sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan. Di Pesantren ini ia menulis puisi dan cerpen dengan nama Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi juara penulis puisi Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis Komuditas Nilai Fisik Perempuan dalam Persfektif Hukum Islam (1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987-1988), Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta, 1988-1989. Menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asia Pasific Forum on Women, Law And Development, 1988). Karya-karya penyair dan novelis yang bertinggal di kota budaya ini, telah dipublikasikan di berbagai media masa lokal maupun nasional, diantaranya The Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horizon, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Post, dan lain-lain. Serta dimaktubkan dalam berbagai buku antologi sastra, seperti: Kitab Sastra Indonesia, Angkatan Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: An Antologi of Poems Shoustheast Asia, Album Cyber Indonesia (Australia), Selendang Pelangi (antologi perempuan penyair Indonesia), Para Pembisik, Dokumen Jibril, Nyanyian Cinta dan lain-lain, juga dalam beberapa antologi sastra Festival Kesenian Yogyakarta; Sembilu Pagelaran, Embun Tajjali dan Ambang. Membacakan karya-karyanya di Taman Ismail Marzuki (1994 dan 2000). Mewakili Indonesia dalam ASEAN Writers Conferenc/Workshop Poetry di Manila, Philipina (1995). Menjadi pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif MASTERA (Majlis Sastra Asia Tenggara, 1997). Membacakan puisi-puisinya di sekretariat ASEAN (1998), Konferensi Perempuan Islam Se Asia-Fasifik dan Timur Tengah (1999). Mendapat Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY (1998). Mengikuti Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) di berbagai SMU di kota besar Indonesia (2000-2005). Menjadi pemenang dalam Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003). Dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda Anak Zaman Menerobos Batas versi Majalah Syirah (2004). Menjadi pemakalah dalam Pertemuan Sastrawan Melayu-Nusantara (2005). Dialog tentang Sastra, Agama dan Perempuan, bersama Camillia Gibs, di Kedutaan Kanada (2007). Membacakan karyanya dalam Internasional Literary Biennale (2007). Bukunya yang sudah terbit; Ibuku Laut Berkobar (1987), Menari di Atas Gunting (2001), Atas Singgasana (2002) Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), dan Nirzona (2008). Serta antologi cerpen dalam bentuk draft; Jalan Ke Sorga (2007) dan The Heavens Gulf (2008).
KERAJAAN SUNYI
Syair malamku ke Sinai aku menuju Tak terbayang kerinduan melaut tak terpermai kesunyian memagut
Seperti bumi padang sahara haus dan lapar mengecap di bibir merengkuh mimpi saat madu terkepung lebah kekosongan dalam tetirah Padang padang membentang melahap tubuhku tanpa tulang dan kesana alamat kucari
Kerajaan Sunyi
2000
AKU HADIR
Aku perempuan yang menyeberangi zaman membara tanganku menggenggam pusaka suara diam menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta raja raja memecahkan wajah silsilah kekuasaan
Aku perempuan yang merakit titian menabur lahar berapi di bukit sunyi membentangkan impian di ladang ladang mati musik gelisah dari kerak bumi
Aku perempuan yang hadir dan mengalir membawa kemudi panji matahari
Aku perempuan yang kembali dan berkemas pergi
1991
PEREMPUAN YANG IBU
Perempuan yang ibu tak kan lahir dari rahim bumi belepotan lumpur dan nanah nurani berselubung cadar kegelapan dan pekat bersama harapan terkapar
Perempuan yang ibu lahir dari buaian cakrawala dari ukiran udara warna daun semesta yang menyapa alam dengan bahasa mawar atau kebeningan telaga Tak ada matahari luput dari jendela
1990
IBUKU LAUT BERKOBAR
Ibuku laut berkobar gemuruhnya memanggil manggil namaku di bukir purnama pepujian berjalinan rindu memadat menyala gelegak kasmaran yang terus meruah berkibar lembar gairah mengiring bulanku singgsana fitrahku kembali menghirup udara dari persekutuan embun baqa
Setetes cindramatamu mengungguli istana seribu dewa kuimani sudah
1989
SEKALI MATAHARIKU DI TITIK ZENIT
Sekali matahariku di titik zenith kabut memburai di pelupuk mata tiupkan sang kala mengatom dunia di atas inti materi dan dzat ruh kulangkahi serbuan yang lenyap serentak melesat dalam gemuruh tuntas dzikir kembali kosong
Nol berhamburan tetirah dari Kekasih
1988
HAWA (1)
Disepimu aku datang Sebagai ratu Memberi puisi pada jiwa tawarmu Kau ingin anggur atau badam Tinggal bagaimana caramu bertanam
Sebagai ratu Aku adalah Tribhuana Tunggadewi Atau Shima di kalingga Yang memegang tongkat kuasa Atau wilayah negeriku
Tiap Hawa adalah ratu Yang paham mahkota baru Dan menyimpan asesori lama Sebagai benda klasik di rak pajangan belaka
KIDUNG SIMALAKAMA
Aku berdiri di bawah khuldi saat senja menyamar seperti iblis tanpa diundang berbilah racun bersarung pedang menusuk lambungku di langit terang
Aku berdiri menangkar sunyi bumi sendiri menerbangi titik niskala menyusupkan jiwa ke puncak tahta cahaya Cinta
Tak ada waktu membayang merekah dan mengaku kalah jengkal tanah selalu begitu menghisap semua bunga sekaligus putiknya
Hawa menembang lagu merdu serupa kidung simalakama
2003
INTA WAHDAH (Dikau Saja)
Hausku bukan Iqlima memeluk Qabil bukan pula Cleopatra Aphrodite atau Zulaikha
Cukup sudah cinta! Tak usai Hawa ngembara menyelami airmata pohon apa bakal tumbuh jika Layla abadi koma di barak kumuh dan luka
Wahai Majnun di puncak resah!
Sudah kuhafal kata kata bijak huruf batu dari kaum botak namun kosa kata cinta baru ketemu kamusnya saat matamu purnama dan subuh menderu memanggil ruh di tubuh
Dikaulah cuma, kidung dadali kuping tuliku juga ombak yang timbul tenggelam bagai iman samudra jiwaku
Dan malam menggelombang karna bintang berjumpaan di pangkuan kasih dan cinta mendesirkan sukma semilir jiwaku bukan perempuan bukan lelaki bukan budak atau tuan jika ingin menakarku kecuali mummi sedang menimbang diri sendiri
Burung burung terbang tinggi menguntai tasbih langit abadi rindu rumah di syurga Rabiah asing dan sunyi
2005
PUISI-PUISI ABRAR YUSRA Selasa, 11/02/2014 - 13:58 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Abrar Yusra 1970-AN Lapar aku, aku lapar. Kumakan buah segala buah Segala padi segala ubi Kumakan sayur segala sayur. Segala daun segala rumput Kumakan ikan., Ketam. Udang. Kerang Kumakan kuda Ayam. Sapi. Kambing. Babi. Tikus. Bekicot Aku lapar. Lapar lagi ! Kumakan angin Kumakan mimpi Kumakan pil Kumakan kuman Kumakan tanah Kumakan laut Kumakan mesiu Kumakan bom Kumakan bulan Dan bintang dan matahari ! kumakan mimpimu Rencanamu Tangamnu. Kakimu Kepalamu Astaga. Kumakan tanganku Dan kakiku. Dan kepalaku Dan hah, kumakan kamu!
HANYA SECERCAH CIUMAN Pandanglah kota dan matahari, simpang dan tiang-tiang ini Di mana pernah melintas bayanganmu Pernah sekejap kita di sini Mengiringkan waktu Tiada sesuatu yang pasti. Berbahagialah menyusur jalan Resah dari tempat demi tempat Dan aku hanya bisa memberimu secercah ciuman Yang hanya kita bisa nikmat Semoga sesudah kota dan matahari, simpang dan tiang-tiang ini Engkau pun bisa bertetap hati pada segala yang akan datang Selamat jalan, anak sayang !
SENANDUNG TAK BERNAMA Apatah Dunia bagiku? Mungkin sebuah rumah untuk sebentar waktu. Atau mungkin suatu daerah pengembaraan asing Tak ada rumahku, rumah kita. Kita baru bakal masuk ke sana Dan kebahagianku tiada lain selain mencintai rumah ini, mencintai kau penghuninya. Moga-moga aku betah terus di sini, sesampai waktu Sedangkan penderitaanku adalah kecemasan seorang anak tersesat. Atau kecemasan pengembara yang menyandang kutuk Berjalan dalam kabut entah ke Kampung Halaman, entah ke Tempat Buangan
PUISI-PUISI KH. MUSTOFA BISRI (GUS MUS) Rabu, 12/02/2014 - 23:55 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | KH. Mustofa Bisri | Gus Mus SURABAYA Jangan anggap mereka kalap jika mereka terjang senjata sekutu lengkap jangan dikira mereka nekat karena mereka cuma berbekal semangat melawan seteru yang hebat Jangan sepelekan senjata di tangan mereka atau lengan yang mirip kerangka Tengoklah baja di dada mereka Jangan remehkan sesobek kain di kepala tengoklah merah putih yang berkibar di hati mereka dan dengar pekik mereka Allahu Akbar !
Dengarlah pekik mereka Allahu Akbar ! Gaungnya menggelegar mengoyak langit Surabaya yang murka Allahu Akbar menggetarkan setiap yang mendengar Semua pun jadi kecil Semua pun tinggal seupil Semua menggigil. Surabaya, O, kota keberanian O, kota kebanggaan Mana sorak-sorai takbirmu yang membakar nyali kezaliman ? mana pekik merdekamu Yang menggeletarkan ketidakadilan ? mana arek-arekmu yang siap menjadi tumbal kemerdekaan dan harga diri menjaga ibu pertiwi dan anak-anak negeri. Ataukah kini semuanya ikut terbuai lagu-lagu satu nada demi menjaga keselamatan dan kepuasan diri sendiri Allahu Akbar ! Dulu Arek-arek Surabaya tak ingin menyetrika Amerika melinggis Inggris Menggada Belanda murka pada Gurka mereka hanya tak suka kezaliman yang angkuh merejalela mengotori persada mereka harus melawan meski nyawa yang menjadi taruhan karena mereka memang pahlawan Surabaya Dimanakah kau sembunyikan Pahlawanku ?
PUTRA-PUTRA IBU PERTIWI Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya Pahlawan-pahlawan bangsa Dan patriot-patriot negara (Bunga-bunga kalian mengenalnya Atau hanya mencium semerbaknya) Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan Merebut dan mempertahankan kemerdekaan (Beberapa kuntum dipetik bidadari sambil senyum Membawanya ke sorga tinggalkan harum) Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan (Beberapa kelopak bunga di tenung angin kala Berubah jadi duri-duri mala) bagai wanita yang tak ber-ka-be saja Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa (di tamansari bunga-bunga dan duri-duri Sama-sama diasuh mentari) Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa (mentari tertawa sedih memandang pedih Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
S O A L Rakyat - (Penguasa + Pengusaha) : (Umara + Ulama) + (Legislatif - Eksekutif) + (Cendekiawan x Kiai) = ? (Mustofa Bisri 1993)
NEGERIKU mana ada negeri sesubur negeriku? sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung perabot-perabot orang kaya didunia dan burung-burung indah piaraan mereka berasal dari hutanku ikan-ikan pilihan yang mereka santap bermula dari lautku emas dan perak perhiasan mereka digali dari tambangku air bersih yang mereka minum bersumber dari keringatku mana ada negeri sekaya negeriku? majikan-majikan bangsaku memiliki buruh-buruh mancanegara brankas-brankas ternama di mana-mana menyimpan harta-hartaku negeriku menumbuhkan konglomerat dan mengikis habis kaum melarat rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya terkaya di dunia mana ada negeri semakmur negeriku penganggur-penganggur diberi perumahan gaji dan pensiun setiap bulan rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan rampok-rampok dibri rekomendasi dengan kop sakti instansi maling-maling diberi konsesi tikus dan kucing dengan asyik berkolusi (Mustofa Bisri 1414)
DI TAMAN PAHLAWAN Di taman pahlawan beberapa pahlawan sedang berbincang- bincang tentang keberanian dan perjuangan. Mereka bertanya-tanya apakah ada yang mewariskan semangat perjuangan dan pembelaan kepada yang ditinggalkan Ataukah patriotisme dan keberanian di zaman pembangunan ini sudah tinggal menjadi dongeng dan slogan ? banyak sekali tokoh di situ yang diam-diam ikut mendengarkan dengan perasan malu dan sungkan Tokoh-tokoh ini menyesali pihak-pihak yang membawa mereka kemari karena menyangka mereka juga pejuang- pejuang pemberani. Lalu menyesali diri mereka sendiri yang dulu terlalu baik memerankan tokoh-tokoh gagah berani tanpa mengindahkan nurani. (Bunga-bunga yang setiap kali ditaburkan justru membuat mereka lebih tertekan) Apakah ini yan namanya siksa kubur ? tanya seseorang di antara mereka yang dulu terkenal takabur Tapi kalau kita tak disemayamkan di sini, makam pahlawan ini akan sepi penghuni, kata yang lain menghibur. Tiba-tiba mereka mendengar Marsinah. Tiba-tiba mereka semua yang di Taman Pahlawan, yang betul-betul pahlawan atau yang keliru dianggap pahlawan, begitu girang menunggu salvo ditembakkan dan genderang penghormatan ditabuh lirih mengiringi kedatangan wanita muda yang gagah perkasa itu Di atas, Marsinah yang berkerudung awan putih berselendang pelangi tersenyum manis sekali : maaf kawan-kawan, jasadku masih dibutuhkan untuk menyingkapkan kebusukan dan membantu mereka yang mencari muka. kalau sudah tak diperlukan lagi biarlah mereka menanamkannya di mana saja di persada ini sebagai tumbal keadilan atau sekedar bangkai tak berarti (1441)
KELUHAN Tuhan, kami sangat sibuk. 1410
KITA SEMUA ASMUNI ATAWA ASMUNI CUMA SATU Kita semua Asmuni Kita satu sama lain Tidak lain Asmuni semua
Anak-anak Asmuni Orang-orang Asmuni Tuan Asmuni Raden Asmuni Bapak Asmuni Kiai Asmuni Politikus Asmuni Pemikir Asmuni Pembaru Asmuni
Kita semua Asmuni Kita satu sama lain Tidak lain Asmuni
Sayang Asmuni yang jujur cuma satu Asmuni yang menghibur Cuma satu 1988 Dengan permohonan maaf dari Asmuni Andiweky dari Group Lawak Srimulat
KALAU KAU SIBUK KAPAN KAU SEMPAT Kalau kau sibuk berteori saja Kapan kau sempat menikmati mempraktekkan teori?
Kalau kau sibuk menikmati praktek teori saja Kapan kau memanfaatkannya?
Kalau kau sibuk mencari penghidupan saja Kapan kau sempat menikmati hidup? Kalau kau sibuk menikmati hidup saja Kapan kau hidup?
Kalau kau sibuk dengan kursimu saja Kapan kau sempat memikirkan pantatmu? Kalau kau sibuk memikirkan pantatmu saja Kapan kau menyadari joroknya?
Kalau kau sibuk membodohi orang saja Kapan kau sempat memanfaatkan kepandaianmu? Kalau kau sibuk memanfaatkan kepandaianmu saja Kapan orang lain memanfaatkannya?
Kalau kau sibuk pamer kepintaran saja Kapan kau sempat membuktikan kepintaranmu? Kalau kau sibuk membuktikan kepintaranmu saja Kapan kau pintar?
Kalau kau sibuk mencela orang lain saja Kapan kau sempat membuktikan cela-celanya? Kalau kau sibuk membuktikan cela orang saja Kapan kau menyadari celamu sendiri?
Kalau kau sibuk bertikai saja Kapan kau sempat merenungi sebab pertikaian? Kalau kau sibuk merenungi sebab pertikaian saja Kapan kau akan menyadari sia-sianya?
