I. PENDAHULUAN Alasan pemilihan kasus pada PPK ini didasarkan atas meningkatnya angka kejadian Diabetes Melitus dalam masyarakat sehingga diambil kasus ini untuk memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan kami. Setelah mendalaminya kami berharap ilmu yang telah diperoleh dapat diterapkan khususnya pada diri kami sendiri dan berguna pada masyarakat luas pada umumnya. Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh atau insulin tidak mampu bereaksi dengan reseptornya. Diabetes mellitus juga di tandain dengan syndrom gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein. Diabetes mellitus menurut World Health Organization (WHO) di klasifikasikan menjadi beberapa macam tipe yaitu tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus), tipe 2 (non-insulin dependent diabetes mellitus), tipe gestasional dan tipe khusus lainnya. Tipe-tipe ini membedakan diabetes mellitus menurut penyebabnya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: 1. DIABETES MELITUS TIPE I Dikenal juga dengan diabetes juvenile-onset atau tipe dependen insulin. Tipe ini di tandai dengan defisiensi mutlak insulin karena peradangan pada sel pankreas sehingga terjadi kerusakan sel pancreas dan menyebabkan sekresi insulin pada sel tersebut terganggu. Peradangan pada pancreas (insulinitis) dapat di sebabkan oleh infeksi virus seperti virus cocksakie, rubella, CMV (Cytomegalovirus), herpes dan lain-lain. Pada beberapa kasus kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel- sel . 2
Onset diabetes mellitus biasanya dimulai pada masa anak-anak dan usia muda namun dapat terjadi pula pada sembarang usia. Diabetes mellitus dapat timbul secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau minggu dengan tiga gejala utua sisa yaitu : a. Kenaikan kadar glukosa darah b. Peningkatan penggunaaan lemak sebagai sumber energi untuk pembentukan kolesterol oleh hati c. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
2. DIABETES MELITUS TIPE II Diabetes tipe II (NIDDM) cenderung bersifat familial dan sering mengenai orang- orang dewasa lebih dari 30 tahun dan sering terjadi pada umur 50-60 tahun sehingga dikenal juga diabetes mellitus onset maturitas. Yang mempengaruhi terjadinya DM tipe II ini adalah karena adanya resistensi insulin di mana reseptor insulin mengalami gangguan sehingga insulin yang dikeluarkan oleh sel pancreas tidak berefek. Pada keadaan DM tipe II ini pasien mengalami hiperinsulinemia karena sel masih mampu memproduksi insulin namun insulin tidak dapan masuk sel untuk digunakan sehingga menggangu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat, meningkatnya kadar glukosa darah dan merangsang sekresi insulin sebagai mekanisme kompensasi (hiperinsulinemia). Keadaan yang dapat menyebabkan resistensi insulin adalah : a. Obesitas 75 % b. Kelebihan glukokortokoid (penggunaan obat steroid berkepanjangan dan syndrome cushing) c. Kelebihan hormon pertumbuhan d. Kehamilan e. Lipodistrofi (akumulasi lipid di hati) f. Autoantibody terhadap reseptor insulin g. Mutasi reseptor insulin dan hemokromatosis ( penyakit herediter yang menyebabkan akumulasi zat besi di jaringan) Diabetes mellitus tipe II di Indonesia 95% banyak di sebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat sepeti jarang makan-makanan berserat, konsumsi makanan yang banyak mangandung kolesterol, lemak dan natrium (garam-garam dan penyedap rasa) serta 3
konsumsi minuman yang kaya akan gula. NIDDM memiliki onset yang panjang dan biasanya tidak menimbulkan gejala dalam beberapa tahun namun penderita dapat merasakan gejalanya apabila sudah mengalami hiperglikemia berat dan sudah terjadi penyulit. Epidemiologi dari kasus diabetes mellitus tipe II adalah sebagai berikut : a. Menyebabkan kurang lebih 8-15% kasus pada anak-anak atau jarang terjadi pada anak anak dan remaja. b. Prevalensi tertinggi terjadi pada orang dewasa lebih dari 40 tahun tapi DM tipe 2 bisa terjadi pada usia berapa saja. c. Insidennya 85% dinegara maju d. Cenderung bersifat familial dan insidennya meningkat pada orang yang memiliki pola makan yang salah.
II. FAKTOR RESIKO Beberapa faktor yang mempengaruhi tejadinya DM adalah :
a. Genetik atau Faktor Keturunan DM cenderung diturunkan atau diwariskan, dan tidak ditularkan. Faktor genetis memberi peluang besar bagi timbulnya penyakit DM. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Apabila ada orangtua atau saudara kandung yang menderita DM, maka seseorang tersebut memiliki resiko 40 % menderita DM. DM Tipe 1 lebih banyak dikaitkan dengan faktor keturunan dibandingkan dengan DM Tipe 2. Sekitar 50 % pasien DM Tipe 1 mempunyai orang tua yang juga menderita DM, dan lebih dari sepertiga pasien mempunyai saudara yang juga menderita DM. Kerentanan DM1 dengan antigen leukosit manusia pada kromosom 6 merupakan determinan kerentanan paling kuat yang menyebabkan terjadinya DM 1 familial, serta > 90% anak dengan penyandang DM 1 memiliki alel HLA DR3, DR4 atau keduanya. Daerah V gen insulin pada kromosom 11 juga dikaitkan dengan terjadinya DM1. Pada penderita DM Tipe 2 hanya sekitar 3-5 % yang mempunyai orangtua menderita DM juga.
4
b. Usia DM dapat terjadi pada semua kelompok umur, terutama 40 tahun karena resiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia dan manusia akan mengalami penurunan fisiologis yang akan berakibat menurunnya fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia < 40 tahun, sedangkan DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia 40 tahun. Di negara-negara barat ditemukan 1 dari 8 orang penderita DM berusia di atas 65 tahun, dan 1 dari penderita berusia di atas 85 tahun. Menurut penelitian Handayani di RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM Tipe 1 mengalami peningkatan jumlah kasusnya pada umur < 40 tahun. Dan kejadian DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada usia >50 tahun dan insiden tertinggi pada umur 50-60 tahun.
c. Jenis Kelamin Perempuan memiliki resiko lebih besar untuk menderita Diabetes Mellitus, berhubungan dengan paritas dan kehamilan, dimana keduanya adalah faktor resiko untuk terjadinya penyakit DM. Dalam penelitian Martono dengan desain cross sectional di Jawa Barat tahun 1999 ditemukan bahwa penderita DM lebih banyak pada perempuan (63%) dibandingkan laki-laki (37%). Demikian pula pada penelitian Media tahun 1998 di seluruh rumah sakit di Kota Bogor, proporsi pasien DM lebih tinggi pada perempuan (61,8%) dibandingkan pasien laki-laki (38,2%).
d. Pola Makan dan Kegemukan (Obesitas) Perkembangan pola makan yang salah arah saat ini mempercepat peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia. Makin banyak penduduk yang kurang menyediakan makanan yang berserat di rumah. Makanan yang kaya kolesterol, lemak, dan natrium (antara lain dalam garam dan penyedap rasa) muncul sebagai tren menu harian, yang ditambah dengan meningkatnya konsumsi minuman yang kaya gula. 5
Kegemukan adalah faktor resiko yang paling penting untuk diperhatikan, sebab meningkatnya angka kejadian DM Tipe 2 berkaitan dengan obesitas. Delapan dari sepuluh penderita DM Tipe 2 adalah orang-orang yang memiliki kelebihan berat badan. Konsumsi kalori lebih dari yang dibutuhkan tubuh menyebabkan kalori ekstra akan disimpan dalam bentuk lemak. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. Seseorang dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 30 kg/m2 akan 30 kali lebih mudah terkena DM dari pada seseorang dengan IMT normal (22 Kg/m2). Bila IMT 35 Kg/m2, kemungkinan mengidap DM menjadi 90 kali lipat.
