You are on page 1of 16

1

PENDAHULUAN



DEFINISI
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh
Hughlings Jackson pada abad ke-19. Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada
substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat.
Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksisimal dimana cetusan neuron
korteks serebri mangakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik
dan sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Bangkitan epilepsi
(epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik),
berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan,
faktor pencetus, dan kronisitas.

EPIDEMIOLOGI
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru
yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Kematian dapat berhubungan langsung
dengan kejang, misalnya jika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan diantara
serangan pasien tidak sadar (status epileptikus), atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan
atau trauma.Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (suden
unexplained death in epilepsy, SUDEP) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang
dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiovaskular.

PREVALENSI DAN INSIDENSI
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja diseluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Dari
banyak studi menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan
prevalensinya berkisar antara 0.5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk.
Sedangkan angka insiden epilepsi dinegara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000
penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah
2

pasien epilepsi 1,1-8,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat pada kelompok usia
lanjut.

ETIOLOGI

1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik : disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya;
cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak,toksik (alcohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.


KLASIFIKASI
Ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) tahun1981.
Menurut klasifikasi ini bangkitan epilepsi dibagi dalam:
1. Bangkitan Parsial (fokal,lokal)
a. Bangkitan parsial sederhana ( kesadaran tidak terganggu)
1). Dengan gejala motorik:
a). Fokal motorik tidak menjalar
b). Fokal motorik menjalar (epilepsi Jackson)
c). Vesif
d). Postural
2).Dengan gejala somatosensoris (halusinasi sederhana)
a). Somatosensoris
b). Visual
c) Auditoris
d). Olfaktoris
e).Gustatoris
f). Vertigo
3

3). Dengan gejala atau gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, dilatasai pupil)
4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a). Disfasia
b). Dismensia
c). Kognitif
d). Afektif
e). Ilusi
f).Halusinasi kompleks
b Bangkitan Parsial kompleks ( disertai gangguan kesadaran)
Awal parsial sederhan diikuti penurunan kesadaran
a). Dengan gejala parsial sederhana
b). Dengan automatisme
c.Bangkitan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik klonik,tonik,klonik)
1). Bangkitan parsial sederhana (a) yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
2). Bangkitan parsial kompleks (b) yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
3). Bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks
lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non konvulsi)
a. Bangkitan Lena (absence)
1). Hanya penurunan kesadaran
2). Dengan komponen klonik ringan
3). Dengan komponen atonik
4). Dengan komponen tonik
5). Dengan automatisme
6). Dengan komponen autonom
Komponen klonik ringan hingga komponen autonom dapat tersendiri atau
dalam kombinasi.
Lena tak khas (atypical abstence), dapat disertai:
1). Gangguan tonus yang lebih jelas
4

2). Awitan dan hendakan yang tidak mendadak
b. Bangkitan Mioklonik
Kejang mioklonik sekali atau berulang-ulang
c.Bangkitan Klonik
d. Bangkitan Tonik
e. Bangkitan Tonik Klonik
f. Bangkitan Atonik

3. Bangkitan tak tergolongkan
Bangkitan epilepsi dapat timbul:
a. Tak terduga, tak tentu waktunya
b. Siklus, timbul pada waktu-waktu tertentu (berhubungan dengan siklus haid,
bangun tidur)
c. Setelah mendapat rangsangan
1). Non sensoris (lelah,alkohol,emosi)
2). Sensoris (cahaya yang berkedip)
Kejang yang terjadi terus menerus disebut status epilepsi yang dapat parsial atau umum.
Kejang-kejang motorik lokal yang terjadi terus menerus disebut epilepsi parsial kontinu.

