You are on page 1of 46

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Konsep Dasar Asam Urat
II.1.1 Pengertian Asam Urat
Gout (pirai) merupakan kelompok keadaan heterogenous yang
berhubungan dengan defek genetik pada metabolisme purin
(hiperurisemia). (Suzanne C. Smeltzer, 2001)
Penyakit asam urat atau dikenal sebagai penyakit gout merupakan suatu
penyakit akibat terjadinya penimbunan kristal monosodium urat di
dalam tubuh sehingga menyebabkan nyeri sendi (Gout Arthritis),
benjolan pada bagian-bagian tertentu dari tubuh (tophi) dan batu pada
saluran kemih. (www.bintangmawar.net)
Gout atau asam urat adalah penyakit di mana terjadi penumpukan
asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi yang
meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun, atau akibat
peningkatan asupan makanan kaya purin. Gout terjadi ketika cairan
tubuh sangat jenuh akan asam urat yang kadarnya tinggi. (dr Juandi Jo,
2007, www.wordpress.com)
Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang
merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan
nukleoprotein), yaitu salah satu komponen asam nukleat yang terdapat
pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh dan
dijumpai pada semua makanan sari sel hidup, yakni makanan dari
tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) ataupun hewan (daging,
jeroan, ikan sarden). Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di
dalam tubuh, yang kadarnya tidak boleh berlebihan. Setiap orang
memiliki asal urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme
normal dihasilkan asam urat. Sedangkan pemicunya adalah makanan,
dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Tubuh telah
menyediakan 85% senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari. Ini
9
berarti bahwa kebutuhan purin dari makanan hanya sekitar 15%
(www.dechacare.com)
II.1.2 Etiologi Asam Urat
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat di golongkan
menjadi 2, yaitu :
a. Penyakit gout primer.
Penyebabnya kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini di duga
berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan
meningkatnya produksi asam urat. Atau bisa juga diakibatkan karena
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh.
b. Penyakit gout sekunder.
1) Meningkatnya produksi asam urat karena pengaruh pola
makan yang tidak terkontrol, yaitu dengan mengkonsumsi
makanan yang berkadar purin tinggi. Purin adalah salah satu
senyawa basa organic yang menyusun asam nukleat (asam inti
dari sel) dan termasuk salam kelompok asam amino, yang
merupakan unsur pembentukan protein.
2) Produksi asam urat juga dapat meningkat. Karena penyakit
pada darah (penyakit sumsum tulang, polisitemia, anemia
hemolitik), obat-obatan (alkohol, obat-obat kanker, vitamin
B12, diuretika, dosis rendah asam salisilat).
3) Obesitas (kegemukan).
4) Intoksikasi (keracunan timbal).
5) Pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan
baik. Dimana akan ditemukan mengandung benda-benda keton
(hasil buangan metabolisme lemak) dengan kadar yang tinggi.
Kadar benda-benda keton yang meninggi akan menyebabkan
kadar asam urat juga ikut meninggi.
II.1.3 Patofisiologi Asam Urat
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria
dewasa kurang dari 7 mg/dL dan pada wanita kurang dari 6 mg/dL. Dan
10
apabila konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar dari 7,0 mg/dl
dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan
gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan
secara mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat
mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan
dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang
berulang-ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan
thopi akan mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki,
tangan dan telinga. Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal)
dengan disertai penyakit ginjal kronis.
Gambaran kristal urat dalam cairan sinovial sendi yang
asimtomatik menunjukkan bahwa faktor-faktor non-kristal mungkin
berhubungan dengan reaksi inflamasi. Kristal monosodium urat yang
ditemukan tersalut dengan immunoglobulin yang terutama berupa IgG.
Dimana IgG akan meningkatkan fagositosis kristal dan dengan
demikian dapat memperlihatkan aktifitas imunologik.
11
Jalur
Normal - Xantin Oksidase
- Xantin Oksidase *
....................................................................................................................
Perubahan -
Perubahan pada
Jaringan
Akibat gout
Patofisiologi gout dan kerja obat-obatannya
Bagan 2.1. Proses Terjadinya Asam Urat
Dikutip dari : http://cegahasamurat.blogspot.com
Perjalanan penyakit asam urat mempunyai 4 tahapan, yaitu :
a. Tahap 1 (Tahap Gout Arthritis akut)
Pada tahap ini penderita akan mengalami serangan arthritis yang
khas untuk pertama kalinya. Serangan artritis tersebut akan
menghilang tanpa pengobatan dalam waktu sekitar 5-7 hari. Bila
Diet
Asam ribonukleat dari
sel-sel
Purin
Hipoxantin
Xantin
Asam Urat
Ginjal
Kemih
Kristalisasi dalam
jaringan
Fagositosis Kristal oleh
sel darah putih
Peradangan dan Kerusakan
Jaringan
Lokasi mekanisme obat-
obatan :
(-) Alopurinol
(*) Probenezid
Sulfinpirazon
() Kolkisin
12
dilakukan pengobatan maka akan lebih cepat menghilang. Karena
cepat menghilang maka penderita sering menduga kakinya hanya
keseleo atau terkena infeksi, sehingga tidak menduga terkena
penyakit gout arthritis dan tidak melakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Pada pemeriksaan kadang-kadang tidak ditemukan ciri-ciri
penderita terserang penyakit gout arthritis. Ini karena serangan
pertama berlangsung sangat singkat dan dapat sembuh dengan
sendirinya (self-limiting), maka penderita sering berobat ke tukang
urut dan pada saat penderita sembuh, penderita menyangka hal itu
dikarenakan hasil urutan/pijatan. Namun jika dilihat dari teori,
nyeri yang diakibatkan asam urat tidak boleh dipijat ataupun diurut,
tanpa diobati atau diurut sekalipun serangan pertama kali ini akan
hilang dengan sendirinya.
b. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)
Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu
tertentu. Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari
rentang waktu 1-10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya
antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada tahap ini
menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita
serangan gout Arthritis akut. Atau menyangka serangan pertama
kali yang dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit Gout
Arthritis.
c. Tahap 3 (Tahap Gout Arthritis Akut Intermitten)
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun
tanpa gejala, maka penderita akan memasuki tahap ini yang
ditandai dengan serangan arthritis yang khas seperti diatas.
Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh)
yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya
makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin
panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak. Misalnya
seseorang yang semula hanya kambuh setiap setahun sekali, namun
bila tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan akan
13
makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan
seterusnya, hingga pada suatu saat penderita akan mendapat
serangan setiap hari dan semakin banyak sendi yang terserang.
d. Tahap 4 (tahap Gout Arthritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10
tahun atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan
disekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi.
Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur
yang merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Thopi ini
akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya.
Bila ukuran thopi semakin besar dan banyak akan mengakibatkan
penderita tidak dapat menggunakana sepatu lagi.
II.1.4 Faktor Resiko terjadinya Asam Urat
Tidak semua orang dengan peningkatan asam urat dalam darah
(hiperuremia) akan menderita penyakit asam urat. Namun ada beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan seseorang menderita penyakit asam
urat, diantaranya :
a. Pola makan yang tidak terkontrol. Asupan makanan yang masuk ke
dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah.
Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan diubah
menjadi asam urat.
b. Seseorang dengan berat badan yang berlebihan (obesitas).
c. Suku bangsa tertentu. Menurut penelitian, suku bangsa di dunia
yang paling tinggi prevalensinya terserang asam urat adalah orang
maori di Australia. Prevalensi orang maori terserang penyakit asam
urat tinggi. Sedangkan di Indonesia prevalensi tertinggi pada
penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-
Minahasa karena kebiasaan atau pola makan ikan dan
mengkonsumsi alkohol.
d. Peminum alkohol. Alkohol dapat menyebabkan pembuangan asam
urat lewat urine ikut berkurang, sehingga asam urat tetap bertahan
di dalam darah.