e. Kurang Gerak Badan Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga secara teratur dapat membuang kelebihan kalori sehingga dapat mencegah terjadinya kegemukan dan kemungkinan untuk menderita DM. Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan dibakar untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga sejumlah gula dalam tubuh akan berkurang dan kebutuhan akan hormon insulin juga akan berkurang. Pada orang yang jarang berolah raga zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi hanya akan ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Proses perubahan zat makanan dan lemak menjadi gula memerlukan hormon insulin. Namun jika hormon insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala DM.
f. Infeksi Virus yang dapat memicu DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta pankreas, virus ini menyebabkan kerusakan atau destruksi sel. Virus ini dapat juga menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas. Pada kasus DM Tipe 1 yang sering dijumpai pada anak-anak, seringkali didahului dengan infeksi flu atau batuk pilek yang berulang-ulang, yang disebabkan oleh virus mumps dan coxsackievirus. DM akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
6
III. PATOGENESIS Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh multifactor, diantaranya: 1. Faktor genetik Pada beberapa penelitian menemukan bahwa seseorang yang anggota keluarga dekatnya menderita diabetes mellitus tipe 2, memiliki risiko lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada subyek yang tidak memiliki riwayat penyakit ini dalam keluarga. Adanya disposisi genetik yang menyebabkan penurunan sensitivitas insulin menyebabkan ketidaknormalan pelepasan insulin. Beberapa gen diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan diabetes melitus tipe 2 yang juga dipengaruhi oleh lingkungan. 2. Defek metabolic Ada 2 macam defek metabolik yang dapat menyebabkan diabetes mellitus yaitu: a. Gangguan sekresi insulin pada sel beta pankreas Penelitian terakhir menyatakan bahwa terdapatnya sebuh protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dengan fosforilasi oksidatif yang mana menghasilkan panas bukan ATP. Protein ini disebut sebagai Uncoupling protein 2 ( UCP2) yang diekspresikan pada sel beta. Diketahui bahwa peningkatan kadar protein ini di intrasel dapat menyebabkan gangguan pengenalan glukosa oleh sel beta yang mengakibatkan kegagalan sekresi insulin. Pada keadaan ini, terdapat peningkatan kompensatorik oleh sel beta sehingga mensintesis lebih banyak hormone insulin. Pada penderita dengan kelainan genetik, kompensasi ini tidak berhasil dan menyebabkan diabetes melitus tipe 2. Sedangkan pada orang normal, kompensasi berhasil dan menyebabkan hiperinsulinemia yang diikuti oleh peningkatan produksi amilin. Kompensasi yang terus menerus mencapai ambang batas dan menyebabkan kelahan sel beta dan menyebabkan kerusakan sel beta yang dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2. Amilin yang disintesis oleh sel beta pancreas dan disekresikan bersama dengan insulin, pada tahap kompensatorik sintesis amilin juga meningkat dan dapat menyebabkan pengendapan amilin menjadi amiloid di islet. Pengendapan amiloid ini bersifat toksik bagi sel beta dan menyebabkan kerusakan pada sel beta itu sendiri.
7
b. Ketidakmampuan jaringan berespon terhadap insulin ( resistensi insulin) Defisiensi insulin yang terjadi pada diabetes tipe 2 tidak cukup dapat menjelaskan gangguan metabolic yang terjadi. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa faktor utama penyebab diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin. Resistensi insulin erat kaitannya dengan obesitas ataupun kegemukan yang belakangan ini meningkat yang sering dikaitkan dengan gaya hidup dan pola makan. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun dan menyebabkan kadar insulin serum meningkat sebagai kompensasinya. Resistensi insulin dapat terjadi ditingkat reseptor maupun pascareseptor ( salah satu jalur sinyal). Jaringan adiposit merupakan suatu jaringan hormon yang dapat berinteraksi dengan otot dan hati melalui zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak, diantarnya: 1) Tumor necrosis factor ( TNF) Pada orang yang kegemukan, TNF yang dihasilkan I adiposity mengalami ekspresi yang berlebihan yang menyebabkan resistensi insulin dengan mempengaruhi jalur sinyal pascareseptor. 2) Asama lemak Kadar asam bebas yang meningkat pada kegemukan belum sepenuhnya diketahui perannya dalam menyebabkan diabetes tipe 2. 3) Leptin Dalam beberapa enelitian, leptin adalah suatu hormone adiposit yang dapat menyebabkan obesitas dan resistensi insulin pada hewan pengerat tanpa memiliki riwayat genetik. 4) Rasistin Resistin dihasilkan oleh sel lemak yang kadarnya meningkat pada keadaan obesitas. Patogenesis DM 2 Pengurangan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Resistensi insulin 8
Sel Beta mengompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin supaya glukosa darah normal
Lama-kelamaan sel beta tidak sanggup mengompensasi resistensi insulin
Akhirnya fungsi sel beta menurun
Dapat berakhir menjadi dm tipe 1 karena fungsi sel Beta menurun menyebabkan sekresi insulin tidak ada. Penurunan fungsi sel beta karena: 1. Glukotoksisitas Hiperglikemia yang berkepanjangan akan menyebabkan stress oksidatif, IL-1B dan NF-KB Mengakibatkan apoptosis sel Beta. 2. Lipotoksisitas Akibat peningkatan asam lemak bebas berasal dari jaringan adiposa akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel Beta menyebabkan apoptosis. 3. Pengumpulan amiloid Kadar glukosa meningkat menyebabkan sekresi insulin semakin meningkat (hiperinsulinemia). Peningkatan insulin diikuti sekresi amilin dari sel beta yang akan menumpuk disekitar sel beta dan menjadi jaringan amiloid hingga mendesak sel beta. Akhirnya sel Beta dapat berkurang fungsinya hingga 50-60% dari normal. 4. Resistensi insulin,faktor yang berperan: Obesitas : menurut penelitian, reseptor insulin pada orang yang gemuk lebih sedikit daripada orang kurus. Diet tinggi lemak : mengganggu jaras sinyal insulin,mengakibatkan gangguan pengangkutan glukosa. Faktor keturunan.
9
IV. MANIFESTASI KLINIK Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes mellitus sangat bervariasi karena diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang dapat mengenai semua organ. Manifestasi yang terjadi pada keadaan diabetes mellitus diakibatkan oleh kadar insulin yang tidak dapat terpenuhi untuk mengubah glukosa darah. Gejala klasik yang terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah polidipsi (sering minum), polifagia (sering makan), poliuria (sering buang air kecil) dan penurunan berat badan, adapun mekanisme terjadinya gejala-gejala tersebut yaitu : 1. Polidipsi Disebabkan oleh hiperglikemia dimana keadaan glukosa ekstrasel lebih tinggi dibanding diintrasel sehingga glukosa menarik sebagian air kedalam plasma dan menyebabkan konsentrasi hiperosmolalitas, dan menyebabkan volume plasma meningkat dimana akan mempengaruhi ginjal untuk lebih meningkatkan laju filtasi glomerulus, serta di ginjal pula reabsorbsi untuk glukosa terbatas yang menyebabkan glukosa lolos dan dapat menarik air didalam tubulus-tubulus ginjal sehingga terjadi diuresis osmotic yang menyebabkan penderita diabetes mellitus sering buang air kecil khususnya pada malam hari dan kehilangan banyak elektrolit-elektrolit seperti natrium dan kalium. Disaat itu tubuh dehidrasi dan kompensasi tubuh yaitu dengan pengaktifan hipotalamus untuk memacu rasa haus.
