You are on page 1of 15

Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan

Kriteria Gyysens
di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang


Wulan Lestari*, Almahdy. A, Nasrul Zubir, Deswinar Darwin
Fakultas Farmasi Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang

Antibiotics are a class of drugs that most widely used in the world related
to the number of occurrences of bacterial infection. More than a quarter of
hospital budgets spent on the cost of antibiotic use. The most dangerous of the
negative impact of irrational use of antibiotics is the occurrence of antibiotic
resistance. WHO and several organizations have issued statements about the
importance of assessing the factors associated with the issue, including strategies
for controlling the incidence of resistance to prevent the development of germs
resistant to the community.
This study aims to determine the use of antibiotics with the ATC / DDD
system and Gyssenss Criteria in Ward Internal Medicine department of DR. M.
Djamil Padang. The study was conducted with the design of observational studies
using cross-sectional design. Retrieval of data prospectively who received
antibiotics from February to April is calculated using one-sample situation. From
50 patients who received antibiotics, then quantitatively evaluated with the ATC /
DDD system and qualitative evaluation with Gyssenss criteria.
The results of studies of antibiotic use with the ATC/DDD system are
Ceftriaxone 38.955DDD/100patient-days, Sefotaksim14,363DDD/100 patient-
days, Ciprofloxacin 11.600DDD/100patient-days, Metronidazole
13.240DDD/100patient-days, Meropenem 3.808DDD/patient-days, Seftazidime
2.013DDD/100 patient-days, Gentamicin 0.507 DDD/100patient-days, Ampicillin
2.013DDD/100patient-days, Isoniazid 6.311DDD/100patient-days, Rifampicin
4.733DDD/100patient-days, Pyrazinamide 4.207DDD/100patient-days,
Ethambutol 3.945DDD/100patient-days and Cotrimoxazole 4.244
DDD/100patient-days. Meanwhile, the study of antibiotic use with Gyssenss
criteria derived category I (appropiate / rational) 43.81%, IIA (not appropriate
dosage) 0.95%, IIIA (duration of antibiotic is too long) 14.29%, IIIB (duration of
antibiotic is too short) 2 , 86%, IVA (more effective antibiotics) 10.48%, IVD
(antibiotics with narrower spectrum) 9.52%, V (no indication of the use of
antibiotics) 18.09%.





PENDAHULUAN

Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia
terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat
anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (WHO,
2006). Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di
rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal maupun kombinasi,
sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di rumah sakit
mendapat antibiotik. Penggunaan antibiotik dapat menimbulkan masalah
resistensi dan efek obat yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu penggunaan
antibiotik harus mengikuti strategi peresepan antibiotik.
Penggunaan antibiotik secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotik
yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap
efek samping obat yang dalam arti konkritnya adalah pemberian resep yang tepat
atau sesuai indikasi, penggunaan dosis yang tepat, lama pemberian obat yang
tepat, interval pemberian obat yang tepat, aman pada pemberiannya, terjangkau
oleh penderita.
Penggunaan antibiotik yang irasional telah diamati sejak lama. Laporan dari
suatu rumah sakit di Amerika pada tahun 1977 mengungkapkan bahwa 34% dari
seluruh penderita yang dirawat mendapat terapi antibiotik. Dari jumlah ini 64%
tidak mempunyai indikasi atau tidak diberikan dengan dosis yang tepat. Menurut
Djoko Widodo (2005), penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap mencapai
23-28%. Dari persentase tersebut 20-65% penggunaannya dianggap tidak tepat.
Penulisan resep dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat tersebut cenderung
meluas.
Dampak negatif yang paling bahaya dari penggunaan antibiotik secara tidak
rasional adalah muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotik atau
dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotik. Hal ini mengakibatkan
pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas
pasien dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Dampak tersebut harus
ditanggulangi bersama dengan cara yang efektif, antara lain dengan menggunakan
antibiotik secara rasional, melakukan intervensi untuk mengoptimalkan
penggunaan antibiotik dan melakukan monitoring serta evaluasi penggunaan
antibiotik terutama di rumah sakit yang merupakan tempat paling banyak
ditemukan penggunaan antibiotik.
Evaluasi penggunaan obat khususnya antibiotik merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab farmasis di lingkungan rumah sakit dalam rangka
mempromosikan penggunaan antibiotik yang rasional.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di bangsal Penyakit Dalam RSUP. DR. M. Djamil
Padang dimulai bulan Februari sampai bulan Mei 2011. Penelitian dilakukan
dengan rancangan studi observasional menggunakan desain cross-sectional.
Pengambilan data pasien secara prospektif dilakukan pada populasi terbatas di
bangsal Penyakit Dalam di RSUD DR. M. Djamil Padang yang menerima
antibiotik. Besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus one sample
situation sebanyak 50 pasien yang menggunakan antibiotik. Cara pengambilan
sampel secara acak sederhana.
Pengolahan dan analisa data dilakukan secara analisa kuantitatif dan
kualitatif. Evaluasi kuantitatif penggunaan antibiotik dianalisa dengan
menggunakan sistem ATC/DDD yang ditetapkan oleh WHO. Hasil menunjukkan
penggunaan antibiotik dalam satuan DDD/100 pasien-hari sedangkan evaluasi
kuantitatif penggunaan antibiotik dianalisa dengan menggunakan alur kriteria
Gyssens yang dibagi dalam beberapa kategori mulai dari kategori I sampai
kategori VI. Hasil menunjukkan persentase ketepatan atau tidaknya pemberian
antibiotik.

