M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (1 1) ): : M Mi im mp pi i d da an n G Go ol l A Ak kh hi ir rn ny ya a ............................................................ 3 M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (2 2) ): : S St ta at tu us sn ny ya a S Sa aa at t I I n ni i d da an n P Pr ro os sp pe ek k M Ma as sa a D De ep pa an n .................................... 7
M Me en ng gg ga ap pa ai i E En ne er rg gi i M Ma at ta ah ha ar ri i .......................................................... 12
P Ph ho ot to ov vo ol lt ta ai ic c P Po ow we er r S Sy ys st te em m: : H Ha ar ra ap pa an n d da an n K Ke en ny ya at ta aa an n ...................... 16 S Sa am mp pa ah h K Ko ot ta a S Se eb ba ag ga ai i E En ne er rg gi i A Al lt te er rn na at ti if f .......................................... 23 P Pe en ni in ng gk ka at ta an n E Ef fi is si ie en ns si i P Pe em mb ba an ng gk ki it t L Li is st tr ri ik k B Ba ah ha an n B Ba ak ka ar r S Sa am mp pa ah h ....... 29 H Hu uk ku um m T Te er rm mo od di in na am mi ik ka a, , E Ek ks se er rg gi i d da an n K Ke eb bi ij ja ak ka an n E En ne er rg gi i .................... 35 Prospek Energi Masa Depan ......................................................... 40
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 2
Kata Pengantar
ak terasa kawasan sub-tropik bumi belahan utara, termasuk Jepang, akan segera memasuki musim panas tahun 2001.Suhu mulai meninggi dan udara mulai lembab. Di Jepang, sebelum memasuki musim panas, natsu no kisetsu, ada musim peralihan yang disebut tsuyu. Selama masa ini, keadaan cuaca tidak menentu, kadang cerah tapi lebih banyak berawan dan hujan. Banyak orang yang mengeluh karena setumpuk pekerjaan yang tidak beres ketika musim peralihan ini tiba, disebabkan sifatnya yang unpredictable. Tetapi sekali lagi, alam mengajari kita petuah klasik. "Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu." Manfaatkanlah waktu luang, sebelum datang kesibukan. Dalam edisi kali ini, DIMENSI membawakan tema seputar energi terbaharu dan penggunaan energi secara efisien. Sebagaimana kita maklumi bersama, sejak revolusi industri Inggris abad 18 kebutuhan manusia akan energi meningkat sangat pesat, sebagian ahli mengatakan secara eksponensial, dan sekarang kita dihadapkan pada suatu dilema baru:krisis bahan bakar dan krisis lingkungan. Masalah yang tak kalah pelik adalah isu lingkungan. Satu efek samping penggunaan bahan bakar fosil secara massive adalah laju pertambahan konsentrasi CO2 dalam atmosfer bumi yang melebihi kemampuan daur ulang alami bumi. Belum lagi efek samping lainnya seperti pertambahan nitrat dan sulfur di udara bebas yang mengakibatkan hujan asam. Para ahli memperkirakan bahwa apabila tidak dilakukan sesuatu berkaitan dengan dua krisis ini (bahan bakar dan lingkungan) maka manusia sebenarnya telah melukis masa depan yang suram bagi anak cucunya sendiri. Berbicara tentang tabiat alam yang sering memberikan pesan-pesan berharga kepada manusia lewat berbagai fenomena, sebenarnya manusia industri modern tengah mengkhianati alam sekaligus mengkhianati penciptanya. Bahkan bisa jadi suatu saat "pesan-pesan alam" tak akan mampu lagi kita tangkap disebabkan kerusakan yang kita akibatkan sendiri. Dalam edisi kali ini DIMENSI menampilkan tulisan mengenai pemanfaatan secara maksimal energi matahari melalui Photovoltaic Power System, juga ada tulisan yang membahas prospek energi masa depan dan tulisan tentang kebijakan energi di Jepang. Tak kalah menariknya, pembahasan mengenai salah satu prototipe system energy masa depan: pembangkit listrik bahan bakar sampah. Juga kami tampilkan pengenalan nanoteknologi sebagai salah satu teknologi masa depan. Dan jangan lewatkan, laporan dari salah satu ilmuwan ISTECS yang mengikuti seminar tentang energi terbaharukan di Amerika beberapa waktu yang lalu yang dituangkan dalam tulisan berjudul,"Menggapai Energy Matahari". Demikianlah hasil kerja kru DIMENSI kali ini, kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang membantu terbitnya edisi ini,terutama sekali kepada para penulis dan tim layout. Mudah-mudahan DIMENSI bisa memberikan suatu pencerahan dan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Warta Sains Dan Teknologi
Penerbit Institute for Science and Technology Studies (ISTECS)
Penanggung Jawab Direktur ISTECS Chapter Japan
Editor Agus Fanar Syukri Agus Haryono Anto Tri Sugiarto Arman Wijonarko Azhari Sastranegara Iko Pramudiono Romi Satria Wahono Sri Harjanto
Redaksi Pelaksana Azhari Sastranegara (Ketua Redaksi) Agus Fanar Syukri Amien Rusdiutomo Anto Tri Sugiarto Arman Wijonarko Hendro Subagyo Iko Pramudiono Romi Satria Wahono
Desain dan Layout Romi Satria Wahono Azhari Sastranegara
Copyright 2000 ISTECS Chapter Japan
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 3 M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (1 1) ): : M Mi im mp pi i d da an n G Go ol l A Ak kh hi ir rn ny ya a
Dedy Hermawan Bagus Wicaksono Dept. of Biological Information, Tokyo Institute of Technology Email: dedy@bio.titech.ac.jp
Bagian satu dari dua tulisan tentang nanoteknologi ini akan mengulas apa sebenarnya nanoteknologi molekular, dan mengapa nanoteknologi secara umum mendapatkan perhatian yang besar akhir-akhir ini, khususnya di negara maju. Sedikit sejarah berkembangnya nanoteknologi molekular juga akan diceritakan secara singkat. Begitu pula keunggulan serta keuntungan yang dijanjikannya dibandingkan teknologi konvensional saat ini. Akan diungkapkan pula sedikit perbedaan nanoteknologi molekular dengan nanoteknologi konvensional.
Pendahuluan
etiap orang yang mengikuti perkembangan berita, khususnya di bidang iptek, pasti tidak asing lagi dengan kata-kata nanoteknologi. Apalagi, setelah Presiden Amerika Serikat mencanangkan National Nanotechnology Initiative di tahun 2000 yang lalu [1], nanoteknologi pun menjadi makin terkenal. Sebenarnya apa itu nanoteknologi, dan apa yang membuatnya berbeda dengan teknologi yang telah ada? Atau memang betul berbeda, atau hanyalah merek dagang baru atas teknologi-teknologi lama? Tulisan yang terdiri atas dua bagian ini mencoba membahas gembar-gembor nanoteknologi ini. Apa yang sebenarnya diimpikan orang dengan nanotek-nologi, dan bagaimanakah realita yang telah dicapai orang dalam mengejar impian nanoteknologi ter-sebut.
Makna dan Sejarah Bangkitnya Nanoteknologi Sesuai dengan namanya, nanoteknologi atau nanosains adalah ilmu pengetahuan dan teknologi pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter. Kalau ditanya tentang skala ukuran, maka yang bia-sa bekerja pada skala ini adalah para biolog atau bi-oteknolog yang banyak mengutak-atik biomolekul. Pada ukuran yang lebih kecil, para kimiawan biasa bekerja pada skala beberapa angstrom hingga bebe-rapa nanometer, yaitu ketika mereka berhadapan dengan unsur atau senyawa kimia, dan mereaksi-kannya satu sama lain. Sementara itu, fisikawan partikel bekerja pada ruang lingkup yang lebih kecil lagi, ketika mereka berusaha menghitung reaksi-re-aksi subpartikel, atau mengamatinya di pusat-pusat eksperimen subpartikel atau fisika energi tinggi. Pa-da ruang lingkup yang lebih besar dari nanometer, para insinyur material bekerja pada skala beberapa ratus nm hingga beberapa puluh m (mikrostruk-tur). Demikian pula insinyur elektronik bekerja pa-da skala submikrometer hingga cm.
Lalu, mengapa nano? Mengapa tidak yang lebih kecil, angstrom? Menurut pemahaman penulis, justru pada level nanometer inilah, orang (baca ma-nusia) belum bisa melakukan rekayasa secara mak-simal. Pada level makro, hingga submikrometer, pa-ra insinyur rekayasa berhasil memanipulasi material untuk keperluan tertentu. Dengan metode rekayasa top-down, orang mengambil bahan baku dari alam, memecah-mecahnya, mengukirnya, menjadi kom-ponen-komponen, yang kemudian disambung-sambung lagi, dilem, dilas, dan lain-lain untuk menghasilkan produk rekayasa tertentu. Demikianlah, kebanyakan produk-produk yang ada di sekitar kita dibuat. Pendekatan rekayasa konvensional yang telah berumur lama seperti ini, sebetulnya tidak efi-sien karena selalu ada limbah yang dihasilkan. Tapi, memang, hasilnya telah nyata di hadapan kita, pro-duk-produk dengan kecermatan yang dapat diatur dan bermutu tunggi, seperti misalnya rangkaian-rangkaian elektronik terpadu. Ketelitian yang tinggi ini harus ditebus pula dengan besarnya energi yang diperlukan untuk merekayasa suatu sistem. Semakin kecil sistem yang ingin dibuat, semakin besar pera-latan yang dibutuhkan, dan semakin mahal.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 4 About The Aut hor About The Aut hor About The Aut hor About The Aut hor Dedy Hermawan Bagus Wicaksono dilahirkan di Surabaya, 20 Agustus 1974. Pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Atas ditempuhnya di Surabaya. Setelah menamatkan pendidikan S1nya dari Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik Fisika di tahun 1998, pergi ke Jepang untuk belajar bahasa dan melanjutkan sekolahnya. Saat ini, penulis tercatat sebagai mahasiswa S2 di Dept. of Biological Information, Tokyo Inst. Of Technology, di bawah supervisi Prof. M. Aizawa, dan Prof. E. Kobatake. Minat risetnya adalah biosensor dan bionanoteknologi molekular. Penulis juga mengasuh mailing list nanotek-Ina@egroups.com, suatu milis untuk diskusi tentang nanoteknologi Indonesia Kecen-derungannya memang miniaturisasi, seperti yang terlihat di dunia mikroelektronika. Pada Silicon Technology Roadmap [2] teknik photolitography a-kan digenjot untuk menghasilkan memori dengan jarak antar gatenya tidak lebih dari 70nm, paling lambat tahun 2010.
Sementara itu pada level nanometer, hingga angstrom, para kimiawan telah bekerja mereaksikan unsur atau senyawa kimia dengan sebagian besar mengandalkan ikatan kovalen dan atau ikatan ionik. Pada level ini, boleh dikatakan, kimiawan dengan mengandalkan reaksi kimia yang random dalam su-atu pelarut, berhasil membuat berbagai molekul dengan berbagai struktur, yang secara termokimia memiliki kestabilan energi. Justru, tantangan sinte-sis kimia adalah membuat molekul sintetik yang le-bih besar dengan struktur yang bisa didesain ab ini-tio. Muncullah apa yang disebut kimia supramole-kul atau kimia makromolekul. Pencapaiannya yang telah sering diketahui umum adalah polimer, suatu senyawa kimia raksasa yang terbentuk dari kompo-nen molekul monomer yang bersambung satu sama lain dengan ikatan kovalen dan atau ikatan ionik. Berbeda dengan pendekatan top-down ilmu rekaya-sa, kimia mengandalkan jalur-jalur perubahan yang diprediksi stabil secara termodinamis, untuk mem-bangun produk yang lebih besar. Energi dari luar ti-daklah telalu besar. Konsekuensinya, hasil struktur molekul yang dihasilkan tidak dapat dikontrol pe-nuh, dalam arti berlangsung secara acak dalam la-rutan.
Sementara itu, bioteknolog biasanya hanya menggunakan bahan biomolekul yang ada pada a-lam, yang berdimensi nanometer. Tapi, baik biotek-nolog maupun kimiawan belum bisa sepenuhnya meniru mekanisme kerja sistem biomolekul ini. De-mikianlah, nanoteknologi, khususnya nanoteknologi molekular memiliki bidang garapan di antara kimia konvensional dengan rekayasa tradisional. Nanotek-nologi, berbeda dengan pendekatan top-down reka-yasa konvensional, bertumpu pada paradigma bot-tom-up. Tetapi, berbeda dengan ilmu kimia biasa, nanoteknologi bertujuan melakukan manufaktur pa-da level molekular/nanometer ini dengan kontrol, dan tidak semata-mata acak. Dengan demikian, di-harapkan struktur-struktur yang sebelumnya tidak bisa didapat dengan metode konvensional, dapat di-realisasikan dengan nanoteknologi. Lebih dari itu, mesin-mesin berukuran nanometer yang meniru prinsip kerja mesin-mesin alami biomolekul pada makhluk hidup pun, dapat dibuat.
Dalam menjelaskan konsep nanoteknologi, o-rang sering mengutip pernyataan seorang fisikawan nobelis terkenal. Richard Feynman. Pada tahun 1959, Feynman dalam ceramahnya yang berjudul There is plenty room at the bottom[3], me-ngemukakan bahwa, seorang fisikawan mampu membuat senyawa dengan struktur apa pun yang di-inginkan seorang kimiawan, dengan cara menyusun atom-atom yang diperlukan, dan merangkainya ber-dasarkan hukum fisika untuk membentuk senyawa baru tersebut. Pendekatan seperti inilah yang dise-but pendekatan rekayasa bottom-up, dan merupakan salah satu paradigma utama nanoteknologi moleku-lar. Karena itu nanoteknologi molekular disebut pu-la molecular manufacturing, karena berusaha mem-bangun suatu produk atom demi atom, atau molekul demi molekul.
Keunggulan Nanoteknologi Molekular Dengan pendekatan baru dalam perekayasaan produk yang ditawarkan nanoteknologi molekular, beberapa keunggulan pun didapatkan. Yang pertama adalah presisi produk hingga tingkat molekular atau bahkan atomik. Produk-produk yang dibuat dengan pendekatan top-down seringkali memiliki cacat atau defect. Pada molecular manufacturing, produk dibuat dengan menyusun atom-atom atau molekul-molekul-nya dengan penuh kontrol, sehingga produk tanpa cacat pun bisa dibuat. Sebagai ilustrasi aplikasinya, ambillah contoh bodi pesawat. Bodi pesawat yang ada saat ini dibuat dengan rekayasa top-down. Un-tuk memperoleh kekuatan, seringkali dibutuhkan bahan yang lebih berat, akibatnya rasio akhir strength/mass tetap kecil. Dengan nanoteknologi, struktur yang tanpa cacat dapat dibuat, dan dengan menggunakan atom C yang disusun dengan struktur diamondoid, material pesawat yang ringan tapi kuat pun dapat diperoleh. Keunggulan kedua nanoteknologi (jika idealnya tercapai) adalah tidak adanya a-tau sedikitnya limbah yang dihasilkan. Pada proses top-down, seringkali ada sisa bahan yang terpaksa harus dibuang. Pada nanoteknologi hal ini bisa di-hindari karena struktur dibangun dari dasar, atom demi atom. Keunggulan ketiga nanoteknologi mole-kular adalah hemat energi dan tidak mencemarkan lingkungan. Sistem nanoteknologi molekular nanti-nya bisa memakai
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 5 acetone atau CO 2 dari udara se-bagai bahan bakunya, dan mengekstrak C sebagai atom utama yang digunakan untuk membuat nano-struktur. Limbah yang mungkin dihasilkan adalah H 2 O, air. Bandingkan dengan mesin-mesin konven-sional yang juga menghasilkan limbah-limbah bera-cun seperti CO, dan gas NOx.
Tapi, sebetulnya, keunggulan utama nanoteknologi molekular adalah kemampuannya untuk memanipulasi material dengan fleksibel sesuai keinginan desainernya. Fleksibilitas ini disebabkan o-leh pengontrolan pada level molekul tadi. Suatu mesin nanoteknologi molekular dapat diibaratkan seperti komputer yang mengolah data dan informasi. Bedanya, mesin nanoteknologi molekular mengolah bahan riil. Sebagai ilustrasi fleksibilitas nanoteknologi molekular adalah seperti yang terlihat di film fiksi ilmiah Startrek. Awak Startrek dapat dengan mudah memesan makanan apa saja pada komputer, dan dalam sekejap tersedia. Struktur makanan telah tersimpan di komputer, mesin sintesa yang mema-kai nanoteknolgi molekular menyusun atom/molekul pembentuk makanan berdasarkan informasi struktur tadi.
Nanoteknologi Alam Sebetulnya sistem yang dicita-citakan nano-teknologi tersebut telah ada pada alam, yaitu Sel makhluk hidup. Sel merupakan suatu pabrik yang rumit, dan memiliki berbagai mesin-mesin skala na-no. Motor, misalnya, telah terdapat dalam skala na-no berupa Flagellar Motor bakteri. Atau microtubu-le yang bagaikan conveyor pada skala makro. Demi-kian pula ribosom, sebagai suatu pabrik yang merangkai bahan baku asam amino menjadi mesin nano protein atau enzim, berdasarkan program mRNA yang disintesis dari hard disk sel, DNA.
Bagaimana gol nanoteknologi Molekular Dicapai ? Dengan meniru contoh yang diberikan sel, penggagas Nanoteknologi molekular seperti Drexler, (karena itu Nanoteknologi Molekular diebut pula Drexlerian Nanotechnology) mengemukakan ide assembler [4]. Pada praktik idealnya, seperti juga ri-bosom, assembler ini bertindak seperti tangan ro-bot pada pabrik skala makro, yang menaruh atom /molekul pada tempat yang diinginkan. Selanjutnya dengan menggunakan assembler-assembler level awal yang menyusun blok bangunan berupa atom, assembler-assembler pada ukuran yang lebih besar dibangun. Pada ukuran ini, blok bangunannya mungkin bukan lagi atom, tapi blok atom atau molekul. Kemudian assembler yang lebih besar dibangun, dan seterusnya, hingga produk-produk biasa berukuran makro dapat terbuat. Bedanya dengan produk yang diproduksi dengan metode konvensional adalah, produk nanoteknologi molekular ini lebih kuat, prosesnya hemat energi, dan presisinya hingga level atom.