DIAGNOSIS
Pedoman umum
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi,
yaitu:
1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
merupakan bangkitan epilepsi.
2. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkita epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana. (lihat klasifikasi ILAE
1981)
3. Langkah ketiga: tentukan etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan
oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien. (lihat
klasifikasi ILAE 1989).
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptiform pada EEG.
5

KASUS EPILEPSI

Anamnesis:
Seorang perempuan, umur 25 tahun, datang ke poliklinik Saraf pada tanggal 18
September 2012.
Dengan keluhan utama kejang yang dialami penderita 3 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Saat kejang diawali penderita dengan berteriak kemudian mulut mencong ke
kiri, bergerak-gerak, kedua lengan terangkat keatas dan tersentak, kedua tungkai tersentak-
sentak, mata mendelik keatas, mulut berbusa, lidah tergigit. Kejang selama 3 menit, saat
kejang penderita tidak sadar, sesudah kejang penderita mengantuk-ngantuk. Kejang 6- 7
kali setiap hari diantara serangan kejang penderita sadar. Penderita putus obat selama 1
minggu, sebelumnya penderita minum fenitoin 2 x 100 mg kapsul.
RPD : Riwayat kejang seperti ini sejak umur 18 tahun.
Pemeriksaan Fisik Umum
Ku : tampak sakit Kes: Compos Mentis
T. 130/80mmHg N. 88x/m reg R.24x/mnt Sb.37C
Mata : konj. anemis -/- sklera ikterik -/-
Leher : trachea letak di tengah, pembesaran kelenjar (-)
Cor/Pulmo: Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar lemas, peristaltik usus (+)
Ekstremitas : teraba hangat
Pemeriksaan Neurologis:
GCS 15, pupil isokor diameter 3mm, RC +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis : paresis NI-XII (-)
Tanda Rangsangan Meningeal: KK (-), Laseg -/-, Kernig -/-
Status Motorik : KO 5 5 TO: N N RF: ++ ++ RP: - -
5 5 N N ++ ++ - -
Status Sensorik : normoestesi
Status Otonom : normal
Diagnosis : Epilepsi
Terapi : Fenitoin 2 x 100 mg kapsul



6

PENILAIAN FARMAKOTERAPI OBAT

Fenitoin (5-5 Difenilhidantoin)
Dalam golongan ini dikenal 3 senyawa antikonvulsi yaitu (1) fenitoin
(difenilhidantoin), (2) mefenitoin, dan (3) etotoin.
Dari ketiga obat tersebut diatas, yang banyak beredar dan banyak dipakai dalam
pengobatan adalah difenilhidantoin.
Difenilhidantoin merupakan obat pilihan untuk semua jenis epilepsi kecuali
bangkitan lena (abscence).

Farmakokinetik
Sebagian besar obat-obatan dengan aksi pada sistem saraf pusat diberikan dengan
cara ditelan, sehingga kita harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menentukan
absorbsi usus. Molekul-molekul kecil biasanya masuk ke dalam plasma dengan cara difusi,
sebagian besar dengan pinositosis. Absorbsi obat dan konsentrasinya dalam darah
dipengaruhi oleh makanan, obat lain yang diminum, penyakit-penyakit usus dan umur
pasien.
Obat (atau racun) didalam darah akan sampai ke berbagai jaringan, termasuk sistim
saraf, sehingga ikatan protein dalam plasma berpengaruh penting dalam distribusinya.
Banyak obat-obatan dan toksin yang diberikan dengan albumin serum dan protein serum
lainnya, membatasi adanya bentuk ionisasi. Transformasi obat-obatan dan dan toksin
umumnya meliputi proses hidroksilasi, deaminasi, oksidasi dan dealkilasi, yang
meningkatkan solubilitasnya dan eliminasinya melalui ginjal. Proses katalisis paling
banyak terjadi di hepar dan menggunakan banyak enzim.
Untuk masuk ke dalam ruang ekstraseluler sistem saraf, obat atau racun harus
melewati endotel kapiler yang rapat (dikenal sebagai Blood Brain Barrier) dan sawar
antara darah dan cairan serebrospinal. Pemberian dengan injeksi intratekal dapat
menghindari sawar tersebut, namun pemberian dengan intratekal menyebabkan obat-
obatan cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah subpial dan subependimal. Proses
perpindahan dari plasma ke otak dengan cara difusi melalui kapiler atau fasilitas transport.

