You are on page 1of 20

1

BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan trauma mekanik pada kepala yang bukan bersifat
congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari
luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana dapat
menyebabkan gangguan fungsi neurologis, kognitif, maupun psikososial yang
bersifat sementara atau menetap. Cedera kepala atau trauma kepala adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan
pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan
otak.
1,2,3
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1 juta kasus per tahun.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera kepala sedang dan 10% termasuk
cedera kepala berat.
1,2

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
1,4

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
2

dilakukan secara tepat dan cepat. Pada korban cedera kepala, yang harus
diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan
tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus
dilakukan secara serentak.Tingkat keparahan cedera kepala harus segera
ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
1,2,4
Kemajuan dalam penanganan cedera kepala dapat menurunkan mortalitas, selama
25 tahun terakhir ini. Akan tetapi dari angka yang berhasil untuk tetap bertahan
hidup sering mengalami gejala sisa berupa gangguan kognitif yang bersifat kronis.
Gangguan kognitif yang sering timbul setelah cedera kepala adalah gangguan
memory dan belajar ( memory and learning process ), gangguan konsentrasi,
atensi, kecepatan memproses informasi dan fungsi eksekutif. Cedera kepala akan
menyebabkan keadaan hipoksik iskemik sehingga akan diekspresikan faktor
neurotropik yaitu brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang sangat berperan
dalam fungsi kognitif. Ekspresi BDNF mencapai puncaknya pada hari ke tiga
pasca cedera dan pada hari keempat kadarnya mula menurun.
2,3,5

Akibat adanya gangguan kognitif terutama gangguan kognitif dengan derajat berat
akan menyebabkan disabilitas dan ketergantungaan dirumah dan dimasyarakat,
sehingga akan menggangu didalam kehidupan berkeluarga, aktivitas pendidikan,
pekerjaan, dan interaksi soaial. Dibandingakan dengan gangguan fisik gejala sisa
kognitif lebih banyak berperan pada disabilities yang menetap.
1,5







3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
1,4,6

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Berdasarkan mekanisme
terjadinya, cedera kepala dapat dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala
tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
2,6

Jika dilihat dari berat ringannya, cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan
nilai Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :
1,6

1. Cedera kepala berat (CKB) jika nilai GCS 3- 8.
Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusion cerebral,
laserasi, atau adanya hematoina atau edema.
2. Cedera kepala sedang (CKS) memiliki nilai GCS 9-12.
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).
3. Cedera kepala ringan (CKR) dengan nilai GCS 13-15.
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang darri 30 menit, tetapi ada juga
yang menyebut kurang dari 24 jam, jika ada penyerta seperti fraktur
tengkorak, kontusio atau tematom (sekitar 55%).
4

Diffuse injury (DI) merupakan salah satu jenis cedera kepala yang diakibatkan
oleh proses gesekan (shearing) pada akson sehingga terjadi robekan akson dan
myelin di substansia alba yang sangat luas. Studi gambaran CT scan dari National
Institute of Health Traumatic Coma Data Bank di United States pada 735
penderita cedera kepala ditemukan DI sebanyak 39 %.
3,5
Berdasarkan gambaran CT-Scan kepala DI dibedakan menjadi empat tingkatan
yaitu :3,5
1. DI grade I
Tidak tampak adanya kelainan pada CT-Scan
2. DI grade II
Sisterna masih terlihat dengan midline shift 0.5 mm dan/atau terdapat lesi
dengan densitas tinggi atau campuran kurang dari 25cc, termasuk adanya
fragmen tulang atau benda asing.
3. DI grade III
Terdapat gambaran tertekan atau menghilangnya cistern (edema) dengan
midline shift 0.5 mm dan/atau terdapat lesi dengan densitas tinggi atau
campuran kurang dari 25cc.
4. Di grade IV
Terdapat midline shift lebih dari 5 mm dan/atau terdapat lesi dengan
densitas tinggi atau campuran kurang dari 25cc.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab umum dari kematian dan
kecacatan terutama pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1
juta kasus per tahun, dimana pada korban yang masih dapat bertahan sering
disertai dengan gejala sisa berupa gangguan kognitif. Di Indonesia kajadian cidera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas,
10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera kepala sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.
1,2
Cedera kepala akan menyebabkan keadaan hipoksik iskemik sehingga akan
diekspresikan faktor neurotropik yaitu brain-derived neurotrophic factor (BDNF)
5

yang sangat berperan dalam fungsi kognitif. Ekspresi BDNF mencapai puncaknya
pada hari ke tiga pasca cedera dan pada hari keempat kadarnya mula menurun.
3,5