14
e. Seseorang yang berumur 45 tahun biasanya pada laki-laki, dan
perempuan saat umur menepouse.
f. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit asam
urat.
g. Seseorang kurang mengkonsumsi air putih.
h. Seseorang dengan gangguan ginjal dan hipertensi.
i. Seseorang yang menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu
lama.
j. Seseorang yang mempunyai penyakit diabetes mellitus.
II.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada penyakit asam urat
antara lain adalah sebagai berikut :
a. Nyeri hebat pada malam hari, sehingga penderita sering terbangun
saat tidur.
b. Saat dalam kondisi akut, sendi tampak terlihat bengkak, merah
dan teraba panas. Keadaan akut biasanya berlangsung 3 hingga 10
hari, dilanjutkan dengan periode tenang. Keadaan akut dan masa
tenang dapat terjadi berulang kali dan makin lama makin berat.
Dan bila berlanjut akan mengenai beberapa sendi dan jaringan
bukan sendi.
c. Disertai pembentukan kristal natrium urat yang dinamakan thopi.
d. Terjadi deformitas (kerusakan) sendi secara kronis.
e. Berdasarkan diagnosis dari American Rheumatism Association
(ARA), seseorang dikatakan menderita asam urat jika memenuhi
beberapa kriteria berikut :
1) Terdapat kristal MSO (monosodium urat) di dalam cairan
sendi.
2) Terdapat kristal MSO (monosodium urat) di dalam thopi, di
tentukan berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik
dengan sinar terpolarisasi.
3) Di dapatkan 6 dari 12 kriteria di bawah ini :
a) Terjadi serangan arthritis akut lebih dari satu kali.
15
b) Terjadi peradangan secara maksimal pada hari pertama
gejala atau serangan datang.
c) Merupakan arthritis monoartikuler (hanya terjadi di
satu sisi persendian).
d) Sendi yang terserang berwarna kemerahan.
e) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki)
terasa sakit atau membengkak.
f) Serangan nyeri unilateral (di salah satu sisi) pada sendi
metatarsophalangeal.
g) Serangan nyeri unilateral pada sendi tarsal (jari kaki).
h) Adanya thopi (Deposit besar dan tidak teratur yang
berasal dari natrium urat) di kartilago artikular (tulang
rawan sendi) dan kapsula sendi.
i) Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah
(lebih dari 7,5mg/dL).
j) Pada gambaran radiologis tampak pembengkakan sendi
secara asimetris (satu sisi tubuh saja).
k) Pada gambaran radiologis tampak kista subkortikal
tanpa erosi.
l) Hasil kultur cairan sendi menunjukkan nilai negative.
Serangan asam urat biasanya timbul secara mendadak atau akut,
dan kebanyakan menyerang pada malam hari. Jika asam urat
menyerang, sendi-sendi yang terserang tampak merah, mengkilat,
bengkak, kulit di atasnya terasa panas disertai rasa nyeri yang sangat
hebat, juga persendian yang sulit digerakkan (Muhammad, 2010).
Menurut Budiyanto (2000) mengatakan, bahwa pasien dengan
gejala gout arthritis akan mengalami peradangan pada satu atau
beberapa persendian. Sendi metatarsophalangeal dengan jari kaki
pertama. Tapi tidak jarang sendi lutut, tarsal, dan pergelangan kaki juga
ikut terlibat. Nyeri yang biasa dikeluhkan pasien adalah tajam dan
terkadang membuat pasien tidak bisa berjalan. Pada beberapa orang,
nyeri dirasakan terutama setelah bangun tidur.
16
II.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asam urat secara umum, dapat diatasi dengan
menggunakan pengobatan modern (kimia) atau pun pengobatan
tradisional.
a. Pengobatan Modern (Konvensional/Kimia)
Pengobatan modern ini biasa diperoleh dengan menggunakan resep
dokter. Obat-obatannya antara lain :
1) Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang berfungsi
untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan.
2) Kortikosteroid, yang berfungsi sebagai obat anti radang dan
menekan reaksi imun. Obat ini dapat diberikan dalam bentuk
tablet atau suntikan dibagian sendi yang sakit.
3) Imunosupresif, yang berfungsi untuk menekan reaksi imun.
Obat ini jarang digunakan karena efek sampingnya cukup berat
yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker dan bersifat racun
bagi ginjal dan hati.
4) Suplemen antioksidan yang diperoleh dari asupan vitamin dan
mineral yang berkhasiat untuk mengobati asam urat. Asupan
vitamin dan mineral dapat diperoleh dengan mengkonsumsi
buah atau sayuran segar atau orange, seperti wortel.
Selain obat-obatan tersebut, pengobatan secara medis dapat
juga dilakukan melalui program rehabilitasi. Rehabilitasi ini
berfungsi untuk mengembalikan kemampuan penderita seperti
semula sehingga dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan
lancar. Caranya adalah dengan mengistirahatkan sendi yang sakit,
melakukan pemanasan atau pendinginan, dan memanfaatkan arus
listrik untuk meningkatkan ambang rasa sakit.
b. Pengobatan Tradisional (Herbal)
Tanaman obat yang digunakan untuk penyakit asam urat/gout
berfungsi sebagai anti radang, penghilang rasa sakit (analgesik),
membersihkan darah dari zat toksik, peluruh kemih (diuretik)
sehingga memperbanyak urin, dan menurunkan asam urat. Adapun
17
jenis tanaman berkhasiat obat yang dapat digunakan untuk
mengatasi asam urat diantaranya yaitu (Saraswati, 2009 dalam
Muhammad, 2010) :
1) Mengkudu (Morinda Citrifolia). Buah ini dipercaya memiliki
khasiat sebagai pengurang rasa nyeri dan anti-inflamasi
alamiah. Ekstraknya dapat menghambat enzim
siklooksigenase-2 (COX-2) yang akan menyingkirkan
penimbul rasa nyeri, prostaglandin (PEG). Mengukudu juga
mengandung senyawa scopoletin yang memiliki sifat anti-
inflamasi.
2) Sambiloto. Efeknya adalah anti-radang, menghilangkan nyeri,
dan penawar racun.
3) Kumis kucing. Efeknya adalah anti-radang, peluruh kemih,
menghancurkan batu ginjal dari kristal asam urat.
4) Daun salam. Efeknya adalah sebagai peluruh kencing,
penghilang nyeri.
5) Alang-alang. Efeknya adalah peluruh kemih.
6) Temulawak. Efeknya adalah anti radang, menghilangkan nyeri,
dan peluruh kemih.
7) Jahe merah. Efeknya adalah anti-radang, dan melancarkan
sirkulasi darah.
8) Kunyit. Efeknya adlaah anti-radang, menghilangkan nyeri,
melancarkan darah dan vital energi.
c. Pengobatan Modalitas
Terapi non farmakologis yang dapat digunakan sebagai alternative
pilihan dalam pengobatan diminore primer adalah:
1) Kompres hangat
Kompres hangat adalah pengompresan yang dilakukan dengan
mempergunakan buli-buli panas yang di bungkus kain yaitu
secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli
ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot
18
sehingga nyeri sendi yang dirasakan akan berkurang atau hilang
(Perry & Potter,(2005).
Menurut Bare & Smeltzer (2001), kompres hangat mempunyai
keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan.
Menurut Bobak (2005), kompres hangat berfungsi untuk
mengatasi atau mengurangi nyeri, dimana panas dapat
meredakan iskemia dengan menurunkan ketegangan otot dan
melancarkan pembuluh darah sehingga dapat meredakan nyeri
dengan mengurangi ketegangan dan meningkatkan perasaan
sejahtera, meningkatkan aliran darah, dan meredakan nyeri.
Menurut Price & Wilson (2005), kompres hangat sebagai
metode yang sangat efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang
otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas).
Panas dapat melebarkan pembuluh darah dan dapat
meningkatkan aliran darah.