a. Absorbsi
Absorbsi fenitoin tergantung cara pemberiannya apakah peroral atau suntikan.
Absorbsi fenitoin di dalam lambung sangat sedikit karena fenitoin tidak larut dalam
7

lambung yang bersifat asam. Absorbsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung
lambat, dan sesekali tidak lengkap. Pemberian 10% dosis yang diberikan per oral
diekskresikan bersama tinja dalam bentuk yang utuh, pada duodenum yang mempunyai pH
7-7,5 fenitoin lebih mudah larut. Absorbsi maksimal terjadi di duodenum sedangkan di
yeyunum dan ileum lebih lambat, lalu dicolon sangat sedikit, dan di rectum tidak terjadi
absorbsi. Kadar puncak pemberian peroral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian, ada
yang menyebutkan 3-12 jam. Bila memerlukan pemberian dosis awal dengan bolus,
diberikan dosis 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma
akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara intramuscular menyebabkan
fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsinya berlangsung
lambat dari pada pemberian oral. Hal tersebut di sebabkan kelarutan dalam air sedikit
sehingga terbentuk kristal fenitoin didalam otot. Fenitoin di distribusi ke berbagai jaringan
tubuh dalam kadar yang berbeda-beda, setelah suntikan intra vena, kadar yang terdapat
dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar yang berada di
dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.

b. Distribusi dan Biotransformasi
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%.
Orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebasnya kira-kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek farmakologik fenitoin hanya
tergantung dari efek bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit
hepatorenal dan pada neonatal fraksi bebasnya rata-rata diatas 15%. Pada pasien epilepsi,
fraksi bebas berkisar antara 5,8-12,6%
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya konsentrasi
fenitoin di otak ternyata 1-3 kali konsentrasi di plasma. Juga diketahui bahwa beberapa
obat yang mempunyai sifat yang sama dengan fenitoin yaitu terikat dengan protein plasma,
apabila obat tersebut diminum bersama fenitoin maka akan menjadi kompetisi untuk
mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin mana yang lebih kuat. Keadaan ini
akan mengakibatkan peningkatan bentuk bebas dari fenitoin, akibat ikatan dengan albumin
diduduki oleh obat lain. Volume distribusi fenitoin lebih kurang 64% dari berat baban, tapi
sekitan 7 kali lebih besar dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
fenitoin per oral 18-24 jam, sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state) adalah
5-10 hari.
8

Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf, sehingga kerjanya dapat bertahan lebih
lama. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim
mikrosom hati. Hasil metaboliknya berupa parahidrobutanil yang sudah tidak mempunyai
hasiat anti epilepsi.

c. Ekskresi
Hampir sebagian besar metabolik fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian
mengalami reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Ekskresi
di ginjal, metabolik utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya
mengalami reabsorbsi.
Metabolik akhir sifatnya larut dalam air. Ekskresi melalui feses hanya sebagian
kecil saja. Ekskresi lengkap dari fenitoin terjadi setelah 72-120 jam.


Farmakodinamik
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu
1. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus
epilepsi.
2. Mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari
fokus epilepsi.
Mekanisme kerja obat anti epilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik.
Berbagai obat anti epilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak,
terutama yang mempengaruhi sistem inhibivi yang melibatkan GABA dalam mekanisme
kerja berbagai kerja anti epilepsi. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis
epilepsi, kecuali bangkitan lena, adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C
5

penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan
dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N
3
akan mengubah spektrum
aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolik yang tidak aktif. Bangkitan tonik klonik dan beberapa bangkitan
parsial dapat pulih secara sempurna oleh obat fenitoin, sedangkan gejala aura sensorik dan
gejala prodroma lainya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.
Fenitoin dimetabolisir di hepar oleh enzim mikrosomal. Karena itu biasanya obat
yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat merubah kadar fenitoin dalam plasma,
baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisir oleh enzim yang sama, atau justru obat
9

yang memacu enzim mikrosomal. Adanya malfungsi hepar merupakan predisposisi untuk
terjadinya interaksi obat fenitoin. Dalam kaitan dengan ini faktor renal justru tidak
merupakan faktor penting oleh karena sebagian besar obat dimetabolisir di hepar. Kadar
fenitoin pada penderita urenia kronik menjadi lebih tinggi dan waktu paruhnya lebih
panjang.
Cara kerja utama feniton pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion melalui
kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na
+
yang tersisa maupun aliran Na
+
yang
mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu fenitoin memblokade dan mencegah
potensiasi post tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan
mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada semua
membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada membran yang
eksitabel (mudal terpacu) maupun yang tidak eksitabel.
Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium (Ca
+
) dan menundah aktivasi aliran
ion K keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode refractory
dan menurunnya cetusan ulangan.