2.2 Definisi Gangguan kognitif
Pengertian kognitif adalah suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil,
visual, dan auditorik) akan dirubah, diolah, disimpan dan selanjutnya digunkan
untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu
melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Fungsi kognitif
mencakup lima domain, yaitu atensi (pemusatan perhatian), bahasa, memori (daya
ingat), visuopatial (pengenalan ruang), excecutive function (fungsi eksekutif :
fungsi perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan).
1,4

Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai dengan keadaan
dimana seseorang mengalami masalah dalam daya ingat, pembelajaran (terutama
terhadap hal-hal yang baru), konsentrasi, atau pembuatan keputusan yang
mempengaruhi kehidupan sehari-harinya. gangguan kognitif erat kaitannya
dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi
oleh keadaan otak. Penelitian dijerman menunjukan bahwa sebagian besar pasien
DI mengalami gangguan atensi, fungsi eksekutif, serta memori dan belajar sebesar
77 %, sedangkan penelitian prospektif belanda menunjukan gangguan memori
38%, atensi 32%, dan keterlambatan proses berpikir 28%.
4,5

Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf
pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan
pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat
menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah,
keracunan zat. Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan
gangguan kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa
fungsional. Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia
dapat berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau
Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak
berkurang.
4,5
6

Gangguan kognitif bervariasi mulai dari gangguan kognitif ringan sampai berat.
Pada gangguan kognitif ringan seseorang mulai mengalami perubahan pada fungsi
kognitif, tetapi masih memungkinkan untuk melakukan aktivitas sehari harinya,
dan gangguan kognitif dengan derajat berat dapat mengarahkan pada ketidak
mampuan dalam memahami sesuatu dan ketidak mampuan dalam berbicara dan
menulis yang pada akhirnya menghasilkan ketidak mampuan dalam hidup secara
mandarin.
1,3,4
Gangguan kognitif dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan konsentrasi
terhadap stimulus (misalnya, pertanyaan harus diulang), proses pikir yang tidak
tertata (misalnya tidak relevan atau inkoheren), dan minimal 2 dari yang berikut :
- Menurunkan tingkat kesadaran.
- Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi.
- Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada siang hari.
- Meningkat atau Menurunnya aktivitas psikomotor.
- Disorientasi, tempat, waktu, orang.
- Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru, misalnya nama
beberapa benda setelah lima menit.
3,4,5
Akibat beratnya gangguan kognitif akan menyebabkan disabilitas dan
ketergantungaan dirumah dan dimasyarakat, sehingga akan menggangu didalam
kehidupan berkeluarga, aktivitas pendidikan, pekerjaan, dan interaksi soaial.
Dibandingakan dengan gangguan fisik gejala sisa kognitif lebih banyak berperan
pada disabilities yang menetap.
1,5

2.3 Patofisiologi
Kerusakan otak secara patologis akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan
menjadi dua stadium utama yaitu cedera primer dan sekunder.
7,8

1. Cedera Otak Primer (Primary Brain Injury)
Cedera otak primer merupakan kerusakan otak yang terjadi secara langsung
akibat dari mekanisme trauma yang terjadi. Biasanya hal ini sering terjadi
akibat kecelakaan atau benturan. Cedera primer dihasilkan oleh tekanan
7

akselerasi dan deselerasi yang merusak struktur intrakranial oleh karena
pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak.
Patofisiologi cedera primer dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu lesi fokal
dan lesi difus. Focal brain injury khas berhubungan dengan pukulan terhadap
kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan
progresifitasnya. Sedangkan diffuse axonal injury disebabkan oleh tekanan
inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada praktisnya
cedera difus dan fokal sering terjadi secara bersamaan. Fraktur tengkorak,
epidural hematoma, subdural hematoma, dan intrasereberal hematoma adalah
beberapa contoh kasus yang digolongkan sebagai cedera otak primer.
2. Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)
Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan
kerusakan neuron- neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera
awal. Cedera sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi
yang menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran darah otak (cerebral
blood flow) yang menimbulkan hipoksia dan iskemik.
Faktor sekunder akan memperberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi
otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi
intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian neuron.
2.4 Gejala Klinis
Gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma kapitis dapat meliputi
masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan fungsi eksekutif,
perubahan intelektual, gangguan memori, perubahan kepribadian, gangguan
afektif, gangguan ansietas, psikosis, epilepsi pasca traumatik, gangguan tidur,
agresi, dan iritabilitas.
9

