Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Imflammat or y Bowel Disease Mohammad Adi Firmansyah PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Infammatory bowel disease (IBD) yang terbagi atas kolitis ulseratif dan penyakit Crohn merupakan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Gambaran klinis IBD sangat berkaitan dengan patogenesis IBD. Faktor genetik diduga berperan penting, misalnya peranan gen CARD15 dan syndecan-1. Beberapa pemeriksaan serologi, misalnya Anti-saccharomyces cerevisiase antibody (ASCA), perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), dan beberapa pemeriksaan baru, seperti kadar ekspresi syndecan-1 (Sdc-1), OmpC, I2, dan fagelin CBir1, diketahui dapat membantu menegakkan diagnosis IBD. Namun, pemeriksaan endoskopi tetap merupakan modalitas utama dalam penegakan diagnosis IBD. Steroid dan 5-aminosalilisat sejauh ini masih merupakan pilihan terapi IBD. modalitas baru, seperti anti-tumor necrosing factor, anti-interleukin-6, dan probiotik, banyak diteliti peranannya dalam penanganan IBD. Kata kunci: infammatory bowel disease, kolitis ulseratif, penyakit Crohn, syndecan-1, ASCA, p-ANCA ABSTRACT Infammatory bowel disease (IBD) consisting of Ulcerative Colitis and Crohns disease is an idiopathic and chronic infammatory condition of the gastrointestinal tract. Genetic factors such as CARD15 gene and Syndecan-1 is suspected play an important role. The clinical features of IBD is associated with the pathogenesis of IBD. Some serologic tests had known to aid diagnosis of IBD such as Anti-Saccharomyces cerevisiase antibody (ASCA), perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), and several new tests such as the levels of expression of Syndecan-1 (SDC-1), OMPC, I2, and fagelin CBir1. However, endoscopy remains the main modality in the diagnosis of IBD. Steroids and 5-aminosalicylate so far is still the preferred treatment of IBD. New modalities such as anti-tumor necrosing factor, anti-interleukin-6, probiotics are widely studied in IBD treatment. Mohammad Adi Firmansyah. Recent Advances in Diagnosis and Management of Infammatory Bowel Disease. Key words: infammatory bowel disease, ulcerative colitis, Crohns disease, syndecan-1, ASCA, p-ANCA PENDAHULUAN Infammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassifed (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate colitis). 1
Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna. 1-3 Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke- II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah. 4 Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai remisi tanpa penggunaan obat- obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif yakni pasien mengalami remisi hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama. Mengingat patofsiologi IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan pada saluran cerna maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-infamasi atau imunosupresan. 2,3,5 Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi. Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan yakni rencana diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional. Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada rencana terapeutik IBD. EPIDEMIOLOGI Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan mengalami KU ataupun PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000 individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000 Alamat korespondensi email: madif12@gmail.com 247 CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 TINJAUAN PUSTAKA CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 248 TINJAUAN PUSTAKA penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk. 6 Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih didasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus PC dan KU dari seluruh total kasus kolonoskopi yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih banyak daripada kasus PC. 4 Secara global dikatakan bahwa insidens IBD adalah 10 kasus per 100.000 penduduk, KU 2.214.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC 3.114.6 kasus per 100.000 penduduk. 6 ETIOPATOGENESIS Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada fora normal usus yang berakibat terjadinya infamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifkasinya gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD. 7 Secara genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD. 8
Secara konsep, patogenesis IBD dapat digambarkan seperti pada gambar 1. Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses infamasi pada dinding usus. 4 Banyak mediator infamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 (Th-2) berperan dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan memicu terjadinya kaskade proses infamasi kronik. 9
Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa adanya heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas berbagai faktor infamasi. 10
Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari HSPGs yang menutup permukaan sel epitel. 11 Sdc-1 memiliki beragam peranan biologis diantaranya penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons infamasi. Peranan Sdc-1 dalam hal respons infamasi adalah dengan mengatur sinyal sitokin pro-infamasi, khususnya tumor necrosis factor- (TNF-). 11 Day dkk (1999) mendapatkan adanya penurunan ekspresi Sdc-1 pada pasien-pasien KU yang dikaitkan dengan gangguan penyembuhan ulkus pada kolon. 12
