You are on page 1of 22

1 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

BAB I: PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur
faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan
bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis,
nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai
dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil.
1,2
Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian
pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta
tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab
terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7
provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6%
tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%).
3




2 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.
4
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius. Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
3 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Ostium dari sinus-sinus sphenoid.
4

Batas-batas nasofaring:
Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas
ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os
vomer
Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas
Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara
tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller.
4


Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah
sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini.
4
Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi
hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan
berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring.
4








Gambar 1. Faring

4 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

2. TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini
dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi
fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,
dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil
faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.
4









Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlachs).
4


Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
5 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
4







Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
4


Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
Gambar 3. Tonsil Palatina

6 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda
atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar
toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.
4



3. TONSILITIS KRONIS
a. Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat
menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-
gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.
3

b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Pada pendera tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian
Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup
A, E.coli dan Klebsiela.
3,4

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus
alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. Coli.
3

c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan
kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab,
7 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

suhu yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi,
kelelahan fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
1



d. Patogenesis
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah
fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum
tubuh menurun.
3
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi
akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor
yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi
atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.
1,3

e. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau.
1

f. Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju,
8 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,

Gambar 5. Tonsilitis
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda
klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar
limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak
nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika
anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan.
3

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T
0
: Tonsil masuk di dalam fossa
T
1
: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T
2
: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T
3
: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T
4
: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring.
3



g. Pemeriksaan penunjang
9 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi,
didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat
dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.
3

h. Penatalaksanaan
1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada
penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis).
2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan
serta kecurigaan neoplasma.
3

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan,
serta kecenderungan neoplasma. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi
adalah sebagai berikut :
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus
hemolitikus,
10 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif.
1


3. Faringitis kronik
a. Etiologi
Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.
Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya
obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan
dengan sinusitis kronik
b. Gejala
Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous
mucus.
Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya benda asing di faring
(7)
.









Gambar 5. Faringitis Kronik
c. Diagnosis
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya
hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring
juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).
5
Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di
hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain
seperti deviasi septum atau hiperplasi konka.
5


d. Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik
faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
11 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan
mulut.
1





















12 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

BAB III: LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama: Ny. Lusiana L
Usia: 24 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Agama: Islam
Status perkahwinan: Menikah
Suku bangsa: Jawa
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Pendidikan: -
Alamat: Gudang bandung,Jakarta barat
II. ANAMNESA
Diambil secara: auto anamnesa dari pasien pada 24 Juli 2014 jam 10.00 pagi di Poli THT
BPJS RS Tarakan.
Keluhan utama: sakit tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu
Keluhan tambahan: batuk berdahak warna putih, demam sejak sakit tenggorokan dan
sulit untuk menelan makanan dan mengorok saat tidur.
riwayat penyakit sekarang:
os datang ke poli THT RS Tarakan dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 1 minggu
yang lalu. Sakit tenggorokan disertai dengan batuk berdahak berwarna putih, sulit untuk
menelan dan agak sulit untuk bernapas. Os diberitahu suami yang dia sering mengorok
saat lagi tidur. OS mengaku keadaan seperti ini sering kambuh dan sudah dialami OS
sejak usia 4 tahun dan tidak pernah sembuh. Keluhan ini sering kambuh jika pasien
makan makanan yang dingin ataupun makanan yang berminyak. Os juga mengaku sering
mengalami demam dengan disertai dendritus (warna putih seperti nasi) yang melekat di
dinding tonsil.
13 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Selaian itu,OS juga mengaku dia sering pilek terutama pada waktu pagi yang dipicu
dengan cuaca dingin. Mata os akan berasa gatal dengan secret yang keluar daripada
hidung berwarna jernih. Os juga mengaku hidung sering tersumbat di kedua sisi atau
sebelah sisi.
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada kerana keluhan pasien ini yang sering kambuh.
Riwayat penyakit keluarga
Di dalam keluarga pasien, ibu pasien mempunyai rhinitis alergi. Riwayat penyakit paru,
hipertensi dan diabetes mellitus disangkal pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Status presens
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesedaran: compos mentis
Status gizi: cukup
Nadi: 84x/ menit
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Suhu: 36,5
o
C
Frekuensi pernafasan: 22x/ menit
Kepala dan leher
Kepala: normosefali
Wajah: simetris
Leher anterior: KGB tidak teraba membesar
Leher posterior: KGB tidak teraba membesar
Lain-lain: pembesaran kelenjar tiroid (-)
14 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

