You are on page 1of 23

acam-macam Pemikiran Gaya Kepemimpinan

Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership,
mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan
situasional model Hersey dan Blancard.
2.1 Teori Gaya Kepemimpinan Klasik
Teori klasik gaya kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap gaya
kepemimpinan terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive behavior) dan
unsur bantuan (supporting behavior). Dari dua unsur tersebut gaya kepemimpinan
dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu otokrasi (directing), pembinaan
(coaching), demokrasi (supporting), dan kendali bebas (delegating). Mengambil contoh
pemimpin negara kita, presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
1. Mengarahkan (directing)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu
dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan
komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang
tinggi.
2. Melatih (coaching)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk
mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas sesuai
kemampuan dan tanggung jawab karyawan.
3. Partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus diperankan ketika
karyawan memiliki tingkat kemampuan yang cukup, tetapi tidak memiliki kemauan untuk
melakukan tanggung jawab.
4. Mendelegasikan (delegating)
Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi,
maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya delegasi. Dengan gaya delegasi
ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah
mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya.

2.2 Gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.
Mengambil contoh kepada manajer dari suatu perusahaan yang berhasil menerapkan
gaya kepemimpinan situasional di perusahaan yang dipimpinnya
1. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren Schmidt.
Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:
* Bidang pengaruh pimpinan (pemimpin lebih menggunakan otoritas)
* Bidang pengaruh kebebasan bawahan. (Pemimpin lebih menekankan gaya
demokratis)
2. Gaya Managerial Grid
Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek
yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton
menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya
(followers).
3. Gaya Kepemimpinan Situasional dan Produktivitas Kerja
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh
yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan atau pegawai. Hal ini
didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam
meningkatkan produktivitas kerja. Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya
Kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari
yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional. Dari beberapa gaya
yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasionallah yang paling
baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional
dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat
ini. Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu bawahan
yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih
pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung.
4. Kontinum Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan kontinum dipelopori oleh Robert Tannenbaum dan Warren
Schmidt. Kedua ahli menggambarkan gagasannya bahwa ada dua bidang pengaruh
yang ekstrem , pertama bidang pengaruh pimpinan kedua bidang pengaruh kebebasan
bawahan. Gaya kepemimpinan managerial grid dipelopori oleh Robert R Blake dan
Jane S Mouton. Dalam pendekatan managerial grid ini, manajer berhubungan dengan 2
hal yakni produksi di satu pihak dan orang-orang di pihak lain. Managerial Grid
menekankan bagaimana manajer memikirkan produksi dan hubungan manajer serta
memikirkan produksi dan hubungan kerja dengan manusianya. Bukannya ditekankan
pada berapa banyak produksi harus dihasilkan, dan berapa banyak ia harus
berhubungan dengan bawahan. Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-
Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994)
berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu
dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai
dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber
kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di
tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada
dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi
melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini
mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan
kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan.
Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.

Ada 4 tingkat kematangan bawahan, yaitu:
M 1 : bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan.
M 2 : bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia
bisa.
M 3 : bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin.
M 4 : bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk
menyelesaikan tugas.
Ada 4 gaya yang efektif untuk diterapkan yaitu:
v Gaya 1 : telling, pemimpin memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan tugas dan
kinerja anak buahnya.
v Gaya 2 : selling, pemimpin menjelaskan keputusannya dan membuka kesempatan
untuk bertanya bila kurang jelas.
v Gaya 3 : participating, pemimpin memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide-
ide sebagai dasar pengambilan keputusan.
v Gaya 4 : delegating, pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas
kepada bawahannya.
____________________________________________________________________
Dalam tulisan seterusnya, saya cuba membawa para pembaca lebih memahami
tentang gaya kepimpinan yang ada, berdasarkan teori-teori kepimpinan biasa.
Kefahaman ini penting agar kita dapat memahami akan perangai seseorang pemimpin
itu yang dikatakan bertanggungjawab membawa hala tuju persatuan dan masa depan
kita sendiri dalam persilatan dan persatuan. Bayangkan gaya-gaya tersebut dengan
gaya kepimpinan pemimpin kita sama ada yang sedia ada atau buat masa-masa lalu
atau akan datang. Bandingkan juga gaya-gaya tersebut dengan perangai kita sendiri.
Sekurang-kurangnya dalam proses muhasabah diri, kita juga akan mengetahui akan
kedudukan perwatakan kita. Hal yang demikian akan memudahkan kita menyesuaikan
diri kita dengan perangai, sikap dan gaya pemimpin atau ketua kita atau rakan-rakan
sekeliling, di samping memahami akan tindak tanduk mereka dalam kehidupan
seharian SC.

Namun dalam hal ini seperti yang selalu saya tegaskan, jangan lupa keperluan kita
muhasabah diri. Kelemahan dan kekuatan rakan sekeliling sama ada ketua atau rakan
biasa, jangan mudah ditafsir sesuka hati. Kita mesti ada ilmu bagi membuat sesuatu
kesimpulan atau ulasan. Jadi, jangan sesekali jadikan isu atas kelemahan mereka.
Jangan juga sesekali bermegah atas kelebihan mereka. Cuma, jadikan sempadan atau
batasan pegangan kita. Setiap kelemahan perlu diperbaiki. Kekuatan atau kelebihan
yang ada pada kita, binalah dan kuatkan dari masa ke masa. Sering-seringlah
berbincang dengan rakan-rakan akrab kita.

Biasanya perangai seseorang itu dipancarkan pada gaya kepemimpinan tradisional.
Gaya ini meliputi tiga jenis iaitu Gaya Autokratik, Gaya Demokratik dan Gaya Laissez
Fair. Setiap gaya kepimpinan itu akan saya bincangkan dari segi ciri-cirinya, implikasi
pengurusan dan kesesuaiannya bersandarkan pada pandangan saya. Mungkin tulisan
ini akan memberi sedikit pengetahuan kepada para Jurulatih yang mengendalikan kelas
dan kepada barisan pemimpin cawangan yang mengendalikan persatuan bagi
memahami perangai anak-anak didik atau rakan sekeliling.

Gaya kepemimpinan Laissez Fair tidak akan dibincangkan dalam tulisan ini. Hal ini
demikian kerana gaya tak kisah ini sudah tidak sesuai dan tidak popular lagi.
Berdasarkan hukum adat, biasanya kalau tak kisah maka individu itu pasti akan
ditendang daripada organisasi berkenaan. Dalam SC, ramai yang buat tak kisah telah
tersingkir dari persatuan dan persilatan. Namun begitu ada juga keluarbiasaannya.
Tentu ada satu-satu sebabnya itu.

Gaya kepemimpinan autokratik boleh juga dikatakan sebagai gaya kepemimpinan
secara mutlak. Dalam gaya ini, pemimpin tertinggi akan bertanggungjawab untuk
menentukan hala tuju persatuan atau hala tuju organisasinya sendiri. Hal yang
demikian tidak menghairankan kerana penubuhan persatuan itu sendiri ada kaitan
dengan peranan mutlak yang telah dimainkannya. Pendek kata, tanpa usaha dan
pengorbanan yang dilakukannya maka organisasi tersebut mungkin tidak ada. Oleh
sebab penubuhan persatuan atau organisasi itu erat kaitan dengan usaha-usaha dan
peranannya maka beliau akan terlibat secara langsung dalam menentukan undang-
undang dan peraturan persatuan itu sendiri.