Floer dkk melakukan penelitian pada tikus percobaan dengan defsit ekspresi Syndecan -1 (Sdc-1). 11 Ia mendapatkan bahwa Sdc-1 berperan dalam mempertahankan integritas mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel epitel, proliferasi sel, ekspresi kemokin dan sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi Sdc-1 akan meningkatkan ekspresi sitokin pro-infamasi terutama TNF-, selain itu juga mengganggu proses penyembuhan luka. Dalam studinya, Floer mendapatkan bahwa pemberian enoxaparin mampu mengurangi kerusakan kolon pada tikus dengan defsit ekspresi Sdc-1. 11 Pengetahuan ini penting karena memberikan alternatif baru dalam hal penatalaksanaan IBD. Gambar 1 Konsep dasar patogenesis IBD 4 Tabel 1 Gambaran Klinis IBD Klinis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC) Diare kronik ++ ++ Hematoschezia ++ + Nyeri perut + ++ Massa abdomen (-) ++ Fistulasi + ++ Stenosis/ striktur + ++ Keterlibatan usus halus + ++ Keterlibatan rectum 95% 50% Ekstra-intestinal + + Megatoksik kolon + + Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada 249 CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 TINJAUAN PUSTAKA Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Infamasi hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC. 4,9 Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni adanya peradangan, striktur, dan fstula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area. 4,9 GAMBARAN KLINIS Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan nutrisi. 3,4,9 Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase remisi. 4 Pemahaman atas proses infamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD. Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon sedangkan pada PC lebih bervariasi. Perbedaan gambaran klinis dan patologis antara KU dan PC disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus. 4 Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun penetapan fase remisi yakni Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi serta penilaian keadaan umum pasien. PENATALAKSANAAN IBD Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni rencana diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional. Rencana Diagnostik Pemeriksaan Serologik untuk Penanda IBD Secara laboratorik, tidak ada parameter yang spesifk untuk IBD. Umumnya yang digunakan adalah parameter penanda infamasi secara umum seperti laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP serum berkorelasi positif dengan aktivitas penyakit dan dengan penanda infamasi lainnya sesuai dengan indeks aktivitas PC. Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien IBD dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlunya dilakukan kolektomi. 7
Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Dewasa ini, dikatakan pula bahwa pemeriksaan serologi dapat membantu menegakkan diagnosis IBD dan dapat membedakan antara KU dan PC yakni dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody) untuk pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae antibody (ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA ditemukan pada 50-67% kasus KU meski juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15% kasus PC. ASCA lebih sering dijumpai pada PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada KU. 7
Sayangnya, pemeriksaan ini tidak terlalu sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal. 10
Meski begitu, kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA dapat membantu meningkatkan spesifsitas hingga lebih dari 90%. Pola hasil kombinasi untuk KU adalah ASCA negatif/p-ANCA positif sedangkan untuk PC adalah ASCA positif/p-ANCA negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua pemeriksaan ini tidak dianjurkan mengingat kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi setelah terapi. 7 Terdapat penurunan kadar ekspresi Syndecan-1 (Sdc-1) pada IBD khususnya pada KU. 11,12 Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1 dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit IBD meski masih terbatas guna kepentingan penelitian. Baru-baru ini, adanya target antigen mikroba khusus seperti OmpC (Eschericia coli outer membrane porin), I2, dan fagelin CBir1 pada sebagian besar pasien PC. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jumlah atau tingkat respons imun terhadap beberapa antigen berkaitan dengan keparahan perjalanan penyakit. Hal ini memerlukan penelitian-penelitian yang lebih dalam lagi. 7
Tabel 2 Gambaran Patologis IBD Patologis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC) Lesi bersifat segmental (skip area) (-) ++ Lesi bersifat transmural + +/++ Granuloma (-) 50% Fibrosis + ++ Fistulasi + ++ Predileksi anatomis + +/++ Ileo-saekal + ++ Rektum ++ + Gambaran patologis Abses kripti, distorsi kripti, infltrasi sel MN dan PMN di lamina propria Granuloma tuberukoloid, infltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propria Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 250 TINJAUAN PUSTAKA Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting dalam penegakan diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik berkisar 89%. 4 Umumnya, pemeriksaan endoskopi diikuti dengan pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat dilakukan sebagai alat konfrmasi endoskopi. Rencana Terapeutik Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade proses infamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer (gambar 2 dan 3). Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis usus fbrotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada KU. 4,5 Skema ringkas metode pengobatan masing- masing KU dan PC diilustrasikan dalam gambar 4 dan 5. Pengobatan Umum Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 3000 mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinfamasi disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi infamasi namun mereka masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinfamasi dan meningkatkan produksi interleukin 10. 