You are on page 1of 18

Latar Belakang: Untuk mengidentifikasi faktor resiko pra-operasi , perioperatif dan pasca

operasi yang mempengaruhi keberhasilan pembedahan pterygium .



Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan tiga puluh enam pasien yang
memiliki pterygia primer atau berulang. Sebuah anamnesis rinci dan pemeriksaan oftalmologi
dilakukan untuk mencari faktor-faktor berikut : usia, ras, garis lintang dan ketinggian tempat
tinggal, lama terpapar sinar matahari, penggunaan UV protektif, klasifikasi pterygium, lebar
pterygium di limbus, teknik bedah (autograft konjungtiva ditambah penjahitan dibandingkan
lem jaringan), perubahan graft (misapposition, granuloma, perdarahan, edema, retraksi atau
nekrosis), dan gejala pasca operasi (sensasi benda asing, nyeri). Pemeriksaan dilakukan pada
hari ke 2 dan ke 7 dan bulan ke 2, 6 dan 12 setelah operasi. Selain itu, kekambuhan
didefinisikan sebagai setiap pertumbuhan konjungtiva ke kornea .

Hasil: Analisis data yang digunakan adalah logistik dan analisis survival. Tiga puluh enam
pasien sudah menyelesaikan follow up selama satu tahun. Sebanyak 13 pasien lahir dan tinggal
di Spanyol, dan 26 lainnya berasal dari Amerika Latin. Sejumlah 8 laki-laki (tidak ada
perempuan) menunjukkan kekambuhan, terutama antara 2 dan 6 bulan. Lamanya terpapar
sinar matahari selama kehidupan mereka secara independen berkaitan dengan keberhasilan
pembedahan. Pterigium dengan kelebaran kurang dari 5 mm menunjukkan positif lemah
terhadap kekambuhan.Tidak satu pun dari faktor-faktor lain dianggap secara signifikan terkait
dengan kekambuhan.

Kesimpulan: Jenis kelamin pria dan paparan sinar matahari sangat berkaitan dengan
keberhasilan bedah setelah pengangkatan pterygia .

Kata kunci: Faktor risiko, paparan sinar matahari, pembedahan Pterygium, konjungtiva
autograft

Pterygium adalah jaringan fibrovascular berbentuk sayap melewati limbus
menuju kornea.
Pterigium merupakan penyakit mata bagian luar yang paling umum, tetapi
berpotensi pada kebutaan, sehingga dilakuakan pembedahan ntuk
mencegahnya.
Kekambuhan setelah eksisi masih menjadi tantangan yang besar.
Saat ini, pembedahan konjungtiva autograft merupakan prosedur pilihan
untuk pengobatan pterigium primer maupun berulang.

Patogenesis pterygia masih belum dipahami.
Beberapa penelitian mengungkapkan adanya multi faktor yang berkorelasi
dan saling berkaitan.
Penelitian terbaru menunjukan adanya mekanisme anti-apoptosis,
mekanisme imunologi, sitokin, faktor pertumbuhan, modulator matriks
ekstraseluler, faktor genetik dan infeksi virus, diantara faktor lain yang
mungkin
Tingkat prevalensi bervariasi (dari 2 % menjadi 29%)
Prevalensi meningkat pada daerah geografis yang menuju khatulistiwa dan
pada orang-orang yang bekerjadi luar ruangan.
Selain itu, berhubungan dengan daerah pedesaan, usia dan jenis kelamin
laki-laki yang berhubungan dengan bekerja di luar ruangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor resiko pra-
operasi, perioperatif dan pasca operasi yang mempengaruhi keberhasilan
pembedahan pterygium
Penelitian ini adalah penelitian prospektif, yang melibatkan tiga puluh enam
pasien dengan pterygia primer atau berulang, yang dirawat di RS Dr Peset
(Valencia, Spanyol) dari September 2007 sampai Juli 2008.
anamnesis rinci dan pemeriksaan oftalmologi dilakukan untuk mengevaluasi:
tempat tinggal utama, lamanya paparan sinar matahari, penggunaan UV
proteksi, klasifikasi pterygium, lebar pterygium di limbus, dan teknik bedah
(autograft konjungtiva ditambah penjahitan dibandingkan lem jaringan)
Kriteria inklusi: Pasien dengan pterygia primer atau berulang, yang operasi
direkomendasikan berdasarkan indikasi:
1. Gangguan visus baik melalui invasi ke celah pupil atau astigmatisme kornea (lebih
dari 2 dioptri diukur dengan topografi kornea dan tidak terkait dengan penyebab
lain ).
2. Adanya pembesaran dari waktu ke waktu menuju pusat kornea.
3. Gejala peradangan kronis (sensasi benda asing atau nyeri, hiperemia, dellen, defek
epitel kornea).