Walaupun ada mesyuarat dalam kalangan ahli jawatankuasa, kepimpinan tertinggi tetap
mempunyai kuasa pemutus dalam semua hal. Pendekatan kepimpinannya ialah secara
top-down. Terima sahaja arahan atau nasihat yang diberikan tanpa banyak karenah
dan tanpa banyak perbahasan. Hal yang demikian akan merugikan masa dan
meletihkan mulut untuk berbincang.

Saya pernah menyentuh tentang gaya kepemimpinan secara mutlak ini. Malah, saya
tegaskan betapa perlunya gaya kepimpinan jenis ini dijalankan dalam persatuan kita
ketika penubuhannya lagi. Saya sendiri sangat berminat dengan gaya ini. Kesesuaian
gaya ini adalah berkaitan dengan pelbagai faktor yang saya anggap perlu diberi
perhatian.

Saya pernah menulis dalam tulisan terdahulu betapa corak kepimpinan secara mutlak
ini amat sesuai ketika timbul suasana kritikal atau mendesak untuk menyelesaikan
sesuatu masalah. Masa perbincangan amat terhad. Kata putus perlu diberi dengan
seberapa segera. Boleh juga kita kiaskan umpama isteri kita yang terdesak untuk
melahirkan anak. Kata putus perlu diberi, sama ada membawanya ke hospital atau
berbidan di kampung. Jika hospital, perlu diputuskan segera sama ada di hospital
kerajaan atau hospital swasta. Kelewatan membuat keputusan akan mengundang
padah yang membahayakan. Oleh itu kata putus amat penting berbanding dengan
proses perbincangan yang akan memakan masa.

Gaya kepimpinan itu juga amat penting jika pemimpinnya sahaja yang tahu akan
sesuatu matlamat yang ingin dicapai. Tak perlu bincang-bincang. Buang masa sahaja.
Teringat saya dalam satu kelas silat. Ketika belajar buah asas Kuntau Kiri Gantung dan
Kuntau Kanan Gantung. Kita disuruh supaya meletakkan kaki kita di pelipat pasangan
silat secara sentuhan. Jangan dipukul. Maka ada murid yang bertanya. Kenapa kita tak
pukul saja kaki pasangan kita. Lagi mantap.

Ikut aje. Jangan banyak bertanya. Itulah jawapan Ustaz pada kumpulan saya. Ada
yang puas hati dan ada yang tidak puas hati atas jawapan mutlak berkenaan. Tidak ada
penjelasan lanjut untuk memuaskan hati ahli yang bertanya.

Selepas tamat baru kami faham akan kegunaannya. Banyak gunanya ketika
mempelajari peringkat menengah. Rupa-rupanya percakapan tegas tanpa
menggalakkan perbincangan ada gunanya. Cuma yang penting ialah kita memberi
kepercayaan penuh pada Jurulatih kita. Mereka tahu apa yang ingin dicapai. Kita tidak
ada pengalaman atau pengetahuan tentang tujuan selanjutnya. Kita ikut sahaja.
Manakala di pihak Jurulatih, apa guna berbincang pada mereka yang tidak tahu akan
gerak seterusnya. Perbincangan akan memakan masa dan membuang masa. Lebih
baik banyak bertindak dari banyak bercakap. Cuma, telinga kita perlu tahan atas komen
yang pelbagai dari pihak anak didik kita.

Begitu juga ketika kita sedang berhadapan dengan satu majlis anjuran Lincah untuk
mempertemukan kita dengan Kalimah. Ustaz mengarahkan buat itu dan ini tanpa ada
perbincangan banyak. Orang lain ikut sahaja. Rupa-rupanya, arahan secara mutlak itu
memberi impak positif pada perkembangan SC seterusnya. Strategi Ustaz mengena.
Ramai yang baru faham setelah nampak akan hasil positifnya.

Jadi jelaslah pada kita dalam suasana mendesak dan dalam keadaan pengikut kita
tiada pengalaman atau kurang berpengalaman, kata putus segera perlu ada. Lebih-
lebih lagi jika seseorang pemimpin itu lebih mengetahui akan matlamat atau jawapan
pada persoalan yang ditimbulkan. Kita jangan mudah membuat kesimpulan negatif
terhadap apa jua jenis gaya kepimpinan. Setiap sesuatu itu ada kebaikan dan ada
keburukannya. Tafsiran baik atau buruk banyak bergantung pada nilai yang ada pada
individu itu sendiri. Bukan semuanya sama ketika membuat tafsiran tentang baik buruk
sesuatu itu.

Saya sangat berminat dengan gaya kepimpinan ini dalam keadaan inginkan keputusan
yang cepat. Perbincangan akan mengambil masa yang panjang. Berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan yang ada pada saya, maka keputusan secara cepat
dapat diambil. Oleh sebab keputusan itu berdasarkan mutlak saya, maka saya akan
pastikan matlamat yang hendak dicapai itu akan beroleh kejayaan. Sesungguhnya
dalam banyak perkara, matlamat yang dihajatkan telah tercapai kehendak dan
maksudnya.

Walau bagaimanapun, saya tidak dapat nafikan betapa gaya kepimpinan yang
sedemikian menghadapi risiko kegagalan. Tindakan yang terburu-buru tanpa
perbincangan dan pandangan orang lain akan mengundang pertaruhan nasib sama ada
berjaya atau tidak. Jika gagal, pastinya pemimpin itu akan dipertanggungjawabkan dan
akan menerima kecaman secara sendirian. Jika tersilap langkah juga, pemimpin itu
mungkin akan tersingkir dari tanggungjawab yang diamanahkan padanya. Tapi itulah
risiko yang perlu diambil oleh seseorang pemimpin yang menaruh kepercayaan pada
kebolehan dirinya.

Kepimpinan yang sedemikian juga akan mengundang perasaan tak puas hati dalam
kalangan pengikut atau pemimpin yang lain jika ada dalam kalangan mereka yang turut
berkebolehan dan berpengetahuan. Apabila diri mereka diketepikan dari memberi
pendapat atau pandangan, akan menyebabkan mereka berasa terketepi dan tidak
memberi makna akan kehadiran mereka dalam organisasi berkenaan. Mungkin
kumpulan ini akan merajuk atau mengundur diri dari setiap aktiviti yang dijalankan.

Perasaan tak puas hati jika tidak dihapuskan akan membunga mekar dari masa ke
masa. Mereka mungkin akan melahirkan perasaan tak puas hati itu dalam kalangan ahli
yang lain. Maka dengan itu akan wujudlah suasana yang tidak menyenangkan dalam
hubungan antara kepimpinan tertinggi dengan anak buahnya. Puncak perasaan tak
puas hati itu akan melahirkan penentangan sama ada secara senyap atau secara
terbuka. Lebih teruk lagi jika ahli-ahli yang tidak berpuas hati itu akan meninggalkan
terus persatuan yang dilibatinya.

