You are on page 1of 44

Warta Sains Dan Teknologi

Institute for Science and Technology Studies


Chapter J apan
ISSN 1344-0748

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
1



Daftar ISI




M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (1 1) ): :
M Mi im mp pi i d da an n G Go ol l A Ak kh hi ir rn ny ya a ............................................................ 3
M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (2 2) ): :
S St ta at tu us sn ny ya a S Sa aa at t I I n ni i d da an n P Pr ro os sp pe ek k M Ma as sa a D De ep pa an n .................................... 7





M Me en ng gg ga ap pa ai i E En ne er rg gi i M Ma at ta ah ha ar ri i .......................................................... 12





P Ph ho ot to ov vo ol lt ta ai ic c P Po ow we er r S Sy ys st te em m: : H Ha ar ra ap pa an n d da an n K Ke en ny ya at ta aa an n ...................... 16
S Sa am mp pa ah h K Ko ot ta a S Se eb ba ag ga ai i E En ne er rg gi i A Al lt te er rn na at ti if f .......................................... 23
P Pe en ni in ng gk ka at ta an n E Ef fi is si ie en ns si i P Pe em mb ba an ng gk ki it t L Li is st tr ri ik k B Ba ah ha an n B Ba ak ka ar r S Sa am mp pa ah h ....... 29
H Hu uk ku um m T Te er rm mo od di in na am mi ik ka a, , E Ek ks se er rg gi i d da an n K Ke eb bi ij ja ak ka an n E En ne er rg gi i .................... 35
Prospek Energi Masa Depan ......................................................... 40




DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
2







































Kata Pengantar


ak terasa kawasan sub-tropik bumi belahan utara,
termasuk Jepang, akan segera memasuki musim panas
tahun 2001.Suhu mulai meninggi dan udara mulai lembab.
Di Jepang, sebelum memasuki musim panas, natsu no
kisetsu, ada musim peralihan yang disebut tsuyu. Selama
masa ini, keadaan cuaca tidak menentu, kadang cerah tapi
lebih banyak berawan dan hujan. Banyak orang yang
mengeluh karena setumpuk pekerjaan yang tidak beres
ketika musim peralihan ini tiba, disebabkan sifatnya yang
unpredictable. Tetapi sekali lagi, alam mengajari kita
petuah klasik. "Pergunakanlah masa sehatmu sebelum
datang masa sakitmu." Manfaatkanlah waktu luang,
sebelum datang kesibukan.
Dalam edisi kali ini, DIMENSI membawakan tema
seputar energi terbaharu dan penggunaan energi secara
efisien. Sebagaimana kita maklumi bersama, sejak revolusi
industri Inggris abad 18 kebutuhan manusia akan energi
meningkat sangat pesat, sebagian ahli mengatakan secara
eksponensial, dan sekarang kita dihadapkan pada suatu
dilema baru:krisis bahan bakar dan krisis lingkungan.
Masalah yang tak kalah pelik adalah isu lingkungan.
Satu efek samping penggunaan bahan bakar fosil secara
massive adalah laju pertambahan konsentrasi CO2 dalam
atmosfer bumi yang melebihi kemampuan daur ulang
alami bumi. Belum lagi efek samping lainnya seperti
pertambahan nitrat dan sulfur di udara bebas yang
mengakibatkan hujan asam. Para ahli memperkirakan
bahwa apabila tidak dilakukan sesuatu berkaitan dengan
dua krisis ini (bahan bakar dan lingkungan) maka manusia
sebenarnya telah melukis masa depan yang suram bagi
anak cucunya sendiri. Berbicara tentang tabiat alam yang
sering memberikan pesan-pesan berharga kepada
manusia lewat berbagai fenomena, sebenarnya manusia
industri modern tengah mengkhianati alam sekaligus
mengkhianati penciptanya. Bahkan bisa jadi suatu saat
"pesan-pesan alam" tak akan mampu lagi kita tangkap
disebabkan kerusakan yang kita akibatkan sendiri.
Dalam edisi kali ini DIMENSI menampilkan tulisan
mengenai pemanfaatan secara maksimal energi matahari
melalui Photovoltaic Power System, juga ada tulisan yang
membahas prospek energi masa depan dan tulisan
tentang kebijakan energi di Jepang. Tak kalah menariknya,
pembahasan mengenai salah satu prototipe system
energy masa depan: pembangkit listrik bahan bakar
sampah. Juga kami tampilkan pengenalan nanoteknologi
sebagai salah satu teknologi masa depan. Dan jangan
lewatkan, laporan dari salah satu ilmuwan ISTECS yang
mengikuti seminar tentang energi terbaharukan di
Amerika beberapa waktu yang lalu yang dituangkan
dalam tulisan berjudul,"Menggapai Energy Matahari".
Demikianlah hasil kerja kru DIMENSI kali ini, kami
ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
membantu terbitnya edisi ini,terutama sekali kepada para
penulis dan tim layout. Mudah-mudahan DIMENSI bisa
memberikan suatu pencerahan dan manfaat bagi siapa
saja yang membacanya.




Warta Sains Dan Teknologi


Penerbit
Institute for Science and Technology Studies
(ISTECS)


Penanggung Jawab
Direktur ISTECS Chapter Japan


Editor
Agus Fanar Syukri
Agus Haryono
Anto Tri Sugiarto
Arman Wijonarko
Azhari Sastranegara
Iko Pramudiono
Romi Satria Wahono
Sri Harjanto


Redaksi Pelaksana
Azhari Sastranegara (Ketua Redaksi)
Agus Fanar Syukri
Amien Rusdiutomo
Anto Tri Sugiarto
Arman Wijonarko
Hendro Subagyo
Iko Pramudiono
Romi Satria Wahono


Desain dan Layout
Romi Satria Wahono
Azhari Sastranegara





Copyright 2000
ISTECS Chapter Japan

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
3
M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, ,
T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (1 1) ): :
M Mi im mp pi i d da an n G Go ol l A Ak kh hi ir rn ny ya a


Dedy Hermawan Bagus Wicaksono
Dept. of Biological Information, Tokyo Institute of Technology
Email: dedy@bio.titech.ac.jp

Bagian satu dari dua tulisan tentang nanoteknologi ini akan mengulas apa
sebenarnya nanoteknologi molekular, dan mengapa nanoteknologi secara umum
mendapatkan perhatian yang besar akhir-akhir ini, khususnya di negara maju.
Sedikit sejarah berkembangnya nanoteknologi molekular juga akan diceritakan
secara singkat. Begitu pula keunggulan serta keuntungan yang dijanjikannya
dibandingkan teknologi konvensional saat ini. Akan diungkapkan pula sedikit
perbedaan nanoteknologi molekular dengan nanoteknologi konvensional.


Pendahuluan

etiap orang yang mengikuti perkembangan
berita, khususnya di bidang iptek, pasti tidak
asing lagi dengan kata-kata nanoteknologi.
Apalagi, setelah Presiden Amerika Serikat
mencanangkan National Nanotechnology
Initiative di tahun 2000 yang lalu [1],
nanoteknologi pun menjadi makin terkenal.
Sebenarnya apa itu nanoteknologi, dan apa yang
membuatnya berbeda dengan teknologi yang telah
ada? Atau memang betul berbeda, atau hanyalah
merek dagang baru atas teknologi-teknologi lama?
Tulisan yang terdiri atas dua bagian ini mencoba
membahas gembar-gembor nanoteknologi ini. Apa
yang sebenarnya diimpikan orang dengan
nanotek-nologi, dan bagaimanakah realita yang telah
dicapai orang dalam mengejar impian nanoteknologi
ter-sebut.

Makna dan Sejarah Bangkitnya
Nanoteknologi
Sesuai dengan namanya, nanoteknologi atau
nanosains adalah ilmu pengetahuan dan teknologi
pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter.
Kalau ditanya tentang skala ukuran, maka yang bia-sa
bekerja pada skala ini adalah para biolog atau
bi-oteknolog yang banyak mengutak-atik biomolekul.
Pada ukuran yang lebih kecil, para kimiawan biasa
bekerja pada skala beberapa angstrom hingga
bebe-rapa nanometer, yaitu ketika mereka berhadapan
dengan unsur atau senyawa kimia, dan
mereaksi-kannya satu sama lain. Sementara itu,
fisikawan partikel bekerja pada ruang lingkup yang
lebih kecil lagi, ketika mereka berusaha menghitung
reaksi-re-aksi subpartikel, atau mengamatinya di
pusat-pusat eksperimen subpartikel atau fisika energi
tinggi. Pa-da ruang lingkup yang lebih besar dari
nanometer, para insinyur material bekerja pada skala
beberapa ratus nm hingga beberapa puluh m
(mikrostruk-tur). Demikian pula insinyur elektronik
bekerja pa-da skala submikrometer hingga cm.

Lalu, mengapa nano? Mengapa tidak yang lebih kecil,
angstrom? Menurut pemahaman penulis, justru pada
level nanometer inilah, orang (baca ma-nusia) belum
bisa melakukan rekayasa secara mak-simal. Pada level
makro, hingga submikrometer, pa-ra insinyur rekayasa
berhasil memanipulasi material untuk keperluan
tertentu. Dengan metode rekayasa top-down, orang
mengambil bahan baku dari alam,
memecah-mecahnya, mengukirnya, menjadi
kom-ponen-komponen, yang kemudian
disambung-sambung lagi, dilem, dilas, dan lain-lain
untuk menghasilkan produk rekayasa tertentu.
Demikianlah, kebanyakan produk-produk yang ada di
sekitar kita dibuat. Pendekatan rekayasa konvensional
yang telah berumur lama seperti ini, sebetulnya tidak
efi-sien karena selalu ada limbah yang dihasilkan.
Tapi, memang, hasilnya telah nyata di hadapan kita,
pro-duk-produk dengan kecermatan yang dapat diatur
dan bermutu tunggi, seperti misalnya
rangkaian-rangkaian elektronik terpadu. Ketelitian
yang tinggi ini harus ditebus pula dengan besarnya
energi yang diperlukan untuk merekayasa suatu sistem.
Semakin kecil sistem yang ingin dibuat, semakin
besar pera-latan yang dibutuhkan, dan semakin mahal.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
4
About The Aut hor About The Aut hor About The Aut hor About The Aut hor
Dedy Hermawan Bagus Wicaksono dilahirkan di Surabaya, 20 Agustus
1974. Pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Atas ditempuhnya di
Surabaya. Setelah menamatkan pendidikan S1nya dari Institut
Teknologi Bandung, jurusan Teknik Fisika di tahun 1998, pergi ke
Jepang untuk belajar bahasa dan melanjutkan sekolahnya. Saat ini,
penulis tercatat sebagai mahasiswa S2 di Dept. of Biological
Information, Tokyo Inst. Of Technology, di bawah supervisi Prof. M.
Aizawa, dan Prof. E. Kobatake. Minat risetnya adalah biosensor dan
bionanoteknologi molekular. Penulis juga mengasuh mailing list
nanotek-Ina@egroups.com, suatu milis untuk diskusi tentang
nanoteknologi Indonesia
Kecen-derungannya memang miniaturisasi, seperti
yang terlihat di dunia mikroelektronika. Pada Silicon
Technology Roadmap [2] teknik photolitography
a-kan digenjot untuk menghasilkan memori dengan
jarak antar gatenya tidak lebih dari 70nm, paling
lambat tahun 2010.

Sementara itu pada level nanometer, hingga angstrom,
para kimiawan telah bekerja mereaksikan unsur atau
senyawa kimia dengan sebagian besar mengandalkan
ikatan kovalen dan atau ikatan ionik. Pada level ini,
boleh dikatakan, kimiawan dengan mengandalkan
reaksi kimia yang random dalam su-atu pelarut,
berhasil membuat berbagai molekul dengan berbagai
struktur, yang secara termokimia memiliki kestabilan
energi. Justru, tantangan sinte-sis kimia adalah
membuat molekul sintetik yang le-bih besar dengan
struktur yang bisa didesain ab ini-tio. Muncullah apa
yang disebut kimia supramole-kul atau kimia
makromolekul. Pencapaiannya yang telah sering
diketahui umum adalah polimer, suatu senyawa kimia
raksasa yang terbentuk dari kompo-nen molekul
monomer yang bersambung satu sama lain dengan
ikatan kovalen dan atau ikatan ionik. Berbeda dengan
pendekatan top-down ilmu rekaya-sa, kimia
mengandalkan jalur-jalur perubahan yang diprediksi
stabil secara termodinamis, untuk mem-bangun
produk yang lebih besar. Energi dari luar ti-daklah
telalu besar. Konsekuensinya, hasil struktur molekul
yang dihasilkan tidak dapat dikontrol pe-nuh, dalam
arti berlangsung secara acak dalam la-rutan.

Sementara itu, bioteknolog biasanya hanya
menggunakan bahan biomolekul yang ada pada a-lam,
yang berdimensi
nanometer. Tapi,
baik
biotek-nolog
maupun
kimiawan belum
bisa sepenuhnya
meniru
mekanisme kerja
sistem
biomolekul ini.
De-mikianlah,
nanoteknologi,
khususnya
nanoteknologi
molekular
memiliki bidang garapan di antara kimia konvensional
dengan rekayasa tradisional. Nanotek-nologi, berbeda
dengan pendekatan top-down reka-yasa konvensional,
bertumpu pada paradigma bot-tom-up. Tetapi, berbeda
dengan ilmu kimia biasa, nanoteknologi bertujuan
melakukan manufaktur pa-da level
molekular/nanometer ini dengan kontrol, dan tidak
semata-mata acak. Dengan demikian, di-harapkan
struktur-struktur yang sebelumnya tidak bisa didapat
dengan metode konvensional, dapat di-realisasikan
dengan nanoteknologi. Lebih dari itu, mesin-mesin
berukuran nanometer yang meniru prinsip kerja
mesin-mesin alami biomolekul pada makhluk hidup
pun, dapat dibuat.

Dalam menjelaskan konsep nanoteknologi, o-rang
sering mengutip pernyataan seorang fisikawan nobelis
terkenal. Richard Feynman. Pada tahun 1959,
Feynman dalam ceramahnya yang berjudul There is
plenty room at the bottom[3], me-ngemukakan
bahwa, seorang fisikawan mampu membuat senyawa
dengan struktur apa pun yang di-inginkan seorang
kimiawan, dengan cara menyusun atom-atom yang
diperlukan, dan merangkainya ber-dasarkan hukum
fisika untuk membentuk senyawa baru tersebut.
Pendekatan seperti inilah yang dise-but pendekatan
rekayasa bottom-up, dan merupakan salah satu
paradigma utama nanoteknologi moleku-lar. Karena
itu nanoteknologi molekular disebut pu-la molecular
manufacturing, karena berusaha mem-bangun suatu
produk atom demi atom, atau molekul demi molekul.

Keunggulan Nanoteknologi Molekular
Dengan pendekatan baru dalam perekayasaan produk
yang ditawarkan nanoteknologi molekular, beberapa
keunggulan pun didapatkan. Yang pertama adalah
presisi produk hingga tingkat molekular atau bahkan
atomik. Produk-produk yang dibuat dengan
pendekatan top-down seringkali memiliki cacat atau
defect. Pada molecular manufacturing, produk dibuat
dengan menyusun atom-atom atau
molekul-molekul-nya dengan penuh kontrol, sehingga
produk tanpa cacat pun bisa dibuat. Sebagai ilustrasi
aplikasinya, ambillah contoh bodi pesawat. Bodi
pesawat yang ada saat ini dibuat dengan
rekayasa top-down. Un-tuk
memperoleh kekuatan,
seringkali dibutuhkan
bahan yang lebih berat,
akibatnya rasio akhir
strength/mass tetap
kecil. Dengan
nanoteknologi,
struktur yang tanpa
cacat dapat dibuat,
dan dengan
menggunakan atom C
yang disusun dengan struktur
diamondoid, material pesawat yang
ringan tapi kuat pun dapat diperoleh.
Keunggulan kedua nanoteknologi (jika idealnya
tercapai) adalah tidak adanya a-tau sedikitnya limbah
yang dihasilkan. Pada proses top-down, seringkali ada
sisa bahan yang terpaksa harus dibuang. Pada
nanoteknologi hal ini bisa di-hindari karena struktur
dibangun dari dasar, atom demi atom. Keunggulan
ketiga nanoteknologi mole-kular adalah hemat energi
dan tidak mencemarkan lingkungan. Sistem
nanoteknologi molekular nanti-nya bisa memakai

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
5
acetone atau CO
2
dari udara se-bagai bahan bakunya,
dan mengekstrak C sebagai atom utama yang
digunakan untuk membuat nano-struktur. Limbah
yang mungkin dihasilkan adalah H
2
O, air. Bandingkan
dengan mesin-mesin konven-sional yang juga
menghasilkan limbah-limbah bera-cun seperti CO,
dan gas NOx.

Tapi, sebetulnya, keunggulan utama nanoteknologi
molekular adalah kemampuannya untuk memanipulasi
material dengan fleksibel sesuai keinginan
desainernya. Fleksibilitas ini disebabkan o-leh
pengontrolan pada level molekul tadi. Suatu mesin
nanoteknologi molekular dapat diibaratkan seperti
komputer yang mengolah data dan informasi. Bedanya,
mesin nanoteknologi molekular mengolah bahan riil.
Sebagai ilustrasi fleksibilitas nanoteknologi molekular
adalah seperti yang terlihat di film fiksi ilmiah
Startrek. Awak Startrek dapat dengan mudah memesan
makanan apa saja pada komputer, dan dalam sekejap
tersedia. Struktur makanan telah tersimpan di
komputer, mesin sintesa yang mema-kai nanoteknolgi
molekular menyusun atom/molekul pembentuk
makanan berdasarkan informasi struktur tadi.

Nanoteknologi Alam
Sebetulnya sistem yang dicita-citakan nano-teknologi
tersebut telah ada pada alam, yaitu Sel makhluk hidup.
Sel merupakan suatu pabrik yang rumit, dan
memiliki berbagai mesin-mesin skala na-no. Motor,
misalnya, telah terdapat dalam skala na-no berupa
Flagellar Motor bakteri. Atau microtubu-le yang
bagaikan conveyor pada skala makro. Demi-kian pula
ribosom, sebagai suatu pabrik yang merangkai
bahan baku asam amino menjadi mesin nano
protein atau enzim, berdasarkan program mRNA yang
disintesis dari hard disk sel, DNA.

Bagaimana gol nanoteknologi
Molekular Dicapai ?
Dengan meniru contoh yang diberikan sel, penggagas
Nanoteknologi molekular seperti Drexler, (karena itu
Nanoteknologi Molekular diebut pula Drexlerian
Nanotechnology) mengemukakan ide assembler [4].
Pada praktik idealnya, seperti juga ri-bosom,
assembler ini bertindak seperti tangan ro-bot pada
pabrik skala makro, yang menaruh atom /molekul
pada tempat yang diinginkan. Selanjutnya dengan
menggunakan assembler-assembler level awal yang
menyusun blok bangunan berupa atom,
assembler-assembler pada ukuran yang lebih besar
dibangun. Pada ukuran ini, blok bangunannya
mungkin bukan lagi atom, tapi blok atom atau
molekul. Kemudian assembler yang lebih besar
dibangun, dan seterusnya, hingga produk-produk biasa
berukuran makro dapat terbuat. Bedanya dengan
produk yang diproduksi dengan metode konvensional
adalah, produk nanoteknologi molekular ini lebih kuat,
prosesnya hemat energi, dan presisinya hingga level
atom.