10 Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan istilah disbiosis. 5 Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca kolektomi. 14-16 Pengobatan Radang Aktif Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam amino salisilat. Kortikosteroid Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah setara 40 60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 12 minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga Gambar 3 Algoritma rencana terapeutik PC di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama 4 Gambar 2 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan Primer 4 Tata Laksana khusus Rujuk Bedah Tata Laksana khusus Megakolon Tapering Tapering Tapering Tapering Bedah Bedah Gastroenteologi bedah Tapering Tapering 251 CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 TINJAUAN PUSTAKA tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis di- tapering of 2.5 mg per minggu. 1
Asam Aminosalisilat Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 4 gram per hari 4 meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per hari. 1 Umumnya remisi tercapai dalam 16 24 minggu yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 3 gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA. Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik. Imunomodulator Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru tercapai dalam 2 3 bulan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga pankreatitis. Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 80%. Efek samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering of steroid. Agen Baru Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen biologik banyak dicoba pada IBD, misalnya infiksimab yang memiliki anti-tumor necrosing factor (anti- TNF). Umumnya digunakan untuk kasus- kasus PC fstulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II adalah studi yang meneliti dosis infiksimab sebagai pemeliharaan PC. Dalam studi tersebut diajukan dosis infiksimab 5 mg 10 mg/kgbb selama 8 minggu. 2
Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6) sebagai salah satu sitokin proinfamasi. Penggunaan tocolizumab, suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis sebesar 70% setelah 6 minggu. 16 Terakhir, sedang dikembangkan penggunaan G-CSF (flgrastim) dan GM-CSF (sargramostim), suatu growth factor. Meski menjanjikan, mekanisme kerja kedua modalitas ini belum jelas. 2 Secara umum, semua modalitas sangat menjanjikan namun masih sangat mahal. Di- harapkan, golongan obat baru ini dapat lebih terjangkau sehingga dapat diimplementasikan secara nyata dalam terapi IBD. Gambar 5 Ulasan ringkas regimen terapi PC Gambar 4 Ulasan ringkas regimen terapi pada KU CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013 252 TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA 1. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of infammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 55. 2. Sands BE. New therapies for the treatment of infammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2006; 86: 104564. 3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management of IBD in 2010. Infamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24. 4. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2011. 5. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic infammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 725. 6. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Ulcerative colitis in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gut 2000; 46(3): 336-43. 7. Bossuyt X. Serologic markers in infammatory bowel disease. Clinical Chem 2006;52(2):171-81. 8. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships between infammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and paternal disease are related to preterm birth ofspring. Infamm Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55. 9. Rowe WA, Katz J. Infammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April 2012]. Tersedia pada http://www.medscape.com 10. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of syndecans in tissue injury and infammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66. 11. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-defcient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57. 12. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in infammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15. 13. Mokrowiecka A, Daniel P, Slomka M, Majak P, Malecka-Panase E. Clinical utility of serological markers in infammatory bowel disease. Hepatogastroenterology. 2009;56(89):162-6. 14. Haller D, Serrant P, Peruisseau G. Il-10 producing CD14 low monocytes by commensal bacteria. Microbiol Immunol 2002;46:195205. 15. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, et al. Oral bacteriotherapy as maintenance treatment in patients with chronic pouchitis: a double-blind, placebo-controlled trial. Gastroenterology. 2000;119:3059. 16. Mimura T, Rizzello G, Helwig U, et al. Once daily high dose probiotic therapy (VSL#3) for maintaining remission in recurrent or refractory pouchitis. Gut. 2004;53:10814. 17. Ito H, Takazoe M, Fukuda Y, et al. A pilot randomized trial of a human anti-interleukin-6 receptor monoclonal antibody in active Crohns disease. Gastroenterology. 2004;126(4):98996.
[03241750 - Acta Medica Bulgarica] Extraintestinal Manifestations and Intestinal Complications in Patients with Crohn's Disease_ Associations with Some Clinico-Laboratory Findings, Immunological Markers and Therapy.pdf