HASIL

Dari penelitian ini peneliti memantau lima puluh pasien yang
menggunakan antibiotik di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Dari semua pasien diperoleh 105 resep antibiotik dengan variasi tiap pasien
mendapat satu sampai sembilan antibiotik. Persentase pasien pria sebesar 54%
dan pasien wanita sebesar 46% dengan usia terbanyak berasal dari golongan umur
antara 41-60 tahun sebesar 44%, umur 15-40 tahun sebesar 36% dan umur lebih
dari 60 tahun sebesar 20%.
Penggunaan antibiotik sebagian besar dengan cara parenteral sebesar
89,52% dan pemberian oral sebesar 10,48% dengan lama pemberian dari satu hari
sampai tiga puluh tujuh hari. Pasien dalam keadaan demam yang menerima terapi
antibiotik pada saat masuk rumah sakit sebanyak 30%.
Jenis antibiotik yang digunakan mulai dari urutan tertinggi yaitu
seftriakson (31,429%), sefotaksim (20,952%), siprofloksasin (14,238%),
metronidazol (8,571%), seftazidim (5,714%), meropenem (4,761%), isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol masing-masing (1,905%), kotrimoksazol
(2,857%), gentamisin (1,905%), ampisilin (0,952%). Untuk jenis terapi yang
paling banyak digunakan yaitu terapi empirik (E) sebesar 59,05%, profilaksis (P)
2,86%, spesifik (S) 20% dan penggunaan tidak diketahui (U) 18,09%.
Bakteri yang paling banyak ditemukan dari hasil kultur yaitu Klebsiella
spp (29,27%), Proteus spp (21,87%), Streptococcus hemoliticus (19,51%),
Staphylococcus aureus (17,07%), Pseudomonas aerugenosa (7,32%) dan
Escherichia coli (4,88%).
Antibiotik yang sensitivitas tertinggi yaitu Netilmisin (11,38%), diikuti
Sefotaksim (10,18%), Seftazidim (10,18%), Meropenem (10,18%), Ampisilin-
Sulbaktam (9,58%), Siprofloksasin (7,78%), Seftriakson (7,78%), Gentamisin
(7,19%), Sefoperazon (7,19%), Kloramfenikol (6,59%), Sulfametoksazol-
Trimetropim (3,59%), Eritromisin (2,99%), Ampisilin (2,40%), Nitrofurantoin
(1,20%), Amoksisilin (0,60%), Asam Nadiliksik (0,60%), dan Tetrasiklin
(0,60%).
Kuantitas penggunaan antibiotik dihitung dengan sistem ATC/DDD
(anatomical therapeutic chemical/ Defined Daily Dose) yang ditetapkan oleh
WHO. Sedangkan kualitas penggunaan antibiotik di evaluasi dengan
menggunakan alur kriteria Gyssens yang dibagi dalam beberapa katergori. Hasil
dari penggunaan antibiotik secara kuantitas dan kualitas diperoleh:

Antibiotik Kode ATC DDD/100
pasien-hari
Seftriakson J01DD04 38,955
Sefotaksim J01DD01 14,363
Siprofloksasin J01MA02 11,600
Metronidazol J01XD01 13,240
Seftazidim J01DD02 2,013
Meropenem J01DH02 3,808
Gentamisin J01GB03 0,507
Ampisilin J01CA01 2,013
Isoniazid (INH) J04AC01 6,311
Rifampisin J04AB02 4,733
Pirazinamid J04AK01 4,207
Etambutol J04AK02 3,945
Kotrimokasazol J01EE03 4,244



Kriteria
gyssens
Persentase (%)
Bangsal PD RSUP. Dr. M.
Djamil periode Februari-
Mei 2011
I 43,81
II A 0,95
II B 0
II C 0
III A 14,29
III B 2,86
IV A 10,48
IV B 0
IV C 0
IV D 9,52
V 18,09
VI 0