Selain itu, seperti juga pada makhluk hidup,
assembler-assembler ini, khususnya assembler level
awal, dirancang agar memiliki kemampuan
swa-replikasi (self-replication). Sebab, assembler
level awal ini berukuran amat kecil, sehingga jika
masih harus dibuat dengan cara konvensional (misal
dengan teknik-teknik litografi), akan sangat sulit,
mahal, dan membutuhkan energi pembuatan yang
besar.

Untuk membuat assembler seperti itu, saat ini teknik
yang paling tepat adalah dengan menggunakan
instrumen Scanning Tunneling Microscopy (STM)
atau Atomic Force Microscopy (AFM).
Instrumen-instrumen ini memungkinkan analisis pada
level molekular, bahkan hingga atomik. Lebih dari itu,
penggunaan STM dan AFM untuk memanipulasi atom
dan molekul telah banyak pula dilaporkan ilmuwan
(baca tulisan kedua untuk detailnya).

Kendala Teknis
Gol nanoteknologi memang sungguh muluk, dan jika
benar-benar terwujud, tentu saja akan ba-nyak
mengubah sistem dan cara hidup manusia. Sekalipun
demikian, haruslah disadari bahwa kendala-kendala
teknis yang harus dihadapi untuk membuat sistem
molecular manufacturing seperti diterangkan di atas
sangatlah banyak. Beberapa di antaranya akan
disebutkan berikut ini.

Untuk bisa menyusun atom dan molekul menjadi
suatu bangunan dengan struktur tertentu, kemampuan
menarik dan melepas atom/molekul pada saat
yang tepat haruslah dimiliki. Pada STM, biasanya ini
dilakukan dengan mengubah besarnya arus
terowongan (tunneling current). Tapi, tentu saja itu
berarti penggunaannya masih terbatas pada
bahan-bahan yang dapat menghantarkan listrik (baca
elektron). Sementara itu AFM telah pula diguna-kan
untuk memanipulasi atom atau molekul, tetapi operasi
yang lebih rumit membutuhkan modifikasi pada tips
AFM yang dipakai. Masalah lain adalah bagaimana
mengontrol mesin dengan ukuran nano-meter seperti
assembler tersebut. Dibutuhkan teknik baru yang
membutuhkan riset baru untuk melakukan deteksi
gerakan, komputasi, dan aktuasi gerakan pada level
nanometer.

Masalah lain pada saat fabrikasi adalah keharusan
bersihnya lingkungan produksi dari
pengotor-pengotor. Untuk itu, biasanya sistem
manufaktur seperti ini harus dilakukan pada keadaaan
Ultra High Vaccuum. Belum lagi adanya masalah
panas yang membuat molekul bervibrasi, dan
menyulitkan kontrol posisionalnya. Artinya
pendinginan diperlukan.


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
6
Masalah lain yang disebutkan oleh Drexler pada
bukunya yang terkenal, Nanosystem, adalah
kemungkinan rusaknya ikatan antar atom akibat
ra-diasi kosmis, atau bentuk energi lainnya [4].
Sebetulnya masalah serupa pun dihadapi oleh sistem
alam (makhluk hidup), misalnya pada mutasi DNA
oleh sinar Ultraviolet. Tapi, pada makhluk hidup,
masalah ini diatasi dengan enzim-enzim repa-rasi.
Seandainya sistem reparasi serupa dapat pula ditiru
(suatu masalah khusus lagi yang membutuh-kan riset
bertahun-tahun), masalah kerusakan akibat radiasi
kosmis ini pun tidak perlu dikhawatirkan.

Sedikit tentang Dampak Sosial
Jelas, dengan pararadigma baru rekayasa yang
ditawarkan nanoteknologi molekular, rekaya-sa
dengan presisi molekular/atomik, akan banyak aspek
kehidupan kita yang dipengaruhinya. Dampak positif,
jelas, lingkungan yang lebih bersih dapat terwujud,
karena berkurangnya limbah, dan lebih hematnya
konsumsi energi untuk produksi. Belum lagi, dengan
peningkatan kualitas material, akan ba-nyak aspek
kehidupan kita yang lebih dipermudah dan
dipernyaman oleh nanoteknologi: penyimpanan data
besar dalam medium yang amat kecil, material
kendaraan yang tahan panas, ringan, dan kuat, dan
lain-lain.

Tak adakah dampak negatif? Nanoteknologi
menawarkan kontrol yang penuh atas material seperti
teknologi komputer telah mewujudkan kontrol atas
data dan informasi. Nanorobot yang tadinya
diperuntukkan untuk mendeteksi DNA kanker dan
memperbaikinya, dikhawatirkan sebagian orang justru
akan mengubah DNA induk semangnya, dan
merusaknya. Begitu pula nanite (robot nano yang
dapat swa-replikasi dan membentuk barang yang lebih
besar seperti di Star-Trek), dikhawatirkan dapat
berkembang biak tidak terkontrol, dan mengambil
alih peran manusia. Belum lagi isu-isu etika lainnya.

Kesimpulan Tulisan Pertama
Dari tulisan bagian pertama ini, setidaknya apa itu
nanoteknologi mudah-mudahan dapat dipaha-mi.
Demikian pula telah diterangkan secara singkat apa
keunggulannya, serta bagaimana usaha
mewu-judkannya. Kendala teknis, serta dampak sosial
nanoteknologi telah pula diterangkan secara singkat.
Pada tulisan kedua, akan diulas keadaan riil riset
nanoteknologi yang dilakukan dunia iptek saat ini, dan
bagaimana prospek risetnya dikaitkan dengan ideal
yang dijelaskan pada tulisan bagian pertama ini.

Daftar Referensi
1. http://www.nano.gov
2. http://www.cmc.ca/Events/Conferences/MRD98S
IA/
3. http://www.zyvex.com/nanotech/feynman.html
4. K.E. Drexler. Nanosystems: Molecular Machinery,
Manufacturing, and Computation. John Wiley
&Sons, Inc. 1992.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
7
M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, ,
T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (2 2) ): :
S St ta at tu us sn ny ya a S Sa aa at t I I n ni i d da an n P Pr ro os sp pe ek k M Ma as sa a
D De ep pa an n

Dedy Hermawan Bagus Wicaksono
Dept. of Biological Information, Tokyo Institute of Technology
Email: dedy@bio.titech.ac.jp

Setelah pada bagian pertama dari dua tulisan ini telah dibahas ideal dan gol nanoteknologi molekular, beserta usaha
pencapaian serta kendala-kendalanya, maka pada bagian kedua ini akan dilaporkan perkembangan terakhir riset
nanoteknologi molekular. Uraian tentangstatus akhir riset nanoteknologi ini akan dikaitkan dengan bidang-bidangiptek
yangmempengaruhi dan atau dipengaruhi nanoteknologi. Pada bagian akhir tulisan ini, selanjutnya dibahas bagaimana
prospek riset-riset tersebut dalammencapai tujuan dan ideal nanoteknologi molekular yangtelah diuraikan di bagian
pertama tulisan ini.


Pengantar
etelah pada bagian pertama ideal dan tujuan
nanoteknologi diulas secara singkat, pada
bagian kedua ini, akan dijelaskan riset-riset
yang telah dilakukan orang untuk mencapai
ideal nanoteknologi molekular tersebut.

Seperti telah dijelaskan pada tulisan pertama, tujuan
akhir yang hendak dicapai oleh nanoteknologi
molekular atau manufaktur molekular amatlah sulit
dan memiliki kendala-kendala yang belum bisa
dipecahkan penuh dengan perkembangan iptek
manusia saat ini. Sekalipun tujuan akhir
nanoteknologi molekular untuk merekayasa produk
(baik nano, mikro, maupun makro) dengan presisi
molekular /atomik belum tercapai, yang jelas riset
nanoteknologi saat ini telah memberikan pengaruh
nyata pada pengembangan cabang-cabang sains dan
teknologi tradisional. Beberapa bidang iptek yang
dipengaruhi atau mempengaruhi perkembangan
nanoteknologi molekular antara lain elektronika
molekular, rekayasa molekular biomolekul,
scanning probe microscopy, kimia supramolekul
dan swa-rakit (self-assembly), ilmu dan rekayasa
material, mekanosintesis, mesin molekular alami,
mesin molekular buatan, sistem swa-replikasi
buatan, kimia komputasi dan pemodelan molekular,
ilmu komputer, rekayasa mekanik dan robotik, serta
ilmu-ilmu tentang sistem kimia yang relevan pada
skala nanometer (seperti fulleren, intan/diamond,
biomolekul, dll.).

Berikut ini akan diuraikan secara singkat kontribusi
riset nanoteknologi pada bidang-bidang di atas, atau
sebaliknya, kontribusi bidang-bidang di atas pada
pengembangan nanoteknologi.

Molecular Electronics
Molecular electronics adalah teknologi elektronika
yang menggunakan bahan-bahan organik (organic
soft material), sebagai komponen-komponennya,
bukan dengan bahan-bahan semikonduktor
inorganik (hard material). Penghargaan Nobel
bidang kimia tahun 2000 yang lalu diberikan
kepada para perintis bidang ini yang telah berjasa
menemukan conductive polymer dari bahan
polyacetylene [1]. Dibandingkan dengan
elektronika berbasis bahan inorganik, elektronika
molekular memiliki keunggulan antara lain
diproduksi dengan wet chemistry, seperti
metode-metode kimia lainnya, yaitu dengan reaksi
dalam pelarut, dan dapat dilakukan pada suhu dan
variabel lingkungan yang tidak terlalu ekstrim.
Bandingkan dengan proses semikonduktor
inorganik yang seringkali membutuhkan proses
khusus, dengan temperatur tinggi, atau keadaan
ultra vakum. Di samping itu, keunggulan lainnya
adalah karena diproduksi dengan metode kimia
yang relatif lebih bottom-up dibandingkan
elektronika bahan inorganik,
komponen-komponennya dapat didesain dari awal,
dari bawah, yaitu dari atom atau molekul
pembentuknya, untuk mendapatkan physical
property yang diinginkan. Kemudian, karena pada
dasarnya yang menjadi komponen adalah molekul,
maka kemungkinan miniaturisasi hingga level

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
8
nanometer atau molekular dimungkinkan, yang jika
diaplikasikan pada rekayasa prosesor komputer
akan berpengaruh pada kecepatan proses, dan
kehematan energi. Hal seperti ini tidak bisa
dilakukan pada semikonduktor inorganik (seperti
Si), yang membawa sifat elektroniknya dalam
bentuk kristal, bukan molekular.

Beberapa contoh devais elektronik yang dibuat
dengan dari bahan organik untuk elektronika
molekular dapat dibaca lebih lanjut pada referensi
[2].

Biochemical Molecular Engineering
Seperti telah diungkap sedikit pada tulisan pertama,
sistem yang ada pada makhluk hidup adalah contoh
nyata realisasi nanoteknologi. Karena itu salah satu
cara mewujudkan nanoteknologi adalah dengan
meniru sistem yang ada pada makhluk hidup, atau
bahkan menggunakan mesin-mesin nano pada
makhluk hidup untuk keperluan rekayasa
nanoteknologi. Protein adalah salah satu
biomolekul yang telah sering dimanipulasi dan
direkayasa dengan teknik rekayasa genetika,
sehingga istilah protein engineering pun muncul [3].
Sayangnya, hingga saat ini protein engineering
masih terbatas pada modifikasi dari protein yang
ada di alam. Metode untuk rekayasa protein ab
initio dengan komputer tengah dikembangkan orang
[4], sekalipun masih terbatas pada oligopeptida,
yaitu rangkaian beberapa hingga puluhan asam
amino (protein alami memiliki puluhan hingga
ratusan rantai asam amino).. Selain itu, peptida
yang dapat mengenali dan terikat ke permukaan
berbagai jenis semikonduktor telah pula dibuat
orang dengan teknik evolusi buatan [5].

Selain itu, DNA telah pula direkayasa sebagai salah
satu andalan di nanobioteknologi. Penjepit
molekular (molecular tweezer) dari molekul DNA
telah pula dilaporkan [6] Dengan menambahkan
pasangan molekul DNA yang sesuai (yang dapat
berikatan menurut aturan Watson-Crick, Adenin
berikatan dengan Thymin, dan Cytosin berikatan
dengan Guanin), penjepit berbahan DNA ini dapat
dibuat bergerak. Selain itu, dengan bantuan DNA
yang memiliki sifat unik tersebut, swa-rakit dari
nanokristal dapat diarahkan untuk membentuk
konfigurasi tertentu [7]. Riset sejenis dengan
menggunakan streptavidin dan biotin (protein) juga
dilaporkan oleh kelompok Fitzmaurice [8].
Sementara itu, penggunaan DNA sebagai kawat
molekular yang dapat menghantarkan elektron juga
diteliti para ilmuwan [9]. Aplikasi lain molekul
DNA adalah sebagai alat komputasi, dengan
munculnya apa yang disebut komputasi DNA [10].

Sementara itu, penggunaan instrumen atau
perangkat hasil nanoteknologi sendiri untuk
meneliti biomolekul banyak pula dilakukan orang,
misalnya dengan menggunakan AFM, STM, atau
SNOM (Scanning Near Field Microscopy) [11].

Scanning Probe Microscopy (SPM)
Instrumen yang termasuk dalam mikroskopi ini
adalah AFM, STM, dan SNOM. Ketiganya telah
sering digunakan para ilmuwan untuk mengamati
atom dan molekul atau nanostruktur. Namun dalam
kaitannya dengan manufaktur molekular, ketiga
instrumen ini dapat pula digunakan untuk
memanipulasi atom, molekul dan material untuk
membuat nanostruktur.

Sebagai contoh, AFM telah digunakan untuk
membentuk nanostruktur dari Self-Assembled
Monolayers alkanethiol di atas permukaan substrat
emas, menggunakan teknik yang disebut dip-pen
nanolitography [12]. Disebut dip-pen karena prinsip
kerjanya yang mirip pena yang dicelupkan ke dalam
tinta, lalu digunakan untuk menulis.

Selain itu, STM telah pula digunakan untuk
memodifikasi nanostruktur pada permukaan Silicon
[13], dan mengontrol reaksi kimia pada suatu
molekul secara selektif dan terlokalisasi. [14].

Supramolecular Chemistry
Dari cabang sains yang satu ini, banyak sekali
metode yang dapat dan telah diterapkan untuk riset
nanoteknologi. Sebagai contoh, teknik untuk
membuat nanostruktur berdasarkan prinsip
swa-rakit (self-assembly) telah dipelopori oleh
kelompok Whitesides dari Harvard University [15].
Prinsip mereka dinamai soft-lithography, karena
menggunakan metode kimia-basah untuk membuat
pola nanostruktur. Teknologi konvensional biasanya
memakai photolitography yang menggunakan mask
dan penyinaran pada panjang gelombang tertentu.
Metode yang dikembangkan Whitesides
menggunakan stempel berbahan PDMS
(Polydimethylsiloxane, sejenis polimer).

Sains dan Rekayasa Material
Paradigma rekayasa material setidaknya telah
mengubah cara desain material, tidak lagi
berdasarkan coba-coba melulu, melainkan mulai
menerapkan pula rekayasa kuantum dengan
simulasi komputer, lalu membangun atom demi
atom, kristal demi kristal, dan seterusnya. Metode
eksperimen yang dipakai untuk membangun
nanostruktur atom demi atom adalah Molecular
Beam Epitaxy (MBE). Sayangnya, metode ini baru
memungkinkan kontrol 2 dimensi, dan belum

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
9

Gambar 1. Differential Gear, dibuat dari ribuan
atom C,N, H, O, Si, P.
(Courtesy of Institute of Molecular Manufacturing,
Copyright IMM, http://www.imm.org)

kontrol 3 dimensi.

Mekanosintesis
Bidang inilah yang sebetulnya ingn dituju oleh
molecular manufacturing. Mekano sintesis berarti
pendekatan mekanik pada dunia molekul. Jika ingat
tangan-tangan robot yang ada di pabrik-pabrik
mobil Jepang, maka seperti itulah pendekatan
mekanosintesis, hanya saja pada level yang jauh
lebih kecil. Tangan robot nano seperti itulah yang
akan menjadi assembler seperti yang dijelaskan di
tulisan pertama. Ujung tangan robot direkayasa agar
dapat menarik dan melepas atom atau molekul
yang digunakan sebagai bahan bangunan dunia
nano. Sayangnya alat seperti itu masih belum ada,
dan saat ini pendekatan mekanosintesis masih
menggukan teknik SPM [14], yang sebenarnya
masih termasuk instrumen dunia makro.

Mesin Molekular Alami dan Buatan
Maksud bidang ini adalah membuat padanan dari
mesin/alat mekanik dunia makro, pada dunia nano
atau level molekular. Sebagai contoh motor dari
biomolekul, tepatnya F1-ATPase, telah dilaporkan
digunakan untuk menggerakkan nanopropeller dari
bahan Ni [16]. Sementara itu nanomotor buatan dari
bahan organik telah pula dilaporkan [17], dan
nanomotor dari alloy inorganik pun telah mulai
diteliti [18].

Kimia Komputasi dan Pemodelan
Molekular
Sekalipun sebagian besar mesin nano yang
diinginkan belum terealisasi, secara teoretis,
mesin-mesin nano tersebut mungkin untuk dibuat.
Di sinilah, komputasi berperan untuk menghitung
secara termodinamika atau dinamika molekular,
seberapa mungkin suatu nanostruktur dapat
dibangun. Salah satu contohnya adalah seperti yang
terlihat pada gambar . Simulasi komputer
digunakan untuk mendesain differential gear
nanometer.

Sistem Nanoteknologi lainnya
Selain sistem-sistem yang telah disebut di atas, ada
pula sistem lainnya yang terkait dengan
perkembangan nanoteknologi akhir-akhir ini.
Carbon Nanotube adalah salah satu di antaranya
[19], kemudian dendrimer [20], nanowire magnetik
untuk memory ultra-padat [21], dan lain-lain.

Prospek Masa Depan
Melihat apa yang telah dicapai para ilmuwan
dengan riset-riset nanoteknologinya dan
membandingkannya dengan ideal dan gol yang
ingin dicapai nanoteknologi molekular, seperti
yang diulas pada tulisan pertama, memang masih
jauh perjalanan yang harus ditempuh. Tapi,
perkembangan terbaru dalam mekanosintesis
dengan SPM [14], serta exponential self-assembly
memberi harapan bahwa bidang ini masih akan
terus berkembang. Memang nanoteknologi saat ini
adalah bagaikan teknologi informasi atau
bioteknologi ketika masih baru lahir sekitar 30
tahun yang lampau. Sekalipun demikian, hasil riset
nanoteknologi saat ini telah menghasilkan
peningkatan kualitas pada sistem-sistem
konvensional, seperti pada memori magnetik
ultra-padat [21], biosensor DNA yang sensitif
dengan nanokristal [7], dan nanotube [19].

Kesimpulan
Pada tulisan kedua ini, status pengembangan
nanoteknologi telah diulas. Sekalipun masih jauh
dari mimpi yang diulas pada tulisan pertama, yang
jelas, nanoteknologi telah diakui sebagai salah satu
tonggak teknologi abad ini, selain teknologi
informasi, dan bioteknologi. Nanoteknologi
menawarkan kontrol molekular atas material,
seperti teknologi informasi menawarkan kontrol
penuh atas data dan informasi, atau seperti
bioteknologi telah menwarkan rekayasa atas jasad
hidup. Dari uraian di dua tulisan ini nampak pula,
betapa riset nanoteknologi amat inter-displiner.