2. Poliuria
Disebabkan oleh hiperglikemia dimana keadaan glukosa ekstrasel lebih tinggi dibanding diintrasel sehingga glukosa menarik sebagian air kedalam plasma dan menyebabkan konsentrasi hiperosmolalitas, dan menyebabkan volume plasma meningkat dimana akan mempengaruhi ginjal untuk lebih meningkatkan laju filtasi glomerulus, serta di ginjal pula reabsorbsi untuk glukosa terbatas yang menyebabkan glukosa lolos dan dapat menarik air didalam tubulus-tubulus ginjal sehingga terjadi diuresis osmotic yang menyebabkan penderita diabetes mellitus sering buang air kecil khususnya pada malam hari dan kehilangan banyak elektrolit-elektrolit seperti natrium dan kalium.
10
3. Penurunan berat badan dan polifagia Untuk setiap 1 gram hilangnya glukosa makan 4,1 kkal hilang, sehingga akan terjadi suatu kompensasi tubuh untuk mengambil asupan kalori secara meningkat dengan meningkatkan nafsu makan atau polifagia, namun kenaikan asupan makan tersebut memperparah glukosuria karna glukosa dalam plasma akan meningkat seiringnya pertambahan makan, sehingga terjadi penurunan mobilisasi protein kedalam sel dan lemak banyak dipecah untuk menghasilkan energi, dengan meningkatnya lipolisis maka tubuh akan kehilangan berat badan. 4. Lemas dan sering mengantuk disebabkan oleh banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit karena pipis terus menerus. 5. Kesemutan pada jari kaki dan tangan Berawal dari hiperglikemia kronik maka pada jaringan syaraf akan terjadi hiperglisolia, hal ini mengakibatkan peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis Advance Glycosilation End Products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi Protein Kinase C (PKC) yang akan menyebabkan kurangnya vasodilatasi sehingga aliran darah ke syaraf menurun maka dapat timbul neuropati. Neuropati dapat kembali pulih jika terkendalinya hiperglikemik, namun bila terjadi iskemik dapat terjadi kerusakan akson yang ireversibel. 6. Gatal-gatal 7. Gairah seks menurun bahkan sampai impotensi 8. Luka Sukar sembuh Hiperglikemi yang tidak dikelola akan menyebabkan komplikasi kronis terhadap endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, maupun pada sel mesangial ginjal. Jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah, sel retina dan lensa mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa ke dalam sel tanpa bantuan insulin (insulin independent). Saat terjadi hiperglikemia kronik , sel tersebut akan kebanjiran glukosa. Keadaan ini disebut hiperglisolia. Hiperglisolia akan mengubah homeostatis biokimiawi sel, diantaranya menyebabkan aktifnya jalur protein kinase. Hiperglisolia akan meningkatkan diasil gliserol (DAG) intraselular dan peningkatan Protein Kinase C (PKC). Peningkatan PKC akan mengurangi aktivitas fibrinolisis yang menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang memungkinkan 11
penyumbatan pembuluh darah dan gangguan fungsi trombosit. Jika ada luka maka proses perbaikan luka akan terganggu. Oleh karena itu luka pada pasien DM sulit disembuhkan dan dapat terjadi ulkus bahkan gangren. 9. Mata terasa kabur Terkadang, ada sekelompok orang yang sama sekali tidak mengalami gejala-gejala tersebut, namun penyakit ini baru diketahui secara kebetulan pada waktu check up atau melakukan pemeriksaan darah.
V. DIAGNOSIS Diagnosis DM tidak hanya glukosuria saja tetapi harus berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Uji diagnostik DM dilakukan untuk orang yang mempunyai gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring dilakukan pada orang yang tidak mempunyai gejala,tapi mempunyai resiko DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, dan dapat diikuti pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Kelompok yang mempunyai resiko DM diantaranya: 1. Usia 45 tahun. 2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT >23 kg/m 2 , yang disertai dengan faktor resiko: Kebiasaan tidak aktif Turunan pertama dari orang tua yang DM Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM- gestasional. Hipertensi(140/90mmHg) Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL. Menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. Riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu(GDPT) sebelumnya. Riwayat penyakit kardiovaskular.
12
Uji toleransi glukosa oral Dapat dipertimbangkan untuk dilakukan bila kadar glukosa plasma puasa diantara 120- 140 mg/dl dan terutama dilakukan pada pria dengan impotensi atau wanita yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4,1 kg atau yang mengalami infeksi kandida berulang pada vagina. Namun pada dasarnya uji I I jarang dilkaukan karena memberikan hasil yang berlebihan.
Persiapan uji: orang dewasa diberikan glukosa 75g dalam 3000 mL air, anak diberi 1,75g glukosa per kg BB. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Sampel darah untuk penentuan glukosa plasma diambil pada menit 0, 30, 60, 90 dan 120 menit setelah menelan glukosa.
Interpretasi : normal bila kadar glukosa plasma vena puasa kurang dari 115 mg/dl dan kadar dua jam turun dibawah 140 mg/dl dan nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melebihi 200 mg/dl. Dan bila hasil setelah 2 jam lebih dari 200mg/dl menunjukkan diagnosis DM.
Tabel 1.Kadar Glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan uji diagnostik dan penyaring DM (mg/dL). Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu Plasma vena <100 100-199 200 Darah kapiler <90 90-199 200 Kadar glukosa darah puasa Plasma vena <100 100-125 126 Darah kapiler <90 90-99 100 (PERKENI,2006)
13
Tabel 2.Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dalam (mg/dL). (PERKENI,2002)
Diagnosis DM dipikirkan jika ada gejala khas pada pasien seperti 4P yaitu : 1. Poliuria 2. Polidipsi 3. Polifagia 4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan tidak khas seperti lemah, kesemutan , gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita. Jika terdapat keluhan khas, dan didapatkan pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau glukosa darah puasa 126 mg/dL, diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Jika tidak terdapat keluhan khas, dan didapatkan pemeriksaan glukosa darah abnormal maka diagnosis DM belum bisa ditegakkan. Untuk dapat menegakkan diagnosis DM perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah lagi di hari lain. Jika hasilnya abnormal lagi, maka diagnosis DM dapat ditegakkan.
TTGO*** GD 2 jam pasca pembebanan 200 DM 140-199 TGT <140 Normal 14
Tabel 3. Kriteria Diagnosis DM 1 Gejala khas DM + glukosa darah sewaktu 200 mg/dL(11,1 mmol/L) Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau 2 Gejala khas DM + Kadar Glukosa Darah puasa 126 mg/dL(7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau 3 Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200mg/dL(11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
15
Algoritma diagnosis DM terdapat dalam tabel di bawah ini:
VI. PENATALAKSANAAN Penyakit diabetes melitus sering dikaitkan dengan kadar dislipidemia darah, sehingga penatalaksanaan untuk penyakit ini juga sangat berhubungan dengan pengontrolan lemak dan turunannya. Pada dasarnya, pengelolaan DM diawali dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2- 4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Pada keadaan tertentu obat- obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut 16
petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu. Ada 4 pilar utama pengelolaan DM : 1. Edukasi Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat, yang berlangsung seumur hidup. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan: a. makan makanan sehat b. kegiatan jasmani secara teratur c. menggunakan obat diabetes secara aman dan teratur d. melakukan pemantauan glukosa darah mandiri e. e. melakukan perawatan kaki secara berkala
f. mengelola diabetes dengan tepat
g. mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan
h. dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
1. Diet
Pada kasus DM tipe 2 sering dihubungkan dengan pasien yang obese pada. Diet dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan melakukan pembatasan kalori. Dan diet ini dilakukan sebelum pasien mengalami fase penurunan berat badan. Diet yang diberikan tidak lebih dari 600 kkal per hari pada pasien obese yang tidak melakukan aktivitas dan pada pasien yang melakukan aktivitas ringan dapat diberikan diet 1400 kkal.diabetes tipe 2 juga merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen. Perencanan makanan untuk penderita diabetes melitus lebih menitik beratkan terhadap jumlah kalori yang dimakan, bukan sumber atau macam makanannya. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang 17
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik, yang disesuaikan sebagai berikut: Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Serta Pertimbangan khusus dalam pengawasan diet adalah sebagai berikut : a. Serat makanan Meliputi serat larut dan serat tak larut. Serat tak larut dapat berupa selulosa dan hemiselulosa dan mempunyai sifat meningkatkan waktu transit usus dan bermanfaat bagi kolon. Dan serat larut dapat berupa gom dan pektin ( dapat ditemukan pada kacang-kacangan, gandum atau kulit apel) dan mempunyai sifat menurunkan waktu transit di lambung dan usus halus sehingga absorpsi glukosa menjadi lebih lambat dan pada akhirnya menunda efek hiperglikemi. Sehingga serat larut lebih dianjurkan pada pasien diabetes. Selain itu juga serat juga mempunyai efek menguntungkan untuk kadar kolesterol darah.