Kompres hangat adalah metode yang digunakan untuk
meredakan nyeri dengan cara menggunakan buli-buli yang diisi
dengan air panas yang ditempelkan pada sendi yang nyeri
2) Olah raga
Olah raga secara teratur dapat menimbulkan aliran darah
sirkulasi darah pada sendi menjadi lancar sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri. Pelepasan endorfin alami dapat
meningkat dengan olah raga teratur yang akan menekan
pelepasan prostaglandin, selain itu mampu menguatkan kadar
beta endorfin yaitu suatu zat kimia otak yang berfungsi
meredakan rasa sakit (Sadoso, 1998).
3) Berhenti merokok dan mengkomsumsi alkohol.
Kebiasaan-kebiasaan buruk ini, mempunyai efek negatif
terhadap tubuh manusia, pada perokok berat dapat
meningkatkan durasi terjadinya nyeri, hal ini berkaitan dengan
19
peningkatan volume dan durasi perdarahan selama nyeri.
Dengan menghindari dan menghilangkan kebiasaan tersebut,
diharapkan efek negatif dapat dihilangkan sehingga nyeri tidak
terjadi (Medicastore,2004).
4) Pengaturan diet
Cara mengurangi dan mencegah rasa nyeri saat menstruasi,
dianjurkan mengkomsumsi makanan yang banyak mengandum
kalsium dan makanan segar, seperti sayuran, buah-buahan, ikan,
daging, dan makanan yang mengandung vitamin B6 karena
berguna untuk metabolisme estrogen (Medicastore, 2004).
Menurut Bare & Smeltzer (2001) penanganan nyeri secara
nonfarmakologis terdiri dari:
1) Masase kutaneus
Masase adalah stimulus kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat
pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
2) Terapi panas
Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah
kesuatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri
denganmempercepat penyembuhan.
3) Transecutaneus Elektrikal Nerve Stimulaton ( TENS)
TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor
tidak nyeri (non-nesiseptor) dalam area yang sama seperti pada
serabut yang menstramisikan nyeri. TENS menggunakan unit
yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang di pasang
pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar
atau mendengung pada area nyeri.
4) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan perhatian dari hal yang
menyebabkan nyeri, contoh: menyanyi, berdoa, menceritakan
gambar atau foto dengan kertas, mendengar musik dan bermain
satu permainan.
20
5) Relaksasi
Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau pelepasan
ketegangan, contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan.
6) Imajinasi
Imajinasi merupakan khayalan atau membayangkan hal yang
lebih baik khususnya dari rasa nyeri yang dirasakan.
II.1.7 Diagnosa
Setelah kita mengetahui faktor penyebab dan gejala asam urat,
tugas kita sekarang ialah bagaimana cara mengetahui atau mendiagnosa
asam urat dan komplikasinya. Hal inilah yang menjadi penanda dan
penetapan apakah kita benar-benar terserang penyakit asam urat
ataukah tidak. Sebab dalam hal ini, kita melakukan diagnosa dengan
berbagai cara untuk mendapatkan kesimpulan yang valid dan akurat.
Dr. Prapti Utami membagi diagnosa asam urat ini ke dalam tiga
cara. Diagnosa asam urat dilakukan dengan pemeriksaan lewat
laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan sendi. Selain itu, kita
juga bisa melakukan diagnosa melakukan diagnosa melalui roentgen.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam
darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk
wanita. Selain itu, kadar asam urat dalam urin lebih dari 760-1000
mg/24 jam dengan diet biasa. Disamping hal tersebut, sering juga
dilakukan pemeriksaan gula darah, ureum, dan kreatinin, disertai
pemeriksaan profil lemak darah untuk menguatkan diagnosis.
Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan
tidaknya penyakit diabetes mellitus. Ureum dan kreatinin diperiksa
untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal. Sementara itu
pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan
tidaknya gejala aterosklerosis.
21
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis digunakan untuk melihat proses yang
terjadi dalam sendi dan tulang serta untuk melihat proses
pengapuran di dalam tofus.
c. Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop.
Tujuannya ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate
(kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis
arthritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi.
Merespon diagnosa ini, dr Nyoman Ketria (2009) mengatakan
bahwa jika ada peradangan sendi, maka cairan sendi yang
dikeluarkan bisa dipakai sebagai bahan pemeriksaan penyakit sendi
tersebut. Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka
pasien akan merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan
memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi
tentunya, maka pasien akan lebih cepat sembuh.
Mengenai metode penyedotan cairan sendi ini, ketria
mengatakan bahwa titik dimana jarum akan ditusukkan harus
dipastikan terlebih dahulu oleh seorang dokter. Tempat penyedotan
harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan
dan cairan disedot dengan spuite. Pada umunya, sehabis penyedota
dilakukan, dimasukkan obat anti-radang ke dalam sendi. Jika
penyedotan ini dilakukan dengan cara yang tepat maka pasien tidak
akan merasa sakit. Jarum yang dipilih juga harus sesuai kebutuhan
injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan pembiusan pada pasien
terlebih dahulu.
Jika lokasi penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan
infeksi sendi. Perdarahan bisa juga terjadi jika tempat suntikan
tidak tepat dan nyeri hebat pun bisa terjadi jika teknik penyuntikan
tidak tepat.
Selain memeriksa keadaan sendi yang mengalami peradangan,
dokter biasanya akan memeriksa kadar asam urat dalam darah.
22
Kadar asam urat yang tinggi adalah sangat sugestif untuk diagnosis
gout arthritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan
dalam kondisi normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada
pasien dengan pengobatan asam urat tinggi sebelumnya. Karena,
kadar asam urat sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pengobatan
maka kadar standar atau kadar normal di dalam darah adalah
berkisar dari 3,5 7 mg/dL.
Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang
terbaik. Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang
mengalami peradangan akan tampak keruh karena mengandung
kristal dan sel-sel radang. Seringkali cairan memiliki konsistensi
seperti pasta dan berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang jelas
jenis kristal yang terkandung maka harus diperiksa di bawah
mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam urat
berbentuk jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di
luar sel. Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic
arthritis.
d. Pemeriksaan dengan Roentgen
Selain ketiga diagnosa tersebut, kita juga bisa melakukannya
dengan cara Roentgen. Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada
awal setiap kali pemeriksaan sendi. Dan, jauh lebih efektif jika
pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada penyakit sendi yang
sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan roentgen perlu dilakukan
untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan
jaringan di sekitar sendi (Ketria, 2009).
Seberapa sering penderita asam urat untuk melakukan
pemeriksaan roentgen tergantung perkembangan penyakitnya. Jika
sering kumat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan roentgen ulang.
Bahkan kalau memang tidak kunjung membaik, kita pun
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan magnetic resonance
imaging (MRI).
23
Tetapi demikian, dalam melakukan pemeriksaan roentgen, kita
jangan terlalu sering. Sebab, pemeriksaan roentgen yang terlalu
sering mempunyai risiko terkena radiasi semakin meningkat.
Pengaruh radiasi yang berlebihan bisa mengakibatkan kanker,
kemandulan, atau kelainan janin dalam kandungan pada
perempuan. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati dan harus
bisa meminimalisasi dalam melakukan pemeriksaan roentgen ini
untuk menghindari kemungkinan terjadinya berbagai risiko
tersebut.
Sebuah sumber lain mengatakan bahwa berdasarkan diagnosis dari
American Rheumatism Association (ARA), seseorang dikatakan
menderita asam urat jika memenuhi beberapa kriteria berikut (Sustrani.
dkk, 2007) :
1) Terdapat kristal MSU di dalam cairan sendi.
2) Terdapat kristal MSU di dalam cairan tofus.
3) Didapatkan 6 dari 12 kriteria di bawah ini :
a) Terjadi inflamasi maksimal pada hari pertama gejala atau
serangan datang.
b) Terjadi serangan arthritis akut lebih dari satu kali.
c) Merupakan arthritis monoartikuler yaitu hanya terjadi di
satu sisi persendian.
d) Sendi yang terserang berwarna kemerahan.
e) Pembengkakan dan sakit sendi di sendi pangkal ibu kaki.
f) Serangan nyeri di salah satu sisi sendi metatarsofalangeal.
g) Serangan nyeri di salah satu sisi sendi tarsal.
h) Adanya tofus.
i) Terjadi peningkatan asam urat dalam darah.
j) Pada gambar radiologis tampak ada pembengkakan sendi
asimetris.
k) Pada gambar radiologis tampak kista subkortikal tanpa
erosi.
l) Hasil kultur cairan sendi positif.