Sebagai penutup, penulis mengajak pemerhati iptek
Indonesia untuk mulai menaruh perhatiannya pada
nanoteknologi, dan merumuskan kebijakan yang
tepat untuk riset nanoteknologi yang tepat guna
bagi bangsa dan masyarakat Indonesia.


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
10
Referensi
[1] keterangan tentang ini dapat dilihat di
http://www.nobel.se/chemistry/laureates/2000/press.
html
[2] C. Joachim, J.K. Gimzewski, and A. Aviram,
Electronics using hybrid-molecular and
mono-molecular devices. Nature. Vol 408., pp.
541-548. (2000)
[3] E. Drexler. Building Molecular Machine Systems.
Trends in Biotechnology. Vol. 17. No. 1, pp.5-7,
(1999), yang dapat pula dilihat di
http://www.imm.org/Reports/Rep008.html
[4] Contohnya seperti: P.B. Harbury, J. J. Plecs, B.
Tidor, T. Alber, and P.S. Kim. High-Resolution
Protein Design with Backbone Freedom. Science.
Vol. 282, pp. 1462-1467. (1998).
[5] S.R. Whaley, et. al. Selection of peptides with
semiconductor binding specificity for directed
nanocrystal assembly. Nature. Vol. 405, pp.
665-668. (2000).
[6] B. Yurke, et. al.. A DNA-fuelled molecular machine
made of DNA. Nature. Vol. 406, pp. 605-608,
(2000).
[7] Cf. J.J. Storhoff and C.A. Mirkin, Programmed
Materials Synthesis with DNA. Chem. Rev. 99, pp.
1849-1862. (1999); C.J. Loweth, et. al. DNA-Based
Assembly of Gold Nanocrystal. Angew. Chem. Int.
Ed. 38, no. 12, pp. 1808-1812; G.P. Mitchell, C.A.
Mirkin and R.L. Letsinger. Programmed Assembly
of DNA Functionalized Quantum Dots. J. Am.
Chem. Soc. 121, pp. 8122-8123. (1999); R.
Elghanian, et. al. Selective Colometric Detection of
Polynucleotides Based on the Distance-Dependent
Optical Properties of Gold Nanoparticles. Science.
Vol. 277, pp. 1078-1081. (1997); C.A. Mirkin, et.
al. A DNA-based method for rationally assembling
nanoparticles into macroscopic materials. Nature.
Vol. 382, pp. 607-609. (1996); A. P. Alivisatos, et.
al.. Organization of nanocrystal molecules using
DNA. Nature. Vol. 382, pp. 609-611. (1996).
[8] S. Connolly and D. Fitzmaurice. Programmed
Assembly of Gold Nanocrystals in Aqueous
Solution. Adv. Mater.11, no. 14, pp.. 1202-1205.
(1999).
[9] M. Ratner. Photochemistry: Electronic motion in
DNA. Nature. Vol. 397, pp. 480-481. (1999); D.
Porath, et. al. Direct measurement of electrical
transport through DNA molecules. Nature. Vol. 403,
pp. 635 - 638 (2000); H. Fink and C. Schonenberger,
Electrical conduction through DNA molecules.
Nature. Vol. 398, pp. 407 - 410 (1999); E. Braun, et.
al.. DNA-templated assembly and electrode
attachment of a conducting silver wire. Nature. Vol.
391, pp. 775-778. (1998).
[10] Informasi tentang komputasi DNA di internet dapat
dilihat misalnya di site-site,
http://www.englib.cornell.edu/scitech/w96/DNA.ht
ml;
http://www.gg.caltech.edu/~winfree/old_html/DNA
research.html
[11] Sebagai contoh oleh V. Subramaniam, Biological
Applications of Multiphoton NSOM with Multiple
Spectroscopic Modes. Asia/Pacific Microscopy
and Analysis. January 2001 ed., pp. 9-11. (2001).
[12] R.D. Piner, et. al. Dip-pen Nanolitography. Science.
Vol 283, pp. 661-663. (1999); S. Hong, J. Zhu, and
C.A. Mirkin, Multiple Ink Nanolitography: Toward
a Multiple-Pen Nano-Plotter. Science., Vol . 286, pp.
523-525. (1999).
[13] G.P. Lopinski, D.D.M. Wayner and R.A. Wolkow.
Self-directed growth of molecular nanostructures
on silicon. Nature. Vol. 406, pp. 48-51. (2000); S.
Alavi, et. al. Inducing Desorption of Organic
Molecules with a Scanning Tunneling Microscope:
Theory and Experiments. Phys. Rev. Lett. Vol. 85,
no. 25, pp. 5372-5375. (2000).
[14] H.J. Lee and W. Ho. Single-Bond Formation and
Characterization with a Scanning Tunneling
Microscope. Science. Vol. 286, pp. 1719-1722.
(1999); P.H. Lu, J.C. Polanyi, and D. Rogers.
Photoinduced localized atomic reaction (LAR) of
1,2-and 1,4-dichlorobenzene with Si(111) 7x7. J. of
Chem. Phys. Vol. 112, no. 24, 11005-11010.
(2000); P.H. Lu, J.C. Polanyi, and D. Rogers.
Electron-induced localized atomic reaction
(LAR): Chlorobenzene adsorbed on Si(111) 7x7. J.
of Chem. Phys. Vol. 111, no. 22, pp. 9905-9907.
(1999); S. Hla, et. al. Inducing All Steps of a
Chemical Reaction with the Scanning Tunneling
Microscope Tip: Towards Single Molecule
Engineering. Phys. Rev. Lett.. Vol. 85, no. 13, pp.
2777-2780. (2000).
[15] Y. Xia and G.M. Whitesides. Soft Lithography.
Angew. Chem. Int. Ed. Vol. 37, pp. 550-575.
(1998)
[16] R.K. Soong, et. al. Powering an Inorganic
Nanodevice with a Biomolecular Motor. Science.
Vol. 290, pp. 1555-1558. (2000); G.D. Bachand et.
al. Precision Attachment of Individual F1-ATPase
Biomolecular Motors on Nanofabricated Substrates.
Nano Letters. 1 (1), pp. 42 -44, (2001).
[17] A.P. Davis. Synthetic molecular motors. Nature.
Vol 401, pp. 120-121. (1999); T.R. Kelly, H. De
Silva, and R. A. Silva. Unidirectional rotary motion
in a molecular system. Nature. Vol. 401, pp.
150-152. (1999); N. Koumura, et.al. Light-driven
monodirectional molecular motor. Nature. Vol. 401,
pp. 152-155. (1999).
[18] F. Besenbacher and J.K. Norskov. How to Power a
Nanomotor. Science. Vol. 290, p. 1520. (2000); A.K.
Schmid, N.C. Bartlett, and R.Q. Hwang. Alloying at
Surfaces by the Migration of Reactive
Two-Dimensional Islands. Science. Vol. 290, pp.
1561-1564. (2000).
[19] P. L. McEuen. Carbon-based electronics. Nature.
Vol. 393, pp. 15-16. (1998); S.J. Tans, A.R.M.
Verschueren, and C. Dekker. Room-temperature
transistor based on a single carbon nanotube.
Nature. Vol. 393, pp. 49-52. (1998); Z. Yao, et. al.
Carbon nanotube intramolecular junctions. Nature.
Vol. 402, pp. 273-276. (1999). G. Che, et.al.. Carbon
nanotubule membranes for electrochemical energy
storage and production. Nature. Vol. 393, pp.
346-349. (1998).
[20] Misal L. Balogh, et. al. Dendrimer-Silver

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
11
Complexes and Nanocomposites as Antimicrobial
Agents. Nano Letters. (1), 1, pp. 18-21. (2001).
[21] T. Thurn-Albrecht, et. al. Ultrahigh-Density
Nanowire Arrays Grown in Self-Assembled Diblock
Copolymer Templates. Science. Vol. 290, pp.
2126-2129. (2000).


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
12
Jenis Sumber
Kapasitas
produksi
(MW)
Prosentase
dari total
kapasitas
(%)
Tenaga air 687.6 60.9
Tenaga panas 430.0 38.1
Tenaga surya 7.0 0.6
Tenaga angin 5.0 0.4
Total 1129.6


M MM M
M MM M
e ee e
e ee e
n nn n
n nn n
g gg g
g gg g
g gg g
g gg g
a aa a
a aa a
p pp p
p pp p
a aa a
a aa a
i ii i
i ii i
E EE E
E EE E
n nn n
n nn n
e ee e
e ee e
r rr r
r rr r
g gg g
g gg g
i ii i
i ii i
M MM M
M MM M
a aa a
a aa a
t tt t
t tt t
a aa a
a aa a
h hh h
h hh h
a aa a
a aa a
r rr r
r rr r
i ii i
i ii i


Dr. Abdul Halim


Pendahuluan
Berkaitan dengan edisi khusus kali ini yang
membahas pemanfaatan sumber-sumber energi
yang dapat diperbaharui, dalam laporan kali ini
akan disampaikan hasil kunjungan ke perusahaan
listrik yang menghasilkan listrik berkapasitas besar
dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Dan
dalam tulisan ini, juga akan dilaporkan salah satu
konferensi internasional yang mempresentasikan
hasil-hasil penelitian terakhir di bidang
pemanfaatan cahaya matahari untuk pembangkit
tenaga listrik.

Dalam tulisan ini akan disampaikan laporan
kunjungan ke perusahaan listrik di California
tepatnya di wilayah Sacramento yang memproduksi
listrik berkapasitas besar untuk sumber tenaga
matahari. Perusahaan listrik tersebuat adalah SMUD
(Sacramento Municipal Utility District).
Sebelum melaporkan beberapa fasilitas pembangkit
listrik tenaga surya yang dimiliki SMUD dan
program pemasyarakat tenaga listrik jenis ini,
penulis akan memberikan gambaran singkat tentang
SMUD.

SMUD seperti dari namanya yang merupakan
kependekan dari Sacramento Municipal Utility
District adalah perusahaan listrik yang bergerak
mulai dari pembangkitan tenaga listrik, transmisi
listrik dan penyaluran listrik untuk wilayah seluas
900 mil persegi yang sebagian besar wilayah
pelayanannya adalah Sacramento. Mulai produksi
pada 31 Desember 1946, dan sekarang merupakan
salah satu perusahaan listrik yang sangat
menekankan pada pemakaian energi yang dapat
diperbaharui sebagai sumber pembangkit listrik.
Tabel di bawah ini memberikan sedikit gambaran
total kapasitas produksi listrik dan jenis sumber
energi yang dipakai.

Kalau melihat tabel di atas akan terlihat bahwa
sebenarnya masih sangat kecil sekali produksi
listrik dari tenaga surya. Tetapi jumlah diatas
merupakan kapasitas listrik tenaga surya yang sudah
cukup besar yang diproduksi oleh satu perusahaan
listrik. Ini memberikan gambaran kepada kita
semua bahwa pada saat ini sebenarnya masih sedikit
sekali pemakaian listrik jenis ini di industri
kelistrikan.

Pengembangan listrik tenaga surya di SMUD selain
dengan membangun instalasi berkapasitas besar
yang terpusat di satu daerah juga dibuat
program-program untuk mempercepat pemasangan
instalasi berskala kecil di atap rumah atau di
fasilitas-fasilitas umum.Di bawah in akan diberikan
beberapa contoh instalasi pembangkit listrik tenaga
surya yang telah beroperasi yang dimiliki SMUD.

Tabel 1 Kapasitas Produksi Listrik (1999)

Rancho Seco
Lokasi pemasangan sistem pembangkit listrik
berada di lokasi PLTN yang sudah tidak beroperasi
kembali. Ada empat sistem yang telah dibangun di
lokasi ini yaitu PV1 sebesar 1 MW, PV2 sebesar 1
MW, PV3 sebesar 263 kW, dan PV4 sebesar 700
kW.

Hedge Substation
Ada 4 sistem di lokasi ini yang masing-masing
besarnya adalah sebagai berikut : PV1 sebesar 258
kW, PV2 sebesar 108 kW, PV3 sebesar 94 kW, PV4
sebesar 130 kW.

Beberapa gambar dari PLTS di lokasi ini dapat
dilihat di Gb.2. Gambar ke-3 adalah inverter yang
dipakai untuk mengubah listrik DC ke AC.





DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
13
















Gb.1. PLTS di Rancho Seco

PV adalah singkatan dari Photo Voltaic.


















Gb.2. PLTS di Hedge Substation


Tempat Umum
Selain di tempat-tempat yang pemasangannya
terpusat seperti di dua tempat diatas ada ada juga
sistem PLTS yang dipasang di tempat-tempat umum
seperti gambar dibawah ini. Selain itu ada juga
pemasangan di parkir bandara dan lain sebagainya.






DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
14

Gb.3. Sistem PLTS di parkir umum


Gb.4. Sistem PLTS di Parkir (sumber : SMUD)

Selain dari instalasi berkapasitas besar, SMUD juga
telah meluncurkan program untuk
memasyarakatkan pemasangan instalasi di
rumah-rumah. Program tersebut disebut PV pioneer.
Programnya adalah mencari pemilik rumah yang
bersedia dipasang instalasi pembangkit listrik.
Seluruh biaya ditanggung oleh SMUD. Listrik yang
dihasilkan dialirkan ke jaringan listrik yang ada.
Target yang ingin dicapai dari program ini adalah
pengurangan biaya pemasangan sistem pembangkit
tenaga surya berskala kecil sehingga didapatkan
harga jual listrik yang kompetitif dibanding dengan
listrik dari sumber lainnya. Seperti diketahui bahwa
masalah biaya beli perangkat (terutama
module-nya) menjadi salah satu hambatan dalam
pemasyarakatannya. Dengan pemasangan yang
berjumlah besar diharapkan ada kegairahan bagi
industri produsen, misalnya module, untuk
membuat produksi besar-besaran dan nantinya
diharapkan menurunkan harga jual.

Setelah sukses dengan PV pioneer I sekarang sudah
diluncurkan PV pioneer II. PV pioneer I
diluncurkan pada tahun 1993 dan telah berhasil
dipasang sebanyak 450 buah sistem dengan
kapasitas listrik yang dihasilkan 1.5 MW. Dengan
program ini juga telah berhasil menurunkan biaya
sistem dari $7.70 /watt menjadi $4.45 /watt.
Contoh sistem yang dipasang di atap rumah dapat
dilihat di gambar di bawah ini.



Gb.5. Sistem PLTS di atap rumah
(sumber : SMUD)

Disamping berkunjung ke instalasi PLTS milik
SMUD, penulis mendapat kesempatan menghadiri
pertemuan para pakar dari Task VIII
IEA(International Energy Agency) yang
membidangi pengembangan tenaga surya
(photovoltaic) untuk pembangkit listrik berskala
besar. Dalam pertemuan ini dibahas berbagai
masalah yang mungkin timbul dalam
pengembangan PLTS berskala sangat besar, seperti:
masalah perawatan solar panel, efek secara ekonomi
produksi solar panel secara besar-besaran, transfer
teknologi dan lain-lain.

Setelah laporan kunjungan ke SMUD, maka dalam
laporan ini akan disampaikan secara singkat laporan
konferensi internasional di bidang tenaga surya
yang diberi nama IEEE PVSC (Photo Voltaic
Specialists Conference) yang ke 28 kalinya
berlangsung di Anchourage- Alaska mulai 19
sampai dengan 22 September 2000.

Peserta yang hadir sebanyak 571 orang dari 34
negara dengan perincian adalah sebagai berikut
USA 40 %; Jepang 17 %; Jerman 10%; UK 3%;
Belanda 3%; Belgia 2%; Australia 2%; Italia 1%;
Spanyol 1%; Prancis 1%; Rusia 1%; yang lainnya
8%.

Dalam konferensi ini telah dipresentasikan
sebanyak 461 hasil karya dengan bidang-bidangnya
adalah seperti di bawah ini :
Silicon Devices and Materials: 103 papers
II-VI Materials and Devices: 74 papers
Amorphous and Nanostructured Devices: 66
papers
Space Cells, Space Systems, and III-V Devices:
109 papers
Terrestrial Modules and Balance of System

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
15
Components: 43 papers
Terrestrial Systems and Applications: 66
papers.
Karya-karya ini dipresentasikan dalam oral session
atau poster session.

Kalau melihat dari perbandingan jumlah paper yang
dipresentasikan tampak bahwa perbandingan
terbesar ada pada hasil penelitian bidang ilmu bahan.
Bagaimana mencari bahan-bahan baru atau
metode-metode yang mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi dari yang ada sekarang. Seperti salah
satunya adalah presentasi yang dibawakan oleh
peneliti dari perusahaan Sanyo yang telah
mengembangkan solar panel yang mempunyai
tingkat efisiensi tertinggi yaitu 20.7 %.
Selain itu yang menarik adalah beberapa hasil
karya pemanfaatan tenaga listrik dari cahaya
matahari di negara-negara berkembang seperti India,
Mongol, negara-negara Eropa timur. Seperti hasil
karya dari Mongol tentang pemasangan PLTS
bersekala kecil di rumah-rumah suku-suku yang
tinggal di padang rumput yang jauh dari jaringan
listrik utama. (az)

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
16


P Ph ho ot to ov vo ol lt ta ai ic c P Po ow we er r S Sy ys st te em m: : H Ha ar ra ap pa an n d da an n K Ke en ny ya at ta aa an n
- -- - - -- - S SS S S SS Se ee e e ee eb bb b b bb bu uu u u uu ua aa a a aa ah hh h h hh h S SS S S SS St tt t t tt tu uu u u uu ud dd d d dd di ii i i ii i d dd d d dd di ii i i ii i J JJ J J JJ J e ee e e ee ep pp p p pp pa aa a a aa an nn n n nn ng gg g g gg g- -- - - -- -

Dr. Abdul Halim

1. Pendahuluan
aat ini kita sudah memasuki abad ke 21.
Banyak pekerjaan rumah abad sebelumnya
yang belum terselesaikan yang menuntut
perhatian yang sangat besar. Beberapa
pekerjaan rumah tidak cukup diselesaikan
oleh sebagian orang saja tetapi membutuhkan usaha
dari seluruh umat manusia. Pekerjaan-pekerjaan
rumah yang timbul dan memerlukan pemecahan
secara global antara lain masalah konservasi
lingkungan dan penyediaan energi. Issue ini akan
sangat sentral yang akan mempengaruhi setiap
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil.

Untuk memecahkan permasalahan ini listrik tenaga
surya merupakan salah satu alternatif jawabannya.
Di negara-negara industri maju seperti Jepang,
Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa
dengan bantuan subsidi dari pemerintah telah
diluncurkan program-program untuk
memasyarakatkan listrik tenaga surya ini. Tidak itu
saja di negara-negara sedang berkembang seperti
India, Mongol promosi pemakaian sumber energi
yang dapat diperbaharui ini terus dilakukan.

Untuk lebih mengetahui apa itu pembangkit listrik
tenaga surya atau kami singkat dengan PLTS maka
dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat
komponen-komponen yang membentuk PLTS,
sistim kelistrikan tenaga surya dan trend teknologi
yang ada.

Selain dari itu dalam tulisan ini juga akan dijelaskan
program pemerintah Jepang dalam rangka
mempromosikan PLTS.

2. Solar Module
Dalam bagian ini akan dijelaskan secara singkat
komponen utama PLTS yaitu solar module. Setelah
menjelaskannya, maka dilanjutkan dengan trend
kedepan teknologi yang berkaitan dengan solar
module.

