You are on page 1of 17

1

REVIEW
EPISTAKSIS




Disusun oleh :
Ervina (07700179)

Pembimbing :
dr. Sri Hening R. Sp. THT - KL



SUB DEPARTEMEN THT
SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN THT
RS TK. II dr. SOEPRAOEN-MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA-SURABAYA
2012-2013
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik
pada anak-anak maupun usia lanjut dan hampir 90% dapat berhenti sendiri.
Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit tapi merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat
kelainan setempat atau penyakit umum. Terdapat dua sumber perdarahan dari
epistaksis, yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior
dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, sedangkan epistaksis posterior dapat
berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
menjengkelkan dan mengganggu. Ia dapat pula mengancam nyawa. Faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.
Perdarahan hidung tampak lebih sering terjadi pada masa awal kanak-kanak
sampai pubertas. Walaupun pada kelompok usia tersebut biasanya tidak serius.
Epistaksis berat atau yang mengancam jiwa tampaknya meningkat dengan
bertambahnya usia.
Epistaksis adalah masalah klinis yang berbahaya, terutama bila berasal
dari posterior. Sembilan puluh persen epistaksis berasal spontan dari pleksus
pembuluh darah superfisialis didalam septum anterior inferior, dan lebik mudah
ditangani dibandingkan epistaksis posterior, yang 10% pasien dari pembuluh
darah di dalam dinding hidung lateral dekat nasofaring dan disertai dengan
mortalitas 4% sampai 5%.
1.2 Tujuan Penulisan
Menjelaskan tentang Epistaksis, penyebab, diagnosa, terapi dan komplikasi
dari Epistaksis. Sehingga dapat dilakukan tindakan pertolongan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi yang tidak diinginkan.
Memenuhi tugas review tentang Epistaksis pada SMF Ilmu Kesehatan THT.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari hidung. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir
90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat terjadi akibat sebab
lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya
mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia
serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat
ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi
darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat
dilakukan.
Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya
pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.
2.2 Anatomi
2.2.1 Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian
dalam. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge),
batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari
krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina
prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan
septum dan kolumela. Sedangkan hidung bagian dalam terdiri dari konka,
meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka
suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu
meatus superior, media, dan inferior.
4


2.2.2 Anatomi vasculer
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis yaitu arteri
karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan
suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga
perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor,
yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai
bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang
mendarahi septum dan dinding lateral superior

2.3 Etiologi
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal
dan sistemik.
a. Etiologi lokal
1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab
lokal tersering.

5

Etiologi lainnya yaitu :
Iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.
b. Etiologi sistemik
1. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat
berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik,
2. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
3. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain :
a. Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya
pada kehamilan, menarke dan menopause
b. Kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;
c. Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung
d. Pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.
2.4 Patofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada
6

rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh
darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
(maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor
dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri
fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan)
dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis
superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach
(littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot
tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada
orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
7

2.5 Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung.
a. Epistaksis anterior
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan
biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus
Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area
terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang arteri
etmoidalis anterior, arteri sfenopaltina, arteri palatina asendens dan arteri
labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa
terletak lebih superfisial, mudah pecah dan menjadi penyebab hampir
semua epistaksis pada anak.
b. Epistaksis posterior
Umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari.
Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian
besar darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan
tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita
usia lanjut dengan hipertensi.

Gambar 2.4 Perbedaan epistaksis anterior dan epistaksis posterior
8

2.6 Pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan anamnesis, keadaan umum, dan
pemeriksaan fisik hidung.
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan :
Apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah
Kapan terakhir terjadinya.
Jumlah perdarahan
Perlu lebih detail karena pasien biasanya dalam keadaan panik dan
cenderung mengatakan bahwa darah yang keluar adalah banyak. Tanyakan
apakah darah yang keluar kira-kira satu sendok alau satu cangkir Sisi mana
yang berdarah jjga perlu dilanyakan,
Apakah satu sisi yang sama atau keduanya;
Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus
Apakah ada hipertensi
Keadaan mudah berdarah
Apakah ada penyakit paru kronik, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis
apakah sering makan obat-obatan seperti aspirinn atau produk antikoagulan
Pemeriksaan keadaan umum.
Tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang infus jika ada penurunan
tanda vital, adanya riwayat perdarahan profus, baru mengalami sakit berat
misalnya serangan jantung, stroke atau pada orang tua.
Pemeriksaan fisik hidung.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua
9

lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari penyebab perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior
ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting
pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes termasuk jumlah platelet dan waktu perdarahan.
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap
masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.
Pemeriksaan tambahan
o laboratorium.
Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk mengetahui adanya anemi.
masa perdarahan, hitung trombosit dilakukan jika diduga ada kelainan
perdarahan.
Pada anak dengan epistaksis berulang tanpa riwayat trauma atau
operasi, perlu pemeriksaan adanya penurunan faktor VIII seperti pada
von Willebrants disease.
Pada pasien yang dipasang tampon posterior, mungkin perlu diperiksa
gas darah tepi (Astrup).
Pada keadaan tertentu mungkin perlu pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.
Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung dan sinus paranasal serta
nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut diatasi.
10

Jika perlu pasien dapat dikonsul ke dokter spesialis penyakit dalam untuk
mencari dan mengobati penyebab sistemik.
Jika pada pemeriksaan didapati adanya massa, dapat segera dilakukan
biopsi agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Namun perlu dicermati
apakah massa tersebut merupakan massa tumor pembuluh darah yang
umumnya akan berwarna kebiru-biruan, dalam hal ini maka tindakan
biopsi sebaiknya tidak dilakukati karena dapat menyebabkan perdarahan
profus yang sulit diatasi bahkan dapat menyebabkan kematian, misalnya
pada tumor angiofibroma. Untuk ini sebaiknya pasien dikonsulkan ke ahli
THT terdekat.

2.7 Penatalaksanaan epistaksis
Untuk dapat menghentikan pendarahan perlu dicari sumbernya,
setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang
perlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung, alat
penghisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan
sebab pendarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga dapat di monitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala di tinggikan. Harus
perhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah
Pasien anak duduk di pangku, badan dan tangan di peluk, kepala di
pegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah di basahi oleh adrenalin 1/5000 1/10.000
dan pantokain atau lidokain 2% di masukan kedalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat di lakukan
tindakan selanjutnya, tampon di biarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat di lihat apakah perdarahan dari bagian anterior
atau posterior hidung.

11

3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis :
Menghentikan perdarahan
Mencegah komplikasi
Mencegah berulang nya epistaksis
Menghentikan pendarahan
1. Pendarahan anterior
Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan
mudah membatukkan darah dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang
ringan biasanya bisa dihentikan dengan cara menekan cuping hidung
selama 5-10 menit.
Kauterisasi
Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan,
maka dipasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin
dan lidocain atau pantocain untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa nyeri. Lalu Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%.
3
Becker (1994) menggunakan larutan asam
triklorasetat 40 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber
perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang
berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena
dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat
digunakan elektrokauter atau laser.
7
Yang (2005) menggunakan
electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.
Tampon anterior
Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas
atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah masuk dan
tidak menimbulkan pendarahan baru saat di masukan atau di cabut.
Tampon di masukan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan
harus menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24
12

jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

2. Pendarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi
anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon
posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri.
Tampon Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon
posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih
kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu
sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup
koana (nares posterior).
Teknik pemasangan tampon bellocq :
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet
melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian
ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua
buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan
kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar
melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan, dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat
lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Balloon tamponade
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan
dengan pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang
berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon
balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang
dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi
dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah
13

anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika
dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang
tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa
yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior.
Ligasi arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan
adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian
proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya
sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada
epistaksis yang berat atau persisten.
1. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Karena banyaknya anastomosis, ligasi arteri karotis
eksterna tidak dapat dapat selalu menghentikan pendarahan.
Namun, bila mana perlu metode ini dapat di lakukan pada
semua pasien oleh dokter yang trampil dalam pembedahan
leher dan kepala. Insisi di lakukan secara melintang atau
memanjang sepanjang batas anterior otot sterno
kleidomastoideus setinggi tulang hioid. Setelah otot platisma di
angkat, dapat dikenali batas anterior otot sterno
kleidomastoideus. Dengan diseksi yang hati-hati dapat di kenali
selubung karotis. Arteri karotis interna dan eksterna harus
dikenali secara khusus. ,meskipun dinamakan arteri karotis
ekterna, namun pada leher sebenarnya arteri ini terletak
dimedial arteri karotis interna. Ligasi dilakukan dengan suatu
ikatan memakai benang sutra di atas percabangan arteri
lingualis. Hilangnya denyutan temporalis harus di periksa dua
kali sebelum ligasi dieratkan. Luka dapat di tutup dalam
beberapa lapis dan drain di pasang selama 24 jam
2. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris umumnya di lakukan oleh mereka
yang ahli dalam teknik bedah dan anatomi sehingga dapat
14