b. Bahan bahan pemanis Aspartam adalah pemanis yang terbukti aman bagi pasien diabetes. Dan mempunyai tingkat manis 180 kali lebih manis dari sukrosa. Tetapi ada kelemahan yaitu tidak tahan panas sehingga tidak dapat digunakan untuk memasak dan memanggang. Pemanis lainnya yang aman adalah sorbitol dan fruktosa. Namun sorbitol mempunyai efek samping diare akut akibta konsumsi sorbitol dalam jumlah besar. Fruktosa merupakan zat gula alami dan mempunyai efek sedikit meningkatkan kadar glukosa plasma dan tidak membutuhkan insulin untuk pemakainnya.
c. Penghambat pati Berupa antagonis enzimatik dari amylase dan sukrase ( penghambat alfa- glukosidase). Dimana oleh FDA antagonis enzimatik ini sudah digolongkan 18
sebagai obat dan masih dalam panelitian untuk memastikan efektivitas dan keamanan dari obat-obat ini dalam menurunkan hiperglikemia post-prandial pada pasien diabetes.
2. Latihan jasmani Latihan jasmani akan menimbulkan perubahan metabolik bagi penderita diabetes. Pada prinsipnya, latihan jasmani ditujukan bagi penderita diabetes melitus untuk mengurangi kadar LDL kolesterol, dan menurunkan berat badan yang berlebih yang merupakan faktor resiko utama untuk penyakit diabetes. Selain itu, latihan jasmani dapat mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskuler dan meningkatkan harapan hidup. Latihan jasmani harus disesuakan dengan individu agar membatu pengontrolan dan kepatuhan pasien terhadap terapi yang sedang dilaksanakan. Pada saat jaringan oto dalam keadaan istirahat, ambilan glukosa oleh jaringan memerlukan insulin. Sedangkan pada saat otot aktif, kadar insulin tidak meningkat meskipun terjadi peningkatan kebutuhan glukosa. Ini mungkin disebabkan karena saat otot aktif, kepekaan reseptor insulin terhadap insulin meningkat serta terjadi penambahan reseptor insulin pada otot. Kepekaan ini terjadi disebabkan oleh karena saat latihan jasmani aliran darah meningkat yang menyebabkan jala-jala kapiler terbuka lebih banyak yang menyebabkan reseptor menjadi lebih aktif Kepekaan akan berlangsung lama meskipun latihan telah berakhir. Komplikasi utama latihan fisik adalah hipoglikemi selama atau sesudah latihan. Namun, ini dapat diatasi dengan penyesuaian diet atau insulin. Pada beberapa penelitian didapati bahwa latihan jasmani dapat membahayakan penderita bila kadar glukosa darah melebihi 250 mg/dL.
3. Obat-obatan Penatalaksanaa dengan menggunakan obat-obatan direkomendasikan bagi penderita dalam kategori resiko tinggi dan sedang. Biasanya penggunaan obat-obat ini bertujuan untuk mengontrol atau menurunkan kadar dislipidemia darah dalam batas normal.
19
OBAT ANTIDIABETIK ORAL 1) Sulfonilurea Obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pancreas untuk mensekresikan insulin. Oleh karena itu, obat ini tidak dapat digunakan untuk penderita diabetes mellitus tipe 1 yang tidak mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Obat ini diindikasikan untuk pasien non-obese dengan diabetes ringan dan kontraindikasi pada pasien diabetes tipe 1 yang cenderung mengalami ketosis. Serta memiliki manfaat untuk mengontrol glikemik pada pasien yang obese dengan hiperglikemi yang semakin berat yang dibarengi dengan usaha lain seperti latihan fisik, diet, dan penurunan berat badan hingga glikemik dapat terkontrol tanpa bantuan obat-obatan. Umumnya penggunaan obat ini diawali dengan dosis rendah untuk menghindari kondisi hipoglikemia. Dosis permulaan tergantung dari beratnya hiperglikemi. Macam- macamnya adalah sebagai berikut: a. Tolbutamid Memiliki masa kerja pendek yaitu antara 6-10 jam sehingga diberikan dalam dosis terbagi misalnya 500mg sebelum makan dan menjelang tidur. Dosis lazimnya adalah 1,5-3 g. Masa kerjanya yang pendek dan tidak tergantung dengan fungsi ginjal membuat tolbutamid adalah obat yang paling aman untuk diberikan pada pasien lanjut usia (dihubungkan dengan efek hipoglikemik).
b. Klorpropamid Mempunyai waktu paruh 32jam dan lama kerjanya sampai 60jam. Kontraindikasi pada pasien insufisiensi ginjal karena ekresinya tergantung pada ginjal. Dosis rumatan rata-rata 250mg/hari ( antara 100-500mg/hari) dan diberikan satu kali sehari pada pagi hari. Merupakan sulfonilurea yang poten dan terkadang efektif untuk mengontrol hiperglikrmia DMTTI yang gagal diterapi dengan dosis 20
maksimum dengan sulfonlurea lain yang kurang poten ( tolbutamid, tolazamid, dan asetoheksamid). Efek samping dari obat ini adalah memiliki efek hipoglikemia yang lama dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal memilki resiko lebih tinggi untuk mengalaminya. Sebaiknya klorpropamid tidak diberikan pada pasien diatas usia 65 tahun. Efek samping lainnya adalah menyebabkan ikterus bila dosis perhari yang diberikan melebihi 500mg dan juga bersifat resisten terhada[p air sehingga dapat terjadi hiponatremi. Selain itu juga klorpropamid memiliki efek samping toksisitas hematologik dapat berupa leucopenia, trombositopenia sementara pada kurang dari 15 pasien. Klorpropamid juga dapat merangsang sekresi ADH dan dapat mempotensiasikan kerjanya pada tubulus ginjal.
c. Tolazamid Diberikan dalm dosis 200-1000mg/hari dan diberikan dalam satu atau dua dosis. Bila diberikan dalam dosis lebih dari 500mg/hari maka dosisnya terbagi dalam dua kali sehari. Absorpsinya lebih lambat disbanding sulfonilurea yang lainnya. Lama kerjanya dapat bertahan sampai 20 jam.
d. Asetoheksamid Lama kerjanya 10-16 jam. Dan dosisnya adalah 250-1500mg/hari dapat diberikan dalm satu atau dua dosis.
e. Sulfonilurea generasi kedua Terdiri atas Gliburid dan Glipizid. Kedua obat ini tidak boleh diberikna pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal serta pada pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan kardiovaskular karena mengingat efek samping hipoglikemik yang cukup kuat.
