Taufik Suryadi 1 , Reysa Nanda 2 , Agustina 2 , Caesar Nurhadiono 2 , Hirli Septiana Sari 2 , Rizky Wahyuni 2 , Rizqhiyatul Ulfa 2 , Dessy Maulizar 2 , Lisa Widyana 2 , Masrura 2 , Sri Wahyuni 2 1 Departemen /SMF Kedokteran Forensikdan Medikolegal, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin, 2 Dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBandaAceh PENDAHULUAN Dalam perundang-undangan setelah Indonesia merdeka sebenarnya kata visum et repertum tidak disebutkan secara tersurat, hanya disebutkan sebagai keterangan ahli di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133. Pernyataan tentang visum et repertum yang tersurat ada pada staatblad No. 350 tahun 1937 yang menyatakan visa et reperta adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter yang telah menyelesaikan pendidikanya baik di Indonesia ataupun negeri Belanda.... Sering sekali para mahasiswa bahkan dokter salah memahami kata visum et repertum yang menganggap bahwa visum et repertum merupakan kata kerja karena sering kita dengar dan saksikan di televisi tersiar berita seorang korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit untuk divisum, padahal sebenarnya kata visum et repertum merupakan kata benda, jadi seharusnya yang benar dari berita di televisi adalah seorang korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik untuk pembuatan visum et repertum. Definisi visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan resmi dari penyidik tentang pemeriksaan medis forensik terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Kasus klinik yang terbanyak dimintakan pemeriksaan forensik adalah kasus trauma fisik lalu berikutnya trauma seksual dan psikologis. Pada pembuatan visum et repertum dari hasil pemeriksaan korban trauma fisik yang terpenting adalah penentuan derajat kualifikasi luka pada korban hidup dan penentuan sebab kematian pada korban meninggal. Pada pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3 dijelaskan Dalam hal penyidik memeriksa seorang korban baik luka, keracunan atau mati karena tindak pidana, ia berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Pada penjelasan pasal tersebut yang dimaksud luka adalah kecederaan atau trauma atau ruda paksa akibat kekerasan fisik (tubuh/jasmani), kekerasan psikis (kejiwaan/rohani) dan kekerasan seksual. Terjemahan dari pasal ini adalah bahwa keterangan ahli tersebut dimintakan pertama sekali kepada ahli kedokteran kehakiman (kedokteran forensik), atau dokter (dokter layanan primer, dokter spesialis dan dokter subspesialis bersama-sama dengan ahli forensik atau langsung sendiri melakukan pemeriksaan seperti ahli kebidanan dan kandungan memeriksa kasus kekerasan seksual) atau ahli lainnya (tetap dokter juga, seperti ahli Telinga Hidung Tenggorok (THT) pada kasus kekerasan pada telinga, ahli mata pada kekerasan pada mata, ahli toksikologi untuk kasus keracunan, ahli 2 psikiatri untuk kasus trauma psikis dan lain- lain). Berdasarkan catatan medik di RSU dr.Zainoel Abidin Banda Aceh kurun waktu 2012-2013 berkisar 60-70% kasus yang datang ke rumah sakit terutama di instalasi gawat darurat adalah kasus perlukaan atau trauma fisik Dalam melaksanakan tugas sehari-harinya, seorang dokter di rumah sakit selain melakukan pemeriksaan diagnostik serta memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati antara lain adalah adalah pembuatan Visum et Repertum (VeR). VISUM ET REPERTUM Visum et Repertum merupakan suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah danuntuk kepentingan peradilan. Rumusan yang jelas tentang pengertian VeR telah dikemukakan pada seminar visum et repertumdi Medan pada tahun 1981 yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentangsegala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut. Menurut Budiyanto dkk, dasar hukum pembuatan VeR adalah sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Pejabat yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanyamempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP. Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, 3 menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Prosedur pengadaan VeR korban hidup berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan VeR korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahankorban sebagai barang bukti. Hal- hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita, melainkan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk VeR. Korban hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, makahendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan VeR harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yangmeminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis. STRUKTUR VISUM ET REPERTUM Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut: 1. Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermeterai. 