Selain itu, seperti juga pada makhluk hidup, assembler-assembler ini, khususnya assembler level awal, dirancang agar memiliki kemampuan swa-replikasi (self-replication). Sebab, assembler level awal ini berukuran amat kecil, sehingga jika masih harus dibuat dengan cara konvensional (misal dengan teknik-teknik litografi), akan sangat sulit, mahal, dan membutuhkan energi pembuatan yang besar.
Untuk membuat assembler seperti itu, saat ini teknik yang paling tepat adalah dengan menggunakan instrumen Scanning Tunneling Microscopy (STM) atau Atomic Force Microscopy (AFM). Instrumen-instrumen ini memungkinkan analisis pada level molekular, bahkan hingga atomik. Lebih dari itu, penggunaan STM dan AFM untuk memanipulasi atom dan molekul telah banyak pula dilaporkan ilmuwan (baca tulisan kedua untuk detailnya).
Kendala Teknis Gol nanoteknologi memang sungguh muluk, dan jika benar-benar terwujud, tentu saja akan ba-nyak mengubah sistem dan cara hidup manusia. Sekalipun demikian, haruslah disadari bahwa kendala-kendala teknis yang harus dihadapi untuk membuat sistem molecular manufacturing seperti diterangkan di atas sangatlah banyak. Beberapa di antaranya akan disebutkan berikut ini.
Untuk bisa menyusun atom dan molekul menjadi suatu bangunan dengan struktur tertentu, kemampuan menarik dan melepas atom/molekul pada saat yang tepat haruslah dimiliki. Pada STM, biasanya ini dilakukan dengan mengubah besarnya arus terowongan (tunneling current). Tapi, tentu saja itu berarti penggunaannya masih terbatas pada bahan-bahan yang dapat menghantarkan listrik (baca elektron). Sementara itu AFM telah pula diguna-kan untuk memanipulasi atom atau molekul, tetapi operasi yang lebih rumit membutuhkan modifikasi pada tips AFM yang dipakai. Masalah lain adalah bagaimana mengontrol mesin dengan ukuran nano-meter seperti assembler tersebut. Dibutuhkan teknik baru yang membutuhkan riset baru untuk melakukan deteksi gerakan, komputasi, dan aktuasi gerakan pada level nanometer.
Masalah lain pada saat fabrikasi adalah keharusan bersihnya lingkungan produksi dari pengotor-pengotor. Untuk itu, biasanya sistem manufaktur seperti ini harus dilakukan pada keadaaan Ultra High Vaccuum. Belum lagi adanya masalah panas yang membuat molekul bervibrasi, dan menyulitkan kontrol posisionalnya. Artinya pendinginan diperlukan.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 6 Masalah lain yang disebutkan oleh Drexler pada bukunya yang terkenal, Nanosystem, adalah kemungkinan rusaknya ikatan antar atom akibat ra-diasi kosmis, atau bentuk energi lainnya [4]. Sebetulnya masalah serupa pun dihadapi oleh sistem alam (makhluk hidup), misalnya pada mutasi DNA oleh sinar Ultraviolet. Tapi, pada makhluk hidup, masalah ini diatasi dengan enzim-enzim repa-rasi. Seandainya sistem reparasi serupa dapat pula ditiru (suatu masalah khusus lagi yang membutuh-kan riset bertahun-tahun), masalah kerusakan akibat radiasi kosmis ini pun tidak perlu dikhawatirkan.
Sedikit tentang Dampak Sosial Jelas, dengan pararadigma baru rekayasa yang ditawarkan nanoteknologi molekular, rekaya-sa dengan presisi molekular/atomik, akan banyak aspek kehidupan kita yang dipengaruhinya. Dampak positif, jelas, lingkungan yang lebih bersih dapat terwujud, karena berkurangnya limbah, dan lebih hematnya konsumsi energi untuk produksi. Belum lagi, dengan peningkatan kualitas material, akan ba-nyak aspek kehidupan kita yang lebih dipermudah dan dipernyaman oleh nanoteknologi: penyimpanan data besar dalam medium yang amat kecil, material kendaraan yang tahan panas, ringan, dan kuat, dan lain-lain.
Tak adakah dampak negatif? Nanoteknologi menawarkan kontrol yang penuh atas material seperti teknologi komputer telah mewujudkan kontrol atas data dan informasi. Nanorobot yang tadinya diperuntukkan untuk mendeteksi DNA kanker dan memperbaikinya, dikhawatirkan sebagian orang justru akan mengubah DNA induk semangnya, dan merusaknya. Begitu pula nanite (robot nano yang dapat swa-replikasi dan membentuk barang yang lebih besar seperti di Star-Trek), dikhawatirkan dapat berkembang biak tidak terkontrol, dan mengambil alih peran manusia. Belum lagi isu-isu etika lainnya.
Kesimpulan Tulisan Pertama Dari tulisan bagian pertama ini, setidaknya apa itu nanoteknologi mudah-mudahan dapat dipaha-mi. Demikian pula telah diterangkan secara singkat apa keunggulannya, serta bagaimana usaha mewu-judkannya. Kendala teknis, serta dampak sosial nanoteknologi telah pula diterangkan secara singkat. Pada tulisan kedua, akan diulas keadaan riil riset nanoteknologi yang dilakukan dunia iptek saat ini, dan bagaimana prospek risetnya dikaitkan dengan ideal yang dijelaskan pada tulisan bagian pertama ini.
Daftar Referensi 1. http://www.nano.gov 2. http://www.cmc.ca/Events/Conferences/MRD98S IA/ 3. http://www.zyvex.com/nanotech/feynman.html 4. K.E. Drexler. Nanosystems: Molecular Machinery, Manufacturing, and Computation. John Wiley &Sons, Inc. 1992.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 7 M Me en ng ge en na al l N Na an no ot te ek kn no ol lo og gi i M Mo ol le ek ku ul la ar r, , T Te ek kn no ol lo og gi i M Ma as sa a D De ep pa an n ( (2 2) ): : S St ta at tu us sn ny ya a S Sa aa at t I I n ni i d da an n P Pr ro os sp pe ek k M Ma as sa a D De ep pa an n
Dedy Hermawan Bagus Wicaksono Dept. of Biological Information, Tokyo Institute of Technology Email: dedy@bio.titech.ac.jp
Setelah pada bagian pertama dari dua tulisan ini telah dibahas ideal dan gol nanoteknologi molekular, beserta usaha pencapaian serta kendala-kendalanya, maka pada bagian kedua ini akan dilaporkan perkembangan terakhir riset nanoteknologi molekular. Uraian tentangstatus akhir riset nanoteknologi ini akan dikaitkan dengan bidang-bidangiptek yangmempengaruhi dan atau dipengaruhi nanoteknologi. Pada bagian akhir tulisan ini, selanjutnya dibahas bagaimana prospek riset-riset tersebut dalammencapai tujuan dan ideal nanoteknologi molekular yangtelah diuraikan di bagian pertama tulisan ini.
Pengantar etelah pada bagian pertama ideal dan tujuan nanoteknologi diulas secara singkat, pada bagian kedua ini, akan dijelaskan riset-riset yang telah dilakukan orang untuk mencapai ideal nanoteknologi molekular tersebut.
Seperti telah dijelaskan pada tulisan pertama, tujuan akhir yang hendak dicapai oleh nanoteknologi molekular atau manufaktur molekular amatlah sulit dan memiliki kendala-kendala yang belum bisa dipecahkan penuh dengan perkembangan iptek manusia saat ini. Sekalipun tujuan akhir nanoteknologi molekular untuk merekayasa produk (baik nano, mikro, maupun makro) dengan presisi molekular /atomik belum tercapai, yang jelas riset nanoteknologi saat ini telah memberikan pengaruh nyata pada pengembangan cabang-cabang sains dan teknologi tradisional. Beberapa bidang iptek yang dipengaruhi atau mempengaruhi perkembangan nanoteknologi molekular antara lain elektronika molekular, rekayasa molekular biomolekul, scanning probe microscopy, kimia supramolekul dan swa-rakit (self-assembly), ilmu dan rekayasa material, mekanosintesis, mesin molekular alami, mesin molekular buatan, sistem swa-replikasi buatan, kimia komputasi dan pemodelan molekular, ilmu komputer, rekayasa mekanik dan robotik, serta ilmu-ilmu tentang sistem kimia yang relevan pada skala nanometer (seperti fulleren, intan/diamond, biomolekul, dll.).
Berikut ini akan diuraikan secara singkat kontribusi riset nanoteknologi pada bidang-bidang di atas, atau sebaliknya, kontribusi bidang-bidang di atas pada pengembangan nanoteknologi.
Molecular Electronics Molecular electronics adalah teknologi elektronika yang menggunakan bahan-bahan organik (organic soft material), sebagai komponen-komponennya, bukan dengan bahan-bahan semikonduktor inorganik (hard material). Penghargaan Nobel bidang kimia tahun 2000 yang lalu diberikan kepada para perintis bidang ini yang telah berjasa menemukan conductive polymer dari bahan polyacetylene [1]. Dibandingkan dengan elektronika berbasis bahan inorganik, elektronika molekular memiliki keunggulan antara lain diproduksi dengan wet chemistry, seperti metode-metode kimia lainnya, yaitu dengan reaksi dalam pelarut, dan dapat dilakukan pada suhu dan variabel lingkungan yang tidak terlalu ekstrim. Bandingkan dengan proses semikonduktor inorganik yang seringkali membutuhkan proses khusus, dengan temperatur tinggi, atau keadaan ultra vakum. Di samping itu, keunggulan lainnya adalah karena diproduksi dengan metode kimia yang relatif lebih bottom-up dibandingkan elektronika bahan inorganik, komponen-komponennya dapat didesain dari awal, dari bawah, yaitu dari atom atau molekul pembentuknya, untuk mendapatkan physical property yang diinginkan. Kemudian, karena pada dasarnya yang menjadi komponen adalah molekul, maka kemungkinan miniaturisasi hingga level
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 8 nanometer atau molekular dimungkinkan, yang jika diaplikasikan pada rekayasa prosesor komputer akan berpengaruh pada kecepatan proses, dan kehematan energi. Hal seperti ini tidak bisa dilakukan pada semikonduktor inorganik (seperti Si), yang membawa sifat elektroniknya dalam bentuk kristal, bukan molekular.
Beberapa contoh devais elektronik yang dibuat dengan dari bahan organik untuk elektronika molekular dapat dibaca lebih lanjut pada referensi [2].
Biochemical Molecular Engineering Seperti telah diungkap sedikit pada tulisan pertama, sistem yang ada pada makhluk hidup adalah contoh nyata realisasi nanoteknologi. Karena itu salah satu cara mewujudkan nanoteknologi adalah dengan meniru sistem yang ada pada makhluk hidup, atau bahkan menggunakan mesin-mesin nano pada makhluk hidup untuk keperluan rekayasa nanoteknologi. Protein adalah salah satu biomolekul yang telah sering dimanipulasi dan direkayasa dengan teknik rekayasa genetika, sehingga istilah protein engineering pun muncul [3]. Sayangnya, hingga saat ini protein engineering masih terbatas pada modifikasi dari protein yang ada di alam. Metode untuk rekayasa protein ab initio dengan komputer tengah dikembangkan orang [4], sekalipun masih terbatas pada oligopeptida, yaitu rangkaian beberapa hingga puluhan asam amino (protein alami memiliki puluhan hingga ratusan rantai asam amino).. Selain itu, peptida yang dapat mengenali dan terikat ke permukaan berbagai jenis semikonduktor telah pula dibuat orang dengan teknik evolusi buatan [5].
Selain itu, DNA telah pula direkayasa sebagai salah satu andalan di nanobioteknologi. Penjepit molekular (molecular tweezer) dari molekul DNA telah pula dilaporkan [6] Dengan menambahkan pasangan molekul DNA yang sesuai (yang dapat berikatan menurut aturan Watson-Crick, Adenin berikatan dengan Thymin, dan Cytosin berikatan dengan Guanin), penjepit berbahan DNA ini dapat dibuat bergerak. Selain itu, dengan bantuan DNA yang memiliki sifat unik tersebut, swa-rakit dari nanokristal dapat diarahkan untuk membentuk konfigurasi tertentu [7]. Riset sejenis dengan menggunakan streptavidin dan biotin (protein) juga dilaporkan oleh kelompok Fitzmaurice [8]. Sementara itu, penggunaan DNA sebagai kawat molekular yang dapat menghantarkan elektron juga diteliti para ilmuwan [9]. Aplikasi lain molekul DNA adalah sebagai alat komputasi, dengan munculnya apa yang disebut komputasi DNA [10].
Sementara itu, penggunaan instrumen atau perangkat hasil nanoteknologi sendiri untuk meneliti biomolekul banyak pula dilakukan orang, misalnya dengan menggunakan AFM, STM, atau SNOM (Scanning Near Field Microscopy) [11].
Scanning Probe Microscopy (SPM) Instrumen yang termasuk dalam mikroskopi ini adalah AFM, STM, dan SNOM. Ketiganya telah sering digunakan para ilmuwan untuk mengamati atom dan molekul atau nanostruktur. Namun dalam kaitannya dengan manufaktur molekular, ketiga instrumen ini dapat pula digunakan untuk memanipulasi atom, molekul dan material untuk membuat nanostruktur.
Sebagai contoh, AFM telah digunakan untuk membentuk nanostruktur dari Self-Assembled Monolayers alkanethiol di atas permukaan substrat emas, menggunakan teknik yang disebut dip-pen nanolitography [12]. Disebut dip-pen karena prinsip kerjanya yang mirip pena yang dicelupkan ke dalam tinta, lalu digunakan untuk menulis.
Selain itu, STM telah pula digunakan untuk memodifikasi nanostruktur pada permukaan Silicon [13], dan mengontrol reaksi kimia pada suatu molekul secara selektif dan terlokalisasi. [14].
Supramolecular Chemistry Dari cabang sains yang satu ini, banyak sekali metode yang dapat dan telah diterapkan untuk riset nanoteknologi. Sebagai contoh, teknik untuk membuat nanostruktur berdasarkan prinsip swa-rakit (self-assembly) telah dipelopori oleh kelompok Whitesides dari Harvard University [15]. Prinsip mereka dinamai soft-lithography, karena menggunakan metode kimia-basah untuk membuat pola nanostruktur. Teknologi konvensional biasanya memakai photolitography yang menggunakan mask dan penyinaran pada panjang gelombang tertentu. Metode yang dikembangkan Whitesides menggunakan stempel berbahan PDMS (Polydimethylsiloxane, sejenis polimer).
Sains dan Rekayasa Material Paradigma rekayasa material setidaknya telah mengubah cara desain material, tidak lagi berdasarkan coba-coba melulu, melainkan mulai menerapkan pula rekayasa kuantum dengan simulasi komputer, lalu membangun atom demi atom, kristal demi kristal, dan seterusnya. Metode eksperimen yang dipakai untuk membangun nanostruktur atom demi atom adalah Molecular Beam Epitaxy (MBE). Sayangnya, metode ini baru memungkinkan kontrol 2 dimensi, dan belum
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 9
Gambar 1. Differential Gear, dibuat dari ribuan atom C,N, H, O, Si, P. (Courtesy of Institute of Molecular Manufacturing, Copyright IMM, http://www.imm.org)
kontrol 3 dimensi.
Mekanosintesis Bidang inilah yang sebetulnya ingn dituju oleh molecular manufacturing. Mekano sintesis berarti pendekatan mekanik pada dunia molekul. Jika ingat tangan-tangan robot yang ada di pabrik-pabrik mobil Jepang, maka seperti itulah pendekatan mekanosintesis, hanya saja pada level yang jauh lebih kecil. Tangan robot nano seperti itulah yang akan menjadi assembler seperti yang dijelaskan di tulisan pertama. Ujung tangan robot direkayasa agar dapat menarik dan melepas atom atau molekul yang digunakan sebagai bahan bangunan dunia nano. Sayangnya alat seperti itu masih belum ada, dan saat ini pendekatan mekanosintesis masih menggukan teknik SPM [14], yang sebenarnya masih termasuk instrumen dunia makro.
Mesin Molekular Alami dan Buatan Maksud bidang ini adalah membuat padanan dari mesin/alat mekanik dunia makro, pada dunia nano atau level molekular. Sebagai contoh motor dari biomolekul, tepatnya F1-ATPase, telah dilaporkan digunakan untuk menggerakkan nanopropeller dari bahan Ni [16]. Sementara itu nanomotor buatan dari bahan organik telah pula dilaporkan [17], dan nanomotor dari alloy inorganik pun telah mulai diteliti [18].
Kimia Komputasi dan Pemodelan Molekular Sekalipun sebagian besar mesin nano yang diinginkan belum terealisasi, secara teoretis, mesin-mesin nano tersebut mungkin untuk dibuat. Di sinilah, komputasi berperan untuk menghitung secara termodinamika atau dinamika molekular, seberapa mungkin suatu nanostruktur dapat dibangun. Salah satu contohnya adalah seperti yang terlihat pada gambar . Simulasi komputer digunakan untuk mendesain differential gear nanometer.
Sistem Nanoteknologi lainnya Selain sistem-sistem yang telah disebut di atas, ada pula sistem lainnya yang terkait dengan perkembangan nanoteknologi akhir-akhir ini. Carbon Nanotube adalah salah satu di antaranya [19], kemudian dendrimer [20], nanowire magnetik untuk memory ultra-padat [21], dan lain-lain.
Prospek Masa Depan Melihat apa yang telah dicapai para ilmuwan dengan riset-riset nanoteknologinya dan membandingkannya dengan ideal dan gol yang ingin dicapai nanoteknologi molekular, seperti yang diulas pada tulisan pertama, memang masih jauh perjalanan yang harus ditempuh. Tapi, perkembangan terbaru dalam mekanosintesis dengan SPM [14], serta exponential self-assembly memberi harapan bahwa bidang ini masih akan terus berkembang. Memang nanoteknologi saat ini adalah bagaikan teknologi informasi atau bioteknologi ketika masih baru lahir sekitar 30 tahun yang lampau. Sekalipun demikian, hasil riset nanoteknologi saat ini telah menghasilkan peningkatan kualitas pada sistem-sistem konvensional, seperti pada memori magnetik ultra-padat [21], biosensor DNA yang sensitif dengan nanokristal [7], dan nanotube [19].