Sekuele ini dapat muncul akibat dari kerusakan fisik langsung pada otak dan
akibat dari faktor sekunder seperti gangguan vaskuler, anoksia dan oedem
8

serebral. Beratnya sekuele neuropsikiatrik pada trauma kapitis ditentukan oleh
berbagai faktor yang telah ada saat sebelum, selama, maupun sesudah cedera.
9
Trauma kapitis kebanyakan berhubungan dengan defisit kognitif, yang mencakup
gangguan arousal, atensi, memori, konsentrasi, bahasa dan fungsi eksekutif.
Peneliti sebelumnya telah mengemukakan bahwa defisit kognitif dapat dibedakan
menjadi 4 kelompok menurut waktu terjadinya bila dikaitkan dengan fase pada
trauma kapitis. Pertama pasien akan mengalami kehilangan kesadaran atau koma
yang terjadi segera setelah trauma kapitis. Fase kedua ditandai dengan campuran
gangguan kognitif dan tingkah laku, seperti agitasi, confusion, disorientasi dan
perubahan aktifitas psikomotor. Kedua fase ini terjadi beberapa hari sampai satu
bulan setelah cedera, dan merupakan bentuk dari delirium pasca traumatik. Fase
ketiga berlangsung pada periode 6-12 bulan yang merupakan fase penyembuhan
cepat fungsi kognitif, diikuti oleh penyembuhan yang bersifat plateau selama 12-
24 bulan setelah cedera. Fase keempat ditandai dengan sekuele kognitif yang
permanen, fase ini disebut juga sebagai demensia oleh karena trauma kapitis.
10

2.5 Diagnosis
Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk menentukan
adanya defisit kognitif. Diagnosis gangguan kognitif ringan berdasarkan hasil
evaluasi diagnostik yang meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan status
mental, evaluasi neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan fisik termasuk tes
laboratorium, pencitraan (CT-Scan atau MRI), dan peninjauan kembali dari
riwayat medis pasien dan obat-obatan yang pasien saat ini sedang dipakai.
Evaluasi ini dilengkapi dengan pengamatan klinis dari gejala-gejala pasien, onset
(mendadak atau bertahap), presentasi (bagaimana gejala-gejala muncul), dan
perkembangan gejala dari waktu ke waktu.
11,12


Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa, memori,
visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk memfokuskan
(memusatkan) dan mempertahankan perhatian pada suatu masalah. Atensi
memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan endogen
yang mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu diabaikan.
9

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah perhatian pasien mudah
terpengaruh oleh benda di sekitarnya, salah satu cara pemeriksaannya adalah
dengan menyuruh pasien menghitung mundur mulai dari angka 20.
11,12,13


Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan
penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana
kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata.
Komprehensi dapat dinilai dengan menginstruksikan pasien melakukan perintah-
perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya
disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal. Pada
pemeriksaan visual ruang, pasien diinstruksikan menggambar obyek atau
menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi
fokal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari
informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi.
Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan
waktu, atau menilai kemampuan mengingat kembali hal-hal yang pernah terjadi
atau berkaitan dengan pasien (recall). Gangguan fungsi semantik adalah jika
pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu
minggu ada berapa hari.
12,13,14


Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan
gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan.
Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus
temporalis mesial dan thalamus. Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah,
pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengambil keputusan. Pemeriksaan fungsi
eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang
mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau
menjawab pertanyaan.
12,13,14


Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk
mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau
dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah
10

tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein
(1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan
kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang
berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap
pengobatan. MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan
dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan
adanya gangguan fungsi kognitif. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah
meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan
kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik.
11,12,13,14


Nilai MMSE dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor sosiodemografik, behavior dan
lingkungan. MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secar kuantitatif dengan skor
maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien
dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable
gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada
penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23,
yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif.
11,12,13,14


