You are on page 1of 16

Tugas THT - Boyolali

PILEK







Disusun Oleh :
Ratih Puspa Wardani G99122100


Pembimbing :
dr. Anton Christanto, M.kes, Sp.THT-KL


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD PANDANARANG
BOYOLALI
2014


Keluhan utama hidung:
a. Sumbatan hidung
b. Sekret di hidung/pilek (rhinorea)
c. Bersin
d. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala
e. Perdarahan dari hidung (epistaksis)
f. Gangguan penghidu (anosmia/hiposmia)



PILEK

I. Definisi
Rhinorea berasal dari bahasa yunani yaitu rhinos yang berarti hidung dan rrhea yang
berarti cairan. Secara umum rinore dapat diartikan keluarnya cairan dari hidung yang
dapat disebabkan oleh proses inflamasi atau iritasi. Sekret yang jernih seperti air dan
jumlahnya banyak khas untuk alergi hidung. Sekret kuning kehijauan berasal dari
sinusitis hidung dan bila bercampur darah dari satu sisi hidung kemungkinan tumor
hidung. Bila sekret hanya terdapat pada satu sisi hidung dan berbau kemungkinan
terdapat benda asing di hidung. Post nasal drip kemungkinan berasal dari sinus
paranasal.

II. Mekanisme pilek
Mekanisme terjadinya pilek atau rinorea adalah sebagai berikut:
a. Allergen yang masuk tubuh akan difagositosis dan diproses oleh Antigen
Presenting Cell (APC) seperti sel dendritik dan makrofag.
b. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel Th 0. Kemudian APC akan melepas sitokin seperti IL 1
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL
13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan memproduksi Ig E.
c. Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sisi sel menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi.
d. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada
permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke
dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
e. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses
degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A),
Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat
oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
f. Selain histamin juga dikeluarkan newly formed mediators antara lain PGD2, LT
D4, LT C4, bradikinin, PAF, IL3, IL4, IL5, IL6, dan GM-CSF
g. Histamin akan menyebabkan kelenjar dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.



III. Etiologi dan Penatalaksanaan Rinore
a. Serous
Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya(avoi dance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara per oral. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

b. Mukoid
Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan pada
mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh beberapa
rangsangan seperti perubahan kelembapan dan suhu atau iritasi di alam yang tidak
spesifik. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan vasomotor dan juga
pengaruh faktor endokrin.
2,3

Pada umumnya pasien dengan rinitis vasomotor mengeluhkan gejala yang
dominan seperti hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung dengan
posisi pasien. Selain itu juga terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
4
Gejala ini
akan dicetus dan diperparah oleh pengaruh wangi-wangian (seperti parfum, asap
rokok, bau cat, tinta), alkohol, makanan pedas, emosi dan faktor lingkungan seperti
suhu, perubahan tekanan barometrik dan cahaya terang.
3,5

Etiologi
Penyebab pasti terjadinya rinitis vasomotor masih belum diketahui.
2

Mayoritas 75-80% dari faktor individual.
6
Etiologi rinitis vasomotor diduga akibat
adanya gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yaitu bertambahnya aktivitas
parasimpatis dimana terjadi gangguan vasomotor atau gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
2,4
Faktor presiposisi terjadinya rinitis vasomotor yaitu :
6,7

a. Herediter
b. Infeksi yaitu riwayat infeksi bakteri dan virus sebelumnya
c. Psikologi dan emosional
d. Obat-obatan yang menginduksi gejala dari rinitis seperti aspirin dan obat
nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), reserpin, hidralazin, guanetidin,
pentolamin, metildopa, penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE), -blocker, antagonis -adrenoceptor, klorpromazin, kontrasepsi
oral, nasal dekongestan topikal dan agen psikotropik.
6

e. Pengaruh endokrin, rinitis vasomotor terjadi saat usia muda, pubertas,
selama menstruasi, kehamilan serta rangsangan seksual.
Faktor pesipitasi dari rinitis vasomotor yaitu:
6,7

a. Keadaan cuaca, perubahan kelembapan dam suhu
b. Asap, asap rokok, debu, wangi-wangian dan alkohol
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor sangat bervariasi, tergantung pada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol.
4
Menghindari faktor presipitasi yang
diketahui merupakan langkah awal yang tepat dalam pencegahan terjadinya
vasomotor rinitis. Pemberian antihistamin topikal pada pasien yang menujukkan
gejala seperti rinore dengan bersin, post nasal drip dan hidung tersumbat.
3
Pada
pasien yang mengeluhkan rinore semata, pemberian antikolinergik topikal dapat
menjadi langkah awal.
8