Kesimpulan Pada tulisan kedua ini, status pengembangan nanoteknologi telah diulas. Sekalipun masih jauh dari mimpi yang diulas pada tulisan pertama, yang jelas, nanoteknologi telah diakui sebagai salah satu tonggak teknologi abad ini, selain teknologi informasi, dan bioteknologi. Nanoteknologi menawarkan kontrol molekular atas material, seperti teknologi informasi menawarkan kontrol penuh atas data dan informasi, atau seperti bioteknologi telah menwarkan rekayasa atas jasad hidup. Dari uraian di dua tulisan ini nampak pula, betapa riset nanoteknologi amat inter-displiner.
Sebagai penutup, penulis mengajak pemerhati iptek Indonesia untuk mulai menaruh perhatiannya pada nanoteknologi, dan merumuskan kebijakan yang tepat untuk riset nanoteknologi yang tepat guna bagi bangsa dan masyarakat Indonesia.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 10 Referensi [1] keterangan tentang ini dapat dilihat di http://www.nobel.se/chemistry/laureates/2000/press. html [2] C. Joachim, J.K. Gimzewski, and A. Aviram, Electronics using hybrid-molecular and mono-molecular devices. Nature. Vol 408., pp. 541-548. (2000) [3] E. Drexler. Building Molecular Machine Systems. Trends in Biotechnology. Vol. 17. No. 1, pp.5-7, (1999), yang dapat pula dilihat di http://www.imm.org/Reports/Rep008.html [4] Contohnya seperti: P.B. Harbury, J. J. Plecs, B. Tidor, T. Alber, and P.S. Kim. High-Resolution Protein Design with Backbone Freedom. Science. Vol. 282, pp. 1462-1467. (1998). [5] S.R. Whaley, et. al. Selection of peptides with semiconductor binding specificity for directed nanocrystal assembly. Nature. Vol. 405, pp. 665-668. (2000). [6] B. Yurke, et. al.. A DNA-fuelled molecular machine made of DNA. Nature. Vol. 406, pp. 605-608, (2000). [7] Cf. J.J. Storhoff and C.A. Mirkin, Programmed Materials Synthesis with DNA. Chem. Rev. 99, pp. 1849-1862. (1999); C.J. Loweth, et. al. DNA-Based Assembly of Gold Nanocrystal. Angew. Chem. Int. Ed. 38, no. 12, pp. 1808-1812; G.P. Mitchell, C.A. Mirkin and R.L. Letsinger. Programmed Assembly of DNA Functionalized Quantum Dots. J. Am. Chem. Soc. 121, pp. 8122-8123. (1999); R. Elghanian, et. al. Selective Colometric Detection of Polynucleotides Based on the Distance-Dependent Optical Properties of Gold Nanoparticles. Science. Vol. 277, pp. 1078-1081. (1997); C.A. Mirkin, et. al. A DNA-based method for rationally assembling nanoparticles into macroscopic materials. Nature. Vol. 382, pp. 607-609. (1996); A. P. Alivisatos, et. al.. Organization of nanocrystal molecules using DNA. Nature. Vol. 382, pp. 609-611. (1996). [8] S. Connolly and D. Fitzmaurice. Programmed Assembly of Gold Nanocrystals in Aqueous Solution. Adv. Mater.11, no. 14, pp.. 1202-1205. (1999). [9] M. Ratner. Photochemistry: Electronic motion in DNA. Nature. Vol. 397, pp. 480-481. (1999); D. Porath, et. al. Direct measurement of electrical transport through DNA molecules. Nature. Vol. 403, pp. 635 - 638 (2000); H. Fink and C. Schonenberger, Electrical conduction through DNA molecules. Nature. Vol. 398, pp. 407 - 410 (1999); E. Braun, et. al.. DNA-templated assembly and electrode attachment of a conducting silver wire. Nature. Vol. 391, pp. 775-778. (1998). [10] Informasi tentang komputasi DNA di internet dapat dilihat misalnya di site-site, http://www.englib.cornell.edu/scitech/w96/DNA.ht ml; http://www.gg.caltech.edu/~winfree/old_html/DNA research.html [11] Sebagai contoh oleh V. Subramaniam, Biological Applications of Multiphoton NSOM with Multiple Spectroscopic Modes. Asia/Pacific Microscopy and Analysis. January 2001 ed., pp. 9-11. (2001). [12] R.D. Piner, et. al. Dip-pen Nanolitography. Science. Vol 283, pp. 661-663. (1999); S. Hong, J. Zhu, and C.A. Mirkin, Multiple Ink Nanolitography: Toward a Multiple-Pen Nano-Plotter. Science., Vol . 286, pp. 523-525. (1999). [13] G.P. Lopinski, D.D.M. Wayner and R.A. Wolkow. Self-directed growth of molecular nanostructures on silicon. Nature. Vol. 406, pp. 48-51. (2000); S. Alavi, et. al. Inducing Desorption of Organic Molecules with a Scanning Tunneling Microscope: Theory and Experiments. Phys. Rev. Lett. Vol. 85, no. 25, pp. 5372-5375. (2000). [14] H.J. Lee and W. Ho. Single-Bond Formation and Characterization with a Scanning Tunneling Microscope. Science. Vol. 286, pp. 1719-1722. (1999); P.H. Lu, J.C. Polanyi, and D. Rogers. Photoinduced localized atomic reaction (LAR) of 1,2-and 1,4-dichlorobenzene with Si(111) 7x7. J. of Chem. Phys. Vol. 112, no. 24, 11005-11010. (2000); P.H. Lu, J.C. Polanyi, and D. Rogers. Electron-induced localized atomic reaction (LAR): Chlorobenzene adsorbed on Si(111) 7x7. J. of Chem. Phys. Vol. 111, no. 22, pp. 9905-9907. (1999); S. Hla, et. al. Inducing All Steps of a Chemical Reaction with the Scanning Tunneling Microscope Tip: Towards Single Molecule Engineering. Phys. Rev. Lett.. Vol. 85, no. 13, pp. 2777-2780. (2000). [15] Y. Xia and G.M. Whitesides. Soft Lithography. Angew. Chem. Int. Ed. Vol. 37, pp. 550-575. (1998) [16] R.K. Soong, et. al. Powering an Inorganic Nanodevice with a Biomolecular Motor. Science. Vol. 290, pp. 1555-1558. (2000); G.D. Bachand et. al. Precision Attachment of Individual F1-ATPase Biomolecular Motors on Nanofabricated Substrates. Nano Letters. 1 (1), pp. 42 -44, (2001). [17] A.P. Davis. Synthetic molecular motors. Nature. Vol 401, pp. 120-121. (1999); T.R. Kelly, H. De Silva, and R. A. Silva. Unidirectional rotary motion in a molecular system. Nature. Vol. 401, pp. 150-152. (1999); N. Koumura, et.al. Light-driven monodirectional molecular motor. Nature. Vol. 401, pp. 152-155. (1999). [18] F. Besenbacher and J.K. Norskov. How to Power a Nanomotor. Science. Vol. 290, p. 1520. (2000); A.K. Schmid, N.C. Bartlett, and R.Q. Hwang. Alloying at Surfaces by the Migration of Reactive Two-Dimensional Islands. Science. Vol. 290, pp. 1561-1564. (2000). [19] P. L. McEuen. Carbon-based electronics. Nature. Vol. 393, pp. 15-16. (1998); S.J. Tans, A.R.M. Verschueren, and C. Dekker. Room-temperature transistor based on a single carbon nanotube. Nature. Vol. 393, pp. 49-52. (1998); Z. Yao, et. al. Carbon nanotube intramolecular junctions. Nature. Vol. 402, pp. 273-276. (1999). G. Che, et.al.. Carbon nanotubule membranes for electrochemical energy storage and production. Nature. Vol. 393, pp. 346-349. (1998). [20] Misal L. Balogh, et. al. Dendrimer-Silver
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 11 Complexes and Nanocomposites as Antimicrobial Agents. Nano Letters. (1), 1, pp. 18-21. (2001). [21] T. Thurn-Albrecht, et. al. Ultrahigh-Density Nanowire Arrays Grown in Self-Assembled Diblock Copolymer Templates. Science. Vol. 290, pp. 2126-2129. (2000).
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 12 Jenis Sumber Kapasitas produksi (MW) Prosentase dari total kapasitas (%) Tenaga air 687.6 60.9 Tenaga panas 430.0 38.1 Tenaga surya 7.0 0.6 Tenaga angin 5.0 0.4 Total 1129.6
M MM M M MM M e ee e e ee e n nn n n nn n g gg g g gg g g gg g g gg g a aa a a aa a p pp p p pp p a aa a a aa a i ii i i ii i E EE E E EE E n nn n n nn n e ee e e ee e r rr r r rr r g gg g g gg g i ii i i ii i M MM M M MM M a aa a a aa a t tt t t tt t a aa a a aa a h hh h h hh h a aa a a aa a r rr r r rr r i ii i i ii i
Dr. Abdul Halim
Pendahuluan Berkaitan dengan edisi khusus kali ini yang membahas pemanfaatan sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui, dalam laporan kali ini akan disampaikan hasil kunjungan ke perusahaan listrik yang menghasilkan listrik berkapasitas besar dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Dan dalam tulisan ini, juga akan dilaporkan salah satu konferensi internasional yang mempresentasikan hasil-hasil penelitian terakhir di bidang pemanfaatan cahaya matahari untuk pembangkit tenaga listrik.
Dalam tulisan ini akan disampaikan laporan kunjungan ke perusahaan listrik di California tepatnya di wilayah Sacramento yang memproduksi listrik berkapasitas besar untuk sumber tenaga matahari. Perusahaan listrik tersebuat adalah SMUD (Sacramento Municipal Utility District). Sebelum melaporkan beberapa fasilitas pembangkit listrik tenaga surya yang dimiliki SMUD dan program pemasyarakat tenaga listrik jenis ini, penulis akan memberikan gambaran singkat tentang SMUD.
SMUD seperti dari namanya yang merupakan kependekan dari Sacramento Municipal Utility District adalah perusahaan listrik yang bergerak mulai dari pembangkitan tenaga listrik, transmisi listrik dan penyaluran listrik untuk wilayah seluas 900 mil persegi yang sebagian besar wilayah pelayanannya adalah Sacramento. Mulai produksi pada 31 Desember 1946, dan sekarang merupakan salah satu perusahaan listrik yang sangat menekankan pada pemakaian energi yang dapat diperbaharui sebagai sumber pembangkit listrik. Tabel di bawah ini memberikan sedikit gambaran total kapasitas produksi listrik dan jenis sumber energi yang dipakai.
Kalau melihat tabel di atas akan terlihat bahwa sebenarnya masih sangat kecil sekali produksi listrik dari tenaga surya. Tetapi jumlah diatas merupakan kapasitas listrik tenaga surya yang sudah cukup besar yang diproduksi oleh satu perusahaan listrik. Ini memberikan gambaran kepada kita semua bahwa pada saat ini sebenarnya masih sedikit sekali pemakaian listrik jenis ini di industri kelistrikan.
Pengembangan listrik tenaga surya di SMUD selain dengan membangun instalasi berkapasitas besar yang terpusat di satu daerah juga dibuat program-program untuk mempercepat pemasangan instalasi berskala kecil di atap rumah atau di fasilitas-fasilitas umum.Di bawah in akan diberikan beberapa contoh instalasi pembangkit listrik tenaga surya yang telah beroperasi yang dimiliki SMUD.
Tabel 1 Kapasitas Produksi Listrik (1999)
Rancho Seco Lokasi pemasangan sistem pembangkit listrik berada di lokasi PLTN yang sudah tidak beroperasi kembali. Ada empat sistem yang telah dibangun di lokasi ini yaitu PV1 sebesar 1 MW, PV2 sebesar 1 MW, PV3 sebesar 263 kW, dan PV4 sebesar 700 kW.
Hedge Substation Ada 4 sistem di lokasi ini yang masing-masing besarnya adalah sebagai berikut : PV1 sebesar 258 kW, PV2 sebesar 108 kW, PV3 sebesar 94 kW, PV4 sebesar 130 kW.
Beberapa gambar dari PLTS di lokasi ini dapat dilihat di Gb.2. Gambar ke-3 adalah inverter yang dipakai untuk mengubah listrik DC ke AC.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 13
Gb.1. PLTS di Rancho Seco
PV adalah singkatan dari Photo Voltaic.
Gb.2. PLTS di Hedge Substation
Tempat Umum Selain di tempat-tempat yang pemasangannya terpusat seperti di dua tempat diatas ada ada juga sistem PLTS yang dipasang di tempat-tempat umum seperti gambar dibawah ini. Selain itu ada juga pemasangan di parkir bandara dan lain sebagainya.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 14
Gb.3. Sistem PLTS di parkir umum
Gb.4. Sistem PLTS di Parkir (sumber : SMUD)
Selain dari instalasi berkapasitas besar, SMUD juga telah meluncurkan program untuk memasyarakatkan pemasangan instalasi di rumah-rumah. Program tersebut disebut PV pioneer. Programnya adalah mencari pemilik rumah yang bersedia dipasang instalasi pembangkit listrik. Seluruh biaya ditanggung oleh SMUD. Listrik yang dihasilkan dialirkan ke jaringan listrik yang ada. Target yang ingin dicapai dari program ini adalah pengurangan biaya pemasangan sistem pembangkit tenaga surya berskala kecil sehingga didapatkan harga jual listrik yang kompetitif dibanding dengan listrik dari sumber lainnya. Seperti diketahui bahwa masalah biaya beli perangkat (terutama module-nya) menjadi salah satu hambatan dalam pemasyarakatannya. Dengan pemasangan yang berjumlah besar diharapkan ada kegairahan bagi industri produsen, misalnya module, untuk membuat produksi besar-besaran dan nantinya diharapkan menurunkan harga jual.
Setelah sukses dengan PV pioneer I sekarang sudah diluncurkan PV pioneer II. PV pioneer I diluncurkan pada tahun 1993 dan telah berhasil dipasang sebanyak 450 buah sistem dengan kapasitas listrik yang dihasilkan 1.5 MW. Dengan program ini juga telah berhasil menurunkan biaya sistem dari $7.70 /watt menjadi $4.45 /watt. Contoh sistem yang dipasang di atap rumah dapat dilihat di gambar di bawah ini.
Gb.5. Sistem PLTS di atap rumah (sumber : SMUD)
Disamping berkunjung ke instalasi PLTS milik SMUD, penulis mendapat kesempatan menghadiri pertemuan para pakar dari Task VIII IEA(International Energy Agency) yang membidangi pengembangan tenaga surya (photovoltaic) untuk pembangkit listrik berskala besar. Dalam pertemuan ini dibahas berbagai masalah yang mungkin timbul dalam pengembangan PLTS berskala sangat besar, seperti: masalah perawatan solar panel, efek secara ekonomi produksi solar panel secara besar-besaran, transfer teknologi dan lain-lain.
Setelah laporan kunjungan ke SMUD, maka dalam laporan ini akan disampaikan secara singkat laporan konferensi internasional di bidang tenaga surya yang diberi nama IEEE PVSC (Photo Voltaic Specialists Conference) yang ke 28 kalinya berlangsung di Anchourage- Alaska mulai 19 sampai dengan 22 September 2000.
Peserta yang hadir sebanyak 571 orang dari 34 negara dengan perincian adalah sebagai berikut USA 40 %; Jepang 17 %; Jerman 10%; UK 3%; Belanda 3%; Belgia 2%; Australia 2%; Italia 1%; Spanyol 1%; Prancis 1%; Rusia 1%; yang lainnya 8%.
Dalam konferensi ini telah dipresentasikan sebanyak 461 hasil karya dengan bidang-bidangnya adalah seperti di bawah ini : Silicon Devices and Materials: 103 papers II-VI Materials and Devices: 74 papers Amorphous and Nanostructured Devices: 66 papers Space Cells, Space Systems, and III-V Devices: 109 papers Terrestrial Modules and Balance of System
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 15 Components: 43 papers Terrestrial Systems and Applications: 66 papers. Karya-karya ini dipresentasikan dalam oral session atau poster session.
Kalau melihat dari perbandingan jumlah paper yang dipresentasikan tampak bahwa perbandingan terbesar ada pada hasil penelitian bidang ilmu bahan. Bagaimana mencari bahan-bahan baru atau metode-metode yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari yang ada sekarang. Seperti salah satunya adalah presentasi yang dibawakan oleh peneliti dari perusahaan Sanyo yang telah mengembangkan solar panel yang mempunyai tingkat efisiensi tertinggi yaitu 20.7 %. Selain itu yang menarik adalah beberapa hasil karya pemanfaatan tenaga listrik dari cahaya matahari di negara-negara berkembang seperti India, Mongol, negara-negara Eropa timur. Seperti hasil karya dari Mongol tentang pemasangan PLTS bersekala kecil di rumah-rumah suku-suku yang tinggal di padang rumput yang jauh dari jaringan listrik utama. (az)
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 16
P Ph ho ot to ov vo ol lt ta ai ic c P Po ow we er r S Sy ys st te em m: : H Ha ar ra ap pa an n d da an n K Ke en ny ya at ta aa an n - -- - - -- - S SS S S SS Se ee e e ee eb bb b b bb bu uu u u uu ua aa a a aa ah hh h h hh h S SS S S SS St tt t t tt tu uu u u uu ud dd d d dd di ii i i ii i d dd d d dd di ii i i ii i J JJ J J JJ J e ee e e ee ep pp p p pp pa aa a a aa an nn n n nn ng gg g g gg g- -- - - -- -
Dr. Abdul Halim
1. Pendahuluan aat ini kita sudah memasuki abad ke 21. Banyak pekerjaan rumah abad sebelumnya yang belum terselesaikan yang menuntut perhatian yang sangat besar. Beberapa pekerjaan rumah tidak cukup diselesaikan oleh sebagian orang saja tetapi membutuhkan usaha dari seluruh umat manusia. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang timbul dan memerlukan pemecahan secara global antara lain masalah konservasi lingkungan dan penyediaan energi. Issue ini akan sangat sentral yang akan mempengaruhi setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil.
