You are on page 1of 6

RAMADHAN TERAKHIR

Setiap kali senja Sa’ban merunduk di ufuk barat, seketika hati ini
berdebar-debar tak terkira. Ramadhan itu telah tiba, dengan
kesyahduannya nan tak terbatas. Tanpa sadar, titik-titik air mata
pun menetes. Subhanallah.

Suka cita adalah perasaan kaum muslim yang paling wajar. Karena, undangan
menjadi tetamu Allah SWT pada bulan Ramadhan sejatinya hanya ditujukan
bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan Allah SWT sebagai Tuan Rumah
jamuan Ramadhan tidak pernah membeda-bedakan tingkat keimanan para
hambaNya. Entah ia merupakan seorang mualaf, entah ia merupakan orang
yang belum yakin dengan kebenaran agama sebagai pegangan hidup, atau
entah ia sebagai muslim yang benar-benar telah mukmin. Dalam konteks
Ramadhan, setiap muslim yang bertekad memenuhi jamuan Allah SWT adalah
orang-orang yang beriman.

Sungguh sangat beralasan bila penghormatan dari Yang Maha Suci itu dibalas
dengan kebanggaan. Karena, Ramadhan memberikan kesempatan yang teramat
luas bagi setiap muslim, untuk memulai halaman buku barunya sebagai kaum
mukmin. Yakni, kaum beriman yang siap menjalankan perintah puasa dan
memahami pesan-pesan di dalamnya. Sekaligus berkesempatan meraih gelar
“orang-orang yang bertaqwa” sebagai penghargaan atas usaha mengisi
halaman-halaman dalam buku keimanan yang telah diputihkan tadi.

Lantas puasa bagaimana yang bisa menghantarkan orang-orang beriman itu


untuk meraih penghargaan taqwa? Sekadar puasakah? Sekadar menahan makan,
minum, dan “ibadah” pada siang hari? Adakah hal-hal lain yang harus dijalani
untuk meraih nilai sempurna sebagai “orang-orang yang bertaqwa”?

112 | s y a i f u l H A L I M
Menahan makan, minum, dan “ibadah” pada siang hari adalah fisik. Perintah
makan dan minum menjadi latihan bagi raga untuk tidak bergantung kepada
segala asupan ke dalam tubuh selama beberapa jam. Makan dan minum adalah
syariat untuk mempertahankan kehidupan raga. Hidup bukan untuk makan dan
minum, tapi makan dan minum untuk hidup. Karena itu, jangan pernah berpikir
bahwa makan dan minum merupakan tujuan hidup.

Dengan menjalankan puasa, kaum mukmin dididik untuk memahami “makan


dan minum yang bukan tujuan hidup”. Dan kenyataan membuktikan, manusia
tetap hidup dan bugar dengan situasi tanpa makan dan minum selama berjam-
jam. Padahal, kita juga sama-sama tahu, makan dan minum adalah kebutuhan
paling mendasar sejak raga ini bersentuhan dengan alam dunia.
Ketergantungan kita akan makan dan minum memang tidak terbantahkan.

Selain makan dan minum, kebutuhan “ibadah” juga menjadi ketergantungan


setiap individu yang telah menerima anugerah akil baligh. Kalau saja tidak ada
syariat yang mengatur moral atau akhlak, maka ketergantungan itu akan
menjadi petaka. Karena pada orang-orang tertentu, kebutuhan itu tak ubahnya
makan dan minum.

Namun secara nonfisik, hadits yang disampaikan oleh Rasulallah SAW secara
jelas menyebutkan bahwa puasa merupakan perang melawan hawa nafsu.
Bahkan, Rasulalallah SAW juga bersabda, perang melawan hawa nafsu itu lebih
dasyat dibandingkan perang-perang di medan pertempuran. Artinya, menahan
makan, minum, dan “ibadah” hanyalah simbol tentang hawa nafsu.

