara tertulis.
Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada
bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa.
Untuk menambah ilmu pengetahuan.
Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan
masyarakat.


E-Commerce Perlindungan Konsumen
4
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui apakah konsumen mendapatkan perlindungan
hukum yang memadai dengan peraturan perundang-undangna yang
ada.
Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
konsumen yang dirugikan dalam melakukan transaksi barang
bergerak melalui E-commerce.

1.5 TEKNIK PENULISAN
Makalah ini disusun dengan teknik penulisan Deskriptif Analitis, artinya
hanya memaparkan kejadian atau peristiwa, tidak menguji hubungan antar
variabel atau non kolerasional. (Metode Penelitian-Jalalludin Rakhmat, 1997).
Data diperoleh melalui studi pustaka dan pengamatan langsung penulis
(observasi non partisan).







E-Commerce Perlindungan Konsumen
5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. PENGERTIAN E-COMMERCE

Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic
commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan,
pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau
televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan
transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen
inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai
aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan
transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply
chain management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online
(online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction
processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.
E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di
mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi
mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan
pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-dagang juga memerlukan
teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat
elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti
halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.
E-Commerce Perlindungan Konsumen
6
E-dagang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat
pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di
suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan
elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 milyar pada 2003.
Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan
ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan
mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.
E-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk
memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Didalam
hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan hukum
pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para pihak
yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai
sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal.
Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan
khusus untuk jenis perjanjian tertentu.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam
KUHPerd, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model
transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti
internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan
lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang
diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-
commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce
tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya
dalam ketentuan tersebut.
E-commerce terdiri dari dua kategori business to business e-commerce
dan business to consumer e-commerce.
1. Business to consumer e-commerce berhubungan dengan customer life
cycle dari awareness sebuah produk pada prospek costumer sampai dengan
order dan pembayaran atau juga sampai dengan pelayanan dan dukungan
kepada customer. Alat yang digunakan dalam cycle ini adalah business to
customer web site
E-Commerce Perlindungan Konsumen
7
2. Business to business e-commerce melibatkan cycle dari awareness, riset
produk, pembandingan, pemilihan supplier sourching, transaksi fulfillment,
post sales support. Alat yang berperan adalah EDI, dan business to business
web site
2.2. LANDASAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Hukum di Indonesia
Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat ini Indonesia belum
memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan e-
commerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornament utama
dalam bisnis. Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur
perjanjian virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet
tersebut akan diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku.
Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak
berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini memberi kebebasan kepada para
pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan
sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Sebagaimana dalam perdagangan
konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk
memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Didalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut
ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan
oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang
dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur
sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan
ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam
KUHPerd, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model
transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti
internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan
lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang
E-Commerce Perlindungan Konsumen
8
diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-
commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi ecommerce
tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya
dalam ketentuan tersebut.
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang
menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan
pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi
yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan
dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh
masyarakat.
Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi
masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang
diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya
kepastian hukum bagi konsumen. Dibawah ini terdapat beberapa pasal yang
menyangkut tentang hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha
yaitu :
Pasal 4
Hak Konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkosumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
E-Commerce Perlindungan Konsumen
9
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.

E-Commerce Perlindungan Konsumen
10
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif,
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
E-Commerce Perlindungan Konsumen
11
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
3. Azas Perlindungan Konsumen
1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

E-Commerce Perlindungan Konsumen
12
Ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana
yang berlaku dalam kontrak E-commerse, diantaranya adalah :
1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah
hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya.
Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak
terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut
dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).
2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang
menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.
3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada
saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa
Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah,
dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi
pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.
4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan
prestasi.








E-Commerce Perlindungan Konsumen
13
BAB III
TINJAUAN KASUS

Pertumbuhan E-Commerce di seluruh dunia yang semakin pesat
membawa dampak tersendiri bagi Indonesia. Meskipun pada kenyataannya,
pertumbuhan e-commerce dipengaruhi oleh banyaknya penggunaan internet
oleh suatu negara yang notabene pada akhirnya menempatkan Amerika
Serikat dan China sebagai pengguna internet terbanyak di dunia. Indonesia
sendiri boleh berbangga dengan menempatkan jumlah pengguna internet
lebih dari 25 juta jiwa atau berada pada peringkat ke 5 pengguna internet
terbesar di dunia dengan penetrasi sebesar 10,5% sampai dengan tahun
2008. Angka ini seiring dengan tingkat penetrasi penggunaan internet di asia
yang mencapai hampir 40% dari seluruh pengguna internet di dunia.
Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun
1996 dengan munculmya situs http:// http://www.sanur.com/ sebagai toko
buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut
mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang
tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan
karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi
fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas
masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.
Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk
menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web
atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah perdagangan elektronik (e-
commerce). Dalam permasalahan pembayaran transaksi e-commerce yang
menggunakan charge card atau credit card, timbul permasalahan hukum,
apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card/credit card
merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada
penjual barang.
Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak
bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge
E-Commerce Perlindungan Konsumen
14
card/credit card miliknya dengan berbagai alasan. Misalnya, karena alasan
barang yang dibeli mengandung cacat, ataupun karena alasan nomor kartu
kredit tersebut dipergunakan oleh orang yang tidak berhak dengan cara
membelanjakannya di berbagai virtual store di internet.
Permasalahan lainnya, apakah pemegang kartu kredit (card holder)
mempunyai hak untuk membatalkan pembayaran yang telah dilakukannya,
dengan meminta supaya perusahaan penerbit kartu (card issuer) tidak
melaksanakan pembayaran atas tagihan yang dilakukan oleh pedagang yang
menerima pembayaran dengan kartu tersebut.
Ada pengalaman yang pernah dialami oleh Wakil Ketua Kompartemen
Telematika Kadin, Romzy Alkateri. Ia pernah ditagih beberapa kali atas suatu
transaksi jasa hosting yang dilakukannya dengan sebuah penyedia web
hosting di luar negeri. Padahal,ia mengaku sudah membayar jasa hosting
tersebut dengan menggunakan kartu kredit. Lebih jauh lagi,ia pun beberapa
kali meminta pihak issuer untuk tidak melakukan pembayaran tersebut karena
merasa tidak melakukan transaksi jasa hosting lebih dari satu kali.