Kalau kau sibuk bermain cinta saja Kapan kau sempat merenungi arti cinta? Kalau kau sibuk merenungi arti cinta saja Kapan kau bercinta?
Kalau kau sibuk berkhutbah saja Kapan kau sempat menyadari kebijakan khutbah? Kalau kau sibuk dengan kebijakan khutbah saja Kapan kau akan mengamalkannya?
Kalau kau sibuk berdzikir saja Kapan kau sempat menyadari keagungan yang kau dzikiri? Kalau kau sibuk dengan keagungan yang kau dzikiri saja Kapan kau kan mengenalnya?
Kalau kau sibuk berbicara saja Kapan kau sempat memikirkan bicaramu? Kalau kau sibuk memikirkan bicaramu saja Kapan kau mengerti arti bicara?
Kalau kau sibuk mendendangkan puisi saja Kapan kau sempat berpuisi? Kalau kau sibuk berpuisi saja Kapan kau memuisi?
(Kalau kau sibuk dengan kulit saja Kapan kau sempat menyentuh isinya? Kalau kau sibuk menyentuh isinya saja Kapan kau sampai intinya? Kalau kau sibuk dengan intinya saja Kapan kau memakrifati nya-nya? Kalau kau sibuk memakrifati nya-nya saja Kapan kau bersatu denganNya?)
Kalau kau sibuk bertanya saja Kapan kau mendengar jawaban! 1987
MULA-MULA Mula-mula mereka beri aku nama Lalu dengan nama itu Mereka belenggu tangan dan kakiku 1987
IDENTITAS ATAWA AKU DALAM ANGKA namaku mustofa bin bisri mustofa lahir sebelum masa anak cukup 2 sebagai anak ke 2 dari 9 bersaudara rumah kami nomer 3 jalan mulia termasuk 1 dari 17 erte di desa leteh namanya 1 dari 34 desa di kecamatan kota 1 dari 14 kecamatan di kabubaten rembang namanya 1 dari 5 kabupaten di karesidenan pati 1 dari 6 karesidenan di propinsi jawa tengah 1 dari 27 propinsi di indonesia 1 dari 6 negara-negara asean di asia 1 dari 5 benua di dunia 1 dari sekian kacang hijau di semesta. cukup jelaskah aku? 1987
ISTRIKU Kalau istriku tidak kawin denganku Dia bukan istriku tentu Aku kebetulan mencintainya Diapun mencintaiku Seandainya pun aku tidak mencintainya Dan dia tidak mencintaiku pula Dia tetap istriku Karena ia kawin denganku 1987
GURUKU Ketika aku kecil dan menjadi muridnya Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar Ketika aku besar dan menjadi pintar Kulihat dia begitu kecil dan lugu Aku menghargainya dulu Karena tak tahu harga guru Ataukah kini aku tak tahu Menghargai guru? 1987
ORANG PENTING Orang penting lain dengan orang lain Dia beda karena pentingnya Bicaranya penting diamnya penting Kebijaksanaannya penting Ngawurnya pun penting Semua yang ada padanya penting Sampai pun yang paling tidak penting Jika tak penting lagi Dia sama dengan yang lain saja 1987
PUISI BALSEM DARI TUNISIA Di festival puisi di negeri Abu Nuwas Kepalaku pening setiap hari Dicekoki puisi-puisi mabok puji Padahal aku tidak membawa Puisi-puisi balsemku yang manjur istimewa
Untung seorang penyair Tunisia Munsif Al-Muzghany namanya Di samping beberapa kumpulan puisinya Dia membawa puisi-puisi balsem juga rupanya (Puisi balsem cukup universal juga ternyata!) Satu di antaranya begini bunyinya:
Ada seekor kambing Nyelonong masuk gedung parlemen Dan mengembik Maka tiba-tiba saja Menggema di ruang terhormat itu Paduan suara : setujuuu!
Peningku sejenak hilang Ternyata puisi balsem Tunisia Lumayan manjur juga Baghdad (memang ditulis di Baghdad, tapi disebutkan di sini sambil bergaya), 27 November 1989
NYANYIAN KEBEBASAN ATAWA BOLEH APA SAJA Merdeka! Ohoi, ucapkanlah lagi pelan-pelan Merdeka Kau kan tahu nikmatnya Nyanyian kebebasan Ohoi,
Lelaki boleh genit bermanja-manja Wanita boleh sengit bermain bola Anak muda boleh berkhutbah dimana-mana Orang tua boleh berpacaran dimana saja
Ohoi, Politikus boleh berlagak kiai Kiai boleh main film semau hati Ilmuwan boleh menggugat ayat Gelandangan boleh mewakili rakyat
Ohoi, Dokter medis boleh membakar kemenyan Dukun klenik boleh mengatur kesejahteraan Saudara sendiri boleh dimaki Tuyul peri boleh dibaiki
Ohoi, Pengusaha boleh melacur Pelacur boleh berusaha Pembangunan boleh berjudi Penjudi boleh membangun
Ohoi, Yang kaya boleh mengabaikan saudaranya Yang miskin boleh menggadaikan segalanya Yang di atas boleh dijilat hingga mabuk Yang di bawah boleh diinjak hingga remuk
Ohoi, Seniman boleh bersufi-sufi Sufi boleh berseni-seni Penyair boleh berdzikir samawi Muballigh boleh berpuisi duniawi
Ohoi, Si anu boleh anu Siapa boleh apa Merdeka? 1987
PILIHAN Antara kaya dan miskin tentu kau memilih miskin Lihatlah kau seumur hidup tak pernah merasa kaya
Antara hidup dan mati tentu kau memilih mati Lihatlah kau seumur hidup mati-matian mempertahankan kematian
Antara perang dan damai tentu kau memilih damai Lihatlah kau habiskan umurmu berperang demi perdamaian
Antara beradab dan biadab tentu kau memilih beradab Lihatlah kau habiskan umurmu menyembunyikan kebiadaban dalam peradaban
Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani Lihatlah kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia ini
Antara dunia dan akhirat tentu kau memilih akhirat Lihatlah kau sampai menamakan amal-dunia sebagai amal akhirat
Antara ini dan itu Benarkah kau memilih itu? 1410/1989
SUWUK KULHU SUNGSANG Sato sampai sato mati Jalma sampai jalma mati Maling sampai maling mati Rampok sampai rampok mati Tamak sampai tamak mati Lalim sampai lalim mati Tiran sampai tiran mati Buta sampai buta mati Hantu sampai hantu mati Setan sampai setan mati Niatbusuk sampai niatbusuk mati Atas pertolongan Pasti. 1411
SUWUK SOLIBIN Solibin solimat Bimat busipat
Langitmu tanpa mendung Lautku tanpa garam Mendung bagianku Garam bagianmu
Solibin solimat Bimat busipat
Pundakmu tanpa beban Bebanku tanpa pundak Hakmu tanpa kewajiban Kewajibanku tanpa hak
Solibin solimat Bimat busipat
Kaukemas keserakahan dalam amal kesalehan Kukemas kecemasan dalam senyum kekalahan Kaubungkus kebusukan dalam kafan sutera Kubungkus kepedihan dalam dada membara
Solibin solimat Bimat busipat
Kau keparat! 1410
SUWUK MANIKCEMAR sang manikcemar telah tergenggam tangan nyawamu
tak tidak tak tak tak tak tak tidak tak tidak tak tak
gagukaku kakugagu kaku semua gagu semua
semua ya ya ya ya saja yayaya yayaya yayaya saja
yayaya
yayaya saja
laa ilaha illallah muhammadur rasuulullah 1410
KEPADA PENYAIR Brentilah menyanyi sendu tak menentu tentang gunung-gunung dan batu mega-mega dan awan kelabu tentang bulan yang gagu dan wanita yang bernafsu
Brentilah bersembunyi dalam simbol-simbol banci
Brentilah menganyam-anyam maya mengindah-indahkan cinta membesar-besarkan rindu Brentilah menyia-nyiakan daya memburu orgasme dengan tangan kelu
Brentilah menjelajah lembah-lembah dengan angan-angan tanpa arah
Tengoklah kanan-kirimu Lihatlah kelemahan di mana-mana membuat lelap dan kalap siapa saja Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela membabat segalanya Lihatlah segalanya semena-mena mengkroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
Bangunlah Asahlah huruf-hurufmu Celupkan baris-baris sajakmu dalam cahya dzikir dan doa Lalu tembakkan kebenaran Dan biarlah Maha Benar yang menghajar kepongahan gelap dengan mahacahyaNya 1414
MAJU TAK GENTAR Maju tak gentar Membela yang mungkar Maju tak gentar Hak orang diserang Maju tak gentar Pasti kita menang! 1993
INPUT DAN OUTPUT Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis taklim berton-ton huruf dan kata-kata mulia tanpa kemasan dituang-suapkan dari mulut-mulut mesin yang dingin ke kuping-kuping logam yang terbakar untuk ditumpahkan ketika keluar. Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah berhektar-hektar layar kehidupan mati dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan melalui mata-mata yang letih ke benak-benak seng berkarat untuk dibawa-bawa sampai sekarat. Di kantor-kantor dan markas-markas bertimbun-timbun arsip kebijaksanaan aneh dengan map-map agung dikirim-salurkan melalui kepala-kepala plastik ke segala pejuru urat nadi untuk diserap sampai mati. Di majalah-majalah dan koran-koran berkilo-kilo berita dan opini Tuhan dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan melalui kolom-kolom rapi ke ruang-ruang kosong tengkorak orang-orang tua dan anak-anak. Di hotel-hotel dan tempat hiburan beronggok-onggok daging dan virus dengan bungkus sutera disodor-suguhkan melalui saluran-saluran resmi ke berbagai pribadi dan instansi untuk dinikmati dengan penuh gengsi Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan berbarel-barel bensin dan darah dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan melalui pori-pori kejantanan ke tangki-tangki penampung nyawa untuk menghidupkan sesal dan kecewa 1415
ORANG KECIL ORANG BESAR Suatu hari yang cerah Di dalam rumah yang gerah Seorang anak yang lugu Sedang diwejang ayah-ibunya yang lugu
Ayahnya berkata: Anakku, Kau sudah pernah menjadi anak kecil Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!
Orang kecil kecil peranannya Kecil perolehannya, tambah si ibu
Ya, lanjut ayahnya Orang kecil sangat kecil bagiannya Anak kecil masih mendingan Rengeknya didengarkan Suaranya diperhitungkan Orang kecil tak boleh memperdengarkan rengekan Suaranya tak suara.
Sang ibu ikut wanti-wanti: Betul, jangan sekali-kali jadi orang kecil Orang kecil jika jujur ditipu Jika menipu dijur Jika bekerja digangguin Jika mengganggu dikerjain.
Ayah dan ibu berganti-ganti menasehati: Ingat, jangan sampai jadi orang kecil Orang kecil jika ikhlas diperas Jika diam ditikam Jika protes dikentes Jika usil dibedil.
Orang kecil jika hidup dipersoalkan Jika mati tak dipersoalkan.
Lebih baik jadilah orang besar Bagiannya selalu besar.
Orang besar jujur-tak jujur makmur Benar-tak benar dibenarkan Lalim-tak lalim dibiarkan.
Orang besar boleh bicara semaunya Orang kecil paling jauh dibicarakan saja.
Orang kecil jujur dibilang tolol Orang besar tolol dibilang jujur Orang kecil berani dikata kurangajar Orang besar kurangajar dikata berani.
Orang kecil mempertahankan hak disebut pembikin onar Orang besar merampas hak disebut pendekar.
Si anak terus diam tak berkata-kata Namun dalam dirinya bertanya-tanya: Anak kecil bisa menjadi besar Tapi mungkinkah orang kecil Menjadi orang besar? Besoknya entah sampai kapan si anak terus mencoret-coret dinding kalbunya sendiri: O r a n g k e c i l ? ? ? O r a n g b e s a r ! ! ! 1993
ANDAIKATA andaikata kupunya tak hanya lengan lunglai tempat kita meletakkan kalah andaikata kupunya tak hanya pangkuan landai tempat kita merebahkan resah
andaikata kupunya tak hanya dada luka tempat kita menyandarkan duka andaikata kupunya tak hanya tangan kelu tempat kita menggenggam pilu
andaikata kupunya tak hanya kata-kata dusta penyeka airmata andaikata kupunya tak hanya telinga renta penampung derita
andaikata kupunya tak hanya andaikata 1414
IBU Ibu Kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa Gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam Mata air yang tak brenti mengalir membasahi dahagaku Telaga tempatku bermain berenang dan menyelam
Kaulah, ibu, langit dan laut yang menjaga lurus horisonku Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku mencari jejak sorga di telapak kakimu
(Tuhan Aku bersaksi Ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasihsayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin). 1414
NASIHAT RAMADLAN BUAT A. MUSTOFA BISRI Mustofa, Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu begitu.
Mustofa, Ramadlah adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu. Darimu hanya untukNya dan Ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkanNya kepadamu. Semua yang khusus untukNya khusus untukmu.
Mustofa, Ramadlan adalah bulanNya yang Ia serahkan padamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata padaNya. Bersucilah untukNya. Bersalatlah untukNya. Berpuasalah untukNya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri untukNya.
Mustofa, Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa. Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahan sedikit berpuasa tapi hanya kau yang tahu hasrat dikekang untuk apa dan siapa.
Puasakan kelaminmu untuk memuasi Ridla Puasakan tanganmu untuk menerima Kurnia Puasakan mulutmu untuk merasai Firman Puasakan hidungmu untuk menghirup Wangi Puasakan wajahmu untuk menghadap Keelokan Puasakan matamu untuk menatap Cahaya Puasakan telingamu untuk menangkap Merdu Puasakan rambutmu untuk menyerap Belai Puasakan kepalamu untuk menekan Sujud Puasakan kakkmu untuk menapak Sirath Puasakan tubuhmu untuk meresapi Rahmat Puasakan hatimu untuk menikmati Hakikat Puasakan pikiranmu untuk menyakini Kebenaran Puasakan dirimu untuk menghayati Hidup.
Tidak. Puasakan hasratmu hanya untuk Hadlirat Nya !
Mustofa, Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu. Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari comberan hatimu? Mustofa, inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati.
Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu. Rembang, Syaban 1413
YA RASULALLAH aku ingin seperti santri berbaju putih yang tiba-tiba datang menghadapmu duduk menyentuhkan kedua telapak tangannya di atas paha-pahamu muliamu lalu aku akan bertanya ya rasulallah tentang islamku ya rasulallah tentang imanku ya rasulallah tentang ihsanku
ya rasulallah mulut dan hatiku bersaksi tiada tuhan selain allah dan engkau ya rasul utusan allah tapi kusembah juga diriku astaghfirullah dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah ya rasulallah setiap saat jasadku salat setiap kali tubuhku bersimpuh diriku jua yang kuingat setiap saat kubaca salawat setiap kali tak lupa kubaca salam assalamualaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh salam kepadamu wahai nabi juga rahmat dan berkat allah tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku kau menjawab salamku bahkan apakah aku menyalamimu ya rasulallah ragaku berpuasa dan jiwaku kulepas bagai kuda ya rasulallah sekali-kali kubayar zakat dengan niat dapat balasan kontan dan berlipat ya rasulallah aku pernah naik haji sambil menaikkan gengsi ya rasulallah, sudah islamkah aku?
ya rasulallah aku percaya allah dan sifat-sifatnya aku percaya malaikat percaya kitab-kitab sucinya percaya nabi-nabi utusannya aku percaya akherat percaya qadla-kadarnya seperti yang kucatat dan kuhafal dari ustad tapi aku tak tahu seberapa besar itu mempengaruhi lakuku ya rasulallah, sudah imankah aku?
ya rasulallah setiap kudengar panggilan aku menghadap allah tapi apakah ia menjumpaiku sedang wajah dan hatiku tak menentu ya rasulallah, dapatkah aku berihsan?
ya rasulallah kuingin menatap meski sekejab wajahmu yang elok mengerlap setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap
ya rasulallah kuingin mereguk senyummu yang segar setelah dahaga di padang kehidupan hambar hampir membuatku terkapar
ya rasulallah meski secercah, teteskan padaku cahyamu buat bekalku sekali lagi menghampirinya 1414
SAJAK CINTA cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya cinta romeo kepada juliet, si majnun qais kepada laila belum apa-apa temu-pisah kita lebih bermakna dibanding temu-pisah yusuf dan zulaikha rindu-dendam kita melebihi rindu dendam adam hawa
aku adalah ombak samuderamu yang lari-datang bagimu hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu luka berdarah-darah durimu semilir sampai badai anginmu
aku adalah kicau burungmu kabut puncak gunungmu tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu huruf-huruf katamu kata-kata maknamu
aku adalah sinar silau panas dan bayang-bayang hangat mentarimu bumi pasrah langitmu
aku adalah jasad ruhmu fayakun kunmu aku adalah a-k-u k-a-u mu Rembang, 30.9.1995
NEGERIKU Negeriku telah menguning 1415
DALAM TAHIAT dalam tahiat kulihat wajahmu berkelebat ke mana gerangan kau berangkat? berhentilah sesaat beri aku kesempatan munajat atau sekedar menatap isyarat sebelum nafsuku menghentikan salat 1415
DOA RASULULLAH SAW Ya Allah ya Tuhanku AmpunanMu lebih kuharapkan daripada amalku rahmatMu lebih luas daripada dosaku Ya Allah ya Tuhanku Bila aku tak pantas mencapai rahmatMu RahmatMu pantas mencapaiku Karena rahmatMu mencapai apa saja Dan aku termasuk apa saja Ya Arhamarrahimun! 1415
RASANYA BARU KEMARIN (Versi V)
Rasanya Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta Atas nama kita menyiarkan dengan seksama Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya Gaung pekik merdeka kita Masih memantul-mantul tidak hanya Dari mulut-mulut para jurkam PDI saja. Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad lamanya
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan yang mulia Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi Petinggi negeri Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi Sudah banyak yang jadi menteri
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad lamanya
Tokoh-tokoh angkatan 45 sudah banyak yang koma Tokoh-tokoh angkatan 66 sudah banyak yang terbenam
Rasanya Baru kemarin
Letkol Suharto sudah menjadi Sesepuh negara-negara sahabat Wartawan Harmoko sudah menjadi Pengatur suara rakyat
Waperdam Subandrio sudah hidup kembali Menjadi pelajaran bagi setiap penguasa Engkoh Eddy Tanzil sudah tak berkolusi lagi Menjadi renungan bagi setiap pengusaha
Ibu Dewi sudah kembali Menjadi penglipur Buldozer Amir Mahmud kini Sudah tergusur
Oom Liem dan kawan-kawan Sudah menjadi dewa-dewa kemakmuran Bang Zainuddin dan rekan-rekan Sudah menjadi hiburan
Pak Domo yang mengerikan Sudah berubah menggelikan Bang Ali yang menentukan Sudah berubah mengasihankan
Genduk Megawati yang gemulai Sudah menjadi pemimpin partai Ismail Hasan Metarium yang santai Sudah menjadi politisi piawai
Gusti Mangkubumi di Yogya Sudah menjadi raja dan ketua golongan karya Gus Shohib yang sepuluh anaknya Sudah menjadi pahlawan keluarga berencana
(Hari ini ingin rasanya Aku bertanya kepada mereka semua Bagaimana rasanya Merdeka?)
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad kita Merdeka
Jenderal Nasution dan Jenderal Yusuf yang pernah jaya Sudah menjadi tuna karya
Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang sakti Sudah lama mati Pak Umar dan pak Darmono yang berdaulat Sudah kembali menjadi rakyat
Pak Mitro dan pak Beni yang perkasa Sudah tak lagi punya kuasa
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad kita Merdeka
Kiai Ali dan Gus Yusuf yang agamawan Sudah menjadi priyayi Danarto dan Umar Kayam yang seniman Sudah menjadi kiai
Gus Dur dan Cak Nur yang pintar Sudah berkali-kali mengganti kacamata Rendra dan Emha yang nakal Sudah berkali-kali mengganti cerita
Goenawan sudah terpojok kesepian Arief Budiman sudah berdemonstrasi sendirian Romo Mangun sudah terbakar habis rambutnya Tardji sudah menjalar-jalar janggutnya
(Hari ini ingin rasanya Aku bertanya kepada mereka semua Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad lamanya
Negara sudah semakin kuat Rakyat sudah semakin terdaulat
Rasanya Baru kemarin
Pejuang Marsinah sudah berkali-kali Kuburnya digali tanpa perkaranya terbongkar Preman-preman sejati sudah berkali-kali Diselidiki dan berkas-berkasnya selalu terbakar
Rasanya Baru kemarin
Banyak orang pandai sudah semakin linglung Banyak orang bodoh sudah semakin bingung Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan
Rasanya Baru kemarin
Banyak ulama sudah semakin dekat kepada pejabat Banyak pejabat sudah semakin erat dengan konglomerat Banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari umat Banyak nurani dan akal budi sudah semakin sekarat
(Hari ini ingin rasanya Aku bertanya kepada mereka semua Sudahkah kalian benar-benar merdeka?)
Rasanya Baru kemarin
Pembangunan ekonomi kita sudah sedemikian laju Semakin jauh meninggalkan pembangunan akhlak yang tak kunjung maju Anak-anak kita sudah semakin mekar tubuhnya Bapak-bapak kita sudah semakin besar perutnya
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad kita merdeka
Kemajuan sudah menyeret dan mengurai Pelukan kasih banyak ibu-bapa Dari anak-anak kandung mereka Kemakmuran duniawi sudah menutup mata Banyak saudara terhadap saudaranya
Daging sudah lebih tinggi harganya Dibanding ruh dan jiwa Tanda gambar sudah lebih besar pengaruhnya Dari bendera merah putih dan lambang garuda
Rasanya Baru kemarin Padahal sudah setengah abad kita merdeka
Pahlawan-pahlawan idola bangsa Seperti Pangeran Diponegoro Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja Sudah dikalahkan oleh Kesatria Baja Hitam dan Kura-kura Ninja
Rasanya Baru kemarin
Orangtuaku sudah pergi bertapa Anak-anakku sudah pergi berkelana Kakakku sudah menjadi politikus Aku sendiri sudah menjadi tikus
(Hari ini setelah setengah abad merdeka Ingin rasanya aku mengajak kembali Mereka semua yang kucinta Mensyukuri lebih dalam lagi Rahmat kemerdekaan ini Dengan meretas belenggu tirani Diri sendiri Bagi merahmati sesama)
Rasanya Baru kemarin Ternyata Sudah setengah abad kita Merdeka
(Ingin rasanya Aku sekali lagi menguak angkasa Dengan pekik yang lebih perkasa: Merdeka!) 11 Agustus 1995
TENTANG K.H. A. MUSTOFA BISRI K.H. A. Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus, lahir 10 Agustus 1944, putra dari KH. Bisri Mustofa, ulama dari Rembang. Masa kecil dan remaja dihabiskan di lingkungan pesantren. Tercatat pernah nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang, kemudian melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Saat ini, beliau menjadi pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Karya tulisnya banyak tersebar di media massa dan dibukukan, mengupas masalah keislaman, politik, sosial, budaya. Gus Mus telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi, antara lain: (1). Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, (2). Tadarus, Antologi Puisi, (3). Mutiara-mutiara Benjol, (4). Pahlawan dan Tikus, (5). Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa), (6). Rubaiyat Angin dan Rumput, (7). Wekwekwek.
PUISI-PUISI ABDUL HADI W.M. Selasa, 11/02/2014 - 13:52 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Abdul Hadi WM LAGU DALAM HUJAN
Merdunya dan merdunya Suara hujan Gempita pohon-pohonan Menerima serakan Sayap-sayap burung
Merdunya dan merdunya Seakan busukan akar pohonan Menggema dan segar kembali Seakan busukan daungladiola Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru Memintas-mintas cuaca
Merdunya dan merdunya Nasib yang bergerak Jiwa yang bertempur Gempita bumi Menerima hembusan Sayap-sayap kata
Ya, seakan merdunya suara hujan Yang telah menjadi kebiasaan alam Bergerak atau bergolak dan bangkit Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni Melintas dan melewat dalam dingin dan panas
Merdunya dan merdunya Merdu yang tiada bosan-bosannya Melulung dan tiada kembali Seakan-akan memijar api
1970
AMSAL SEEKOR KUCING
Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar Hanya setiap hal memang harus diwajarkan bagai semula: Selera makan, gerak tangan, gaya percakapan, bayang-bayang kursi Bahkan langkah-langkah kehidupan menuju mati
Biarlah kata-kataku ini dan apa yang dipercakapkan bertemu bagai dua mulut yang lagi berciuman Dan seperti seekor kucing yang mengintai mangsanya di dahan pohon Menginginkan burung intaiannya bukan melulu kiasan
1975
LA CONDITION HUMAINE
Di dalam hutan nenek moyangku Aku hanya sebatang pohon mangga -- tidak berbuah tidak berdaun Ayahku berkata, Tanah tempat kau tumbuh Memang tak subur, nak! sambil makan buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya
Dan kadang malam-malam tanpa sepengetahuan istriku aku pun mencuri dan makan buah-buahan dari pohon anakku yang belum masak
1975
LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS Laut tidur. Langit basah Seakan dalam kolam awan berenang Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini Dan angin masih saja berembus, walau sendiri
Dan kita hampir jauh berjalan: Kita tak tahu ke mana pulang malam ini Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh Lalu jatuh
Atau kata-kata yang tak pernah sebebas tubuh
Ketika terbujur cakrawala itu kembali dan kita serasa sampai, kita lupa Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
1974
WINTER, IOWA 1974
langit sisik yang serbuk, matahari yang rabun menarilah dari rambutnya yang putih beribu kupu-kupu menarilah dan angin yang bising di hutan dan gurun-gurun menarilah, riak sungai susut malam-malam ke dasar lubukku
1974
RAMA-RAMA
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat meraba cahaya terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut menjelmalah kembang di karang
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat di rambutmu jari-jari matahari yang dingin kadang mengembuni mata, kadang pikiran melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat
1974
DINI HARI MUSIM SEMI
Aku ingin bangun dini hari, melihat fajar putih memecahkan kulit-kulit kerang yang tertutup Menjelang tidur kupahat sinar bulan yang letih itu yang menyelinap dalam semak-semak salju terakhir ninabobo yang menentramkan, kupahatkan padanya sebelum matahari memasang kaca berkilauan
Tapi antara gelap dan terang, ada dan tiada Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu lalu angin perlahan-lahan dan ribut memancarkan pagi -- burung-burung hai ini, sedang musim dingin yang hanyut masih abadi seperti hari kemarin yang mengiba harus memakan beratus-ratus masa lampauku
BAYANG-BAYANG
Mungkin kau tak harus kabur, sela bayang-bayangmu yang menjauh dan menghindar dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan menghindar dari terang lampu Ia selalu mondar mandir mencari-cari bentuk dan namanya yang tak pernah ada
1974
DALAM GELAP
Dalam gelap bayang-bayang bertemu dengan jasadnya yang telah menunggu di sebuah tempat Mereka berbincang-bincang untuk mengalahkan tertang dan sepakat mengha-dapi terang yang kurang baik perangainya Karena itu dalam terang bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geserkan dirinya dan ruang untuk menipu terang Dan jasad selalu siap melindungi bayang-bayangnya dari terang sambil menciptakan gelap dengan bayang-bayangnya dari sinar terang
1974
MAUT DAN WAKTU
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara sampai tak ingat rumah menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh membujukmu memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
1974
AKU BERIKAN
Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman ke air selokan yang deras langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kaubakar tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan Ini musim atau akhir musim panas aku tak tahu Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu
Maka kujadikan hari esokku rumah Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa
1974
MALAM TELUK
Malam di teluk menyuruk ke kelam Bulan yang tinggal rusuk padam keabuan
Ratusan gagak Berteriak Terbang menuju kota
Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang Yang sia-sia? Dan kembali Dengan wajah masai Sebelum akhirnya badai mengatup pantai?
Muara sempit Dan kapal-kapal menyingkir pergi Dan gonggong anjing Mencari sisa sepi
Aku berjalan pada tepi Pada batas Mencari
Tak ada pelaut bisa datang Dan nelayan bisa kembali Aku terhempas di batu karang Dan luka diri
1971
KADANG
Kadang begitu seringnya ciuman letih pada bibirmu menghabiskan tetes demi tetes airmatanya sendiri dan kenangan lain yang lebih sedih mekar karenanya
Daging bagai retasan-retasan arang oleh api tapi toh seakan abadi Dan mereka yang menganggapnya tak abadi karena cemas akan cintanya sendiri
Begitu diambilnya langkah: Ia seperti setangkai api Pada sehelai kertas yang baru dituliskan
Seseorang atau entah rangkulan yang menggetarkan mengambil getaran itu lagi dan aku adalah getaran itu sendiri
1971
SEHABIS HUJAN KECIL
Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau Pada kelopak kembang yang memerah Antara batu-batu hening merenungi air kolam Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas
1972
GERIMIS
I Seribu gerimis menuliskan kemarau di jendela Basah langit yang sampai melepaskan senja Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam, kata-kata bermimpilah bunga-bunga menyusun kenangannya dari percakapan terik dan hama
Kau toreh bibirnya yang merkah, kata hama Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah
II Kenapa ia tak terkulai Dan masih bertahan juga Dan bersenyum pada surya yang mengunyah-ngunyah airmatanya
III Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat Atau mimpi Tapi angin masih saja menggigil Mendesakkan pago
IV Tuhan, kau hanya kabar dari keluh
V Burung-burung pun asing di sana karena jarak dan bahasa
1971
NYANYIAN KABUT
Kabut biru semata. Biru. Ada cahaya berisik helaan angin, lalu percakapan Kunamakan senandungmu lengang, udara Berangkat cuaca malam dan ke mana kata-kata
Dan dalam kabut bisik-bisikmu jelaga
Kadang kudengarkan itu sengau yang lepas dari laringnya, kadang kudengarkan itu lembar-lembar jatuh dari kenangannya Kadang kudengarkan itu doa shalat sebelum sujud diselesaikan
Dan seseorang bangun bagiku menyalakan lampu sebelum malam
1971
EPISODE
Ombak-ombak ini tidak perih, tidak enggan merendam ketam-ketam, sinar keong Pun tidak percuma menungging awam yang kadang kala murung dekat pencakar
Lentera-lentera kapal yang merah keabuan kadang seperti mata kanak-kanak yang melahirkan dongengan (malam menyebrangi selat dan) melemparkan biji-biji anggrek di sana
Dan kadang: antara kelam, tidur aku! Perahu-perahu yang dulu membawamu itu dalam pelayaran panjang dan telah balik lagi dengan layar-layar dari dukaku yang pulang enggan
1973
LAUT
Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? atau kata-kata laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan selamat pagi laut kataku dan laut pun tersenyum, selamat pagi katanya suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun dan di atas sana hanya bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan dan alun yang berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang dan burung-burung bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa selamat pagi laut kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa kemudian bagai sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam menerkam kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami atau bisikan ini yang senantiasa merisaukan engkau: siapakah di antara kami yang paling luas dan dalam, air kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam menyelam? Tapi laut selalu setia tak pernah bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku laut melemparkan aku ke pantai dan aku melemparkan laut ke batu-batu karang andai di sana ada perempuan telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang laut tertawa padaku, selamat malam katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam kataku dan atas selamat malam kami langit tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja begitulah tak ada sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama: aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya
1973
KUSEBUT
Kusebut kata-kata engganmu detik jam Gemersik berat dihela jarumnya Senandungmu mengalun bagai desau angin ribut jatuh ke pelimbahan air perlahan-lahan Kabut yang senantiasa berjkalan dari dinding ke dinding membalik-balik beribu percakapan dan didapatkannya nama-nama asing yang tak ada orangnya Kabut yang mengatakan sebuah luka Yang meluas dan mengendap jadi palung di dada dan palung itu mengisap jantung kita
Dan malam yang senantiasa berdiri di luar berdiri berjaga mendengarkan yang bakal tak sampai Dan bayang-bayang terangnya di bawah lampu bernyanyi gelisah melalui gang yang satu ke gang yang lainnya
1973
CINTA
Cinta serupa laut selalu ia terikat pada arus Setiap kali ombak bertarung Seperti tutur kata dalam hatimu Sebelum mendapat bibir yang mengucapkanya
Angin kencang datang dari jiwa Air berpusar dan gelombang naik Memukul hati kita yang telanjang Dan menyelimutinya dengan kegelapan
Sebab keinginan begitu kuat Untuk menangkap cahaya Maka kesunyianpun pecah Dan yang tersembunyi menjelma
Kau disampingku Aku disampingmu Kata -kata adalah jembatan Tapi yang mempertemukan Adalah kalbu yang saling memandang
MIMPI
Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain, berlapis-lapis mimpi, tiada dinding dan tirai akhir, hingga kau semakin jauh dan semakin dalam tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia membiarkan aku asing pada wujud hampa dan wajah sendiri.
Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian -- di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku yang hilang dalam kegaduhan. Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya dan berkemas pergi entah ke mana gelisah, asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki, bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal, menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi, tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.
(1981-1992)
KETIKA MASIH BOCAH
Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghamburkan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal tangan pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri
KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA
Kembali tak ada sahutan di sana Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti Hingga kautanyakan lagi padaku Penduduk negeri damai macam apa kami ini raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api Dan kami bangun kota kami dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan matahari 'kan lama terbit lagi
DOA UNTUK INDONESIA
Tidakkah sakal, negeriku? Muram dan liar Negeri ombak Laut yang diacuhkan musafir karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri Negeri burung-burung gagak\ Yang bertelur dan bersarang di muara sungai Unggas-unggas sebagai datang dan pergi Tapi entah untuk apa Nelayan-nelayan tak tahu Aku impikan sebuah tambang laogam Langit di atasnya menyemburkan asap Dan menciptakan awan yang jenaka Bagai di badut dalam sandiwara Dengan cangklong besar dan ocehan Batuk-batuk keras Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia Adalahberita-berita yang ditulis Dalam bahasa yang kacau Dalam huruf-huruf yang coklat muda Dan undur dari bacaan mata Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ? Kincir-kincir angin itu Seperti sayap-sayap merpati yang penyap Dan menyebarkan lelap ke mana-mana Sebagai pupuk bagi udaranya Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia Negeri ular sawah Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur Tumpukan jerami basah Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun Untuk persta-pesta barbar Indonesia adalah buku yang sedang dikarang Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan Di kantor penerimaan tenaga kerja Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya Dan mulutnya ternganga Tatkala bencana mendamprat perutnya Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ? Di dekat jembatantua malaikat-malaikat yang celaka Melagu panjang Dan lagunya tidak berarti apa-apa Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ? Ratusan gagak berisik menuju kota Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan Puluhan orang bergembira Di atas bayangan mayat yang berjalan Memasuki toko dan pasar Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak Dan emas tiruan Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur yang atapnya bocor dan administrasinya kacau Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk Indonesia adalah sebuah kamus Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik Sampai mata menjadi bengkak Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang, kata sifat Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ? Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ? Berisik lagi, berisiklagi : Gerbong-gerbong kereta membawa penumpang yang penuh sesak dan orang-orang itu pada memandang ke sorga Dengan matanya yang putus asa dan berkilat : Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini Melata di bumi merusaki hutan-hutan Dan kebun-kebunmu yang indah permai Mengapa kaubiarkan mereka .
Negeri ombak Badai mengeram di teluk Unggas-unggas bagai datang dan pergi Tapi entah untuk apa Nelayan-nelayan tak tahu
1971
DALAM PASANG
Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi? Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian, ketakutan dan perang saudara Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan Menunggu ketakpastian Telah mereka hancurkan rumah harapan kita Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini yang bisa menghanguskan kota ini lagi - Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin Kita....
BARAT DAN TIMUR
Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha, Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana.
SAJAK SAMAR
Ada yang memisah kita, jam dinding ini ada yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri
1967
MADURA
Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala Selamat pagi tanah kelahiran Sebab aku tak menghitung untuk ke berapa kali Kapan saat menebal pada waktu Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan dengan kerja serta dengan kehidupan? Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:
Ketenangan Selat Kamal adalah ketenangan hatiku membuang pikiran dangkal yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam seperti mula kelahiran Adam sedang sesudah mengembara baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini aku membawa timbun puisi bahwa aku selalu asyik mencari keteduhan mimpi
kebiruan Selat Kamal adalah kebiruan sajakku dan terasa hidup makin kekal sesudah memusnah rindu
bertemu segala milik dan hak dalam cinta dan sajak noktah-noktah berdebu di bersihkan di kedua tangan
kuberi pula salam sayup kepada pantai yang berbatas pasir dan langit yang mulai redup pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang adalah kedangkalan hatiku menimbang hidup terlalu gamang dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak dengan kesempurnaan dengan sesuatu yang bukan hak dengan kejemuan
tetapi sekali saat tiba juga pada suatu tempat tanpa petunjuk siapa-siapa asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang bertaut sepanjang sungai dengan belukar dan kembang-kembang sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang adalah diamnya sajakku sekali waktu banjir datang sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan ke suatu muara yang berasal dari suatu daerah pegunungan untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan adalah kerendahan hatiku menerima nasib dalam kehidupan di atas kedua bahu
sesekali pernah kita tidak tahu tentang kelahiran dan bertakut menjadi tua karena ancaman kematian
Keramahan Bukit Payudan adalah keramahan sajakku untuk mengerti kepastian yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita tidak tahu ke mana mengembara kemudian muncul kembali di tanah kesayangan dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang tak seorang menanti pulang tak seorang menerima lapang atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini akan selalu kualami namun tak selalu kusesali sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan adalah keterpencilan hatiku sebelum memulai perjalanan ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini telah mengembalikan cintaku tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia sekali aku minta istirah mengembara berhenti membuat puisi yang mendera dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya darah kita pertama dan terakhir berhentinya mengaliri nadinya
1967
FRAGMEN
Belumkah ada lindap sebelum kau kembali ke kamar yang suram dan kutandai musik beku? Bayangan itu jadi gerimis dan meleleh di kebon rumah yang gelap
Aku jadi garang pada malam seperti itu dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin seperti juga hujan di padang-padang dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit
Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan hingga pada suatu hari nanti aku tak lagi bermimpi tentang gua di rimba perburuan itu
1971
TUHAN, KITA BEGITU DEKAT
Tuhan, Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu
Tuhan, Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu
Tuhan, Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap kini aku nyala dalam lampu padammu
1976
SAJAK PUTIH
Kita telah menjadi sekedar kenangan lembaran asing pada buku harian seperti tak pernah kautuliskan peristiwa itu
Bunga-bunga sudah berguguran tangkai dan kelopaknya Pohon-pohon kering Dan jendela jadi kusam Seperti senja bakal tenggelam
Dan Titi telah semakin tua meninggalkan masa kanak-kanaknya Seakan cairan lilin yang mengental jadi malam
Dan masa-masa cintamu hanyalah onggokan puntung rokok di lantai yang dingin
Dan dengan pot-pot bunga betapa asingnya Kita
1971
EXODUS
Menyandang beban sunyi ini di sini Menyandang beban salib ini di sini Menyandang kehilangan Yang seakan Genderang mainan dipukul ombak
Di antara teluk dan pasir pantai Serta senja yang menutup dinding laut ini Kau mencari Jejak nelayan Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal
Menyandang sepi ini di sini Menyandang kesal pikiran dan kekacauan ini Menyandang mainan Yang diberai ombak, senja, teluk dan pasir hitam Seakan pecahan batu karang pada pantai yang legam
Kau mencari Jejak nelayan Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan Sudah jarang dikunjungi pelaut
Burung-burung pantai pergi, senja pergi Tinggal genderang mainan ini Berbunyi dan berbunyi juga Dan betapa dekatnya sekarang Hari haus dan lapar kita Betapa dekatnya
1970
MEDITASI
Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil (daun-daun salam berguguran dan di beranda masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu dan di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan (lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati dalam pertempuran merebut kota dari desa) Angin berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan di atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah (langit adalah bayang-bayang, kau menyesal telah memimpikannya; dan di sebelahnya berdiri gedung, beribu sungai dan tebing gunung yang terbuat dari batu, anggur dan lempung yang kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)
Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu memandang dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti (ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai membangun kota di langit) dan beribu mantra memenuhi telinganya yang tuli
1972
ANGIN: MENDESIR LAGI
Angin; mendesir lagi Hampir mengantuk Ada sepi Berbisik di dahan-dahan pohon Lagi tahu, gerimis turun
Di luar kamar yang tembaga Di luar rongga kata Engkau gemetar karena musim Cemas dalam kata Dan tahu: ada yang tiada Bangkit di jendela
Dan mungkin: senja
1968
BAHKAN
Bahkan jarum jam pun hanya mengulang andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap keluh bumi seperti anak yang tak habis berharap dan mata kecilnya yang gelisah memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan
Bayang-bayangmu juga yang susut karena lampu di pelupukmu padam Lebih menjemukan dari rembang petang Tapi berangkatlah! Di seberang gelombang mungkin udara terang
1976
ANAK
Anak ingin menangkap gelombang rambutnya memutih seketika
Ia mengerti laut dalam tapi tak tahu di mana suaranya terpendam
Ketika angin berhembus bahkan dahan-dahan pun diam
Ketika air surut bahkan pasang pun tak karam
Ketika tidur merenggut di langit tak sebutir bintang
1975
GNOTI SEAUTON
Manusia bebas, ruhnya bagai firman Tuhan, embun dalam cuaca putih mencucinya Manusia bebas, ruhnya berjalan ke tempat-tempat jauh dan menemui para nabi dan orang suci
Di muka laut, ditemuinya batu karang dan awan buruk
Manusia bebas, ruhnya bagai rantai emas yang dibelenggu matahari dan waktu
Di tengah alam yang sempit: Nasib menyesak jantung dan tenggorokan dan menimbulkan batuk dan dahak kotor di tengah alam yang sempit: Kita mencari puncak kenikmatan
Manusia bebas, ruhnya mencari bayang-bayang Tuhan
gambar binatang perwujudan dewa-dewa yang putus asa
Di gerbang kuil besar: Ruh terbang dan tidak kembali
1969
IN MEMORIAM AMIR HAMZAH
Keranjang itu masih menatap. Tahun mau berbunga Tapi langit berangkat kemarau di jendela
Tanganmu: Mulut yang mengucapkan kebenaran ombak Tapi pendayung-pendayung datang terlambat
Kita jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus sampai senja lain tiba.
1976
BATIMURUNG I
Tubuhmu membuat air di jeram ini berterjunan lagi lebih gemuruh kini melemparkan rusukku ke tebing-tebing gunung
Aku terbangun seperti kupu dari pompongnya Perih karena kelahiran
Tapi sumber-sumber yang kutemukan dari sanalah kata memancurkan sajak dan mantra Ladang-ladang yang kau gemburkan kutanam di sana segala jenis padi dan buah-buahan
Penat kini kupikul hasil panennya berupa rindu dan cinta berupa gelisah dan luka Seperti lama dulu kupapar lagi jiwaku dalam madu di atas bara
1977
KAU BUKAN PERAWAN SUCI YANG TERSEDU : saras
Aku tak sedang menyulam kenangan Atau menyeberangkanmu ke musim yang semi
Tanamlah jarum sulamku Menjadi semak berdaun duri Sebelum bandul pendulum itu Menjemputmu, bayanganmu Menjemput semua yang luput dari matamu
Aku tak sedang memintal tangismu jadi nasib baik Roda pemintal telah kuistirahatkan
Kau bukan Saraswati Yang menggugurkan helai-helai teratai di tangan kirinya Bukan juga perawan suci yang tersedu
Tuhan tak akan berkata di telingamu Karena angsa-angsa pergi Meninggalkan rebab, genitri, dan keropak meragu, juga tangkai teratai yang layu Jogja, 2005
KERIKIL BERJATUHAN DARI LANGIT : tsabit kalam banua
Tiba-tiba Kerikil berjatuhan dari langit Menjelma hujan yang membangunkan tidurmu
Lalu kau memanjat jendela Mengintip halaman perlahan Mengintip hujan, pohon-pohon kedinginan dan ayunan basah
Bunda, jangan ribut. Hujannya sedang berubah jadi kerikil. Bisikmu dengan mata yang kau sipitkan Sambil menarik ibumu ke kamar tidur
Di luar, Hujan menghapus malam Menyesatkan malaikat dalam gelap Dan bocah kecilku lelap Dengan kerikil-kerikil berjatuhan dalam mimpinya Jogja, 2004-2005
GANDUM-GANDUM RANUM Apa jadinya Bila gandum-gandum yang hampir ranum di ladang Menangis kesepian Kaena nyaring bunyi senapan mesin Karena mayat serdadu tua itu dilihatnya menganga
Sekotak coklat, belum dibagikan Sebungkus rokok, masih tersegel rapi Dan setumpuk kartu pos yang belum sempat dibalas Aku belum mau mati.
Kuambil kotak coklat itu dan kugenggam Dan segera leleh Seperti sayap bidadari yang hilang jadi sebaris cahaya
Anganku terbang Menggantung, melayang Saat anak-anak kecil murung Menyamar jadi peri kesedihan jadi peri masa lalu yang kehilangan bayangan
Peri kecil berwajah sedih Bidadari mungil tak bersayap Dan cahaya bintang yang murung Hangus terbakar cuaca, remuk jadi arang hitam Seperti lelehan coklat di tanganku
Mayat serdadu tua itu masih menganga Aku letih. Tapi istirahku belum usai di pangkal penghabisan.
Apa jadinya Bila gandum-gandum yang hampir ranum di ladang Menangis kesepian
Tapi waktu mengingatkanku pada sebuah tugu batu tanpa nama Di sisi ladang gandum kian menguning Denpasar, 2002
PUISI Menyeberangi sebaris puisi Seperti melewati sebuah taman Aku jadi bangku, dan cahaya matahari serupa waktu
Seseorang akan datang membaca ulang Sesat ke ujung malam Atau menemui terang fajar terakhir
Seseorang akan datang dan duduk di bangku Menulis sebuah pesan Atau membisikkannya perlahan Bukan kepada angin tapi pada semesta
Puisi mungkin mirip keluh anjingku Samar, sekaligus nyata Denpasar, 2001
IMPERMANENCE Puisi beterbangan jauh ke langit Kian tak terjangkau lenganku Meski warna-warna melambungkan nyawaku Tanda-tanda kembali menjatuhkan hujan juga aku
Kita selalu menyepi dalam diri Di kota yang selalu gegas dengan bunyi Jerat apakah yang tuhan nyatakan untukku Sesat apakah yang tuhan nyanyikan padaku
Ini kotak pandora yang dititipkan Minerva Peti berukiran cahaya kata-kata Mantra-mantra luruh menyentuh cahaya
Dan puisi Puisi-puisi pergi menjauh dengan gaduh Bersama nujuman yang ranum oleh waktu
Siapa yang berani menitah kuasa waktu Bermain-main dengan kesementaraan waktu
Tukang tenun yang ditenung itu Melilitku dengan benang-benang hitam Menghimpitku tanpa celah arah Aku tak melihat anak panah menuju pintu-pintu cahaya
Aku menyerah Sejenak menapaki jalan menuju rumah Burung-burung menderukan angin Menderukanmu yang sekarat dan hampir mati
Aku membaca perangai riangmu Mengiangkan igau-igau kesakitan Di senyum alis matamu
Dan aku Aku tak mampu berlari Aku tak dapat lagi menjangkau puisi Jogja, 2012
ULUWATU Embun-embun di tepi daun menetes pelan menangis bagai gerimis akhir senja
liar kupu-kupu putih yang mulai menyeberangi musim mengubah senja jadi malam curam kupu-kupu putih sayap-sayap letih yang kecil kaki para dedari yang mungil tercermin pada kaca pecah seperti langkahmu mendaki tangga batu langkah kakimu ringan seringan kaki kupu-kupu putih yang menggantung layang pada bulan
tunggulah hingga kupu-kupu beranak pinak ranting lalang kering yang murung jatuh ditelan angin yang perlahan hilang hanya bintang remang
saat sayup kudengar rancak tari kecak dari tebing pantai Uluwatu dalam damai yang tak pernah usai Denpasar, 2001
RUMAH LEBAH Sebab tanda selamat Selalu bernaung di bawah puisi Aku ziarah ke rumah lebah Tempat setiap kata keramat Redam dan terendam dalam-dalam
Bekukan tinta Karena kata muncul di bibir juga Mendendang lengang pokok dan cabang
Dinding-dinding rebah Angin telah menerobos rumah Melewati seribu lubang dan celah-celah Mengepung lalu menggiring kita Kepada puisi dan makam kata Bantul, 2008
MAKAM KECIL Terbaring di sisi makam kecil, adikku.