Untuk memecahkan permasalahan ini listrik tenaga surya merupakan salah satu alternatif jawabannya. Di negara-negara industri maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa dengan bantuan subsidi dari pemerintah telah diluncurkan program-program untuk memasyarakatkan listrik tenaga surya ini. Tidak itu saja di negara-negara sedang berkembang seperti India, Mongol promosi pemakaian sumber energi yang dapat diperbaharui ini terus dilakukan.
Untuk lebih mengetahui apa itu pembangkit listrik tenaga surya atau kami singkat dengan PLTS maka dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat komponen-komponen yang membentuk PLTS, sistim kelistrikan tenaga surya dan trend teknologi yang ada.
Selain dari itu dalam tulisan ini juga akan dijelaskan program pemerintah Jepang dalam rangka mempromosikan PLTS.
2. Solar Module Dalam bagian ini akan dijelaskan secara singkat komponen utama PLTS yaitu solar module. Setelah menjelaskannya, maka dilanjutkan dengan trend kedepan teknologi yang berkaitan dengan solar module.
2.1 Apa itu solar cell? Sebelum membahas sistim pembangkit listrik tenaga surya, pertama-tama akan dijelaskan secara singkat komponen penting dalam sistim ini yang berfungsi sebagai perubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Listrik tenaga matahari dibangkitkan oleh komponen yang disebut solar cell yang besarnya sekitar 10 ~ 15 cm persegi. Komponen ini mengkonversikan energi dari cahaya matahari menjadi energi listrik. Solar cell merupakan komponen vital yang umumnya terbuat dari bahan semikonduktor. Seperti terlihat pada gambar 2.1 multicrystalline silicon adalah bahan yang paling banyak dipakai dalam industri solar cell.
Multicrystalline dan monocrystalline silicon menghasilkan efisiensi yang relativ lebih tinggi daripada amorphous silicon. Sedangkan amorphus silicon dipakai karena biaya yang relativ lebih rendah.
Selain dari bahan nonorganik diatas dipakai pula molekul-molekul organik walaupun masih dalam tahap penelitian.
Gb. 2.1 Semikonduktor yang dipakai di industri solar cell
Sebagai salah satu ukuran performansi solar cell adalah efisiensi. Yaitu prosentasi perubahan energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Efisiensi dari solar cell yang sekarang diproduksi sangat bervariasi. Monocrystalline silicon mempunyai efisiensi 12~15 %. Multicrystalline silicon mempunyai efisiensi 10~13 %. Amorphous silicon mempunyai efisiensi 6~9 %. Tetapi dengan penemuan metode-metode baru sekarang efisiensi dari multicrystalline silicon dapat mencapai 16.0 % sedangkan monocrystalline dapat mencapai lebih dari 17 %. Bahkan dalam satu konferensi pada
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 17 September 2000, perusahaan Sanyo mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi solar cell yang mempunyai efisiensi sebesar 20.7 %. Ini merupakan efisiensi yang terbesar yang pernah dicapai.
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh satu solar cell sangat kecil maka beberapa solar cell harus digabungkan sehingga terbentuklah satuan komponen yang disebut module. Produk yang dikeluarkan oleh industri-industri solar cell adalah dalam bentuk module ini.
Pada applikasinya, karena tenaga listrik yang dihasilkan oleh satu module masih cukup kecil (rata-rata maksimum tenaga listrik yang dihasilkan 130 W) maka dalam pemanfaatannya beberapa module digabungkan dan terbentuklah apa yang disebut array. Sebagai contoh untuk menghasilkan listrik sebesar 3 kW dibutuhkan array seluas kira-kira 20 ~ 30 meter persegi. Secara lebih jelas lagi, dengan memakai module produksi Sharp yang bernomor seri NE-J130A yang mempunyai efisiensi 15.3% diperlukan luas 23.1m2 untuk menghasilkan listrik sebesar 3.00 kW. Besarnya kapasitas PLTS yang ingin dipasang menambah luas area pemasangan.
Untuk lebih jelasnya, hirarki module dapat dilihat pada Gb. 2.2.
Gb.2.2 Hirarki module (cell-module-array)
Beberapa contoh module yang diproduksi oleh perusahaan Jepang dapat dilihat dalam Tabel 1 untuk multicrystalline dan Tabel 2 untuk monocrystalline. Dalam kedua tabel ini, opt.voltage adalah tegangan optimal untuk menghasilkan power yang maksimum.
Tabel 1 Multicrystalline module Maker Type Max.p ower (W) Opt.vol tage (V) Ukuran (mm) Kyocera R421-1 145 19.9 1120997 36
Contoh array yang dipasang di atap rumah dapat dilihat pada Gb. 2.3. Sistim ini menghasilkan listrik sebesar 4.00 kW. Sedangkan jenis bahan yang dipakai adalah multicrystalline silicon.
Gb. 2.3 Contoh Sistim pembangkit listrik tenaga surya (sumber : JPEA)
2.2 Teknologi Module Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa trend berhubungan dengan teknologi module.
1. Building-integrated module Selain dari pencarian bahan-bahan baru untuk meningkatkan efisiensi module yang nantinya akan meningkatkan tenaga listrik dengan luas yang sama, maka trend sekarang adalah memberikan nilai tambah module itu dengan menjadikan module sebagai bagian dari bangunan yang menambah keindahan bangunan tersebut dan menambah kenyamanan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Disamping akan mengurangi biaya karena tidak diperlukan lagi biaya untuk pemasangan atap.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 18
Dari segi module sebagai komponen pembangkit listrik tidak ada perubahan dalam performansi yang dituntut. Tetapi dari segi module sebagai bahan bangunan maka diperlukan syarat-syarat tambahan, seperti syarat kekuatan, daya tahan terhadap hujan, angin, petir dan gangguan luar lainnya. Selain itu bagi para arsitektur syarat keindahan arsitektur juga diperlukan.
Jepang yang memiliki luas wilayah yang sempit ditambah kondisi yang bergunung-gunung sangat sulit untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya bersekala besar di satu tempat tertentu. Seperti yang telah diungkapkan di atas untuk menghasilkan listrik sebesar 3 kW dibutuhkan luas tanah sebesar 20~30 meter persegi, bisa diperkirakan luas tanah yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik berdaya 1 MW. Jepang lebih memproyeksikan program pemasyarakatan listrik tenaga surya yang dipasang di bangunan-bangunan yang telah ada seperti kantor atau perumahan. Atau disebut dengan istilah BIPV (Building Integrated Photovoltaic). Untuk ini pula maka diluncurkan program penelitian dan pengembangan module yang disebut housing roof-integrated PV module dan office and other building-integrated PV module yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemroduksi module.
Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah yang seperti ini ditambah lagi dengan dukungan subsidi yang diberikan maka sekarang tidak hanya perusahaan yang bergerak dibidang elektronik seperti Sanyo, Sharp tetapi perusahaan konstruksi juga sudah mulai menawarkan dan memasarkan module-modulenya. Gambar di bawah ini memperlihatkan contoh module yang dipakai juga sebagai bahan atap bangunan.
2. AC module Seperti yang telah diterangkan diatas module adalah komponen yang merubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Listrik yang dihasilkan adalah dc. Untuk dapat dimanfaatkan lebih banyak lagi biasanya listrik dc ini dirubah menjadi ac. Untuk diubah maka listrik DC dari beberapa module digabungkan dan dikonversikan menjadi AC dengan alat yang disebut power conditioner. Karena menggabungkan listrik dari beberapa module maka sistim pengkabelannnya menjadi rumit dan kapasitas yang dibutuhkan dari power conditionernya pun menjadi besar.
Untuk mengatasi persoalan ini, maka sekarang dikembangkan apa yang disebut AC module. Yaitu module yang langsung menghasilkan listrik AC. Secara prinsip tidak ada perubahaan yang terjadi, tetapi secara teknologi diperlukan power conditioner berskala kecil yang dapat dipasang di belakang module.
Contoh power conditioner yang sekarang banyak dipasarkan dapat dilihat pada Gb. 2.5 di bawah ini.
Gb. 2.5 Power Conditioner JH40EK
Gb. 2.5 adalah produk dari Sharp yang dapat dihubungkan dengan 8~9 lembar module. Berat dari alat ini adalah sebesar 25 kg.
Dua trend diatas adalah lebih pada pemberian nilai tambah module agar pemanfaatannya lebih luas lagi. Disamping dua hal tadi untuk mendukung perkembangan agar makin memasyarakatnya
Gb. 2.6 Contoh biaya produksi (sumber : PVTEC)
pembangkit listrik tenaga surya maka dicari metode-metode baru untuk menurunkan biaya per watt listrik yang dihasilkan. Seperti terlihat dalam Gb. 2.6 bahwa biaya material tidak megalami penurunan yang berarti walaupun jumlah produksinya makin bertambah.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 19
Dengan melihat akan makin bertambahnya pemasangan pembangkit listrik jenis ini sedangkan umur dari module itu hanya berkisar 20 sampai 30 tahun, saat ini juga sedang diteliti dan dikembangkan module yang mudah untuk didaur ulang. Disamping juga dicari metode untuk mendaur ulangnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek terhadap lingkungan.
3. Sistim Kelistrikan Tenaga Surya Dalam bagian ini akan dibahas tentang sistim kelistrikan tenaga surya. Sebelumnya akan dijelaskan beberapa istilah yang muncul disini.
Pertama adalah power conditioner. Power conditioner telah dijelaskan secara sangat singkat diatas, disini akan diterangkan sedikit lebih detail. Inti dari alat ini adalah inverter. Yaitu komponen listrik yang berfungsi sebagai perubah listrik dc menjadi listrik ac. Power conditioner selain berfungsi untuk menghasilkan listrik ac yang bersih juga mengkontrol agar tegangan keluarannya berada dalam batas tegangan yang diperbolehkan.
Beberapa fungsi lain power conditioner dapat disimpulkan sebagai berikut : sebagai switch yang mengontrol dimulainya dan dihentikannya kerja sistim.
Mendeteksi islanding Islanding adalah kondisi ketika terjadi pemutusan aliran listrik pada jaringan distribusi yang dimiliki oleh perusahaan listrik sedangkan PLTS tetap bekerja. Hal ini terjadi misalnya apabila timbul kerusakan pada jaringan distribusi listrik. Bila ini terjadi akan membahayakan pekerja yang akan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada.
Disini power conditioner berfungsi untuk mendeteksi terjadinya islanding dan dengan segera menghentikan kerja PLTS.
Pengontrol maksimum tenaga listrik Tenaga listrik yang dihasilkan oleh solar panel tergantung pada suhu udara dan kuatnya cahaya. Pada suatu nilai suhu dan kuatnya cahaya, hubungan antara tenaga,tegangan dan arus listrik yang dihasilkan oleh solar panel digambarkan pada Gb. 3.1
Tegangan (V) A r u s
( A )
Tegangan (V) P o w e r
( W )
Gb. 3.1 Karakteristik listrik solar panel
Seperti terlihat pada gambar ini pada tegangan sekitar 200 V tenaga listrik yang dihasilkan maksimum. Pada suhu dan kuatnya cahaya yang lain tenaga maksimum yang dihasilkannya pun akan berbeda. Pada saat beroperasi listrik yang dihasilkan oleh PLTS tidak selalu berada dalam kondisi maksimum, maka diperlukan alat untuk mempertahankan agar PLTS memproduksi listrik secara maksimum.Disini fungsi dari power conditioner adalah bagaimana mengontrol agar tenaga listrik yang diproduksi menjadi maksimum. Hal ini disebut dengan istilah MPPT (Maximum Power Point Tracking).
Kedua adalah load. Yaitu bagian yang mengkonsumsi listrik yang ada. Load ini dibagi 2 yaitu dc load dan ac load. dc load apabila listrik yang dikonsumsi adalah listrik dc. Sedangkan ac load apabila listrik yang dikonsumsi adalah listrik ac.
Ketiga adalah battery. Battery berfungsi sebagai alat untuk menyimpan listrik. Listrik yang disimpan disini adalah listrik dc. Setelah menerangkan tiga istilah yang akan dipakai dalam menerangkan SKTS, maka sekarang akan dijelaskan sistimnya. Secara garis besar sistim kelistrikan tenaga surya dapat dibagi menjadi 2 :
Sistim Terintegrasi Sistim ini dapat diterangkan secara visual pada Gb. 3.1. Seperti terlihat pada gambar ini, listrik yang dihasilkan oleh array dirubah menjadi listrik ac
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 20 melalui power conditioner, lalu dialirkan ke ac load. AC load disini dapat berupa listrik yang diperlukan di perumahan atau kantor. Power Conditioner A C
L o a d perusahaan listrik Array
Gb. 3.1 Sistim Terintegrasi
Yang menjadi ciri utama dari sistim ini adalah dihubungkannya ac load ke jaringan distribusi listrik yang dimiliki oleh perusahaan listrik. Jadi apabila listrik yang dihasilkan oleh solar panel cukup banyak -melebihi yang dibutuhkan oleh ac load- maka listrik tersebut dapat dialirkan ke jaringan distribusi yang ada. Sebaliknya apabila listrik yang dihasilkan solar panel sedikit -kurang dari kebutuhan ac load- maka kekurangan itu dapat diambil dari listrik yang dihasilkan perusahaan listrik. Hal ini di banyak negara-negara industri maju secara peraturan telah memungkinkan.
Gb. 3.2 Contoh Sistim di Rumah (sumber : Sharp Co.Ltd)
Keuntungan dari sistim ini adalah tidak diperlukan lagi battery. Biaya battery dapat dikurangi. Selain dari itu bagi rumah atau kantor yang memasang solar panel, mereka akan mendapatkan keuntungan dengan penjualan listrik.
Persoalan yang dihadapi sekarang adalah soal teknis. Karena terhubungi dengan sistim distribusi, maka masalah keselamatan menjadi perhatian yang utama. Dan salah satu dari pemecahannya adalah membuat power conditioner yang mampu mendeteksi apabila terjadi kecelakaan dan mampu mengkontrol tegangan apabila terjadi perubahan tegangan di AC load dan beberapa soal teknis yang lain.
Di banyak negara industri maju seperti Australia, Belanda, Amerika, Jepang, Jerman dll sistim terintegrasi adalah yang banyak diambil. Karena sudah tersedianya jaringan distribusi listrik.
Sebagai sebuah contoh sistim pembangkit listrik di rumah dapat dilihat pada Gb. 3.2. Pada gambar ini, adalah solar panel; adalah power conditioner ; adalah alat pendistribusi listrik ; adalah alat pengukur banyaknya listrik yang dijual atau dibeli.
Sistim I ndependensi Selain sistim terintegrasi yang diterangkan diatas terdapat pula sistim independensi yang merupakan sistim yang selama ini banyak dipakai. Seperti terlihat dalam gambar di bawah ini sistim independensi dapat dibagi lagi yaitu yang dihubungkan dengan dc load dan yang dihubungkan dengan ac load. Hal ini dapat dilihat dalam Gb. 3.3 (a) dan (b).
Contoh dari sistim yang dihubungkan dengan dc load adalah pembangkit listrik untuk peralatan komunikasi. Misalnya peralatan komunikasi yang dipasang di pegunungan. Sedangkan yang dihubungakan dengan ac load adalah sistim pembangkit listrik untuk pulau-pulau yang terpencil.
controller battery DC LOAD Array
(a)
controller battery AC LOAD Array power conditioner
(b)
Gb. 3.3 Sistim Independensi
Dalam sistim ini, battery memainkan peranan yang sangat vital. Bila ada kelebihan listrik yang dihasilkan, misalnya pada siang hari, listrik ini disimpan di battery. Dan pada malam hari listrik yang disimpan ini dialirkan ke load.
Sistim seperti ini banyak dipakai di negara-negara berkembang seperti contoh pada Gb. 3.4. Gb. 3.4 adalah sebuah contoh proyek di Mongol. Yaitu proyek pemasangan pembangkit listrik untuk keperluan rumah sakit dan lampu penerangan.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 21 Dalam gambar ini terlihat PLTS dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga angin. Kapasitas terpasang PLTS adalah 3.4 kW sedangkan dari tenaga angin 1.8 kW.
4. Program Pengembangan PLTS di Jepang Pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat program pengembangan PLTS di Jepang.
Proposal penelitian dan pengembangan PLTS di Jepang pertama kali diajukan ke pemerintah pada tahun 1973. Dan mulai pelaksanaannya pada tahun 1974 dengan diluncurkannya satu proyek besar yang disebut Sunshine Project. Inti dari proyek ini adalah melakukan penelitian dan pengembangan energi-energi dari sumber yang dapat diperbaharui. Proyek ini diluncurkan satu tahun setelah terjadinya oil crisis yang pertama. Dimana Jepang merasakan akibat dari ketergantungan yang besar selama ini terhadap minyak bumi yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah.
Gb. 3.4 Contoh PLTS di Mongol (sumber: JPEA)
Tujuan dari penelitian dan pengembangan PLTS dalam proyek ini adalah mencari konsep baru PLTS yang cocok dengan kondisi Jepang. Seperti di ketahui bahwa Jepang adalah negara yang berpegunungan sehingga sulit mencari tanah datar yang luas di satu tempat. Kalaupun ada, karena luas negara yang kecil, harga tanah sangat tinggi. Selain dari kekurangan tersebut, ada satu keuntungan yang dimiliki yaitu bahwa Jepang telah mimiliki sistim jaringan kelistrikan di seluruh tempat tinggal penduduk.
Dengan kondisi seperti ini dari awal sudah ditargetkan untuk mengembangkan PLTS yang terhubungkan dengan sistim jaringan kelistrikan yang ada. Dan PLTS yang dikembangkan adalah untuk pemasangan di perumahan atau di gedung-gedung atau yang disebut dengan BIPV.
Dengan proyek seperti ini bisa dikatakan sekarang Jepang menjadi negara yang paling maju dalam pengembangan BIPV.
Langkah-langkah penting dalam pemasyarakatan PLTS dapat disimpulkan dalam Tabel 3 di bawah ini.
Dari tabel ini terlihat bahwa perubahan besar dalam peraturan terjadi pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1993 dengan dimungkinkannya PLTS bersekala kecil sekalipun untuk mengalirkan listriknya ke jaringan distribusi yang dimiliki perusahaan listrik
Pada desember 1994, pemerintah mentargetkan pemasangan PLTS yang berkapasitas sebesar 400 MW sampai tahun 2000 dan 4600 MW sampai tahun 2010. Yang terakhir direvisi menjadi 5000 MW pada tahun 1998.