21
Gliburid (Glibenklamid) Diberikan dengan dosis awal 2,5mg/hari dan dosis rumatan 5- 10mg/hari sebagai dosis tunggal diberikan pada pagi hari. Dosis rumatan melebihi 20mg/hari tidak dianjurkan. Glipizid (glidiazinamid)
2) Glinid Obat golongan ini doabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral serta cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati.
3) Biguanid Obat golongan ini bekerja dengan menghambat glukoneogenesisdan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Macam-macam bentuk dari biguanid adalah sebagai berikut : a. Fenformin Pemakainnya telah dihentikan di AS karena menyebabkan efek samping asidosis laktat pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
b. Metformin Dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan golongan sulfonylurea. Mekanisme kerja dari metformin belum diketahui secara jelas. Obat ini memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah puasa dan hiperglikemia post prandial pada pasien diabetes tipe 2 (tetapi tidak memiliki efek terhadap kadar glukosa darah orang normal), tidak merangsang kerja insulin (misal mengurangi glukoneogenesis hati), memperlambat absorpsi glukosa di saluran cerna dan peningkatan ambilan glukosa oleh otot lurik, dan Metformin bekerja di perifer untuk meningkatkan uptake glukosa. Dosis dewasa atau anak diatas 10 tahun 500 mg pada waktu makan pagi selama 1 minggu. Kemudian 500 mg pada waktu makan pagi dan makan malam untuk minggu berikutnya. 22
Kemudian 500 mg pada saat makan pagi, siang dan malam. Dosis maksimal 2 gram sehari dalam dosis terbagi. Memiliki waktu paruh 1,5-3 jam dan tidak terikat protein plasma dan tidak dimetabolisme sehingga diekresi oleh ginjal dalam bentuk tidak berubah. Indikasinya dapat digunakan sebagai terapi pelengkap diet dalam dalam mengontrol hiperglikemia dan simtomatologi pada pasien diabetes tipe 2, terutama pada pasien ynag obese dan tidak berespon terhadap dosis sulfonilurea maksimal. Kontraindikasi pada pasien diabetes mellitus tipe 1 dan pasien dengan insufisiensi ginjal, hati, usia tua, alkoholisme atau pasien yang memiliki kecenderungan hipoksia ( misal pasien dengan penyakit insufisiensi kardiorespiratorik). Efek samping tersering adalah anoreksia, nausea, muntah, sakit perut, dan diare. Hal tersebut terjadi pada sekitar 20% pasien. Dan efek tersebut bergantung dosis dan cenderung terjadi pada awal pengobatan dan bersifat sementara. Efek samping lainnya adalah asidosis laktat tapi ini jarang terjadi. Metformin tidak menyebabkan efek hipoglikemia selama masih dalam dosis terapinya.
4) Penghambat -glukosidase Obat golongan ini bekerja menghambat enzim alfa glukosidase pada dinding enterosit di bagian proksimal usus halus. Akarbosa menghambat alfa glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus yang menyebabkan perlambatan penyerapan glukosa.
4. Terapi Khusus Berdasarkan Tipe diabetesnya pada Diabetes mellitus tipe 2 Terapi didasarkan atas insufisiensi sel B dan ketidakpekaan terhadap insulin pada masing-masing pasien. Regimennya dijelaskan sebagai berikut :
23
1. Pasien Obese Penatalaksaan pada pasien DMTTI obese meliputi: Penurunan berat badan Merupakan bentuk terapi utama pada pasien ini karena kadar normal glikemiak dapat dicapai dengan mengurangi cadangan lemak sehingga meneybabkan pulihnya kepekaan jaringan terhadap insulin.
Dapat dilakukan dengan pembatasan kalori, peningkatan latihan fisik, modifikasi kebiasaan (modifikasi gaya hidup), dan pengelolaan makan yang baik agar penurunan berat badan dapat tercapai. Dan perlu diberikan edukasi tentang penyakitnya (misalnya tentang komplikasi, risiko) yang diharapkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk dapat sembuh.
Obat-obat hipoglikemik Dapat berupa OHO (obat hipoglikemia oral) dan insulin. Kedua obat ini tidak diindikasikan pada pemakaian jangka panjang pada pasien obese dengan diabetes ringan. Pada pasien obese dengan tingkat diabetes sedang-berat simtomatik lebih teapat diberikan sulfonilurea oral untuk terapinya dibandingkan diberikan insulin. Insulin diindikasin diberikan pada pasien jika pemberian sulfonylurea oral dan program penurunan berat badan tidak dapat mengontrol gejala hiperglikemia, misalnya: nokturia, gangguan penglihatan, dan vulvovaginitis kandida. Disini pemberian insulin lebih bertujuan untuk menghilangkan gejala daripada untuk mengobati hiperglikemik.
2. Pasien non Obese Diet Obat-obat hipoglikemia oral Insulin diberikan tergantung pada keadaan insulin sudah menurun atau tidak Terapi kombinasi sulfonilurea dan insulin
24
VII. PENCEGAHAN Pencegahan tahap 1 (upaya promotif) Upaya untuk perlindungan individu agar terhindar dari gangguan kesehatan yang mungkin menyerang. Selalu menjaga kebersihan diri sendiri dan lingkungan. Makan teratur dengan gizi yang memadai. Olahraga teratur untuk menjaga kebugaran tubuh. Menjaga keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat. Mengikuti penyuluhan tetang kesehatan supaya mengetahui apa saja yang harus Dilakukan untuk menangkal penyakit yang menyerang masyarakat. Pencegahan tahap 2 (upaya preventif) Upaya mencegah terjadinya diabetes mellitus, dapat dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat: o Mempertahankan diet makanan yang seimbang dengan cara: Meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Membatasi diet lemak yang tinggi dan karbohidrat sederhana. Mempertahankan berat badan ideal sesuai umur dan tinggi badan. o Olahraga yang teratur dan sesuian dengan umur dan kemampuan. o Menghindari obat yang bersifat diabetogenik Pencegahan tahap 3 (upaya kuratif) Dimulai dengan deteksi dini terhadap DM. Setelah diagnosis DM dapat ditegakkan, segera obati pasien untuk mencegah Penyulit DM. Penyulit DM berakhir dengan terganggunya fungsi dan morfologi pembuluh darah di seluruh tubuh (angiopati diabetik). Penyulit DM diantaranya: 1. Mikroangipati : Ginjal Retina mata 2. Makroangiopati : Jantung koroner Pembuluh darah kaki Pembuluh darah otak 3. Neuropati 4. Rentan infeksi Pengobatan pasien DM untuk mengendalikan kadar glukosa darah sebaik mungkin dengan cara terkontrol akan mencegah terjadinya penyulit. 25
Pencegahan tahap 4 (upaya rehabilitatif) Upaya ini bertujuan untuk membantu pasien untuk beradaptasi dengan keadaannya sekarang supaya pasien dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Memotivasi pasien untuk sadar akan penyakit yang dideritanya, menerima serta terdorong untuk melakukan sesuatu untuk perubahan yang baik. Melakukan pemeriksaan pemantauan jika terjadi penyulit DM.
VIII. KOMPLIKASI DM sering disebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan- lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Karena itu, jelas bahwa DM bisa menjadi penyebab terjadinya komplikasi baik yang akut maupun kronis.