Aku terbayang pohon natal Cemara penuh cahaya dan boneka para serdadu tergantung terayun bisu Kertas-kertas emas Buah-buah kayu Berdesakan di ranting
Terbaring di sisi dipan mungil, adikku.
Aku ingat, mata biru Rambut putih, wajah peri Senyum bidadari yang sunyi
SARI GADING, YAJNA SEPASANG NELAYAN I Cemasku terbit sudah Ketika kugiring waktu terakhir sebelum pasir menjeritkan tangismu yang pertama (Kecemasan ibu Yang tak dapat kau lihat di wajah perempuan mana pun)
Aku terdiam Memandang hampa semesta dan jagat raya Karena keheningan aku percaya adalah teman paling kekal Ombak yang tenang adalah pertemuan dingin di batas nasib Perjumpaan akrab pesisir yang dibelai lembut buih dan tiupan angin Pergulatan yang menyimpan guruh Antara pusaran air di dasar laut dengan pijakan bumi Saling tahan, saling gerus Saling beradu kesunyian
II Aku bumi tak pernah miskin gelisah Kau langit tak juga padamkan gundah Kita sama-sama ringsut mengadu hidup dengan patahan kata
Segalanya tak bersuara (kecuali alam yang terus bekerja)
Napas sendiri terdengar serupa sengal anjing yang meronta dalam ikatan Degup yang hidup di dada seolah karang retak dilebur gelombang sepanjang malam
Lalu lewat udara kita menanya makna Lewat udara kita susun dongeng tentang putri kecil Yang akan dimimpikan anak-anak kecil di setiap dengkurnya Dan ranggasan daun-daun kering di musim hujan Dengan sendirinya Menggenapi kisah panjang yang sesat di lautan
Sepanjang umur Laut tak pernah sempurna, sayangku Laut yang jernih tempat kita akan berpulang
III Om, sembah ing anatha tinghalana de tri loka sarana wahyadhyatmika sembahinghulun i jong tan hana waneh sang lwir agni sakeng tahen kadi minak sakeng dadi kita sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu
Takdir tergurat, anakku Dengan saudara tuamu, sang ari-ari Kubeli bubur merah putih, empuk-empuk, pisang saba sunggar dan sebuah tabung bambu yang berisi air, juga sebilah sisir
Lalu karena kasih Kuserahkan ikhlas Sekecup hidupku, hidupmu pada Hyang Agung dan Dewa Dewi
Ini yajna yang tak terganti sepanjang umur di sisa hari yang murung Meski tanganku tak bisa mengusap kulitmu Air susu tak akan tumpah memerahkan wajah atau ngalir memasuki jantungmu Dan mulut tak sempat melantun tembang pucung juga pesan hidup yang tersirat di kidung suci untuk pengantar tidurmu
IV Pantai yang keruh pasir yang lusuh Kaukah pilu yang menjelma suratan buruk Aku datang dengan beribu kelu
Sari Gading namaku Perempuan yang lahir sebagai kurban dan menjelma pohon gebang yang setia mencumbu bumi Persembahan bagi kau nelayan, sepertimu
Lalu sempurnalah hidupmu Lanjutkan kembaramu lewat sepenggal kisah bagi ritus laut Dengan peninggalanku (Wasiat tanda sujud pada ayah ibu yang membuatku mencium aroma pantai)
Angkat sauh, layarkan perahu Haturkan sesaji, dan lafalkan mantra Biar jiwaku menyambangi kalian Lewat sebilah harap meski pengap Yogya, 2007 Puisi ini terinspirasi cerita dari Bali berjudul Sari Gading Catatan: 1. Yajna (baca: yadnya, bhs sanskerta): persembahan, kurban 2. Adalah sebuah kidung yang termuat dalam Kekawin Arjunawiwaha, artinya Om, sembah hamba yang hina semoga dilihat oleh Beliau yang menguasai tiga dunia Lahir bathin sembah hamba ke hadapan kakiMu tiada lain Bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak di dalam santan Yang akan nyata tampak bila ada orang yang membawa pikiran/pengetahun ke jalan yang benar 3. Pucung: adalah salah satu jenis tembang di Bali dengan gu laghu 4u 8u 6a 8i 4u - 8a
EMPAT BURUNG DALAM DONGENG TIDURMU (1) Malaikat tersedu Tiga pendeta sangsi Berulang menimbang mawas diri :adakah kematian jadi jalan paling suci meski dosa tak pernah luput menghampiri diri?
Ini harus dilalui Bukankah tiap kematian memikul satu kelahiran baru
(2) Kota makin bising Bukan karena ringkik kuda Atau rintih sapi penarik pedati
Aku terbangun dalam keramaian Yang enggan memaknai hari Dengan menghirup dalam-dalam napas Kota pun menangisi kematiannya Tentang musim yang tak pernah jelas nampak
Tulisan-tulisan tak terbaca Banyak cerita tak diceritakan Raib di tangan para rahib Seolah disucikan Dipenggal arus waktu ke waktu Menghanyutkan kata hingga kuburnya
Ladang adalah tempat istirah Menjelma makam Penghabisan nama-nama di hari yang murung : akankah peri-peri memberi sihir yang membuat tanah jadi hijau?
Lalu kembalilah padaku dari hidup yang teraniaya Saat bulan gemetar di kejauhan Setiap cerita menjelma pulau-pulau kecil dan laut yang mengitarinya
(3) Langit jernih Bidadari pagi sibuk Membunuh satu demi satu bintang dan kilau murungnya
Detik-detik bertalu diburu biru waktu Orang-orang menabuh sunyi
Lalu pergilah mereka Empat burung dengan empat benih padi berwarna
(4) Aturan-aturan tak mesti dipatuhi Badai mengubahnya lebih indah dari segala arah angin Memukul-mukul bebatuan Dengan tangannya yang bernama ketiadaan
Retaklah batu, Seperti bulat mata mereka yang pucat
Terbanglah kalian Dara, Kuteh dan Titiran Terbang jauh dalam mimpi Sebelum mimpi buruk mengejar
Kita yang berpulang Menjelang malam Membawa keluh yang selalu sama tentang puisi
Gelegak rindu ingatan pada lahir kata Hijau rahim kata-kata
(5) Inilah kami, Dewi Tiga burung, dan tiga benih padi berwarna
Matahari langsat dengan ronanya Mungkin tubuh jadi gumpal getir Dan amis kental darah meruah Menggembur tanah
Sembunyikan kami Lewat benih-benih ini, Dewi Dengan sihir di keempat tanganmu Biar tualang usai tanpa rupa
(6) Aku gelisah Dengan tinta yang makin beku Menuliskan sekian perjalanan Entah untuk kali yang keberapa
Hidup cuma hitam-putih Kita, bidak-bidak catur Tercenung Memikirkan jalan nasib sendiri-sendiri
Lalu padamkan doa dan ayat-ayat suci (meski tak selalu sia-sia)
Tuhan yang kosong : adakah Ia semesta yang selalu hampa? Jogja, 2007 Puisi ini terinspirasi kisah dari Bali berjudul Empat Burung Pembawa Empat Bijih Padi Berwarna.
MALAM NATAL Tiap tiba advent Aku tanya bintang : adakah perabuan terakhir untuk jasadku?
Misa dan puasa tak juga selesai Lalu orang-orang melantunkan eleginya sendiri
Bayangkan Perang-perang, yang lewat sekejap Peluru-peluru menyayat kulit tak sengaja
Musim mengering, cuaca luka Bunga-bunga menutup kelopaknya Meneteskan wangi yang tersisa dan menguap di udara Sebelum sampai di tanah yang merah pasrah karena anyir darah : adakah perabuan terakhir untukku?
Sedang mayat-mayat masih pulas tidur Dengkur tertiup angin yang layu Dan bisikan bisu : tak ada lagi tempat untukmu Jogja, 2004
ZIARAH SUNYI apa kau percaya malaikat yang melindungiku adalah arwah kakek nenek yang lama kurindukan
apa kau percaya peri yang menemaniku adalah ruh anjing hitam yang menjaga masa kecil
kini aku terdiam ketika orang-orang tak lagi percaya pada malaikat, peri-peri dan kilau sayapnya
: aku terbuang Jogja, 2006
TENTANG KOMANG IRA PUSPITANINGSIH Komang Ira Puspitaningsih lahir di Denpasar, 31 Mei 1986. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media massa, al: Bali Post, Kompas, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres. Beberapa kali memenangkan atau menjadi nominasi dalam lomba penulisan puisi. Puisinya juga terhimpun dalam beberapa antologi bersama, al. 100 puisi terbaik Indonesia versi Pena Kencana 2008 dan 60 puisi terbaik Indonesia versi Pena Kencana 2009. Sepertinya, Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu adalah antologi puisi tunggalnya yang pertama.
PUISI-PUISI DIAN HARTATI Selasa, 11/02/2014 - 23:43 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Dian Hartati KALENDER LUNAR mencermati bulan gerak putar yang tak pernah diduga tibatiba purnama
kau selalu bercerita tentang malam dan serigala manusia dan petaka sesuatu yang bernama kala
di setiap bentukan bulan kau memandang langit mahabintang tibatiba gerhana SudutBumi, 7 Agustus 2009
MATA ORANG PESISIR aku bertemu mereka, serombongan anak muda datang dari tempat tak terduga ramai memainkan musik jiwa
par amparan paser pote rampak naong camara odang adu asre mabunga ate e setthina neng senengan*
tibatiba tubuhku ingin bergerak irama apa ini tanganku terbawa arus, terbawa cerita terpasung katakata yang tak kumengerti
alunan perkusi
aku bertemu orangorang pesisir matamata itu bercerita tentang nelayan patroli kampung rangkuman nyanyian alam
mata itu membara mengenlkan padaku akan sebuah irama patroli musik orangorang pesisir
par amparan paser pote rampak naong camara odang adu asre mabunga ate e setthina neng senengan*
aku bertemu mereka di sebuah kota, berjabat tangan mata itu memercikkan sahaja keramahan para pendatang SudutBumi, 7 Agustus 2009
* Lirik lagu Pantai Lombang yang dibawakan ole le Gung Mozaik Perkusi, kelompok musi dari Legung Timur, Kecamatan Batang-batang, Sumenep, Madura.
TARU MENYAN 1/ embun masih mengental di truyan sayupsayup terdengar kulkul teratur membawa isyarat
tung tung tung sebuah berita disampaikan angin siapakah adik kecil yang mati hingga alam begini suram tak ada yang tahu jejak usia
2/ orangorang berkumpul membawa perkakas menyiapkan upacara banjar ramai dan truyan menjadi putih digiring ruparupa sesaji
3/ langkahlangkah begitu layu taru menyan yang dituju mencapai sema muda kuburan bagi jasad yang selalu utuh diawetkan waktu
SudutBumi, 20 Februari 2009
PATENGAN buat: Acep Zamzam Noor
kedatanganku disambut gigil batu di antara perahu pekat halimun juga sepi
aku mencari titik beradamu duapuluhenam tahun yang lalu
gerak rumputan menceritakan kisah rengganis dan ki santang membawa kidung gugur daun mencipta riak di sehampar kebun teh
masih samar kurasakan tempatmu udara mencipta beku di separuh tubuh di sinikah kau berdiri menghitung lagu jiwa, di sinikah kau anyam benangbenang kecintaan? langkahlangkah itu terpatri
betapa luas jangkauanmu menuju pulau sasaka tempat bertemunya dua hati peraduan di suatu kisah
sepi melingkup saat ini di patengan gemuruh angin memecah wajahmu pohonan melindapkan kuasa
akh aku dipeluk hangat kabut : sendiri SudutBumi, 5 Juni 2006
MANIK DARI PUGUNG RAHARJO merinduimu ketika malam jadi sempurna menjejak jalan menuju bukitbukit dan pohonan lereng dan kemilau carnalim adalah sebuah pertemuan di juring harapan undakan punden akarakar kenangan saling membelit mengisahkan jambat hangkirat si pahit lidah juga kisah tentang anak dalam
kemilau sampai di kemiling ekskavasi tiada akhir ketika itu tahun saka bekal kubur dari zaman ke zaman
rambutmu manik, tergerai di semilir angin melepaskan kuccit meremangkan setiap pandangan tawamu begitu lirih meraba kupukupu di leher jenjang lelah berlatih tari melinting bergurau saling berbalas sagata bukahaya gadis dan bujang malammalam jadi kenangan
sementara kakak hening dalam sesat tatapnya nanar sunyi dalam ritual mantok diingatnya muanyak jauh di krui menjelmakan sengkarut peristiwa
mamak berdiang di depan kancah menunggu kopi menghitam kagrih panas bara sedang musim berganti selalu dan selalu berubah
moyangku dari zaman tumi saling berebut masuk hutan menjumpai muli putri di pangkalan sumur jernih menyimak rayuh suara kulintang sebagai tolak bala tumbul dewani titisan dewa agar diberkati disyarati
manik kekasihku, diorama kampung halaman menyadarkan aku seorang pejalan lelah merapal sarambai juga cerawan dimensi waktu telah meluruhkan keras hati
kisah rakata diletup dasyatnya goncang bumi ganggu tidur
ingatlah rumahmu di desa wana bubungan seolah trapesium sebuah tradisi di rumah panggung
senja ini akan kuceritakan tentang laut gadinggading mengambang karena keangkuhan manusia
dengarlah kahindang ini, sayang raga yang masai karena jumpa perahuperahu tinggalkan pesisir pantai pendatang huni sang bumi ruwa jurai
manik, kubawa serta kemilau tubuhmu di biru lautan harihari yang kutinggalkan hanya sekedar siasat matahari itu pasti kembali menyinari punggung sebuah bukit SudutBumi, 8 Agustus 2006
Catatan: carnalim: jenis manic-manik kaca kuccit: kucir rambut sagata bukahaya: bentuk pantun percintaan sesat: rumah adat mantok: menenen kain tapis muanyak: seni vocal kancah: kuali besah kagrih: aduk muli putri: bidadari rayuh: hajatan sarambai: jenis prosa panjang cerawan: keluhan jiwa kahindang: puisi lisan berisi kisah sedih
GELIAT MUSIM ANGIN TEDUH menuju utara menuju timur tanahtanah dijelajahi memburu jati diri karena jiwa terkekang
berbondong menatap nyiur di garis pantai mendirikan bangsal beranakpinak menghitung hari dalam satu musim
begitulah daik lingga mengawali kisah bersama cuaca dan gerak gemawan membangun ritual dabo singkep ramaikan bandar desa malang rapat
geliatkan musim angin teduh bersama anak, istri, juga handai tolan
1 mak long, segera siapkan berteh. pilih padipadi unggul untuk digoreng. beras kuning dan beras basuh yang utama, juga bakek sebanyak tiga kapur. aku ingat mereka suka merokok, siapkan tiga batang saja. tembakau dan pembara jangan sampai tertinggal. jauh-jauh hari telah kusiapkan kemenyan.