Oleh itu jika timbul suasana yang sedemikian, pemimpin yang suka mengamalkan gaya
kepimpinan autokratik ini eloklah buat penjelasan. Dalam hal ini, penjelasan yang diberi
akan membolehkan ahli-ahli yang tidak berpuas hati akan berasa puas dan jelas. Lebih-
lebih lagi penjelasan itu diberikan oleh kepimpinan tertinggi. Janganlah kita bersifat ego.
Dalam hukum persatuan, ahli-ahli biasa boleh menjatuhkan kepimpinan tertinggi
berdasarkan undian dalam mesyuarat agung. Nampaknya dalam banyak kes, dalam
bidang persilatan, guru yang kehilangan jawatan presiden dalam persatuan akan turut
kehilangan jawatan guru dalam persilatannya.

Satu lagi jenis perangai atau pelakuan seseorang dapat dihubungkan dengan gaya
demokratik. Ramai yang mengenali gaya kepimpinan secara demokratik. Pemimpin
yang mengamalkan gaya ini dikatakan sebagai pemimpin yang sentiasa mengambil
berat hal-hal yang dihadapi oleh para pengikutnya. Kebajikan para pengikut sentiasa
dijaga. Nilai sosial adalah begitu tinggi. Hubungan sesama ahli adalah begitu rapat. Hal
yang demikian akan menjadikan mereka menghormati orang lain terutama pengikutnya.
Dari segi menjalankan tugas, mereka akan bersama-sama turun padang untuk
menyelesaikan tugasan yang diberi.

Sesuatu pelaksanaan tugas, konsep bermesyuarat atau berbincang amat
dititikberatkan. Malah kalau seseorang itu menjadi ketua, prinsip berbincang dan
berunding dengan orang bawahan sangat ditekankan sebelum membuat sesuatu
keputusan. Malah ketua berkenaan sangat menggalakkan penyertaan dan kerjasama
antara semua lapisan ahli yang ada dalam satu-satu organisasi itu. Maka lahirlah sifat
bertolak ansur jika sesuatu matlamat itu belum tercapai. Desakan kurang digunakan,
sebaliknya prinsip memujuk dan memohon kerjasama amat diutamakan.

Kalaulah Presiden Cawangan kita atau Penyelia Kelas kita ataupun Jurulatih kita sendiri
mengamalkan gaya kepimpinan demokratik, terserlah perangainya yang menekankan
perseimbangan antara tugas dan kesesuaiannya dengan ahli yang berkenaan. Mereka
akan pandai membuat pembahagian kerja berdasarkan kesesuaian. Malah, tugas
menggantung kain rentangpun akan diberi pada mereka yang sesuai menjalankan
tugas berkenaan. Jika tugasan itu ditolak, perbincangan dan pujukan kerap kali
digunakan.

Kepemimpinan yang mengamalkan gaya kepimpinan ini, akan sentiasa menjadi
pendorong dan penggalak kepada ahli-ahli lain sebagai motivasi. Tekanan pada ahli
akan cuba dielakkan. Dalam persilatan, jika ada pesilat yang masih lemah menguasai
pelajaran, Jurulatih itu akan membina gerak penuntut tersebut dalam keadaan tenang,
jujur dan sabar. Gaya kepimpinan ini mempunyai sikap dan pegangan bahawa setiap
individu itu berbeza dari segi sifat dan kebolehannya. Oleh itu, mereka akan
mempunyai perancangan bagi membina kebolehan anak didiknya dari masa ke masa.
Gaya kepimpinan ini juga suka berbincang. Setiap kelemahan dalam penguasaan silat,
akan dicari puncanya. Punca ini akan dijadikan dasar dalam perbincangan dengan anak
didiknya apabila menyentuh soal-soal pembelajaran silat.

Dalam aktiviti persatuan, mereka menggalakkan penyertaan semua ahlinya secara
total. Mereka percaya bahawa pengurusan secara penyertaan total ini adalah cara yang
terbaik untuk mengurus persatuan dengan berkesan. Hal yang demikian akan
menjadikan semua ahli akan komited dengan segala perancangan. Setiap kejayaan
akan dirai bersama manakala kegagalan yang ditempoh akan dirasai
tanggungjawabnya oleh semua ahli.

Oleh sebab kepimpinan corak ini berjaya membawa para ahlinya perasaan empunya
pada persatuannya, mereka akan sentiasa menetapkan objektif yang tinggi dalam
setiap perancangan. Sifat suka berbincang dan turun padang memastikan keyakinan
mereka berkemampuan untuk membimbing dan menasihati ahli persatuannya ke arah
pencapaian matlamat.

Pelakuan berdasarkan gaya kepimpinan demokratik ini amat sesuai sekali jika
pemimpin atau ketua persatuan itu tidak mempunyai kuasa mutlak. Kalau tak ada kuasa
mutlak lebih baik jangan suka mengarah-arah orang lain atau anak buah sendiri dengan
sesuka hati. Biasanya arahan itu tidak dipeduli dan tidak dijalankan dengan baik dan
berkesan. Kebolehan mentadbir di cawangan itu adalah ramai dan masing-masing ada
kebolehannya tersendiri. Kalaulah dalam peratuan itu ada ramai tokoh-tokoh yang
berwibawa sebagai ketua dan pemimpin, gaya demokratik adalah perlu. Arahan secara
autokratik akan menyebabkan perasaan tak puas hati pada pemimpin lain yang berasa
dirinya juga berkebolehan.

Corak kepimpinan demokratik juga akan menyebabkan timbul dalam kelompok ahlinya,
mereka yang boleh bersuara mengeluarkan pendapat atau hasrat. Hal yang demikian
akan menjadikan mereka berasa diri mereka diberi penghargaan dan diperlukan dalam
persatuan. Oleh itu, kesetiaan, komitmen dan pengorbanan mereka pada persatuan
akan turut bertambah. Secara langsung penyertaan pengikut dalam membuat
keputusan diperlukan. Masing-masing akan berusaha untuk memajukan persatuan.
Secara langsung akan mendidik para ahli menjadi pemimpin. Banyak perkara yang
mereka boleh belajar dalam pengurusan persatuan. Secara tidak langsung, wujudlah
barisan pelapis kepimpinan dalam persatuan dan persilatan. Sepatutnya
kesinambungan kepemimpinan ini penting bagi meneruskan perjuangan SC.

Berdasarkan pengalaman saya, jika semua barisan kepimpinan pada satu-satu
persatuan itu mengamalkan gaya kepimpinan demokratik maka sikap, tingkah laku dan
tindakan mereka juga akan menjurus ke arah demikian. Setiap aktiviti menampakkan
penyertaan bersama. Semua ahli tahu akan peranan masing-masing. Malah, keputusan
yang diambil pun adalah keputusan bersama hasil perbincangan secara bersama.
Pembahagian tugas adalah juga berdasarkan keputusan bersama. Tugas yang diberi
akan dipikul dengan sebaik mungkin. Oleh itu, setiap kejayaan adalah merupakan
kejayaan bersama. Mereka akan meraikannya bersama. Itu sebab kita selalu dapati,
apabila selesai sesuatu aktiviti, mereka akan meraikannya bersama di kedai-kedai
makan atau di mana-mana sahaja. Bersembang-sembang pada aktiviti yang telah
dijalankan. Mengulang-ulang catatan peristiwa yang sama-sama terlibat dan sama-
sama saksikan.