PEMBAHASAN


Permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan
salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. WHO dan beberapa
organisasi telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-
faktor yang terkait dengan masalah tersebut, termasuk strategi untuk
mengendalikan kejadian resistensi. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik secara
bijaksana merupakan hal yang sangat penting disamping penerapan pengendalian
infeksi secara baik untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten
tersebut ke masyarakat.
Pada penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak lima puluh pasien
yang diambil secara acak. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada pasien
wanita dengan usia yang paling banyak pada penelitian ini antara usia 41-60
tahun.
Jenis kelamin wanita banyak ditemukan pada pasien dengan diagnosa
diabetes melitus (DM) tipe 2 disertai dengan kaki diabetik. Riwayat penyakit
keluarga yang diabetes merupakan kasus yang banyak ditemukan. Kaki diabetes
merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Dinegara maju
kaki diabetes memang juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan dan adanya klinik kaki diabetes
yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan sampai
sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya. Di RSUPN Dr. Cipto
mangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian
besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka
kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16% dan 25%
(data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca
amputasi dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
Umur pasien yang dirawat dengan diagnosa DM disertai kaki diabetik di
Bangsal PD RSUP. Dr. M. Djamil Padang diatas 40 tahun. WHO menyebutkan
bahwa setelah seseorang mencapai umur 30 tahun, maka kadar glukosa darah
akan naik 1-2 mg% per tahun pada saat puasa dan akan naik sekitar 5,6-13mg%
pada 2 jam setelah makan. Berdasarkan hal tersebut tidaklah mengherankan
apabila umur merupakan faktor utama terjadinya kenaikan prevalensi diabetes
serta gangguan toleransi glukosa.
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus.
Sebagai mikrobiologikal kontrol, data mengenai pola kuman pada kaki
diabetik perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda. Di
RSCM data terakhir menunjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar,
umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, aerob dan anaerob. Karena itu
untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan
spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti golongan
sefalosforin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman
anaerob (seperti metronidazol). Pada penelitian di RSUP. Dr. M. Djamil Padang
untuk penanganan kaki diabetik ditemukan kesamaan terapi di RSCM yaitu
pemberian antibiotik kombinasi antara antibiotik spektrum luas seperti golongan
sefalosforin (seftriakson, sefotaksim) dan metronidazol. Setelah hasil kultur keluar
kombinasi antibiotik ini diganti menjadi pemberian antibiotik tunggal.
Sedangkan pasien pria banyak didiagnosa infeksi saluran napas seperti
penumonia komunitas dan bronkopenumonia. Secara klinis pneumonia
didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit). Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. Pneumonia komunitas
adalah penumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit. Sedangkan
bronkopenumonia adalah peradangan paru yang berasal dari cabang-cabang
tenggorok yang mengalami infeksi dan tersumbat oleh getah radang.
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
salah satu atau lebih penyakit dasar yang menganggu daya tahan tubuh.
Pneumonia sering dijumpai pada lansia dan sering terjadi pada penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain
seperti diabetes melitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan,
insufiensi renal, penyakit syaraf kronik dan penyakit hati kronik. Faktor disposisi
antara lain kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, DM, imunodefisiensi, kelainan
atau kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran.
Antibiotik diberikan adalah antibiotik spektrum luas yang kemudian sesuai