1. KOMPLIKASI AKUT Komplikasi akut dalah komplikasi yang disebabkan oleh DM yang sifatnya mendadak dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya terjadi karena glukosa darah yang terlalu tinggi (hiperglikemia) atau terlalu rendah (hipoglikemia). a. HIPOGLIKEMIA Kadar glukosa darah yang terlalu rendah sampai di bawah 60 mg/dl disebut hipoglikemia. Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita DM yang diobati dengan suntikan insulin ataupun minum tablet anti-diabetes, tetapi tidak makan dan olah raganya melebihi biasanya. Bisa juga terjadi pada alkoholik, adanya tumor yang mensekresi glukagon, malnutrisi, dan yang jarang terjadi pada sepsis. Hipoglikemia dapat juga terjadi tanpa gejala awal pada sebagian pasien DM yang juga menderita hipertensi, khususnya di malam hari atau saat menggunakan obat bloker beta (obat hipertensi). Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung pada sejauh mana glukosa turun. Keluhan hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu : 26
1. Keluhan akibat otak tidak mendapat cukup kalori sehingga menggangu fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, capek, bingung, kejang, dan koma. 2. Keluhan akibat efek samping hormon lain (adrenalin) yang berusaha menaikkan kadar glukosa darah, yaitu pucat, berkeringat, nadi berdenyut cepat, berdebar, cemas, serta rasa lapar. 3. Pada awalnya ketika glukosa darah berada pada tingkat 40-50 mg/dl, pasien DM mengalami gemetaran, keringat dingin, mata kabur, lemah, lapar, pusing, sakit kepala, tegang, mual, jantung berdebar, dan kulit dingin. Pada saat glukosa darah di bawah 40 mg/dl, pasien akan merasa mengantuk, sukar bicara seperti orang mabuk, dan bingung. Dan pada saat glukosa di bawah 20 mg/dl keluhan atau gejala yang terjadi adalah kejang, tidak sadarkan diri (koma hipoglikemia), dan bisa menyebabkan kematian.
b. KETOASIDOSIS DIABETIK Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah gawat darurat akibat hiperglikemia dimana terbentuk banyak asam dalam darah. Hal ini terjadi akibat sel otot tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam keadaan darurat ini tubuh akan memecah lemak dan terbentuklah asam yang bersifat racun dalam peredaran darah yang disebut keton. Keadaan ini terjadi akibat suntikan insulin berhenti atau kurang, atau mungkin karena lupa menyuntik atau tidak menaikkan dosis padahal ada makanan ekstra yang menyebabkan glukosa darah naik.Biasanya paling sering ditemukan pada penderita DM Tipe 1, namun pada penderita DM Tipe 2 pada keadaan tertentu seperti stress, infeksi, kelainan vaskuler ataupun stress emosional juga beresiko mendapatkan KAD. Saat insulin tidak ada atau menurun maka asam lemak akan diangkut dihati dan dibawa oleh karnitin ke mitokondria untuk dilakukan metabolism dan metabolism asam lemak tersebut terbentuk asam asetoasetat, jika kerja mitokondria sangat aktif maka banyak terbentuk asetil KOA yang akan membentuk asetoasetat lebih banyak dan asam asetoasetat yang berlebihan dijaringan tidak dapat dimetabolisme 27
seluruhnya oleh jaringan tersebut sehingga akan diubah juga menjadi - hidroksibutirat dan aseton sehingga terjadi ketoasidosis. Keluhan dan gejala KAD timbul akibat adanya keton yang meningkat dalam darah. Keluhan dan gejala tersebut berupa nafas yang cepat dan dalam, nafas bau keton atau aseton, nafsu makan turun, mual, muntah, demam, nyeri perut, berat badan turun, capek, lemah, bingung, mengantuk,kesadaran menurun sampai koma, dan dehidrasi dapat minimal karena adanya peningkatan osmolalitas serum yang dapat menyebabkan bertahannya volume intravaskuler. Hasil pengamatan di bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM tahun 1990, terdapat 152 pasien DM yang dirawat dengan CFR sebesar 24,9 % dari 15 kasus KAD. Untuk penanganan ketoasidosis dengan dehidrasi maka diberikan terapi cairan ringer laktat sebanyak 10-20ml/kgBB. Terapi ketoasidosis dapat diberikan terapi insulin karena dapat mendorong metabolism badan-badan keton, pemberian bikarbonat harus dihindari kecuali jika telah terjadi asidosis berat PH < 7,0 yang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamika atau hiperkalemia. Dalam pemberian bikarbonat dapat menyebabkan efek samping yaitu peningkatan difusi karbon dioksida yang melewati sawar darah otak, potensi hipoksia jaringan yang disebabkan oleh pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin, perubahan osmotic mendadak dan meningkatkan resiko terjadi edema serebral.
c. HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK Hiperosmolar Non-Ketotik adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah sangat tinggi sehingga darah menjadi sangat kental, kadar glukosa darah DM bisa sampai di atas 600 mg/dl. Glukosa ini akan menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar dari tubuh melalui kencing. Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi. Gejala Hiperosmolar Non-Ketotik mirip dengan ketoasidosis. Perbedaannya, pada Hiperosmolar Non-Ketotik tidak dijumpai nafas yang cepat dan dalam serta berbau keton. Gejala yang ditimbulkan adalah rasa sangat haus, banyak kencing, lemah, kaki dan tungkai kram, bingung, nadi berdenyut cepat, kejang dan koma. d. INFEKSI 28
Penderita diabetes yang tak terpantau dengan baik lebih cenderung mengalami infeksi terhadap bakteri (terutama mikobakteri dan anaerobic) dan jamur. Penyakit infeksi yang sering timbul pada keadaan diabetes mellitus adalah TBC sistem pernafasan, infeksi jamur pada kulit dan selaput lendir, infeksi saluran kecing, dan infeksi anaerobic jaringan yang dapat mengancam kesehatan yang serius. Kerentanan penyandang diabetes dengan infeksi tergantung pada sanitasi lingkungan, status gizi, dan derajat kekebalan perorang.