Sebaliknya, setiap kelemahan akan dikongsi bersama. Masing-masing akan berduka
dan mencari jalan mengatasinya. Perbincangan akan diadakan dari masa ke masa bagi
mengatasi kelemahan seterusnya. Tuduh-menuduh sesama sendiri akan banyak
merugikan pelbagai pihak.

Walau bagaimanapun, kepimpinan demokratik ini juga mungkin membawa serba sedikit
kekurangan. Kalau keadaan mendesak, keputusan yang diambil akan menjadi lama.
Perbincangan akan memakan masa. Masing-masing dengan pendapatnya sendiri. Jika
tidak ada persetujuan akan menyebabkan ada dalam kalangan mereka yang
mengundur diri. Masing-masing akan bersaing dalam memunculkan diri sebagai
seorang yang hebat. Pendapat mereka cuba diketengahkan dalam keadaan mesti
diterima. Hal yang demikian tentunya tidak membawa kebaikan kepada persatuan.
Terlalu banyak perbincangan akan menggalakkan perpecahan. Perpecahan yang wujud
itu akan diambil kesempatan oleh para pemimpin yang ada kepentingan diri.

Kita telah melihat dua jenis gaya kepimpinan. Gaya-gaya tersebut adalah terhasil pada
diri seseorang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang pernah saya bincangkan. Nilai-nilai
tersebut telah terpupuk sejak zaman kelahiran mereka lagi. Perlakuan seseorang yang
berada di sekeliling kita dapat dihubungkan dengan gaya kepimpinan tersebut. Hal
yang demikian akan memudahkan kita memahami akan perangai atau kelakuan orang-
orang yang berada di sekeliling kita.

Berdasarkan pengalaman saya dalam agensi kerajaan dan berdasarkan pengalaman
saya bersama-sama Ustaz, ciri-ciri gabungan kedua-dua gaya kepimpinan tersebut
amat sesuai sekali dalam kebanyakan organisasi. Umpama sifat jantan. Ada masa
lembut dan ada masa keras. Lembut sepanjang masa akan memperlihatkan
kelemahan. Manakala keras sepanjang masa akan memperlihatkan ketegangan.
Gabungan lembut dan keras akan menyebabkan wujud kemudahlenturan. Ketika yang
perlu akan menjadi keras dan ketika tertentu akan dilembikkan.

Saya rasa hal yang demikian akan menjadikan setiap orang berada dalam keadaan
waspada dan serius untuk menjalankan sesuatu tugas yang diamanahkan. Mereka
yang pernah rapat dengan Ustaz tentu memahami keadaan yang demikian. Kita boleh
membuat contoh yang paling mudah dalam persekitaran rumah tangga kita sendiri.
Untuk memilih warna langsir, saya rasa gaya suka hati elok dijalankan. Isteri kita
sentiasa berada di rumah. Biarlah dia yang menentukan pilihannya. Tidak perlu kita
campur tangan. Walau bagaimanapun, apabila melibatkan perbelanjaan langsir
tersebut beribu ringgit, maka konsep demokratik perlu dilaksanakan. Asasnya ialah
perbincangan. Suami isteri perlu berbincang dari segi punca perbelanjaan dan faedah-
faedahnya. Sebaliknya jika isterinya terdesak untuk melahirkan anak, tindakan mutlak
perlu diambil. Tak perlu bincang-bincang lagi. Terus ambil tindakan. Perbincangan
hanya layak dilakukan ketika di awal mengandung. Untuk melahirkan anak, mana boleh
ada perbincangan. Kata putus segera perlu dibuat.

Pengamalan gaya kepimpinan secara gabungan ini adalah lebih fleksibel dan praktikal.
Kalau barisan ahli tiada kemahiran dan kemahiran itu hanya terletak di tangan kita,
maka teruskan beri arahan mutlak. Hal yang demikian menunjukkan kesungguhan
barisan kepimpinan untuk menyelesaikan sesuatu perkara. Perancangan yang
memerlukan perbincangan, perlulah diikuti dengan perbincangan. Perancangan yang
memerlukan arahan maka terus saja keluarkan arahan.

Saya yakin, gaya gabungan ini adalah lebih berkesan. Setiap ahli akan tahu batas
keupayaan masing-masing. Mereka boleh mengembangkan potensi diri yang ada.
Ketika itu, mereka akan berwaspada dan tidak mengambil mudah atas sesuatu perkara.
Manakala para kepimpinan atasan pula akan mudah membuat perubahan dan
memperkenalkan perubahan. Oleh sebab tiada siapa yang berani menentang, maka
para ahlinya akan nampak akan keseriusan pemimpinnya dalam menjalankan sesuatu
perancangan.



Aaa
Dalam sesebuah organisasi memerlukan barisan kepemimpinan bagi mengetuai
organisasi tersebut mencapai matlamat dan tujuan yang dikehendaki. Dalam sesebuah
organisasi biasanya terdiri daripada tiga peringkat iaitu pengurus barisan hadapan,
pengurus pertengahan dan pengurus bahagian operasi. Individu yang
bertanggungjawab dalam menggubal matlamat dan memutuskan sesutau keputusan
dalam organisasi adalah terletak di barisan pengurus hadapan iaitu individu-individu
yang bertanggungjawab dalam memimpin organisasi menuju arah yang betul seiring
dengan matlamat yang ingin dicapai. Jika sesebuah organisasi dipimpin oleh individu
yang salah, maka kebarangkalian organisasi tersebut akan jatuh adalah tinggi. Hal ini
kerana, aspek kepemimpinan dalam sesebuah organisasi merupakan aspek terpenting
kerana pemimpin adalah orang utama yang menentukan hitam putih organisasi di
bawahnya.

1.1 Konsep Kepemimpinan
Menurut Stogdill (1974) terdapat pelbagai definisi yang diberikan tentang
kepemimpinan.
Hal ini kerena banyak individu yang telah cuba mendefinisikan konsep
kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada
mempunyai beberapa unsur yang sama. Menurut stoner dalam Fauziyah Mastuti
(2009), kepemimpinan adalah sebagai proses mengarah dan mempengaruhi kegiatan
yang berhubungan dengan tugas. Menurut George Terry dalam penulisan yang sama
juga mendefinisikan kepemimpinan sebagai satu kegiatan untuk mempengaruhi orang
lain agar mahu bekerja dengan suka rela untuk mencapai tujuan kelompok, manakala
Cyriel O'Donnell dalam penulisan tersebut mendefinisikan kepemimpinan sebagai
usaha untuk mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum.