2.1 Apa itu solar cell?
Sebelum membahas sistim pembangkit listrik
tenaga surya, pertama-tama akan dijelaskan secara
singkat komponen penting dalam sistim ini yang
berfungsi sebagai perubah energi cahaya matahari
menjadi energi listrik.
Listrik tenaga matahari dibangkitkan oleh
komponen yang disebut solar cell yang besarnya
sekitar 10 ~ 15 cm persegi. Komponen ini
mengkonversikan energi dari cahaya matahari
menjadi energi listrik. Solar cell merupakan
komponen vital yang umumnya terbuat dari bahan
semikonduktor. Seperti terlihat pada gambar 2.1
multicrystalline silicon adalah bahan yang paling
banyak dipakai dalam industri solar cell.

Multicrystalline dan monocrystalline silicon
menghasilkan efisiensi yang relativ lebih tinggi
daripada amorphous silicon. Sedangkan amorphus
silicon dipakai karena biaya yang relativ lebih
rendah.

Selain dari bahan nonorganik diatas dipakai pula
molekul-molekul organik walaupun masih dalam
tahap penelitian.

Monocrystalline
silicon
4%
39%
13%
44%
Other
Amorphous silicon
Multicrystalline
silicon


Gb. 2.1 Semikonduktor yang dipakai
di industri solar cell

Sebagai salah satu ukuran performansi solar cell
adalah efisiensi. Yaitu prosentasi perubahan energi
cahaya matahari menjadi energi listrik. Efisiensi
dari solar cell yang sekarang diproduksi sangat
bervariasi. Monocrystalline silicon mempunyai
efisiensi 12~15 %. Multicrystalline silicon
mempunyai efisiensi 10~13 %. Amorphous silicon
mempunyai efisiensi 6~9 %. Tetapi dengan
penemuan metode-metode baru sekarang efisiensi
dari multicrystalline silicon dapat mencapai 16.0 %
sedangkan monocrystalline dapat mencapai lebih
dari 17 %. Bahkan dalam satu konferensi pada


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
17
September 2000, perusahaan Sanyo
mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi
solar cell yang mempunyai efisiensi sebesar 20.7 %.
Ini merupakan efisiensi yang terbesar yang pernah
dicapai.

Tenaga listrik yang dihasilkan oleh satu solar cell
sangat kecil maka beberapa solar cell harus
digabungkan sehingga terbentuklah satuan
komponen yang disebut module. Produk yang
dikeluarkan oleh industri-industri solar cell adalah
dalam bentuk module ini.

Pada applikasinya, karena tenaga listrik yang
dihasilkan oleh satu module masih cukup kecil
(rata-rata maksimum tenaga listrik yang dihasilkan
130 W) maka dalam pemanfaatannya beberapa
module digabungkan dan terbentuklah apa yang
disebut array. Sebagai contoh untuk menghasilkan
listrik sebesar 3 kW dibutuhkan array seluas
kira-kira 20 ~ 30 meter persegi. Secara lebih jelas
lagi, dengan memakai module produksi Sharp yang
bernomor seri NE-J130A yang mempunyai efisiensi
15.3% diperlukan luas 23.1m2 untuk menghasilkan
listrik sebesar 3.00 kW. Besarnya kapasitas PLTS
yang ingin dipasang menambah luas area
pemasangan.

Untuk lebih jelasnya, hirarki module dapat dilihat
pada Gb. 2.2.



Gb.2.2 Hirarki module (cell-module-array)

Beberapa contoh module yang diproduksi oleh
perusahaan Jepang dapat dilihat dalam Tabel 1
untuk multicrystalline dan Tabel 2 untuk
monocrystalline. Dalam kedua tabel ini, opt.voltage
adalah tegangan optimal untuk menghasilkan power
yang maksimum.

Tabel 1 Multicrystalline module
Maker Type
Max.p
ower
(W)
Opt.vol
tage
(V)
Ukuran
(mm)
Kyocera R421-1 145 19.9
1120997
36

R841-1 90 39
802997
36
NE-J130
A
130 26.7
8021200
46
Sharp
NE-H12
5A
125 26.0
8021200
46
Matsushita
Elect.
MD-P12
5
125 26.0
1210812
20
Mitsubishi
Elect.
PV-MR
101
126 19.2
1275850
19

Tabel 2 Monocrystalline module
Industri Type
Max.p
ower
(W)
Opt.v
oltage
(V)
Ukuran
(mm)
GT17
2
111 34.8
982896
35 Showa-S
hell
SP75 75 17
1200
527 34
NH-H
140A
140 27.5
8021200
46
Sharp
NT-J1
36A
136 26.9
8021200
46
H-120
20
121 36.0
1000922
35 Daido
Hokusan H-741
0
74 22.0
1185435
35

Contoh array yang dipasang di atap rumah dapat
dilihat pada Gb. 2.3. Sistim ini menghasilkan listrik
sebesar 4.00 kW. Sedangkan jenis bahan yang
dipakai adalah multicrystalline silicon.

Gb. 2.3 Contoh Sistim pembangkit listrik
tenaga surya (sumber : JPEA)

2.2 Teknologi Module
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa trend
berhubungan dengan teknologi module.

1. Building-integrated module
Selain dari pencarian bahan-bahan baru untuk
meningkatkan efisiensi module yang nantinya akan
meningkatkan tenaga listrik dengan luas yang sama,
maka trend sekarang adalah memberikan nilai
tambah module itu dengan menjadikan module
sebagai bagian dari bangunan yang menambah
keindahan bangunan tersebut dan menambah
kenyamanan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Disamping akan mengurangi biaya karena tidak
diperlukan lagi biaya untuk pemasangan atap.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
18

Dari segi module sebagai komponen pembangkit
listrik tidak ada perubahan dalam performansi yang
dituntut. Tetapi dari segi module sebagai bahan
bangunan maka diperlukan syarat-syarat tambahan,
seperti syarat kekuatan, daya tahan terhadap hujan,
angin, petir dan gangguan luar lainnya. Selain itu
bagi para arsitektur syarat keindahan arsitektur
juga diperlukan.

Jepang yang memiliki luas wilayah yang sempit
ditambah kondisi yang bergunung-gunung sangat
sulit untuk membangun pembangkit listrik tenaga
surya bersekala besar di satu tempat tertentu.
Seperti yang telah diungkapkan di atas untuk
menghasilkan listrik sebesar 3 kW dibutuhkan luas
tanah sebesar 20~30 meter persegi, bisa
diperkirakan luas tanah yang dibutuhkan untuk
membangun pembangkit listrik berdaya 1 MW.
Jepang lebih memproyeksikan program
pemasyarakatan listrik tenaga surya yang dipasang
di bangunan-bangunan yang telah ada seperti kantor
atau perumahan. Atau disebut dengan istilah BIPV
(Building Integrated Photovoltaic). Untuk ini pula
maka diluncurkan program penelitian dan
pengembangan module yang disebut housing
roof-integrated PV module dan office and other
building-integrated PV module yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pemroduksi module.

Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah yang
seperti ini ditambah lagi dengan dukungan subsidi
yang diberikan maka sekarang tidak hanya
perusahaan yang bergerak dibidang elektronik
seperti Sanyo, Sharp tetapi perusahaan konstruksi
juga sudah mulai menawarkan dan memasarkan
module-modulenya. Gambar di bawah ini
memperlihatkan contoh module yang dipakai juga
sebagai bahan atap bangunan.


Gb. 2.4 Housing roof-integrated module
(sumber : JPEA)

2. AC module
Seperti yang telah diterangkan diatas module adalah
komponen yang merubah energi cahaya matahari
menjadi energi listrik. Listrik yang dihasilkan
adalah dc. Untuk dapat dimanfaatkan lebih banyak
lagi biasanya listrik dc ini dirubah menjadi ac.
Untuk diubah maka listrik DC dari beberapa
module digabungkan dan dikonversikan menjadi
AC dengan alat yang disebut power conditioner.
Karena menggabungkan listrik dari beberapa
module maka sistim pengkabelannnya menjadi
rumit dan kapasitas yang dibutuhkan dari power
conditionernya pun menjadi besar.

Untuk mengatasi persoalan ini, maka sekarang
dikembangkan apa yang disebut AC module. Yaitu
module yang langsung menghasilkan listrik AC.
Secara prinsip tidak ada perubahaan yang terjadi,
tetapi secara teknologi diperlukan power
conditioner berskala kecil yang dapat dipasang di
belakang module.

Contoh power conditioner yang sekarang banyak
dipasarkan dapat dilihat pada Gb. 2.5 di bawah ini.



Gb. 2.5 Power Conditioner JH40EK

Gb. 2.5 adalah produk dari Sharp yang dapat
dihubungkan dengan 8~9 lembar module. Berat dari
alat ini adalah sebesar 25 kg.

Dua trend diatas adalah lebih pada pemberian nilai
tambah module agar pemanfaatannya lebih luas lagi.
Disamping dua hal tadi untuk mendukung
perkembangan agar makin memasyarakatnya

Gb. 2.6 Contoh biaya produksi
(sumber : PVTEC)

pembangkit listrik tenaga surya maka dicari
metode-metode baru untuk menurunkan biaya per
watt listrik yang dihasilkan. Seperti terlihat dalam
Gb. 2.6 bahwa biaya material tidak megalami
penurunan yang berarti walaupun jumlah
produksinya makin bertambah.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
19

Dengan melihat akan makin bertambahnya
pemasangan pembangkit listrik jenis ini sedangkan
umur dari module itu hanya berkisar 20 sampai 30
tahun, saat ini juga sedang diteliti dan
dikembangkan module yang mudah untuk didaur
ulang. Disamping juga dicari metode untuk
mendaur ulangnya. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi efek terhadap lingkungan.

3. Sistim Kelistrikan Tenaga Surya
Dalam bagian ini akan dibahas tentang sistim
kelistrikan tenaga surya. Sebelumnya akan
dijelaskan beberapa istilah yang muncul disini.

Pertama adalah power conditioner. Power
conditioner telah dijelaskan secara sangat singkat
diatas, disini akan diterangkan sedikit lebih detail.
Inti dari alat ini adalah inverter. Yaitu komponen
listrik yang berfungsi sebagai perubah listrik dc
menjadi listrik ac. Power conditioner selain
berfungsi untuk menghasilkan listrik ac yang bersih
juga mengkontrol agar tegangan keluarannya berada
dalam batas tegangan yang diperbolehkan.

Beberapa fungsi lain power conditioner dapat
disimpulkan sebagai berikut :
sebagai switch yang mengontrol dimulainya dan
dihentikannya kerja sistim.

Mendeteksi islanding
Islanding adalah kondisi ketika terjadi pemutusan
aliran listrik pada jaringan distribusi yang dimiliki
oleh perusahaan listrik sedangkan PLTS tetap
bekerja. Hal ini terjadi misalnya apabila timbul
kerusakan pada jaringan distribusi listrik. Bila ini
terjadi akan membahayakan pekerja yang akan
memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada.

Disini power conditioner berfungsi untuk
mendeteksi terjadinya islanding dan dengan segera
menghentikan kerja PLTS.


Pengontrol maksimum tenaga listrik
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh solar panel
tergantung pada suhu udara dan kuatnya cahaya.
Pada suatu nilai suhu dan kuatnya cahaya,
hubungan antara tenaga,tegangan dan arus listrik
yang dihasilkan oleh solar panel digambarkan pada
Gb. 3.1

Tegangan (V)
A
r
u
s

(
A
)


Tegangan (V)
P
o
w
e
r

(
W
)


Gb. 3.1 Karakteristik listrik solar panel

Seperti terlihat pada gambar ini pada tegangan
sekitar 200 V tenaga listrik yang dihasilkan
maksimum. Pada suhu dan kuatnya cahaya yang
lain tenaga maksimum yang dihasilkannya pun akan
berbeda. Pada saat beroperasi listrik yang
dihasilkan oleh PLTS tidak selalu berada dalam
kondisi maksimum, maka diperlukan alat untuk
mempertahankan agar PLTS memproduksi listrik
secara maksimum.Disini fungsi dari power
conditioner adalah bagaimana mengontrol agar
tenaga listrik yang diproduksi menjadi maksimum.
Hal ini disebut dengan istilah MPPT (Maximum
Power Point Tracking).

Kedua adalah load. Yaitu bagian yang
mengkonsumsi listrik yang ada. Load ini dibagi 2
yaitu dc load dan ac load. dc load apabila listrik
yang dikonsumsi adalah listrik dc. Sedangkan ac
load apabila listrik yang dikonsumsi adalah listrik
ac.

Ketiga adalah battery. Battery berfungsi sebagai alat
untuk menyimpan listrik. Listrik yang disimpan
disini adalah listrik dc.
Setelah menerangkan tiga istilah yang akan dipakai
dalam menerangkan SKTS, maka sekarang akan
dijelaskan sistimnya. Secara garis besar sistim
kelistrikan tenaga surya dapat dibagi menjadi 2 :

Sistim Terintegrasi
Sistim ini dapat diterangkan secara visual pada Gb.
3.1. Seperti terlihat pada gambar ini, listrik yang
dihasilkan oleh array dirubah menjadi listrik ac

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
20
melalui power conditioner, lalu dialirkan ke ac load.
AC load disini dapat berupa listrik yang diperlukan
di perumahan atau kantor.
Power
Conditioner
A
C

L
o
a
d
perusahaan
listrik
Array


Gb. 3.1 Sistim Terintegrasi

Yang menjadi ciri utama dari sistim ini adalah
dihubungkannya ac load ke jaringan distribusi
listrik yang dimiliki oleh perusahaan listrik. Jadi
apabila listrik yang dihasilkan oleh solar panel
cukup banyak -melebihi yang dibutuhkan oleh ac
load- maka listrik tersebut dapat dialirkan ke
jaringan distribusi yang ada. Sebaliknya apabila
listrik yang dihasilkan solar panel sedikit -kurang
dari kebutuhan ac load- maka kekurangan itu dapat
diambil dari listrik yang dihasilkan perusahaan
listrik. Hal ini di banyak negara-negara industri
maju secara peraturan telah memungkinkan.



Gb. 3.2 Contoh Sistim di Rumah (sumber : Sharp
Co.Ltd)

Keuntungan dari sistim ini adalah tidak diperlukan
lagi battery. Biaya battery dapat dikurangi. Selain
dari itu bagi rumah atau kantor yang memasang
solar panel, mereka akan mendapatkan keuntungan
dengan penjualan listrik.

Persoalan yang dihadapi sekarang adalah soal teknis.
Karena terhubungi dengan sistim distribusi, maka
masalah keselamatan menjadi perhatian yang utama.
Dan salah satu dari pemecahannya adalah membuat
power conditioner yang mampu mendeteksi apabila
terjadi kecelakaan dan mampu mengkontrol
tegangan apabila terjadi perubahan tegangan di AC
load dan beberapa soal teknis yang lain.

Di banyak negara industri maju seperti Australia,
Belanda, Amerika, Jepang, Jerman dll sistim
terintegrasi adalah yang banyak diambil. Karena
sudah tersedianya jaringan distribusi listrik.

Sebagai sebuah contoh sistim pembangkit listrik di
rumah dapat dilihat pada Gb. 3.2. Pada gambar ini,
adalah solar panel; adalah power
conditioner ; adalah alat pendistribusi listrik ;
adalah alat pengukur banyaknya listrik yang dijual
atau dibeli.


Sistim I ndependensi
Selain sistim terintegrasi yang diterangkan diatas
terdapat pula sistim independensi yang merupakan
sistim yang selama ini banyak dipakai. Seperti
terlihat dalam gambar di bawah ini sistim
independensi dapat dibagi lagi yaitu yang
dihubungkan dengan dc load dan yang dihubungkan
dengan ac load. Hal ini dapat dilihat dalam Gb. 3.3
(a) dan (b).

Contoh dari sistim yang dihubungkan dengan dc
load adalah pembangkit listrik untuk peralatan
komunikasi. Misalnya peralatan komunikasi yang
dipasang di pegunungan. Sedangkan yang
dihubungakan dengan ac load adalah sistim
pembangkit listrik untuk pulau-pulau yang
terpencil.


controller
battery
DC LOAD
Array


(a)

controller
battery
AC LOAD
Array
power
conditioner

(b)

Gb. 3.3 Sistim Independensi

Dalam sistim ini, battery memainkan peranan yang
sangat vital. Bila ada kelebihan listrik yang
dihasilkan, misalnya pada siang hari, listrik ini
disimpan di battery. Dan pada malam hari listrik
yang disimpan ini dialirkan ke load.

Sistim seperti ini banyak dipakai di negara-negara
berkembang seperti contoh pada Gb. 3.4. Gb. 3.4
adalah sebuah contoh proyek di Mongol. Yaitu
proyek pemasangan pembangkit listrik untuk
keperluan rumah sakit dan lampu penerangan.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
21
Dalam gambar ini terlihat PLTS dikombinasikan
dengan pembangkit listrik tenaga angin. Kapasitas
terpasang PLTS adalah 3.4 kW sedangkan dari
tenaga angin 1.8 kW.

4. Program Pengembangan PLTS di
Jepang
Pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat
program pengembangan PLTS di Jepang.

Proposal penelitian dan pengembangan PLTS di
Jepang pertama kali diajukan ke pemerintah pada
tahun 1973. Dan mulai pelaksanaannya pada tahun
1974 dengan diluncurkannya satu proyek besar
yang disebut Sunshine Project. Inti dari proyek ini
adalah melakukan penelitian dan pengembangan
energi-energi dari sumber yang dapat diperbaharui.
Proyek ini diluncurkan satu tahun setelah terjadinya
oil crisis yang pertama. Dimana Jepang
merasakan akibat dari ketergantungan yang besar
selama ini terhadap minyak bumi yang diimpor dari
negara-negara Timur Tengah.



Gb. 3.4 Contoh PLTS di Mongol
(sumber: JPEA)

Tujuan dari penelitian dan pengembangan PLTS
dalam proyek ini adalah mencari konsep baru PLTS
yang cocok dengan kondisi Jepang. Seperti di
ketahui bahwa Jepang adalah negara yang
berpegunungan sehingga sulit mencari tanah datar
yang luas di satu tempat. Kalaupun ada, karena luas
negara yang kecil, harga tanah sangat tinggi. Selain
dari kekurangan tersebut, ada satu keuntungan yang
dimiliki yaitu bahwa Jepang telah mimiliki sistim
jaringan kelistrikan di seluruh tempat tinggal
penduduk.

Dengan kondisi seperti ini dari awal sudah
ditargetkan untuk mengembangkan PLTS yang
terhubungkan dengan sistim jaringan kelistrikan
yang ada. Dan PLTS yang dikembangkan adalah
untuk pemasangan di perumahan atau di
gedung-gedung atau yang disebut dengan BIPV.

Dengan proyek seperti ini bisa dikatakan sekarang
Jepang menjadi negara yang paling maju dalam
pengembangan BIPV.

Langkah-langkah penting dalam pemasyarakatan
PLTS dapat disimpulkan dalam Tabel 3 di bawah
ini.

Dari tabel ini terlihat bahwa perubahan besar dalam
peraturan terjadi pada tahun 1990. Kemudian pada
tahun 1993 dengan dimungkinkannya PLTS
bersekala kecil sekalipun untuk mengalirkan
listriknya ke jaringan distribusi yang dimiliki
perusahaan listrik

Pada desember 1994, pemerintah mentargetkan
pemasangan PLTS yang berkapasitas sebesar 400
MW sampai tahun 2000 dan 4600 MW sampai
tahun 2010. Yang terakhir direvisi menjadi 5000
MW pada tahun 1998.

