You are on page 1of 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA
2.1.1. Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia
atau hipoksia (Amir, 2008).
2.1.2. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun
keracunan (Knight, 1996 ).
2.1.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O
2
tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Universitas Sumatera Utara
- Tidak ada atau tidak cukup O
2
. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab,
bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di
kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu
lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O
2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.
2.1.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan
demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan
basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang
lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak
jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:



Universitas Sumatera Utara
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena
cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1.5. Stadium Pada Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O
2
disertai meningkatnya kadar CO
2
akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan
tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi
dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke
stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh,
kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga
feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih
tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O
2
ini terus berlanjut, maka
penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi
lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
Universitas Sumatera Utara
lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung
masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 3-5 menit.
2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
a. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama
pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit
dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.
Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus,
mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong
darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
Universitas Sumatera Utara
tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia,
harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang
sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang
kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher
dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian
akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang
terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia
2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia
Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:
a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut.
Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir
luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau
tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang
tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit
mendapatkan tanda-tanda kekerasan.
b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh
berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas
jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut.
Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua
kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan
didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat,
Universitas Sumatera Utara
karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses
pembendungan.
Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang
jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-
tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati.
Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya
melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan
tekanan tali pada leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati,
kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher
tetap menjadi petunjuk yang baik.
2.1.8. Pemeriksaan Jenazah
a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang
tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-
kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
Universitas Sumatera Utara
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam
vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus
spot.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena
permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura
viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura
interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
7.
Universitas Sumatera Utara
2.2. ASFIKSIA MEKANIK
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan
(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3. MATI GANTUNG (HANGING)
2.3.1. Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan
gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).
2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya
berada di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada
leher, sehingga saluran pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan
pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi
terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada
kebanyakan kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh
penjerat yang berada di sekitar leher.
Universitas Sumatera Utara

d. Iskemik Otak (anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam
menyuplai darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan
pada refleks vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya
tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.
f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada
ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan
dislokasi dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau
merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.
2.3.3. Jenis Penggantungan
a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008),
yaitu:
1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas
lantai.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh
tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut,
dalam posisi telungkup dan posisi lain.
b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada
saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri
Universitas Sumatera Utara
karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak
sadar.
2.3.4. Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan
maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir
konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka
sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva
bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar
sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih
menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan
berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba
berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang
berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).
2.3.5. Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008),
yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan,
kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan
vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas
jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati
juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan
keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila
bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak
Universitas Sumatera Utara
begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban
tergantung, berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain
bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian
digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap,
tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang
menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila
segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa
sembab, bintik perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur
dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,
sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di
kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa
di dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh
sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan
congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieus spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah
berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan
yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red
line) pada tunika intima dari arteri karotis interna.


Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 : Cara membedakan kematian (pembunuhan atau bunuh diri)
Pembunuhan Bunuh Diri
Alat penjerat:
- Simpul
- Jumlah lilitan
- Arah
- Jarak titik tumpu-
simpul

Biasanya simpul mati
Hanya satu
Mendatar
Dekat

Simpul hidup
Satu atau lebih
Serong ke atas
Jauh
Korban:
- Jejas jerat
- Luka perlawanan
- Luka-luka lain

- Jarak dari lantai

Berjalan mendatar
+
Ada, sering di daerah
leher

Jauh

Meninggi ke arah simpul
-
Biasanya tidak ada,
mungkin terdapat luka
percobaan lain
Dekat, dapat tidak
tergantung
TKP:
- Lokasi
- Kondisi
- Pakaian

Bervariasi
Tidak teratur
Tidak teratur, robek

Tersembunyi
Teratur
Rapi dan baik
Alat: Dari si pembunuh Berasal dari yang ada di
TKP
Surat peninggalan: - +
Ruangan: Tak teratur, terkunci
dari luar
Terkunci dari dalam
Sumber: Ilmu Kedokteran Forensik, 1997



Universitas Sumatera Utara

You might also like