Interaksi Obat
Konsentrasi fenitoin dalam plasma dapat meningkat bila diberikan bersama dengan
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dan sulfonamid karena terjadi penghambatan
biotransformasi fenitoin, sedangkan sulfioksaxol, fenilbutazon, salisilat, dan asam valproat
juga akan meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma karena obat-obat ini dapat
mempengaruhi ikatan plasma protein dari fenitoin.


Intoksikasi dan Efek samping
1. Susunan Saraf Pusat---ataksia,nistagmus, sukar bicara, tremor, gugup, perasaan
mengantuk, kelelahan, gangguan mental, halusinasi, ilusi, dan psikotik.
Kekurangan asam folat mempermuda terjadinya gangguan mental.
2. Gusi dan saluran Cerna---anoreksia, nyeri uluhati, mual, muntah, dan hematemesis
yang dapat bersifat fatal. Hal ini dapat terjadi karena fenitoin bersifat alkali.
Prolifelasi jaringan ikat gusi, edema gusi, dan gingivitis.
10

3. Kulit---ruam kulit, terutama pada anak dan orang dewasa muda, eritema,
multiforms hemoragik yang bersifat fatal. Pemberian pada wanita muda dapat
terjadi keratosis dan hirsutisme terutama pada pengobatan kronik.
4. Hati---ikterus dan hepatitis
5. Sumsum Tulang---anemia megaloglastik
6. Lain-lain---fenitoin bersifat teratogenik sehingga dikontraindikasikan pada
kehamilan karena dapat menyebabkan schizo dan/atau palatoschizis. Pada trimester
lanjut dapat meyebabkan kelainan tulang janin.


Dosis
Konsentrasi plasma optimal fenitoin adalah 10-20 g/ml dengan konsentrasi
dibawah 10 m/ml akan kurang efektif untuk pengendalian kejang yang terjadi, sedangkan
konsentrasi lebih dari 20 m akan menyebabkan efek toksik.
Dosis oral dewasa 300 mg dengan dosis maksimal 600 mg dalam dosis yang
terbagi; sedangkan pada anak-anak 4-8 mg/kg BB dengan dosis maksimal 300 mg/hari.
Bila kita ingin menganti pemberian fenobarbital dengan fenitoin, dosis fenobarbital tidak
boleh langsung dihentikan, tetapi sebaiknya dosis diturunkan perlahan-lahan sambil
memberikan fenitoin.















11


PENILAIAN FARMAKOTERAPI OBAT

Fenitoin (5-5 Difenilhidantoin)
Dalam golongan ini dikenal 3 senyawa antikonvulsi yaitu (1) fenitoin
(difenilhidantoin), (2) mefenitoin, dan (3) etotoin.
Dari ketiga obat tersebut diatas, yang banyak beredar dan banyak dipakai dalam
pengobatan adalah difenilhidantoin.
Difenilhidantoin merupakan obat pilihan untuk semua jenis epilepsi kecuali
bangkitan lena (abscence).

Farmakokinetik
Sebagian besar obat-obatan dengan aksi pada sistem saraf pusat diberikan dengan
cara ditelan, sehingga kita harus mempertimbangkan faktor-faktor yang menentukan
absorbsi usus. Molekul-molekul kecil biasanya masuk ke dalam plasma dengan cara difusi,
sebagian besar dengan pinositosis. Absorbsi obat dan konsentrasinya dalam darah
dipengaruhi oleh makanan, obat lain yang diminum, penyakit-penyakit usus dan umur
pasien.
Obat (atau racun) didalam darah akan sampai ke berbagai jaringan, termasuk sistim
saraf, sehingga ikatan protein dalam plasma berpengaruh penting dalam distribusinya.
Banyak obat-obatan dan toksin yang diberikan dengan albumin serum dan protein serum
lainnya, membatasi adanya bentuk ionisasi. Transformasi obat-obatan dan dan toksin
umumnya meliputi proses hidroksilasi, deaminasi, oksidasi dan dealkilasi, yang
meningkatkan solubilitasnya dan eliminasinya melalui ginjal. Proses katalisis paling
banyak terjadi di hepar dan menggunakan banyak enzim.
Untuk masuk ke dalam ruang ekstraseluler sistem saraf, obat atau racun harus
melewati endotel kapiler yang rapat (dikenal sebagai Blood Brain Barrier) dan sawar
antara darah dan cairan serebrospinal. Pemberian dengan injeksi intratekal dapat
menghindari sawar tersebut, namun pemberian dengan intratekal menyebabkan obat-
obatan cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah subpial dan subependimal. Proses
perpindahan dari plasma ke otak dengan cara difusi melalui kapiler atau fasilitas transport.