Pada tahun 1994 diluncurkan program yang disebut PV System Monitor Program. Yaitu program pemberian subsidi bagi rumah yang akan memasang PLTS. Program ini direalisasikan oleh NEF (New Energy Foundation).
Pada tahun 1993 diluncurkan program pemberian subsidi yang disebut dengan Field Test Project. Yang pelaksanaan dilakukan oleh NEDO. Pemberian subsidi ini diperuntukkan bagi fasilitas-fasilitas umum yang akan memasang PLTS dengan kapasitas 10 kW sampai dengan 220 kW. Program ini pada tahun 1998 diarahkan untuk penggunaan di perusahaan-perusahaan.
Tabel 3 Promosi PLTS di Jepang Year Activities 1974 The former Sunshine project started for R&D of solar energy, Coal Gasification/Liquefaction, Geothermal Energy and Hydrogen Energy 1980 NEDO was founded for a series of New Energy R&D 1990 Substantial simplification of installation procedures for PV systems under 500 kW through an amendment of Electric Utility Industry Law 1991 Announcement by electric power companies of a plan for installing 2400 kW(actual result was 2659, over target) 1992 Buy-up system for PV system generated surplus power, started at selling price by electric power utilities (in progress) 1993 Guideline to regulate grid connection technology for systems with reverse power flow The new sunshine programme started
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 22 1994 Start of PV system monitor program for residential houses Cabinet decision about the Basic Guidelines for New Energy Introduction (PV system installation targets : 400 MW by 2000, 4600 MW by 2010) 1995 Start of regional new energy vision policies at local goverments (in progress) 1998 Original field test project was redirected for industrial use Revision of Long-term Energy Supply and Demand Outlook (PV system installation target : 5000 MW by 2010)
Detail dari proyek nasional penelitian dan pengembangan PLTS di Jepang serta dana yang disediakan dapat dilihat dalam Gb. 4.1. Pada Gb. 4.1 hanya ditampilkan penelitian dan pengembangan bahan, tetapi dana-dana ini juga termasuk penelitian sistim kelistrikan secara keseluruhan
Gb. 4.1 Proyek PLTS Jepang (sumber : PVTEC)
Sedangkan pada pelaksanaannya dapat dirangkumkan dalam Gb. 4.2. Kami masih memakai nama-nama lama disini.
Pada Gb. 4.2 terlihat bahwa koordinator program-program nasional Jepang adalah MITI dalam hal ini adalah ANRE dan AIST. ANRE bertugas untuk memasyarakatkan PLTS sedangkan AIST bertanggung jawab terhadap penelitian dan pengembangan PLTS.
Program utama penelitian dan pengembangan PLTS adalah New Sunshine Programme yang meliputi pengembangan teknologi pemroduksi cell dengan biaya rendah, BIPV module, peningkatan efisiensi dll.
Di bawah program New Sunshine ini AIST melalui beberapa lembaga penelitian di bawahnya melakukan penelitian dan pengembangan.
Untuk menggandeng lembaga penelitian lainnya maka sebagian pelaksanaannya dilimpahkan ke NEDO melalui sistim subsidi. Dari NEDO ini subsidi untuk penelitian dan pengembangan diberikan ke perusahaan misalnya CRIEPI (Central Research Institute of Electric Power Industry) atau lembaga penelitian negara pada departemen yang lainnya.
Untuk mengikutsertakan universitas, perusahaan komersial, dan lembaga penelitian asing dibentuk PVTEC. Melalui PVTEC ini kerja sama penelitian dilakukan.
Sedangkan untuk memasyarakatkan PLTS ANRE memberikan subsidi ke NEF.
5. Penutup Di atas telah dijelaskan secara singkat pembangkit listrik tenaga surya. Yang diawali dengan penjelasan komponen-komponen yang mendukung dihasilkannya tenaga listrik. Kemudian dijelaskan juga sistim kelistrikan tenaga surya. Dan terakhir diperkenalkan usaha-usaha pemerintah Jepang untuk memasyarakatkan PLTS.
Selain dari BIPV yaitu module yang dipasang di perumahan atau bangunan-bangunan, sekarang juga telah dibahas kemungkinan pemasangan PLTS berkapasitas sangat besar di satu wilayah tertentu. Hal ini dimungkinkan misalnya pemasangan di negara-negara yang memiliki padang pasir. Kemungkinan ini sekarang dibahas oleh IEA PVPS/Task 8 (International Energy Agency- PhotoVoltaic Power System).
Di masa yang akan datang pemasangan PLTS akan terus berkembanga terutama di negara-negara industri maju.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 23
S S a a m m p p a a h h K K o o t t a a S S e e b b a a g g a a i i E E n n e e r r g g i i A A l l t t e e r r n n a a t t i i f f
- - P Pe en ne er ra ap pa an n T Te ek kn no ol lo og gi i R RD DF F - -
Irhan Febijanto BPP-Teknologi irhan@yahoo.com
Tulisan ini mengulas tentang kharakteristik dan pemanfaatan RDF-5 (Refused Derived Fuel) di Jepang sebagai teknologi baru pengolahan sampah. Dengan teknologi ini energi limbah sampah dapat diubah menjadi lebih tinggi dan pemanfaatan pada pembakaran sampah menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Sampah sebagai sumber energi dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil pembangkit listrik dan dapat membantu mengurangi masalah efek rumah kaca. Di akhir bab ditinjau tentang kemungkinan penerapannya di Indonesia.
1. Pendahuluan engolahan sampah kota pada negara berkembang pada umumnya dilakukan dengan cara tradisionil yaitu penimbunan (landfill). Sedangkan di negara maju diadakan pendaurlangan sampah (waste recycle) sebagai cara untuk mengurangi volume sampah. Pemanfaatan sampah ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu pemanfaatan sampah sebagai bahan baku, dan sebagai sumber energi (bahan bakar) .
Pemanfaatan sampah sebagai sumber energi dengan memakai tungku pembakaran sampah (waste incinerator) memiliki beberapa kendala, antara lain, penyimpanan sampah sebagai bahan bakar tidak dapat tahan lama, kualitas sampah yang berubah-ubah bergantung pada cuaca/musim membuat nilai kalor sampah berubah ubah dan gas atau abu dari pembakaran sampah yang memberikan dampak tidak ramah terhadap lingkungan. Untuk mengatasi kendala tersebut di atas, dilakukan beberapa cara pemrosesan sampah (refused derived fuel) sebelum dipakai sebagai bahan bakar, seperti ditunjukkan di tabel 1.
Tabel 1 Pembagian Jenis RDF Jenis RDF Jenis pengolahan RDF-1 Limbah sampah (tidak termasuk sampah ukuran besar) RDF-2 Coarse RDF, berbentuk serpihan RDF-3 Fluff RDF, 95% serpihan <50 mm, material yang dapat terbakar (tidak termasuk gelas dan keramik) RDF-4 Powder RDF, 95% berbentuk serpihan < 2 mm, RDF-5 Densified RDF, berbentuk pellet atau bricket RDF-6 Liquified RDF, berbentuk bahan bakar cair RDF-7 Gaseous RDF, berbentuk bahan bakar gas
Pada makalah ini mengulas tentang pemrosesan sampah menjadi bahan bakar padat (Refused Derived Fuel-5/RDF-5), kharakteristik RDF-5, dan keuntungan dari pemanfaatannya sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik.
2. Refused Derived Fuel-5 2.1 Pembuatan RDF-5 Di negara Eropa-Amerika, pemanfaatan sampah sebagai bahan bakar, pada umumnya memakai cara pengolahan sampah RDF-2 atau RDF-3. Ini dikarenakan kandungan sampah organik dan kadar air di negara-negara tersebut memiliki prosentase yang kecil, sehingga tanpa proses pengeringan atau kimiawi pun sampah dapat langsung dipakai sebagai bahan bakar dengan nilai kalor yang tinggi. Sedangkan di Jepang, karena kandungan organik dan kadar air yang tinggi, maka dipakai metoda pengolahan sampah RDF-5. Pilot project RDF-5 ini dimulai sejak November 1993 dan resmi dioperasikan sejak Januari 1997, di propinsi Oita, Kyushu. Proses pengolahan sampah dengan RDF-5 ditunjukkan pada gambar 1, proses tersebut dibagi dalam 3 proses, yaitu:
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 24 a. Penghancuran/pemilahan Sampah dimasukkan ke dalam hopper, kemudian sampah yang tidak dapat terbakar (logam, keramik, dsb) dipisahkan dengan cara menggunakan gaya magnet dan gaya gravitasi.
b. Pencampuran/pembentukan Sampah dicampur dengan CaO(jumlah CaO adalah, 2 5% dari berat limbah sampah). Dan reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut :
(1) CaO + H 2 O Ca(OH) 2
(2) Ca(OH) 2 +komponen organik penguraian (3) Ca(OH) 2 +CO 2 CaCO 3 +H 2 O
Reaksi (1) menyebabkan limbah sampah bersifat alkali (pH>12). Pada kondisi ini mikroorganisme tidak dapat hidup. Reaksi (2), komponen organik yang mudah membusuk akan terurai. Reaksi(3) kadar air akan berkurang sejalan dengan proses kimia yang terjadi. Setelah itu, limbah sampah dimasukkan ke dalam mesin press dan dibentuk padatan seperti bentuk
krayon (diameter 15 30 mm, panjang 30 70 mm. Bentuk ini ditunjukkan di gambar 2.
c. Proses pengeringan Pada proses ini kadar air dikurangi sampai kurang dari 10% dari keseluruhan berat RDF. Suhu pengeringan sekitar 90 , suhu diatur sedemikian rupa dengan tujuan menghemat energi dan mencegah sampah plastik meleleh atau timbulnya api.
Gambar 1 Bagan proses pengolahan sampah menjadi RDF-5
2.2 Karakteristik RDF-5 Tabel 2 menunjukkan perbedaan antara karakteristik sampah dengan RDF-5. Dibandingkan dengan berat sampah, berat RDF-5 berkurang 1/2 kali, dan kadar air berkurang 5 10%, sedangkan nilai kalor bertambah 2 3 kali. Kualitas RDF-5 ini, lebih stabil dibandingkan dengan kualitas limbah sampah yang selalu berubah ubah bergantung pada cuaca/musim serta cara pengambilannya. Homogenitas RDF-5 menjadikan pembakaran lebih stabil dan dapat mengurangi timbulnya gas CO yang timbul karena pembakaran tidak sempurna. Pada pembakaran RDF-5 ini, dengan pencampuran CaO, gas dioksin atau Cl yang selalu timbul pada pembakaran sampah dapat dikurangi. Selain itu pada RDF-5, proses pembusukan tidak terjadi, sehingga penyimpanan dengan waktu yang lama dapat dilakukan. Dan pengangkutan dari pabrik RDF ke pembangkit listrik bahan bakar sampah, dengan jarak tempuh yang jauh dan waktu penyimpanan yang lama dapat dilaksanakan.
2.3 Produksi RDF Kemampuan produksi RDF-5, sangat ditentukan oleh komponen material sampah tersebut, terutama sekali oleh kadar air yang terkandung dalam sampah tersebut. Dari beberapa pilot project di beberapa daerah di Jepang ditunjukkan bahwa sampah kota lebih banyak menghasilkan RDF-5 dibandingkan dengan sampah pedesaan. Ini disebabkan karena adanya perbedaan kandungan kadar air. Penambahan dan pengurangan
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 25 berat komponen pada proses pengolahan sampah menjadi RDF-5, ditunjukkan di bagan 2 dan perhitungan di persamaan (1).
R=(LS+ZA) - (BT+UA) (1)
LS : limbah sampah (ton/hari) ZA : zat aditif (ton/hari) BT : komponen tak terbakar (ton/hari) UA : uap air (ton/hari) R : RDF (ton/hari)
3. RDF-5 sebagai sumber energi Dengan persamaan (1), apabila produksi sampah, LS=100 ton/hari, dan produksi limbah sampah menjadi RDF, R=50 ton/hari, dan nilai kalor RDF-5 adalah 3500 kcal/kg, maka potensi total kalor dari pengubahan sampah menjadi RDF-5 adalah 5.1 10 6 kcal/jam (diasumsikan 30% dari kapasitas kalor hilang dalam proses pembuatan RDF-5). Besarnya potensi kalor yang dapat diubah menjadi energi listrik bergantung pada efisiensi pembangkit listrik. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada gambar 3, efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah yang beroperasi di Jepang, dari tahun 1970 sampai tahun 2000 menunjukkan peningkatan efisiensi sampai sekitar 20%, pada umumnya. Efisiensi ini masih sangat rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik bahan bakar batu bara atau gas yang berkisar antara 40%. Hal ini disebabkan karena uap air yang dihasilkan dibatasi agar tidak melebihi suhu 300 . Lebih dari 300 akan terjadi korosi pada pipa boiler yang disebabkan oleh chlorine yang berasal dari limbah sampah tersebut (Problem korosi di pembangkit listrik bahan bakar sampah akan dibahas pada makalah berikut). Dengan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah sebesar 20%, maka berat sampah 100 ton/hari dapat dipakai untuk menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas sekitar 1.2 MW.
4. Keuntungan Pemakaian RDF-5 sebagai bahan bakar Pemanfaatan RDF-5 sebagai bahan bakar pembangkit listrik dibandingkan dengan proses pembakaran sampah secara langsung, mempunyai beberapa keuntungan antara lain, dapat menekan jumlah emisi CO 2 , menghemat energi dan lebih ramah terhadap lingkungan. 4.1 Pengurangan emisi CO 2
Gambar 3 menunjukkan aliran emisi CO 2 hasil dari pemrosesan RDF-5 dan dari pembakaran RDF-5 sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik (bagian atas) dan pembakaran limbah sampah secara langsung (bagian bawah). Proses pembuatan, pengangkutan, dan pembakaran RDF untuk pembangkit listrik, menghasilkan jumlah emisi CO 2 yang lebih banyak dibandingkan dengan proses pembakaran sampah secara langsung. Tetapi penghematan jumlah emisi CO 2 didapat dari pemanfaatan RDF-5 sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik.
Gambar 2 RDF-5
Data pilot project di beberapa daerah di Jepang yang dilakukan oleh NEDO, pemanfaatan RDF-5 sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik dapat menghemat jumlah emisi CO 2 sebesar 20 30%
dibandingkan dengan cara
pemusanahan sampah dengan cara dibakar secara langsung.
Tabel 2 Kharakteristik sampah dan RDF-5
Sampah RDF-5 Kalor (kcal/kg) 1000 2000 3000 4000 Kadar air (%) 50 60 5 10 Berat Jenis 1.0 1.2 Bulk Density (t/m 3 ) 0.45 0.6 Suhu bakar( ) * 250 280 Abu sisa bakar(%) - 15 20/berat RDF
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 26
Bagan 2 Penambahan dan pengurangan jumlah material sampah pada proses pembentukan RDF- 5
Gambar 3 Perkembangan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah
4.2 Penghematan energi Energi yang diperlukan pada proses pembuatan RDF dan pada pembangkit listrik ditunjukkan pada gambar 5. Penghematan energi diperoleh dari selisih dari pemakaian energi pada proses pembuatan RDF dan energi listrik yang dihasilkan pembangkit listrik bahan bakar RDF-5.
Pemanfatan RDF-5 sebagai bahan bakar pembangkit listrik di Jepang ini semakin dimasyarakatkan oleh pemerintah Jepang, walaupun masih ada beberapa hambatan dari masyarakat yang masih mengkuatikan timbulnya gas dioksin dan
Gambar 4 Aliran emisi CO2
Gambar 5 Aliran energi
pencemaran lingkungan dari proses pembuatan RDF-5 maupun terhadap hasil gas buang dari pembakaran RDF-5.
5. Pengolahan Sampah Kota di Indonesia Pengelolaan sampah kota di Indonesia masih bersifat tradisionil, yaitu dengan cara penimbunan (landfill). Cara ini menimbulkan banyak masalah, seperti, pencemaran air, tanah, udara di sekitar tempat pembuangan sampah tersebut. Selain itu karena pertumbuhan produksi sampah yang pesat seiring dengan populasi penduduk, usia tempat penimbunan sampah di kota besar akhir akhir ini menjadi lebih pendek dari usia yang direncanakan. Usaha untuk mengurangi volume sampah dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan material atau energi, belum begitu memasyarakat, walaupun teknologi pengolahan kompos dan RDF-7 telah dikembangkan oleh BPPT. Pengurangan volume sampah kota dalam skala besar dengan cara pembakaran dimulai di Surabaya (1991), dengan memakai tungku pembakar sampah (incinerator) kapasitas 200 ton/hari. Di DKI Jakarta (1997) sudah direncanakan pengadaan incenerator, kapasitas 15 ton/hari di tiap kecamatan. Disusul dengan usulan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesai) untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga sampah kapasitas 4MW. Tetapi karena adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, maka kedua rencana terakhir tersebut di atas belum menampakkan hasil. Berat Limbah Sampah, LS Zat Additif, ZA Komponen tak terbakar, Berat RDF, R Uap Air,
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 27 Di sini dengan mengesampingkan sementara masalah finansial, dan mengasumsikan bahwa nilai kalor yang didapat dari pengolahan limbah sampah menjadi RDF adalah sama dengan yang dicapai pada pilot project di Jepang. Berdasarkan data produksi sampah dan kandungan komponen sampah di beberapa kota besar di Indonesia, potensi sampah di Indonesia sebagai bahan bakar pembangkit listrik kita coba tinjau.
Tabel 3 menunjukkan limbah sampah di kota Jakarta, Bandung, Semarang. Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa, komponen organik sampah kota rata rata mencapai sekitar 70%. Menurut laporan JICA nilai kandungan kalor dari limbah sampah kota rata rata adalah 1000 1400 kcal/kg. Untuk sampah kota Jakarta kandungan air rata rata mencapai 60%. Dengan nilai kalor yang rendah ini, pembakaran limbah sampah secara langsung di incinerator menjadi tidak efisiensi, dan proses pembakaran sampah kota tanpa pemilahan komponen sampah menyebabkan polusi udara oleh gas beracun (dioksin, CO, dsb) yang dihasilkan dari gas buang hasil pembakaran.