hasil kultur diganti menjadi antibiotik spektrum sempit. Lama pemberian terapi
ditentukan berdasarkan adanya penyakit peserta dan atau bakteriemi, beratnya
penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya diberikan
selama 7-10 hari. Untuk infeksi M. Pneumonia dan C. Pneumonia selama 10-14
hari sedangkan pada pasien dengan terapi steroid jangka panjang selama 14 hari
atau lebih.
Berdasarkan pedoman terapi (PDT) RSUP. Dr. M. Djamil Padang, terapi
empirik untuk pneumonia yaitu Ko-amoksiklav 3x625mg IV, siprofloksasin
2x200-400mg IV, levofloksasin 1x500mg IV, seftriakson 2x1g IV, amoksisilin
3x500mg IV, metronidazol 3x500mg IV. Setelah keluar hasil kultur, antibiotik
diberikan sesuai kultur. Pada penelitian di RSUP. Dr. M. Djamil Padang,
penanganan pasien pneumonia sering diterapi dengan kombinasi antibiotik yaitu
golongan sefalosforin (seftriakson atau sefotaksim) dan siprofloksasin. Pemberian
antibiotik ini sudah sesuai dengan literatur dan PDT RSUP. Dr. M. Djamil
Padang.
Pada pasien abses hati, pemberian antibiotik juga sering dikombinasikan.
Antibiotik yang diresepkan yaitu golongan sefalosforin dengan metronidazol atau
siprofloksasin. Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari
sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati. Abses hati timbul pada keadaan defisiensi imun
(lanjut usia, imunosupresi, kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang).
Penatalaksanaan Abses Hati dengan antibiotik, pada terapi awal digunakan
penisilin. Selanjutnya dikombinasikan dengan antara ampisilin, aminoglikosida,
atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Jika dalam
waktu 48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotik
diganti dengan antibiotik sesuai hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati.
Pengobatan secara perenteral dapat dirubah menjadi oral setelah 10-14 hari, dan
kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian.
Di bangsal PD RSUP Dr. M . Djamil Padang, terapi abses hati diberikan
kombinasi antara sefalosforin generasi III dengan siprofloksasin. Kombinasi ini
kurang tepat karena pada literatur lebih disarankan pemberian sefalosforin
generasi III dengan metronidazol atau klindamisin. Dan terapi tunggal diberikan
hanya pada awal terapi dan hari berikutnya dikombinasikan dengan antibiotik
golongan lain tetapi pada satu kasus, pasien dari awal sampai akhir hanya diterapi
tunggal (sefotaksim 2x1g) sedangkan diagnosa pasien AHA yang diikuti AHP.
Rute pemberian antibiotik yang banyak digunakan yanitu secara parenteral
sekitar 89,52% dan oral 10,48%. Pemberian parenteral lebih banyak digunakan
karena sebagian besar antibiotik dalam bentuk sediaan injeksi (sepeti seftriakson,
sefotaksim, siprofloksasin, meropenem, seftazidim, gentamisin) dan mempunyai
keuntungan yaitu mempunyai efek yang cepat, menghindari ketidakpatuhan saat
penggunaan antibiotik karena sediaan parenteral selalu diberikan oleh perawat,
dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar, muntah-muntah, tidak kooperatif,
dan sangat berguna untuk keadaan darurat.
Hasil laboratorium dan gejala klinis yang dapat dinilai dari seseorang yang
terinfeksi yaitu suhu >37C, leukosit > 10.000, LED tinggi, hitung jenis leukosit,
sepsis, takipnea, hiperglikemi. Penyakit yang menyerupai infeksi seperti kanker,
penyakit autoimun (SLE) dan penggunaan kortikosteroid mempunyai gejala yang
sama.
Tanda-tanda keberhasilan terapi antibiotik dapat dilihat secara klinis
dengan ciri suhu badan turun, nyeri, warna merah, dan pembengkakan berkurang,
sputum menjadi jernih, air kemih kurang keruh atau kurang bau, dari hasil labor
jumlah leukosit menurun, LED menurun, C reaktive protein menurun, tidak
tampak kuman secara mikroskopis, tidak ada pertumbuhan kuman dari hasil
biakan, dan hasil X-ray membaik.
Lama penggunaan antibiotik dari pemakaian satu hari sampai tiga puluh
tujuh hari. Penggunaan antibiotik satu hari tanpa ada masalah alergi ditemukan 3
kasus, sedangkan pemakaian yang lama ditemukan pada pasien yang memakai
obat anti tuberkulosis yang membutuhkan terapi selama enam bulan. Sebenarnya
lama pengobatan optimal antibiotik tidak selalu diketahui. Banyak antibiotik yang
diresepkan untuk 5-7 hari. Secara umum terapi dihentikan 3 hari setelah gejala-
gejala infeksi hilang.