Kepemimpinan dapat dilihat dari dua aspek iaitu sebagai sebuah proses dan sebuah
seni. Kepemimpian sebagai sebuah proses menurut J. Robert Clinton dalam Fauziyah
Mastuti (2009) adalah sebagai suatu proses yang kompleks dimana seseorang
mempengaruhi orang-orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan
mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan koheren." Mereka yang
memegang jabatan sebagai pemimpin menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya
(keyakinan, nilai-nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan keterampilan).

Maka seorang pemimpin berbeza dari majikan, dan berbeza dari pengurus. Seorang
pemimpin menjadikan orang-orang ingin mencapai tujuan dan sasaran yang tinggi,
sedangkan seorang majikan menyuruh orang-orang untuk menunaikan suatu tugas
atau mencapai tujuan. Seorang pemimpin melakukan hal-hal yang benar, sedangkan
seorang pengurus melakukan hal-hal dengan benar (Leaders do right things, managers
do everything right). Kepemimpinan sebagai sebuah seni adalah "seni membuat peta
keinginan tentang masa depan organisasi, dan kemampuan menerjemahkan peta
tersebut menjadi suatu kerangka keinginan yang nyata, serta kekuatan atau kuasa
menggunakan segala sumber untuk melaksanakan peta tersebut menjadi produk yang
berdaya-guna.

2.0 Perkembangan Model-Model Kepemimpinan
Banyak kajian telah dijalankan tentang kecekapan kepemimpinan (leadership skills)
yang dibahas dari pelbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para pengkaji. Analisis
awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan
perhatian pada perbezaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut
(followers). Oleh kerana hasil penelitian pada dekad tersebut menunjukkan bahawa
tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang
dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian
para pengkaji berfokus pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan
tingkah laku para pemimpin.
Kajian-kajian kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan
oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkah laku para pemimpin yang efektif, para pengkaji menggunakan model
kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para pengkaji
menguji hubungan di antara watak peribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan
pemimpin. Kajian tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi
memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang
mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin.
Hasil-hasil penelitian pada dekad 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan
bahawa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk
dipelajari (crucial), namun kedua-dua hal tersebut disedari sebagai komponen
organisasi yang sangat kompleks.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut
sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model
yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan
transformasional ini mengintegrasikan idea-idea yang dikembangkan dalam pendekatan
watak, gaya dan kontingensi. Berikut merupakan antara model kepimpinan yang telah
banyak dikaji dalam kajian literatur:
(http://mohamadkemaludin.wordpress.com/2011/03/22/kepemimpinan/)
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Namun, dalam penulisan ini hanya tiga gaya kepimpinan yang akan dibincangkan
dengan lebih lanjut iaitu gaya kepimpian Trasformasi, gaya kepimpinan Situasi dan
gaya kepimpinan Instruksional.
3.0 Gaya kepemimpinan
Semasa memimpin sekolah, pengetua dituntut untuk mengamalkan gaya
kepemimpinan yang pelbagai kerana setiap model kepemimpinan didapati mempunyai
kelemahannya tersendiri. Antara kelemahan yang nyata ialah tidak semua model
mampu digunakan dalam semua konteks dan situasi (Ross, 2006 dalam Lokman Mohd
dan Robiah Sidin, 2008). Oleh itu, pengetua perlu cekap menyesuaikan gaya
kepemimpinan mengikut situasi, jenis sekolah dan keperluan ketika melaksanakan
kepemimpinan. Pengetua sekolah yang bijak didapati mampu mengamalkan
kepemimpinan yang sesuai berdasarkan situasi tanpa berpegang kepada satu stail
kepemimpinan sahaja (Dunford et al., 2000 dalam Lokman Mohd dan Robiah Sidin,
2008).

Dalam konteks ini, Bolman et al. (1999), Abdul Shukor (2004), Abdul Rafie (2002)
dalam Lokman Mohd dan Robiah Sidin (2008) berpendapat bahawa amalan
kepemimpinan yang pelbagai dan luas lebih berupaya menjurus kepada keberkesanan
kepemimpinan berbanding amalan satu gaya kepemimpinan sahaja. Persoalannya,
adakah pengetua sekolah mengamalkan gaya kepemimpinan yang pelbagai ketika
mentadbir sekolah atau masih berpegang kepada satu model kepemimpinan sahaja?
Jawapan kepada persoalan memerlukan kupasan terperinci tentang gaya
kepemimpinan pengetua di Malaysia. Namun penulisan ini tidak akan berfokus tentang
gaya kepemimpinan pengetua di Malaysia sebaliknya lebih kepada penjelasan tentang
gaya kepimpinan dan bagaimana ia sesuai diaplikasikan dalam situasi tertentu.

3.1 Kepimpinan Transformasi
Pemimpin transformasi adalah seorang yang suka melakukan perubahan dan
pembaharuan. Ini jelas melalui visi dan misi yang dibentuknya. Selaras dengan itu
adalah menjadi tanggungjawab pemimpin untuk menyampaikan secara berterusan,
memperjelaskan misi dan visi sehingga dapat difahami, diterima dan dihayati oleh
semua pengikutnya. Di sekolah peranan pengetua dan Guru Besar untuk
memperjelaskannya kepada guru-guru kanan, guru-guru, pelajar, kakitangan, pekerja
dan juga ibu bapa. Oleh itu, seorang pemimpin transformasi, jika diletakkan di mana-
mana sahaja tempat bertugas pasti akan dapat menyesuaikan diri dengan persekitaran
yang baru. Pemimpin transformasi tidak menjadi kaku atau kehilangan idea kerana
mereka sebenarnya mempunyai ciri-ciri yang istimewa yang tidak terdapat pada
pemimpin biasa. Mereka adalah seorang pemikir yang berkesan, dapat menggunakan
dan memanipulasikan segala kejadian dan peristiwa yang dihadapi sebagai pedoman,
pendorong dan sebagai landasan untuk menghasilkan sesuatu jawapan atau keputusan
yang boleh digunakan oleh banyak pihak yang terlibat. Segala peristiwa yang berlaku
boleh mencetuskan pengalaman dan pengetahuan baru untuk dijadikan panduan pada
masa-masa yang akan datang (Hasan Husin dan Che Husin Ismail 2007).