sebab april mengundang musim angin teduh gelombang laut dapat berdamai kupilih pagi tenang mendatangi hujan siap meramu bersama datuk, sang pawing
duapuluh hari mendatang kayukayu pilihan direndam kini waktu bertandang ke hutan menjumpai para makhluk gaib
wahai hantuhantu para jembalang mambang jin
dengarlah kami datang membawa sesaji mohon izin agar kesampuk menjauh dari kami
kapak dan parang telah terasah kayu pilihan tercatat dalam ingatan jauhi jika terlilit ular jauhi jika terdapat ular tinggalkan saja jika berbuah apalagi terdapat cacat pilih yang lain jika milik kerabat dengarlah mantra kayu kami ucapkan salam pada nabi ilyas salam pada nabi ilyas salam pada nabi ilyas kami minta kayu ini untuk rezeki kami di laut setelah hajat terucap alam seolah memberi izin daunan itu luruh mengangguk setuju ayuan kapak jadi pertanda jalan baru menuju penghidupan
2 mak long, percayakah kau puan? kita akan mengacak kelong. mengundang ikan bilis agar terperangkap. nantikan hari panen itu. tanggultanggul akan memenuhi dadamu dengan manikam. siapkan sesaji yang sama, oh ya tambahkan juga sebutir telur yang masak, serabai, lepat, dan ketupat, agar lengkap semua itu.
tiga hari lalu aku telah bertandang ke laut menandai dengan tongkat pancang yang kukuh kau tahu laut begitu bersahabat bertakzim pada semesta
kini akan kularungkan semah serta kayu pilihan karena semua siap dicacak siap dibentangkan
datuk menggiring salam memetakan setiap lankah agar tak sia menjelmakan ratusan bahkan ribuan keinginan salam pada nabi khaidir salam pada nabi sulaiman salam pada nabi allahitut sang penguasa air sang penguasa ikan sang penguasa bumi kami minta tempat ini untuk rezeki kami di laut
tunggu saja isyarat raja laut jika mimpi buruk tak datang segera kami kembali jika mimpi buruk datang apa yang bisa kami kehendaki semua milikmu semata
ternyata laut begitu pemurah berkah kami dapatkan segera tanggung jawab diselesaikan salam bagi raja laut kami datang untuk sebuah kehendak menyacak kelong bagi pemilik jangan ganggu kami umat muhammad mencari rezeki di laut kami tak berniat jahat hanya bermaksud baik
mantra selesai diucap segala sesaji ditabur kecuali rokok, tembakau juga penganan semua ditenggelamkan dalam hening yang kaku
pekan kedua di bulan mei arus laut memantau setiap gerak tenang tangantangan itu bersikeras menyacak membentuk sebuah ruang di atas permukaan nanar sebab sesaji diterima alam
3 mak long, buang semua lelah di ragamu istriku. segera rebus beriburibu butir kacang hijau, tanak sampai ia manis untuk dicecap. siapkan juga bedak beras yang kau tumbuk kemarin. segeralah, jangan biarkan hari matang tanpa siasat. ajak azizah buah hatiku, ajarkan padanya bagaimana menyiapkan alat penepuk. mengumpulkan daun ganda rusa, setawar, dan sedinginan. tak baik remaja dibiarkan melamun sendiri.
senja itu doadoa ditetaskan semua menunduk syukur kalimatkalimat mengawang di lautan terbawa arus, angin, juga bisikanbisikan para nabi
setelah asar yang syahdu serombongan menuju kelong seorang memimpin, bukan datuk tentunya
ucap syukur menghunjam ke dasar laut ucap syukur terbang ke semesta inilah kesempatan itu ketika berkah diterima semangkuk bubur terasa gurih kelat di lidah
kini saatnya pancang tua diberkati tanggultanggul diberkati pawang menaburkan tepung tawar al fatihah terlantun tiga surat lain menyusul al ikhlas, al falaq, an naas
gemuruh angin datang lidahlidah ombak menajam salam bagimu roh bani, penguasa kayukayu kami hormat padamu kami memohon pada engkau kami akan memasang lampu kelong untuk rezeki kami di laut
semua hening menanti kelam bersama dengung shalawat luruh ditingkah haru siap memanen di hari menjelang
menuju utara menuju timur tanahtanah dijelajahi berbondong menatap nyiur di garis pantai mendirikan bangsal beranakpinak begitulah daik lingga mengawali kisah bersama cuaca dan gerak gemawan membangun ritual dabo singkep ramaikan bandar desa malang rapat geliatkan musim angin teduh SudutBumi, 19 September 2006
LELAKI HUJAN tibatiba kau menjemputku dalam perjalanan pulang ketika sore berubah mendung dan jalanan hanya menyisakan bayangan pohonpohon cemara
langkahku masih saja tersaruk mendapati mimpi yang jadi nyata kau dan rupamu menjelma sore itu jadi hujan yang dikirim tuhan mendatangi aku yang selalu berjalan sendiri di setiap sore
kau membawa angin imaji yang luruhkan semua rinduku bagi lelaki yang selalu datang dan pergi kau hadir dengan ribuan cerita tentang anakanak hujan yang membasahi tubuhku gigil sore yang menghangatkan
lalu kita berjalan bersama bercerita tentang perjalanan air muaramuara tempat singgah dan ceruk rahasia yang telah kita buat
kau lelaki hujan datang memberikan warna di hatiku setelah abadabad muram tanpa gemuruh dan menyisakan kenangan biru yang ranum
datang menjelma hujan di soreku yang sibuk SudutBumi, 23 November 2007
GYNOID #1# tubuhku hanya sumbu yang tiap detik dibakar usia waktu dapatkah kau berlari menyelamatkan aku di ujung waktu?
#2# berkas cahaya putih terus menyelubungi mengambil sebagian napas sebagian ruh
hingga aku akan benarbenar padam di hadapanmu
#3# tubuh luka Sudut Bumi, Juni 2009
TENTANG HUJAN DAN KEMARAU diamdiam aku mendoa tentang hujan yang tak reda di matamu malaikat itu beterbangan mencari sisi lain hidup mencerna kelam di retina matamu
untukmu diamdiam aku amati cuaca luruh juga akhirnya kemarau datang lalu menjaga jejarak agar kita tak sempat kecewa SudutBumi, 10 April 2006
SAHIBULHIKAYAT DI NEGERI MANTANG ARANG perkenalkanlah tuan puan, sahibulhikayat sedang bertandang ke negeri mantang arang di negeri itu ia terperangah mendapati pesisir yang ramai lalu bersadai, menjelingkan mata
sahibulhikayat menegaskan pendengaran menajamkan mata di remang malam sebidang tikar dihampar di hadapannya, seorang bomoh menyulut mantra ritual buka tanah dimulai meminta izin para leluhur salam pembuka, secawan air menemani ruparupa sesaji nan sahih
lorong masa lalu terkuak bersama rampak para panjak madah melayu menggelora bersambut gedombak, serta serunai menyayat hati
alam ditingkah musik makyong yang setakat di antara ketertegunan perhatikan tuan puan sahibulhikayat beralih peran
memakai topeng menaiki pentas menyanyikan lagu menghadap rebab betabik sebagai tanda pembuka
alkisah, putri nak kandang, permaisuri raja peran situn sedang mengidam permaisuri negeri seraja kerajaan dang balai inginkan daging rusa putih rusa putih bunting sulung, sulung ayah, sulung bunda sulung segenap hutan carang rimba*
sahibulhikayat berperan ganda sebagai awang pengasuh, putri, dan wak perambun kadang menjadi panjak ataupun canggai tersebab gerusan waktu telah melupa opera zaman anak muda menjauh dari akarnya
wak perambun menerima titah raja mencari daging rusa putih ditemani anak panah mercu dewa, susuri hutan selama hati bertujuh wak perambun tak menemu rusa, hanya pandang seorang putri dalam hutan putri bernama nang nora, putri sindang bulang yang ketujuh kata sepakat terucap, berdua menghadap raja bercerita bahwa tak ada daging rusa putih di dunia*
sahibulhikayat mendengar lengking serunai terlepas dari kantuk merapikan segala ingatan tentang roh melayu di bumi sagantang lada
perhatikan tuan puan, mata sahibulhikayat menjerang kalam bersempalan dengan tarian mencecah bibir bomoh yang melecutkan jampijampi tutup panggung
tuan puan, lihatlah gelagat sahibulhikayat ia bangkit menjauhi kerumunan meninggalkan bunyibunyi pesisir melanjutkan perjalanan hingga ke daek dan lingga bermuhibah ke negeri serumpun membawa kelampauan melayu SudutBumi, Oktober 2007 * Kutipan cerita dari salah satu kisah Makyong
TENTANG DIAN HARTATI Lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Diundang dalam event Ubud Writer dan Reader Festival tahun 2009. PUISI-PUISI SONI FARID MAULANA Sabtu, 15/02/2014 - 10:40 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Soni Farid Maulana SEMACAM SURAT untuk Sutardji Calzoum Bachri
jika itu yang kau maksud: memang aku punya hubungan baik dengan ikan di kolam; -- juga dengan warna ungu teratai dalam lukisan Monet.
tapi kucing yang mengeong dalam aortamu: -- rindu daging paling mawar rindu susu paling zaitun, yang harum lezatnya semerbak sudah
dari arah al-kautsar. Tapi, seberapa sungguh kegelapan bisa dihalau: -- jika gerhana membayang di hati? Seberapa alif mekar
di alir darah; -- jika setiap tasbih diucap, yang berdebur di otak hanya ombak syahwat? dji, tangki airmata selalu bedah di situ 2002
CIWULAN aku mendengar suara ricik air sungai yang ngalir di antara batu-batu dan batang pohonan yang rubuh ke ciwulan
aku mendengar suara itu mengusik jiwaku bagai alun tembang cianjuran yang disuarakan nenekku di gelap malam 1979
DAUN siapa yang tak hanyut oleh guguran daun: ketika angin mempermainkannya di udara terbuka ketika lembar demi lembar cahaya matahari
menyentuh miring dengan amat lembutnya siapa yang tak hanyut oleh guguran daun ketika maut begitu perkasa mencabut usia hingga akarnya, ketika matahari
menarik tirai senja, ketika keheningan menyungkup batu-batu di dada. Siapa yang tak hanyut oleh guguran daun: ketika
lobang kuburan ditutup perlahan, ketika doa-doa dipanjatkan dengan suara tersekat ketika kutahu pasti kau tak di sampingku 1980
SUARA TEROMPET AKHIR TAHUN di ujung malam sedingin es dalam kulkas;
apa yang kau harap dari suara terompet akhir tahun?
fajar yang menyingsing tanpa bunyi kayu dilahap api,
tanpa tubuh yang hangus seperti sisa bakaran kardus?
kita berharap semisal tak ada kurap di daging waktu yang esok hari kita kunyah dalam pesta kehidupan yang renyah?
tapi apa artinya berharap dan tidak berharap, bila langit muram terus membayang seperti pengalaman yang kelam:
o, bunyi kayu yang hangus dan tulang kepala yang meletus dalam kobaran api di bulan Mei yang ngeri di ini negeri?
di ujung malam sedingin es dalam kulkas;
apa yang kau harap dari ujung bunyi terompet akhir tahun? 1998
SELEPAS KATA untuk Kautsar M. Attar
perempuan itu terbaring di ruang bersalin bayang-bayang sang ajal berkelebat dalam biji matanya; memperkenalkan diriku pada warna darah dan tanah. Dan kau yang
dilahirkan sore itu, tangismu keras, air matamu adalah arus sungai yang deras menyeret kesadaranku ke palung derita seorang ibu, yang sisa amis darah
persalinannya; masih melekat di tubuhku, yang kini rapuh dikikis waktu, digali detik jam yang terus melaju ke dunia tak dikenal,
di luar hiruk-pikuk kehidupan kota besar; ada yang menjauh dari surau dari kilau telaga kautsar yang Dia berikan 2003
LANSKAP aku mendengar nyanyian angin pagi di tangkai pohonan
aku melihat cahaya sunyi matahari berkilau lembut dalam bening embun pagi yang bergayutan di punggung rumputan
aku mendengar salam itu, salamNya, dilantunkan kokok ayam jantan
negeri langit 1976
TEMBANG Kau yang hidup dalam ingatanku adalah tembang yang tak pernah selesai dilantunkan angin sepanjang waktu
Kau yang memberi arah dalam hidupku adalah petikan kecapi, alun suling, lagu yang tak pernah sirna di kalbuku. 1977
TENTANG ULAR di kamar ini, di antara bayang-bayang kelambu aku cari wangi tubuhmu. Desis ular dari bayang-bayang masa silam kembali menggema dalam ingatanku, lalu firmanNya yang menggetarkan itu. 1994
NARASI DI BAWAH HUJAN hujan, curahkan berkahmu yang hijau pada lembah hatiku.
puaskan dahaga tumbuhan, hingga jiwaku terasa segar membajak kehidupan.
di pinggir jendela aku ingat benar tahun lalu aku masih kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,
memutar-mutar payung hitam di bawah curahmu; yang berkilauan bagai perak disentuh matahari.
o, hujan. Puaskan dahaga jiwaku agar hidupku menyeruak bagai tumbuhan
menjemput Cahaya Maha Cahaya 1984-1989
ANGGUR DAN DAGING BAKAR untuk Ian Campbell
sampai di pinggir jalan di bawah rintik hujan, dalam derai angin sore hari; sekar kenangan ligar lagi dalam dirinya yang sunyi;
di Rotterdam dalam hujan salju yang kali pertama ia lihat dengan penuh rasa takjub
anggur dan daging bakar bisa menghangatkan badan, katanya. Tapi ia tak menjamin
bisa meloloskan nyawamu, dari sergapan maut musim dingin yang melata bagai ular mencari korban 2003
DEMIKIAN CAMUS BERKATA pemberontakan itu, demikian Albert Camus berkata, memberi nilai pada hidup1
yang kau punya kubelai-belai mesra, nyatanya hidup juga.
hihihi, mari kita masuki wilayah malam dengan seluruh api pemberontakan yang menyala di dada.
o, airmata yang bergulir di cekung rasa katakan padaku masihkah kita bermukim di negeri mimpi? Siang tadi kabar duka
sampai padaku, Tasik yang rusuh dihanguskan api. Batu mengucap batu. Darah melayah di gigir hari,
di gigir waktu apa yang rubuh sehabis api pemberontakan kita kobarkan hingga ke langit jauh?
hanya sunyi bertilam sunyi di luar jendela. Lalu daun gugur dan risik hujan kembali bicara 1996 1 Sepatah kata bersayap Albert Camus dalam buku Mythe de Sisyphe
CATATAN DALAM HUJAN aku serahkan seluruh jiwaku padaMu karena menolak adaMu berdasarkan pikiran adalah kesia-siaan belaka.
keimanan adalah kerinduan yang bengal yang berulang jatuh memanjat langit rohani hingga malam berlalu dalam tahmid dan takbir hingga kokok ayam mengerek cahaya fajar
di kalbuku. Hujan yang turun menghapus jejak kemarau di dahan-dahan pohonan sungguh indah warnanya. Irama suaranya yang menggetarkan ini sukma; adalah
salawat bagi segala jiwa yang berlayar ke muara Cahaya Maha Cahaya semata Cahaya Maha Cahaya 1991
PERAHU kau buka kancing bajuku seperti cahaya menguliti kegelapan di sebuah kamar yang kekal
ada perahu dalam tubuhmu bawa aku berlayar menuju tanah asal!
(detik arloji menafsir sepi, rumah karib dalam diri. Perjalanan panjang, desis ular hitam di rumpun malam)
lalu kita bicara dalam bahasa di luar kata yang menampung gaung angin, dan gema ombak di tepi pantai yang dulu ditinggalkan, berabad lalu.
bawa aku ke tanah asal yang dulu kau sebut surga: sebelum gelap kembali bersarang dalam kalbuku!