Pada tahun 1994 diluncurkan program yang disebut
PV System Monitor Program. Yaitu program
pemberian subsidi bagi rumah yang akan memasang
PLTS. Program ini direalisasikan oleh NEF (New
Energy Foundation).

Pada tahun 1993 diluncurkan program pemberian
subsidi yang disebut dengan Field Test Project.
Yang pelaksanaan dilakukan oleh NEDO.
Pemberian subsidi ini diperuntukkan bagi
fasilitas-fasilitas umum yang akan memasang PLTS
dengan kapasitas 10 kW sampai dengan 220 kW.
Program ini pada tahun 1998 diarahkan untuk
penggunaan di perusahaan-perusahaan.

Tabel 3 Promosi PLTS di Jepang
Year Activities
1974
The former Sunshine project started for
R&D of solar energy, Coal
Gasification/Liquefaction, Geothermal
Energy and Hydrogen Energy
1980
NEDO was founded for a series of New
Energy R&D
1990
Substantial simplification of installation
procedures for PV systems under 500 kW
through an amendment of Electric Utility
Industry Law
1991
Announcement by electric power
companies of a plan for installing 2400
kW(actual result was 2659, over target)
1992
Buy-up system for PV system generated
surplus power, started at selling price by
electric power utilities (in progress)
1993
Guideline to regulate grid connection
technology for systems with reverse
power flow
The new sunshine programme started

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
22
1994
Start of PV system monitor program for
residential houses
Cabinet decision about the Basic
Guidelines for New Energy Introduction
(PV system installation targets : 400 MW
by 2000, 4600 MW by 2010)
1995
Start of regional new energy vision
policies at local goverments (in progress)
1998
Original field test project was redirected
for industrial use
Revision of Long-term Energy Supply
and Demand Outlook (PV system
installation target : 5000 MW by 2010)

Detail dari proyek nasional penelitian dan
pengembangan PLTS di Jepang serta dana yang
disediakan dapat dilihat dalam Gb. 4.1. Pada Gb.
4.1 hanya ditampilkan penelitian dan
pengembangan bahan, tetapi dana-dana ini juga
termasuk penelitian sistim kelistrikan secara
keseluruhan


Gb. 4.1 Proyek PLTS Jepang
(sumber : PVTEC)

Sedangkan pada pelaksanaannya dapat
dirangkumkan dalam Gb. 4.2. Kami masih memakai
nama-nama lama disini.



Gb. 4.2 Bagan Pelaksana Proyek PLTS Jepang
(sumber : PVTEC 2000)

Pada Gb. 4.2 terlihat bahwa koordinator
program-program nasional Jepang adalah MITI
dalam hal ini adalah ANRE dan AIST. ANRE
bertugas untuk memasyarakatkan PLTS sedangkan
AIST bertanggung jawab terhadap penelitian dan
pengembangan PLTS.

Program utama penelitian dan pengembangan PLTS
adalah New Sunshine Programme yang meliputi
pengembangan teknologi pemroduksi cell dengan
biaya rendah, BIPV module, peningkatan efisiensi
dll.

Di bawah program New Sunshine ini AIST
melalui beberapa lembaga penelitian di bawahnya
melakukan penelitian dan pengembangan.

Untuk menggandeng lembaga penelitian lainnya
maka sebagian pelaksanaannya dilimpahkan ke
NEDO melalui sistim subsidi. Dari NEDO ini
subsidi untuk penelitian dan pengembangan
diberikan ke perusahaan misalnya CRIEPI (Central
Research Institute of Electric Power Industry) atau
lembaga penelitian negara pada departemen yang
lainnya.

Untuk mengikutsertakan universitas, perusahaan
komersial, dan lembaga penelitian asing dibentuk
PVTEC. Melalui PVTEC ini kerja sama penelitian
dilakukan.

Sedangkan untuk memasyarakatkan PLTS ANRE
memberikan subsidi ke NEF.

5. Penutup
Di atas telah dijelaskan secara singkat pembangkit
listrik tenaga surya. Yang diawali dengan penjelasan
komponen-komponen yang mendukung
dihasilkannya tenaga listrik. Kemudian dijelaskan
juga sistim kelistrikan tenaga surya. Dan terakhir
diperkenalkan usaha-usaha pemerintah Jepang
untuk memasyarakatkan PLTS.

Selain dari BIPV yaitu module yang dipasang di
perumahan atau bangunan-bangunan, sekarang juga
telah dibahas kemungkinan pemasangan PLTS
berkapasitas sangat besar di satu wilayah tertentu.
Hal ini dimungkinkan misalnya pemasangan di
negara-negara yang memiliki padang pasir.
Kemungkinan ini sekarang dibahas oleh IEA
PVPS/Task 8 (International Energy Agency-
PhotoVoltaic Power System).

Di masa yang akan datang pemasangan PLTS akan
terus berkembanga terutama di negara-negara
industri maju.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
23


S
S
a
a
m
m
p
p
a
a
h
h
K
K
o
o
t
t
a
a
S
S
e
e
b
b
a
a
g
g
a
a
i
i
E
E
n
n
e
e
r
r
g
g
i
i
A
A
l
l
t
t
e
e
r
r
n
n
a
a
t
t
i
i
f
f

-
-
P Pe en ne er ra ap pa an n T Te ek kn no ol lo og gi i R RD DF F
-
-


Irhan Febijanto
BPP-Teknologi
irhan@yahoo.com

Tulisan ini mengulas tentang kharakteristik dan pemanfaatan RDF-5 (Refused Derived Fuel) di Jepang sebagai
teknologi baru pengolahan sampah. Dengan teknologi ini energi limbah sampah dapat diubah menjadi lebih
tinggi dan pemanfaatan pada pembakaran sampah menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Sampah sebagai
sumber energi dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil pembangkit listrik dan dapat membantu
mengurangi masalah efek rumah kaca. Di akhir bab ditinjau tentang kemungkinan penerapannya di Indonesia.

1. Pendahuluan
engolahan sampah kota pada negara
berkembang pada umumnya dilakukan
dengan cara tradisionil yaitu penimbunan
(landfill). Sedangkan di negara maju diadakan
pendaurlangan sampah (waste recycle)
sebagai cara untuk mengurangi volume sampah.
Pemanfaatan sampah ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu
pemanfaatan sampah sebagai bahan baku, dan sebagai
sumber energi (bahan bakar) .

Pemanfaatan sampah sebagai sumber energi dengan
memakai tungku pembakaran sampah (waste
incinerator) memiliki beberapa kendala, antara lain,
penyimpanan sampah sebagai bahan bakar tidak dapat
tahan lama, kualitas sampah yang berubah-ubah
bergantung pada cuaca/musim membuat nilai kalor
sampah berubah ubah dan gas atau abu dari
pembakaran sampah yang memberikan dampak tidak
ramah terhadap lingkungan. Untuk mengatasi kendala
tersebut di atas, dilakukan beberapa cara pemrosesan
sampah (refused derived fuel) sebelum dipakai
sebagai bahan bakar, seperti ditunjukkan di tabel 1.

Tabel 1 Pembagian Jenis RDF
Jenis RDF Jenis pengolahan
RDF-1
Limbah sampah (tidak termasuk sampah ukuran
besar)
RDF-2 Coarse RDF, berbentuk serpihan
RDF-3
Fluff RDF, 95% serpihan <50 mm, material
yang dapat terbakar (tidak termasuk gelas dan
keramik)
RDF-4 Powder RDF, 95% berbentuk serpihan < 2 mm,
RDF-5 Densified RDF, berbentuk pellet atau bricket
RDF-6 Liquified RDF, berbentuk bahan bakar cair
RDF-7 Gaseous RDF, berbentuk bahan bakar gas


Pada makalah ini mengulas tentang pemrosesan
sampah menjadi bahan bakar padat (Refused Derived
Fuel-5/RDF-5), kharakteristik RDF-5, dan keuntungan
dari pemanfaatannya sebagai bahan bakar pembangkit
tenaga listrik.

2. Refused Derived Fuel-5
2.1 Pembuatan RDF-5
Di negara Eropa-Amerika, pemanfaatan sampah
sebagai bahan bakar, pada umumnya memakai cara
pengolahan sampah RDF-2 atau RDF-3. Ini
dikarenakan kandungan sampah organik dan kadar air
di negara-negara tersebut memiliki prosentase yang
kecil, sehingga tanpa proses pengeringan atau kimiawi
pun sampah dapat langsung dipakai sebagai bahan
bakar dengan nilai kalor yang tinggi. Sedangkan di
Jepang, karena kandungan organik dan kadar air yang
tinggi, maka dipakai metoda pengolahan sampah
RDF-5. Pilot project RDF-5 ini dimulai sejak
November 1993 dan resmi dioperasikan sejak Januari
1997, di propinsi Oita, Kyushu.
Proses pengolahan sampah dengan RDF-5
ditunjukkan pada gambar 1, proses tersebut dibagi
dalam 3 proses, yaitu:




DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
24
a. Penghancuran/pemilahan
Sampah dimasukkan ke dalam hopper, kemudian
sampah yang tidak dapat terbakar (logam, keramik,
dsb) dipisahkan dengan cara menggunakan gaya
magnet dan gaya gravitasi.

b. Pencampuran/pembentukan
Sampah dicampur dengan CaO(jumlah CaO adalah, 2
5% dari berat limbah sampah). Dan reaksi kimia
yang terjadi adalah sebagai berikut :


(1) CaO + H
2
O Ca(OH)
2

(2) Ca(OH)
2
+komponen organik penguraian
(3) Ca(OH)
2
+CO
2
CaCO
3
+H
2
O

Reaksi (1) menyebabkan limbah sampah bersifat
alkali (pH>12). Pada kondisi ini mikroorganisme tidak
dapat hidup. Reaksi (2), komponen organik yang
mudah membusuk akan terurai. Reaksi(3) kadar air
akan berkurang sejalan dengan proses kimia yang
terjadi.
Setelah itu, limbah sampah dimasukkan ke dalam
mesin press dan dibentuk padatan seperti bentuk

krayon (diameter 15 30 mm, panjang 30 70 mm.
Bentuk ini ditunjukkan di gambar 2.

c. Proses pengeringan
Pada proses ini kadar air dikurangi sampai kurang dari
10% dari keseluruhan berat RDF. Suhu pengeringan
sekitar 90 , suhu diatur sedemikian rupa dengan
tujuan menghemat energi dan mencegah sampah
plastik meleleh atau timbulnya api.

Gambar 1 Bagan proses pengolahan sampah menjadi RDF-5

2.2 Karakteristik RDF-5
Tabel 2 menunjukkan perbedaan antara karakteristik
sampah dengan RDF-5. Dibandingkan dengan berat
sampah, berat RDF-5 berkurang 1/2 kali, dan kadar air
berkurang 5 10%, sedangkan nilai kalor bertambah 2
3 kali. Kualitas RDF-5 ini, lebih stabil
dibandingkan dengan kualitas limbah sampah yang
selalu berubah ubah bergantung pada cuaca/musim
serta cara pengambilannya. Homogenitas RDF-5
menjadikan pembakaran lebih stabil dan dapat
mengurangi timbulnya gas CO yang timbul karena
pembakaran tidak sempurna. Pada pembakaran RDF-5
ini, dengan pencampuran CaO, gas dioksin atau Cl
yang selalu timbul pada pembakaran sampah dapat
dikurangi. Selain itu pada RDF-5, proses pembusukan
tidak terjadi, sehingga penyimpanan dengan waktu
yang lama dapat dilakukan. Dan pengangkutan dari
pabrik RDF ke pembangkit listrik bahan bakar sampah,
dengan jarak tempuh yang jauh dan waktu
penyimpanan yang lama dapat dilaksanakan.

2.3 Produksi RDF
Kemampuan produksi RDF-5, sangat ditentukan oleh
komponen material sampah tersebut, terutama sekali
oleh kadar air yang terkandung dalam sampah tersebut.
Dari beberapa pilot project di beberapa daerah di
Jepang ditunjukkan bahwa sampah kota lebih banyak
menghasilkan RDF-5 dibandingkan dengan sampah
pedesaan. Ini disebabkan karena adanya perbedaan
kandungan kadar air. Penambahan dan pengurangan

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
25
berat komponen pada proses pengolahan sampah
menjadi RDF-5, ditunjukkan di bagan 2 dan
perhitungan di persamaan (1).

R=(LS+ZA) - (BT+UA) (1)

LS : limbah sampah (ton/hari)
ZA : zat aditif (ton/hari)
BT : komponen tak terbakar (ton/hari)
UA : uap air (ton/hari)
R : RDF (ton/hari)

3. RDF-5 sebagai sumber energi
Dengan persamaan (1), apabila produksi sampah,
LS=100 ton/hari, dan produksi limbah sampah
menjadi RDF, R=50 ton/hari, dan nilai kalor RDF-5
adalah 3500 kcal/kg, maka potensi total kalor dari
pengubahan sampah menjadi RDF-5 adalah 5.1 10
6
kcal/jam (diasumsikan 30% dari kapasitas kalor hilang
dalam proses pembuatan RDF-5). Besarnya potensi
kalor yang dapat diubah menjadi energi listrik
bergantung pada efisiensi pembangkit listrik.
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada gambar 3,
efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah yang
beroperasi di Jepang, dari tahun 1970 sampai tahun
2000 menunjukkan peningkatan efisiensi sampai
sekitar 20%, pada umumnya. Efisiensi ini masih
sangat rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik
bahan bakar batu bara atau gas yang berkisar antara
40%. Hal ini disebabkan karena uap air yang
dihasilkan dibatasi agar tidak melebihi suhu 300 .
Lebih dari 300 akan terjadi korosi pada pipa boiler
yang disebabkan oleh chlorine yang berasal dari
limbah sampah tersebut (Problem korosi di
pembangkit listrik bahan bakar sampah akan dibahas
pada makalah berikut).
Dengan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar
sampah sebesar 20%, maka berat sampah 100 ton/hari
dapat dipakai untuk menghasilkan tenaga listrik
dengan kapasitas sekitar 1.2 MW.

4. Keuntungan Pemakaian RDF-5 sebagai
bahan bakar
Pemanfaatan RDF-5 sebagai bahan bakar
pembangkit listrik dibandingkan dengan proses
pembakaran sampah secara langsung, mempunyai
beberapa keuntungan antara lain, dapat menekan
jumlah emisi CO
2
, menghemat energi dan lebih ramah
terhadap lingkungan.
4.1 Pengurangan emisi CO
2

Gambar 3 menunjukkan aliran emisi CO
2
hasil dari
pemrosesan RDF-5 dan dari pembakaran RDF-5
sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik (bagian
atas) dan pembakaran limbah sampah secara langsung
(bagian bawah). Proses pembuatan, pengangkutan,
dan pembakaran RDF untuk pembangkit listrik,
menghasilkan jumlah emisi CO
2
yang lebih banyak
dibandingkan dengan proses pembakaran sampah
secara langsung. Tetapi penghematan jumlah emisi
CO
2
didapat dari pemanfaatan RDF-5 sebagai bahan
bakar pengganti bahan bakar fosil untuk pembangkit
listrik.


Gambar 2 RDF-5

Data pilot project di beberapa daerah di Jepang yang
dilakukan oleh NEDO, pemanfaatan RDF-5 sebagai
bahan bakar pembangkit tenaga listrik dapat
menghemat jumlah emisi CO
2
sebesar 20 30%

dibandingkan dengan cara

pemusanahan sampah
dengan cara dibakar secara langsung.

Tabel 2 Kharakteristik sampah dan RDF-5

Sampah RDF-5
Kalor (kcal/kg) 1000 2000 3000 4000
Kadar air (%) 50 60 5 10
Berat Jenis 1.0 1.2
Bulk Density
(t/m
3
)
0.45 0.6
Suhu bakar( ) * 250 280
Abu sisa
bakar(%)
-
15 20/berat
RDF







DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
26











Bagan 2 Penambahan dan pengurangan jumlah
material sampah pada proses pembentukan RDF- 5

Gambar 3 Perkembangan efisiensi pembangkit
listrik bahan bakar sampah


4.2 Penghematan energi
Energi yang diperlukan pada proses pembuatan RDF
dan pada pembangkit listrik ditunjukkan pada gambar
5. Penghematan energi diperoleh dari selisih dari
pemakaian energi pada proses pembuatan RDF dan
energi listrik yang dihasilkan pembangkit listrik bahan
bakar RDF-5.

Pemanfatan RDF-5 sebagai bahan bakar pembangkit
listrik di Jepang ini semakin dimasyarakatkan oleh
pemerintah Jepang, walaupun masih ada beberapa
hambatan dari masyarakat yang masih mengkuatikan
timbulnya gas dioksin dan




Gambar 4 Aliran emisi CO2


Gambar 5 Aliran energi

pencemaran lingkungan dari proses pembuatan RDF-5
maupun terhadap hasil gas buang dari pembakaran
RDF-5.

5. Pengolahan Sampah Kota di Indonesia
Pengelolaan sampah kota di Indonesia masih bersifat
tradisionil, yaitu dengan cara penimbunan (landfill).
Cara ini menimbulkan banyak masalah, seperti,
pencemaran air, tanah, udara di sekitar tempat
pembuangan sampah tersebut. Selain itu karena
pertumbuhan produksi sampah yang pesat seiring
dengan populasi penduduk, usia tempat penimbunan
sampah di kota besar akhir akhir ini menjadi lebih
pendek dari usia yang direncanakan.
Usaha untuk mengurangi volume sampah dengan
memanfaatkan sampah sebagai bahan material atau
energi, belum begitu memasyarakat, walaupun
teknologi pengolahan kompos dan RDF-7 telah
dikembangkan oleh BPPT.
Pengurangan volume sampah kota dalam skala besar
dengan cara pembakaran dimulai di Surabaya (1991),
dengan memakai tungku pembakar sampah
(incinerator) kapasitas 200 ton/hari. Di DKI Jakarta
(1997) sudah direncanakan pengadaan incenerator,
kapasitas 15 ton/hari di tiap kecamatan. Disusul
dengan usulan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesai) untuk mendirikan pembangkit listrik
tenaga sampah kapasitas 4MW. Tetapi karena adanya
krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997,
maka kedua rencana terakhir tersebut di atas belum
menampakkan hasil.
Berat Limbah Sampah, LS
Zat Additif,
ZA
Komponen
tak terbakar,
Berat RDF, R
Uap Air,

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
27
Di sini dengan mengesampingkan sementara masalah
finansial, dan mengasumsikan bahwa nilai kalor yang
didapat dari pengolahan limbah sampah menjadi RDF
adalah sama dengan yang dicapai pada pilot project di
Jepang. Berdasarkan data produksi sampah dan
kandungan komponen sampah di beberapa kota besar
di Indonesia, potensi sampah di Indonesia sebagai
bahan bakar pembangkit listrik kita coba tinjau.

Tabel 3 menunjukkan limbah sampah di kota Jakarta,
Bandung, Semarang. Dari tabel 3 dapat diketahui
bahwa, komponen organik sampah kota rata rata
mencapai sekitar 70%. Menurut laporan JICA nilai
kandungan kalor dari limbah sampah kota rata rata
adalah 1000 1400 kcal/kg. Untuk sampah kota
Jakarta kandungan air rata rata mencapai 60%.
Dengan nilai kalor yang rendah ini, pembakaran
limbah sampah secara langsung di incinerator
menjadi tidak efisiensi, dan proses pembakaran
sampah kota tanpa pemilahan komponen sampah
menyebabkan polusi udara oleh gas beracun (dioksin,
CO, dsb) yang dihasilkan dari gas buang hasil
pembakaran.