Menahan makan dan minum bukanlah sekadar seremoni untuk merasakan lapar
dan haus. Tapi di dalamnya memuat pesan-pesan moral yang bisa digali dengan
kekuatan hidayah. Puasa harus menjadi awal untuk memulai kehidupan yang
lebih bersih, dengan membiasakan diri mengonsumsi makanan dan minuman
yang halalan dan toyiban. Halalan artinya sumber dan pengolahan bahan

113 | s y a i f u l H A L I M
makanan dan minuman itu tidak melanggar syariat. Sedangkan toyiban artinya
bahan makanan dan minuman itu diperoleh dengan cara diridhoi olehNya.

Sebuah hadits Rasulallah SAW menyebutkan, betapa banyak doa-doa yang tidak
dikabulkan oleh Allah SWT karena terkait ketergantungan pada makanan dan
minuman yang secara halalan dan toyiban tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks Ramadhan, maka kaum mukmin dididik untuk menjadikan syarat
halalan dan toyiban dalam pemenuhi kebutuhan perutnya. Bukan sekedar
memenuhi cita rasa, memuaskan selera dan dahaga, serta mengenyangkan dan
teratasi rasa haus.

Puasa juga harus menjadi kekuatan untuk selalu memperhatikan keadaan


sekeliling kita. Bahwa puasa ditujukan dan akan dinilai langsung oleh Allah SWT
merupakan isyarat bagi kaum mukmin untuk menjadi kepanjangan tanganNya
dalam berbuat kebaikan. Allah SWT jelas tidak membutuhkan apa pun dari
hambaNya. Tapi, sebagai hamba kepada Kawula, kaum mukmin harus
menunjukkan pengabdiannya dengan sungguh-sungguh. Berbuat kebajikan
adalah pesan moral lain yang mesti ditunjukkan pada setiap kesempatan. Lapar
dan dahaga harus menjadi inspirasi untuk merasakan keperihan kaum tidak
beruntung yang dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi lahan pengabdian itu.

Dengan kesempatan lapar, haus, dan birahi yang terkendali, kaum mukmin juga
tengah diberikan peluang untuk mendekatiNya dengan kekhusyuan. Karena,
kondisi puasa itulah yang memungkinkan setiap mukmin bisa merasakan adaNya
dan kuasaNya. Terlebih lagi, bila ia bisa memaksimalkan amaliyah-amaliyah
yang dihamparkan siang dan malam. Entah shalat tarawih dan shalat-shalat
sunnah lain, berdzikir, bertadarus, dan berbuat kebajikan secara nyata kepada
hamba Allah SWT lainnya.

Kaum Sufi kerap selalu membayangkan bahwa setiap kehadiran Ramadhan


dianggap sebagai Ramadhan terakhir baginya. Sehingga, ia tidak akan pernah

114 | s y a i f u l H A L I M
melepaskan kesempatan menjalankan amaliyah dan berbuat kebajikan barang
semenit pun. Puasa harus menjadi kesempatan berperang habis-habisan
melawan hawa nafsu dan mengamalkan pesan-pesan simboliknya. Selain itu,
puasa juga merupakan kesempatan untuk memperkuat proses takhali atau
pembersihan dhahir dan batin dari perbuatan-perbuatan yang melanggar
syariat. Baik dengan kesungguhan bertaubat maupun menghadirkan Sifat-Sifat
dan Af’alNya dalam kepribadian sehari-hari.

Bagi kaum Sufi, puasa juga merupakan kesempatan untuk terus mempertebal
tabungan tahali atau pengisian dhahir dan batin dengan amaliyah dan berbuat
kebajikan. Puasa merupakan kesempatan untuk mempertebal pondasi sabar,
syukur, dan ridha, dengan meningkatkan taslim, zuhud, dan tawakal. Puasa
bukan lagi sekadar ujian fisik, tapi kesinambungan untuk mempuasakan pikiran
dan hatinya agar selalu dekat dengan Allah SWT. Sehingga keyakinan yang
semula ilm yaqin makin terbuktikan dengan pengalaman ainun yaqin.