Kuantitas Penggunaan Antibiotik
Dari hasil penelitian menunjukkan pemakaian antibiotik seftriakson yang
paling banyak digunakan di rumah sakit yaitu 38,955DDD/100pasien-hari artinya
dari 100 orang, setiap harinya 39 orang dewasa menerima seftriakson 2g per hari.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
AMRIN study di RSUP. Dr. Kariadi Semarang antara September 2000 sampai
Mei 2005, dalam hasil peneltian tersebut didapatkan bahwa penggunaan paling
banyak golongan -laktam adalah 64,3 DDD/100 pasien-hari dibagian Obstetri
dan Ginekologi, disusul penggunaan golongan kuinolon (siprofloksasin) adalah
16,6 DDD/100 pasien-hari di bangsal Penyakit Dalam dan Golongan sefalosforin
(seftriakson) adalah 16,4 DDD/100 pasien-hari dibagian Bedah. Pada penelitian
lain diruang ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Juli-Desember 2009
penggunaan antibiotik terbesar yaitu seftriakson 62,2 DDD/100 pasien-hari,
siprofloksasin 25,0 DDD/100 pasien-hari dan meropenem 18,5 DDD/100 pasien-
hari.
Dari hasil penelitian ini pemakaian antibiotik di bangsal PD RSUP Dr. M.
Djamil cukup tinggi karena hampir semua pasien yang dirawat mendapat
antibiotik. Lama terapi empirik yang ditemukan paling lama 36 hari.
Dari seratus lima antibiotik yang diresepkan, sebagian besar pasien
menggunakan lebih dari satu antibiotik (kombinasi) selama dirawat dengan
penggunaan antibiotik golongan sefalosforin generasi ke tiga yang paling banyak
(56,49%).Kombinasi antibiotik dapat dipertanggungjawabkan pada keadaan
seperti: untuk pengobatan permulaan pasien dengan infeksi berat, pada infeksi
polimikrobial, untuk mencegah timbulnya mikroorganisme yang kebal, untuk
mengurangi toksisitas yang berkaitan dengan dosis, untuk mendapat efek
sinergistik. Seperti pada kasus DM dengan kaki diabetik, infeksi kuman pada kaki
diabetik ini dapat disebabkan oleh beberapa bakteri diantaranya S. aureus,
Streptococci, Enterobacteriaceae, Bacteroides spp., Peptostreptococcus spp.,
Pseudomonas aeruginosa. Terapi yang sering diberikan di bangsal PD yaitu
kombinasikan seftriakson 1x2g dengan metronidazol 3x500mg sebagai terapi
empirik.
Ketidaktepatan ditemukan saat penggantian antibiotik yang spesifik,
karena tidak langsung mengganti antibiotik yang sesuai hasil kultur sehingga
pemakaian antibiotik empirik bertambah lama, hal ini menyebabkan
ketidaktepatan sasaran obat. Seharusnya penggantian antibiotik yang spesifik
segera dilakukan untuk mencegah terjadinya superinfeksi.
Ketidaksesuaian juga ditemukan pada antibiotik yang diberikan dengan
yang tercatat di rekam medik pasien seperti pada pasien dengan abses hati, pada
rekam medik metronidazol 3x750mg sedangkan yang diberikan ke pasien
3x500mg. Dokter sudah menyarankan penggantian antibiotik sesuai kultur tetapi
karena pasien tidak mampu membeli obat sehingga pemakaian empirik tetap
dilanjutkan. Pada beberapa kasus yang ditemukan, pasien tidak mendapat
antibiotik, hal ini dapat disebabkan karena pasien tidak menebus peresepan
antibiotik, dokter tidak meresepkan antibiotik dan pasien menolak pemberian
antibiotik sehingga penggunaan antibiotik tidak optimal.
Dengan adanya perhitungan sistem DDD/100 pasien-hari diharapkan
penggunaan antibiotik diruangan atau bangsal tertentu dapat dibandingkan dengan
ruangan lain, bahkan antar rumah sakit atau antar negara sekalipun dapat
dibandingkan sehingga dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik.