2. Pendahuluan Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitassubjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan. 3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yangtertinggal. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaanterdiri dari: a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan. b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya 4 uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis). c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil. d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yangdiberikan. 4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati- hati. Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnyayang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan sertadibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR. TRAUMA FISIK Luka akibat trauma fisik adalah keadaan hilang atau terputusnya jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan(Idris, 1997). Klasifikasi Luka Menurut Idris (1997) dan Ashari (2013), luka berdasarkan benda penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi 1) Luka akibat kekerasan tumpul Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka yaitu luka lecet, memar dan luka robek atau luka terbuka. a. Luka lecet Luka lecet adalah luka yang disebabkan oleh rusaknya atau lepasnya lapisan luar dari kulit. Deskripsi luka lecet: - Bentuk luka tidak teratur - Batas luka tidak teratur - Tepi luka tidak rata - Kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan 5 - Permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah mongering) - Warna coklat kemerahan Gambar 1. Luka lecet b. Luka memar Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi setelah orang masih hidup, dikarenanakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Deskripsi luka memar: - Bentuknya tidak teratur - Garis batas memar tidak begitu tegas - Batas luka terlihat sedikit menonjol (bengkak), berwarna merah kebiruan 4- 5 hari berubah menjadi kuning kehijauan dan lebih dari seminggu berubah menjadi kekuningan. - Terdiri atas kulit yang masih utuh. - Disekitar luka memar tidak ditemukan kelainan. Gambar 2. Luka memar c. Luka robek Luka robek atau luka terbuka adalah luka yang disebabkan oleh persentuhan dengan kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan dibawahnya. Deskripsi luka: - Bentuk garis batas luka tidak teratur dan tepi luka tidak rata. - Bila ditautkan tidak dapat rapat( karena sebagian jaringan hancur) - Tebing luka tidak rata serta terdapat jembatan jaringan. - Disekitar garis batas luka ditemukan memar. - Lokasi luka lebih mudah terjadi pada daerah yang dekat dengan tulang(misalnya daerah kepala, muka atau ekstremitas). - Akar rambut tampak hancur atau tampak tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut. - Disekitar luka robek sering tampak adanya luka robek atau luka memar.
Gambar 3. Luka robek 2) Luka akibat kekerasan tajam Luka akibat kekerasan tajamadalah putus atau rusaknya kontinuitas jaringan yang disebabkan karena trauma akibat alat/senjata yang bermata tajam atau berujung runcing. Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka iris atau luka sayat, luka tusukdan luka bacok. a. Luka iris/luka sayat (incised wound) Luka iris adalah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit. 6 Deskripsi luka: - Bentuknya garis memanjang - Ukuran lebar luka sayat lebih dari ukuran dalamnya. - Pinggir luka rata - Sudut luka lancip - Menimbulkan perdarahan yang banyak. - J embatan jaringan tidak ada. - Ada celah pada permukaan - Semua jaringan otot, pembuluh darah, saraf dan rambut terputus. - Luka tidak sampai mengenai tulang. Gambar 4. luka iris/ luka sayat b. Luka tusuk (stab wound) Luka tusuk adalah luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Deskripsi luka: - Berbentuk seperti luka tembus - Tepi luka rata - Sudut luka tajam - Tebing luka rata terdiri atas kulit, jaringan ikat, jaringan lemak dan otot. - Ada memar atau ekimosis disekitarnya - Tidak ditemukannya jembatan jaringan, dan dasar luka tidak terlihat pada pemeriksaan luar. Gambar 5. Luka tusuk c. Luka bacok (chop wound) Luka bacok adalah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Deskripsi luka: - Bentuk luka menganga dan besar - Pinggir luka rata - Garis batas luka teratur - Sudut luka runcing bila ditautkan akan menjadi rapat. - Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan - Menimbulkan kerusakan pada tulang dan memutuskan bagian tubuh yang terkena bacokan. - Kadang-kadang terdapat memar, abrasi. Gambar 6. Luka bacok 3) Luka akibat tembakan senjata api Luka tembak adalah luka yang disebabkan adanya penetrasi anak peluru atau persentuhan peluru dengan tubuh. 