You are on page 1of 1

Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas

bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun
pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun
bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.
[2]
Pada tahun 1905, ia
diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi
mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan
majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.
Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian
Kaoem Moeda.
[3]
Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki
Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan
peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
[butuh rujukan]

Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk
mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-
tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School Institut Teknologi Bandung (ITB) di
Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central
Sarekat Islam.
[4]

Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah ia
berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga
terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara.
[3]
Selain
berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa
Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina
bumiputera.
[butuh rujukan]

Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian.
Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia
mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk
bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat
aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang
melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian ia diasingkan
ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal : Salah
Asuhan.
Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian
diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk
ke Indonesia (1942).
Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada
pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.
[3]
Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan
di TMP Cikutra, Bandung.
[butuh rujukan]
.

You might also like