Setiap dari kita juga tidak ada yang tahu, apakah kali ini menjadi Ramadhan
terakhir atau bukan untuk kita. Atau, mungkin menjadi Ramadhan terakhir di
lingkungan kita yang sekarang. Kita tidak pernah tahu akan rencana-
rencanaNya. Karena itu, penting sekali untuk meresapi kedalaman pesan
Ramadhan kali ini – entah yang terakhir atau bukan – untuk memaksimalkan
pelaksanaan seluruh amaliyah dan berbuat kebajikan dengan sekeliling kita.

Sudah saatnya “rapor” puasa ini berubah dari sekadar menahan lapar, haus,
dan birahi hewani, menjadi puasa yang memiliki nilai lebih terkait amaliyah
lain dan upaya berbuat kebajikan terhadap sekeliling kita. Bahkan, taruhlah
kebajikan itu sekadar berupa senyum atau memberikan jalan keluar dari
kesulitan yang dialami oleh seseorang. Pada hakekatnya, sabda Rasulallah SAW,
Allah SWT akan mencatat senyum dan pemberian jalan keluar itu sebagai
kebaikan. Sebaliknya, bertekadlah untuk menghindari dzalim. Bahkan,
mendiamkan kedzaliman yang terjadi di depan mata kita.

115 | s y a i f u l H A L I M
Dan pada rentang waktu berikutnya, kaum mukmin juga harus mulai
mempuasakan pikiran dan hatinya. Laksana kaum Sufi istiqomah dengan
bertakhali dan bertahali. Dalam pengertian lain disebut sebagai puasa secara
tarekat. Tujuannya, agar pikiran dan hatinya selalu dibimbing untuk melakukan
berbagai amaliyah seperti yang ditunjukkan Rasulallah SAW dan para sahabat,
serta berbuat kebajikan bagi orang lain.

Namun sebelum melangkah lebih jauh untuk menekuni puasa secara tarekat,
maka kaum mukmin bisa memulainya dengan berupaya meraih kenikmatan
Ramadhan. Ramadhan akan menjadi memiliki makna luar biasa, jika kaum
mukmin sudah merasakan kenikmatan-kenikmatan dalam melakukan seluruh
amaliyah dan berbuat kebajikan. Entah ketika berpuasa pada siang hari,
melakukan shalat fardhu dan shalat sunnah, bertadarus, atau menjalankan
kebajikan-kebajikan untuk sekeliling kita, seperti beramal atau bersedekah.

Kalangan ulama berpendapat, kenikmatan-kenikmatan itu merupakan


manifestasi penghargaan taqwa seperti yang dijanjikanNya. Dan perbedaan
antara mukim satu dan mukmin lainnya adalah pada tingkatan ketaqwaan itu.
Bahwa Allah SWT telah memberikan kesempatan yang sama pada awal
Ramadhan dengan menyamaratakan setiap muslim dengan tingkat keimanan
apa pun sebagai “orang-orang yang beriman”. Namun, usaha dan kerja keras
setiap kaum mukmin itu akan mendapatkan nilai yang berbeda. Karena,
pengisian halaman per halaman dalam buku keimanan yang dimiliki setiap
mukmin juga pastinya berbeda-beda.

Dan agar halaman-halaman dalam buku keimanan mengantarkan setiap kaum


mukmin untuk meraih penghargaan sebagai “orang-orang yang bertaqwa”,
maka ia bisa memulainya dengan meyakini bahwa kali ini merupakan Ramadhan
terakhir baginya. Kalau pun Yang Maha Hidup memberikan umur panjang, maka
hal itu harus menjadi kesempatan untuk mempertahankan rapor ketaqwaan itu

116 | s y a i f u l H A L I M
sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, hingga
roh terpisah dari raga. Yakni, dengan menjaga praktik seluruh amaliyah dan
kebajikannya secara kualitas atau kuantitas. Dan, jika kali ini bukan Ramadhan
terakhir baginya, maka ia akan senantiasa merindukan Ramadhan pada tahun-
tahun berikutnya. Serta, dengan hati yang selalu berdebar-debar dan sentuhan
kesyahduan nan tak terkira.[]

Komentar pembaca bisa diunduh di:


http:// blog.liputan6.com/2009/09/08/ramadhan-terakhir

117 | s y a i f u l H A L I M

You might also like