24
Jadi, dalam diagnosa asam urat ini, kita bisa melakukan dengan
empat cara sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kita bisa melakukan
salah satu dari keempat diagnosa dan juga bisa melakukannya dengan
cara berurutan kalau memang sangat dibutuhkan. Di samping itu, kita
pun bisa melakukan diagnosa lain dengan cara penyelidikan kriteria
diagnosa sebagaimana ditetapkan oleh American Rheumatism
Association (ARA) di atas.
II.1.8 Komplikasi
a. Radang sendi akibat asam urat (gouty arthritis)
Komplikasi hiperurisemia yang paling dikenal adalah
radang sendi (gout). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sifat
kimia asam urat cenderung berkumpul di cairan sendi ataupun
jaringan ikat longgar. Meskipun hiperurisemia merupakan faktor
resiko timbulnya gout, namun hubungan secara ilmiah antara
hiperurisemia dengan serangan gout akut masih belum jelas.
Athritis gout akut dapat terjadi pada keadaan konsentrasi asam urat
serum yang normal. Akan tetapi, banyak pasien dengan
hiperurisemia tidak mendapat serangan athritis gout.
Gejala klinis dari Gout bermacam-macam yaitu,
hiperurisemia tak bergejala, serangan akut gout, gejala
antara(intercritical), serangan gout berulang, gout menahun disertai
tofus.
Keluhan utama serangan akut dari gout adalah nyeri sendi
yang amat sangat yang disertai tanda peradangan (bengkak,
memerah, hangat dan nyeri tekan). Adanya peradangan juga dapat
disertai demam yang ringan. Serangan akut biasanya puncaknya 1-
2 hari sejak serangan pertama kali. Namun pada mereka yang tidak
diobati, serangan dapat berakhir setelah 7-10 hari. Serangan
biasanya berawal dari malam hari. Awalnya terasa nyeri yang
sedang pada persendian. Selanjutnya nyerinya makin bertambah
dan terasa terus menerus sehingga sangat mengganggu.
25
Biasanya persendian ibu jari kaki dan bagian lain dari
ekstremitas bawah merupakan persendian yang pertama kali
terkena. Persendian ini merupakan bagian yang umumnya terkena
karena temperaturnya lebih rendah dari suhu tubuh dan kelarutan
monosodium uratnya yang berkurang. Trauma pada ekstremitas
bawah juga dapat memicu serangan. Trauma pada persendian yang
menerima beban berat tubuh sebagai hasil dari aktivitas rutin
menyebabkan cairan masuk ke sinovial pada siang hari. Pada
malam hari, air direabsorbsi dari celah sendi dan meninggalkan
sejumlah MSU.
Serangan gout akut berikutnya biasanya makin bertambah
sesuai dengan waktu. Sekitar 60% pasien mengalami serangan akut
kedua dalam tahun pertama, sekitar 78% mengalami serangan
kedua dalam 2 tahun. Hanya sekitar 7% pasien yang tidak
mengalami serangan akut kedua dalam 10 tahun.
Pada gout yang menahun dapat terjadi pembentukan tofi.
Tofi adalah benjolan dari kristal monosodium urat yang menumpuk
di jaringan lunak tubuh. Tofi merupakan komplikasi lambat dari
hiperurisemia. Komplikasi dari tofi berupa nyeri, kerusakan dan
kelainan bentuk jaringan lunak, kerusakan sendi dan sindrom
penekanan saraf.
b. Komplikasi Hiperurisemia pada Ginjal
Tiga komplikasi hiperurisemia pada ginjal berupa batu
ginjal, gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat. Batu
ginjal terjadi sekitar 10-25% pasien dengan gout primer. Kelarutan
kristal asam urat meningkat pada suasana pH urin yang basa.
Sebaliknya, pada suasana urin yang asam, kristal asam urat akan
mengendap dan terbentuk batu.
Gout dapat merusak ginjal, sehingga pembuangan asam
urat akan bertambah buruk. Gangguan ginjal akut gout biasanya
sebagai hasil dari penghancuran yang berlebihan dari sel ganas saat
kemoterapi tumor. Penghambatan aliran urin yang terjadi akibat
26
pengendapan asam urat pada duktus koledokus dan ureter dapat
menyebabkan gagal ginjal akut. Penumpukan jangka panjang dari
kristal pada ginjal dapat menyebabkan gangguan ginjal kronik.
II.1.9 Pencegahan
Asam urat darah adalah hasil pemecahan dari protein yang secara
khusus disebut purin dan selanjutnya 75 persen asam urat dibuang oleh
tubuh melalui urine. Peningkatan kadar asam urat dapat terjadi akibat
produksi lebih banyak dari pada pembuangan asam urat.
Penyakitnya sendiri tidak bisa dicegah, tetapi beberapa faktor
pencetusnya bisa dihindari (misalnya cedera, alkohol, makanan kaya
protein).
Untuk mencegah kekambuhan, dianjurkan untuk minum banyak
air, menghindari minuman beralkohol dan mengurangi makanan yang
kaya akan protein. Banyak penderita yang memiliki kelebihan berat
badan, jika berat badan mereka dikurangi, maka kadar asam urat dalam
darah seringkali kembali ke normal atau mendekati normal.
Atur pola makan yang sehat, banyak mengkonsumsi kedelai.
Sering berolahraga, dan menikmati hidup dalam batas yang
proporsional.
Pastikan sepatu tidak terlalu ketat atau teralu longgar. Upayakan
ibu jari kaki dapat digerakkan dengan mudah.Trauma ringan pada ibu
jari kaki dapat memicu serangan gout.
Beberapa penderita (terutama yang mengalami serangan berulang
yang hebat) mulai menjalani pengobatan jangka panjang pada saat
gejala telah menghilang dan pengobatan dilanjutkan sampai diantara
serangan.
Kolkisin dosis rendah diminum setiap hari dan bisa mencegah
serangan atau paling tidak mengurangi frekuensi serangan.
Mengkonsumsi obat anti peradangan non-steroid secara rutin juga bisa
mencegah terjadinya serangan. Kadang kolkisin dan obat anti
peradangan non-steroid diberikan dalam waktu yang bersamaan. Tetapi
kombinasi kedua obat ini tidak mencegah maupun memperbaiki
27
kerusakan sendi karena pengendapan kristal dan memiliki risiko bagi
penderita yang memiliki penyakit ginjal atau hati.
II.2 Konsep Dasar Kompres Hangat
II.2.1 Definisi
Kompres hangat adalah suatu prosedur menggunakan kain /
handuk yang telah di celupkan pada air hangat, yang ditempelkan
pada bagian tubuh tertentu.
Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada daerah
tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan
hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain
untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa
sakit, merangsang peristaltic usus, pengeluaran getah radang menjadi
lancar, serta memberikan ketenangan dan kesenangan pada klien.
Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian, kekejangan
otot, perut kembung, dan kedinginan.
Menurut Perry dan Potter (2005), kompres hangat dilakukan
dengan mempergunakan buli-buli panas yang dibungkus kain yaitu
secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli ke
dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah
dan akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri sendi yang
dirasakan pada pasien asam urat akan berkurang atau hilang.
Menurut Bare & Smeltzer (2001), kompres hangat mempunyai
keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat
penyembuhan.
Menurut Bobak (2005), kompres hangat berfungsi untuk
mengatasi atau mengurangi nyeri, dimana panas dapat meredakan
iskemia dengan menurunkan kontraksi otot dan melancarkan
pembuluh darah sehingga dapat meredakan nyeri dengan mengurangi
ketegangan dan meningkatkan perasaan sejahtera, menigkatkan aliran
darah di daerah persendian.