mencapai fossa pterigomaksilaris. Prosedur ini dilakukan
dengan anastesi lokal atau umum. Sebelum operasi ini
dilakukan perlu dibuat radiogram sinus paranasalis. Pada
mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi caldwell mulai dari
garis tengah hingga daerah gigi molar atas dua.
Mukoperitoneum di angkat dari dinding atas sinus maksilaris,
sinus maksilaris di masuki dan sisa dinding diangkat sambil
menjaga saraf intraorbita. Dinding sinus posterior yang
bertulang kemudian di angkat dengan hati-hati dan lubang ke
dalam fosa pterigomaksilaris di perbesar. Bila lubang sudah
cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk diseksi lebih
lanjut. Pembuluh darah di identifikasi dan klip logam di pasang
pada arteri maksilaris interna, spenopalatina dan palatina
desensence. Luka di tutup dan tampon hidung posterior
diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil
mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau
bila di takuti terjadi infeksi, dapat di buat suatu fenestra antrum
hidung saat melakukan prosedur.
3. Ligasi arteri etmoidalis anterior
Perdarahan dari cabang-cabang terminus arteri
oftalmikus terkadang memerlukan ligasi arteri etmoidalis
anterior. Pembuluh ini dicapai melalui suatu insisi melengkung
memanjang pada hidung di antara dorsum dan daerah kantus
media. Insisi langsung di teruskan ke tulang, dimana periostium
di angkat dengan hati-hati dan ligamen kantus media di kenali.
Arteri etmoidalis anterior selalu terletal pada sutura pemisah
tulang frontal dengan tulang etmoidalis. Pembuluh ini terjepit
dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi tunggal. Karena
terletak deket dengan saraf optikus, maka pembuluh darah
etmoidalis harus di capai dengan retraksi bola mata yang sangat
hati-hati.

15

Mencegah mimisan :
Jangan mengorek hidung, terutama bila kuku panjang
Jangan terlalu keras bila sisih (mengeluarkan lendir dari hidung)
Menggunakan humidifier dalam ruangan selama winter
Menggunakan semprot hidung berisi saline (over the counter) sebelum
tidur
Oleskan Vaseline/petroleum jelly dekat lubang hidung sebelum tidur
Menghindari trauma pada wajah
Menggunakan masker bila bekerja di laboratorium untuk menghindari
menghirup zat-zat kimia secara langsung
Hindari asap rokok karena asap dapat mengeringkan dan mengiritasi
mukosa
Jika menderita alergi berikan obat antialergi untuk mengurangi gatal pada
hidung
Stop pemakaian aspirin karena akan memudahkan terjadinya mimisan dan
membuat mimisan berkepanjangan
2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang
hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak
dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infark miocard, hal-
hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka
penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium
sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir
secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik.



16

BAB III
PENUTUP

3.1 RINGKASAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan
tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua
berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi
yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa
pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus, skrining koagulopati dan mencari
tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah:
Epistaksis Anterior : Kauterisasi, pemasangan tamon anterior
Epistaksis Posterior : Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan Balloon
tamponade dan ligasi arteri

Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras
ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin
melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan
terutama berhenti merokok.




17

DAFTAR PUSTAKA
1. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.
2. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam.
Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal 118-
9; 155-9
3. http://medical-knowledge.blogspot.com/2012/03/bab-i-pendahuluan-
epistaksis-atau.html ; diakses tgl 20 Mei 2013
4. http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/10/epistaksis-dan-
penatalaksanaannya.html ; diakses tgl 20 Mei 2013
5. http://medlinux.blogspot.com/2012/02/epistaksis.html ; diakses tgl 20 Mei
2013
6. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=epistaksis&source=web&cd=10&cad=rja
&ved=0CFwQFjAJ&url=http%3A%2F%2Fskientiz.files.wordpress.com%2F2011%2F06
%2Fepistaksis.doc&ei=uVOaUYuyPI37rAefioGYDw&usg=AFQjCNF31oqruPFS0Uwtlr0
51str1Lfk8w&bvm=bv.46751780,d.bmk ; diakses tgl 20 Mei 2013

You might also like