TELINGA
KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normal Normal
Kelaianan congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan daun telinga Tidak ada Tidak ada
Kelainan pre, infra,
retroaurikuler
Abses (-), hiperemis (-),
nyeri tekan (-), benjolan (-)
Abses (-), hiperemis (-),
nyeri tekan (-), benjolan (-)
Region mastoid Abses (-), nyeri tekan (-) Abses (-), nyeri tekan (-)
Liang telinga Lapang, furunkel (-),
jaringan granulasi (-),
serumen (-), secret (-)
Lapang, furunkel (-),
jaringan granulasi (-),
serumen (-), secret (-)
Membrane timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
cone of light (+)


TES PENALA
KANAN KIRI
RINNE Positif Positif
WEBER Sama dirasakan kanan dan
kiri
Sama dirasakan kanan dan
kiri
SWABACH Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

HIDUNG



15 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-)
Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (+),
massa berwara putih mengkilat
(-).
Mukosa normal, sekret (+)
berwarna bening, massa
berwara putih mengkilat (-).
Konka nasi inferior Edema (+), warna livid,mukosa
hiperemi (-)
Edema (+), warna livid,mukosa
hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
RHINOPHARYNX
Koana: tidak dilakukan
Septum nasi posterior: tidak dilakukan
Muara tuba eustachius: tidak dilakukan
Tuba eustachius: tidak dilakukan
Torus tubarius : tidak dilakukan
Post nasal drip: tidak dilakukan
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Sinus frontalis kanan:
Sinus frontalis kiri
Sinus maksilaris kanan
Sinus maksilaris kiri:
TENGGOROK
16 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

FARING
Dinding faring:hiperemis (+), granul (-), post nasal drip (-)
Arcus : hiperemis (+)
Tonsil: T
3
-T
3
, hiperemis (+), kripta melebar(+) kanan dan kiri, dendrites (+) kanan dan kiri
Uvula: berada di garis tengah, hiperemis (-), udem (-)
Gigi: gigi bolong di geraham bawah kanan
LARING:
Epiglotis: tidak dilakukan
Plica aryepiglotis: tidak dilakukan
Arytenoids: tidak dilakukan
Ventricular band: tidak dilakukan
Pita suara: tidak dilakukan
Rima glotidis: tidak dilakukan
Cincin trakea: tidak dilakukan
Sinus piriformis: tidak dilakukan
Kalenjar limfe submandibula dan cervical: tidak membesar
RESUME
Dari anamnesa, didapatkan keluhan seperti nyeri tenggorakan, batuk dengan dahak berwarna
putih, sulit menelan (disfagia) dan sulit bernafas (apneu) jika amandel membesar. Amandel
sering membesar dengan disertai demam dan warna putih (dendrite) di celah kripta tonsil.
Pasien mengaku dia sering mengorok saat tidur. Selain dari amandel yang membesar, pasien
sering pilek terutama pada waktu pagi dan suhu dingin. Hidung berasa gatal dan mudah
tersumbat.
Dari pemeriksaan didapatkan:
17 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Hidung:
Konka inferior berwarna livid (ungu), edema (+) dengan secret encer di konka inferior dan
meatus inferior kanan dan kiri.
Tenggorok:
Didapatkan dinding posterior faring hiperemis, tonsil membesar T
3
-T
3.
Tidak ada post nasal
drip. Arcus faring terlihat hiperemis.
Didapatkan juga gigi berlubang di geraham kanan bawah.
WORKING DIAGNOSIS
Pharyngo tonsillitis kronis eksakerbasi akut dengan rhinitis alergi.
DIAGNOSA BANDING
Tumor tonsil
Abses peritonsilar
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kultur swab tenggorokan
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
PENATALAKSANAAN
Medika-mentosa
1. Antihistamin
Antihistamin oral merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja histamine
dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamine. Generasi
antihistamin H
1
antara lain adalah loratadin, terfenadin dan astemizol.
2. Dekongestan
Dekongestan merupakan agen simpatomatik yang bertindak pada reseptor dalam
mukosa nasal yang menyebabkan pembuluh darah mengecil. Selain itu juga dapat
18 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

mengurangi pembengkakan mukosa hidung dan melegakan pernafasan. Dekongestan
apabila dikombinasi dengan antihistamin sangat efektif melegakan tanda-tanda
rhinitis terutama bila hidung tersumbat. Obat dekongestan yang biasa digunakan
antara lain pseudoefedrin dan efedrin. Obat dekongestan dapat diberikan secara
tunggal atau kombinasi dengan antihistamin H1 lokal atau peroral. Contohnya obat
Rhinofed.
3. Antibiotic
Yang dapat digunakan adalah cefadroxil yaitu antibiotic golongan sefalosporin
generasi 1. Cefadroxil kapsul 500mg 3x1 selama 5 hari.
4. Antiseptic kumur
Dapat diberikan betadine kumur 100ml untuk antiseptic rongga mulut untuk
membersihkan rongga mulut dari kuman
5. Mukolitik
Diberikan ambroxol 3x30 mg. ambroxol adalah sejenis mukolitik yang dapat
mengencerkan mucus yang pekat.