28
Menurut Price & wilson (2005), kompres hangat sebagai metode
yang sangat efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas). Panas dapat
melebarkan pembuluh darah dan dapat meningkatkan aliran darah.
Kompres hangat adalah metode yang digunakan untuk
meredakan nyeri dengan cara menggunakan buli-buli yang diisi
dengan air panas yang ditempelkan pada sisi perut kiri dan kanan.
Kompres air hangat yang dapat dilakukan untuk pasien asam urat
adalah untuk mengatasi masalah nyeri sendi di daerah bagian yang
terserang asam urat (yang sakit).
Kompres air hangat dilakukan dengan tujuan membuat otot tubuh
lebih rileks, menghilangkan rasa sakit, dan membuat tenang pasien.
II.2.2 Manfaat Efek Panas
Panas digunakan secara luas dalam pengobatan karena memiliki
efek dan manfaat yang besar. Adapun manfaat efek panas adalah
(Gabriel, 1996) :
a. Efek Fisik
Panas dapat menyebabkan zat cair, padat, gas mengalami
pemuaian ke segala arah.
b. Efek Kimia
Sesuai dengan pernyataan Van Hoff bahwa rata-rata
kecepatan reaksi kimia di dalam tubuh tergantung pada temperatur.
Menurunnya reaksi kimia tubuh sering dengan menurunnya
temperatur tubuh, permeabilitas membran sel akan meningkat
sesuai dengan peningkatan suhu, pada jaringan akan terjadi
peningkatan metabolisme seiring dengan peningkatan pertukaran
antara zat kimia tubuh dengan cairan tubuh.
c. Efek Biologis
Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipothalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus
dirangsang, sistem effektor mengeluarkan sinyal yang memulai
29
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh
darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari
tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan aliran darah ke setiap jaringan khususnya yang
mengalami radang dan nyeri bertambah dan diharapkan akan
terjadi penurunan nyeri sendi pada jaringan yang meradang
(Tamsuri, 2007).
Panas dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara fisiologis
respon tubuh terhadap panas yaitu menyebabkan pelebaran
pembuluh darah, menurunkan kekentalan darah, menurunkan
ketegangan otot, meningkatkan metabolisme jaringan dan
meningkatnya permeabilitas kapiler. Respon dari panas inilah yang
digunakan untuk keperluan terapi pada berbagai kondisi dan
keadaan yang terjadi dalam tubuh.
Efek dari kompres hangat untuk meningkatkan aliran darah
ke bagian yang terinjuri. Pemberian kompres hangat yang
berkelanjutan berbahaya terhadap sel epitel, menyebabkan
kemerahan, kelemahan local, dan bisa terjadi kelepuhan bila
kompres hangat diberikan satu jam atau lebih.
II.2.3 Mekanisme Kerja Panas
Energi panas yang hilang atau masuk ke dalam tubuh melalui
kulit dengan empat cara yaitu : secara konduksi, konveksi, radiasi,
dan evaporasi. Prinsip kerja kompres hangat dengan
mempergunakan buli-buli panas yang dibungkus kain yaitu secara
konduksi dimana terjadi perpindahan panas dari buli-buli panas ke
dalam sendi yang nyeri dan akan melancarkan sirkulasi darah dan
menurunkan ketegangan otot sehingga akan menurunkan nyeri
sendi pada klien asam urat.
Kompres hangat dapat dilakukan dengan menempelkan
kantong karet yang diisi air hangat atau dengan buli-buli panas
30
(WWZ) atau handuk yang telah direndam di dalam air hangat ke
bagian tubuh yang nyeri dengan suhu air sekitar 50-60C, karena
pada suhu tersebut kulit dapat mentoleransi sehingga tidak terjadi
iritasi dan kemerahan pada kulit yang dikompres. Sebaiknya diikuti
dengan latihan pergerakan atau pemijatan. Dampak fisiologis dari
kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot
tubuh lebih rileks, menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri, dan
memperlancar pasokan aliran darah.
II.2.4 Toleransi dan Kontraindikasi
Berbagai bagian tubuh memiliki toleransi panas dan dingin
yang berbeda. Variabel yang mempengaruhi toleransi fisiologi
tubuh tersebut sebagai berikut :
a. Bagian tubuh. Bagian punggung tangan dan kaki adalah bagian
yang tidak terlalu sensitif terhadap suhu, sebaliknya bagian
dalam dari pergelangan tangan dan lengan bawah, leher, dan
area perineum adalah bagian yang sensitif terhadap suhu.
b. Ukuran bagian tubuh yang terpajan. Semakin besar area yang
terpajan oleh panas dan dingin, semakin rendah toleransinya.
c. Toleransi perorangan. Individu yang sangat tua umumnya
memiliki toleransi yang paling rendah. Individu yang memiliki
kerusakan neurosensori mungkin memiliki toleransi yang
tinggi, tapi resiko cederanya juga lebih besar.
d. Lama pajanan individu paling merasakan kompres hangat saat
awal kompres diberikan. Setelah jangka waktu tertentu,
toleransi akan meningkat. Pada umumnya untuk kompres
hangat toleransi setiap individu dalam rentang waktu sekitar
15 menit.
e. Keutuhan kulit. Area kulit yang cedera lebih sensitif terhadap
variasi suhu.
Kondisi tertentu merupakan kontraindikasi penggunaan
kompres panas. Selama itu beberapa kondisi memerlukan tindakan
31
kewaspadaan ketika memberikan terapi kompres panas. Adapun
kontraindikasi kompres sebagai berikut.
Kontraindikasi pemberian kompres hangat, yaitu :
1. Pada 24 jam pertama setelah cedera traumatic. Panas akan
meningkatkan perdarahan dan pembengkakan.
2. Perdarahan aktif. Panas akan menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan perdarahan.
3. Edema noninflamasi. Panas meningkatkan permeabilitas
kapiler dan edema.
4. Tumor ganas terlokalisasi. Karena panas mempercepat
metabolisme sel, pertumbuhan sel, dan meningktakan
sirkulasi, panas dapat mempercepat metastase (tumor
sekunder).
5. Gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau lepuh.
Panas dapat membakar atau menyebabkan kerusakan lebih
jauh.
II.3 Konsep Dasar Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal
yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat
bersifat individual. Stimulus yang dapat berupa stimulus yang bersifat fisik
dan/atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual
atau pada fungsi ego seorang individu (Mahon, 1994, dalam perry dan
potter, 2005). Menurut McCaffery (1980) : Nyeri adalah segala sesuatu
yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja
seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Nahon menemukan empat
atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu : nyeri bersifat individu, tidak
menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat
tidak berkesudahan (1994).
II.3.1 Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
32
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap
stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosiseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang
bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen.
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (depp
somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen, yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6 30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan
cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5 2
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang
timbul merupakan nyeri tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral. Reseptor
viseral. reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati,
usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya difus (terus-menerus). Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat
sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan inflamasi.
Nyeri viseral dapat menyebabkan nyeri alih (reffered pain), yaitu
nyeri yang dapat timbul pada daerah yang berbeda/ jauh dari organ asal
33
stimulus nyeri tersebut. Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya
sinaps jaringan viseral pada medulla spinalis dengan serabut yang
berasal dari jaringan subkutan tubuh.
Berdasarkan jenis rangsang yang dapat di terima oleh nosiseptor, di
dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis nosiseptor yaitu :
nosiseptor termal, nosiseptor mekanik, nosiseptor elektrik, dan
nosiseptor kimia. Adanya berbagai macam nosiptor ini memungkinkan
terjadinya nyeri karena pengaruh mekanis, kimia, listrik, atau karena
perubahan suhu.
Serabut nyeri A delta merupakan serabut nyeri yang lebih banyak
dipengaruhi oleh rangsangan mekanik dari pada rangsangan panas dan
kimia, sedang serabut nyeri jenis C lebih dipengaruhi oleh rangsangan
suhu, kimia dan mekanik kuat.
