You are on page 1of 3

Hukum Badal Haji

Okt 10, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScHaji Umrah0



Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz ditanya:
Barangsiapa mati dan belum berhaji karena sakit, miskin atau semacamnya, apakah ia mesti dihajikan?
Beliau rahimahullah menjawab:
Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama:
Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya
untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan
kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si
mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi
pertama ini adalah firman Allah Taala,


Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah] (QS. Ali Imran: 97)
Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah
berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah
mesti aku menghajikannya? Hajikanlah dan umrohkanlah dia, jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
(HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar
dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia
lebih pantas untuk dihajikan.
Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar
untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti
menghajikannya? Berhajilah untuk ibumu, jawab Rasul shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan
Muslim)
Kedua:
Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga
semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyariatkan bagi keluarganya seperti
anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang
disebutkan sebelumnya.
Begitu pula dari hadits Ibnu Abbas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata,
Labbaik an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, Siapa
itu Syubrumah? Lelaki itu menjawab, Dia saudaraku atau kerabatku-. Nabi shallallahu alaihi wa
sallamlantas bertanya, Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri? Ia menjawab, Belum.
Nabishallallahu alaihi wa sallam lalu mengatakan, Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk
Syubrumah. (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma secara mauquf
(hanya sampai pada sahabat Ibnu Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya
menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.
Adapun firman Allah Taala,


Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An Najm:
39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain.
Ulama tafsir dan pakar Quran menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan
milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk
lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat doa dan sedekah dari saudara
kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai
gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang
puasanya. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah). Hal ini khusus untuk ibadah yang ada dalil yang
menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti doa dari saudara kita, sedekah, haji dan
puasa. Adapun ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di dalamnya seperti kirim
pahala shalat dan kirim pahala bacaan quran. Untuk amalan ini sebaiknya ditinggalkan karena kita
mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul muwaffiq.
(Fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/690)
Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh membadalkan haji:
1. Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji sebelumnya.
2. Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit
atau telah berusia senja.
3. Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang
tidak pernah menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam
hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk dibadalkan
hajinya.
(Lihat bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
Yang perlu diperhatikan:
1. Tidak boleh banyak orang (dua orang atau lebih) sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi
saat ini dalam hal kasus badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima sampai sepuluh
orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan yang besar. Jadi yang boleh adalah badal haji
dilakukan setiap tahun hanya untuk satu orang yang dibadalkan. (Lihat bahasan
di:http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)
2. Membadalkan haji orang lain dengan upah dilarang oleh para ulama kecuali jika yang menghajikan tidak
punya harta dari dirinya sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji. Perlu diketahui bahwa haji
itu adalah amalan sholeh yang sangat mulia. Amalan sholeh tentu saja bukan untuk diperjualbelikan dan
tidak boleh mencari untung duniawiyah dari amalan seperti itu. Maka sudah sepantasnya tidak mengambil
upah dari amalan sholeh dalam haji seperti thowaf, sai, ihrom, shalat dan lempar jamarot. Sebagaimana
seseorang tidak boleh mengambil upah untuk mengganti shalat orang lain. Sehingga yang jadi masalah
adalah menjadikan badal haji sebagai profesi. Ketika diberi 1000 atau 2000 riyal, ia menyatakan kurang.
Karena badal haji hanyalah jadi bisnisnya. Amalan badal haji yang ingin cari dunia adalah suatu kesyirikan.
Jika itu syirik, lantas bagaimana bisa dijadikan pahala untuk orang yang telah mati? Renungkanlah!!
Sungguh ikhlas itu benar-benar dibutuhkan dalam haji, begitu pula ketika membadalkan (menggantikan
haji orang lain). (Lihat bahasan di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=226898)
Nasehat terakhir: Allah Taala berfirman,

51

)
(


51 )
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Hud [55] : 51-16). Qotadah
mengatakan, Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan
sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak
akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam
beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia
akan mendapatkan balasan di akhirat. (Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim)
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan ikhlas dalam beribadah pada-Nya.
Wallahu waliyyu taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 12 Dzulqodah 1432 H (10/10/2011)
http://rumaysho.com/haji-umrah/hukum-badal-haji249-2583

You might also like