You are on page 1of 2

Greys anatomy, salah satu film seri drama kedokteran produksi Amerika Serikat yang cukup

terkenal. Tak hanya di kalangan medis, bahkan di masyarakat awam. Film seri ini bercerita
tentang kehidupan pribadi lima orang ahli bedah serta berbagai masalah yang harus mereka
hadapi, terutama dalam interaksi mereka dalam aktivitas profesional mereka. Film seri ini pernah
menjadi acara top ten di Amerika Serikat, dan telah menerima berbagai penghargaan seperti
2007 Golden Globe Award for Best Television Series - Drama, nominasi Emmy Awward kategori
Outstanding Drama Series, dan lain-lain.
Greys anatomy pertama kali diputar di stasiun televisi ABC dan sampai sekarang sudah
mencapai 220 episode (10 season) dengan season 11 yang akan segera tayang di akhir september
2014. Kali ini, saya akan mengulik alias mereview satu episode yang sangat berkesan, terutama
mengenai kaitannya dengan hubungan dan komunikasi dokter-pasien, yang berjudul Here
Comes The Flood (season 5 episode 3). Secara garis besar, di samping kericuhan banjirnya
rumah sakit akibat pipa air yang bocor, isi episode ini adalah cerita mengenai 3 pasien berbeda
(pengidap kanker kolon stadium lanjut, pasien dengan nyeri kepala kronik idiopatik selama 8
tahun, dan pasien aneurisma aorta abdominal yang akan dioperasi) dan bagaimana baiknya
hubungan serta komunikasi dokter-pasien yang terjadi. Satu cerita yang sangat menarik dan
menggugah hati saya adalah mengenai pasien aneurisma aorta dan dr. Alex Karev. Pasien
tersebut awalnya dipegang oleh dr. Christina Yang, namun kemudian dialihkan ke dr. Alex
Karev atas keputusan chief.
Sebagai calon dokter yang tentunya akan berinteraksi dengan berbagai jenis pasien, hal yang
begitu menggelitik saya adalah karakter si pasien yang cenderung pesimistik dan depresif. Pasien
ini terus mengeluh akan kondisinya yang sial dan bahwa tuhan membencinya, mulai dari istri
yang meninggalkannya, akuntan yang mencuri uangnya, tempat kerjanya yang terbakar, dan
kemudian didiagnosis mengalami aneurisma aorta abdominal yang akan diooperasi di RS yang
tampaknya tak bersahabat dengannya. Kenapa tak bersahabat? Tak lain karena di episode ini
juga ditampilkan scene di mana pasien tersebut terpeleset sehingga kepalanya terbentur,
kemudian di CT-scan tetapi CT-scannya konslet akibat banjir, yang tentu saja cukup membuat
pikiran pesimistik nan depresifnya semakin menjadi-jadi. Masalah si pasien ini tak berakhir di
sini saja. Si pasien akhirnya menyatakan bahwa dia tidak mau dioperasi. Dia menolak. Buat apa
operasi, toh operasi cuma bakal buat nyeri, bagian tubuhnya akan dipotong, dan mungkin dia
akan mati. Belum lagi kalaupun ternyata selamat, luka operasi justru bisa terinfeksi jadi lebih
parah lagi.
Lantas, dalam berinteraksi dengan tipe pasien seperti ini apa yang akan kita lakukan? Bagaimana
pendekatan yang harus kita lakoni dalam membina hubungan dan komunikasi yang baik antara
dokter dan pasien?
Perlu diketahui bahwa sebagai dokter kita wajib berempati, mau dan mampu merabarasakan
perasaan, pikiran, sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan emosi diri. Bayangkan apabila kita
yang menjadi pasien, merasakan fisik, pikiran, dan emosi tidak sehat, keinginan diperlakukan
dengan kasih sayang dan empati, pandangan, dan harapan terhadap kesembuhan. Dengan
demikian komunikasi dokter-pasien bukanlah hal yang mudah, terutama saat berhadapan dengan
pasien yang bermasalah mulai dari yang sederhana hingga yang rumit dan kompleks. Contohnya
saja seperti yang tergambar dalam episode ini. Kalau saja dr. Alex melibatkan emosi, tentu saja
pasien tersebut akan ditinggalkan. Biarkan saja dia tidak mau dioperasi, itu kan keputusannya,
saya sudah memberi pilihan operasi tapi dia menolak. Mungkin kurang lebih begitulah isi otak
dr. Alex seandainya emosi dilibatkan.
Untungnya, dr. Alex sebagai dokter yang professional telah berhasil melakukan usaha
komunikasi yang efektif. Dia berhasil mengubah keputusan pasien dari tidak mau operasi
menjadi mau. Pendekatan yang dilakukannya sangat berseni, tidak perlu panjang lebar
menjelaskan risiko jika batal operasi yang pasien tentunya seringkali sudah bosan mendengar.
Dr. Alex memancing keinginan sebenarnya dari pasien tersebut. Keinginan akan memiliki
kesehatan yang baik, akan kehidupan yang lebih baik. Tergambar dari scene yang ada di episode
ini bahwa dr. Alex mampu berempati terhadap pasien. Dia mampu merasakan apa yang
dirasakan oleh pasien tersebut. Satu kalimat klimaks yang akhirnya menggugah nurani pasien
tersebut -dan juga saya tentunya. *lol- adalah You must have something to live for, or even just
the possibility of something. Kurang lebih artinya yaaa hidup itu harus ada tujuan bro, bahkan
jika itu hanya sebuah kemungkinan.
So dari sedikit review barusan, dapat disimpulkan bahwa keterampilan komunikasi dokter-
pasien dr. Alex Karev merupakan komunikasi efektif, yaitu komunikasi dengan kesetaraan
dilandasi empati. Komunikasi seperti itu lebih menjamin pesan (isi komunikasi) tersampaikan
dan dimengerti sehingga tujuan dapat tercapai. Proses komunikasi interpersonal antara dokter
dan pasien sesungguhnya merupakan suatu hal yang unik karena dokter selaku komunikator
harus berhadapan pada komunikan yaitu pasien yang secara psikis juga mengalami gangguan
kesehatan. Terkadang ada perbedaan antara nilai serta harapan antara pengirim (dokter) dan
penerima pesan (pasien). Disitulah peran kita sebagai dokter sekaligus komunikan yang
professional tertantang. Dokter itu sebenarnya senjata rahasianya ada dua, saat mendengar dia
memahami, saat berbicara pasien meyakini. Semoga dengan adanya review ini, pembaca bisa
menarik manfaat serta pelajaran mengenai hubungan dan komunikasi antara dokter dan pasien,
dan juga menjadi tertarik untuk menonton film seri Greys anatomy.

Communication is not add on. It is at the heart of patient care

You might also like