Pemberian kortikosteroid topikal dapat diberikan pada pasien yang
mengeluhkan hidung tersumbat dan mengalami obstruksi. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionate dan
mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200
mcg.
4
Selain itu dikenal juga operasi bedah beku, elektrokauter, diatermi
submukosal, laser-turbinectomy, krioterapi dan turbinektomi pembedahan sebagai
penatalaksanaan rinitis vasomotor yang bersifat invasif.
4
Pilihan terapi ini tidak
memberikan 100% efek perubahan untuk semua gejala.
9

Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan
tatalaksana dari rinitis vasomotor dijelaskan pada gambar 1.
c. Mukopurulen
1) Polip Nasi
Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan
penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak,
bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam
rongga hidung. Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke
rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding
lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel
eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari
ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip
antrokoanal).
Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan
patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal :
umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga
dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi.
Penyebab lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin, perubahan
polisakarida dan ketidakseimbangan vasomotor.
Gejala dan Tanda
Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan
cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana
dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang
tidak sembuh-sembuh(6) , sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat
didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok. Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak
nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor
(kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila
ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat
yang terlihat mengggantung di nasofaring
Penatalaksanaan
a) Terapi Konservatif
Kortikosteroid sistemik merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka
pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan
kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali
setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
Kortikosteroid spray dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak
efektif untuk polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray,
mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif
untuk mencegah kekambuhan
Leukotrin inhibitor menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme
5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan
mediator inflamasi.
b) Terapi operatif
Polipektomi intranasal
Antrostomi intranasal
Ethmoidektomi intranasal
Ethmoidektomi ekstranasal
Caldwell-Luc (CWL)
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

2) Rinosinusitis
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
10

Rinosinusitis yang terjadi pada orang dewasa diartikan sebagai inflamasi dari
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, satu
diantaranya harus ada penyumbatan pada hidung/obstruksi/kongesti atau
discharge nasal (anterior/posterior/post nasal drip) ditambah dengan ada atau
tidak nyeri tekan pada muka. Pada dewasa dapat ditandai dengan ada atau
tidaknya gangguan penciuman, namun pada anak-anak ditandai dengan ada atau
tidaknya batuk.
11


Etiologi
a) Infeksi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus,
kemudian diikuti oleh infeksi bakteri yang sekunder. Virus sangat mudah
menempel pada mukosa hidung yang menganggu sistem mukosiliar rongga
hidung dan virus melakukan penetrasi ke selaput lendir dan masuk ke sel
tubuh dan menginfeksi secara cepat. Akibat dari infeksi virus dapat terjadi
edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu
lingkungan ideal untuk perkembangan bakteri. Bakteri aerob yang paling
sering ditemukan, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus
viridians, Haemophilis influenze, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermidis. Bakteri anaerob termasuk Corynebacterium, Peptostreptococcus
dan Vellonela.
13

b) Alergi
Alergi juga dapat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis karena alergi dapat menyebabkan mukosa udem dan
hipersekresi. Mukosa sinus yang udem dapat menyumbat muara sinus dan
menganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya
dapat menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang
mengarah pada rinosinusitis kronis.
13

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada rinosinusitis
viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari hidung tersumbat dan
rinore yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri dapat dilakukan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik untuk
mngeradikasi infeksi, mencegah komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak
menjadi kronis.
Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus diberikan pada
pasien dengan gejala yang berat seperti discaj yang bewarna, nyeri local (VAS
>7), demam (>38
0
C), peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive
protein (CRP) serta gejala yang timbul lebih berat dari gejala sebelumnya.
11