II.3.2 Transmisi Nyeri
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat
ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri
dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling
relevan.
a. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory)
Teori ini digambarkan oleh Descates pada abad ke 17. Teori ini
berdasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang
secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat
menerima ragsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung
dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan
dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons
nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor
multidimensional dapat mempengaruhi nyeri.
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut
yang mampu menghantarkan rangsangan dengan cepat dan serabut
yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf
34
tersebut bersinapsis pada medulla spinalis dan meneruskan
informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input
sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori
nyeri.
c. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)
Pada tahun 1959, Melzack dan Wall menjelaskan teori
gerbang nyeri, yang menyatakan terdapat semacam Pintu
Gerbang yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi
sinyal nyeri.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh
manusia terdapat dua macam transmiter impuls nyeri yang
berfungsi untuk menghantarkan sensasi nyeri dan sensasi yang lain
seperti rasa dingin, hangat, sentuhan dan sebagainya. Reseptor
berdiameter kecil (serabut A delta dan serabut C) berfungsi untuk
mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini
biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat diseluruh
permukaan kulit dan pada struktur tubuh yang lebih dalam seperti
tendon, fascia dan tulang serta organ-organ interna. Sedangkan
transmiter yang berdiameter besar (serabut A-beta) memiliki
reseptor yang terdapat pada struktur permukaan tubuh dan
fungsinya selain mentransisikan sensasi nyeri, juga lebih berfungsi
untuk mentransmisikan sensasi lain seperti sensasi getaran,
sentuhan, sensasi panas/dingin, serta juga terdapat tekanan halus.
Impuls dari serabut A-beta mempunyai sifat inhibitor (penghambat)
yang ditransmisikan ke serabut C dan A-delta. Ketika ada
rangsang, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangan
menuju kornu dorsalis yang terdapat pada medulla spinalis
(cornuposterius medullae spinalis). Di medullah spinalis inilah
terjadi interaksi antara serabut berdiameter besar dan serabut
berdiameter kecil di suatu area khusus yang disebut dengan
substansia gelatinosa (SG). Pada substantia gelatinosa ini dapat
terjadi perubahan, modifikasi, serta mempengaruhi apakah sensasi
35
nyeri yang diterima oleh medulla spinalis akan diteruskan ke otak
atau akan dihambat.
Sebelum spinalis nyeri di bawa ke otak, serabut besar dan
serabut kecil akan berinteraksi di area substantia gelantinosa yang
apabila tidak terdapat stimulus/impuls yang adekuat dari serabut
besar, maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan
menuju ke Sel Trigger (sel T) untuk kemudian dibawa ke otak,
yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh
tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak inilah yang
diistilahkan dengan Pintu Gerbang Terbuka. Sebaliknya, apabila
terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut kulit, sentuhan,
getaran, hangat, dan dingin serta sentuhan halus, impuls ini akan
menghambat impuls dari serabut berdiameter kecil di area
substantia gelatinosa sehingga sensasi gelatinosa, karenanya tubuh
tidak dapat merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut dengan
Pintu gerbang tertutup.
Dalam penghantaran impuls menuju otak, sinaps substantia
gelantinosa akan melepaskan substansi P yang diduga sebagai
neurotranmiter utama impuls nyeri. Paling sedikit terdapat enam
jalur senden untuk impuls nosiseptif yang terletak pada belahan
ventral medulla spinalis, yang paling utama adalah traktus
spinotalamikus (Spinothalamic tract) dan traktus spinoretikuler
(spinoreticular tract). Impuls yang dibawa oleh traktus
spinotalamikus selanjutnya dibawa ke korteks untuk diinterpretasi,
sedangkan impuls yang dibawa oleh traktus batang otak, untuk
mengaktifkan respons-respons autonomik dan limbik (afektif
motivasional). Apabila impuls nyeri diteruskan (pintu gerbang
terbuka), impuls akan diteruskan ke otak untuk kemudian diproses
di dalam otak dalam tiga tingkat yang berbeda, yaitu pada
thalamus, otak tengah (mid brain) dan pada korteks otak.
Talamus bertindak sebagai penerima input sensori (impuls
nyeri) dari traktus spinotalamikus lateral untuk kemudian
36
diteruskan ke korteks. Otak tengah berfungsi untuk meningkatkan
kewaspadaan dari korteks terhadap datangnya rangsang ;
sedangkan korteks berfungsi untuk melokalisasi impuls dan impuls
dipersepsikan sesuai dengan lokasi terjadinya nyeri.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori gerbang kendali
nyeri juga dikembangkan untuk menjelaskan tentang adanya fungsi
inhibitor (penghambat) impuls nyeri oleh otak. Basbaum dan Fields
meyakini bahwa struktus otak tengah, medula, dan jaringan tulang
belakang juga mampu memberi efek penghambat terhadap impuls
nyeri. Kondisi seperti rangsang elektris, penggunaan obat
analgesik, dan faktor-faktor psikologis mampu merangsang struktur
medulla untuk memperlambat transmisi impuls nyeri di medulla
spinalis.
II.3.3 Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi
stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter
mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps antara
dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat
pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator bekerja untuk
memodifikasi aktivitas neuro tanpa mentransfer secara langsung
sinyal-sinyal menuju sinaps. Neuromodulator dipercaya bekerja
secara tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek
partikuler neurotransmiter.
Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran
impuls nyeri antara lain adalah :
a. Neurotransmiter
1) Substansi
a) Ditemukan pada neuro nyeri di kornudorsalis (peptida
ektisator).
b) Diperlukan untuk menstramisikan impuls nyeri dari
perifer ke otak.
37
c) Menyebabkan vasodilatasi dan edema.
2) Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornudorsalis untuk
menghambat transmisi nyeri.
3) Prostaglandin
a) Dibangkitkan dari pemecahan pospilipid di membrane
sel.
b) Dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
b. Neuromodular
1) Endorfin (morfin Endogen)
a) Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh
tubuh.
b) Diaktivasi oleh daya stres dan nyeri.
c) Terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal.
d) Memberi efek analgesik.
2) Bradikinin
a) Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh
darah pada daerah yang mengalami cedera.
b) Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan
peningkatan stimulus nyeri.
c) Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai
sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
II.3.4 Konsep Nyeri
Menurut Mc. Caffery (1979), nyeri didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut Assosiasi
Nyeri Internasional (1979) disebutkan bahwa nyeri adalah suatu
Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara
actual maupun seperti tersebut diatas.
Menurut Kozier dan Erb (1983), nyeri adalah sensasi
ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang
38
diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi
luka. Mengacu pada teori dari Asosiasi Nyeri Internasional,
pemahaman tentang nyeri menitik beratkan bahwa nyeri adalah
kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri menitik
beratkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa fisik.
Adapun definisi dari Kozier dan Erb, nyeri diperkenalkan
sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya
tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga
untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi
nyeri.
II.3.5 Klasifikasi Nyeri
a. Klasifikasi Berdasarkan Waktu Kejadian
Nyeri dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi)
dari satu detik sampai dengan kurang dari enam bulan, sedangkan
nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam
bulan.
Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau
pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan
yang bervariasi (sedang sampai berat). Nyeri akut dapat dipandang
sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk
mengidentifikasikan adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri
jenis ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa
tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh.
Tabel 2.1 Perbandingan Nyeri akut dan kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan Memperingati adanya
cedera atau masalah
Tidak ada
Awitan Mendadak Terus-menerus atau
intermitten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
39
Durasi Durasi singkat (dari
beberapa detik hingga
enam bulan)
Durasi lama (enam
bulan atau lebih)
Respons otonom Konsisten dengan
respons simpatis :
- Frekuensi
jantung
meningkat
- Volume
sekuncup
meningkat
- Tekanan darah
meningkat
- Dilatasi pupil
- Tegangan otot
meningkat
- Penurunan
motilitas
gastrointestinal
- Mulut kering.
Tidak ada respons
otonom
Komponen
psikologis
Ansietas - Depresi
- Mudah
marah
- Menarik diri,
isolasi
Respons lainnya - Tidur
terganggu
- Libido
menurun
- Nafsu makan
menurun
40
Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau
bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok
besar, yaitu nyeri kronis maglina dan nyeri kronis nonmaligna.
Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat
diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada
beberapa kasus sulit ditemukan). Nyeri kronis dapat menyebabkan
klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri
kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini
menimbulkan kelelahan mental dan fisik.
b. Klasifikasi berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi
enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri
viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom).
Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap
kulit seperti pada laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis
ini memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi
yang tajam. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri
yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya,
umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya
peregangan dan iskemia.
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan
organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya
cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul.
Tabel 2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Viseral
Karakteristik
Somatik
Viseral
Superfisial Dalam
Kualitas Tajam,
Menusuk
Tajam atau
tumpul, difus
Tajam,
tumpul, difus,
kejang
Lokalisasi Terpusat menyebar Menyebar
Menjalar Tidak Tidak Ya
41
Stimulus
penyebab
Cedera, abrasi,
panas/dingin
Cedera, panas,
iskemia,
pergeseran
Distensi,
iskemia,
spasme, iritasi
kimiawi
Reaksi autonom Tidak Ya Ya
Refleksi
kontraksi otot
Dalam Ya Ya
Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari
daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan
oleh klien seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar
atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat
intermiten atau konstan.
Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien
yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan berada
pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada.
Contohnya adalah pada klien yang menjalani operasi pengangkatan
payudara atau pada amputasi ekstremitas.
Nyeri alih (referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat
adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga
dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini
dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang
mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dan mengalami sinapsis
dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya.
Berdasarkan pada organ tempat timbulnya, nyeri dapat
dikelompokkan dalam : nyeri organik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik.
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya
kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya
mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit, atau
pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ.
42
Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron,
misalnya pada neuralgia. Nyeri ini dapat terjadi secara akut
maupun kronis.
Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor
psikologis. Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis
dari pada gangguan organ. Klien yang menderita memang benar-
benar mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek
psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.
II.3.6 Respons Tubuh Terhadap Nyeri
Respons fisik timbul karena pada saat impuls nyeri
ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan
talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan
respons yang serupa dengan respons tubuh terhadap stress.
Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri
superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation
Syndrome (Reaksi Fight or Flight, dengan merangsang sistem
saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat
ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan
mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis.
Tabel 2.3 Respons Fisiologis Tubuh Terhadap Nyeri
Reaksi Efek
Simpatis
Dilatasi lumen bronkus,
peningkatan frekuensi napas.
Denyut jantung meningkat
Vasokontriksi perifer
Peningkatan glukosa darah
Memungkinkan penyediaan oksigen yang
lebih banyak.
Memungkin transpor oksigen lebih besar ke
dalam jaringan tubuh (sel).
Meningkatkan tekanan darah dengan
memindahkan suplai darah dari perifer ke
organ viseral, otot, dan otak.
Memungkinkan penyediaan energi
tambahan bagi tubuh.
43
Diaforesis
Tegangan otot meningkat
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas usus
Parasimpatis
Pucat
Kelelahan otot
Tekanan darah dan nadi menurun.
Frekuensi napas cepat, tiak teratur.
Mual dan muntah, Kelemahan
Mengendalikan suhu tubuh selama stress.
Menyiapkan otot untuk mengadakan aksi.
Menghasilkan kemampuan melihat yang
lebih baik.
Menyalurkan energi untuk aktivitas tubuh
yang lebih penting.
Disebabkan suplai darah yang menjauhi
perifer.
Karena kelemahan.
Pengaruh stimulasi nervus vagal.
Karena mekanisme pertahanan yang gagal
untuk memperpanjang perlawanan tubuh
terhadap stress (nyeri).
Kembalinya fungsi gastrointestinal akibat
pengeluaran energi yang berlebihan.
II.3.7 Respons Psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman
klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien
yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang negatif cenderung
memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat
berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pengalaman
yang positif akan menerima nyeri yang dialaminya.
Arti energi bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
a. Bahaya atau merusak
b. Komplikasi, seperti infeksi
c. Pemyakit yang berulang
d. Penyakit yang fatal
e. Peningkatan ketidakmampuan
f. Kehilangan mobilitas
g. Menjadi tua
44
h. Sembuh
i. Perlu untuk penyembuhan
j. Hukuman karena berdosa
k. Tantangan
l. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
m. sesuatu yang harus ditoleransi
n. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.
Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi
tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan juga faktor
sosial budaya.
Respons perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri
dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983)
menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi,
sensasi, dan fase nyeri.
Fase antisipasi merupakan fasi yang paling penting karena pada
fase ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini,
merupakan fase yang memungkinkan penentuan untuk fase berikutnya.
Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk
memahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang
nyeri itu sendiri. Pada fase ini, klien dipersiapkan untuk belajar
bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan juga
klien diajarkan bagaimana tindakan klien jika terapi/tindakan yang
dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi, klien juga balajar
mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul,
karena kecemasan dapat menyebabkan peningkatan sensasi nyeri yang
terjadi pada klien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh klien
untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilakn nyeri ang mungkin akan
timbul, dan juga klien diajarkan bagaimana tindakan klien jika
terapi/tindakan yang dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi,
klien juga balajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu
sendiri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peningkatan
45
sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan/atau tindakan ulang yang
dilakukan oleh klien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang dapat diungkapkan
oleh seorang klien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,
meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.
Perilaku klien dalam merespons nyeri ini dapat dipengaruhi oleh
kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga oleh berat-
ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadang kala klien tidak mau
mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena
menganggap dirinya adalah Orang yang Cengeng atau ia akan
berpandangan bahwa perawat akan mnyebut klien sebagai Pasien yang
Cerewet. Pada fase pasca nyeri, klien mungkin mengalami trauma
psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi mengigil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tentang nyeri meliputi :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Budaya
d. Pengetahuan tentang nyeri dan penyebabnya
e. Makna nyeri
f. Perhatian klien
g. Tingkat kecemasan
h. Tingkat energi
i. Tingkat stress
j. Pengalaman sebelumnya
k. Pola koping
l. Dukungan keluarga dan sosial
Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai alat pengukuran seperti Skala Visual Analog, Skala Nyeri
Numerik, Skala Nyeri Deskriptif atau skala yeri Wong-Bakers untuk
anak-anak. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
46
Gambar 2.1 Skala Nyeri Menurut Smeltzer
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
47
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan
atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun,
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskriptif merupakan alat penguluran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal (Verbal
Dessriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak dengan
karakter yang sama sepanjang garis. Pendeskripsian ini diranking dari
tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Skala
penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai
nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terpeutik.
Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) merupakan suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
memiliki alat pendeskripsi verbal pasa setiap ujungnya. Skala ini
memberikan klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memiliki satu kata atau satu angka (McGuire;1984).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,
mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
48
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
Pada penelitian ini digunakan skala wong yaitu dalam Skala analog
visual (Visual Analog Scale, VAS) dimana kita bisa melihat skala nyeri
dengan rawut wajah klien dan skala ini juga diikuti skala dengan
penilaian numerik agar mempermudah peneliti mengobservasi skala
nyeri yang dirasakan responden.
Gambar 2.2 Skala nyeri menurut wong
II.3.8 Tingkat Nyeri
a. Skala Intensitas Nyeri
Keterangan :
Skala 10 : sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien
Skala 9, 8, 7 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien
dengan aktifitas yang bisa dilakukan.
Skala 6 : Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk.
Skala 5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak.
Skala 4 : Nyeri seperti kram atau kaku.
Skala 3 : Nyeri seperti perih atau mules
Skala 2 : Nyeri seperti melilit atau terpukul
Skala 1 : Nyeri sepeti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan
Skala 0 : Tidak ada nyeri.
b. Tipe Nyeri
Keterangan :
Skala : 10 Tipe nyeri sangat berat
Skala : 7-9 Tipe nyeri berat
Skala : 4-6 Tipe nyerisedang.