Kualitas Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibiotik dibedakan menjadi beberapa jenis terapi. Dari
beberapa jenis terapi tersebut, terapi empirik yang paling banyak digunakan
sekitar 59,05% sedangkan terapi tanpa indikasi 18,09%. Terapi empirik
merupakan pilihan yang paling banyak digunakan saat pasien masuk rumah sakit.
Penggunaan antibiotik secara empirik diberikan pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis kumannya. Antibiotik diberikan berdasarkan data epidemiologik
kuman yang ada. Pemberian terapi antibiotik empiris seharusnya di re-evaluasi
setelah dua atau tiga hari tetapi jarang dilakukan.
Kultur darah sebagian besar tidak dilakukan dan bila dilakukan biasanya
sesudah pemberian antibiotik, beberapa kasus antibiotik dilakukan setelah pasien
beberapa hari menggunakan antibiotik sehingga hasil kultur tidak ditemukan
pertumbuhan kuman dan pemeriksaan kultur dirumah sakit bisa sampai 4-7 hari.
Kualitas penggunaan antibiotik dievaluasi dengan alur Gyssens dengan
beberapa kategori. Terapi yang tepat/rasional atau kategori I sebesar 43,81%.
Terapi dikatakan tepat apabila sudah tepat indikasi dengan tujuan menghentikan
metabolisme bakteri penyebab infeksi, tepat obat artinya bahwa antibiotik yang
digunakan efektif untuk jenis kuman yang diperkirakan telah menginfeksi. Tepat
dosis bahwa pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal sudah dilakukan
penyesuaian dosis dan tepat penderita bahwa tingkat keparahan infeksi akan
mempengaruhi dosis, rute, frekuensi dan lama pemberian antibiotik.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di bangsal PD RSUP Dr.
Kariadi Semarang tahun 2008 menunjukkan penggunaan antibiotik yang termasuk
kategori I sebesar 51,90%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian di bangsal
PD RSUP Dr. M. Djamil Padang terlihat penggunaan antibiotik yang tepat lebih
rendah.
Kategori II A (tidak tepat karena dosis tidak tepat) sebesar 0,95%. Hanya
ada satu kasus yang tidak dilakukan penyesuaian dosis antibiotik (sefotaksim,
dosis normal 2x1g, setelah penyesuaian dosis menjadi 1x1g dan seftazidim, dosis
normal 2x1g, setelah penyesuaian dosis menjadi 1x0,5g). Pada penelitian di
bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008 menunjukkan penggunaan
antibiotik yang termasuk kategori IIA sebesar 2,29%. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian, kasus dosis tidak tepat di bangsal PD RSUP Dr. M. Djamil
Padang lebih rendah jika dibandingkan dengan di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 2008.
Kategori III A (tidak tepat karena pemberian antibiotik terlalu lama)
sebesar 14,29%. Pada penelitian ini ada 15 antibiotik yang digunakan sebagai
terapi empirik lebih dari satu minggu. Pemberian antibiotik empirik yang ideal
yaitu 3 hari, setelah hasil kultur keluar ganti antibiotik spektrum luas menjadi
antibiotik spektrum sempit. Pada penelitian di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 2008 yang termasuk kategori IIIA sebesar 4,58%. Perbedaan ini
sangat jauh dan menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang terlalu lama
masih tinggi ditemukan di bangsal PD RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Kategori III B (tidak tepat karena pemberian terlalu pendek) sebesar
2,86%. Pada penelitian ini ada 3 antibiotik yang pemberiannya pendek. Dari 3
kasus tersebut antibiotik siprofloksasin diberi dalam waktu kurang dari 3 hari
sedangkan pemberian antibiotik tersebut sudah tepat untuk kondisi pasien. Pada
penelitian di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008 yang ternasuk
kategori IIIB sebesar 5,34%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
menunjukkan bahwa di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008,
kasus penggunaan antibiotik yang tidak tepat karena pemberian terlalu pendek
lebih tinggi ditemukan daripada di bangsal PD RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Kategori IV A (tidak tepat karena ada antibiotik yang lebih efektif)
sebesar 10,48%. Pada penelitian ini peneliti menemukan 11 antibiotik. Pada kasus
ini ada antibiotik yang lebih efektif dan lebih disarankan sesuai kondisi pasien.
Seperti antibiotik sefotaksim diberikan dengan diagnosa sepsis karena
bronkopenumonia, sedangkan pada PDT RSUP Dr. M. Djamil Padang lebih
disarankan pemberian seftriakson. Dari hasil penelitian Craig et al antara