Adapun pengobatan antibiotik seperti golongan cephalosporin (cefpodoxime,
cefuroxime, cefdinir, ceftriaxone) dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat
direkomendasikan sebagai pengobatan inisial.
13
Pasien dilakukan perujukan jika
ditemukan beberapa kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe
dysplaced, penglihatan ganda, oftalmoplegia, pengurangan lapangan
penglihatan, nyeri kepala yang hebat unilateral atau bilateral, bengkak pada
bagian frontal, tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda neurologis lainnya.
11

3) Korpus Alienum
Etiologi
Benda asing adalah benda yang berasal dari luar (eksogen) atau dalam
(endogen) tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing
dapat masuk melalui hidung atau mulut. Benda asing eksogen terdiri dari benda
padat, cair atau gas. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah,
bekuan darah, nanah, krusta, membrane difteri atau cairan amnion.
14

Pembagian lain juga membagi benda asing menjadi benda asing hidup dan
benda asing mati. Benda asing hidup yang pernah ditemukan yaitu larva lalat,
lintah dan cacing sedangkan benda asing mati yang tersering yaitu manik-
manik, baterai logam dan kancing baju.
14
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam
saluran nafas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal,
faktor fisik, faktor dental, faktor medikal dan surgikal, faktor kejiwaan, ukuran
dan bentuk benda asing serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat masuk
melalui hidung dan dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus.
14

Penatalaksanaan
Secara prinsip benda asing yang berada pada saluran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan
dengan trauma yang minimum. Benda asing yang berada dalam hidung dapat
dilakukan pengangkatan dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan
kedalam bagian hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring.Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik
kedepan. Dengan cara ini benda asing itu akan terbawa keluar. Cara lain yang
dapat digunakan dengan alat cunam Nortman atau wire loop.
14

4) Rinitis Atrofi (Ozaena)
Rinitis atrofi didefinisikan sebagai penyakit infeksi pada hidung yang
kronik. Penyakit ini ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka serta terdapat adanya pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa
hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk.
15

Etiologi
Penyebab rinitis atrofi belum dapat diketahui sampai sekarang. Adapun
beberapa keadaan yang menjadi faktor predisposisi yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi yaitu :
15

Infeksi setempat atau kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella ozaena. Kuman spesifik lainnya antara lain Stafilokokkus,
Streptokokus, Pseudomonas dan Kokobasil.
Defisiensi Fe dan vitamin A
Infeksi sekunder seperti sinusitis kronis
Kelainan hormon
Penyakit kolagen termasuk penyakit autoimun
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis atrofi lebih ditujukan dalam mengatasi etiologi dan
menghilangkan gejala. Pengobatan rinitis atrofi bersifat konservatif yaitu
diberikan antibiotik bersprektrum luas yang sesuai dengan uji resistensi kuman
yang dikultur. Pemberian antibiotik dianjurkan harus adekuat dan lama
pemberian bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret yang
kehijauan.
15

Selain itu untuk membantu dalam menghilangkan bau busuk yang
dihasilkan dari proses infeksinya, dapat diberikan obat cuci hidung yang sering
diberikan yaitu larutan garam hipertonik. Larutan ini dimasukkan kedalam
rongga hidungdan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan sekuat-kuatnya
atau yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Pencucian ini
dilakukan dua kali dalam sehari.
Jika dengan menggunakan pengobatan konservatif tidak memberikan
perbaikan, maka dilanjutkan dengan melakukan pengobatan operatif. Teknik
operasi yang akan dilakukan dengan menutup lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini
diharapkan dapat mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret serta
inflamasi dari mukosa juga berkurang.
15

Akhir-akhir ini dilakukan bedah endoskopik fungsional (BSEF) untuk
mengatasi rinitis atrofi. Dilakukannya pengangkatan sekat-sekat tulang yang
mengalami osteomyelitis dengan harapan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi
dan drainase sinus kembali menjadi normal.
15


5) Rinitis Hipertrofi
Etiologi
Rinitis hipertrofi terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang
disebabkan oleh infeksi berulang dalam hidung dan sinus, kelanjutan dari rinitis
alergi dan rinitis vasomotor serta akibat paparan bahan iritan kimiawi dan udara
kotor.
15

Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan rinitis hipertrofi ditujukan untuk mengatasi faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis hipertrofi. Terapi simtomatis hanya
dapat meredakan sumbatan hidung akibat terjadinya hipertrofi konka, antara lain
dapat menggunakan nitras argenti atau dengan kauter listrik . Bila tidak ada
perbaikan dapat dilakukan dengan luksasi konka, frakturisasi konka multipel,
konkoplasti ataupun konkotomi parsial.
15


6) Rinitis Tuberkulosa
Etiologi
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra
pulmoner. Penyakit ini meningkat seiring dengan meningkatnya kasus
tuberculosis. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini
berbentuk noduler atau ulkus pada hidung dan dapat mengenai tulang rawan
septum bahkan dapat menyebabkan perforasi septum.
15
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis tuberkulosa seiiring dengan etiologinya yaitu
melakukan pengobatan antituberkulosis dan diberikan obat cuci hidung untuk
menghilangkan sekret dan bau yang berada pada hidung.
15





7) Rinitis Jamur
Etiologi
Rinitis akibat jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat
invasive atau non invasif. Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai rinolith
dengan inflamasi mukosa yang lebih berat, sedangkan rinitis jamur tipe invasive
ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Adapun jamur
penyebab rinitis jamur yaitu Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan
Mucor.
Aspergilosis merupakan infeksi jamur paling sering yang menyebabkan
rinitis kronik spesifik dengan koloni jamur yang terdapat dalam sinus
paranasal.
15

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis jamur non invasif dapat dilakukan dengan
mengangkat bola jamur (fungus ball). Pemberian obat anti jamur untuk non
invasif tidak begitu diperlukan, sedangkan untuk pengobatan rinitis jamur
invasif dapat diberikan anti jamur oral dan topikal yang bertujuan untuk
mengeradikasi agen penyebabnya. Obat cuci hidung dapat diberikan untuk
pembersihan hidung dari krusta-krusta yang lengket. Khusus untuk rinitis jamur
invasif perlu dilakukannya tindakan debridement sebelumnya untuk
mengangkat seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat sehingga tidak akan
terjadi proses destruksi tulang yang lebih lanjut.
15

d. Bercampur Darah
Neoplasma Sinonasal
Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara
lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok
pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko
terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko
kanker kepala dan leher.
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin
dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita

















DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland.EGC.edisi ke 31. 2010:1991
2. Adam, Boies, Higler. Rinitis vasomotorik. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6.Jakarta: EGC. 1997:218-19
3. Patricia W, Wheeler MD, Stephen F. Vasomotor rhinitis. Kentucky : American
Academy of Family Physicians Publishing. 2005.
4. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
2007:135-37
5. Druce HM. Allergic and nonallergic rhinitis. Dalam : Middleton E jr, Ellis EF,
Yunginger JW, Reed CE, Adkinson NF, Busse WW,edisi Allergy principles and
practices.Edisi ke 5. St.Louis:Mosby.1998:1005-16
6. Garay G. Mechanism of vasomotor rhinitis.France:Journal of Allergy.2004:4-10
7. Downtown D, Blau JN. Vasomotor rhinitis in a synopsis of otolaryngology. Edisi ke4.
Bristol:Wright.1985:230-31.
8. Dolovich J, Kennedy L, Vickerson F, Kazim F. Control of the hypersecretion of
vasomotor rhinitis by topical ipratropium bromide. J Allergy Clin Immunol.1987;274-
8.
9. Ellen A, Jaatun, Claude L. Radio-wave therapy of inferior turbinates for treatment of
intractable vasomotor rhinitis-a clinical study of the subjective long term outcome.
Clinical Medicine and Diagnostics. Norway.2012;1-5.
10. Endang M,Damajanti S. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 150-4
11. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl.2012 Mar(23):1-298.
12. Paul C, Potter MD, Ruby P. Indication, efficacy and safety of intranasal
corticosteroids in rhinosinusitis. WAO Journal.Tokyo.2012:14-17.
13. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004:1711-12.
14. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 259-265
15. Wardani RS, Mangunkusumo E. Rinorea, infeksi hidung dan sinus. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
2007:139-143.

IV.

You might also like