Pengolahan sampah dengan RDF-5, merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan nilai kalor sampah menjadi bahan bakar karena kandungan air sampah kota sangat tinggi dapat dikurangi. Di sini diambil contoh produksi sampah di DKI Jakarta pada tahun 1995. Kota Jakarta, dengan produksi sampah DKI Jakarta 4000 ton/hari (3000 m 3 /hari), dan jika ratio pengubahan limbah sampah menjadi RDF, 43%, maka jumlah limbah sampah yang dapat dirubah menjadi bahan bakar RDF-5, adalah sebanyak 1000 ton/hari.
Tabel 3 Produksi sampah pada tahun 1995 Jakarta Bandung Semaran gg Produksi sampah (m 3 /hari) 30.552 6.890 3.185 Kertas 10,18 9,7 5,45 Logam 2,04 0,5 - Gelas 1,75 0,43 0,16 Keramik - - - Karet/Kulit 0.4 0,55 - Plastik 7,86 8,58 14,15 Kain 1,57 0,9 - Kayu 0,98 3,6 - Fiber - - - P r o s e n t a s e
S a m p a h
( % )
Bahan organik 73,92 73,25 68,75 Sisa yang lain 1,36 2,64 5,97
Menurut Dinas Kebersihan DKI Jakarta, pertambahan produksi sampah Jakarta adalah rata rata 4%/tahun, maka dalam jangka 10 tahun mendatang, produksi sampah akan menjadi 5600 ton/hari.
Gambar 6 menunjukkan potensial nilai kalori sampah dan RDF-5 dalam 10 tahun mendatang. Dengan RDF-5, peningkatan nilai kalor sampah didapat sebesar 125% dalam 10 tahun mendatang seiring dengan pertambahan produksi limbah sampah tersebut. Prediksi ini tidak memperhitungkan perubahan komponen sampah. Seperti semakin
0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 Pertumbuhan Nilai Kalor Sampah kota Tahun G c a l / h RDF Sampah
Gambar 6 Perbandingan potensi nilai kalor sampah dan RDF
RDF sistem PLTP Kamojang PLTP Dieng PLTP Asahan PLTUCilegon 0 100 200 300 400 500 K a p a s i t a s
( M W ) K a p a s i t a s
( M W ) K a p a s i t a s
( M W ) K a p a s i t a s
( M W ) Potensi kapasitas pembangkit listrikRDF Gambar 7 Kapasitas Pembangkit Listrik
bertambahnya volume sampah yang bernilai kalor tinggi, seperti kertas, plastik, dsb.
Dengan asumsi bahwa tidak semua produksi sampah bisa dibawa ke pabrik pengolahan RDF. Karena 20% dari produksi sampah di TPA berkurang, karena diolah oleh para pemulung sampah. Maka pada tahun 2005 potensi nilai kalor RDF adalah 284 10 6 kcal/h. Potensi nilai kalor sebesar ini bisa digunakan untuk bahan bakar Pembangkit Listrik dengan kapasitas 46 MW (efisiensi pembangkit listrik adalah 20%). (gambar 7).
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 28 6. Penutup Pemanfatan teknologi RDF-5 adalah merupakan salah satu cara efektif yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam memanfaatkan energi limbah sampah dalam konteks memanfaatkan energi terbaharukan, sekaligus teknologi ini diharapkan bisa mengurangi emisi CO 2 yang terjadi
pada proses pembakaran sampah.
Negara berkembang (Indonesia) memiliki potensi limbah sampah yang besar seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, serta ekonomi, tetapi pemanfaatan limbah sampah sebagai energi pengganti bahan bakar fosil, masih memerlukan kajian yang lebih dalam terhadap cocok tidaknya diterapkan di lingkungan negara berkembang yang berbeda dengan negara maju.
7. Referensi [1]. The Thermal and Nuclear Power, p.38-47,No.496,Vol.49,1998. [2] The Thermal and Nuclear Power, p.28-41,No.519,Vol.50,1999 [3] Harian Kompas, 7 Maret 1998 [4] Harian Kompas, 14 Desember 19975. [5] Catatan pribadi.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 29
P Pe en ni in ng gk ka at ta an n E Ef fi is si ie en ns si i P Pe em mb ba an ng gk ki it t L Li is st tr ri ik k B Ba ah ha an n B Ba ak ka ar r S Sa am mp pa ah h
Irhan Febijanto BPP-Teknologi irhan@yahoo.com
Tulisan ini menjelaskan tentang usaha usaha untuk meningkatkan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah dengan mengaplikasikan teknologi pembangkit listrik bahan bakar fosil, dengan melakukan beberapa pembaharuan dan perbaikan pada kondisi uap air, pemanfaatan ulang panas yang terbuang,dan penggabungan dua sistem pembangkit tenaga listrik serta pemanfaatan RDF (Refused Derived Fuel) sebagai sebuah sistem terpadu. Untuk mempermudah menggambarkan penjelasan, hasil dari sebuah perhitungan simulasi untuk meningkatan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah dipakai sebagai referensi.
1. Pendahuluan Setelah dibahas pada makalah sebelumnya tentang kendala utama untuk menaikkan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah, yaitu masalah korosi. Pada makalah berikut ini, dibahas teknologi untuk menaikkan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar samaph, dengan kondisi dimana proses karat sudah dapat diatasi dan peningkatan suhu pada superheater diatas 300 sudah dapat dilakukan. Peningkatan efisiensi dan kemampuan pembangkit listrik bahan bakar sampah, dilakukan 2 cara, yaitu pemanfaatan teknologi yang sudah ada dengan melakukan perbaikan atau renovasi dan pemanfaatan teknologi baru. Pembaharuan teknologi yang sudah ada, dapat dilakukan antara lain dengan dengan menaikkan kondisi suhu dan tekanan uap air di superheater, penggabungan sistem pembangkit listrik (combine steam turbine-gas turbine) dan yang ketiga adalah dengan memakai sistem RDF. Pemakaian teknologi baru yaitu refuse gasification technology, merupakan teknologi baru dalam pengolahan sampah dan pemanfaatan limbah sampah sebagai pengganti bahan bakar fosil. Dengan teknologi ini, limbah sampah dibakar dengan suhu tinggi, sekitar 1300 .
Gambar 1 Aliran energi panas pada refuse boiler
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 30 Dalam makalah ini akan diperkenalkan tentang cara untuk menaikkan efisiensi sekaligus produksi daya pembangkit listrik, dengan teknologi yang sudah ada, dan bisa dikatakan merupakan penerapan teknologi pembangkit listrik bahan bakar fosil.
2. Peningkatan effisiensi Gambar 1 menunjukkan persentase aliran energi panas di dalam tungku bakar dengan bahan bakar sampah (Refuse Boiler). Dari bagan tersebut ditunjukkan bahwa energi panas yang telah melakukan kerja di turbin terbuang di kondensator dalam jumlah yang sangat besar, dengan hampir melebihi 50%. Energi yang terbuang dari kondensator ke sistem luar sangat ditentukan oleh kondisi dari uap air di turbine inlet-oulet, tingkat kevakuman di kondensator, dan daur ulang panas pada sistem (heat recycle). Peningkatan efisiensi pada sistem pembangkit tenaga listrik ini, dapat ditingkatkan dengan merubah beberapa kondisi tersebut. Untuk lebih mempermudah penjelasan tentang peningkatan efisiensi ini, sebagai referensi dipakai hasil perhitungan simulasi mass and heat balance dari pembangkit listrik bahan bakar sampah dengan suhu uap air 500 di superheater outlet, hasil simulasi ini diambil dari referensi 2.
2.1 Kondisi Uap Air 2.1.1 Kenaikan Suhu dan Tekanan Uap Air
Gambar 2 Hasil perhitungan simulasi uap air dan efek terhadap efisiensi
Untuk menggerakkan turbin-generator diperlukan energi panas yang diubah mejadi tenaga gerak di dalam turbin. Semakin tinggi energi panas semakin besar energi gerak yang didapat. Besar energi gerak yang diperoleh setara dengan selisih energi panas yang masuk ke dalam turbin dan yang keluar dari turbin. Semakin tinggi suhu uap air yang masuk ke dalam turbin semakin tinggi energi gerak yang didapat. Dalam hal ini energi yang keluar dari turbin tidak banyak berubah. Pada proses ketika tekanan uap air di turbine inlet naik, maka perbedaan enthalpi di turbine inlet dan outlet akan bertambah dan efisiensi akan naik. Tetapi secara bersamaan kelembaban /(kandungan air dalam uap air ) di turbine outlet akan bertambah dan ini mengakibatkan efisiensi di dalam turbin turun. Kenaikan tekanan uap air memberikan efek yang kecil terhadap kenaikan efisiensi pembangkit listrik. Tetapi jika suhu uap air di turbine inlet naik, maka perbedaan enthalpi di turbine inlet dan outlet akan bertambah dan kelembaban di turbine outlet akan turun, ini mengakibatkan efisiensi turbin akan naik. Kenaikan suhu uap air di turbine outlet, memberikan efek yang lebih besar terhadap kenaikan efisiensi pembangkit listrik, dibandingkan dengan kenaikan tekanan uap air. Tetapi kenaikan suhu uap air dibatasi oleh kekuatan dan kualitas material boiler dan turbin terhadap panas dan proses karat di suhu tinggi (hot corrosion). Dari gambar 2 ditunjukkan hasil perhitungan simulasi pada kenaikan tekanan uap air dari 100 kg/cm 2 ke 120 kg/cm 2 (suhu uap air tetap), efisiensi akan naik sekitar 0.3%, secara bersamaan kandungan air dalam uap air naik sekitar 1%, melebihi 12%. Dan jika suhu uap air naik dari 480 ke 500 (tekanan uap air tetap), efisiensi akan naik 0.3% 0.4%, kandungan air dalam uap air turun sekitar 1% menjadi 11%.
2.1.2 Penurunan Turbine Back Pressure Jika turbin back pressure (tekanan uap air di turbine outlet) turun maka efisiensi akan naik. Ini disebabkan perbedaan enthalpi uap air pada turbine inlet dan outlet menjadi besar, dan energi panas yang diubah menjadi energi kerja menjadi bertambah. Tetapi penurunan tekanan uap air ini ada batasnya, karena bila terlalu rendah akan menaikkan kandungan air dalam uap air yang menyebabkan erosi pada turbine blade. Kenyataan di lapangan mengatakan bahwa, titik air yang dihasilkan pada kandungan air dalam uap air sebesar 12% tidak memberikan efek erosi pada turbine blade. Hal ini berlaku pula pada pusat pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan panas bumi (PLTP), dimana uap air yang masuk ke dalam turbin memiliki kandungan air (humidity) yang tinggi. Gambar 3 menunjukkan hasil perhitungan simulasi dari turbin back pressure terhadap efisiensi pembangkit listrik. Effiensi akan naik dengan turunnya turbine back pressure. Dalam gambar ditunjukkan suhu uap air 500 dan tekanan uap air 100 kg/cm 2 dan turbin back pressure adalah 0.25 kg/cm 2 , efisiensi yang dicapai adalah 26.3%. Jika turbine back pressure turun menjadi, 0.05 kg/cm 2 , efisiensi akan naik menjadi 29.5%, naik sekitar kurang lebih 3%.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 31
Gambar 3 Hasil perhitungan simulasi turbine pressure back dan efek terhadap efisiensi
2.1.3 Pemisahan Kandungan Air dalam Uap Air Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kandungan air dalam uap air yang masuk ke dalam turbin sangat menentukan pada efisiensi dan ketahanan material turbin. Ini karena kandungan air yang tinggi akan menyebabkan turunnya efisiensi kerja turbin dan menyebabkan terjadinya erosi pada turbine blade. Langkah pencegahan kenaikan kandungan air dalam uap air/kelembaban ini sangat penting. Untuk itu pada pembangkit listrik bahan bakar sampah ini, mengaplikasikan teknologi turbin yang dipakai di PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) atau PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), dimana moisture yang dikandung uap air di dalam turbin dipisahkan dengan gaya sentrifugal.
2.2 Pemanfaatan Ulang Panas (Heat Recycle) 2.2.1 Pemanasan Bertahap Feedwater Energi panas yang telah melakukan kerja (menggerakkan turbin), dipakai kembali untuk memanaskan feedwater yang dialirkan ke tungku bakar. Pemanasan feedwater sampai suhu sebelum masuk ke dalam tungku bakar, dilakukan dalam beberapa tingkat/tahap, dari hasil perhitungan simulasi (gambar 4) di peroleh hasil. bahwa lebih dari 4 tingkat/tahap, efisiensi pembangkit listrik tidak akan berubah
2.2.2 Pemanasan Ulang Uap Air (Reheat) Dengan memanfaatkan panas di bagian atas/belakang tungku bakar, uap air yang telah melakukan kerja di high pressure turbine tidak langsung dialirkan ke condenser untuk dikondensasi dan pakai lagi sebagai feedwater, tetapi dikembalikan
Gambar 4 Hasil perhitungan simulasi pemanasan bertingkat feedwater dan efek terhadap efisiensi
ke dalam boiler lagi (melalui reheater superheater) dan dipanaskan kembali sampai suhu 500 , kemudian melakukan kerja di intermediate pressure turbine dan selanjutnya low pressure turbine, setelah itu baru dialirkan ke condenser (gambar 5). Pada pembangunan pusat pembangkit listrik, pemakaian heat recycle sistem ini perlu memperhitungkan nilai ekonomis, karena dengan dibangunnya sistem ini diperlukan sambungan pipa yang lebih panjang yang membuat biaya pembangunan bertambah mahal.
2.3 Proses Pembakaran Hasil pembakaran limbah sampah di tungku bakar (boiler) menghasilkan gas buangan yang mengandung CO, CO 2 , O 2 , NOx dan SOx.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 32
Dalam hal ini, turunnya kadar O 2 pada keluaran tungku bakar, menyebabkan panas yang terbawa keluar dari tungku bakar menjadi berkurang dan memberikan efek naiknya efisiensi pembangkit listrik tersebut. Tetapi dari pertimbangan kontrol suhu di outlet tungku bakar dan efek hot corrosion, perbandingan udara terhadap bahan bakar ini tidak bisa dikontrol pada kondisi yang seminim minim-nya. Umumnya konsentrasi O 2 pada outlet tungku bakar (boiler) berkisar 10% 15%(2 3), sedangkan pada tungku bakar pembangkit listrik, berkisar 15% 20% (3 4) (pada cerobong asap).
2.4 Produksi Limbah Sampah Produksi limbah sampah yang dipakai sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik merupakan juga komponen penting dalam meningkatkan efisiensi pembangkit listrik. Ini sangat berhubungan dengan keperluan dalam menentukan besar dan kemampuan peralatan yang akan dibangun/diperlukan, serta banyak unit yang dipakai untuk mengolah limbah sampah tersebut menjadi bahan bakar, pertimbangan ini sangat berhubungan pada tahap pembangunan fasilitas pembangkit listrik. Gambar 6 menunjukkan hasil simulasi antara jumlah berat sampah per hari di tiap kondisi uap air, terhadap efisiensi pembangkit listrik. Semakin kecil skala pembangkit listrik akan semakin kecil pula efisiensi yang didapat, dari sini dapat diambil kesimpulan jika limbah sampah yang dibakar lebih kecil dari 300t/h, efisiensi pembangkit listrik akan akan turun. Dari makalah sebelumnya telah dijelaskan tentang teknologi RDF (Refused Derived Fuel), yang mengubah limbah sampah kota menjadi padatan yang mempunyai nilai kalor lebih tinggi. Dengan teknologi ini limbah sampah menjadi dapat bertahan lama dan tidak busuk, sehingga dapat disimpan lebih lama. Dengan teknologi RDF, dapat dibentuk sebuah sistem pengolahan limbah sampah kota yang terdiri dari beberapa kota dengan produksi limbahkota yang sedikit. Dari beberapa data diketahui bahwa, limbah sampah yang diambil dari sebuah daerah dengan penduduk di bawah 100000 jiwa (dengan asumsi produksi limbah sampah 100t/h), tidak akan memenuhi target dari segi keuntungan finansial, karena bila dipakai sebagai bahan bakar selain tenaga listrik yang dapat dihasilkan kecil, pengadaan peralatan tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat dari hasil penjualan listrik. Gambar 7 menunjukkan pemanfaatan teknologi RDF sebagai sebuah sistem, dimana limbah sampah dikumpulkan pada suatu tempat pengolahan akhir (TPA), kemudian dari tempat ini sampah dipilah-pilah,
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 33
Gambar 8 Sistem aliran uap air dan gas pada turbin uap dan turbin gas
Gambar 7 Sistem pengumpulan limbah sampah menjadi bahan bakar RDF dan limbah sampah yang dapat dipakai sebagai bahan baku RDF (combustile waste), dibawa ke pabrik pengolahan RDF. Kemudian dari beberapa pabrik pengolahan RDFdi beberapa daerah/kota, RDF dikirim ke pusat pembangkit listrik yang telah ditentukan. Dengan sistem ini, beberapa daerah yang mempunyai produksi sampah yang sedikit dapat diperoleh bahan bakar RDF yang mencukupi untuk skala besar pusat pembangkit listrik bahan bakar sampah (dalam hal ini limbah sampah telah diolah menjadi RDF). Pada beberapa pilot project yang diadakan oleh NEDO (New Energy and Industrial Technology Development Organization), biaya pengumpulan limbah sampah, pengolahan limbah sampah menjadi RDF, serta pengangkutan RDF ke pusat pembangkit listrik, dapat ditutup dari keuntungan penjualan listrik ke perusahaan listrik swasta atau langsung ke konsumen/industri.
2.5 Pemakaian gabungan turbin uap-turbin gas Pada sistem ini cara pembakaran limbah sampah dan penyerapan panas memakai teknologi tungku bakar/boiler, dan hanya untuk menggerakkan 2 turbin generator dipakai masing masing tenaga gas dan uap air, biasa disebut gas turbine-steam turbine power station. Gambar 8 menunjukkan aliran uap air pada pembangkit listrik bahan bakar sampah di kota Kita Kyushu, dengan kapasitas 36.3 MW, efisiensi : 27%. Panas yang dihasilkan pada pembakaran di tungku boiler (kapasitas (810t/h), menghasilkan uap air dengan suhu 267 , tekanan 23.5 ata. Uap air ini masuk ke dalam independent superheater, dimana uap air dipanaskan lagi dengan panas buangan dari gas turbin, sehingga dan suhu uap air naik menjadi 350 . Energi (enthalpi) yang dikandung dalam uap air ini digunakan untuk menggerakkan turbin uap, dan menghasilkan daya sebesar 28.3 MW. Untuk menggerakkan gas turbin dipakai bahan bakar LPG dengan volume 2193m 3 /h dan dapat di
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 34 hasilkan daya listrik sebesar 8 MW. Pemakaian bahan bakar fosil ini, dari segi ekonomi merupakan suatu kelemahan dari sistem ini, karena selisih harga bahan bakar (LPG) dengan hasil penjualan listrik terkadang tidak tercapai keuntungan yang sesuai.