Kriteria eksklusi: Pasien dengan patologi lain, seperti:
1. infeksi pada permukaan mata yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka,
2. penyakit jaringan ikat
3. penyakit diabetes melitus
Teknik bedah yang digunakan yaitu pasien diacak menjadi 2 subkelompok :
1. kelompok Tissue Glue (TG)
2. kelompok Mersilk (MG).

Tissue glue digunakan untuk menempelkan auto graft pada 21 pasien dan
7.0 Mersilk digunakan untuk menjahit pada 18 kasus
Semua pasien dioperasi oleh dokter bedah yang sama (LM).
Prosedur dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal menggunakan lidokain 2%.
Pemotongan pterygium dibuat dari kepala menuju badan.
Kemudian dieksisi bersama dengan kapsul tenon yang mendasari.
Skar episclera dibuang dan katerisasi minimal digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Luas defek konjungtiva diukur dengan jangka lengkung
Mengukur konjungtiva limbus auto graft sesuai ukuran yang sama seperti defek konjungtiva
yang diperoleh pada kuadran superotemporal dari konjungtiva bulbar yang bebas pterigium.
Sebelum pemotongan graft, suntikan lidokain 2% di bawah konjungtiva.
Selanjutnya, konjungtiva dipotong dari forniks menuju limbus, pemotongan graft diperpanjang
sebesar 0,5 mm ke kornea yang jernih untuk mencapai limbus.
Pemotongan secara teliti dilakukan untuk membuang kapsul Tenon sebanyak yang mungkin
Kelompok dengan penggunakan teknik jahit, bagian limbus dari graft
dijahit pada konjungtiva yang berdekatan dan episklera dengan 2 jahitan
menggunakan 7-0 Mersilk.
Kelompok dengan menggunakan lem jaringan, satu tetes larutan
trombin diteteskan di atas sclera (defek konjungtiva setelah dieksisi) dan
satu tetes larutan konsentrat protein diteteskan diatas sisi stroma graft
kemudian graft segera ditempatkan diatas sklera tadi.
Terapi pascaoperasi menggunakan kombinasi Tobramycin-
Dexametasone setiap enam jam, Pranoprofen tetes mata setiap enam
jam selama empat minggu dan Povidone air mata buatan setiap enam
jam selama dua bulan.
Follow up pasca operasi dilakukan oleh seorang dokter mata tunggal (AT) .
Pemeriksaan dilakukan pada hari ke 2 dan ke 7 dan bulan ke 2, 6 dan 12
setelah pembedahan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah untuk mengevaluasi : Segmen anterior
dan autograft (pembentukan granuloma, perdarahan subconjunctival, edema,
nekrosis, retraksi dan menganga atau pergeseran graft-tempatnya)
dievaluasi dengan pemeriksaan biomickroskopik slit lamp, dan gejala pasca
operasi dinilai menjadi 4 kelompok: asimtomatik, sensasi-benda asing, nyeri
ringan atau nyeri berat (didefinisikan oleh permintaan untuk mengkonsumsi
analgesik oral)

Analisis statistik telah dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik R
dengan metode analisis regresi logistik dan analisis survival
Statistik untuk usia menunjukkan pasien yang menderita kekambuhan lebih
sedikit daripada yang tidak kambuh, walaupun perbedaan ini tidak signifikan
secara statistik (p-value=0.4107)

Table ini dapat menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko
yang paling penting untuk hasil pembedahan

Variabel yang paling mempengaruhi keberhasilan terhadap pembedahan adalah
jenis kelamin. Semua pasien yang menderita kekambuhan adalah laki-laki.
Variabel kedua yang paling penting adalah lamanya terpapar sinar matahari,
terutama pada hari kerja, tetapi juga pada hari libur (non-kerja).
Tidak ada hubungan yang jelas antara kekambuhan dan upaya perlindungan (PM),
ras (R), ketinggian (ALT) dan lintang (LAT) dari tempat tinggal utama, jenis
pterygium (PT), pterygia primer berulang (PR), teknik bedah (ST) dan miss-aposisi
(MA).
Pasien yang kambuh adalah usia yang lebih muda daripada mereka yang tidak
kambuh (tapi statistik tidak signifikan).
Hanya ukuran pterigium yang sempit (kurang dari 5 mm) menunjukkan positif
lemah untuk terjadinya kekambuhan
Jenis kelamin laki-laki dan paparan sinar matahari merupakan dua hal kuat
yang dapat dihubungkan dengan kesuksesan operasi pasca operasi pterigia.
Paparan sinar matahari sepanjang kehidupan dan jenis kelamin laki-laki
perlu diperhitungkan sebagai faktor resiko tambahan untuk kejadian
rekurensi pasca transplantasi pterigium

You might also like