You are on page 1of 6

247

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013


Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan Imflammat or y Bowel Disease
Mohammad Adi Firmansyah
PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Infammatory bowel disease (IBD) yang terbagi atas kolitis ulseratif dan penyakit Crohn merupakan kondisi peradangan saluran cerna kronik
dan idiopatik. Gambaran klinis IBD sangat berkaitan dengan patogenesis IBD. Faktor genetik diduga berperan penting, misalnya peranan gen
CARD15 dan syndecan-1. Beberapa pemeriksaan serologi, misalnya Anti-saccharomyces cerevisiase antibody (ASCA), perinuclear antineutrophil
cytoplasmic antibody (p-ANCA), dan beberapa pemeriksaan baru, seperti kadar ekspresi syndecan-1 (Sdc-1), OmpC, I2, dan fagelin CBir1,
diketahui dapat membantu menegakkan diagnosis IBD. Namun, pemeriksaan endoskopi tetap merupakan modalitas utama dalam penegakan
diagnosis IBD. Steroid dan 5-aminosalilisat sejauh ini masih merupakan pilihan terapi IBD. modalitas baru, seperti anti-tumor necrosing factor,
anti-interleukin-6, dan probiotik, banyak diteliti peranannya dalam penanganan IBD.
Kata kunci: infammatory bowel disease, kolitis ulseratif, penyakit Crohn, syndecan-1, ASCA, p-ANCA
ABSTRACT
Infammatory bowel disease (IBD) consisting of Ulcerative Colitis and Crohns disease is an idiopathic and chronic infammatory condition of the
gastrointestinal tract. Genetic factors such as CARD15 gene and Syndecan-1 is suspected play an important role. The clinical features of IBD is
associated with the pathogenesis of IBD. Some serologic tests had known to aid diagnosis of IBD such as Anti-Saccharomyces cerevisiase antibody
(ASCA), perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), and several new tests such as the levels of expression of Syndecan-1 (SDC-1),
OMPC, I2, and fagelin CBir1. However, endoscopy remains the main modality in the diagnosis of IBD. Steroids and 5-aminosalicylate so far is
still the preferred treatment of IBD. New modalities such as anti-tumor necrosing factor, anti-interleukin-6, probiotics are widely studied in IBD
treatment. Mohammad Adi Firmansyah. Recent Advances in Diagnosis and Management of Infammatory Bowel Disease.
Key words: infammatory bowel disease, ulcerative colitis, Crohns disease, syndecan-1, ASCA, p-ANCA
PENDAHULUAN
Infammatory bowel disease (IBD)
menggambarkan kondisi peradangan saluran
cerna kronik dan idiopatik. Secara umum
dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit
Crohn (PC) dan IBD type unclassifed (IBDU,
dulu dikenal sebagai indeterminate colitis).
1

Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya
dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan
dalam saluran cerna seperti perubahan
bakteri usus dan peningkatan permeabilitas
epitel saluran cerna diduga berperan dalam
gangguan imunitas saluran cerna yang
berujung pada kerusakan saluran cerna.
1-3
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke-
II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an
selalu meningkat dan cenderung terjadi
pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi
tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi
oral dan diet rendah.
4
Gambaran klinis kedua
entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti
mencapai remisi tanpa penggunaan obat-
obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk
kronik aktif yakni pasien mengalami remisi
hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam
jangka lama. Mengingat patofsiologi IBD yang
diterima luas berupa adanya respons imun
berlebihan pada saluran cerna maka secara
umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa
anti-infamasi atau imunosupresan.
2,3,5
Dalam
beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat
terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya
terapi biologi.
Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya
berupa terapi medis melainkan harus melalui
tiga pendekatan yakni rencana diagnostik,
rencana Terapeutik dan rencana edukasional.
Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada
rencana terapeutik IBD.
EPIDEMIOLOGI
Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika
Serikat diperkirakan mengalami KU ataupun
PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus
per 100.000 individu. Sedangkan di Eropa,
insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000
Alamat korespondensi email: madif12@gmail.com
247
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
248
TINJAUAN PUSTAKA
penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus
per 100.000 penduduk.
6
Di Indonesia sendiri
belum ada studi epidemiologi mengenai IBD,
data masih didasarkan laporan rumah sakit
saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta
pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus PC
dan KU dari seluruh total kasus kolonoskopi
yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo.
Dari data di unit endoskopi pada beberapa
rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS
Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat
kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus
yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus
hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik,
berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada
kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%.
Data ini juga menyebutkan bahwa secara
umum, kejadian KU lebih banyak daripada
kasus PC.
4
Secara global dikatakan bahwa
insidens IBD adalah 10 kasus per 100.000
penduduk, KU 2.214.3 kasus per 100.000
penduduk dan PC 3.114.6 kasus per 100.000
penduduk.
6
ETIOPATOGENESIS
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum
sepenuhnya dimengerti. Banyak teori diajukan
namun belum ada kausa tunggal yang
diketahui sebagai penyebab IBD. Salah satu
teori yang diyakini adalah peranan mediasi
imunologi pada individu yang memang
rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan
hasil respons imun yang menyimpang dan
berkurangnya toleransi pada fora normal usus
yang berakibat terjadinya infamasi kronik pada
usus. Kondisi ini didukung dengan adanya
temuan antibodi terhadap antigen mikrobial
dan diidentifkasinya gen CARD15 sebagai gen
penyebab kerentanan terjadinya IBD.
7
Secara
genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi
pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15
(gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan
dengan terjadinya IBD (terutama untuk PC).
Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan
bersifat kausal terhadap IBD.
8