Kajian-kajian lepas telah menunjukkan bahawa kepemimpinan transformasional
mempunyai korelasi yang tinggi dengan tingkat keberkesanan organisasi yang lebih
tinggi (Avolio, Waldman, dan Einstein, 1988 dalam Loy Liang Hui, 2002). Menurut Black
& Porter (2000) dalam Loy Liang Hui (2002), contoh bagi pemimpin yang mengamalkan
kepemimpinan transformasional adalah Bill Gates dari syarikat Microsoft, Steve Jobs
dari syarikat Apple, Michael Dell dari syarikat Dell Computer Corporation, Jeff Bezos
dari syarikat Amazon.com, Lou Gerstner dari syarikat IBM dan Jack Welch dari syarikat
General Electric. Menurut Vicky (2001) dalam Loy Liang Hui (2002) juga, kepemimpinan
transformasional sering kali dihubungkait dengan pencapaian dan kepuasan bekerja
pada tahap yang tinggi terhadap pemimpin. Kepemimpinan transformasional dikaitkan
dengan komitmen pekerja terhadap organisasi, kepercayaan terhadap pemimpin dan
gelagat organisasi. Jason (2000) dalam Loy Liang Hui (2002) mengatakan bahawa
pemimpin transformasional berkongsi norma, nilai dan kepercayaan dengan
pengikutnya dan sering memotivasi dan mempengaruhi pengikut. Pemimpin
transformasional mempunyai kebolehan untuk menggerakkan dorongan, motivasi,
semangat dan tenaga terhadap para pengikutnya
Kepimpinan transformasi telah diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 sebagai
suatu strategi atau stail baru dalam bidang kepimpinan. Kepimpinan transformasi
mengikut Burns (1978) dalam Azmir Salleh (2009), adalah pemimpin yang
memperkukuhkan ikatan jeleketan (cohesive) dalam suatu cara antara pemimpin
dengan pengikutnya sehingga berjaya mempertingkatkan tahap motivasi dan semangat
di antara satu sama lain. Seterusnya berupaya meningkatkan kehendak, keperluan dan
motivasi lain. Dengan itu beliau berupaya menanam dan mempertingkatkan iltizam dan
kecekapan melalui pemuasan dan motivasi terhadap kerja. Dengan kata lain,
kepimpinan transformasi merupakan kemampuan yang membolehkan pemimpin
mengenali keperluan untuk berubah, mencipta wawasan, membimbing perubahan itu
dan melaksanakan perubahan dengan berkesan. Seterusnya perubahan yang dibawa
itu akan memberi kepuasan dan meningkatkan motivasi di kalangan orang
bawahannya. Secara tidak langsung ia akan meningkatkan keberkesanan organisasi
mencapai matlamat dan wawasan yang ditetapkan. Berdasarkan pemerhatian, amat
sesuailah kepimpinan transformasi dijadikan amalan di kalangan pengetua dan guru
besar bagi merealisasikan matlamat menjadi sekolah yang berkesan.
Sergiovani (1984) dalam Azmir Salleh (2009) menyimpulkan enam peranan pemimpin
yang dimainkan oleh pengetua sekolah iaitu pemimpin sekolah, pemimpin pengajaran,
pemimpin penyeliaan, pemimpin organisasi, pemimpin pengurusan dan pemimpin
kumpulan. Dalam melaksanakan tugas-tugas kepimpinan yang mencabar tersebut,
secara umumnya pengetua dan guru besar lebih cenderung mengamalkan kepimpinan
transaksi daripada kepimpinan transformasi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
perubahan strategi kepimpinan pengetua dan guru besar sukar dilakukan. Sarason
(1973) dalam Azmir Salleh (2009) berpendapat bahawa budaya kerja resistance to
change begitu meluas di kalangan mereka. Lortie (1975) dalam Azmir Salleh (2009)
pula mendapati bahawa sikap conservatism meluas di kalangan pengetua dan guru
besar. Sebilangan besar mereka berasa tidak senang terhadap perubahan, sebaliknya
mereka lebih selesa dengan suasana kerja yang stabil, familiar dan terjamin. Di
samping itu, manusia yang memasuki bidang perguruan didapati lazimnya adalah terdiri
daripada individu yang mempunyai pendirian konservatif dalam hidup mereka. Biasanya
mereka tidak sukakan corak fast life seperti corak hidup yang terdapat dalam dunia
korporat atau perniagaan.
Organisasi sekolah di Malaysia kini juga menjadi bertambah sukar dan kompleks
dengan bertambahnya tugas pentadbiran. Dalam hal ini, Pengetua telah menjadi
tumpuan tuntutan pelbagai pihak atasan dan pihak bawahan sama ada daripada agensi
kerajaan dan swasta, kakitangan dan pelajar-pelajar sekolah sendiri. Situasi ini telah
menyebabkan pengetua menjadi tumpuan desakan oleh seluruh sistem sosial yang
mengenakan tekanan ke atas mereka (Morris, 1984 dalam Azmir Salleh, 2009). Di
samping itu pengetua juga menghadapi beberapa cabaran lain sebagai pemimpin.
Sehubungan itu mereka beranggapan setiap perubahan hanya akan menambahkan lagi
beban tugas yang terpaksa ditanggung. Jadi mereka terus mengekalkan status quo
walaupun cara lama yang diamalkan itu tidak berkesan.
Menurut Maehr (1992) dalam Al. Ramaiah (1993), masa ini adalah masa yang
bergelora di sekolah. Terdapat seruan-seruan dari semua pihak supaya sekolah
berubah, memulih, dan perlu disusun semula. Tetapi seruan-seruan sebegini tidak
mendapat sambutan positif daripada pihak pemimpin sekolah. Ketidakmampuan
sesetengah sekolah mencapai matlamat sebagai agen perubahan, sebagai pelaksana
program-program pendidikan dan sebagai rakan bersama Kementerian Pendidikan di
peringkat persekutuan dan Jabatan Pendidikan Negeri di peringkat negeri dalam proses
reformasi pendidikan, menjadi satu perkara yang membimbangkan. Selain itu,
perbezaan keberkesanan antara sekolah-sekolah daripada segi pencapaian akademik
pelajar menimbulkan keraguan.
Segala dasar berkenaan pendidikan yang digubal pada peringkat persekutuan di
Kementerian Pendidikan adalah dirumus dan dirancang untuk dilaksanakan di peringkat
sekolah. Sebahagian besar belanjawan yang diperuntukkan untuk pendidikan adalah
untuk perjalanan sistem sekolah. Ini memperlihatkan kepentingan sistem sekolah dalam
struktur pendidikan pada keseluruhannya. Berjaya ataupun gagalnya sesuatu dasar
pendidikan sangat bergantung kepada kejayaan pelaksanaan dasar di peringkat
sekolah. Dan kejayaan pelaksanaan program dan dasar pendidikan tertentu juga
bergantung kepada kecekapan dan keberkesanan kepimpinan pengetua dan guru
besar sekolah sebagai ketua eksekutif sekolah (Al. Ramaiah, 1993). Oleh hal yang
demikian adalah dicadangkan supaya pengetua dan guru besar segera mengubah
sikap dan berfikiran positif untuk membuat anjakan paradigma. Dapatan-dapatan kajian
dan pandangan negatif terhadap sesuatu perubahan tidak harus melemahkan
semangat mereka untuk menjadi pemimpin transformasi dan agen perubahan yang
berjaya. Inilah sebenarnya cabaran yang harus ditempuhi oleh setiap pengetua dan
guru besar sekiranya mahu meningkatkan keberkesanan sekolah bagi mencapai
Falsafah Pendidikan Kebangsaan, Pelan Induk Pembangunan Pendidikan (PIPP) dan
Wawasan 2020 (Azmir Salleh,2009).
3.1.1 Kesesuaian dan keperluan gaya kepimpinan Transformasi dilaksanakan dalam
sesuatu situasi tertentu.
Seperti yang telah dibincangkan, gaya kepimpinan transformasi merujuk kepada satu
set kemampuan yang membolehkan pemimpin mengenali keperluan untuk berubah,
mencipta wawasan, membimbing perubahan dan melaksanakan perubahan dengan
berkesan. Seterusnya perubahan yang dibawa itu akan memberi kepuasan dan
meningkatkan motivasi di kalangan orang bawahannya. Secara tidak langsung ia akan
meningkatkan keberkesanan organisasi mencapai matlamat dan wawasan yang
ditetapkan. Hal ini bermakna, Kepimpinan transformasi berfokuskan kepada
perubahann sikap subordinat ke arah pencapaian matlamat organisasi tetapi dalam
masa yang sama tetap mementingkan kebajikan subordianat dan organisasi sekolah.
Gaya kepimpinan ini amat sesuai diamalkan oleh pengetua dan guru besar di dalam
banyak situasi di sekolah kerana semua pihak dapat mengembangkan kreativiti masing-
masing di samping dapat mencapai Kepuasan diri (ganjaran intrinsif) dan mengekalkan
hubungan baik di antara pemimpin dan subordinat. Contohnya, gaya kepimpinan
transformasi sesuai dilaksanakan dalam situasi berikut iaitu apabila Pengetua
menetapkan matlamat untuk meningkatkan peratusan pencapaian pelajar lulus dalam
Subjek Matematik bagi SPM 2011 kerana keputusan subjek Matematik dalam SPM
2010 yang tidak memberansangkan. Oleh itu, bagi mencapai keputusan 100 peratus
lulus bagi subjek Matematik dalam peperiksaan Sijil Pelajaran Malaysia, Pengetua telah
menjalankan kerjasama bersama guru-guru panitia Matematik bagi melonjakkan
kecemerlangan pelajar. Pengetua, Penolong Kanan, Ketua Panitia dan guru-guru
bersama-sama berusaha dan menggembleng tenaga bagi mencapai matlamat lulus
100 peratus dalam subjek Matematik SPM 2011. Seandainya matlamat yang
ditetapkan dapat dicapai iaitu semua pelajar lulus dalam subjek Matematik bagi SPM
2011, maka ia akan memberikan satu kepuasan kepada pengetua dan guru-guru Mata
pelajaran Matematik dan meningkatkan motivasi dalam kalangan mereka.