(malam menarik diri sebelum maut menafsir ruhku: dalam huruf-huruf kaku di batu nisan. Di batu nisan) Bawa aku ... 2004
HALTE, 1 di halte dusun itu, di bangku peron yang dingin bertilam angin; aku mendengar siit incuing ngear dalam kelam.
seseorang akan pergi jauh. Serupa kerlip bintang di langit lengang! begitu kau bilang. Dan waktu adalah debur ombak lautan yang tiada henti menggerus batu karang dalam tubuhku.
cahaya remang menyentuh miring rambutmu hangat tanganmu menggenggam erat tanganku apa makna hari ini bagi hari esok yang lain? 2003
HALTE, 2 tubuh adalah halte yang kelak roboh, seperti rumah kayu yang dihancurkan rayap dan cuaca gelap
lalu apa makna persinggahan bagi yang mengangkut dan menurunkan penumpang? Kau tahu, sinyal itu
kembali mengirim isyarat ke arah yang lain seperti kedip lampu morse dalam kabut Waktu.
lalu setelah itu tajam mandau perpisahan kembali menyayat sang kalbu di ruang dalam yang kelam lezat yang tinggal karat 2003
KAU angsana dan gandasoli yang kau tanam di pekarangan hatiku tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat kau bilang, jika kedua tanaman itu tumbuh subur itu artinya: cinta kita memuncak, mendaki puting gairah seindah bulan merah
kini kau di mana? Hanya desir angin dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku diiring bebunyian serangga, sebelum tiba musim penghujan
langit kosong dan sepi seperti sumur tua yang ditinggalkan dengan sisa air yang nyaris kering diteguk garang kemarau yang menghanguskan akar rumputan
lalu api sunyi berkobar dari gerbang langit tak dikenal menjilat dan membakar angsana dan gandasoli yang dulu kau tanam di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi yang diberkahi cahaya matahari dan kicau burung dari syair attar, hafiz dan sanai. Cintaku,
kau di mana ketika rindu menyemak di dada ketika ajal melepas kata dalam dadaku 2002
PASTORAL di tengah perjalanan antara rumahku dan tanah kubur Ia menyapaku. Semoga api dan gigitan tujuh ular berbisa: tak bersarang di tubuhmu, kata-Nya. Ruhku pucat-pasi, kalbuku gusar sungguh: miskin alif-lam-ra, ya Rabbi! 2006
BERITA SATU KOLOM apakah dadamu dihuni ashabul kahfi? demikian kau bertanya di sebuah malam yang lengang sehabis hujan. Tidak. Ia justru dihuni sekompi binatang buas. Raungnya kau dengar, mengguncang tebing alif-lam-mim-mu, merindu cahaya al-Tawwab 2000
DALAM HUJAN ada yang jatuh ke dalam sumur waktu suaranya sanggup menggetarkan hatiku, sepanjang nadi jam berdenyut dalam jantungku
lalu keriangan itu apa? Hatiku yang murung kehilangan kaca kata. Sungguh di situ, aku tak bisa lagi melihat wajahku serupa apa?
cahaya perlahan susut diserap kabut dering daun jatuh di lauhul mahfudz bikin hutan kelabu dalam deras hujan di tubuhku 2006
CAHAYA KECIL di ujung dermaga seseorang menanti ia jatuh cinta pada cahaya kecil di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu dalam tujuh larik puisi yang ringkas
jika salju turun seluas kalbumu kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api yang menyala di rongga dadanya: adalah kehangatan hidup yang kau cari
ya, memang sepanjang jarum jam berputar di dinding jantungmu: ia hanya buih yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba ia metafora dalam merdu kawihmu. 2005
LINGSIR jejak atas pasir diusir deras arus air maut bergulir matahari pun lingsir
dan kau berkata: apa yang tersisa di rongga dada selain kata, selain cahaya, atau kelam? langit redup seperti warna hutan dalam kabut
barangkali dulu seseorang pernah datang ke ranjangmu. Datang dengan berkuntum bunga teratai
dan mungkin setelah itu: ia berkemah di balik dastermu berselancar di ombak tubuhmu dan kau tak kuasa menolaknya?
ya, memang: maut menggilir dan hari bergulir. Lalu detik jam dalam tubuhmu kian lemah suaranya aku dengar. Adakah ia serupa tanda
bahwa matahari yang lingsir tak lagi menggelar fajar sebab ia meledak sudah di langit yang lain, di luar kata yang diburu para penyair.
aku tahu ada yang ingin kau katakan, sebelum subuh sehening batu: ditebing kalbumu yang curam 2005
DI SISIMU aku tahu, hari itu akan tiba di luar kata dan cuaca detik ini. Dan kau mendesah saat telapak tanganku mengusap pundakmu. rambutmu hitam bagai ribuan garis tinta cina dalam sebuah drawing Picasso di sebuah galeri
dekaplah aku meski bukan untuk yang terakhir kali. Angin terasa dingin di batin. Pekik camar laut mengguncang dinding kota. Mata arloji menaksir detak jantungku, di sisimu. Cahaya bulan menyentuh miring tubuhku. 2005
KISTA ENDOMETRIOSIS 1 pohon-pohon berasap tiga ekor burung menggigil dalam kabut
lalu gaung timba di sumur tua mengoyak ketenangan air di kedalaman
selamatkan aku sebelum bencana bermukim dalam rahim pikiranku! kau bilang
tapi mengapa kau biarkan kista endometriosis tumbuh di situ yang akarnya menyubur di gelap bawah-sadarmu?
2 medikamentosa, itukah yang kau harap: mampu membebaskan diri dari kelam kabut pikiran:
sebelum bunga bangkai ligar di ranjangmu: pada sebuah malam yang kau sebut malam pertama?
aku diam ditafsir air mata
desember runtuh dalam tubuhku kegelapan menghapus cahaya gemuruh laut malam dikhianat garam 2004
LORONG aku bercakap dengan bayang-bayang wayang serupa amba. Tabuhan gamelan serupa risik angin di tangkai pohonan. Suara-suara serangga malam terdengar juga dari arah samping halaman rumahmu
yang kelam oleh kabut dukacita. Lalu kata-kata menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi yang dari lembah ke lembah kehidupan tiada lelah mencari kekasih idaman. Di cermin, rambutku
putih sudah. Malam kelam di buritan, dan kau serupa amis gula, cintaku, terpisah dari sepah tebu di lidahku. Dan kini segala yang aku teguk tawar
sudah. "Mengapa semua ini harus terjadi, selagi segalanya belum genap melunas rindu?" tanya tanpa jawab. Menggema di lorong jiwaku 2008
TAMASYA - untuk Rendra
di pantai laut merah di tepi kota Jeddah tak kutemukan jejak musa selain deretan cafe dan wajah para pelancong yang lelah yang datang dari negeri jauh, yang menyandarkan tubuhnya di kursi kayu, melepas pandang matanya ke luas biru laut bertilam lembut angin panas dengan ombak yang tenang
pemandangan seperti ini pernah aku lihat dalam sebuah lukisan di sebuah galeri kota paris ketika musim dingin menggigilkan daging dan tulang dan kau tak ada di sampingku. Hanya pekik burung yang aku dengar sore itu, sebagaimana aku dengar siang ini di tepi pantai laut merah di tepi kota Jeddah dan kau tak ada di sampingku
kini aku terperangah mendapatkan kaligrafi usiaku memutih di tujuh helai rambutku, yang disingkap lembut angin laut musim panas. Yang Maha Hakim jangan sampai hamba karam ke dasar palung hitam bagai fir'aun, yang lalai mengingatMu, suara itu aku dengar di tempat ini, bikin ruhku gemetar, o menggelepar, layak seekor ikan di paruh burung itu. Di paruh burung itu 2008
RENUNGAN JANTE ARKIDAM DI USIA 70 TAHUN - untukAjip Rosidi
malam belum begitu gelap ketika anjing melolong panjang di bawah remang cahaya bulan
"ternyata hidup butuh agama!" ujar Jante Arkidam seperti gumam ketika maut menaksir detik jam dalam detak jantungnya
kini kesepian menampakkan dirinya di hadapan Jante yang dilanda batuk dan sakit kepala
"ke mana nyi ronggeng yang dulu hadir dalam hidupku, yang dari meja ke meja perjudian aku rajai dunia malam," tanya Jante.
sesekali didengarnya bunyi tiang listrik dipukul orang juga lolong anjing tengah malam sehabis mupukembang lalu angin dingin kembali meraja menghajar raga Jante dekat jendela di sebuah rumah pinggir kota yang dulu dijadikan tempat sembunyi dari kejaran lelaki satu kampung dan kini di mana lebat kebun tebu setelah dengus zaman menyulapnya jadi perumahan yang dibuat asal jadi?
betapa tanganku berlumur darah, Betapa hidupku salah arah. Mengapa cahayaMu terlambat aku kenal? batin Jante. Detik jam bergeser lagi
sesaat, Jante menarik napas dalam-dalam. Lalu dihembuskannya pelan-pelan. Dari hari ke hari ia buron sudah diburu bayang-bayang hidup yang kelam, yang ingin dihapusnya seperti menghapus sebuah tulisan di papan tulisMu yang kekal
masihkah terbuka celah ke Baitullah? tanya Jante saat ia berkaca melihat wajahnya sendiri dalam cermin seperti batu retak di dasar sumur tua yang absen disapa timba tanpa ikan dan lumutan
siit incuing ngear di batin Jante beri aku kesempatan meneguk anggur cintaMu! tangis Jante di atas sajadah yang basah oleh airmata 2007
LANSKAP aku berkaca di alir sungai Seine ada wajahmu di situ yang dulu berkata, sayangku!
pekik burung gagak dan merpati laut mengguncang dinding hatiku sehijau lumut waktu. Kau? Entah di mana 2007
BINTANG PAGI tiga jam ke arah utara, kota tua, kabut mengendap di bukit dan lembah raja cahaya lembut bintang pagi di atas pucuk cemara. itu bintangku! katamu, yang tiada bosan menarik tubuhku ke dalam pelukanmu, sehabis bencana dan kerusuhan melanda kalbuku dan kau bertanya, kembali bertanya: adakah esok hari, kebahagiaan hidup tersaji senikmat hari ini? jam digital berdenyut lagi maut bergeser dari tempat duduknya di ruang tunggu yang lengang, yang gaib dari pandangan matamu dan mataku, seperti pisau sepi yang selalu menikam kalbu kau dan aku yang tak pernah terlihat wujudnya serupa apa. Itu bintangku, dan aku milikmu. Reguklah sedap madu dari puting kalbuku, bisikmu. Langitmu dan langitku bersatu lagi di kota tua, tiga jam ke arah utara. aku milikmu, paku aku cintaku di kayu nasibmu, jangan ragu. 2006
TAHARAH sebelum sampai ke Raudhah, ingin kupotong kegelapan di kalbuku: seperti memotong hewan kurban. Hati yang karam ke dasar malam betapa sulit dijangkau. Tinggal kilau mata pisau ditanganku yang gemetar menujuMu 2008
TENTANG SONI FARID MAULANA Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
PUISI-PUISI THOMAS BUDI SANTOSO Sabtu, 15/02/2014 - 10:44 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Thomas Budi Santoso DI GLENEAGLES HOSPITAL di gleneagles hospital di operation theatre suite aku datang padaMu sejak dahulu sudah aku serahkan telinga ini dan sekarang aku serahkan pula telingaku, dan hidupku sebab Engkaulah yang empunya diriku
sesaat duniaku terlena selama tiga jam, entah ke mana dan ketika aku siuman pertanyaan pertama apakah aku sudah selesai?
di gleneagles hospital di ruang empat tujuh belas aku temukan diriku berkeping seribu kulihat fatamorgana, panjang terbentang di depan dan kuputar kembali cakrawala kehidupan yang kutempuh, sepanjang separoh hidupku yang sempat meluruhkan air mataku
di gleneagles hospital aku temukan kembali, cintaku yang terkikis waktu, yang panjang sejak cinta dipersatukan waktu yang sempit yang menyekat kasih, dan waktu yang sisa yang menyimpan derita (dan membuat segalanya sia-sia?)
di sana aku temukan kembali, cintaku isteriku aku temukan, sahabat-sahabatku dan surat-surat dari jauh dan percakapan-percakapan dari jauh yang menopangku dengan semangat, dan penghiburan, dan doa dan firmanNya yang membuat aku tegak berdiri kembali spore, 15.12.86
MINGGU BAHAGIA dua pasang mata bening saling bertemu sayang dua hati sejernih telaga berpadu dalam cinta suci yang tak akan pernah mati
nopember dua puluh cerah dan cerah tak ada selembar mendung tak ada angin desah burung gereja bernyanyi sampaikan salam pada gemulai daun palma
ayah bunda terkasih ayah bunda terkasih bertemu dalam satu titik yang cerlang anak dan anak terjalin dalam keresmian adat menjadi milikku dan milikmu begitu indah begitu cinta begitu bahagia penuh gairah hidup di atas hikmah tuhan
nopember dua puluh tak akan pernah terulang seperti minggu ini 1966
NYANYIAN SEPASANG DAUN WARU dua manusia berpelukan di alam semesta dalam kubangan air mata
hatinya pecah bersulang darah putih tak seperti darah karena derita habiskan warnanya merah semerbak bau mawar karena durinya terpasang sepanjang perjalanan
manusia kenal dua ribu warna jagad raya punya berapa baginya cuma ada warna buta dan cinta mendulang misterinya sacinko, begitu bisiknya kocinsa, itulah sandinya
jarum jam tak bergoyang lagi tertindih asa yang jatuh dari pusat jantungnya konyasa, rintihnya sanyako, hiburnya
jarum waktu yang congkak tak mau mengalah ikut menikam dari depan sanyako, desahnya konyasa, ratapnya
aku ingin punya kuasa dan kutuntut waktu berjalan bersama bayanganku menuju timur sebelum tengah hari
aku ingin punya kuasa mengembalikan hari-hariku yang hilang
sacinko, sacinko kocinsa, kocinsa gaungnya tembus dua belas kisaran membawa sisa bau bunga rumput
hari senja, matahari menjadi bulan sanyako, sanyako konyasa, konyasa gemanya sahdu kandas ditelan ceruk bumi
aku menangis melihatnya aku mendengar tenggelam di dalamnya 9 september 2000
PATIAYAM lembahmu yang datar rumputmu yang hijau sawahmu yang kuning cukup air
petani penggarap sawahmu penebang-penebang kayu kuli jalan raya dan rel kereta semuanya dihidupi air bumimu menapis butir-butir keringat bersama mentari yang meleleh
kelebihanmu patiayam bukanlah milikmu sendiri kotamu patiayam sekedar hanya menerima warisan tanahmu
sedihnya patiayam kala bulan menghilang dari malam padi yang kuning lari bersama deru prahoto dan berputarnya roda pedati tinggalkan mimpi
petani-petanimu yang setia penebang-penebang kayu gembira masih dengan bulir jagung di lumbung kuli-kuli jalan raya kuli-kuli rel kereta dan seribu mata cekung sempat mendengar deru prahoto dan kletak-kletik roda pedati di akhir mimpi 1969
RINDUKU KEHIDUPAN siapa engkau yang menetapkan pembenaran tentang logika karena logika hanya ditemukan dalam persamaan cinta
siapa engkau yang mendulang kebenaran dalam logika karena benang merahnya berjalan bersama bayang-bayang kita
siapa pula engkau yang memasang logika jadi mahkota karena laju deritanya menjadi niscaya kudus, 8 juni 2004
LAHIR SAJAK dikandung perut bumi sejak eva dan adam tak lagi bertelanjang lahirlah sebuah sajak setelah itu lahir dan lahir lagi dan lahir kembali, berlaksa sajak sebab sajak adalah sedih dan sepi 7 juni 1970
SEMALAM SEBELUM PENGANTIN TIBA mama mama kuketuk pintu kubur mamaku kubayang rona cinta mamaku memukul detak jantung dalam gelisah kerinduan
satu saat paling bahagia mengapa ditandai air mata? mengapa tiada mama kecap?