3. Penutup Peningkatan efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah sangat diperlukan dalam hubungannya mengurangi emisi CO 2 , dan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil. Dengan kemajuan teknologi yang ada rendahnya efisiensi pembangkit listrik bahan bakar sampah dapat dinaikkan sehingga setara dengan efisiensi pembangkit tenaga listrik bahan bakar fosil.
4. Referensi 1. The Thermal and Nuclear Power, No.519, Vol. 50, 1999 2. The Thermal and Nuclear Power, No.514, Vol. 50, 1999
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 35
H Hu uk ku um m T Te er rm mo od di in na am mi ik ka a, , E Ek ks se er rg gi i d da an n K Ke eb bi ij ja ak ka an n E En ne er rg gi i
Sri Harjanto *
Peneliti ISTECS-Jepang, Energy and Materials Working Group
* Staf Pengajar Jurusan Metalurgi FT-UI 1. Pendahuluan Sering kita berhubungan dengan hal-hal absurd dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti yang sering kita dengar adalah ungkapan parodi 'membunuh nyamuk dengan bom' atau 'memotong mentega dengan mesin gergaji'. Kedua kalimat di atas sebenarnya menggambarkan hal yang nyata dalam kehidupan kita. Ketika kita dituntut untuk menyesuaikan jenis, ukuran, kekuatan perkakas dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Kesadaran terhadap hal ini sangat diperlukan dalam pembuatan kebijakan energi. Ketika diperlukan suatu pendekatan yang tepat yang diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan penggunaan yang seefisien dan seefektif mungkin. Perbedaan pendakatan kebijakan energi akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia. Oleh karena itu amat diperlukan penguasaan yang mendalam terhadap ilmu energi atau termodinamika dalam kaitan pembuatan kebijakan energi. Tulisan ini merupakan tinjauan teoritis yang mencoba menggambarkan hubungan antara hukum-hukum termodinamika sebagai kerangka berfikir dalam pembuatan kebijakan energi. Dalam hal ini konsep exergi diperkenalkan dalam kaitan bahasan di atas. Beberapa contoh kasus yang terjadi di negara maju diberikan dan tulisan ini diakhiri dengan catatan yang diharapkan dapat menjadi awal diskusi yang lebih luas, utamanya dalam hal penggunaan dan pemanfaatan sumber energi yang tidak terperbaharui secara efisien, khususnya di Indonesia.
2. Pengertian dan konsep dasar [1,2] Disebutkan dalam hukum ke-1 termodinamika bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Akan tetapi dalam hal ini energi akan kehilangan sejumlah kualitas. Dengan kata lain, kualitas yang akan mengalami degradasi dan pengurangan nilai atau kualitas dapat diperbaiki, tapi hanya terjadi dengan akibat penurunan sejumlah besar kualitas di lain tempat. Kualitas atau potensial inilah yang disebut sebagai exergi (di Eropa) atau availability (di Amerika). Pada tahun 1824, Carnot mempublikasikan sutu hubungan antara panas (heat) dan kerja (work), yang kemudian melahirkan hukum ke-2 termodinamika. Gibbs menggambarkan hubungan umum untuk kerja pada tahun 1873. Tetapi sebelum tahun 1953 Rant mengusulkan nama exergi dan definisi umum diberikan oleh Baehr pada tahun 1965. Keempat penelitian ini menghasilkan definisi yang memadai dari konsep exergi dan memapankan landasan hukum termodinamika. Sehingga kita dapat mengekspresikan konsep energi dan exergi dalam suatu istilah yang sederhana sebagai berikut : (1) energi adalah gerak (motion) atau kemampuan untuk menghasilkan gerak, dan (2) exergi adalah kerja (work) atau kemampuan untuk menghasilkan kerja.
Dari sini kita dapat memformulasikan hukum termodinamika sebagai berikut: (1) energi selalu diubah dalam suatu proses (hukum ke-1, hukum kekekalan energi), dan (2) exergi selalu diubah dalam proses yang dapat-balik (reversible) akan tetapi selalu terkonsumsi dalam proses real yang tidak dapat-balik (irreversible) (hukum ke-2, hukum exergi)
Perbedaan antara energi dan exergi secara sederhana dapat diilustrasikan pada Gbr.1 [3]. Gbr. 1(a) memperlihatkan suatu ruang tertutup besar yang berisi tangki bahan bakar dalam atmosfer udara. Jika bahan bakar tersebut terbakar seperti yang digambarkan Gbr. 1(b), maka akan terbentuk campuran hangat produk pembakaran dengan udara seperti yang ditunjukkan Gbr. 1(c). Meskipun total kuantitas energi tidak berubah dalam ruang tertutup
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 36 tersebut, tetapi kombinasi bahan-bakar awal memiliki potensial (kualitas) yang lebih besar dibanding campuran hangat akhir. Sebenarnya bahan bakar tersebut dapat digunakan dalam suatu alat yang dapat membangkitkan listrik, menghasilkan uap super panas yang dapat dimanfaatkan untuk memutar turbin. Ilustrasi di atas yang hanya menghasilkan campuran udara hangat pada produk akhir, menunjukkan hanya sebagian kecil dari potensi bahan bakar yang dimanfaatkan. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar potensial awal dihancurkan dalam proses tersebut. Hal yang penting dalam evaluasi berbagai strategi penggunaan energi adalah dengan selalu mempertimbangkan energi dan exergi secara bersamaan. Pemanfaatan terbaik dapat dicapai dengan tidak hanya menambal 'lubang-lubang kebocoran' saja tetapi juga dengan mengidentifikasi dan mengoreksi segala sesuatu yang dapat memusnahkan exergi secara sia-sia.
3. Analisa hukum ke-1 dan ke-2 termodinamika [4] Karena jumlah total energi adalah konstan, maka kehilangan energi dari sistem selama proses, sama dengan energi yang diserap oleh lingkungannya. Contoh sederhana adalah air terjun. Air di puncak bibir tebing memiliki energi potensial gravitasi dengan posisinya di ketinggian tersebut. Energi ini kemudian ditransformasikan menjadi energi kinetik ketika air itu jatuh dalam bentuk air terjun. Energi kinetik dari jatuhnya air terjun itu selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan kerja dan tentu saja akan sangat baik untuk membangkitkan listrik. Permasalahannya bagaimana dengan air yang telah sampai di bawah? Umumnya kita memahami bahwa energi potensial gravitasi yang dimiliki air saat masih berada di atas tebing itu telah hilang. Pertanyaannya, apakah hal ini bertentangan dengan hukum ke-1? Jawabnya sama sekali tidak.
Air yang sudah berada di bawah menjadi sedikit lebih hangat 1/8 o C dibanding air yang masih berada di tebing atas air terjun. Energi panas ini disebabkan karena gesekan antara molekul air dan antara molekul air dan batu. Deruman suara air terjun juga menunjukkan bahwa sebagian energi potensial gravitasi diubah menjadi energi suara. Jumlah total energi suara dan panas pada air yang telah berada di bawah akan sama dengan jumlah total energi potensial gravitasi pada air di bagian atas. Perbedaan mendasar anatara kedua bentuk energi ini adalah kita dapat memanfaatkan energi potensial gravitasi yang berkualitas dari air di bagian atas tebing untuk melakukan kerja menggerakkan pembangkit tenaga listrik, misalnya , sedangkan energi suara dan panas yang berkualitas rendah terlalu kecil untuk dimanfaatkan. Analisa tradisional hukum ke-1 tidak memperhitungkan perbedaan kualitas energi ini. Efisiensi hukum ke-1 hanya membandingkan jumlah total energi yang masuk ke dalam sistem dan dengan jumlah total energi yang keluar dari sistem. Permasalahan dari pendekatan ini adalah tidak terindikasikannya berapa besar kerja yang dapat dihasilkan dari sumber energi. Dan menjadi sangat tidak mungkin untuk menentukannya jika kapasitas sumber energi untuk melakukan kerja diabaikan.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 37 Pendekatan pada efisiensi energi berbasis pada hukum ke-2 termodinamika secara jelas mengindikasikan bahwa apakah kapasitas sumber energi untuk melakukan kerja yang berguna telah dicapai atau tidak. Seperti yang telah disebutkan, energi bervariasi pada kualitas atau kapasitas untuk melakukan kerja yang berguna. Air di atas tebing tinggi memiliki sumber energi berkualitas tinggi karena dapat dimanfaatkan untuk melakukan kerja. Air terjun dapat digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Tetapi energi berkualitas tinggi dalam air terjun itu berubah menjadi energi panas berkualitas rendah yang tersebar ketika mencapai dasar jurang. Proses ini yang berupa degradasi energi adalah salah satu cara untuk menyatakan hukum ke-2 termodinamika. Hukum ke-2 adalah hukum degradasi energi. Selama proses kimia dan fisika, kualitas atau kapasitas energi untuk melakukan kerja adalah kehilangan yang tidak-dapat-balik (irreversible) Degradasi kualitas energi adalah permanen dan tidak dapat balik. Sebagai contoh, ketidak-mungkinan konsentrasi tambahan panas 1/8 o C pada air di dasar air terjun, menggerakkan pompa untuk menaikkan air ke atas tebing. Ketidak-dapat-balikan pengurangan kualitas energi yang dijelaskan oleh hukum ke-2 termodinamika sesuai dengan common-sense bahwa sesuatu akan hilang ketika kita membakar bahan bakar. Kita tidak kehilangan kuantitas karena energi kekal seperti yang disebutkan hukum ke-1 tapi hukum ke-2 menjelaskan apa yang hilang adalah kualitas energi atau kapasitas untuk melakukan kerja yang berguna (exergi).
4. Exergi sebagai konsep sumber daya Pada umumnya konsep exergi telah banyak digunakan dalam teknologi termal dan listrik yang berkaitan dengan energi dengan berbagai kualitas. Akan tetapi bidang aplikasinya dapat diperluas menjadi konversi energi dan material dalam suatu masyarakat. Hal ini akan menghasilkan penggambaran yang lebih seragam terhadap penggunaan sumber daya fisik dan dampak lingkungan yang berhubungan dengan penggunaanya. Secara umum sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumber daya energi dan sumber daya lainnya. Pemisahan ini hanya bersifat pendekatan saja. Minyak bumi, sebagai contoh, umumnya dipandang sebagai sumber daya alam dan kayu biasa dikaitkan sebagai sumber daya material. Akan tetapi perbedaan ini sendiri menjadi tidak bermakna, karena minyak bumi dapat digunakan untuk menghasilkan material-material yang bermanfaat dan kayu dapat digunakan pula sebagai bahan bakar. Sepantasnya keduanya dipandang sebagai suatu kesatuan sumber daya. Dalam hal ini konsep exergi merupakan alat ukur sumber daya yang memadai. Kandungan exergi dalam sumber daya energi diperoleh dengan mengkalikan kandungan energi dengan faktor kuantitas yang diaplikasikan ke bentuk energi yang diberikan, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 [1, 5].
Table 1. Kualitas berbagai bentuk energi _____________________________________________________
Bentuk energi Faktor kualitas _____________________________________________________ Sangat tinggi Energi potensial a 1 Enegi kinetik b 1 Energi mekanik 1 Energi listrik 1 Energi kimia c 1 Tinggi Energi nuklir d 0.95 Cahaya matahari 0.93 Uap panas (600 o C) 0.6 Rendah Panas limbah 0.05 Tidak bernilai Radiasi panas dari bumi 0 _____________________________________________________ a contoh sumber air sangat besar (danau, dam dan lain-lain) b contoh air terjun c contoh minyak mentah, batu bara, gas d contoh energi dalam bahan bakar nuklir Analisa tradisional hukumke-1 tidak memperhitungkan perbedaan kualitas energi ini. Efisiensi hukumke-1 hanya membandingkan jumlah total energi yang masuk kedalamsistemdan dengan jumlah total energi yang keluar dari sistem.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 38 Dengan prinsip yang sama pula, material dapat dihitung dalam satuan exergi dengan hanya mengkalikan besarannya dengan faktor pengubah untuk material. Satuan faktor pengubah adalah dalam bentuk, misalnya joule/m 3 (J/m 3 ) atau joule/kg (J/kg). Hal ini merupakan awal neraca sumber daya yang diperluas (expanded resource budgeting) dan tahapan mula integrasi dengan neraca energi tradisional. Dengan demikian, exergi per satuan kuantitas adalah nilai fisik sumber daya yang dibandingkan dengan harga, yang merupakan nilai ekonomi sumber daya. Kedua nilai tersebut dipengaruhi lingkungannya.
5. Implikasi terhadap kebijakan energi 5.1 Hukum ke-2 termodinamika dan efisiensi energi Analisa hukum ke-2 juga menunjukkan dimana bahan bakar tertentu digunakan secara tidak sepantasnya seperti kasus listrik yang digunakan untuk pemanas ruangan. Pendekatan hukum ke-2 terhadap analisa energi menujukkan bahwa [6],
Energi secara efisien digunakan ketika kualitas sumber disesuaikan dengan kualitas yang dibutuhkan dari tugas. Oleh karena itu, listrik secara termodinamika baik jika digunakan untuk menggerakkan motor yang memutar pakaian dalam mesin cuci. Akan tetapi sebaliknya menjadi tidak baik jika digunakan untuk memanaskan air dalam mesin cuci. Dengan menyesuaikan sumber-sumber energi dengan penugasannya kita dapat mencegah pemborosan penggunaan energi berkualitas tinggi untuk tugas berkualitas rendah dan meminimalkan biaya ekonomi dan sosial dari produksi energi. Karena pendekatan hukum ke-2 menggambarkan sejumlah penyia-yiaan dalam penggunaan listrik untuk pemanas ruangan, kebutuhan fasilitas pembangkit listrik besar dan terpusat harus dievaluasi. Tugas dan kebutuhan energi kualitas rendah seperti pemanas ruangan dapat diperoleh lebih efisien dan murah dengan cara lain. Di beberapa gedung perkantoran di beberapa negara maju, panas diperoleh dengan menangkap limbah panas yang dipancarkan dari peralatan kantor seperti komputer, photocopy, orang-orang dan lampu ke daerah-daerah yang lebih dingin dari bangunan atau menyimpannya untuk penggunaan kemudian. Sehingga kapasitas yang tinggi atau ketersediaan listrik untuk melakukan kerja tidak tersia-siakan pada kerja pemanasan yang memerlukan kerja yang sangat kecil dan pada akhirnya seluruh kebutuhan listrik direduksi. Kita menghindari memotong mentega dengan mesin gergaji. Jelasnya memaksimalkan efisiensi hukum ke-2 akan mendorong pada strategi berbeda daripada memaksimalkan efisiensi hukum ke-1. Contoh, jika sebuah kota memerlukan kapasitas pemanas ruangan, strategi hukum ke-2 akan terdiri dari identifikasi sumber-sumber energi kualitas rendah dalam struktur lokal yang bisa dipanaskan dan cara-cara menyalurkan dari sumber-sumber tersebut. Hal yang berbeda dengan strtegi hukum ke-1 yang akan terdiri dari penggunaan pemanas listrik yang sangat efisien dan membangun banyak pembangkit listrik tenaga nuklir. Dengan demikian, memaksimalkan efisiensi hukum ke-2 akan menghasilkan dampak yang signifikan terhadap pilihan kebijakan.
5.2 Exergi dan akunting sumber daya Kajian konsep exergi dalam penghitungan konversi exergi telah dilakukan terhadap beberapa negara maju, seperti Jepang [5] dan Swedia [7]. Kajian ini menunjukkan bahwa secara umum ditemukan adanya ketidakefisienan dalam penggunaan energi. Di Jepang, pada tahun 1985 dari total aliran sumber daya energi dan material sebesar 18 EJ (= 18x10 18 Joule), hanya 21% mencapai penggunaan akhir. Kerugian besar ini dapat dikurangi dengan pembuatan anggaran sumber daya dan ekonomisasi di semua level dalam masyarakat. Kajian ini mendorong pula perbaikan teknologi seperti pada teknik bangunan. Insulasi panas yang lebih baik diperlukan dalam rangka mengurangi penggunaan pemanas ruangan dan pengkondisian udara (AC, air conditioner). Pada sisi lain analisa ini memberikan rekomendasi jangka panjang mengenai penggunaan sumber daya yang terbaharui (renewable resources) dalam memasok kebutuhan masyarakat. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat Swedia pada tahun 1994, dari total aliran energi sebesar 2.72 EJ hanya 14% mencapai penggunaan akhir. Jika diperhitungkan pula energi nuklir, kondisinya menjadi lebih buruk, dari total 58 EJ hanya 0.65% yang mencapai penggunaan akhir. Ditemukan pula bahwa sejumlah besar energi listrik yang dibangkitkan tenaga nuklir digunakan untuk keperluan pemanas ruangan. Efisiensi penggunaan energi komersial yang berasal dari tenaga air, bahan bakar nuklir dan bahan bakar fosil mencapai kurang dari 10%.
6. Penutup Pendekatan hukum ke-2 termodinamika dan konsep exergi untuk akunting sumber daya memberikan suatu pemahaman baru mengenai pentingnya memperhitungkan kualitas energi dalam pembuatan kebijakan energi. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam tentunya dapat menggunakan pendekatan ini dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan energi dan sumber dayanya. Tentunya diharapkan agar hal-hal yang terjadi di beberapa negara maju seperti yang dicontohkan di atas tidak terjadi di Indonesia. Dan agar berbagai bentuk ketidakeefisienan dan pemborosan energi dan sumber daya bisa dihindari.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 39 Pengetahuan ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi keadaan dimana perbaikan teknis dan perbaikan lainnya perlu diambil. Selain juga membantu dalam menentukan prioritas yang diperlukan dalam pengukuran konservasi. Akan tetapi penggunaan teknik dan analisa ini memerlukan perbaikan data statistik.