d. Absorbsi
12

Absorbsi fenitoin tergantung cara pemberiannya apakah peroral atau suntikan.
Absorbsi fenitoin di dalam lambung sangat sedikit karena fenitoin tidak larut dalam
lambung yang bersifat asam. Absorbsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung
lambat, dan sesekali tidak lengkap. Pemberian 10% dosis yang diberikan per oral
diekskresikan bersama tinja dalam bentuk yang utuh, pada duodenum yang mempunyai pH
7-7,5 fenitoin lebih mudah larut. Absorbsi maksimal terjadi di duodenum sedangkan di
yeyunum dan ileum lebih lambat, lalu dicolon sangat sedikit, dan di rectum tidak terjadi
absorbsi. Kadar puncak pemberian peroral dicapai dalam 4-8 jam setelah pemberian, ada
yang menyebutkan 3-12 jam. Bila memerlukan pemberian dosis awal dengan bolus,
diberikan dosis 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma
akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara intramuscular menyebabkan
fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsinya berlangsung
lambat dari pada pemberian oral. Hal tersebut di sebabkan kelarutan dalam air sedikit
sehingga terbentuk kristal fenitoin didalam otot. Fenitoin di distribusi ke berbagai jaringan
tubuh dalam kadar yang berbeda-beda, setelah suntikan intra vena, kadar yang terdapat
dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar yang berada di
dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.

e. Distribusi dan Biotransformasi
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%.
Orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebasnya kira-kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek farmakologik fenitoin hanya
tergantung dari efek bebasnya. Pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit
hepatorenal dan pada neonatal fraksi bebasnya rata-rata diatas 15%. Pada pasien epilepsi,
fraksi bebas berkisar antara 5,8-12,6%
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya konsentrasi
fenitoin di otak ternyata 1-3 kali konsentrasi di plasma. Juga diketahui bahwa beberapa
obat yang mempunyai sifat yang sama dengan fenitoin yaitu terikat dengan protein plasma,
apabila obat tersebut diminum bersama fenitoin maka akan menjadi kompetisi untuk
mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin mana yang lebih kuat. Keadaan ini
akan mengakibatkan peningkatan bentuk bebas dari fenitoin, akibat ikatan dengan albumin
diduduki oleh obat lain. Volume distribusi fenitoin lebih kurang 64% dari berat baban, tapi
sekitan 7 kali lebih besar dihitung dengan kadar obat bebas. Waktu paruh pemberian
13

fenitoin per oral 18-24 jam, sedangkan untuk mencapai kadar optimal (steady state) adalah
5-10 hari.
Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf, sehingga kerjanya dapat bertahan lebih
lama. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim
mikrosom hati. Hasil metaboliknya berupa parahidrobutanil yang sudah tidak mempunyai
hasiat anti epilepsi.

f. Ekskresi
Hampir sebagian besar metabolik fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian
mengalami reabsorbsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Ekskresi
di ginjal, metabolik utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya
mengalami reabsorbsi.
Metabolik akhir sifatnya larut dalam air. Ekskresi melalui feses hanya sebagian
kecil saja. Ekskresi lengkap dari fenitoin terjadi setelah 72-120 jam.