49
Skala : 1-3 Tipe nyeri ringan
c. Daftar Nilai Kekuatan Otot
Kekuatan otot dinilai dengan angka 0 (nol) sapai 5 (lima) :
Skala 0 : Otot sama sekali tidak mampu bergerak, tampak
berkontraksi, bila lengan/ tungkai dilepaskan, akan jatuh 100% pasif.
Skala 1 : Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan
sewaktu jatuh.
Skala 2 : Mampu menahan tegak yang berarti mampu menahan gaya
gravitasi (saja), tapi dengan sentuhan akan jatuh.
Skala 3 : Mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi
tidak mampu melawan tekan/dorongan dari pemeriksa.
Skala 4 : kekuatan kurang dibandingkan sisi lain
Skala 5 : kekuatan utuh.
Uji kekuatan otot sekali-kali bukan membandingkan
kekuatan pasien dengan sipemeriksa (Augustinus, 2003 ;36).
II.4 Penelitian Terkait
II.4.1 Penelitian yang dipublikasikan di The New England Journal Of
Medicine pada tanggal 8 maret 2004 memuat artikel hasil karya dr.
Choi dan rekannya, yang berjudul Purine-Rich Foods, Dairy and
Protein Intake, and the Risk of Gout in Men. Dr Choi dan
rekannya melakukan penelitian ini selama 12 tahun terhadap
populasi tenaga kesehatan laki-laki di Amerika Serikat, yang
meliputi dokter gigi, optometris, osteopath, ahli farmasi, podiatrist,
dan dokter hewan. Populasi tersebut berusia antara 40 sampai 75
tahun pada tahun 1086, saat penelitian mulai dilakukan. Dr Choi
dan rekannya melakukan pemeriksaan secara prospektif terhadap
hubungan antara faktor risiko diet dan kasus gout baru. Mereka
menggunakan kriteria gout berdasarkan America College of
Rheumatology. Diet dari setiap responden dinilai ulang setiap
empat tahun dengan menggunakan kuesioner. Dari 47.150
responden selama 12 tahun penelitian diperoleh 730 kasus gout
50
baru. Mereka menemukan peningkatan risiko gout ketika
responden mengkonsumsi daging dan seafood dalam jumlah
banyak. Akan tetapi, tidak ditemukan peningkatan risiko gout
ketika mengkonsumsi protein hewani maupun nabati atau sayur-
sayuran kaya purin dalam jumlah banyak. Tim tersebut juga
menemukan bukti bahwa adanya hubungan terbalik yang kuat
antara konsumsi produksi susu, terutama yang rendah lemak , dan
kejadian gout.
II.4.2 Penelitian Rahayu Wijayanti tahun 2009 yang berjudul Faktor
yang mempengaruhi terjadinya penyakit arthritis gout di
wilayah kerja puskesmas mojo, kecamatan Gubeg, kota
surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari faktor
yang mempengaruhi terjadinya penyakit arthritis gout. Penelitian
ini menggunakan rancangan penelitian komparasi dan
observasional dengan pengumpulan data secara cross sectional.
Komparasi dilakukan pengamatan dan pengapuran variabel utama
dan penganggu. Sampel penelitian ini adalah pasien yang
melakukan pemeriksaan atau berkunjung di puskesmas mojo,
kecamatan gubeg, Kota Surabaya pada bulan Maret sampai dengan
bulan April 2008. Pengambilan sampel dilakukan secara random
sampling pada pasien yang melakukan pemeriksaan atau
berkunjung di puskesmas mojo. Data primer diperoleh melalui
wawancara, dengan bantuan kuesioner serta data sekunder diambil
dari puskesmas mojo. Hasil uji statistic dengan menggunakan uji
chi square diketahui bahwa dengan menggunakan = 0,05
menunjukkan ada hubungan antara umur dan tingkat konsumsi
purin hewani responden dengan Arthritis Gout. Sedangkan variabel
lain seperti jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, pendapatan,
kebiasaan olahraga, pola konsumsi dan tingkat konsumsi
karbohidrat, lemak, protein dan purin nabati tidak berhubungan.
Sedangkan dengan menggunakan uji regresi logistik dengan
metode Backward-LR diketahui bahwa umur dan protein
51
mempunyai nilai p < 0,05, artinya umur dan tingkat konsumsi
protein berpengaruh terhadap terjadinya penyakit arthritis gout.
Sedangkan variabel lain seperti jenis kelamin, pendidikan,
pengetahuan, pendapatan, kebiasaan olahraga, pola konsumsi dan
tingkat konsumsi karbohidrat, lemak, protein dan purin nabati tidak
berpengaruh terhadap terjadinya arthritis gout.
II.4.3 Penelitian Ni Wayan Utari Paramita Dewi tahun 2009 Hubungan
Pengetahuan Masyarakat Tentang Asam Urat dengan Praktik
Pencegahan dan Perencanaan Perawatan Asam Urat di Rw 02
kelurahan pangkalan jati kecamatan limo depok tahun 2009.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Cross sectional,
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen
penelitian berupa kuesioner. Hasil penelitian di dapatkan proporsi
terbesar responden berumur 40 tahun sebesar 61,2 %, jenis
kelamin perempuan sebesar 51,3 % tingkat pendidikan tinggi
sebesar 54,9 %, status pekerjaan bekerja sebesar 56,5 %.
Pengetahuan dengan kategori baik sebesar 53,1 %, praktek
pencegahan dan perencanaan perawatan asam urat dengan kategori
baik sebesar 50,5 %. Ada hubungan yang bermakna antara umur,
tingkat pendidikan, dan status pekerjaan dengan praktik
pencegahan dan perencanaan perawatan asam urat dengan P > 0,05.
Sedangkan jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang
bermakna. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
masyarakat tentang asam urat dengan praktik pencegahan dan
perencanaan perawatan asam urat, dengan nilai P 0,000, dan OR
7,298, yang artinya responden yang berpengetahuan baik memiliki
peluang untuk melakukan praktik pencegahan dan perencanaan
perawatan asam urat dengan baik 7,298 kali lebih besar dari pada
responden yang berpengetahuan kurang baik.
II.4.4 Penelitian Ermala Sari tahun 2010 Pengaruh Penggunaan
Kompres Hangat dalam Pengurangan Nyeri Persalinan Kala I
Fase Aktif di Klinik Hj. Hamidah Nasution Medan Tahun
52
2010. Kompres hangat merupakan suatu metode yang dilakukan
secara non-farmakologi yang salah satu kegunaannya untuk
menurunkan atau mengurangi rasa sakit (nyeri) pada ibu inpartu
yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara kantung berisi air
hangat dilapisi kain ditempelkan ke kulit ibu khususnya pada
daerah pinggang ibu dengan posisi miring kanan atau miring kiri.
Teknik ini dilakukan selama 20 menit, pengukuran pengurangan
nyeri dilakukan pada menit ke 15-20. Sebelum melakukan teknik
kompres hangat dilakukan terlebih dahulu pengukuran nyeri.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur ada atau tidaknya
penurunan nyeri dengan metode kompres hangat. Desain penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-eksperimen yang
bersifat one group pretest-postes. dengan besar sampel sebanyak 22
orang dengan metode pengambilan sample total sampling dan
analisa data yang digunakan adalah uji t-dependen. Instrument
dalam penelitian ini berupa kuesioner yang meliputi data demografi
dan kuesioner tingkat nyeri sebelum dan setelah intervensi. Dari
hasil uji T-dependent diperoleh intensitas nyeri sebelum dilakukan
teknik kompres hangat nilai rata-rata adalah 6,27 dan setelah
dilakukan intervensi nilai rata-rata adalah 4,77. Maka dapat
disimpulkan adanya pengaruh yang signifikan sebelum dan setelah
intervensi (p<0,0001) dari penggunaan kompres hangat terhadap
penurunan nyeri persalinan kala I fase aktif. Dari hasil penelitian
ini diharapkan ada penelitian lanjutan yang menggunakan
kelompok kontrol agar hasil lebih memuaskan.
53
II.5 Kerangka Teori

You might also like