Referensi: 1. Wall, G. (1977). Exergy-A useful concept within resource accounting, Report no. 77- 42, Institute of Theoretical Physics, Chalmers University of Technology and University of Gteborg, Sweden 2. Wall, G. (1986). Exergy A useful concept. PhD. Thesis, Physical Resource Theory Group, Chalmers University of Technology, Gteborg, Sweden 3. Moran, M. J. (1982). Availability analysis: A Guide to efficient energy use. Prentice Hall, New Jersey. 4. Simpson, M. and Kay, J. (1989). Availability, Exergy, the Second Law and all that, http://www.fes.uwaterloo.ca/u/jjkay/pubs/exergy/ 5. Wall, G. (1990). Exergy conversion in the Japanese society, Energy, 15(5): 434-444 6. Torrie, R. (1981). Half life: Nuclear Power and Future Society. A report to the royal commission on Electric Power Planning, Ottawa: Ontario Coalition for Nuclear Responsibility. 7. Wall, G. (1997). Exergy use in the Swedish society 1994, TAEIS97, Beijing, pp. 403-413.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 40
Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan Pr ospek Ener gi Masa Depan
Anto Tri Sugiarto 1,2 1) Peneliti ISTECS-J P 2) KIM-LIPI Serpong, Indonesia antocut@yahoo.com
Artikel ini berisikan bahasan singkat mengenai prospek perkembangan energi untuk masa yang akan datang. Pembahasan diawali dengan ulasan singkat tentang perkembangan energi yang ada, yang kemudian dilanjutkan dengan ulasan tentang energi baru beserta prospeknya di masa yang akan datang. Pembahasan diakhiri dengan studi tentang kebijakan penggunaan energi baru di Jepang. Disini akan kami jelaskan langkah-langkah pemerintah Jepang dalam menciptakan dan mempergunakan energi baru sebagai penganti minyak bumi.
1. Energi dan perkembangannya Memasuki pertengahan abad 19, penggunaan sumberdaya energi berkembang sangat pesat. Dengan bertambah makmurnya kehidupan umat manusia, menunjukkan bertambah banyaknya jumlah penggunaan energi. Sampai dengan 40 puluh tahun yang lalu, energi yang dapat digunakan untuk 100 tahun, sekarang hanya cukup untuk memenuhi 15 tahun saja. Sudah barang tentu pemakai terbesar dari sumber daya energi ini adalah negara-negara maju. Negara-negara maju yang berpenduduk 1/4 dari jumlah penduduk dunia, mempergunakan 3/4 dari jumlah energi yang ada. Sebagai contoh, jumlah energi yang dipergunakan oleh satu orang warga negara Jepang adalah 5 kali dari satu orang warga negara Cina. Namun, sekarang tidak dapat dipungkiri lagi penggunaan energi oleh negara-negara berkembangpun semakin bertambah. Energi yang selama ini kita pergunakan umumnya berasal dari, minyak bumi, batubara, dan gas bumi. Semuanya ini berasal dari bahan bakar fossil, yang dimana kondisinya telah mencapai batas. Diantaranya adalah:
1.1 Batas persediaan Hampir dari 85 % dari energi yang kita pergunakan adalah berasal dari bahan bakar fossil. Bahan bakar fossil yang berasal dari fossil makhluk hidup beberapa juta tahun yang lalu ini, akan kita pergunakan habis hanya dalam kurun waktu 200~300 tahun saja. Kalau kita pergunakan energi seperti kondisi sekarang ini, maka persediaan bahan bakar fossil yang ada sekarang adalah minyak bumi tinggal 40 tahun, gas bumi 63 tahun, dan batubara 231 tahun lagi.
1.2 Batas masalah lingkungan Dalam penggunaannya bahan bakar fossil memiliki salah satu batas lagi, yaitu pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh material berbahaya yang dikeluarkan seperti NOx dan SOx, yang dapat mengakibatkan hujan asam dan pencemaran lainnya. Juga CO 2 hasil dari pembakaran batubara untuk menghasilkan energi. Bertambah jumlah CO 2 telah mengakibatkan tingginya kenaikan suhu permukaan bumi. Untuk mengatasi kondisi yang ada, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan akan energi dimasa yang akan datang, eksistensi dari penemuan/pemakaian energi baru sangat diharapkan.
2. Energi baru 2.1 Energi alami Sumber energi alami, yang sempat menghilang dengan adanya minyak bumi sebagai sumber penghasil energi. Muncul kembali dengan kemasan baru yang didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan dewasa ini. Kembalinya sumber energi alami, selain dikarenakan adanya keterbatasan pada sumber energi (minyak bumi), juga energi alami mempunyai sifat clean energi dan memiliki kemampuan yang tidak ada pada energi bahan bakar fossil yaitu daur ulang (recycle). Disisi lain, sumber energi alami juga merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi keterbatasan energi, mengingat dari jumlah persedian dan keaneka ragaman bentuknya. Memelihara sumber daya alam dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada juga merupakan cara yang tepat untuk memecahkan masalah energi ini. Berikut adalah energi alami, yang dalam perkembangannya menjanjikan terciptanya sumber energi baru guna memenuhi kebutuhan energi sekarang dan masa yang akan datang.
a. Matahari Matahari dapat dikatakan sebagai sumber dari segala aktivitas kehidupan manusia di muka bumi. Selain
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 41 menghasilkan energi panas dan energi cahaya, sirkulasi air dan angin untuk menghasilkan sumber daya energi pun terjadi karena adanya matahari. Demikian pula halnya dengan bahan bakar fossil seperti minyak bumi dan batubara terjadi berkat bantuan energi matahari. Dasar dari penggunaan energi matahari adalah penggunaan panas dan cahaya matahari. Beberapa contoh yang sudah ada adalah, pengunaan panas matahari dalam mesin penghangat air, mesin penghangat ruangan. Juga penggunaan cahaya matahari pada calculator, satelit, pembangkit listrik dan masih banyak lagi penggunaan lainnya. Diantara sumber energi alami yang ada, energi matahari inilah yang memiliki kemungkinan paling besar sebagai sumber energi, dibandingkan dengan sumber energi alami lainnya. Hal ini mengingat sumber energi matahari bisa dikatakan tidak terbatas (reaksi dari hidrogen menjadi helium pada permukaan matahari, yang merupakan sumber energi ini, diperkirakan terjadi untuk beberapa puluh juta tahun). Selain daripada itu, jumlah energi yang sampai dipermukaan bumi diperkirakan sekitar 1kW/m 2 , suatu jumlah yang tidak sedikit.
b. Angin Salah satu dari energi alami yang termasuk kategori clean energi adalah tenaga angin. Sebagai contoh kita bisa melihat pembangkit listrik yang digerakkan oleh kincir angin di negara Belanda, pemakaian tenaga angin untuk sumber listrik di san francisco, Amerika, dll. Berbeda dengan energi matahari, energi tenaga angin ini dapat dihasilkan baik siang maupun malam, juga efisienci perubahan energi angin menjadi energi listrik cukup baik, sekitar 40 %. Walaupun dalam pengunaannya sangat dipengaruhi oleh tempat, arah angin dan terbatasnya kwantitas dari energi yang dihasilkan oleh sebuah kincir angin. Namun pesatnya perkembangan teknologi dalam penggunaan tenaga angin telah menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam beberapa tahun terakhir ini di Jepang, harga energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga angin berkisar 16~25 yen/kWh, sekitar 1/2~1/3 dari harga energi listrik dari pembangkit listrik batubara.
c. Panas bumi Energi panas bumi yang terdiri dari batuan dan air panas dihasilkan oleh magma panas yang berada di pusat bumi. Dalam penggunaannya, energi panas bumi bukanlah hal yang baru. Di negara-negara yang banyak memilliki gunung berapi, energi panas bumi ini cukup dikenal. Di jepang sejak tahun 1915 energi panas dipergunakan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Begitu pula halnya di kawah kamojang di jawa barat, Indonesia. Mengingat dalam penggunaanya hampir sama dengan pembangkit listrik dengan batubara (uap panas dipergunakan untuk menggerakkan turbin), juga jumlah persediaannya yang stabil. Besar sekali harapan kita akan kemajuan teknologi dalam penggunaan sumber energi panas bumi ini.
d. Laut Melihat dari potensi laut yang demikian luas, bukan suatu hal yang berlebihan jika laut dapat dikatakan sumber energi yang sangat potensial. Berbagai bentuk sumber energi yang terdapat di dalam laut, dapat kita bagi dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah dasar laut dan dibawahnya. Kita bisa mendapatkan batubara, minyak bumi, natural gas dll. Bagian kedua adalah uranium, lithium dll. sedangakan bagian ketiga adalah ombak, aliran air laut, perbedaan suhu dll. Dari pembagian di atas, Sumber energi yang dapat didaur ulang adalah bagian ketiga dimana sebagian besar dari penggunaan tenaga air laut sebagai sumber energi adalah, pembangkit listrik tenaga ombak, pembangkit listrik dari perbedaan suhu air laut dll. Dari kondisi dan data yang ada sekarang ini, menunjukkan bahwa penggunaan tenaga air laut sebagai sumber energi masih sangat sedikit. Hal ini dilihat dari segi ekonomi dan efisiensi masih jauh dari yang diharapkan. Namun kita tetap berharap, laut yang luasnya 70 % dari permukaan bumi ini, disuatu saat dapat menjadi sumber energi yang tengah kita butuhkan.
e. Air Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita kalau mendengar air sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Tenaga air adalah merupakan sumber energi yang clean dan bisa didaur ulang. Di negara kita sendiri, sebagian besar dari sumber pembangkit tenaga listrik adalah bertenaga air. Dibeberapa negara maju seperti Jepang, pada sekitar tahun 1965, air merupakan sumber pembangkit tenaga listrik utama. Yang kemudian mengalami penurunan dalam pengunaannya akibat kebutuhan energi yang semakin pesat. Namun permasalahannya sekarang bukan hanya dalam jumlah energi saja, persediaanya energi yang cukup, sedikitnya efek terhadap lingkungan, dan juga perlunya penganti bahan bakar fosil, perkembangan teknologi dalam penggunaan sumber energi bertenaga air ini sangat diharapkan.
2.2 Bentuk baru dari sumber energi Sumber energi baru yang sama sekali berbeda bentuknya dengan yang ada sekarang ini adalah pemanfaatan energi yang selama ini dibuang (recycle energy), dan pemanfaatan energi yang ada dalam bentuk lain. Berikut beberapacontoh dari bentuk baru sumber energi:
a. Tenaga limbah Peningkatan limbah domestik dan industri, juga pencemaran udara dll. adalah merupakan bagian dari permasalahan yang dihadapi sekarang. Namun apabila
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 42 limbah itu kita manfaatkan sebagai sumber dari energi, dua masalah utama yaitu masalah lingkungan dan energi dapat kita selesaikan sekaligus. Beberapa tatacara dalam memanfaatkan limbah ini adalah pemanfaatan panas hasil pembakaran limbah untuk membangkitkan tenaga listrik atau pemanfaatan panas itu langsung untuk energi panas. Selain energi panas yang didapatkan dari limbah tadi, pemanfaatan energi panas yang terbuang selama proses produksi suatu perusahaan juga merupakan sumber energi yang tidak sedikit. Dengan perkembangan teknologi saat ini, pemanfaatan energi panas yang terbuang tidak terbatas pada suatu perusahaan namun mulai berkembang baik di perkantoran, subway dll.
b. Perbedaan suhu Pemanfaatan perbedaan suhu dari air dan udara di permukaan laut, sungai, dan air tanah, juga merupakan sumber energi yang cukup. Sistem penghangat central yang dipergunakan dibeberapa kota besar di Jepang seperti Tokyo, Osaka, Fukuoka dll. adalah merupakan contoh dari pemanfaatan energi panas dari perbedaan suhu air dan udara.
c. Co-generation Pemanfaatan energi listrik dan panas secara bersamaan, co-gerneration. Merupakan suatu sistem energi yang memiliki effisiensi energi 70-80 %. Beberapa contoh pengunaan dari sistem co-generation di dalam pabrik adalah steam turbine, gas turbine, diesel engine, gas engine dll. Di Jepang, dalam waktu dekat sistem co-generation akan dapat dikonsumsi oleh setiap rumah penduduk.
d. Fuel cell Fuel cell adalah suatu pembangkit tenaga listrik yang dihasilkan dari reaksi electro-chemistry hidrogen dalam gas alam, gas methane dll. dengan oksigen dari udara. Yang memiliki efisiensi energi sekitar 40~50 %, dan apabila digabungkan dengan energi panas (co-generation) memiliki efisiensi energi sekitar 80 %. Selain daripada itu sedikitnya jumlah gas SOx, NOx yang dihasilkan. Polusi suara dan getaranpun bisa dikatakan tidak ada. Fuel cell ini sangat tepat sekali untuk dipergunakan untuk hotel, rumahsakit dan juga tempat tempat yang membutuhkan energi listrik dan panas secara bersamaan.
e. Clean energi car Clean energi car adalah mobil yang mempergunakan listrik, gas alam, gas methane dan juga campuran dari gasoline dan yang disebut diatas (hybrid car), sebagai sumber motor penggeraknya. Dilihat dari perkembangannya mobil ini masih kurang menggembirakan. Setelah diawali dengan penjualan mobil hybrid , prius dari Toyota pada tahun 1997, jumlah mobil yang terjual baru 24.000 buah saja di akhir 1998. Hal ini dikarenakan harga dari mobil hybrid dan clean energi lainnya masih sekitar 1.2 ~ 3 kali dari harga mobil yang ada dipasaran. Namun diharapkan pada tahun 2010 mobil clean energi ini akan mampu mengantikan mobil diesel dan petroleum lainnya.
3. Kebijakan energi di Jepang
3.1 Kondisi energi saat ini Pesatnya perkembangan perekonomian di Jepang telah mengakibatkan tingginya peningkatan konsumsi energi pada tahun 19601970. Namun hal ini tidak berlanjut lama, peristiwa Oil shock pada tahun 1973, telah membawa beberapa perubahan, terutama kesadaran akan penghematan energi. Semenjak tahun 1973 hingga sekarang (tahun 2000) penggunaan energi dalam bidang industri dapat dikatakan stabil. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penggunaan energi oleh masyarakat dan transportasi. Pemakaian peralatan elektronik dan kendaraan bermotor telah mengakibatkan jumlah penggunaan energi tahun 1997 dua kali lipat tahun 1973. Akibatnya, jumlah total penggunaan energi di Jepang pada tahun 1997 adalah 1.4 kali tahun 1973. Menurut data tahun 1993, kemampuan Jepang untuk menyediakan energi sendiri hanya sekitar 18 % saja. Sebagian besar dari sumber energi Jepang, berasal dari luar negeri. Terutama minyak bumi, bisa dikatakan seluruhnya adalah hasil impor. Sekitar 80 % dari minyak buminya berasal dari timur tengah.
DIMENSI Vol. 4 No. 1 J uni 2001 43 Tingginya ketergantungan Jepang akan luar negeri dan lemahnya persediaan energi dalam negeri, menyebabkan kepentingan akan penghematan energi dan penyediaan berbagai macam jenis energi, lebih banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Selain daripada itu sebagai konsumen pemakai minyak bumi masalah pencemaran udara akibat dari gas NOx, SOx, begitu pula kenaikan suhu permukaan bumi akibat dari CO 2 telah mendorong Jepang untuk bersegera dalam mencari pengganti minyak bumi sebagai sumber energinya.
3.2 Kebijakan energi baru Pola dasar dari kebijakan energi Jepang adalah 3E yaitu, Economic growth, Energy security, Environmental protection. Dalam rangka untuk dapat mencapai 3E ini, diperlukan keseimbangan dari ketiga point tersebut. Untuk itu kebutuhan akan energi baru yang dapat menghemat sumber energi dan memiliki sedikit beban terhadap lingkungan adalah jawabannya. Undang-undang tentang pengembangan dan pemanfaatan energi pengganti bahan bakar fosil dibentuk tahun 1980. Yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan New energy and Industrial Technology development organization (NEDO) dan New Energy Foundation (NEF). Yang masing-masing dari tugasnya adalah NEDO, bertugas untuk menetapkan dan mengumumkan target dari sumber energi baru sekaligus pengembangan teknologi untuk mengolah sumber energi tersebut. Sedangkan NEF, berperan untuk memasyarakatkan sumber energi baru tersebut. Untuk dapat mempercepat program diatas pada tahun 1994 dibentuk perundangan tentang penggunaan energi baru dalam skala besar. Yang kemudian diperbaiki pada tahun 1998. Untuk mempercepat tercapainya program diatas, berikut tiga point utama dari energi baru yaitu: - Reproduce energy (energi matahari, tenaga angin dll.) - Recycle energy (pembangkit listrik tenaga limbah, dll.) - Pemakaian bentuk baru dari energi yang ada (clean energy car, fuel cells, dll.). Selain daripada tiga point diatas, penetapan bantuan dalam penggunaan sumber energi diatas, usaha untuk menurunkan harga dari masing-masing sumber energi, kerjasama yang erat dari seluruh unsur yang terkait (pemerintah, pengusaha dan masyarakat). Untuk energy panas bumi dan sumber energi air tidak termasuk dalam program ini. Mengingat kedua sumber ini telah banyak dipergunakan. Hasil dan target dari pengadaan energi baru diJepang bisa dilihat pada tabel-1.
4. Kesimpulan Penyediaan energi baru sebagai usaha untuk mengganti/mengatasi kebutuhan akan energi pada masa kini dan yang akan datang adalah langkah tepat, yang dalam pelaksanaannya masih banyak memerlukan tahap-tahap aplikatif lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi penggunaan energi baru yang masih sedikit dirasakan oleh masyarakat luas. Untuk itu perkembangan teknologi dalam pengolahan dan pemanfaatan sumber energi yang ada adalah merupakan tantangan baru yang harus kita hadapi sekarang.
Daftar Pustaka [1] New Energy Foundation, http://www.nef.or.jp [2] New energy and Industrial Technology development organization, http://www.nedo.go.jp [3] Basic plans for Research & Development of Energy, Science & Technology in Japan, Vol.14(15-2), 1995 [4] Energy-resources recycle, Creative chemical engineering course, 1996. Tabel-1 Hasil dan target dari pengadaan energi baru di Jepang