seftriakson dan sefotaksim untuk infeksi bakteri serius menunjukkan bahwa
pemberian seftriakson 2g sekali sehari sama efektifnya dengan sefotaksim 2g
setiap 4 jam. Pada kasus pasien dengan diagnosa crohn disease, menurut BNF 57
pemberian antibiotik yang efektif untuk kondisi ini yaitu pemberian antibiotik
metronidazol oral 400-500mg 3 kali sehari, diterapi selama 1 bulan tetapi tidak
lebih dari 3 bulan karena efek samping terhadap neuropati perifer atau
siprofloksasin oral 500mg 2 kali sehari selama 2-3 minggu, sedangkan pada kasus
ini diterapi sefotaksim 2x1g. Pada kasus urosepsis menurut literatur terapinya
yaitu golongan aminoglikosida dan siprofloksasin sedangkan pada kasus ini
diberikan kombinasi seftriakson dan siprofloksasin.
Pada penelitian di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008
yang termasuk kategori IVA tidak ditemukan. Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian di bangsal PD RSUP. Dr. M .Djamil Padang, masih tinggi ditemukan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat karena ada antibiotik yang lebih efektif.
Kategori IV D (tidak tepat karena ada antibiotik yang spektrumnya lebih
sempit) sebesar 9,52%. Pada penelitian ini peneliti menemukan 10 antibiotik yang
tidak tepat. Seperti pada kasus pemberian seftriakson pada pasien dengan
diagnosa penumonia komuniti sebenarnya sudah tepat sebagai terapi empirik,
tetapi pemberian seftriakson tetap dilakukan sampai 15 hari dan tidak disesuaikan
dengan hasil kultur sedangkan hasil kultur sudah keluar sejak 6 hari pemakaian
seftriakson.
Pada penelitian di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008
yang termasuk kategori IVD tidak ditemukan. Jika dibandingkan di bangsal PD
RSUP Dr. M. Djamil Padang dapat disimpulkan bahwa masih banyak ditemukan
kasus penggunaan antibiotik yang tidak tepat karena ada antibiotik yang
spektrumnya lebih sempit.
Kategori V (tidak tepat karena pemberian antibiotik tidak ada indikasi)
sebesar 18,09%. Pada penelitian ini peneliti menemukan 19 antibiotik yang
diberikan tanpa indikasi yang jelas. Seperti pasien hepatoma, kanker, LNH dan
SLE yang menunjukkan gejala klinis yang hampir sama dengan pasien yang
terinfeksi (demam, leukosit tinggi, LED tinggi) tidak perlu pemberian antibiotik.
Pemakaian antibiotik satu hari tanpa menunjukkan pasien alergi atau
menimbulkan efek samping juga dianggap pemakaian tidak diketahui dan hasil
kultur pasien yang intermediet dan resisten tetapi tetap digunakan sebagai terapi
dianggap pemakaian yang tidak diketahui.
Pada penelitian di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008
yang termasuk kategori V sebesar 35,87%. Jika dibandingkan di bangsal PD
RSUP Dr. M. Djamil Padang, kasus penggunaan antibiotik yang tidak ada indikasi
lebih rendah bila dibandingkan di bangsal PD RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun
2008.
Efek samping yang ditemukan dalam penggunaan antibiotik pada
penelitian ini berupa gatal-gatal pada kulit setelah disuntik. Alergi terjadi saat
pasien akan di skin test seftriakson sehingga langsung dihentikan pemakaiannya,
pada kasus lain gatal-gatal pada kulit setelah disuntik ditemukan setelah 20 hari
penggunaan seftriakson dan langsung dihentikan pemakaiannya. Reaksi alergi
terjadi melalui reaksi antigen-antibodi membentuk komplek imun. Antibodi yang
berperan disini adalah IgM dan IgG. Komplek imun ini akan mengaktifkan
pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. Gejala timbul 5-20 hari
setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut,
gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari. Flebitis juga terjadi tetapi segera
disarankan penggantikan infus. Flebitis merupakan keluarnya obat dari pembuluh
vena ke jaringan sekitarnya yang menimbulkan rasa nyeri dan kemerahan
disepanjang vena.
Sedangkan dari hasil kultur menunjukkan bakteri yang banyak
menginfeksi pasien dirumah sakit terutama di bangsal PD RSUP Dr. M. Djamil
yaitu bakteri gram negatif seperti Klebsiella spp (29,27%), Proteus spp (21,95%),
Pseudomonas aureginosa (7,32%) dan E. Coli (4,88%) sedangkan bakteri gram
positif yang ditemukan dari hasil kultur yaitu Streptococcus hemoluticus
(19,51%), Staphylococcus aureus (17,07%). Antibiotik yang sensitivitasnya tinggi
terhadap bakteri yaitu netilmisin (11,38%), sefotaksim (10,18%), seftazidim
(10,18%), meropenem (10,18%), ampisilin sulbaktam (9,58%), dan siprofloksasin
(7,78%).