Secara konsep, patogenesis IBD dapat
digambarkan seperti pada gambar 1.
Secara umum, diperkirakan bahwa proses
patogenesis IBD diawali adanya infeksi,
toksin, produk bakteri atau diet intralumen
kolon pada individu rentan dan dipengaruhi
oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan
sehingga terjadi kaskade proses infamasi
pada dinding usus.
4
Banyak mediator infamasi telah dikenali
dalam patogenesis IBD. Sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag sebagai respons
terhadap berbagai stimulus antigenik akan
berikatan dengan beragam reseptor dan
menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan
endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi
sel T dimana sel T helper-1 (Th-1) berperan
dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2
(Th-2) berperan dalam KU. Respons imun
ini akhirnya akan merusak mukosa saluran
cerna dan memicu terjadinya kaskade proses
infamasi kronik.
9

Banyak studi pada beberapa dekade
terakhir telah menunjukkan bahwa adanya
heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat
mengatur aktivitas berbagai faktor infamasi.
10

Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh
penting dari HSPGs yang menutup permukaan
sel epitel.
11
Sdc-1 memiliki beragam peranan
biologis diantaranya penyembuhan luka,
tumorigenesis, dan pengaturan respons
infamasi. Peranan Sdc-1 dalam hal respons
infamasi adalah dengan mengatur sinyal
sitokin pro-infamasi, khususnya tumor
necrosis factor- (TNF-).
11
Day dkk (1999)
mendapatkan adanya penurunan ekspresi
Sdc-1 pada pasien-pasien KU yang dikaitkan
dengan gangguan penyembuhan ulkus pada
kolon.
12