Gambar 1. Mini Mental State Examination
11

11

2.6 Diagnosis Banding
Gangguan kognitif pasca trauma dibedakan dengan beberapa gangguan mental
organik. Secara umum menurut DSM-IV, ganguan mental organik
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang
merupakan gangguan berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya
ingat, dan juga gangguan perhatian. Ketiga kelompok gangguan mental itu adalah
delirium, dimensia, serta gangguan amnestik. Anamnesis yang mendalam dan
terarah sangat diperlukan untuk menentukan etiologi gangguan kognitif yang
muncul.
(1) Delirium
Gejala utama dari gangguan delirium ini adalah gangguan kesadaran serta
kognitif. Gejala mental yang ditunjukkan adalah adanya gangguan pada tingkat
mood, persepsi, serta perilaku. Kemudian mengenai gambaran klinis dari delirium
ini adalah penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan adanya
penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, mempertahankan ataupun
mengalihkan perhatian yang berfluktuasi. Gangguan awalnya berupa mengantuk,
perasaan cemas, insomnia, halusinasi, dan mengalami mimpi buruk saat tidur.
Gangguan lain yang biasanya menyertai adalah berupa gangguan tidur-bangun,
selalu mengantuk pada siang hari. Onset terjadinya gangguan ini secara
mendadak/tiba-tiba.
12,13,15


(2) Demensia
Sindrom ini yang ditandai dengan berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa adanya
gangguan pada kesadaran. Gangguan pada fungsi kognitif itu dapat berupa
gangguan pada intelegensi secara umum, ingatan, belajar, orientasi, bahasa,
konsentrasi, perhatian, dan juga kemampuan sosial. Gangguannya pun dapat
berupa progresif, statis, permanen dan juga reversible jika diberikan pengobatan
tepat pada waktunya. Penyebab dari gangguan mental ini adalah 75 persen
demensia Alzheimer serta demensia vaskular, sisanya dikarenakan oleh penyakit
Huntington, Pick, serta truma kepala. Gambaran dari gangguan ini awalnya
berupa gangguan daya ingat yang baru, selanjutnya ingatan yang sudah lama pun
12

juga akan mengalami gangguan pula. Selain itu ditemukan juga gangguan bahasa
serta gangguan orientasi pada gangguan ini. Gangguan ini disertai dengan
perubahan kepribadian menjadi lebih introvert, mudah marah, dan sering
mengalami halusinasi.
12,13,15


(3) Amnestik
Gangguan mental ini ditandai dengan gangguan tunggal yang berupa penurunan
daya ingat yang bisa mengakibatkan gangguan fungsi sosial serta pekerjaan.
Penyebab yang paling umum ditemui pada gangguan mental ini adalah alkohol
serta trauma kepala. Gangguan pada daya ingat ditandai dengan adanya gangguan
kemampuan dalam mempelajari sebuah pengetahuan baru yang bisa disebut
dengan amnesia anterograd, serta tidak mampu mengingat pengetahuan yang
sebelumnya atau amnesia retrograd. Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia
kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat setelah
trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya
ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent
memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka panjang (remote post memory)
untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti
pengalaman pada anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang
lama (lebih 10 tahun) terganggu. Gangguan amnestik ditandai terutama oleh
gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
12,13,15

2.7 Terapi Gangguan Kognitif
Terapi bertujuan untuk mengembalikan keterampilan yang hilang serta
mengimbangi kemampuan yang telah diubah secara permanen. Kebanyakan
individu merespon baik terhadap program yang sudah disesuaikan dengan latar
belakang dan kepentingan mereka.
16,17
Terapi dalam gangguan kognitif pasca
trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis.
16,17


13

Terapi non-farmakologis
1. Rehabilitasi Kognitif
Pelatihan ini disesuaikan berdasarkan hasil dari tes neuropsikologis.
Rehabilitasi ini melibatkan 2 proses yaitu pengembalian fungsi yang masih bisa
untuk dikembalikan menjadi normal, dan mempelajari bagaimana melakukan
suatu hal jika fungsi nya tidak bisa dikembalikan.
16,17
Terapi ini dapat
dilakukan saat rawat inap di rumah sakit dan di rumah pasien sendiri. Terapi
rehabilitasi yang dilakukan saat rawat inap antara lain
16
:
a. Sustained Attention Training
1. Mendengarkan urutan kata dan mengidentifikasi ketika ada stimulus
kata yang sebelumnya sudah disajikan.
2. Pemahaman terhadap kalimat dalam paragraf (singkat dan simple),
yang semakin lama semakin dibuat sulit sepanjang pelatihan.
3. Mengurutkan angka dengan urutan meningkat atau menurun.