Farmakodinamik
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu
3. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus
epilepsi.
4. Mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari
fokus epilepsi.
Mekanisme kerja obat anti epilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik.
Berbagai obat anti epilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak,
terutama yang mempengaruhi sistem inhibivi yang melibatkan GABA dalam mekanisme
kerja berbagai kerja anti epilepsi. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis
epilepsi, kecuali bangkitan lena, adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C
5

penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik klonik, sedangkan gugus alkil berkaitan
dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada atom N
3
akan mengubah spektrum
aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolik yang tidak aktif. Bangkitan tonik klonik dan beberapa bangkitan
parsial dapat pulih secara sempurna oleh obat fenitoin, sedangkan gejala aura sensorik dan
gejala prodroma lainya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.
14

Fenitoin dimetabolisir di hepar oleh enzim mikrosomal. Karena itu biasanya obat
yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat merubah kadar fenitoin dalam plasma,
baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisir oleh enzim yang sama, atau justru obat
yang memacu enzim mikrosomal. Adanya malfungsi hepar merupakan predisposisi untuk
terjadinya interaksi obat fenitoin. Dalam kaitan dengan ini faktor renal justru tidak
merupakan faktor penting oleh karena sebagian besar obat dimetabolisir di hepar. Kadar
fenitoin pada penderita urenia kronik menjadi lebih tinggi dan waktu paruhnya lebih
panjang.
Cara kerja utama feniton pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion melalui
kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na
+
yang tersisa maupun aliran Na
+
yang
mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu fenitoin memblokade dan mencegah
potensiasi post tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan
mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada semua
membran neuronal, termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada membran yang
eksitabel (mudal terpacu) maupun yang tidak eksitabel.
Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium (Ca
+
) dan menundah aktivasi aliran
ion K keluar selama potensial aksi, sehingga menyebabkan kenaikan periode refractory
dan menurunnya cetusan ulangan.


Interaksi Obat
Konsentrasi fenitoin dalam plasma dapat meningkat bila diberikan bersama dengan
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dan sulfonamid karena terjadi penghambatan
biotransformasi fenitoin, sedangkan sulfioksaxol, fenilbutazon, salisilat, dan asam valproat
juga akan meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma karena obat-obat ini dapat
mempengaruhi ikatan plasma protein dari fenitoin.


Intoksikasi dan Efek samping
7. Susunan Saraf Pusat---ataksia,nistagmus, sukar bicara, tremor, gugup, perasaan
mengantuk, kelelahan, gangguan mental, halusinasi, ilusi, dan psikotik.
Kekurangan asam folat mempermuda terjadinya gangguan mental.
15

8. Gusi dan saluran Cerna---anoreksia, nyeri uluhati, mual, muntah, dan hematemesis
yang dapat bersifat fatal. Hal ini dapat terjadi karena fenitoin bersifat alkali.
Prolifelasi jaringan ikat gusi, edema gusi, dan gingivitis.
9. Kulit---ruam kulit, terutama pada anak dan orang dewasa muda, eritema,
multiforms hemoragik yang bersifat fatal. Pemberian pada wanita muda dapat
terjadi keratosis dan hirsutisme terutama pada pengobatan kronik.
10. Hati---ikterus dan hepatitis
11. Sumsum Tulang---anemia megaloglastik
12. Lain-lain---fenitoin bersifat teratogenik sehingga dikontraindikasikan pada
kehamilan karena dapat menyebabkan schizo dan/atau palatoschizis. Pada trimester
lanjut dapat meyebabkan kelainan tulang janin.


Dosis
Konsentrasi plasma optimal fenitoin adalah 10-20 g/ml dengan konsentrasi
dibawah 10 m/ml akan kurang efektif untuk pengendalian kejang yang terjadi, sedangkan
konsentrasi lebih dari 20 m akan menyebabkan efek toksik.
Dosis oral dewasa 300 mg dengan dosis maksimal 600 mg dalam dosis yang
terbagi; sedangkan pada anak-anak 4-8 mg/kg BB dengan dosis maksimal 300 mg/hari.
Bila kita ingin menganti pemberian fenobarbital dengan fenitoin, dosis fenobarbital tidak
boleh langsung dihentikan, tetapi sebaiknya dosis diturunkan perlahan-lahan sambil
memberikan fenitoin.












16

Tugas Farmakologi

FARMAKOTERAPI PADA KASUS EPILEPSI




Oleh:
Monika Handojo
Hendy Million
Yasinta Ulaan


Pembimbing:
Prof. dr. Jimmy Posangi, MSc, PhD, SpFK












PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2013

You might also like