Pengolahan sampah dengan RDF-5, merupakan cara
yang tepat untuk meningkatkan nilai kalor sampah
menjadi bahan bakar karena kandungan air sampah
kota sangat tinggi dapat dikurangi.
Di sini diambil contoh produksi sampah di DKI
Jakarta pada tahun 1995. Kota Jakarta, dengan
produksi sampah DKI Jakarta 4000 ton/hari (3000
m
3
/hari), dan jika ratio pengubahan limbah sampah
menjadi RDF, 43%, maka jumlah limbah sampah yang
dapat dirubah menjadi bahan bakar RDF-5, adalah
sebanyak 1000 ton/hari.

Tabel 3 Produksi sampah pada tahun 1995
Jakarta Bandung
Semaran
gg
Produksi sampah
(m
3
/hari)
30.552 6.890 3.185
Kertas 10,18 9,7 5,45
Logam 2,04 0,5 -
Gelas 1,75 0,43 0,16
Keramik - - -
Karet/Kulit 0.4 0,55 -
Plastik 7,86 8,58 14,15
Kain 1,57 0,9 -
Kayu 0,98 3,6 -
Fiber - - -
P
r
o
s
e
n
t
a
s
e


S
a
m
p
a
h


(
%
)

Bahan
organik
73,92 73,25 68,75
Sisa yang
lain
1,36 2,64 5,97

Menurut Dinas Kebersihan DKI Jakarta, pertambahan
produksi sampah Jakarta adalah rata rata 4%/tahun,
maka dalam jangka 10 tahun mendatang, produksi
sampah akan menjadi 5600 ton/hari.

Gambar 6 menunjukkan potensial nilai kalori sampah
dan RDF-5 dalam 10 tahun mendatang. Dengan
RDF-5, peningkatan nilai kalor sampah didapat
sebesar 125% dalam 10 tahun mendatang seiring
dengan pertambahan produksi limbah sampah tersebut.
Prediksi ini tidak memperhitungkan perubahan
komponen sampah. Seperti semakin

0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007
Pertumbuhan Nilai Kalor Sampah kota
Tahun
G
c
a
l
/
h
RDF
Sampah

Gambar 6 Perbandingan potensi nilai kalor sampah
dan RDF

RDF sistem
PLTP Kamojang
PLTP Dieng
PLTP Asahan
PLTUCilegon
0
100
200
300
400
500
K
a
p
a
s
i
t
a
s

(
M
W
)
K
a
p
a
s
i
t
a
s

(
M
W
)
K
a
p
a
s
i
t
a
s

(
M
W
)
K
a
p
a
s
i
t
a
s

(
M
W
)
Potensi kapasitas pembangkit listrikRDF
Gambar 7 Kapasitas Pembangkit Listrik

bertambahnya volume sampah yang bernilai kalor
tinggi, seperti kertas, plastik, dsb.

Dengan asumsi bahwa tidak semua produksi sampah
bisa dibawa ke pabrik pengolahan RDF. Karena 20%
dari produksi sampah di TPA berkurang, karena diolah
oleh para pemulung sampah. Maka pada tahun 2005
potensi nilai kalor RDF adalah 284 10
6
kcal/h.
Potensi nilai kalor sebesar ini bisa digunakan untuk
bahan bakar Pembangkit Listrik dengan kapasitas 46
MW (efisiensi pembangkit listrik adalah 20%).
(gambar 7).




DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
28
6. Penutup
Pemanfatan teknologi RDF-5 adalah merupakan
salah satu cara efektif yang dilakukan oleh pemerintah
Jepang dalam memanfaatkan energi limbah sampah
dalam konteks memanfaatkan energi terbaharukan,
sekaligus teknologi ini diharapkan bisa mengurangi
emisi CO
2
yang terjadi

pada proses pembakaran
sampah.

Negara berkembang (Indonesia) memiliki potensi
limbah sampah yang besar seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk, serta ekonomi, tetapi
pemanfaatan limbah sampah sebagai energi pengganti
bahan bakar fosil, masih memerlukan kajian yang lebih
dalam terhadap cocok tidaknya diterapkan di lingkungan
negara berkembang yang berbeda dengan negara maju.


7. Referensi
[1]. The Thermal and Nuclear Power,
p.38-47,No.496,Vol.49,1998.
[2] The Thermal and Nuclear Power,
p.28-41,No.519,Vol.50,1999
[3] Harian Kompas, 7 Maret 1998
[4] Harian Kompas, 14 Desember 19975.
[5] Catatan pribadi.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
29


P Pe en ni in ng gk ka at ta an n E Ef fi is si ie en ns si i
P Pe em mb ba an ng gk ki it t L Li is st tr ri ik k B Ba ah ha an n B Ba ak ka ar r S Sa am mp pa ah h

Irhan Febijanto
BPP-Teknologi
irhan@yahoo.com

Tulisan ini menjelaskan tentang usaha usaha untuk meningkatkan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar
sampah dengan mengaplikasikan teknologi pembangkit listrik bahan bakar fosil, dengan melakukan beberapa
pembaharuan dan perbaikan pada kondisi uap air, pemanfaatan ulang panas yang terbuang,dan penggabungan
dua sistem pembangkit tenaga listrik serta pemanfaatan RDF (Refused Derived Fuel) sebagai sebuah sistem
terpadu. Untuk mempermudah menggambarkan penjelasan, hasil dari sebuah perhitungan simulasi untuk
meningkatan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah dipakai sebagai referensi.

1. Pendahuluan
Setelah dibahas pada makalah sebelumnya
tentang kendala utama untuk menaikkan efisiensi
pembangkit listrik bahan bakar sampah, yaitu masalah
korosi. Pada makalah berikut ini, dibahas teknologi
untuk menaikkan efisiensi pembangkit listrik bahan
bakar samaph, dengan kondisi dimana proses karat
sudah dapat diatasi dan peningkatan suhu pada
superheater diatas 300 sudah dapat dilakukan.
Peningkatan efisiensi dan kemampuan pembangkit
listrik bahan bakar sampah, dilakukan 2 cara, yaitu
pemanfaatan teknologi yang sudah ada dengan
melakukan perbaikan atau renovasi dan pemanfaatan
teknologi baru.
Pembaharuan teknologi yang sudah ada, dapat
dilakukan antara lain dengan dengan menaikkan
kondisi suhu dan tekanan uap air di superheater,
penggabungan sistem pembangkit listrik (combine
steam turbine-gas turbine) dan yang ketiga adalah
dengan memakai sistem RDF.
Pemakaian teknologi baru yaitu refuse
gasification technology, merupakan teknologi baru
dalam pengolahan sampah dan pemanfaatan limbah
sampah sebagai pengganti bahan bakar fosil. Dengan
teknologi ini, limbah sampah dibakar dengan suhu
tinggi, sekitar 1300 .

Gambar 1 Aliran energi panas pada refuse boiler



DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
30
Dalam makalah ini akan diperkenalkan tentang cara
untuk menaikkan efisiensi sekaligus produksi daya
pembangkit listrik, dengan teknologi yang sudah ada,
dan bisa dikatakan merupakan penerapan teknologi
pembangkit listrik bahan bakar fosil.

2. Peningkatan effisiensi
Gambar 1 menunjukkan persentase aliran energi
panas di dalam tungku bakar dengan bahan bakar
sampah (Refuse Boiler). Dari bagan tersebut
ditunjukkan bahwa energi panas yang telah melakukan
kerja di turbin terbuang di kondensator dalam jumlah
yang sangat besar, dengan hampir melebihi 50%.
Energi yang terbuang dari kondensator ke sistem luar
sangat ditentukan oleh kondisi dari uap air di turbine
inlet-oulet, tingkat kevakuman di kondensator, dan
daur ulang panas pada sistem (heat recycle).
Peningkatan efisiensi pada sistem pembangkit tenaga
listrik ini, dapat ditingkatkan dengan merubah
beberapa kondisi tersebut.
Untuk lebih mempermudah penjelasan tentang
peningkatan efisiensi ini, sebagai referensi dipakai
hasil perhitungan simulasi mass and heat balance dari
pembangkit listrik bahan bakar sampah dengan suhu
uap air 500 di superheater outlet, hasil simulasi ini
diambil dari referensi 2.

2.1 Kondisi Uap Air
2.1.1 Kenaikan Suhu dan Tekanan Uap Air

Gambar 2 Hasil perhitungan simulasi uap air dan efek
terhadap efisiensi

Untuk menggerakkan turbin-generator
diperlukan energi panas yang diubah mejadi tenaga
gerak di dalam turbin. Semakin tinggi energi panas
semakin besar energi gerak yang didapat. Besar energi
gerak yang diperoleh setara dengan selisih energi
panas yang masuk ke dalam turbin dan yang keluar
dari turbin. Semakin tinggi suhu uap air yang masuk
ke dalam turbin semakin tinggi energi gerak yang
didapat. Dalam hal ini energi yang keluar dari turbin
tidak banyak berubah.
Pada proses ketika tekanan uap air di turbine inlet
naik, maka perbedaan enthalpi di turbine inlet dan
outlet akan bertambah dan efisiensi akan naik. Tetapi
secara bersamaan kelembaban /(kandungan air dalam
uap air ) di turbine outlet akan bertambah dan ini
mengakibatkan efisiensi di dalam turbin turun.
Kenaikan tekanan uap air memberikan efek yang kecil
terhadap kenaikan efisiensi pembangkit listrik.
Tetapi jika suhu uap air di turbine inlet naik, maka
perbedaan enthalpi di turbine inlet dan outlet akan
bertambah dan kelembaban di turbine outlet akan
turun, ini mengakibatkan efisiensi turbin akan naik.
Kenaikan suhu uap air di turbine outlet,
memberikan efek yang lebih besar terhadap kenaikan
efisiensi pembangkit listrik, dibandingkan dengan
kenaikan tekanan uap air. Tetapi kenaikan suhu uap air
dibatasi oleh kekuatan dan kualitas material boiler dan
turbin terhadap panas dan proses karat di suhu tinggi
(hot corrosion).
Dari gambar 2 ditunjukkan hasil perhitungan
simulasi pada kenaikan tekanan uap air dari 100
kg/cm
2
ke 120 kg/cm
2
(suhu uap air tetap), efisiensi
akan naik sekitar 0.3%, secara bersamaan kandungan
air dalam uap air naik sekitar 1%, melebihi 12%. Dan
jika suhu uap air naik dari 480 ke 500 (tekanan
uap air tetap), efisiensi akan naik 0.3% 0.4%,
kandungan air dalam uap air turun sekitar 1% menjadi
11%.

2.1.2 Penurunan Turbine Back Pressure
Jika turbin back pressure (tekanan uap air di
turbine outlet) turun maka efisiensi akan naik. Ini
disebabkan perbedaan enthalpi uap air pada turbine
inlet dan outlet menjadi besar, dan energi panas yang
diubah menjadi energi kerja menjadi bertambah.
Tetapi penurunan tekanan uap air ini ada batasnya,
karena bila terlalu rendah akan menaikkan kandungan
air dalam uap air yang menyebabkan erosi pada
turbine blade.
Kenyataan di lapangan mengatakan bahwa, titik air
yang dihasilkan pada kandungan air dalam uap air
sebesar 12% tidak memberikan efek erosi pada
turbine blade. Hal ini berlaku pula pada pusat
pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan panas
bumi (PLTP), dimana uap air yang masuk ke dalam
turbin memiliki kandungan air (humidity) yang tinggi.
Gambar 3 menunjukkan hasil perhitungan simulasi
dari turbin back pressure terhadap efisiensi
pembangkit listrik. Effiensi akan naik dengan
turunnya turbine back pressure. Dalam gambar
ditunjukkan suhu uap air 500 dan tekanan uap air
100 kg/cm
2
dan turbin back pressure adalah 0.25
kg/cm
2
, efisiensi yang dicapai adalah 26.3%. Jika
turbine back pressure turun menjadi, 0.05 kg/cm
2
,
efisiensi akan naik menjadi 29.5%, naik sekitar kurang
lebih 3%.


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
31

Gambar 3 Hasil perhitungan simulasi turbine
pressure back dan efek terhadap efisiensi



2.1.3 Pemisahan Kandungan Air dalam Uap
Air
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa
kandungan air dalam uap air yang masuk ke dalam
turbin sangat menentukan pada efisiensi dan
ketahanan material turbin. Ini karena kandungan air
yang tinggi akan menyebabkan turunnya efisiensi
kerja turbin dan menyebabkan terjadinya erosi pada
turbine blade.
Langkah pencegahan kenaikan kandungan air
dalam uap air/kelembaban ini sangat penting. Untuk
itu pada pembangkit listrik bahan bakar sampah ini,
mengaplikasikan teknologi turbin yang dipakai di
PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) atau
PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi),
dimana moisture yang dikandung uap air di dalam
turbin dipisahkan dengan gaya sentrifugal.

2.2 Pemanfaatan Ulang Panas (Heat Recycle)
2.2.1 Pemanasan Bertahap Feedwater
Energi panas yang telah melakukan kerja
(menggerakkan turbin), dipakai kembali untuk
memanaskan feedwater yang dialirkan ke tungku
bakar.
Pemanasan feedwater sampai suhu sebelum masuk
ke dalam tungku bakar, dilakukan dalam beberapa
tingkat/tahap, dari hasil perhitungan simulasi (gambar
4) di peroleh hasil. bahwa lebih dari 4 tingkat/tahap,
efisiensi pembangkit listrik tidak akan berubah

2.2.2 Pemanasan Ulang Uap Air (Reheat)
Dengan memanfaatkan panas di bagian atas/belakang
tungku bakar, uap air yang telah melakukan kerja di
high pressure turbine tidak langsung dialirkan ke
condenser untuk dikondensasi dan pakai lagi sebagai
feedwater, tetapi dikembalikan




Gambar 4 Hasil perhitungan simulasi pemanasan
bertingkat feedwater dan efek terhadap efisiensi

ke dalam boiler lagi (melalui reheater superheater)
dan dipanaskan kembali sampai suhu 500 ,
kemudian melakukan kerja di intermediate pressure
turbine dan selanjutnya low pressure turbine, setelah
itu baru dialirkan ke condenser (gambar 5).
Pada pembangunan pusat pembangkit listrik,
pemakaian heat recycle sistem ini perlu
memperhitungkan nilai ekonomis, karena dengan
dibangunnya sistem ini diperlukan sambungan pipa yang
lebih panjang yang membuat biaya pembangunan
bertambah mahal.

2.3 Proses Pembakaran
Hasil pembakaran limbah sampah di tungku
bakar (boiler) menghasilkan gas buangan yang
mengandung CO, CO
2
, O
2
, NOx dan SOx.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
32

Dalam hal ini, turunnya kadar O
2
pada keluaran
tungku bakar, menyebabkan panas yang terbawa
keluar dari tungku bakar menjadi berkurang dan
memberikan efek naiknya efisiensi pembangkit listrik
tersebut. Tetapi dari pertimbangan kontrol suhu di
outlet tungku bakar dan efek hot corrosion,
perbandingan udara terhadap bahan bakar ini tidak
bisa dikontrol pada kondisi yang seminim minim-nya.
Umumnya konsentrasi O
2
pada outlet tungku bakar
(boiler) berkisar 10% 15%(2 3), sedangkan pada
tungku bakar pembangkit listrik, berkisar 15% 20%
(3 4) (pada cerobong asap).


2.4 Produksi Limbah Sampah
Produksi limbah sampah yang dipakai
sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik
merupakan juga komponen penting dalam
meningkatkan efisiensi pembangkit listrik. Ini sangat
berhubungan dengan keperluan dalam menentukan
besar dan kemampuan peralatan yang akan
dibangun/diperlukan, serta banyak unit yang dipakai
untuk mengolah limbah sampah tersebut menjadi
bahan bakar, pertimbangan ini sangat berhubungan
pada tahap pembangunan fasilitas pembangkit listrik.
Gambar 6 menunjukkan hasil simulasi antara
jumlah berat sampah per hari di tiap kondisi uap air,
terhadap efisiensi pembangkit listrik. Semakin kecil
skala pembangkit listrik akan semakin kecil pula
efisiensi yang didapat, dari sini dapat diambil
kesimpulan jika limbah sampah yang dibakar lebih
kecil dari 300t/h, efisiensi pembangkit listrik akan
akan turun.
Dari makalah sebelumnya telah dijelaskan
tentang teknologi RDF (Refused Derived Fuel), yang
mengubah limbah sampah kota menjadi padatan yang
mempunyai nilai kalor lebih tinggi.
Dengan teknologi ini limbah sampah menjadi dapat
bertahan lama dan tidak busuk, sehingga dapat
disimpan lebih lama.
Dengan teknologi RDF, dapat dibentuk sebuah
sistem pengolahan limbah sampah kota yang terdiri
dari beberapa kota dengan produksi limbahkota yang
sedikit. Dari beberapa data diketahui bahwa, limbah
sampah yang diambil dari sebuah daerah dengan
penduduk di bawah 100000 jiwa (dengan asumsi
produksi limbah sampah 100t/h), tidak akan
memenuhi target dari segi keuntungan finansial,
karena bila dipakai sebagai bahan bakar selain tenaga
listrik yang dapat dihasilkan kecil, pengadaan
peralatan tidak sebanding dengan keuntungan yang
didapat dari hasil penjualan listrik.
Gambar 7 menunjukkan pemanfaatan teknologi
RDF sebagai sebuah sistem, dimana limbah sampah
dikumpulkan pada suatu tempat pengolahan akhir
(TPA), kemudian dari tempat ini sampah dipilah-pilah,

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
33

Gambar 8 Sistem aliran uap air dan gas pada turbin uap dan turbin gas

Gambar 7 Sistem pengumpulan limbah sampah menjadi bahan bakar RDF
dan limbah sampah yang dapat dipakai sebagai bahan
baku RDF (combustile waste), dibawa ke pabrik
pengolahan RDF. Kemudian dari beberapa pabrik
pengolahan RDFdi beberapa daerah/kota, RDF
dikirim ke pusat pembangkit listrik yang telah
ditentukan. Dengan sistem ini, beberapa daerah yang
mempunyai produksi sampah yang sedikit dapat
diperoleh bahan bakar RDF yang mencukupi untuk
skala besar pusat pembangkit listrik bahan bakar
sampah (dalam hal ini limbah sampah telah diolah
menjadi RDF).
Pada beberapa pilot project yang diadakan oleh
NEDO (New Energy and Industrial Technology
Development Organization), biaya pengumpulan
limbah sampah, pengolahan limbah sampah menjadi
RDF, serta pengangkutan RDF ke pusat pembangkit
listrik, dapat ditutup dari keuntungan penjualan listrik
ke perusahaan listrik swasta atau langsung ke
konsumen/industri.

2.5 Pemakaian gabungan turbin uap-turbin
gas
Pada sistem ini cara pembakaran limbah
sampah dan penyerapan panas memakai teknologi
tungku bakar/boiler, dan hanya untuk menggerakkan 2
turbin generator dipakai masing masing tenaga gas
dan uap air, biasa disebut gas turbine-steam turbine
power station.
Gambar 8 menunjukkan aliran uap air pada
pembangkit listrik bahan bakar sampah di kota Kita
Kyushu, dengan kapasitas 36.3 MW, efisiensi : 27%.
Panas yang dihasilkan pada pembakaran di
tungku boiler (kapasitas (810t/h), menghasilkan uap
air dengan suhu 267 , tekanan 23.5 ata. Uap air ini
masuk ke dalam independent superheater, dimana uap
air dipanaskan lagi dengan panas buangan dari gas
turbin, sehingga dan suhu uap air naik menjadi 350 .
Energi (enthalpi) yang dikandung dalam uap air ini
digunakan untuk menggerakkan turbin uap, dan
menghasilkan daya sebesar 28.3 MW.
Untuk menggerakkan gas turbin dipakai bahan
bakar LPG dengan volume 2193m
3
/h dan dapat di

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
34
hasilkan daya listrik sebesar 8 MW. Pemakaian bahan
bakar fosil ini, dari segi ekonomi merupakan suatu
kelemahan dari sistem ini, karena selisih harga bahan
bakar (LPG) dengan hasil penjualan listrik terkadang
tidak tercapai keuntungan yang sesuai.