KESIMPULAN

Dari penelitian ini didapatkan studi penggunaan antibiotik di Bangsal
Penyakit Dalam secara kuantitatif dengan sistem ATC/DDD yang terbanyak yaitu
Seftriakson 38,955DDD/100pasien-hari dengan kode ATC J01DD04 sedangkan
yang paling sedikit yaitu Gentamisin 0,507DDD/100pasien-hari dengan kode
ATC J01DH02. Sedangkan studi penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan
alur kriteria gyssens yang tepat atau kategori I sebesar 43,18% dan yang tidak
tepat atau kategori II-VI sebesar 56,19 %.
DAFTAR PUSTAKA

1. Acar, J. F., 2000, Antibiotic Synergy and Antagonism, med, clin, north Am 84:
1391-1406
2. Argadia, antibiotik, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009
3. AMRIN-study group, Penggunaan Antibiotik di RS Dr Soetomo Surabaya dan
RSUP Dr Kariadi Semarang, 2005
4. America Society of Health, System Pharmacist, AHFS Drug Information,
United State of America, 2005
5. Anonim, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, edisi revisi, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1994; 35,37, 103, 163
6. Ardinal, A., Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Pengobatan Demam
Tifoid Dibagian Penyakit Dalam Perjan RSUP. DR. M. Djamil Padang tahun
2000-2003, Padang, 2005
7. Bergman, U., Risinggard, H., Palcevski, W., Ericson, O., Use Antibiotics at
Hospital in Stockholm: a Benchmarking Project Using Internet,
pharmacoepidemiology and drug safety, 2004, 3: 465-471
8. Birkett, D. J., The Future of ATC/DDD and Drug Utilization Reseach, WHO
Drug Information 16, 2002, 3: 238-239
9. BMJ group, British National Formulary 57, RPS, London, March 2009
10. Bronzwaer, S. L., Cars, O., Buchhols, U., Molstad, S., Goettsch, W., A
European Study on The Relationship between Antimicrobial Use and
Antimicrobial Resistance, Emerging Infectious Disease, 2002, 8 : 278-282
11. Cunha, B, A., Antibiotic Resistence, Med, Clin, North Am, 2000, 84: 1407-
1429
12. Djauzi, S., Sundaru, H., Mahdi, D., Sutiman, N., Alergi Obat: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV, FKUI, Jakarta, 2006, hal: 387-391
13. Dwiprahasto, I., Kebijakan untuk Meminimalkan Risiko Terjadinya Resistensi
Bakteri di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit, JMPK, 2005, 8(4):177-181
14. Eggleton, A, G., Principles of Antibiotic Therapy, Fundamental of Clinical
Pharmacy III, PIOLK-University of Surabaya, February 13-17, 2001
15. Guntur, A., Sepsis: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV, FKUI,
Jakarta, 2006, hal: 1840-1842
16. Hadi, U., Resistensi Antibiotik: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi
IV, FKUI, Jakarta, 2006, hal: 1703
17. Hadisahputra, S. dan Harahap, U., Farmasi Klinis: Suatu Pengenala, Buletin
ISFI Sumut, 1999
18. Holland R. W., Nimmo CM. Transitions, part 1: Beyond pharmaceutical care.
Am J Health-Syst Pharm 1999; 56: 1758-64.
19. Jankgnet, R., Lashof, A.O., Gould, I.M., Van de Meer, J. W. M, Antibiotics
Use in Dutch Hospital 1991-1996, Journal of Antimicrobial Chemotherapy,
2000, 45: 251-256
20. Juwono, R. dan Prayitno A., Terapi Antibiotik. Dalam: Farmasi Klini, Ed
Aslam. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003, hal: 321-323
21. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tanggal 19
Oktober 2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
22. Kimin, A., Antibiotika Baru : Berpacu dengan Resistensi Kuman, Available
from : www.apotekputer.com, Accesed February 15th 2009
23. Kucers, A. & Bennett, N.McK., The Use of Antibiotics. A Comprehensive
Review with Clinical Emphasis, 4th ed. William Heinemann Medical Books,
London, 1987
24. Lim V.K.E. The Rational use Of antibiotics. Konker PAPDI VIII, Konas Petri
III, Balikpapan 30 November 1997, halaman 1-5
25. Nelwan, R. H. H., Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Diklinik: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006, hal: 1701-1702
26. Nouwen, J. L., Controlling Antibiotic Use and Resistance, Clinical Infectious
Disease, 2006, 42 : 776-777
27. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia, Jakarta, 2003
28. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi I, Jakarta : EGC, 2006
29. Regional Health Forum WHO South-East Asia, Antibiotics, Volume 2, number
2. Available from : http://www.searo.who.int/EN Update September 4th 2006,
Accassed January 30th 2009
30. Rochmah, W., Diabetes Melitus pada Usia Lanjut: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, jilid III, edisi IV, jakarta, 2006, hal: 1915
31. Rusdidjas, Standar Pelayanan Medis Komite Medik, Edisi I RSUP H.
AdamMalik, Medan, 2000
32. Setiabudy R., Infeksi dan Antibiotik. Dexa Media, No 1, volume 14. Jakarta.
2001
33. Smith, C. R.., Petty, B. G., Hendrix, C. W., Kernan, W. N., Garver, P. L., Fox,
K., Beamer, A., Carbone, K., Threlkeld, M., Lietman, P., Ceftriaxone Compare
With Cefotaxime For Serious Bacteriak Infections: The Journal Of Infection
Disease, vol. 160, n0. 3, Oxford University Press, 1989
34. Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Jakarta ; Gaya Baru. 2005 : 585-586
35. Sudoyo, A. W., Setiyahadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, edisi IV, FKUI, Jakarta, 2006
36. Waspadji S., Kaki diabetes: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV,
FKUI, Jakarta, 2006, hal: 1749-1751
37. WHO, Drug And Therapeutic Committees; A Practical Guide, Department of
Essential Drugs and Medicines Policy Geneva, Switzerland, 2003
38. Yuniftiadi, F., Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Intensive Care
Unit RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Juli-Desember 2009, Semarang,
2010

*penulis, Email: wulanlestari@live.com, Alamat: Tanjungpinang, KEPRI

You might also like