Floer dkk melakukan penelitian pada tikus
percobaan dengan defsit ekspresi Syndecan
-1 (Sdc-1).
11
Ia mendapatkan bahwa Sdc-1
berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel
epitel, proliferasi sel, ekspresi kemokin dan
sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi
Sdc-1 akan meningkatkan ekspresi sitokin
pro-infamasi terutama TNF-, selain itu juga
mengganggu proses penyembuhan luka.
Dalam studinya, Floer mendapatkan bahwa
pemberian enoxaparin mampu mengurangi
kerusakan kolon pada tikus dengan defsit
ekspresi Sdc-1.
11
Pengetahuan ini penting
karena memberikan alternatif baru dalam hal
penatalaksanaan IBD.
Gambar 1 Konsep dasar patogenesis IBD
4
Tabel 1 Gambaran Klinis IBD
Klinis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)
Diare kronik ++ ++
Hematoschezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen (-) ++
Fistulasi + ++
Stenosis/ striktur + ++
Keterlibatan usus halus + ++
Keterlibatan rectum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + +
Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada
249
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Pada KU, proses peradangan dimulai di
rektum dan meluas ke proksimal secara
kontinu sehingga secara umum dapat
melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa
dan submukosa usus. Infamasi hampir tidak
pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika
di ileum terminalis juga terdapat peradangan.
Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada
KU, tidak adanya skip area yakni area normal di
antara daerah lesi menjadi penanda khas KU
sehingga dapat dijadikan pembeda dengan
PC.
4,9
Pada PC, peradangan dapat melibatkan
seluruh mukosa saluran cerna dimulai dari
mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola
umum yang khas yakni adanya peradangan,
striktur, dan fstula. Berbeda dengan KU, lesi
pada PC tidak hanya melibatkan mukosa dan
submukosa namun juga dapat transmural.
Hal ini menjadi penanda patologis yang khas
untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat
diskontinu sehingga akan ditemukan skip
area.
4,9
GAMBARAN KLINIS
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik
dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut.
Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar
saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis,
uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara
sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai
dampak keadaan patologis yang ada seperti
anemi, demam, gangguan nutrisi.
3,4,9
Satu hal
yang penting diingat adalah pola perjalanan
klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi
atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan
fase remisi.
4
Pemahaman atas proses infamasi yang
terjadi pada patogenesis IBD akan membantu
kita mengenali gambaran klinis untuk
masing-masing entitas IBD. Misalnya kita
akan menemui keluhan yang lebih seragam
pada KU dibandingkan PC karena distribusi
anatomis saluran cerna yang terlibat pada
KU adalah kolon sedangkan pada PC lebih
bervariasi. Perbedaan gambaran klinis dan
patologis antara KU dan PC disajikan dalam
tabel 1 dan tabel 2. Namun perlu diingat bahwa
terkadang sulit membedakan gambaran IBD
dengan penyakit lain yang kerap ditemukan
di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis
usus.
4
Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai
gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan
pedoman keberhasilan pengobatan maupun
penetapan fase remisi yakni Disease Activity
Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi
diare, ada tidaknya perdarahan per anum,
penilaian kondisi mukosa kolon pada
pemeriksaan endoskopi serta penilaian
keadaan umum pasien.
PENATALAKSANAAN IBD
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga
macam pendekatan, yakni rencana diagnostik,
rencana terapeutik, dan rencana edukasional.
Rencana Diagnostik Pemeriksaan
Serologik untuk Penanda IBD
Secara laboratorik, tidak ada parameter yang
spesifk untuk IBD. Umumnya yang digunakan
adalah parameter penanda infamasi secara
umum seperti laju endap darah (LED) atau
C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP
serum berkorelasi positif dengan aktivitas
penyakit dan dengan penanda infamasi
lainnya sesuai dengan indeks aktivitas PC.
Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien
IBD dapat membantu klinisi untuk mengambil
keputusan perlunya dilakukan kolektomi.
7

Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat
membantu penentuan apakah peradangan
disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi.
Dewasa ini, dikatakan pula bahwa
pemeriksaan serologi dapat membantu
menegakkan diagnosis IBD dan dapat
membedakan antara KU dan PC yakni
dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear
antineutrophil cytoplasmic antibody) untuk
pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae
antibody (ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA
ditemukan pada 50-67% kasus KU meski
juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15%
kasus PC. ASCA lebih sering dijumpai pada
PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya
sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada KU.
7

Sayangnya, pemeriksaan ini tidak terlalu
sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak
tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal.
10

Meski begitu, kombinasi pemeriksaan
p-ANCA dan ASCA dapat membantu
meningkatkan spesifsitas hingga lebih dari
90%. Pola hasil kombinasi untuk KU adalah
ASCA negatif/p-ANCA positif sedangkan
untuk PC adalah ASCA positif/p-ANCA
negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua
pemeriksaan ini tidak dianjurkan mengingat
kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi
setelah terapi.
7
Terdapat penurunan kadar ekspresi
Syndecan-1 (Sdc-1) pada IBD khususnya pada
KU.
11,12
Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1
dapat membantu menegakkan diagnosis
penyakit IBD meski masih terbatas guna
kepentingan penelitian. Baru-baru ini, adanya
target antigen mikroba khusus seperti OmpC
(Eschericia coli outer membrane porin), I2, dan
fagelin CBir1 pada sebagian besar pasien
PC. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa jumlah atau tingkat respons imun
terhadap beberapa antigen berkaitan dengan
keparahan perjalanan penyakit. Hal ini
memerlukan penelitian-penelitian yang lebih
dalam lagi.
7