2. KOMPLIKASI KRONIS Kadar gula darah pada penderita DM dapat dikontrol. Jika kadar gula darah tetap tinggi akan timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronik sering dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kerusakan, seperti kerusakan pada saraf, ginjal, mata, jantung, dan lainnya a. Penyakit jantung DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Jika pembuluh darah koroner menyempit, otot jantung akan kekurangan oksigen dan makanan akibat suplai darah yang kurang. Selain menyebabkan suplai darah ke otot jantung, penyempitan pembuluh darah juga mengakibatkan tekanan darah meningkat, sehingga dapat mengakibatkan kematian mendadak. Aterosklerosis merupakan penyulit diabetes tersering dan menyebabkan 75% kematian. Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyulit pada jantung pun karena peningkatan trigliserid atau hipergliseridemia yang menjadi faktor resiko terjadinya jantung koroner. Untuk menangani kasus diabetes mellitus intervensi yang di berikan sama halnya dengan hal-hal yang dianjurkan pada keadaan tanpa diabetes mellitus yaitu penghentian merokok (jika penderita merokok), membatasi asupan lemak dan memperbanyak asupan makanan berserat karna makanan berserat dapat mempercepat pemsbuangan lemak dalam darah, kegiatan fisik secara teratur, 29
obat-obat hipoglikemik yang tepat untuk mengurangi hiperglikemia, obat-obat hipolipidemik jika kegiatan fisik dan diet tidak dapat mentoleransi, obat yang digunakan adalah : - Derivate klofibrat, efektif untuk menurunkan trigliserid dan meningkatkan HDL sehingga dapat menekan LDL dan menurunkan fibrinogen namun efek sampingnya adalah kolelithiasis. - Inhibitor HMG-CoA (hydroxymethylglutaryl CoA) reduktase inhibitor terutama dapat menurunkan kolesterol LDL dan berpengaruh kecil terhadap trigliserid, namun obat ini tidak mempengaruhi glisemia. - Resin pengikat asam empedu menurunkan LDL, namun dapat meningkatkan trigliserid dan tidak diperuntukan untuk penderita dengan gangguan saluran cerna. - Asam nikotinatmerupakan obat yang murah dan efektif yang dapat menurunkan LDL dan trigliserid namun obat ini tidak dianjurkan untuk penderita DM karena memperburuk keresistenan insulin, hiperglikemia dan hiperuresemia. - Antioksidan seperti probucol, vitamin E serta nikotamid dosis tinggi dapat mencegah oksidasi LDL yang berpotensi menurunkan aterogenisitasnya. b. HIPERTENSI Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibanding orang yang tidak menderita DM. Hipertensi bisa merusak pembuluh darah. Hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh hipertensi. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan hipertensi pada penderita DM adalah nefropati, obesitas, dan pengapuran atau pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah. c. PENYAKIT GINJAL DIABETIK DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Ginjal menjadi tidak dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila ada kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar. Penderita DM memiliki resiko 20 kali lebih besar menderita kerusakan ginjal dibandingkan dengan orang tanpa DM. 30
Gambaran gagal ginjal pada penderita DM yaitu : lemas, mual, pucat, sesak nafas akibat penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin/ureum serum ditemukan berkisar 2-7 % dari penderita DM. selain itu adanya proteinuria tanpa kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik. Nefropati diabetic dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu : a. Nefropati yang baru mulai (subklinis) diartikan sebagai peningkatan laju eksresi albumin secara menetap disebut juga mikroalbuminuria, tanpa disertai proteinuria yang sesungguhnya. Keadaan ini terjadi bersamaaan dengan laju eksresi albumin sebesar 20-200g/menit (30-300 mg/24jam). Mikroalbuminuria juga dapat disertai peningkatan tekanan darah. b. Nefropati Klinis diartikan sebagai adanya mikroalbuminuria yang menetap yaitu > 200g/menit dan keadaan ini biasanya disertai dengan hipertensi. c. Nefropati parah telah terjadi penurunan GFR secara bermakna serta pemunculan gejala-gejal uremia atau syndrome nefropatik. d. Penyakit ginjal tingkat akhir adalah dimana ginjal telah mengalami kegagalan dalam kerjanya sehingga memerluka transplantasi ginjal. Tingkat keparahan nefropati diabetic berkaitan erat dengan hiperglikemia yang dialami dan berkaitan erat pula dengan gangguan metabolic serta lamanya diabetes mellitus. Intervensi yang perlu diberikan untuk penderita diabetes dengan nefropati diabetic yaitu dengan mengontrol secara cermat hipertensi, pemberian obat antihipertensi diberikan jika tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau kenaikan 5 mmHg pada systole. Pemantauan yang harus dilakukan adalah uji mikroalbuminuria, glukosa darah sewaktu dan puasa. Obat-obat simptomatik dan suportif juga dapat diberikan seperti adanya retensi cairan harus diberikan diuretic yang bekerja pada tubulus ginjal selain thiazid.
31
d. KERUSAKAN SARAF (NEUROPATHY) Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Baik penderita DM Tipe 1 maupun Tipe 2 bisa terkena neuropati. Hal ini bisa terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Akibatnya saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau terlambat dikirim. Kerusakan saraf yang paling sering pada keadaan diabetes adalah neuropati perifer yang terdiri dari : a. Polineuropati yaitu keadaan hilangnya sensasi bagian perifer, misalkan neuropati sensorimotor bagian distal adalah komplikasi gangguan saraf yang paling sering terjadi, diakibatkan oleh hiperglikemia menginduksi kerusakan persarafan dari parenkim mikroselular sehingga penghubung antara mikroselular dan makroselular terganggu yang menyebabkan iskemik mikroselular bagian perifer selain itu akson-axson mengalami penipisan dan penurunan mikrofilamen oleh karena itu terjadinya gangguan saraf pada penyakit diabetes dapat berkontribusi dengan terjadinya ulkus yang menyebabkan infeksi,nekrosis dan ganggren. Manifestasi dari neuropati sensoromotor distal yang masih ringan adalah terjadinya rasa baal atau mati rasa dan disertai kesemutan, nyeri, merasa kram. b. Neuropati fokal c. Neuropati multifokal Keluhan dan gejala lain neuropati tergantung pada berat ringannya kerusakan saraf. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita tidak bisa jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan membuat muncul banyak keringat. Aldose reduktase inhibitor dapat diberikan kepada nefropati diabetic karena dapat menghambat polyol pathway yang dianggap sebagai penyebab neuropati diabetik. Pemberian aldose reduktase inhibitor juga tidak mendatangkan resiko hipoglikemia.
32
e. KERUSAKAN MATA Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab utama kebutaan. Setelah mengidap DM selama 15 tahun, rata-rata 2 persen penderita DM menjadi buta dan 10 persen mengalami cacat penglihatan. Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah Retinopati (Kerusakan Retina). Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan seperti tampak bayangan jaringan atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, mata kabur, nyeri mata, dan buta.20 Selain menyebabkan retinopati, DM juga dapat menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut katarak serta dapat menyebabkan glaucoma (menyebabkan tekanan bola mata). Intervensi yang adalah dilakukan fotokoagulasi laser pan-retina terhadap mata dengan pasien retinopati proliferative yang parah dan fotokoagulasi laser fokal terhadap mata dengan edema makuler yang mengancam penglihatan. Selain itu pengobatan pembedahan juga dapat dilakukan untuk mencegah kehilangan penglihatan. f. GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN Mengidap DM terlalu lama dapat mengakibatkan urat saraf yang memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama tinggal di dalam lambung. Gangguan pada usus yang sering diutarakan oleh penderita DM adalah sukar buang air besar, perut gembung, dan kotoran keras. Keadaan sebaliknya adalah kadang-kadang menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air tanpa rasa sakit perut.
33
IX. PROGNOSIS Prognosis pada pasien diabetes secara umum baik jika terkontrol dan terdeteksi dini dan segera ditangani. Namun 10-20 tahun setelah awitan DM adalah masa-mas kritis, jika pasien dalam kurun waktu tersebut tidak mengalami komplikasi mikrovaskular berat maka kemungkinan kesehatannya baik. Progresivitas atau perkembangan penyakit pada pasien DM dihubungkan dengan gaya hidup seperti merokok serta penyakit yang lain seperti hipertensi, dislipidemia sehingga pengurangan sampai pemberhentian untuk merokok dan penanganan hipertensi dan dislipidemia dapat mencegah atau mengurangi perkembangan dari retinopati, nefropati dan aterosklerotik. Prognosis juga akan baik jika dilkaukan pengukuran kadar glukosa secara berkala karena dapat membantu dalam memantau penyakitnya. Prognosis pada pasien baik karena kadar glukosanya masih terkontrol, dan sebaiknya jika kadar sudah mencapai normal tetap dilakukan pengontrolan secara berkala pada puskesmas terdekat atau fasilitas kesehatan lain yang mempunyai fasilitas untuk itu sehingga juga memudahkan pasien untuk mengaksesnya.
X. HOME VISIT a. Evaluasi dan Analisis Kasus Nama : bpk. Marjo Alamat : dusun dersanan Umur : 56 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Petani Pasien tersebut setelah kami lakukan anamnesis maka kami mendapatkan keluhan klasik dari diabetes mellitus yaitu adanya : 1. Polidipsi Disebabkan oleh hiperglikemia dimana keadaan glukosa ekstrasel lebih tinggi dibanding diintrasel sehingga glukosa menarik sebagian air kedalam plasma dan menyebabkan konsentrasi hiperosmolalitas, dan menyebabkan volume plasma meningkat dimana akan mempengaruhi ginjal untuk lebih meningkatkan laju filtasi glomerulus, serta di ginjal pula reabsorbsi untuk glukosa terbatas yang menyebabkan 34
glukosa lolos dan dapat menarik air didalam tubulus-tubulus ginjal sehingga terjadi diuresis osmotic yang menyebabkan penderita diabetes mellitus sering buang air kecil khususnya pada malam hari dan kehilangan banyak elektrolit-elektrolit seperti natrium dan kalium. Disaat itu tubuh dehidrasi dan kompensasi tubuh yaitu dengan pengaktifan hipotalamus untuk memacu rasa haus.