3.2 Kepimpinan Situasi
Menurut para pendokong teori kepimpinan situasi, tidak ada satu pun gaya kepimpinan
ideal yang dikatakan paling baik dan berkesan digunakan bagi semua keadaan. Antara
teori paling berpengaruh dalam menghuraikan tingkah laku kepimpinan dan
keberkesanannya adalah Model Kepimpinan Bersituasi Hersey dan Blanchard (1998).
Teori ini mengandaikan bahawa seorang pemimpin mestilah bijak dalam mendiagnosis
dan melakukan ubahsuaian gaya kepimpinannya supaya ia berpadanan tepat dengan
tahap kesediaan yang dimiliki oleh pekerja/pengikutnya ketika melaksanakan sesuatu
tugas. Gaya kepimpinan Model Hersey dan Blanchard mencorakkan gaya kepimpinan
dengan berpaksikan kepada dua dimensi utama iaitu tingkah laku tugas (tash behavior)
dan tingkah laku hubungan (relationship behavior) dalam mempengaruhi
pekerja/pengikut mereka.
Tingkah laku tugas merujuk kepada sejauh mana pemimpin mampu menjelaskan tgas
dan tanggungjawab yang harus dipikul oeh individu ata kumpulan. Antara lain, ia kerap
disalurkan secara lisan seperti memberitahu para pekerja apa yag harus mereka
lakukan, bagaimana untuk melakukannya, bila harus dilakukan dan siapa yang
sepetutnya melakukannya. Bagi tingkah lau hubungan pula, ia merujuk kepada
keterlibatan pemimpin dan komunikasi dua hala termasuk mendengar, memberi
perangsang dna dorongan, memudahcara, menyediakan penjelasan dan memberikan
sokongan sosioemosi (Hersey 1984). Dipihak pekerja/pengikut pula, penentuan tahap
kesediaan iaitu bagaimana mereka melaksanakan sesuatu kerja terhadap tugasan yang
tertentu (Hersey 1984) dibuat berdasarkan kepada dua dimensi iaitu kebolehan (ability)
melaksanakan tugas dan kemahuan (willingness).
Kebolehan merujuk kepada pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berkaitan
dengan tugas, manakala kemahuan bermaksud keyakinan, komitmen dan motivasi
yang ada pada diri pekerja/pengikut. Seterusnya gaya kepimpinan akan dipadankan
dengan tahap kesediaan pekerja/pengikut berdasarkan kepada kelok tingkah laku
hubungan (paksi y) melawan tingkah laku tugas (paksi x). Kelok tersebut membentuk
empat kuadran yang mewakili gaya kepimpinan iaitu pemberitahuan (telling), jualan
(selling), penyertaan (participating) dan penyerahan tugas (delegating). Tahap
kesediaan pekerja/pengikut pula dibahagikan kepada tiga iaitu tinggi sederhana dan
rendah. Tinggi bila mana pekerja/pengikut mampu berkemahua atau mempunyai
motivasi; sederhana bila mana pekerja/pengikut memiliki mana-mana satu kombinasi
sifat berikut iaitu mampu tetapi tidak berkemampuan atau tidak yakin; tidak mampu
tetapi berkemahuan atau bermotivasi tinggi dan tahap kesediaan rendah bila mana
pekerja/pengikut tidak mampu, tidak berkemahuan dan tidak yakin.

Gambar rajah 1: Kelok yang membentuk empat kuadran mewakili gaya kepimpinan
situasi


3.2.1 Kesesuaian dan keperluan gaya kepimpinan Situasi dilaksanakan dalam sesuatu
situasi tertentu.
Situasi berbeza memerlukan gaya kepimpinan yang berbeza. Oleh itu, gaya
kepimpinan situasi sesuai digunakan oleh pengetua/guru besar berdasarkan situasi
yang sedang berlangsung. Sebagai contoh apabila aktiviti sukan tahunan sekolah ingin
dilaksanakan, cara kepimpinan Pengetua dapat dilihat dalam situasi berikut:
1. stail membimbing guru yang kurang pengalaman
2. menyokong - guru berpengalaman
3. mengarah - terhadap guru-guru baru
4. mendelegasi guru kanan

3.3 Kepimpinan Instruksional
kepemipinan pengajaran merujuk kepada tindakan pengaruh dan kepakaran pengetua
memainkan peranannya mengarah segala kebolehan dan usaha para guru dalam
menyediakan dan melaksanakan proses pengajaran dan pembelajaran serta
menyumbang ke arah keberkesanan program pendidikan untuk para pelajar di
sekolahnya. Ini boleh dicapai dengan cara pengetua melibatkan diri secara langsung
dan secara tidak langsung. Srategik secara langsung apabila pengetua terlibat dalam
mengajar secara formal seperti menasihat iaitu bertindak sebagai kaunselor dan
penampilan atau kehadiran (visibility) beliau di tempat-tempat strategik di sekolah.