4. Aktivitas matematika.


b. Alternating Attention Training
1. Pasien dilatih untuk mengidentifikasi definisi kata dan urutan kata.


2. Pasien dilatih menggunakan pena dan kertas dimana pasien harus
mengisi lengkap kalimat yang beberapa katanya di kosongkan dengan
angka dan huruf secara lengkap.


3. Kegiatan ini dimulai dengan angka, yang harus berurutan ditambahkan
atau dikurangi dengan materi materi lain yang disajikan.


c. Selective Attention Training
1. Setiap tes pada sustained attention, ditambahkan suara atau gerakan
yang menganggu.


2. Pasien ditugaskan untuk menggambar dengan kertas dan pena pada
selembar kertas yang penuh dengan bekas dan desain pada latar
belakang.


d. Divided Attention Training
1. Pasien membaca beberapa paragraf, dan memperhatikan isinya.


14

2. Pasien menyelesaikan sustained attention training, dimana pasien harus
mampu merespon stimulus verbal atau visual.



2. Memori
Terapi untuk mengembalikan fungsi memori dibagi menjadi 3 tahap
16
:
a. Mengartikan suatu rangsangan
Dalam rangka untuk merehabilitasi memori, aspek pertama adalah
melakukan verifikasi apakah pasien dapat mempertahankan perhatian yang
cukup pada stimulus / tugas yang diberikan. Aspek kedua adalah untuk
menilai apakah pasien mampu memecahkan stimulus yang diberikan
terhadap kata atau benda (stimulus verbal maupun visual) atau dapat
mengkategorikan kata-kata atau benda ke setiap kelompok semantik.
Latihan yang digunakan adalah pengulangan kata. Dilakukan secara
bersamaan, melibatkan kategorisasi kata-kata seperti dengan menanyakan
apakah kucing adalah binatang yang terlihat di kebun binatang atau dengan
menimbulkan sajak dari kata tertentu.
b. Penyimpanan Memori
Pelatihan ini mencakup pembelajaran terhadap hal-hal baru atau
keterampilan lama yang hilang. Bila ada lesi hippocampus bilateral,
mekanisme retensi memori belajar jangka panjang akan hilang. Proses
pengulangan verbal dan menulis penting dilakukan untuk pelatihan ini.


c. Membangkitkan ingatan masa lalu
Pelatihan ini dilakukan dengan gambar atau kata-kata. Pengulangan,
menulis, menggambar dan proses verbal penting dalam pelatihan ini.
Individu yang mengalami cedera lobus frontal, dapat mengingat fakta,
namun tidak mampu mengasosiasikannya dengan waktu dan tempat
terjadinya. Cara yang digunakan untuk mengembalikan ingatan masa lalu
adalah mengulangi fakta-fakta yang mampu diingat pasien menggunakan
gambar, atau mengulangi cerita sampai pasien mengingatnya.
Terapi yang dapat dilakukan dirumah pasien sendiri, diawali dengan
evaluasi terhadap kondisi neurologis, neuropsikologis, kemampuan
15

berbicara dan terapi okupasi. Setelah evaluasi ini dilakukan, tim
interdispiliner akan menetapkan strategi pengobatan. Langkah dibawah ini
memungkinkan untuk dilakukan pelatihan dirumah:
1. Mengingat peristiwa dalam satu hari (pada akhir hari) atau hari
sebelumnya (di pagi hari)
2. Jika memungkinkan, setelah mengingat peristiwa, pasien
menuliskannya di buku tulis
3. Menerima informasi baru ringkasan berita tentang kegiatan di
keluarga, membaca infomasi yang singkat
4. Menyusun rencana aktivitas yang akan dilakukan setiap pagi,
setiap hari dan setiap minggu
5. Membicarakan cerita masa lalu yang telah dilupakan atau yang
susunan ceritanya tidak dapat diingat dengan baik
6. Melakukan segala aktivitas sehari-hari dengan perhatian, fungsi
eksekutif, bahasa dan memori
7. Penggunaan obat hanya digunakan jika dirasa perlu : ACH
inhibitor, antidepressant, Ritalin
Terapi farmakologis
Terapi farmakologi yang diberikan disesuaikan dengan penurunan fungsi kognitif
yang menyertai. Penurunan fungsi kognitif dibagi menjadi 3 kategori : gangguan
fungsi eksekutif, gangguan pada memori, gangguan kecepatan proses berpikir.
17,18