Tabel 2 Gambaran Patologis IBD
Patologis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)
Lesi bersifat segmental (skip area) (-) ++
Lesi bersifat transmural + +/++
Granuloma (-) 50%
Fibrosis + ++
Fistulasi + ++
Predileksi anatomis + +/++
Ileo-saekal + ++
Rektum ++ +
Gambaran patologis Abses kripti, distorsi kripti,
infltrasi sel MN dan PMN di
lamina propria
Granuloma tuberukoloid, infltrasi
sel makrofag dan limfosit di lamina
propria
Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
250
TINJAUAN PUSTAKA
Pemeriksaan endoskopi berperan sangat
penting dalam penegakan diagnosis sekaligus
terapi IBD dengan akurasi diagnostik berkisar
89%.
4
Umumnya, pemeriksaan endoskopi
diikuti dengan pemeriksaan histopatologi
sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti
pencitraan dengan kontras ganda dapat
dilakukan sebagai alat konfrmasi endoskopi.
Rencana Terapeutik
Fokus utama rencana Terapeutik adalah
upaya penghambatan kaskade proses
infamasi jika tidak dapat dihilangkan sama
sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD
adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD
dengan cepat hingga tercapai remisi; (2)
mencegah peradangan berulang dengan
mempertahankan remisi selama mungkin; dan
(3) mengobati serta mencegah komplikasi.
Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki
fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu
algoritma penatalaksanaan terutama pada lini
kesehatan primer (gambar 2 dan 3). Tindakan
bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir
jika medikamentosa gagal atau jika terjadi
komplikasi yang tidak teratasi misalnya
perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis
usus fbrotik, obstruksi, degenerasi maligna
ataupun megakolon toksik yang sering terjadi
pada KU.
4,5
Skema ringkas metode pengobatan masing-
masing KU dan PC diilustrasikan dalam
gambar 4 dan 5.
Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole
dosis terbagi 1500 3000 mg per hari
dikatakan cukup bermanfaat menurunkan
derajat aktivitas penyakit, terutama PC.
Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi
antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar
belakang bahwa salah satu agen proinfamasi
disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian
besar bakteri intraluminal bersifat komensal
dan tidak menginduksi reaksi infamasi
namun mereka masih mampu memengaruhi
respons imun dan menginduksi sel epitel
intestinal untuk menekan kemotaksis,
menurunkan ekspresi sitokin proinfamasi
dan meningkatkan produksi interleukin 10.
10
Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal
dengan istilah disbiosis.
5
Pemberian probiotik
seperti laktobasilus berperan dalam upaya
mencapai kondisi 85% remisi klinis dan
endoskopis pada pasien pasca kolektomi.
14-16
Pengobatan Radang Aktif
Dua golongan obat yang dikenal luas untuk
mengobati radang aktif IBD bertujuan
menginduksi remisi secepat mungkin adalah
kortikosteroid dan asam amino salisilat.
Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid
masih merupakan obat pilihan untuk
IBD derajat sedang dan berat dalam
fase peradangan aktif. Pemilihan obat
steroid konvensional, seperti prednison,
metilprednisolon ataupun steroid enema,
masih menjadi primadona karena harga
yang murah dan ketersediaan yang luas.
Dosis umumnya adalah setara 40 60 mg
prednison. Namun, jangan dilupakan efek
sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai
kadar steroid yang tinggi pada dinding usus
namun dengan efek sistemik yang rendah.
Umumnya, preparat yang digunakan dewasa
ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai
dalam waktu 8 12 minggu yang kemudian
diikuti dengan penurunan dosis (tapering
down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga
Gambar 3 Algoritma rencana terapeutik PC di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama
4
Gambar 2 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan Primer
4
Tata Laksana khusus
Rujuk Bedah
Tata Laksana khusus
Megakolon
Tapering
Tapering
Tapering
Tapering
Bedah
Bedah
Gastroenteologi
bedah
Tapering
Tapering
251
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu
hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis di-
tapering of 2.5 mg per minggu.
1

Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau
mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat
sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil
meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia,
sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan
tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL,
serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk
mencapai remisi adalah 2 4 gram per hari
4
meski ada kepustakaan yang menyebutkan
penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per
hari.
1
Umumnya remisi tercapai dalam 16 24
minggu yang kemudian diikuti dengan dosis
pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 3
gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian
kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin
supositoria atau enema, sedangkan untuk
kasus berat, biasanya tidak cukup hanya
dengan menggunakan preparat 5-ASA.
Pengobatan Pencegahan
Keradangan Berulang
Untuk mencegah peradangan berulang,
dilakukan upaya mempertahankan masa
remisi selama mungkin melalui dosis
pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual
atau mengganti obat steroid pada fase
peradangan akut dengan obat-obatan
golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis
antibody, dan probiotik.
Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin,
dan metotreksat merupakan beberapa jenis
obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial
azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai
efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5
mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru
tercapai dalam 2 3 bulan. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia,
leukopeni, limfoma, hepatitis hingga
pankreatitis.
Siklosporin intravena diketahui dapat
bermanfaat untuk kasus akut KU refrakter
steroid dengan angka keberhasilan 50 80%.
Efek samping yang sering dilaporkan meliputi
gangguan ginjal dan infeksi oportunistik.
Sedangkan metotreksat dikenal sebagai
preparat yang efektif untuk kasus PC steroid
dependent sekaligus untuk mempertahankan
remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg
intramuskular atau subkutan per minggu
hingga selesai tapering of steroid.
Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang
dikenal juga sebagai agen biologik banyak
dicoba pada IBD, misalnya infiksimab yang
memiliki anti-tumor necrosing factor (anti-
TNF). Umumnya digunakan untuk kasus-
kasus PC fstulated sedang dan berat (refrakter
steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II adalah
studi yang meneliti dosis infiksimab sebagai
pemeliharaan PC. Dalam studi tersebut
diajukan dosis infiksimab 5 mg 10 mg/kgbb
selama 8 minggu.
2

Agen lain adalah obat yang bekerja pada
interleukin 6 (IL-6) sebagai salah satu sitokin
proinfamasi. Penggunaan tocolizumab,
suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis
sebesar 70% setelah 6 minggu.
16
Terakhir,
sedang dikembangkan penggunaan G-CSF
(flgrastim) dan GM-CSF (sargramostim),
suatu growth factor. Meski menjanjikan,
mekanisme kerja kedua modalitas ini belum
jelas.
2
Secara umum, semua modalitas sangat
menjanjikan namun masih sangat mahal. Di-
harapkan, golongan obat baru ini dapat lebih
terjangkau sehingga dapat diimplementasikan
secara nyata dalam terapi IBD.
Gambar 5 Ulasan ringkas regimen terapi PC
Gambar 4 Ulasan ringkas regimen terapi pada KU
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
252
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of infammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 55.
2. Sands BE. New therapies for the treatment of infammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2006; 86: 104564.
3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management of IBD in 2010. Infamm
Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
4. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia 2011.
5. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic infammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 725.
6. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Ulcerative colitis in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gut
2000; 46(3): 336-43.
7. Bossuyt X. Serologic markers in infammatory bowel disease. Clinical Chem 2006;52(2):171-81.
8. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships between infammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and paternal disease are
related to preterm birth ofspring. Infamm Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.
9. Rowe WA, Katz J. Infammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April 2012]. Tersedia pada http://www.medscape.com
10. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of syndecans in tissue injury and infammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.
11. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-defcient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57.
12. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in infammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15.
13. Mokrowiecka A, Daniel P, Slomka M, Majak P, Malecka-Panase E. Clinical utility of serological markers in infammatory bowel disease. Hepatogastroenterology. 2009;56(89):162-6.
14. Haller D, Serrant P, Peruisseau G. Il-10 producing CD14 low monocytes by commensal bacteria. Microbiol Immunol 2002;46:195205.
15. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, et al. Oral bacteriotherapy as maintenance treatment in patients with chronic pouchitis: a double-blind, placebo-controlled trial. Gastroenterology.
2000;119:3059.
16. Mimura T, Rizzello G, Helwig U, et al. Once daily high dose probiotic therapy (VSL#3) for maintaining remission in recurrent or refractory pouchitis. Gut. 2004;53:10814.
17. Ito H, Takazoe M, Fukuda Y, et al. A pilot randomized trial of a human anti-interleukin-6 receptor monoclonal antibody in active Crohns disease. Gastroenterology. 2004;126(4):98996.

You might also like