Strategik secara tidak langsung pula termasuklah menyusun dan menetapkan falsafah
sekolah membentuk wawasan, menetapkan matlamat dan objektif, membentuk dasar
dan prosedur, menyedia dan menyelaras sokongan pembelajaran, menetapkan mutu
pengajaran, menjalankan hubungan dengan staf dan berkerjasama dengan
persekitaran luar (Hussein, 1993). Kepemimpinan pengajaran merupakan satu elemen
yang penting dalam menentukan berkesan atau tidaknya sesebuah sekolah (Sweeney,
1982; DeBevoise, 1984; Dwyer, 1986; dan Duke, 1987 dalam Andi Audryanah, 2007 ).
Pengetua berkesan mempunyai komitmen yang tinggi dalam kepemimpinan pengajaran
dengan memberi sokongan untuk memajukan aspek pengajaran-pembelajaran,
sentiasa berbincang dengan guru-guru mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh
pelajar, mendiagnosis dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pengajaran
(Edmonds, 1978 dan Sapone, 1983 dalam Andi Audryanah, 2007 ).

Pengetua berkesan berusaha mewujudkan iklim sekolah yang kondusif untuk tujuan
pembelajaran, memberi maklum balas kepada guru tentang pengajaran dan prestasi
pelajaran, serta menjadi penyelaras program pengajaran-pembelajaran di sekolah
(Hussein, 1993). Ramai penulis dan penyelidik dalam pendidikan mengakui bahawa
kebanyakan pengetua yang berfungsi atau berperanan sebagai pemimpin pengajaran
dapat mewujudkan sekolah yang berkesan atau sekolah cemerlang. Sweeney (1982)
dalam Andi Audryanah (2007), berpendapat terdapat enam ciri kepemimpinan pengetua
yang berkait dengan kepemimpinan pengajaran di sekolah berkesan. Ciri-ciri tersebut
ialah (i) memberi penekanan terhadap pencapaian pelajar dalam bidang akademik, (ii)
menyusun dan menetapkan strategi pengajaran, (iii) menyedia dan mengekalkan
suasana yang kondusif di sekolah (Iklim sekolah), (iv) kerap menilai pencapaian
akademik pelajar, (v) menyelaras program pengajaran dan (vi) membantu dan memberi
semangat kepada para guru.

Menurut Benjamin (1981) dalam Hussein (1993), pengetua sekolah yang berkesan
merupakan pemimpin pengajaran dan bukan bertugas sebagai pentadbir sahaja. Hasil-
hasil kajian tentang sekolah berkesan pada tahun 1980an terutama di Amerika Syarikat
mendapati bahawa kepemimpinan pengajaran pengetua mempunyai kesan yang
signifikan terhadap pelaksanaan inovasi pendidikan dan juga pembelajaran pelajar
(Mortimore, 1995 dalam Hussein, 1993). Daripada kajian-kajian tentang sekolah yang
pernah mencapai kecemerlangan menunjukkan kepemimpinan pengajaran pengetua
yang bersungguh-sungguh dan padu mempunyai pertalian yang signifikan dengan
budaya sekolah, semangat guru dan pencapaian akademik pelajar.

3.3.1 Kesesuaian dan keperluan gaya kepimpinan Instruksional dilaksanakan dalam
sesuatu situasi tertentu.

Hallinger dan Murphy (1985) dalam Andi Audryanah (2007) menyatakan kepemimpinan
pengajaran mengandungi tiga dimensi utama, iaitu mentakrifkan matlamat sekolah,
pengurusan program pengajaran dan pemupukan iklim sekolah. Dimensi-dimensi ini
telah diperluaskan lagi menjadi sebelas fungsi iaitu merangka matlamat sekolah,
menerangkan matlamat sekolah, memantau pengajaran guru, menyelaras kurikulum,
mengawas pembelajaran murid, mengawal masa pengajaran, menggalakkan
perkembangan professional guru, sentiasa kelihatan, menyediakan ganjaran untuk
guru, menguatkuasakan dasar akademik dan menyediakan insentif untuk murid.

Contoh situasi di mana pengetua harus menggunakan kepimpinan instruksional adalah
apabila pengetua ingin mencapai matlamat dan misi untuk menjadikan sekolah di
bawah pimpinan beliau sebagai sekolah yang cemerlang dalam aspek kurikulum
menjelang 2015. Oleh itu, Pengetua perlu menyelaras program pengajaran,
menitikberatkan pencapaian akademik pelajar, sentiasa menilai kemajuan pelajar,
mewujudkan suasana sekolah yang aman dan tenteram, memeta dan merencanakan
strategi program pengajaran, dan memberi sokongan terhadap aktiviti-aktiviti yang
dijalankan oleh para guru (Haji Mohd Nor, 2004). Hal ini bermakna, kepimpinan
pengetua akan berfokus kepada kualiti pengajaran dan pencapaian akademik pelajar-
pelajarnya. Antara aktiviti yang akan dilaksanakan oleh pengetua adalah seperti
merancang pelbagai kursus peningkatan profesionalisme guru bagi meningkatkan
kualiti guru-guru di sekolahnya misalnya dalam aspek penyampaian pengajaran. Selain
itu pengetua juga menyediakan pelbagai kemudahan bagi membolehkan pelajar belajar
dalam suasanan kondusif misalnya menyediakan makmal komputer, makmal sains dan
perpustakaan yang serba lengkap dengan bahan rujukan dan bank soalan. Pengetua
juga akan sering menjalankan penyeliaan kepada guru-guru bagi meningkatkan tahap
penyampaian pengajaran guru melalui perkongsian maklumat terhadap aspek yang
perlu ditambah baik dan pengetua juga akan merancang pelbagai program peningkatan
untuk pelajar seperti kelas tambahan, pemantauan buku latihan pelajar secara berkala,
ujian bulanan dan program strategi menjawab bagi kelas peperiksaan.

4.0 Penutup
Pengurusan dan kepimpinan yang berkesan di sekolah akan menghasilkan sekolah
yang cemerlang. Banyak kajian yang dilakukan menunjukkan sekolah cemerlang dapat
dihasilkan melalui kepimpinan yang cekap dan berkualiti. Hal ini menunjukkan bahawa
pengurusan yang baik akan membawa kepada peningkatan kualiti sekolah dan
kemenjadian pelajar-pelajarnya. Kepimpinan pengetua dan Guru Besar yang cemerlang
akan dapat mengubah sekolahnya dari sekolah biasa kepada sekolah cemerlang.
Malah pemimpin yang berkesan akan dapat memepengaruhi subordinatnya untuk
menerima arahan dan melaksanakan arahan tersebut dengan penuh kesediaan dan
kemahuan. Oleh itu, setiap pengetua dan guru besar harus mengkaji gaya kepimpinan
yang sesuai diaplikasikan di sekolah mereka bagi mencapai matlamat, visi dan misi
sekolah yang ingin dicapai. Dalam kata lain, seorang pemimpin yang baik perlu meneliti
keseluruhan orang bawahannya, mendekati pekerjanya dalam setiap tugasan yang
diberi, memilih stail kepimpinan, berbincang dengan orang bawahannya dalam situasi
yang berbeza dan kemudiannya melaksanakan perancangan secara bersama.

You might also like