Fungsi Eksekutif
17
:
a. AMH (Amantideine Hydrochloride) direkomendasikan untuk
meningkatkan fungsi kognitif umum setelah trauma. Beberapa studi
menyatakan penggunaan amantadine 200-400mg/hari terbukti aman untuk
meningkatkan fungsi kognitif pasien dengan cedera otak sedang hingga
berat dan dimulai dari hari ke 3 sampai 5 bulan kedepan. Amantadine
dengan dosis 400mg/hari juga dapat meningkatkan fungsi eksekutif tanpa
manfaat yang signifikan dalam perhatian atau memori pada pasien dengan
cedera kepala ringan sampai berat 6 bulan pasca cedera.
16

b. Bromokriptin direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi eksekutif
setelah trauma. Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 mg. Tetapi bromokriptin
tidak efektif digunakan pada trauma yang sedang dan berat.



Fungsi Memori
17
:
a. Cholinesterase Inhibitor (Donepezil). Obat yang biasa digunakan dalma
terapi Alzeimer Disease ini juga memiliki manfaat jika digunakan sebagai
terapi pada trauma kepala. Donepezil dapat digunakan pada fase akut dan
lambat dari penurunan memori yang terjadi pada cedera ringan, sedang,
dan berat. Dosis yang disarankan 5 10mg/hari selama beberapa minggu.
b. Rivastigmine (3-6mg / hari) telah menunjukan efektivitas pada cedera
ringan jika dimulai 1 tahun setelah cedera dan aman jika digunakan
selama 12 38 minggu.


Fungsi dalam Kecepatan Proses Berpikir
16,17
a. MPD (Methylphenidate) direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi
atensi dan kecepatan proses berpikir. Suatu studi menyatakan pasien
cedera otak ringan sampai berat yang menggunakan methylphenidate
mengalami peningkatan atensi dan proses berpikir. Dosis standar yang
efektif dan aman digunakan adalah 0,3 mg/kg dua kali sehari.
Methylphenidate tidak menurunkan ambang kejang, oleh karena itu obat
ini aman digunakan pada pasien dengan resiko kejang yang tinggi.


b. Dextroamphetamine juga digunakan untuk meningkatkan proses berpikir
pasca trauma otak. Dosis yang diberika 5-30mg/hari dinyatakan efektif
sebagai terapi atensi.

2.8 Komplikasi
Komplikasi terhadap fungsi kognitif yang dapat timbul akibat trauma kepala :
18

- Kesulitan mengerti perkataan dan tulisan
- Kesulitan berbicara dan menulis
17

- Kesulitan mengorganisasikan pikiran dan ide
- Kesulitan mengikuti percakapan

2.9 Prognosis
Prognosis dari gangguan kognitif pasca cedera kepala sulit untuk ditentukan.
Tidak ada pengukuran yang jelas untuk menilai prognosis dari gangguan kognitif
pasca cedera kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa prognosis dari
gangguan kognitif pasca trauma kepala ditentukan oleh tipe cedera kepala yang
dialami dan berat cedera kepala yang dialami
19,20
.

Pasien dengan cedera kepala terbuka memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan pasien dengan cedera kepala tertutup. Pasien dengan cedera kepala
terbuka cenderung memiliki fungsi kognitif yang buruk pasca cedera dan akan
terus mengalami penurunan fungsi kognitif sampai 30 tahun setelahnya. Faktor
yang menentukan tingkat keburukan gangguan kognitif pada pasien pasca cedera
kepala terbuka adalah skor kognitif sebelum cedera, volume dari jaringan otak
yang hilang dan regio otak yang cedera
19,20
.