3. Penutup
Peningkatan efisiensi pembangkit listrik bahan
bakar sampah sangat diperlukan dalam hubungannya
mengurangi emisi CO
2
, dan dapat digunakan sebagai
pengganti bahan bakar fosil.
Dengan kemajuan teknologi yang ada
rendahnya efisiensi pembangkit listrik bahan bakar
sampah dapat dinaikkan sehingga setara dengan
efisiensi pembangkit tenaga listrik bahan bakar fosil.

4. Referensi
1. The Thermal and Nuclear Power, No.519, Vol. 50,
1999
2. The Thermal and Nuclear Power, No.514, Vol. 50,
1999

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
35



H Hu uk ku um m T Te er rm mo od di in na am mi ik ka a, , E Ek ks se er rg gi i
d da an n K Ke eb bi ij ja ak ka an n E En ne er rg gi i

Sri Harjanto
*

Peneliti ISTECS-Jepang, Energy and Materials Working Group



*
Staf Pengajar Jurusan Metalurgi FT-UI
1. Pendahuluan
Sering kita berhubungan dengan hal-hal absurd
dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti yang
sering kita dengar adalah ungkapan parodi
'membunuh nyamuk dengan bom' atau 'memotong
mentega dengan mesin gergaji'. Kedua kalimat di
atas sebenarnya menggambarkan hal yang nyata
dalam kehidupan kita. Ketika kita dituntut untuk
menyesuaikan jenis, ukuran, kekuatan perkakas
dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Kesadaran
terhadap hal ini sangat diperlukan dalam pembuatan
kebijakan energi. Ketika diperlukan suatu
pendekatan yang tepat yang diperlukan untuk
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan
penggunaan yang seefisien dan seefektif mungkin.
Perbedaan pendakatan kebijakan energi akan
menghasilkan pemborosan yang sia-sia. Oleh karena
itu amat diperlukan penguasaan yang mendalam
terhadap ilmu energi atau termodinamika dalam
kaitan pembuatan kebijakan energi.
Tulisan ini merupakan tinjauan teoritis yang
mencoba menggambarkan hubungan antara
hukum-hukum termodinamika sebagai kerangka
berfikir dalam pembuatan kebijakan energi. Dalam
hal ini konsep exergi diperkenalkan dalam kaitan
bahasan di atas. Beberapa contoh kasus yang terjadi
di negara maju diberikan dan tulisan ini diakhiri
dengan catatan yang diharapkan dapat menjadi awal
diskusi yang lebih luas, utamanya dalam hal
penggunaan dan pemanfaatan sumber energi yang
tidak terperbaharui secara efisien, khususnya di
Indonesia.

2. Pengertian dan konsep dasar [1,2]
Disebutkan dalam hukum ke-1 termodinamika
bahwa energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari satu bentuk
ke bentuk lain. Akan tetapi dalam hal ini energi akan
kehilangan sejumlah kualitas. Dengan kata lain,
kualitas yang akan mengalami degradasi dan
pengurangan nilai atau kualitas dapat diperbaiki, tapi
hanya terjadi dengan akibat penurunan sejumlah
besar kualitas di lain tempat. Kualitas atau potensial
inilah yang disebut sebagai exergi (di Eropa) atau
availability (di Amerika).
Pada tahun 1824, Carnot mempublikasikan sutu
hubungan antara panas (heat) dan kerja (work), yang
kemudian melahirkan hukum ke-2 termodinamika.
Gibbs menggambarkan hubungan umum untuk kerja
pada tahun 1873. Tetapi sebelum tahun 1953 Rant
mengusulkan nama exergi dan definisi umum
diberikan oleh Baehr pada tahun 1965. Keempat
penelitian ini menghasilkan definisi yang memadai
dari konsep exergi dan memapankan landasan
hukum termodinamika.
Sehingga kita dapat mengekspresikan konsep
energi dan exergi dalam suatu istilah yang sederhana
sebagai berikut :
(1) energi adalah gerak (motion) atau kemampuan
untuk menghasilkan gerak, dan
(2) exergi adalah kerja (work) atau kemampuan
untuk menghasilkan kerja.

Dari sini kita dapat memformulasikan hukum
termodinamika sebagai berikut:
(1) energi selalu diubah dalam suatu proses (hukum
ke-1, hukum kekekalan energi), dan
(2) exergi selalu diubah dalam proses yang
dapat-balik (reversible) akan tetapi selalu
terkonsumsi dalam proses real yang tidak
dapat-balik (irreversible) (hukum ke-2, hukum
exergi)

Perbedaan antara energi dan exergi secara
sederhana dapat diilustrasikan pada Gbr.1 [3]. Gbr.
1(a) memperlihatkan suatu ruang tertutup besar yang
berisi tangki bahan bakar dalam atmosfer udara.
Jika bahan bakar tersebut terbakar seperti yang
digambarkan Gbr. 1(b), maka akan terbentuk
campuran hangat produk pembakaran dengan udara
seperti yang ditunjukkan Gbr. 1(c). Meskipun total
kuantitas energi tidak berubah dalam ruang tertutup


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
36
tersebut, tetapi kombinasi bahan-bakar awal
memiliki potensial (kualitas) yang lebih besar
dibanding campuran hangat akhir. Sebenarnya
bahan bakar tersebut dapat digunakan dalam suatu
alat yang dapat membangkitkan listrik,
menghasilkan uap super panas yang dapat
dimanfaatkan untuk memutar turbin. Ilustrasi di atas
yang hanya menghasilkan campuran udara hangat
pada produk akhir, menunjukkan hanya sebagian
kecil dari potensi bahan bakar yang dimanfaatkan.
Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar
potensial awal dihancurkan dalam proses tersebut.
Hal yang penting dalam evaluasi berbagai
strategi penggunaan energi adalah dengan selalu
mempertimbangkan energi dan exergi secara
bersamaan. Pemanfaatan terbaik dapat dicapai
dengan tidak hanya menambal 'lubang-lubang
kebocoran' saja tetapi juga dengan mengidentifikasi
dan mengoreksi segala sesuatu yang dapat
memusnahkan exergi secara sia-sia.

3. Analisa hukum ke-1 dan ke-2
termodinamika [4]
Karena jumlah total energi adalah konstan,
maka kehilangan energi dari sistem selama proses,
sama dengan energi yang diserap oleh
lingkungannya. Contoh sederhana adalah air
terjun. Air di puncak bibir tebing memiliki energi
potensial gravitasi dengan posisinya di ketinggian
tersebut. Energi ini kemudian ditransformasikan
menjadi energi kinetik ketika air itu jatuh dalam
bentuk air terjun. Energi kinetik dari jatuhnya air
terjun itu selanjutnya dapat digunakan untuk
menghasilkan kerja dan tentu saja akan sangat baik
untuk membangkitkan listrik.
Permasalahannya bagaimana dengan air yang
telah sampai di bawah? Umumnya kita memahami
bahwa energi potensial gravitasi yang dimiliki air
saat masih berada di atas tebing itu telah hilang.
Pertanyaannya, apakah hal ini bertentangan dengan
hukum ke-1? Jawabnya sama sekali tidak.

Air yang sudah berada di bawah menjadi sedikit
lebih hangat 1/8
o
C dibanding air yang masih berada
di tebing atas air terjun. Energi panas ini disebabkan
karena gesekan antara molekul air dan antara
molekul air dan batu. Deruman suara air terjun juga
menunjukkan bahwa sebagian energi potensial
gravitasi diubah menjadi energi suara.
Jumlah total energi suara dan panas pada air
yang telah berada di bawah akan sama dengan
jumlah total energi potensial gravitasi pada air di
bagian atas. Perbedaan mendasar anatara kedua
bentuk energi ini adalah kita dapat memanfaatkan
energi potensial gravitasi yang berkualitas dari air di
bagian atas tebing untuk melakukan kerja
menggerakkan pembangkit tenaga listrik, misalnya ,
sedangkan energi suara dan panas yang berkualitas
rendah terlalu kecil untuk dimanfaatkan.
Analisa tradisional hukum ke-1 tidak
memperhitungkan perbedaan kualitas energi ini.
Efisiensi hukum ke-1 hanya membandingkan jumlah
total energi yang masuk ke dalam sistem dan dengan
jumlah total energi yang keluar dari sistem.
Permasalahan dari pendekatan ini adalah tidak
terindikasikannya berapa besar kerja yang dapat
dihasilkan dari sumber energi. Dan menjadi sangat
tidak mungkin untuk menentukannya jika kapasitas
sumber energi untuk melakukan kerja diabaikan.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
37
Pendekatan pada efisiensi energi berbasis pada
hukum ke-2 termodinamika secara jelas
mengindikasikan bahwa apakah kapasitas sumber
energi untuk melakukan kerja yang berguna telah
dicapai atau tidak. Seperti yang telah disebutkan,
energi bervariasi pada
kualitas atau kapasitas
untuk melakukan kerja
yang berguna. Air di atas
tebing tinggi memiliki
sumber energi
berkualitas tinggi karena
dapat dimanfaatkan
untuk melakukan kerja.
Air terjun dapat
digunakan untuk
memutar turbin dan
menghasilkan listrik.
Tetapi energi berkualitas tinggi dalam air terjun itu
berubah menjadi energi panas berkualitas rendah
yang tersebar ketika mencapai dasar jurang. Proses
ini yang berupa degradasi energi adalah salah satu
cara untuk menyatakan hukum ke-2 termodinamika.
Hukum ke-2 adalah hukum degradasi energi. Selama
proses kimia dan fisika, kualitas atau kapasitas
energi untuk melakukan kerja adalah kehilangan
yang tidak-dapat-balik (irreversible)
Degradasi kualitas energi adalah permanen dan
tidak dapat balik. Sebagai contoh,
ketidak-mungkinan konsentrasi tambahan panas
1/8
o
C pada air di dasar air terjun, menggerakkan
pompa untuk menaikkan air ke atas tebing.
Ketidak-dapat-balikan pengurangan kualitas energi
yang dijelaskan oleh hukum ke-2 termodinamika
sesuai dengan common-sense bahwa sesuatu akan
hilang ketika kita membakar bahan bakar. Kita tidak
kehilangan kuantitas karena energi kekal seperti
yang disebutkan hukum ke-1 tapi hukum ke-2
menjelaskan apa yang hilang adalah kualitas energi
atau kapasitas untuk melakukan kerja yang berguna
(exergi).

4. Exergi sebagai konsep sumber daya
Pada umumnya konsep exergi telah banyak
digunakan dalam teknologi
termal dan listrik yang
berkaitan dengan energi
dengan berbagai kualitas.
Akan tetapi bidang aplikasinya
dapat diperluas menjadi
konversi energi dan material
dalam suatu masyarakat. Hal
ini akan menghasilkan
penggambaran yang lebih
seragam terhadap penggunaan
sumber daya fisik dan dampak
lingkungan yang berhubungan
dengan penggunaanya.
Secara umum sumber daya alam dapat dibedakan
menjadi sumber daya energi dan sumber daya
lainnya. Pemisahan ini hanya bersifat pendekatan
saja. Minyak bumi, sebagai contoh, umumnya
dipandang sebagai sumber daya alam dan kayu biasa
dikaitkan sebagai sumber daya material. Akan tetapi
perbedaan ini sendiri menjadi tidak bermakna,
karena minyak bumi dapat digunakan untuk
menghasilkan material-material yang bermanfaat
dan kayu dapat digunakan pula sebagai bahan bakar.
Sepantasnya keduanya dipandang sebagai suatu
kesatuan sumber daya. Dalam hal ini konsep
exergi merupakan alat ukur sumber daya yang
memadai. Kandungan exergi dalam sumber daya
energi diperoleh dengan mengkalikan kandungan
energi dengan faktor kuantitas yang diaplikasikan ke
bentuk energi yang diberikan, sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 1 [1, 5].

Table 1. Kualitas berbagai bentuk energi
_____________________________________________________

Bentuk energi Faktor kualitas
_____________________________________________________
Sangat tinggi Energi potensial
a
1
Enegi kinetik
b
1
Energi mekanik 1
Energi listrik 1
Energi kimia
c
1
Tinggi Energi nuklir
d
0.95
Cahaya matahari 0.93
Uap panas (600
o
C) 0.6
Rendah Panas limbah 0.05
Tidak bernilai Radiasi panas dari bumi 0
_____________________________________________________
a
contoh sumber air sangat besar (danau, dam dan lain-lain)
b
contoh air terjun
c
contoh minyak mentah, batu bara, gas
d
contoh energi dalam bahan bakar nuklir
Analisa tradisional hukumke-1 tidak
memperhitungkan perbedaan kualitas
energi ini. Efisiensi hukumke-1 hanya
membandingkan jumlah total energi yang
masuk kedalamsistemdan dengan jumlah
total energi yang keluar dari sistem.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
38
Dengan prinsip yang sama pula, material dapat
dihitung dalam satuan exergi dengan hanya
mengkalikan besarannya dengan faktor pengubah
untuk material. Satuan faktor pengubah adalah
dalam bentuk, misalnya joule/m
3
(J/m
3
) atau
joule/kg (J/kg). Hal ini merupakan awal neraca
sumber daya yang diperluas (expanded resource
budgeting) dan tahapan mula integrasi dengan
neraca energi tradisional. Dengan demikian, exergi
per satuan kuantitas adalah nilai fisik sumber daya
yang dibandingkan dengan harga, yang merupakan
nilai ekonomi sumber daya. Kedua nilai tersebut
dipengaruhi lingkungannya.

5. Implikasi terhadap kebijakan energi
5.1 Hukum ke-2 termodinamika dan efisiensi
energi
Analisa hukum ke-2 juga menunjukkan dimana
bahan bakar tertentu digunakan secara tidak
sepantasnya seperti kasus listrik yang digunakan
untuk pemanas ruangan. Pendekatan hukum ke-2
terhadap analisa energi menujukkan bahwa [6],

Energi secara efisien digunakan ketika kualitas
sumber disesuaikan dengan kualitas yang
dibutuhkan dari tugas. Oleh karena itu, listrik secara
termodinamika baik jika digunakan untuk
menggerakkan motor yang memutar pakaian dalam
mesin cuci. Akan tetapi sebaliknya menjadi tidak
baik jika digunakan untuk memanaskan air dalam
mesin cuci. Dengan menyesuaikan sumber-sumber
energi dengan penugasannya kita dapat mencegah
pemborosan penggunaan energi berkualitas tinggi
untuk tugas berkualitas rendah dan meminimalkan
biaya ekonomi dan sosial dari produksi energi.
Karena pendekatan hukum ke-2
menggambarkan sejumlah penyia-yiaan dalam
penggunaan listrik untuk pemanas ruangan,
kebutuhan fasilitas pembangkit listrik besar dan
terpusat harus dievaluasi. Tugas dan kebutuhan
energi kualitas rendah seperti pemanas ruangan
dapat diperoleh lebih efisien dan murah dengan cara
lain. Di beberapa gedung perkantoran di beberapa
negara maju, panas diperoleh dengan menangkap
limbah panas yang dipancarkan dari peralatan
kantor seperti komputer, photocopy, orang-orang
dan lampu ke daerah-daerah yang lebih dingin dari
bangunan atau menyimpannya untuk penggunaan
kemudian. Sehingga kapasitas yang tinggi atau
ketersediaan listrik untuk melakukan kerja tidak
tersia-siakan pada kerja pemanasan yang
memerlukan kerja yang sangat kecil dan pada
akhirnya seluruh kebutuhan listrik direduksi. Kita
menghindari memotong mentega dengan mesin
gergaji.
Jelasnya memaksimalkan efisiensi hukum ke-2
akan mendorong pada strategi berbeda daripada
memaksimalkan efisiensi hukum ke-1. Contoh, jika
sebuah kota memerlukan kapasitas pemanas
ruangan, strategi hukum ke-2 akan terdiri dari
identifikasi sumber-sumber energi kualitas rendah
dalam struktur lokal yang bisa dipanaskan dan
cara-cara menyalurkan dari sumber-sumber tersebut.
Hal yang berbeda dengan strtegi hukum ke-1 yang
akan terdiri dari penggunaan pemanas listrik yang
sangat efisien dan membangun banyak pembangkit
listrik tenaga nuklir. Dengan demikian,
memaksimalkan efisiensi hukum ke-2 akan
menghasilkan dampak yang signifikan terhadap
pilihan kebijakan.

5.2 Exergi dan akunting sumber daya
Kajian konsep exergi dalam penghitungan
konversi exergi telah dilakukan terhadap beberapa
negara maju, seperti Jepang [5] dan Swedia [7].
Kajian ini menunjukkan bahwa secara umum
ditemukan adanya ketidakefisienan dalam
penggunaan energi.
Di Jepang, pada tahun 1985 dari total aliran
sumber daya energi dan material sebesar 18 EJ (=
18x10
18
Joule), hanya 21% mencapai penggunaan
akhir. Kerugian besar ini dapat dikurangi dengan
pembuatan anggaran sumber daya dan ekonomisasi
di semua level dalam masyarakat. Kajian ini
mendorong pula perbaikan teknologi seperti pada
teknik bangunan. Insulasi panas yang lebih baik
diperlukan dalam rangka mengurangi penggunaan
pemanas ruangan dan pengkondisian udara (AC, air
conditioner). Pada sisi lain analisa ini memberikan
rekomendasi jangka panjang mengenai penggunaan
sumber daya yang terbaharui (renewable resources)
dalam memasok kebutuhan masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat
Swedia pada tahun 1994, dari total aliran energi
sebesar 2.72 EJ hanya 14% mencapai penggunaan
akhir. Jika diperhitungkan pula energi nuklir,
kondisinya menjadi lebih buruk, dari total 58 EJ
hanya 0.65% yang mencapai penggunaan akhir.
Ditemukan pula bahwa sejumlah besar energi listrik
yang dibangkitkan tenaga nuklir digunakan untuk
keperluan pemanas ruangan. Efisiensi penggunaan
energi komersial yang berasal dari tenaga air, bahan
bakar nuklir dan bahan bakar fosil mencapai kurang
dari 10%.

6. Penutup
Pendekatan hukum ke-2 termodinamika dan
konsep exergi untuk akunting sumber daya
memberikan suatu pemahaman baru mengenai
pentingnya memperhitungkan kualitas energi dalam
pembuatan kebijakan energi. Indonesia dengan
kekayaan sumber daya alam tentunya dapat
menggunakan pendekatan ini dalam penyusunan
kebijakan yang berkaitan dengan energi dan sumber
dayanya. Tentunya diharapkan agar hal-hal yang
terjadi di beberapa negara maju seperti yang
dicontohkan di atas tidak terjadi di Indonesia. Dan
agar berbagai bentuk ketidakeefisienan dan
pemborosan energi dan sumber daya bisa dihindari.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
39
Pengetahuan ini juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keadaan dimana perbaikan teknis
dan perbaikan lainnya perlu diambil. Selain juga
membantu dalam menentukan prioritas yang
diperlukan dalam pengukuran konservasi. Akan
tetapi penggunaan teknik dan analisa ini
memerlukan perbaikan data statistik.