Non medika-mentosa
Tonsilektomi
Dianjurkan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan
neoplasma.
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995:
1
Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan pertumbuhan
orofasial.
Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan gangguan
berbicara, dan cor pulmonale.
Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan.
19 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

Napas yang berbau
Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus B hemoliticus.
Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
Otitis media efusa/ otitis media supuratif.
Kontraindikasi untuk tonsilektomi bila ada beberapa criteria dibawah, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang
manfaat dan resiko. Criteria tersebut adalah:
1
Infeksi saluran napas atas yang berulang
Infeksi kronis atau sistemis
Demam yang tidak tahu asalnya
Pembesaran tonsil dengan tanpa gejala obstruktif
Rhinitis alergi
Asma
Tonus otot lemah
Sinusitis











20 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

BAB III:PEMBAHASAN

Keluhan nyeri tenggorokan serta nyeri saat menelan menunjukkan adanya kelainan atau
proses peradangan didaerah sekitar tenggorokan (nasofaring, orofaring, atau laringofaring).
Pada pasien ini setelah dilakukan pemeriksaan pada tenggorokan didapatkan pembesaran
tonsil yaitu T3-T3, kemudian tampak tonsil hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus, arkus
anterior dan posterior hiperemi, selain itu tampak bagian dinding posterior faring serta
palatum durum mengalami hiperemis. Hal ini mengarahkan diagnosa pada tonsilofaringitis
karena didapatkan kelainan pada bagian tonsil dan faring pasien. Keluhan lain yang
ditemukan pada pasien yaitu adanya rasa mengganjal ditenggorokannya, kemungkinan hal ini
terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh pembesaran tonsil akibat peradangan berulang.
Pasien ini juga mengaku dia sering mengorok saat lagi tidur yang turut menggambarkan
adanya gejala obstruksi dari tonsil yang membesar.
Melihat dari riwayat pasien yang pernah mengalami keluhan serupa sejak dulu (umur
4 tahun), dan ukuran tonsil yang mencapai T3-T3 dengan pelebaran kripta serta adanya
detritus menunjukkan bahwa peradangan ini sering berulang sehingga menjadi kronik dan
kini mengalami serangan akut.
Pasien juga mengeluhkan adanya bersin dan pilek berulang, serta rasa gatal dan panas
diarea hidung dan mata yang dialami pasien setiap terpapar debu, dingin, serta setiap pagi dan
malam hari. Dilihat dari gejala yang dikeluhakan pasien diagnosa yang mungkin pada pasien
ini ialah rinitis alergi, karena didapatkan gejala-gejala seseorang yang mengalami alergi
setelah mengalami paparan dengan alergen tertentu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
konka inferior kanan dan kiri yang berwarna livid dan udem menunjukkan adanya proses
alergi pada hidung pasien.
Terapi yang diberikan pada pasien ini ialah antibiotik cefadroxil selama 10-14 hari
yang merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama, hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada tonsilitis kronis yang biasanya terjadi karena terapi yang tidak
adekuat, sehingga cefadroksil dipilih karena memiliki aktivitas kerja terhadap beberapa
bakteri penyebab tonsilofaringitis selain itu efektif terhadap bakteri penghasil penisilinase.
Pasien juga diberikan obat mukolitik untuk membantu pengeluaran dahak. Untuk rinitis alergi,
diberikan terapi berupa cetrizin yaitu obat AH-1 generasi 2 yang tidak menyebabkan kantuk
21 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

pada pasien yang merupakan pelajar sehingga tidak mengganggu waktu bekerja pasien.
Pasien juga direncanakan untuk terapi pembedahan yaitu tonsilektomi karena sering
mengalami serangan akut yang berulang, selain itu pada pasien juga didapatkan rinitis alergi
yang sering menyebabkan adanya sumbatan jalan napas sehingga dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya eksaserbasi dari faringitis kronis. Namun, rhinitis alergi pasien harus
diobati sebelum dilakukan tonsilektomi.


















22 | F K U K R I D A D e p a r t m e n T H T t a r a k a n

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Efiaty A. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar
Telinga, Hidung dan Tenggorok. Edisi 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-255.
2. Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at :
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kroni
k (Accessed : August 1
th
2014).
3. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam
Malik Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : August 1
th
2014).
4. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus,
dan Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT
Edisi Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

5. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic
Otorhinolaryngology. New York. Thieme, 2006: p. 119

You might also like