2. Poliuria Disebabkan oleh hiperglikemia dimana keadaan glukosa ekstrasel lebih tinggi dibanding diintrasel sehingga glukosa menarik sebagian air kedalam plasma dan menyebabkan konsentrasi hiperosmolalitas, dan menyebabkan volume plasma meningkat dimana akan mempengaruhi ginjal untuk lebih meningkatkan laju filtasi glomerulus, serta di ginjal pula reabsorbsi untuk glukosa terbatas yang menyebabkan glukosa lolos dan dapat menarik air didalam tubulus-tubulus ginjal sehingga terjadi diuresis osmotic yang menyebabkan penderita diabetes mellitus sering buang air kecil khususnya pada malam hari dan kehilangan banyak elektrolit-elektrolit seperti natrium dan kalium.
3. Penurunan berat badan dan polifagia Untuk setiap 1 gram hilangnya glukosa makan 4,1 kkal hilang, sehingga akan terjadi suatu kompensasi tubuh untuk mengambil asupan kalori secara meningkat dengan meningkatkan nafsu makan atau polifagia, namun kenaikan asupan makan tersebut memperparah glukosuria karna glukosa dalam plasma akan meningkat seiringnya pertambahan makan, sehingga terjadi penurunan mobilisasi protein kedalam sel dan lemak banyak dipecah untuk menghasilkan energi, dengan meningkatnya lipolisis maka tubuh akan kehilangan berat badan.
4. Lemas dan sering mengantuk disebabkan oleh banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit karena pipis terus menerus. serta ditemukan juga gejala lain seperti nyeri kepala, pegel-pegel dan kram. Dari faktor keluarga tidak diketahuai adanya diabetes mellitus dan tidak ada riwayat hipertensi. Dan 35
kebiasaan pasien adalah senang mengkonsumsi makanan manis dan kolesterol dan tinggi purin seperti jeroan. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan : Keadaan umum baik namun tampak gelisah Vital sign : - Tekanan darah : 150/100 mmHg menunjukan adanya hipertensi derajat 1 yang Dapat menjadi faktor resiko terjadinya diabetes mellitus serta Dapat berupa komplikasinya. - Nadi : 80 x/menit => normal - Respirasi : 20 x/menit => normal - suhu : 37C => normal
Thorak, abdomen dalam batas normal. Akral teraba dingin. Untuk pemeriksaan laboratorim, dilakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu dengan hasil 166 mg/dl dengan riwayat kadar glukosa darah sewaktu pertama kali cek adalah 406 mg/dl kemudian seminggu yang lalu pada tangga 23 mei 2011 didapatkan kadar glukosa darah sewaktu 285 mg/dl. Dari berbagai data yang kami peroleh oleh karena itu kami mendiagnosis bapak Marjo mengalami diabetes tipe II.
b. Faktor Resiko pada kasus kami, yang menjadinya faktor resiko terjadinya diabetes mellitus tipe II adalah : 1. Umur > 40 tahun Pada umur bapak marjo yang 56 tahun oleh karena itu menjadi faktor resiko terjadinya diabetes mellitus khususnya yang tipe 2 yang paling banyak menyerang umur tua. Prosentasi terjadinya Diabetes mellitus tipe 2 pada umur > 40 tahun adalah 80%. 2. Jarang olahraga Pasien jarang berolahraga karena beliau mengatakan hanya beraktifitas saat bekerja saja sehingga ada waktu khusus yang disempatkan untuk berolahraga, faktor ini dapat 36
menyebabkan penggunaan glukosa dalam tubuh tidak efektif untuk menghasilkan energy, sehingga glukosa menumpuk dalam darah. 3. Konsumsi makanan manis sangat mempengaruhi karena dapat menimbulkan peningkatan glukosa darah yang sangat signifikan. 4. Konsumsi makanan dengan kadar kolesterol tinggi Kami mengevaluasi faktor makanan yang berkolesterol ini adalah faktor dari terjadinya penumpukan kolesterol dalam darah sehingga mengganggu aktifitas reseptor insulin dan menyebabkan insulin dan reseptor tidak spesifik. 5. Kadar glukosa darah > 120 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu pasien saat ini adalah 166 mg/dl sehingga masih dalam kadar tinggi walaupun pasien tersebut saat ini mengalami penurunan kadar glukosa darah dari sebelumnya namun tidak menutup kemungkinan pasien akan mengalami kenaikan kembali oleh karena itu kami memberikan edukasi kepada pasien agar tetap kontrol glukosa darah dan konsumsi gula dikurangi. c. Penanganan Non-farmakologi - Pengaturan diet : kurangi makanan berlemak dan makanan tinggi gula - olahraga teratut - Edukasi Farmakologi - pemberian anti diuretic untuk mengurangi gejala poliuria - obat hipoglikemik oral : Biguanin yaitu metformin 500-2000 mg/hari terbagi Dalam 2-3 dosis.
37
PENUTUP Dari hasil PPK yang kami lakukan di puskesmas Srumbung Magelang maka dapat disimpulkan bahwa bapak marjo mengalami Diabetes Mellitus Tipe II yang masih terkontrol karena dari beberapa waktu bapak melakukan cek glukosa darah terdapat penurunan dan sudah mulai mendekati kadar normal, namun pengaturan diet dan kegiatan fisik bapak marjo harus tetap dikontrol agar tidak terjadi kenaikan glukosa darah kembali. Terapi farmakologi yang kami berikan adalah glibenclamid karena biguanin (metformin) efektif untuk meningkatkan kepekaan reseptor insulin sehingga absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis. Manfaat yang didapatkan dari PPK ini kami selaku mahasiswa yang masih menempuh pendidikan dapat mengetahui berbagai macam kasus yang ada di masyarakat khususnya kasus pada sistem gastrointestinal. Dalam pelaksanaannya PPK tersebut kami dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kuliah secara nyata. Selain dari segi ilmu yang kami dapatkan, manfaat dari PPK yang kami rasakan pula adalah : 1. Mendapat kenalan baru para staf-staf kesehatan di puskesmas 2. Mengetahui prosedur-prosedur pengelolahan puskesmas secara umum 3. Saling berdikusi antara mahasiswa dan dosen pembimbing di puskesmas 4. Mempererat kebersamaan kelompok diskusi tutorial 5. Mengajarkan kami untuk melakukan pasien dengan sebaik mungkin dan manfaat lainnya. Dari suatu proses pembelajaran bukan hanya manfaat yang di rasakan namun ada pula hambatan- hambatanya yaitu : 1. Letak puskesmas yang sebelumnya kami tidak tahu sehingga sempat nyasar. 2. Pasien yang masih ragu-ragu untuk memberikan informasi. 3. Penguasaan materi tentang penyakit dan proses pemeriksaan yang belum terlalu baik sehingga membuat membuang banyak waktu. Walaupun terdapat hambatan-hambatan alhamdullilah kami dapat mengatasinya dengan baik sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktek peninjauan kasus ini dengan baik dan tepat waktu. 38
Saran kami untuk PPK kedepan adalah semoga bisa dapat lebih menguasai materi, dosen pembimbing puskesmas harus lebih interaktif untuk diajak berdiskusi agar kami selaku mahasiswa dapat belajar dalam PPK ini, puskesmas yang dikunjungi semoga lebih memilihkan kasus-kasus dengan kompetensi dokter umum.