You are on page 1of 18

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Sebagian besar infeksi virus penyebab pilek seperti common cold dapat
menyebabkan suatu sumbatan pada hidung, yang akan hilang dalam beberapa hari.
Namun jika terjadi peradangan pada sinusnya dapat muncul gejala lainnya seperti
Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik..
Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang
terdapat pada bagian padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi
untuk memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan
kanan. Rasa sakit di bagian dahi, pipi, hidung atau daerang diantara mata terkadang
dibarengi dengan demam, sakit kepala, sakit gigi atau bahan kepekaan indra penciuman
kita merupaan salah satu gejala sinusitis. Terkadang karena gejala yang kita rasakan
tidak spesifik, kita salah mengartikan gejala-gejala tersebut dengan penyakit lain
sehingga membuat penyakit sinusitis yang diderita berkembang tanpa diobati. Untuk
lebih mengenal lagi tetang sinusitis dan pengobatannya, berikut uraiannya.




2

1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan/ Penyusunan makalah ini, supaya Mahasiswa mampu
untuk memahami pengertian, etiologi, klasifikasi, stadium, pathway, patofisiologi,
pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, dari penyakit sinusitis.





























3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,
sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran
dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan
dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun
(Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008).
4

2.1.1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga
antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml.
Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu
15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (
Tucker dan Schow, 2008) Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik
yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.


2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).

5

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang (Lee, 2008).

Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto
dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).






6

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat
merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5
cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior
(Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid
posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan
banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Hilger, 1997;
Ballenger, 2009).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita (Soetjipto dan
7

Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada
persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.
Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain adalah:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
8

Tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ
yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila
udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar
satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling
strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di
atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding
lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.
Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu
ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).
9

2.3. Klasifikasi Sinusitis

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai
delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat
minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan
atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger,
1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan
sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di
hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering
menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4. Sinusitis Tipe Dentogen

2.4.1. Definisi

Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005).
Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan
sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus
dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik
harus dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).
10

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari
seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India
mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang
disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman
menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar
gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai
penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat
menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah
gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis
dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang
terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus
sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi
yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga
infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus
sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila
(Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001).

11


g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan
obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah
terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya
hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar
sinus maksila sehingga memicu inflamasi
12

mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake,
1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu
dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas
yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen
dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga
seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi
dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya
terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang
edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana
yang terkena. Rinoskopi posterior dapat
13

melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang
dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross,
1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat
adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis
maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis
posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus
mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip
(Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto polos posisi
Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan,
batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan
Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis
kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator
saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).






14

2.4.7. Terapi

Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan berupa
golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis
Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga hidung
dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris
atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi
fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi
dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini;
Bransletter; Ferguson, 2010).

Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase
dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan
untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini dilakukan dengan
mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga
memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan
yang dapat timbul ialah
15

edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah
infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada
nervus optikus (Hilger, 1997).
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan
biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau
pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural
atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasi.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang
dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik
atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).









16

BAB III

PENUTUP


3.1. Kesimpulan

Sinusitis adalah penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri adalah
rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari
rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan menjaga
pertukaran udara di daeranh hidung.
Rongga sinus sendiri terdiri dari 4 jenis yaitu :
a. - Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
b. - Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di sampig hisung
c. - Sinus Ethmooid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
d. - Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat infeksi
atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis subakut biasanya disebakan oleh infeksi
atau tidakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya di sebabkan oleh infeksi
bakteri. Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan lamanya
penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang terjadi
(infeksi dan non infeksi). Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit kurang dari
30 hari. Sinusitis subakut bila lamanya penyakit antara 1 bulan sampai 3 bulan,
sedangkan sinusitis khronis bila penyakit diderita lebih dari 3 bulan. Sinusitis
subakut dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak
mendapatkan pengobatan adekuat




17

3.2. Saran

Dalam Makalah ini terdapat penjelasan tentang Sinusitis, supaya semua
mahasiswi dapat memahami Sinusitis dan mengetahui bagaimana Sinusitis
bagi manusia, baik ciri-ciri, cara pengobatan, klasifikasi, maupun cara
pencegahannya. Perbanyak Berolahraga yang teratur, khususnya setelah waktu
subuh di mana udara pagi saat itu masih jernih dan bersih. Perbanyak
menghirup udara bersih, dengan cara menghirup dan mengeluarkannya
perlahan-lahan. Hal ini sangat bermanfaat selain untuk menguatkan paru-paru
juga untuk mengisi daerah sinus dengan oksigen. Sehingga daerah-daerah
sinus menjadi lebih bersih dan kebal terhadap berbagai infeksi dan bakteri.














18

DAFTAR PUSTAKA


Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta, 2002, 121 125.

Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti, editor,
BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997, 241
258.

Ballenger. J. J., infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994, 232 241.

Cody. R et all, Sinusitis,dalam Andrianto P, editor, Penyakit telinga Hidung dan
Tenggorokan, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1993, 229 241.

You might also like