Pada pasien dengan cedera kepala tertutup, gangguan kognitif yang dialami
cenderung lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan cedera kepala terbuka.
Pasien dengan cedera kepala ringan cenderung memiliki gangguan kognitif ringan
dan gangguan neurobehavior dengan onset akut. Pasien dengan cedera kepala
sedang cenderung akan memiliki gangguan sampai dengan 6 bulan. Pasien dengan
cedera kepala berat akan memiliki defisit kognitif menetap selama lebih dari 6
bulan
19,20
.





18

BAB III
KESIMPULAN

1. Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat sementara ataupun permanent.
2. Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai dengan
keadaan dimana seseorang mengalami masalah dalam daya ingat,
pembelajaran (terutama terhadap hal-hal yang baru), konsentrasi, atau
pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.
gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan
pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak
3. Gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma kapitis dapat
meliputi masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan fungsi
eksekutif, perubahan intelektual, gangguan memori, perubahan
kepribadian, gangguan afektif, gangguan ansietas, psikosis, epilepsi pasca
traumatik, gangguan tidur, agresi, dan iritabilitas.
4. Diagnosis gangguan kognitif ringan berdasarkan hasil evaluasi diagnostik
yang meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan status mental,
evaluasi neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan fisik termasuk tes
laboratorium, pencitraan (CT-Scan atau MRI), dan peninjauan kembali
dari riwayat medis pasien dan obat-obatan yang pasien saat ini sedang
dipakai.
5. Terapi bertujuan untuk mengembalikan keterampilan yang hilang serta
mengimbangi kemampuan yang telah diubah secara permanen. Terapi
dalam gangguan kognitif pasca trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu
terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis


19

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.
2. C.H.Salmond, D.A.Chatfield, D.K.Menon, J.D.Pickard, B.J.Sahakian.
2005. Cognitive sequelae of head injury: involvement of basal forebrain
and associated structures. Brain Vol. 128 No.1 : 189200
3. Sureyya S. Dikmen, PhD; John D. Corrigan, PhD, ABPP; Harvey S.
Levin, PhD; Joan Machamer, MA; William Stiers, PhD, ABPP; Marc G.
Weisskopf, PhD, ScD. 2009. Cognitive Outcome Following Traumatic
Brain Injury. J Head Trauma Rehabil. Vol. 24, No. 6, pp. 430438
4. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan
Demensia.St.louis: Mosby year book
5. Wilson, H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing . California :
Addison Wesley Nursing.
6. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport.
United States of America: Firs Impression
7. Morris, Terri. Traumatic Brain Injury. 2010. Springer.
8. Anthony M. Avellino. Increased Intracranial Pressure. 2005. Bernard
Lmaria.
9. Shere, Mark. Et al. Multidimensional Assessment of Acute Confusion After
Traumatic Brain Injury. 2005. Arch Phys Med Rehabil vol 86.
10. Rao, v. And Lyketos, C. 2000. Neurophsyciatric Sequele of Traumatic
Brain Injury. Psychosomatics
11. Dikot, Y., & Ong, PA., 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia di
Pelayanan Medis Primer. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat
& Asna Dementia Standing Commiitee.
12. Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 2008. Kesepakatan penilaian Mini Mental
State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.
13. Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2007. Peranan stroke iskemik akut
terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala
20

Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.
14. Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental
pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.
15. Nevid S, Jeffrey., Spencer A Rathus ., dan Beverly Greeny. 2005. Psikologi
Abnormal Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
16. Frire, FR, et.all. Cognitive Rehabilitation Following Traumatic Brain Injury.
Dement Neuropsychol 2011, 5 (1) : 17 25
17. Bales JW, Wagner AK, Kline AE, Dixon CE. Persistent Cognitive Dysfunction
After Traumatic Brian Injury : A Dopamine Hypothesis. Neurosci Biobehav Rev
2009 ; 33 (7) : 981 1003.
18. Scher LM. Traumatic Brain Injury : Pharmacotherapy options for cognitive
deficits. Current Psychiatry Vol 1- no 2 : 21-37.
19. Dikmen, S et. all. Cognitive Outcome Following Traumatic Brain Injury. J Head
Trauma Rehabil Vol. 24, No. 6, pp. 430438 Copyright c 2009 Wolters Kluwer
Health | Lippincott Williams & Wilkins
20. Skandsen et.all. Cognitive Impairment 3 Months After Moderate and Severe
Traumatic Brain Injury: A Prospective Follow-Up Study. Arch Phys Med Rehabil
Vol 91, December 2010

You might also like