7 Gambar 7. Luka tembak a. Luka tembak tempel deskripsi luka: - Bentuknya seperti luka (cruciform) - Sering terdapat memar berbentuk sirkuler disekitarnya. - Terdapat jelaga pada jaringan tepi luka. - Terdapat tato disekitarnya. b. Luka tembak dekat deskripsi luka: - Bentuk luka bulat - Bagian tengah berupa lubang - Bagian tepinya dikelilingi cincin lecet - Diameter cincin lecet sedikit lebih kecil dari diameter anak peluru. - Terdapat tato - Rambut disekitarnya terbakar c. Luka tembak jauh deskripsi luka: - Bentuk bulat - Bagian tengah berupa lubang - Bagian tepinya dikelilingi oleh cincin lecet - Diameter cincin lecet sedikit lebih kecil dari diameter anak peluru - Tidak ditemukan produk dari ledakan mesiu 4) Luka bakar Luka bakar cirinya tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhu serta lamanya kontak dengan kulit. - Luka bakar derajat satu berwarna kemerahan, sedikit bengkak, kulit kering dan tidak lepuh. - Luka bakar derajat dua, kulit berair disertai lepuh, berwarna merah atau pucat dan letaknya lebih tinggi dari kulit. - Luka bakar derajat tiga, kulit berwarna abu-abu, letak lebih rendah dari kulit dan rambut rusak. Gambar 8. Luka bakar Aspek Medikolegal pada Luka Menurut Dahlan (2003), dalam pembuatan visum et Repertum, kelainan yang terjadi akibat trauma dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu: 1. Aspek medik 2. Aspek yuridis Aspek medik Konsekuensi dari luka yang ditimbulkan oleh trauma dapat berupa: 1. Kelainan fisik/organik Bentuk dari kelainan fisik atau organik ini dapat berupa: a. Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh. b. Hilangnya sebagian atau seluruh organ tertentu. 2. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu. Bentuk dari gangguan fungsi ini tergantung dari organ atau bagian tubuh yang terkena trauma. Contohnya lumpuh, buta, tuli atau terganggunya fungsi organ- organ dalam. 3. Infeksi Kulit atau membran mukosa merupakan barier terhadap infeksi. Bila kulit atau membran rusak maka kuman akan masuklewat pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat daerah memar atau iritasi 8 akibat benda terkontaminasi oleh kuman. J enis kuman dapat berupa Streptokokus, Staphylococcus, E.Coli, Proteus vulgaris, Clostridium tetani serta kuman yang menyebabkan gas gangren. 4. Penyakit Trauma sering dianggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi. 5. Kelainan psikis Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat menjadi precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang spektrumnya luas. Secara umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan tubuh atau organ dengan psikosis post trauma didasarkan atas: a. Keadaan mental benar-benar sehat sebelum trauma. b. Trauma telah merusak susunan saraf pusat. c. Trauma tanpa mempersoalkan lokasinya, mengancam kehidupan seseorang. d. Trauma menimbulkan kerusakan pada bagian yang struktur atau fungsinya dapat mempengaruhi emosi organ genital, payudara, mata, tangan atau wajah. e. Korban cemas akan lamanya waktu penderitaan. f. Psikosis terjadi dalam tenggang waktu yang masuk akal. g. Korban dihantui oleh kejadian (kejahatan atau kecelakaan) yang menimpanya. Aspek Yuridis J ika dari sudut medik, luka merupakan kerusakan jaringan baik disertai atau tidak disertai kontinuitas permukaan kulit) akibat trauma maka dari sudut hukum, luka merupakan kelainan yang dapat disebabkan oleh suatu tindak pidana, baik yang bersifat intensional (sengaja), recklessness (ceroboh) atau negligence (kurang hati-hati). Untuk menentukan berat ringannya hukuman perlu ditentukan lebih dahulu berat ringannya luka. Kebijakan hukum pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut didasarkan atas pengaruhnya terhadap: a) Kesehatan jasmani b) Kesehatan rohani c) kelangsungan hidup janin di dalam kandungan d) Estetika jasmani e) Pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencarian f) Fungsi alat indera 1. Luka ringan Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. 2. Luka sedang Luka sedang adalah luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk sementara waktu. 3. Luka berat Luka berat adalah luka yang sebagaimana diuraikan dalam pasal 90 KUHP yang terdiri atas : a. Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapakan akan sembuh sempurna. Pengertian tidak sembuh sempurna lebih ditujukan pada fungsinya, contohnya trauma pada satu mata yang menyebabkan robeknya kornea. b. Luka yang mendatangkan bahaya maut, yang berarti memiliki potensi untuk menimbulkan kematian, tetapi sesudah diobati dapat sembuh. c. Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Luka yang dari sudut medik tidak membahayakan jiwa, dari sudut hukum dapat dikategorikan sebagai luka berat, contonya trauma pada tangan kiri pemain biola atau pada wajah seorang peragawati 9 dapat dikategorikan luka berat jika akibatnya mereka tidak dapat menjalankan lagi pekerjaan tersebut selamanya. d. Kehilangan salah satu dari panca indera J ika trauma menyebabkan kebutaan satu mata atau kehilangan pendengaran satu telinga, tidak dapat digolongkan kehilangan indera, namun tetap digolongkan sebagai luka berat berdasarkan butir (a). e. Cacat besar atau kudung f. Lumpuh g. Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya pikir tidak harus berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga berupa amnesia, disorientasi, anxietas, depresi atau gangguan jiwa lainnya. h. Keguguran atau kematian janin seorang perempuan Keguguran adalah keluarnya janin sebelum masa waktunya, yaitu tidak didahului oleh proses yang sebagaimana umumnya terjadi seorang wanita ketika melahirkan. Kematian janin mengacu pada janin yang tidak lagi menunjukkan tanda-tanda hidup, tidak dipersoalkan bayi keluar atau tidak dari perut ibunya. TATA LAKSANA PEMERIKSAAN Barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et repertumnya seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum denganidentitas korban yang diperiksa. Dalam prakteknya, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat). Korban hidup juga merupakan pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Surat permintaan visum et repertum harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dantempat tertentu. Surat permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya. 10 Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum : a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik. Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yangdiutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis. b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum. c. Pemeriksaan korban secara medis Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Status benda bukti adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik. d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum. Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkandokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani visum et repertum korban hidup tersebut. Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani beberapadokter sekaligus sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks. Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/ tindak pidana. Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota) atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk 11 oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut. f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja dengan menggunakan berita acara. g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum. Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta surat visum et repertum. KESIMPULAN Dalam melaksanakan tugasnya, seorang dokter di rumah sakit selain melakukan pemeriksaan diagnostik serta memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati antara lain adalah adalah pembuatan Visum et Repertum (VeR). Luka akibat trauma fisik adalah keadaan hilang atau terputusnya jaringan tubuh. Dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka dan kualifikasi luka. Luka dapat diklasifikasikan menjadi luka akibat kekerasan tumpul, luka akibat kekerasan tajam, luka akibat tembakan senjata api dan luka bakar. Setiap jenis luka memiliki deskripsi luka yang berbeda dan penentuan kualifikasi luka berdasarkan aspek medik dan aspek yuridis. Pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan pada forensik klinik diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran, karena prosedur permintaan visum et repertum forensik klinik tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. DAFTAR PUSTAKA 1. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J , 2008. The Quality of visum et repertum of the living victims. J urnal Ilmu Kedokteran; 2 (1) : 19- 22. 2. Amir A. 2005. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokten medan Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 3. Ashari I, 2013. Luka Tembak [online]. [cited 12 Maret 2013]. http://www.irwanashari.com/luka-tembak/. 4. Atmadja DS. 2004. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. J akarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. 5. Budiyanto A, dkk.1997. Ilmu Kedokteran Forensik. J akarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,. 6. Herkutanto. 2004. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang Mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon, September ; 54 (9) : 355-60. 7. Idries AM, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. J akarta: Binarupa Aksara; p.131-168. 8. Philip SL. 2007. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in Hong Kong. Hongkong: Department of Pathology Faculty of Medicine University of Hong Kong. 9. Stark MM. 2005. Medical Forensic Medicine A Physician's Guide. 2nd Edition. New J ersey: Humana Press Inc. 10. Sampurna B, Samsu Z. 2003. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. J akarta: Pustaka Dwipar. 11. Wales J . Visum et Repertum. [online].2013. Available at : Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Visum_Et_R epertum. [cited : 12 Maret 2013].