E-Commerce Perlindungan Konsumen
15
BAB IV
PEMBAHASAN

Penggunaan media internet sebagai jalur perdagangan baru
merupakan jawaban atas majunya perdagangan internasional. Internet
mempelopori tumbuhnya transaksi perdagangan dengan menggunakan
sarana elektronik atau yang kemudian dikenal dengan electronic commerce.
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual
dengan pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk
melelangkan barang/jasa atau pengalihan hak dengan menggunakan media
elektronik komputer maupun internet.
Tetapi dalam e-commerse ini sangat rentan terjadinya penipuan
contohnya pembayaran dalam transaksi e-commerce yang menggunakan
charge card atau credit card, timbul permasalahan hukum, apakah
pembayaran yang dilakukan dengan charge card/credit card merupakan
pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang.
Dan juga permasalahan lain muncul jika pemegang kartu (card holder)
menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban
charge card/credit card miliknya dengan berbagai alasan.
Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus
menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen.
Transaksi elektronik dalam e-commerce tentu saja melibatkan pelaku usaha
dan konsumen. Meskipun terlihat sebagai sebuah transaksi maya, transaksi
elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk pada ketentuan
yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum UUPK untuk
saling mendukung satu sama lainnya.
Lalu sekarang akan timbul pertanyaan bagaimana jika terjadi
perselisihan/sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi
elektronik?
Di Indonesia, dalam UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik dapat
E-Commerce Perlindungan Konsumen
16
dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat
ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan
perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku
adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak
dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase,
atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih
dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka
penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata
Internasional.
Dalam pasal 22 UU ITE yang menyebutkan bahwa akad dari transaksi
Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah
diterima dan disetujui penerima. Meskipun demikian tidak ada satupun teori
tentang penerimaan (receipt theory) yang mampu secara menyeluruh
menyelesaikan persoalan lain tentang pembuktian dari transaksi itu sendiri .
Meskipun aturan tentang transaksi elektronik tidak diatur secara
khusus dalam suatu undang-undang, keberadaan pasal ini sangat penting
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengguna sarana
e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya
Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.
Bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada
pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut
sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen
dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan
tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di
dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
Jika kembali pada UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama
transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan cara-cara yang
disepakati oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan
konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat
Sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang
melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat
E-Commerce Perlindungan Konsumen
17
dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan
dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan
media internet.
Dalam hal sengketa konsumen e-commerce terjadi di Indonesia,
konsumen dapat memanfaatkan peran Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Apabila mencermati peraturan yang mengatur tentang
gugatan dalam sengketa konsumen, maka dapat dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui BPSK akan lebih cepat dibandingkan apabila
sengketa tersebut dibawa ke jalur litigasi (pengadilan). Meskipun sifat putusan
yang mengikat dan final BPSK pada teorinya dapat diajukan ke Pengadilan
Negeri dan MA.
Dalam transaksi e-commerce, posisi BPSK sebagai badan yang
memfasilitasi penyelesesaian sengketa konsumen menjadi perhatian serius.
Hal ini menyangkut kepercayaan para konsumen (cyber shopper) untuk
melimpahkan permasalahannya ke BPSK. Apalagi jika para pihak yang
berperkara tidak menyebutkan klausula pilihan hukum dan pilihan pengadilan
dalam perjanjian elektroniknya. Apabila hal ini terjadi tentunya semuanya
akan merujuk kembali ke dalam ketentuan Hukum Perdata internasional.










E-Commerce Perlindungan Konsumen
18
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, begitu rendahnya perlindungan terhadap
kepentingan konsumen. Ketidakjelasan hubungan hukum antar pelaku e-
commerce, yang tentu salah satunya bertindak sebagai konsumen, bermuara
pada kondisi tidak terlindunginya konsumen. Sudah sepatutnya apabila
konsumen sebagai sasaran terbesar dalam transaksi e-commerce, mendapat
perlindungan dari berbagai perilaku usaha produsen yang merugikan.
Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce
masih rentan. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak
tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan
konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam e-commerce.
Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui internet tidak
cukup tercover dalam UUPK tersebut.
Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk
didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna
internet khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.
5.2. Saran
Agar konsumen tidak terjerumus dalam penipuan yang terjadi di dunia
maya yaitu dalam e-commerse ada beberapa tips untuk para konsumen
diantaranya :
Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
Teliti sebelum membeli;
Biasakan belanja sesuai rencana;
Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi
aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
E-Commerce Perlindungan Konsumen
19
DAFTAR PUSTAKA

Ifransah, Muklis,. 2002. Hubungan Hukum Antara Pelaku E-Commerce
Harus Diperjelas,.: IPTEKnet.

Magfirah, Esther Dwi,. 2004. Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce,
Yogyakarta : Fakultas Ilmu Hukum Univesitas Gajah Mada.

Mudiardjo, Rapin, Perjanjian Syarat Sah Perjanjian Dalam E-Commerce.

http ://www.hukumonline.com/.

Safitri, Indra,. 1999. E-Commerce Dalam Persfektif Hukum.,. Insider, Legal
Journal from
Indonesian Capital & Investment Market.

You might also like