Referensi:
1. Wall, G. (1977). Exergy-A useful concept within
resource accounting, Report no. 77- 42,
Institute of Theoretical Physics, Chalmers
University of Technology and University of
Gteborg, Sweden
2. Wall, G. (1986). Exergy A useful concept. PhD.
Thesis, Physical Resource Theory Group,
Chalmers University of Technology, Gteborg,
Sweden
3. Moran, M. J. (1982). Availability analysis: A
Guide to efficient energy use. Prentice Hall, New
Jersey.
4. Simpson, M. and Kay, J. (1989). Availability,
Exergy, the Second Law and all that,
http://www.fes.uwaterloo.ca/u/jjkay/pubs/exergy/
5. Wall, G. (1990). Exergy conversion in the
Japanese society, Energy, 15(5): 434-444
6. Torrie, R. (1981). Half life: Nuclear Power and
Future Society. A report to the royal commission
on Electric Power Planning, Ottawa: Ontario
Coalition for Nuclear Responsibility.
7. Wall, G. (1997). Exergy use in the Swedish
society 1994, TAEIS97, Beijing, pp. 403-413.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
40

Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan

Anto Tri Sugiarto
1,2
1) Peneliti ISTECS-J P
2) KIM-LIPI Serpong, Indonesia
antocut@yahoo.com

Artikel ini berisikan bahasan singkat mengenai prospek perkembangan energi untuk masa yang
akan datang. Pembahasan diawali dengan ulasan singkat tentang perkembangan energi yang
ada, yang kemudian dilanjutkan dengan ulasan tentang energi baru beserta prospeknya di masa
yang akan datang. Pembahasan diakhiri dengan studi tentang kebijakan penggunaan energi baru
di Jepang. Disini akan kami jelaskan langkah-langkah pemerintah Jepang dalam menciptakan
dan mempergunakan energi baru sebagai penganti minyak bumi.


1. Energi dan perkembangannya
Memasuki pertengahan abad 19, penggunaan
sumberdaya energi berkembang sangat pesat. Dengan
bertambah makmurnya kehidupan umat manusia,
menunjukkan bertambah banyaknya jumlah
penggunaan energi.
Sampai dengan 40 puluh tahun yang lalu, energi
yang dapat digunakan untuk 100 tahun, sekarang
hanya cukup untuk memenuhi 15 tahun saja. Sudah
barang tentu pemakai terbesar dari sumber daya energi
ini adalah negara-negara maju. Negara-negara maju
yang berpenduduk 1/4 dari jumlah penduduk dunia,
mempergunakan 3/4 dari jumlah energi yang ada.
Sebagai contoh, jumlah energi yang dipergunakan
oleh satu orang warga negara Jepang adalah 5 kali dari
satu orang warga negara Cina. Namun, sekarang tidak
dapat dipungkiri lagi penggunaan energi oleh
negara-negara berkembangpun semakin bertambah.
Energi yang selama ini kita pergunakan umumnya
berasal dari, minyak bumi, batubara, dan gas bumi.
Semuanya ini berasal dari bahan bakar fossil, yang
dimana kondisinya telah mencapai batas. Diantaranya
adalah:

1.1 Batas persediaan
Hampir dari 85 % dari energi yang kita pergunakan
adalah berasal dari bahan bakar fossil. Bahan bakar
fossil yang berasal dari fossil makhluk hidup beberapa
juta tahun yang lalu ini, akan kita pergunakan habis
hanya dalam kurun waktu 200~300 tahun saja.
Kalau kita pergunakan energi seperti kondisi
sekarang ini, maka persediaan bahan bakar fossil yang
ada sekarang adalah minyak bumi tinggal 40 tahun,
gas bumi 63 tahun, dan batubara 231 tahun lagi.

1.2 Batas masalah lingkungan
Dalam penggunaannya bahan bakar fossil memiliki
salah satu batas lagi, yaitu pencemaran lingkungan
yang diakibatkan oleh material berbahaya yang
dikeluarkan seperti NOx dan SOx, yang dapat
mengakibatkan hujan asam dan pencemaran lainnya.
Juga CO
2
hasil dari pembakaran batubara untuk
menghasilkan energi. Bertambah jumlah CO
2
telah
mengakibatkan tingginya kenaikan suhu permukaan
bumi.
Untuk mengatasi kondisi yang ada, sekaligus untuk
memenuhi kebutuhan akan energi dimasa yang akan
datang, eksistensi dari penemuan/pemakaian energi
baru sangat diharapkan.

2. Energi baru
2.1 Energi alami
Sumber energi alami, yang sempat menghilang
dengan adanya minyak bumi sebagai sumber
penghasil energi. Muncul kembali dengan kemasan
baru yang didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan
dewasa ini. Kembalinya sumber energi alami, selain
dikarenakan adanya keterbatasan pada sumber energi
(minyak bumi), juga energi alami mempunyai sifat
clean energi dan memiliki kemampuan yang tidak ada
pada energi bahan bakar fossil yaitu daur ulang
(recycle). Disisi lain, sumber energi alami juga
merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi
keterbatasan energi, mengingat dari jumlah persedian
dan keaneka ragaman bentuknya.
Memelihara sumber daya alam dan memanfaatkan
seluruh potensi yang ada juga merupakan cara yang
tepat untuk memecahkan masalah energi ini. Berikut
adalah energi alami, yang dalam perkembangannya
menjanjikan terciptanya sumber energi baru guna
memenuhi kebutuhan energi sekarang dan masa yang
akan datang.

a. Matahari
Matahari dapat dikatakan sebagai sumber dari segala
aktivitas kehidupan manusia di muka bumi. Selain


DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
41
menghasilkan energi panas dan energi cahaya,
sirkulasi air dan angin untuk menghasilkan sumber
daya energi pun terjadi karena adanya matahari.
Demikian pula halnya dengan bahan bakar fossil
seperti minyak bumi dan batubara terjadi berkat
bantuan energi matahari.
Dasar dari penggunaan energi matahari adalah
penggunaan panas dan cahaya matahari. Beberapa
contoh yang sudah ada adalah, pengunaan panas
matahari dalam mesin penghangat air, mesin
penghangat ruangan. Juga penggunaan cahaya
matahari pada calculator, satelit, pembangkit listrik
dan masih banyak lagi penggunaan lainnya.
Diantara sumber energi alami yang ada, energi
matahari inilah yang memiliki kemungkinan paling
besar sebagai sumber energi, dibandingkan dengan
sumber energi alami lainnya. Hal ini mengingat
sumber energi matahari bisa dikatakan tidak terbatas
(reaksi dari hidrogen menjadi helium pada permukaan
matahari, yang merupakan sumber energi ini,
diperkirakan terjadi untuk beberapa puluh juta tahun).
Selain daripada itu, jumlah energi yang sampai
dipermukaan bumi diperkirakan sekitar 1kW/m
2
,
suatu jumlah yang tidak sedikit.

b. Angin
Salah satu dari energi alami yang termasuk
kategori clean energi adalah tenaga angin. Sebagai
contoh kita bisa melihat pembangkit listrik yang
digerakkan oleh kincir angin di negara Belanda,
pemakaian tenaga angin untuk sumber listrik di san
francisco, Amerika, dll. Berbeda dengan energi
matahari, energi tenaga angin ini dapat dihasilkan baik
siang maupun malam, juga efisienci perubahan energi
angin menjadi energi listrik cukup baik, sekitar 40 %.
Walaupun dalam pengunaannya sangat dipengaruhi
oleh tempat, arah angin dan terbatasnya kwantitas dari
energi yang dihasilkan oleh sebuah kincir angin.
Namun pesatnya perkembangan teknologi dalam
penggunaan tenaga angin telah menunjukkan hasil
yang memuaskan. Dalam beberapa tahun terakhir ini
di Jepang, harga energi listrik yang dihasilkan dari
pembangkit listrik tenaga angin berkisar 16~25
yen/kWh, sekitar 1/2~1/3 dari harga energi listrik dari
pembangkit listrik batubara.

c. Panas bumi
Energi panas bumi yang terdiri dari batuan dan air
panas dihasilkan oleh magma panas yang berada di
pusat bumi. Dalam penggunaannya, energi panas
bumi bukanlah hal yang baru. Di negara-negara
yang banyak memilliki gunung berapi, energi panas
bumi ini cukup dikenal. Di jepang sejak tahun 1915
energi panas dipergunakan sebagai sumber
pembangkit tenaga listrik. Begitu pula halnya di
kawah kamojang di jawa barat, Indonesia.
Mengingat dalam penggunaanya hampir sama dengan
pembangkit listrik dengan batubara (uap panas
dipergunakan untuk menggerakkan turbin), juga
jumlah persediaannya yang stabil. Besar sekali
harapan kita akan kemajuan teknologi dalam
penggunaan sumber energi panas bumi ini.

d. Laut
Melihat dari potensi laut yang demikian luas,
bukan suatu hal yang berlebihan jika laut dapat
dikatakan sumber energi yang sangat potensial.
Berbagai bentuk sumber energi yang terdapat di dalam
laut, dapat kita bagi dalam tiga bagian. Bagian
pertama adalah dasar laut dan dibawahnya. Kita bisa
mendapatkan batubara, minyak bumi, natural gas dll.
Bagian kedua adalah uranium, lithium dll. sedangakan
bagian ketiga adalah ombak, aliran air laut, perbedaan
suhu dll. Dari pembagian di atas, Sumber energi
yang dapat didaur ulang adalah bagian ketiga dimana
sebagian besar dari penggunaan tenaga air laut sebagai
sumber energi adalah, pembangkit listrik tenaga
ombak, pembangkit listrik dari perbedaan suhu air laut
dll.
Dari kondisi dan data yang ada sekarang ini,
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga air laut
sebagai sumber energi masih sangat sedikit. Hal ini
dilihat dari segi ekonomi dan efisiensi masih jauh dari
yang diharapkan. Namun kita tetap berharap, laut
yang luasnya 70 % dari permukaan bumi ini, disuatu
saat dapat menjadi sumber energi yang tengah kita
butuhkan.

e. Air
Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita kalau
mendengar air sebagai sumber pembangkit tenaga
listrik. Tenaga air adalah merupakan sumber energi
yang clean dan bisa didaur ulang. Di negara kita
sendiri, sebagian besar dari sumber pembangkit tenaga
listrik adalah bertenaga air. Dibeberapa negara maju
seperti Jepang, pada sekitar tahun 1965, air
merupakan sumber pembangkit tenaga listrik utama.
Yang kemudian mengalami penurunan dalam
pengunaannya akibat kebutuhan energi yang semakin
pesat.
Namun permasalahannya sekarang bukan hanya
dalam jumlah energi saja, persediaanya energi yang
cukup, sedikitnya efek terhadap lingkungan, dan juga
perlunya penganti bahan bakar fosil, perkembangan
teknologi dalam penggunaan sumber energi bertenaga
air ini sangat diharapkan.

2.2 Bentuk baru dari sumber energi
Sumber energi baru yang sama sekali berbeda
bentuknya dengan yang ada sekarang ini adalah
pemanfaatan energi yang selama ini dibuang (recycle
energy), dan pemanfaatan energi yang ada dalam
bentuk lain.
Berikut beberapacontoh dari bentuk baru sumber
energi:

a. Tenaga limbah
Peningkatan limbah domestik dan industri, juga
pencemaran udara dll. adalah merupakan bagian dari
permasalahan yang dihadapi sekarang. Namun apabila

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
42
limbah itu kita manfaatkan sebagai sumber dari energi,
dua masalah utama yaitu masalah lingkungan dan
energi dapat kita selesaikan sekaligus.
Beberapa tatacara dalam memanfaatkan limbah ini
adalah pemanfaatan panas hasil pembakaran limbah
untuk membangkitkan tenaga listrik atau pemanfaatan
panas itu langsung untuk energi panas.
Selain energi panas yang didapatkan dari
limbah tadi, pemanfaatan energi panas yang terbuang
selama proses produksi suatu perusahaan juga
merupakan sumber energi yang tidak sedikit.
Dengan perkembangan teknologi saat ini,
pemanfaatan energi panas yang terbuang tidak terbatas
pada suatu perusahaan namun mulai berkembang baik
di perkantoran, subway dll.

b. Perbedaan suhu
Pemanfaatan perbedaan suhu dari air dan udara di
permukaan laut, sungai, dan air tanah, juga merupakan
sumber energi yang cukup. Sistem penghangat
central yang dipergunakan dibeberapa kota besar di
Jepang seperti Tokyo, Osaka, Fukuoka dll. adalah
merupakan contoh dari pemanfaatan energi panas dari
perbedaan suhu air dan udara.

c. Co-generation
Pemanfaatan energi listrik dan panas secara
bersamaan, co-gerneration. Merupakan suatu sistem
energi yang memiliki effisiensi energi 70-80 %.
Beberapa contoh pengunaan dari sistem co-generation
di dalam pabrik adalah steam turbine, gas turbine,
diesel engine, gas engine dll. Di Jepang, dalam
waktu dekat sistem co-generation akan dapat
dikonsumsi oleh setiap rumah penduduk.

d. Fuel cell
Fuel cell adalah suatu pembangkit tenaga listrik yang
dihasilkan dari reaksi electro-chemistry hidrogen
dalam gas alam, gas methane dll. dengan oksigen dari
udara. Yang memiliki efisiensi energi sekitar
40~50 %, dan apabila digabungkan dengan energi
panas (co-generation) memiliki efisiensi energi sekitar
80 %. Selain daripada itu sedikitnya jumlah gas SOx,
NOx yang dihasilkan. Polusi suara dan getaranpun
bisa dikatakan tidak ada. Fuel cell ini sangat tepat
sekali untuk dipergunakan untuk hotel, rumahsakit
dan juga tempat tempat yang membutuhkan energi
listrik dan panas secara bersamaan.

e. Clean energi car
Clean energi car adalah mobil yang mempergunakan
listrik, gas alam, gas methane dan juga campuran dari
gasoline dan yang disebut diatas (hybrid car), sebagai
sumber motor penggeraknya. Dilihat dari
perkembangannya mobil ini masih kurang
menggembirakan. Setelah diawali dengan penjualan
mobil hybrid , prius dari Toyota pada tahun 1997,
jumlah mobil yang terjual baru 24.000 buah saja di
akhir 1998. Hal ini dikarenakan harga dari mobil
hybrid dan clean energi lainnya masih sekitar 1.2 ~ 3
kali dari harga mobil yang ada dipasaran. Namun
diharapkan pada tahun 2010 mobil clean energi ini
akan mampu mengantikan mobil diesel dan petroleum
lainnya.

3. Kebijakan energi di Jepang

3.1 Kondisi energi saat ini
Pesatnya perkembangan perekonomian di Jepang
telah mengakibatkan tingginya peningkatan konsumsi
energi pada tahun 19601970. Namun hal ini tidak
berlanjut lama, peristiwa Oil shock pada tahun 1973,
telah membawa beberapa perubahan, terutama
kesadaran akan penghematan energi. Semenjak tahun
1973 hingga sekarang (tahun 2000) penggunaan
energi dalam bidang industri dapat dikatakan stabil.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan penggunaan
energi oleh masyarakat dan transportasi. Pemakaian
peralatan elektronik dan kendaraan bermotor telah
mengakibatkan jumlah penggunaan energi tahun 1997
dua kali lipat tahun 1973. Akibatnya, jumlah total
penggunaan energi di Jepang pada tahun 1997 adalah
1.4 kali tahun 1973.
Menurut data tahun 1993, kemampuan Jepang
untuk menyediakan energi sendiri hanya sekitar 18 %
saja. Sebagian besar dari sumber energi Jepang,
berasal dari luar negeri. Terutama minyak bumi, bisa
dikatakan seluruhnya adalah hasil impor. Sekitar
80 % dari minyak buminya berasal dari timur tengah.

DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001
43
Tingginya ketergantungan Jepang akan luar negeri
dan lemahnya persediaan energi dalam negeri,
menyebabkan kepentingan akan penghematan energi
dan penyediaan berbagai macam jenis energi, lebih
banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Selain
daripada itu sebagai konsumen pemakai minyak bumi
masalah pencemaran udara akibat dari gas NOx, SOx,
begitu pula kenaikan suhu permukaan bumi akibat
dari CO
2
telah mendorong Jepang untuk bersegera
dalam mencari pengganti minyak bumi sebagai
sumber energinya.

3.2 Kebijakan energi baru
Pola dasar dari kebijakan energi Jepang adalah 3E
yaitu, Economic growth, Energy security,
Environmental protection. Dalam rangka untuk
dapat mencapai 3E ini, diperlukan keseimbangan dari
ketiga point tersebut. Untuk itu kebutuhan akan energi
baru yang dapat menghemat sumber energi dan
memiliki sedikit beban terhadap lingkungan adalah
jawabannya.
Undang-undang tentang pengembangan dan
pemanfaatan energi pengganti bahan bakar fosil
dibentuk tahun 1980. Yang kemudian dilanjutkan
dengan pembentukan New energy and Industrial
Technology development organization (NEDO) dan
New Energy Foundation (NEF). Yang
masing-masing dari tugasnya adalah NEDO, bertugas
untuk menetapkan dan mengumumkan target dari
sumber energi baru sekaligus pengembangan
teknologi untuk mengolah sumber energi tersebut.
Sedangkan NEF, berperan untuk memasyarakatkan
sumber energi baru tersebut.
Untuk dapat mempercepat program diatas pada
tahun 1994 dibentuk perundangan tentang penggunaan
energi baru dalam skala besar. Yang kemudian
diperbaiki pada tahun 1998.
Untuk mempercepat tercapainya program diatas,
berikut tiga point utama dari energi baru yaitu:
- Reproduce energy (energi matahari, tenaga angin
dll.)
- Recycle energy (pembangkit listrik tenaga
limbah, dll.)
- Pemakaian bentuk baru dari energi yang ada
(clean energy car, fuel cells, dll.).
Selain daripada tiga point diatas, penetapan
bantuan dalam penggunaan sumber energi diatas,
usaha untuk menurunkan harga dari masing-masing
sumber energi, kerjasama yang erat dari seluruh unsur
yang terkait (pemerintah, pengusaha dan masyarakat).
Untuk energy panas bumi dan sumber energi air tidak
termasuk dalam program ini. Mengingat kedua
sumber ini telah banyak dipergunakan. Hasil dan
target dari pengadaan energi baru diJepang bisa dilihat
pada tabel-1.

4. Kesimpulan
Penyediaan energi baru sebagai usaha untuk
mengganti/mengatasi kebutuhan akan energi pada
masa kini dan yang akan datang adalah langkah tepat,
yang dalam pelaksanaannya masih banyak
memerlukan tahap-tahap aplikatif lainnya. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi penggunaan energi baru
yang masih sedikit dirasakan oleh masyarakat luas.
Untuk itu perkembangan teknologi dalam
pengolahan dan pemanfaatan sumber energi yang ada
adalah merupakan tantangan baru yang harus kita
hadapi sekarang.

Daftar Pustaka
[1] New Energy Foundation, http://www.nef.or.jp
[2] New energy and Industrial Technology development
organization, http://www.nedo.go.jp
[3] Basic plans for Research & Development of
Energy, Science & Technology in Japan, Vol.14(15-2),
1995
[4] Energy-resources recycle, Creative chemical
engineering course, 1996.
Tabel-1 Hasil dan target dari pengadaan energi baru di Jepang

You might also like