semalam sebelum pengantin tiba mamaku datang bersama wangi sedap malam mamaku tersenyum mamaku menangis dan hatiku menelungkup
malam ini kubelai wajah mamaku kutembangkan lagu pengantin buat mamaku hingga fajar gemercik dan bunyi lonceng gereja menyongsong pengantin kusembahkan anggur pengantin buat mamaku 2 juli 1968
AKU MENCARIMU aku mencarimu di deretan kata-kata surat yang kubaca di ujung guratan penaku dan di celah-celah tumpukan informasi dan data
kubolak-balik dirimu di halaman agendaku dan kucari jejak suaramu di ruang rapatku di kilatan cahaya kalkulator kulihat pandanganmu memudar dan hilang berbaur warna hijau
dalam dering tilpon yang tak henti-henti, aku mencarimu
aku mencarimu di jok depan mobil peugeotku di tikungan dan perempatan jalan yang kulewati di lekukan-lekukan bonsaiku yang indah dan di balik kaca akuariumku
aku mencarimu ketika kudapati permen di saku kiri celanaku di kopiku yang hitam yang kuminum saat mentari miring ke barat, kutemukan sepintas hanya bayanganmu
dan di antara tamu-tamuku, aku mencarimu
aku mencarimu di kamar mandiku dan di dalam tube odolku kupijat dirimu dan meletakkanmu di atas sikat gigiku kudengar protesmu menembus cermin yang kutatap
aku mencarimu di antara lauk-pauk makan malamku dan di seputar gelas minumku yang mengembun yang berisi air jeruk kesukaanmu
dalam kepulan asap rokokku, aku mencarimu
aku mencarimu di gedung bioskop yang penuh penonton rasanya engkaulah yang duduk di sebelah kananku tapi tak berani aku meraba tanganmu
dalam mimpiku yang terpatah-patah, aku mencarimu
di ujung fajar tak kujumpai dirimu di sela-sela ketiakku ah, ingin kubelah kepalaku dan mengeluarkanmu dari sana membaringkanmu di antara dada dan lengan kananku tertawa kecil membaca puisi ini 14 juli 1989
DOA tuhanku apabila kutundukkan hatiku mengaca diri setelah gigiku retak dan mataku buta semu kutemukan diriku seperti kuda lari berperang
hakekat kasihmu yang ada dan selalu ada padaku dan selalu kuadakan mendamba buah yang ranum yang belum kuasa kudapat memaksa aku gelisah
hidupku yang sempat tergoda bising dan nyala membuat aku senyap dalam kesementaraan yang gila
tuhanku meski dunia berguling seribu kali sehari aku pun akan mati dan kumohon: akan tiba satu saat hatiku menjadi lumpuh dan mata kakiku pecah tinggal uluran tanganku penuh kepadamu tak akan lagi berpaling 1 maret 1970
DOA kekasihku betapa hati ini jadi biru menyebut namamu yang dambakan kepergian puisng using dari hati kembara sebab padamu kekasih kudapatkan hakekat hidup ini yang membawa awan kecemasan pada mega ria hingga tinggal hidup untuk kau bersama dara yang paling kucinta
kekasihku kala aku kenang pekik kengerian yang menyayat melengking lewat jiwa-jiwa tualang papa aku jadi ingat satu tragedi kuno dari sodom dan gomorah pada tiang garam di laut mati dan sahdunya malam ini, sahdunya iku tangisi domba yang sesat
kekasihku cahyamu telusuri liku-liku kesenduan mayapada melebihi kristal bintang yang paling cemerlang panas menembus jiwa-jiwa nanar di riba dosa sirami indahnya bunga bakung yang terpahat di hati hingga semuanya tengadah di bawah kakimu yang suci agung tiada bisa berpaling 1966
HIDUP hidup adalah gerak gerak adalah arah arah adalah alam semesta dan alam semesta adalah senyawa liang rahim dan liang lahat kudus, 28.11.90
DI 61 TAHUN hari ini ingin aku kembali memasuki rahim ibuku tetapi tak tertulis kodratNya demikian hari ini aku bersyukur karena andaikan bisa tak terbayang betapa besar dukaku melihat perbedaan kelembutan rahim ibuku dan kerasnya tanah yang kupijak hari ini aku bahagia karena ungkapan bahagia darimu, sahabatku hari ini aku bersyukur sebab Tuhan menopangku sehingga kakiku tak terluka dan tetap melangkah di bumi kehidupan (thomas budi santoso) tapi kita kadung tanah yang ditiup roh hingga nyawa berumah menjentera hidup yang gelegak saling mamah; kecuali puisi sedang kau tahu; malaikat dan nabi enggan mampir di ranahnya sesekali cuma dijamu penyair sufi tapi kita tak! kita cuma serpih gelombang jaman yang kalah kembali ke tanah sebelum nemu rumah (sosiawan leak)
TENTANG THOMAS BUDI SANTOSO Thomas Budi Santoso lahir di Pati, 19 November 1944. Menulis puisi sejak tahun 1960-an dan tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Ia adalah Penasehat Dewan Kesenian Kudus. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di PT Djarum sebagai direktur produksi.
PUISI-PUISI KORRIE LAYUN RAMPAN Sabtu, 15/02/2014 - 09:32 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Korrie Layun Rampan KUTEMPUH JALAN-JALAN LENGANG Kutempuh jalan-jalan lengang, derita-Mu menghadang Demikian tertib nasib menyalib Dari pusat hari-hari-Mu yang rumit
Kutempuh jalan-jalan sepi, cinta mekar dalam bunga-bunga sunyi Hidup berbeban juang, sepanjang tubir hari-hari yang garang Tak berdalih, antara derita dan ketawa Makna hidup latah cinta, gelepar-Mu yang menggemuruh di dada 1974
MAHAKAM Senja pun membenam dalam tragedi Abad ini jalan ini semakin sunyi Tapi kita tak sampai-sampai juga
Angin dari relung itu Semakin runcing Dan menciptakan garis ungu
Haruskah ke arah lain jalan pantai kita kawinkan sepi Antara dua badai?!
Tualang panjang ini Semakin jauh semakin lengang Langkah pun lelah menapak juang
Lalu kelepak yang menjauh Longsong itu Tanggalan pun jatuh
Tinggallah gerimis renyai Dan bait-bait sunyi Ketika jam pun sampai Menunjuk-nunjuk tempat sepi 1974
Z Siapakah yang pulang dengan langkah masai menyandang duka Adam yang pertama mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama. Menyusur semenanjung tenggara istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya lakah itu yang menggedor pintu dan jendela malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai menyandang duka Adam yang pertama mengempang arus sungai, membadung nasibnya? 1974
GERIMIS PAGI INI Gerimis pagi ini Adalah gerimis tangis zaman Ketika sekawanan burung luka Mencakar tangkai jantung derita
Gerimis pagi ini Adalah gerimis tangis insani Karena rahang-rahang kemerdekaan Disekap moncong-moncong pertikaian Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan
Gerimis pagi ini Adalah gerimis tangis kita Karena di tengah kelu dan borok dunia Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta 1974
DI TENGAH GALAU RIUH RENDAH ABAD INI Aku terbanting atas lantai kehidupan Karena beban seribu jalan Sukmaku yang gelisah resah Merangkai sajak tak tersua Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi Membusur panah ke jantung waktu Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu
Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu Adakah kita mampu menyimak segala rahasia Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?
Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi Menyelesaikan sebait puisi
Aku terbanting di atas lantai kehidupan Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini Dan luka-luka 1974
PERJALANAN INI Perjalanan ini menyusuri langsai-langsai kehidupan menyusuri luka demi luka menyusuri gigiran abad padang-padang lengang menyusuri matahari dan lautan abadi dahsyat sunyi
Perjalanan ini menyusuri pantai sukma demi sukma menyusuri geliat urat-urat hari menyusuri dasar telaga lembah jiwa dan tanah hitam coklat merah sepanjang rentangan tali benang-benang nurani
Perjalanan ini menyusuri perigi dunia terik kering adalah jiwa kita yang lelah
Perjalanan ini menyusuri bumi pahit manis dan langit asing adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban
Perjalanan ini menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib hitam 1974
BUNGA-BUNGA DAUN LURUH Bunga-bunga daun luruh Halaman ditinggal adzan jalanan senyap lubuk terpendam Ke ujung tangisan
Suara menyapa dalam luruhan Beranda sunyi menatap halaman Apakah engkau apakah bosan Yang setia berdiri di sisi kesepian
Bunga-bunga daun luruh Halaman itu sunyi ditinggal diam Pelangi mencium lubuk dan kolam Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh 1974
KETIKA SOLI DEO GLORIA HAMPIR PENGHABISAN Kampar waktu pun menghanyutkan kita Dalam arus zaman Selalu tiran berceloteh dengan makna ganda Seakan pelog-pelog burung malang atas ranting yang rapuh Terus memasang sarang dalam bringas angin puyuh
Di jingga transisi ini Dewa-dewa mabuk matahari Mentalkinkan riwayat Menggiring gamelan yang tiba-tiba mengatmosfirkan sunyi Mencuci kemarau pekat
Di aula ini di depan audensia Terdampar kampar waktu Dan di tengah padang celoteh aneh ini Kita saling tuding-menuding Dalam lilitan benang mursal Sementara di arah lain angin bangkit membagal Pantai niskala. Terkesiap kita tiba-tiba
Tiba-tiba hingar. Ruang: Mahsyarl
(Selalu tertawa waktu membujuk-bujuk senja Sambil membetulkan jam yang buru-buru menunjuk-nunjuk jadwal) 1973
KOTA Kotaku di sini Gemuruh yang sunyi Belantara kembara ke dasar sukma ke dalam
Kotaku di sini Bermatahari berbulan Di bendulnya aku berdiri Mengaca diri kehidupan ke lubuk-Mu dalam
Kotaku di gemuruh dada Di ujung sukma Megah Api nur di sana BaQa Kotaku, kota kita Kota umat Ke mana suatu kali nanti kita berangkat 1973
SENJA DI PARANGTRITIS Sayap-sayap camar, gaung-Mu berkabar Serpotong awan luka menyingkap wajah-Mu bercadar
Bias larut. Legam laut dan senja tertawa Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar Suratan-Mu mistery beribu khabar
Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang Dengan sekepal jampi mantera 1973
SANG WAKTU PUN TERBANGUN Sang waktu pun terbangun dengan 100 matahari Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka Ketika ludah-ludah dunia yang amis Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar
Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka Dari suatu petang entah di mana
Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala Dan nanah-nanah darah Semesta Karena 29 anak panah Merobek rahim jantung lukanya
Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama 1973
KITA Manusia Tanah Bungkah-bungkah kata Adam dan Hawa
Manusia Tulang-tulang kapur tanah kubur Rumput bunga layu Tetes waktu berlalu
Manusia Domba-domba di padang tanpa gembala Tersesat sendiri Ke ujung yang sunyi
Manusia Tanah Bungkah-bungkah kata Adam dan Hawa 1973
DARI A KE Z Lengan-lengan yang capai Suara gaib itu Pohon-pohon kadasai Berjajar membisiki waktu
Ujung cakrawala Daun violet sayap rama-rama Sepotong bulan sabit Mengintip celah-celah luka berdarah
Riap lalang dan kaki-kaki kerbau Lumpur rawa dan suara serangga Gigir bukit yang sunyi Menanti teka-teki 1973
ENGKAU DAN AKU Dahulu kita bertikai Antara jalanmu jalanku Sekarang kita sampai Antara dua siku
Dahulu engkau ke sana Aku pun melangkah ke anu Sang Kala memutar kompas di belakang kita Sekarang engkau dan aku
Engkau memetik melati Aku menyiapkan api Engkau menangis di sini Aku tak tahu akan pergi
Pintu belantara itu terbuka Burung-burung rimba berkeliaran Kita telah sampai di ujung jalan Memandang tamasya di sana
Siapakah engkau siapakah aku Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu 1973
CERMIN Ada sejuta serigala Memburu di cermin wajah kita Lapar dan ganas Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap Dalam remukan-remukan cermin dingin Telaga mengaca darah hitam Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini Serigala-serigala melulung Gagak-gagak berteriak Darah tetap mengucur dari luka demi luka Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin wajah-wajah kita (0, Yang Ada Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba) 1973
PUISI Jalan ini berdebu, kekasih Terbentang di padang rasa Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk Siang pun garang sepanjang kulminasi
Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih Ketipak bulan putih Di taman kekasih
Pengantinku Antara kerikil dan pasir merah Tersembunyi jejak-jejak yang singgah 1973
KOTA KITA DI SINI Kota kita di sini Dijilat ruh-ruh hidup dan mati
Kota kita di sini Petak-petak pahir manis dan asam Menderu diketermanguan Berpeluh manik-manik logam
Kota kita di sini Diri kehidupan yang gelisah Memanjat rumah demi rumah 1973
RAHASIA Seperti sejumlah kata Yang menggelepar ke luar Meniti buih demi buih Dunia yang terlantar
Seperti sejumlah musim Yang kering, basah, dan mandi cahaya Merangkak pada sumbu jantung kita
Seperti sejumlah risau, benci dan cinta Yang berpendar pada waktu Menggaram akar-akar nafsu Antara Adam lagu impian ziarahmu
Seperti sejumlah kata Yang menyalin nama-nama Meniti buih demi buih jiwa kita 1973
PINTU Pintu biru diketuk dari luar Siapakah yang berdiri di situ Dengan suara yang lirih samar
Kujenguk dari jendela bersama angin gemetar Hanya sebuah kenangan yang luka Bernyanyi, bernyanyi ke ujung apar 1973
TARAKAN Pulau kecil mendongak langit Dan mengaca taut yang tertawa Angin di bandar dan pawang Membaca mantera buaya
Tambur perang di dadanya Mengetuk-ketuk jantung lukal 1973
1973 Antara baunan jejak-jejak waktu Dan 1.000.000 luka bayang Kitalah musafir hilang Mencari gelepar sisa pagi
Adalah perih luka Garaman cuka peristiwa-peristiwa hari Adalah 1001 tangan topan Memukul jantung pelabuhan penghabisan
Tinggal torehan-torehan impian Pada wajah dan seluruh tubuh Bersimbah darah dan peluh 1973
DOA SEORANG BOCAH TUNA Berikan padaku pagi Cahaya dan kebun bunga Sungai membelah cakrawala Lubuk-Mu kaca
Berikan padaku siang Terik didih warna kehidupan Benua jauh dan tanjung pulau Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau
Berikan padaku senja Cangkir kopi, perapian dan buku tua Kacara rabun dan pantai sejarah Bukit-Mu megah 1973
DALAM KIRAI SAYAP WAKTU Dalam kirai sayap waktu Engkaukah di situ Suara samar lirih Seakan-akan merangkai tasbih
Gugusan kebun apel Suara serangga Meramu kehidupan
Seekor serangga Meramu daun hijau Seekor serangga Membangunkan rumahnya 1973
KUTULIS Kutulis dalam senyum Hari-hari yang ranum Sekepal puisi cinta Membantun sukma kehidupan
Kutulis dalam tangis Hari-hari yang manis Sekepal puisi cinta Gairah dada remaja
DARI RIMBA KEHIDUPAN Hutan daun-daun pohon Menjangan di sisi telaga Ada jerit dari rahim bumi tertahan Geliat menjangan diterkam lawan
Bundakah itu atau langit pemberi kehidupan Atau Kau atau siapa bersisi api sunyi Kegelisahan ini adalah pertempuran Bila reda bila gapai penghabisan
Jauh ada senyap dekat sukma dedaunan Desah bisik-bisik musim ke ujung kehidupan Gelepar sayap rantai dari lubuk jauhari Ke rongga telaga itu jerit yang sunyi
Menjangan, telaga, dedaunan hijau Sejuta senja terbantun Kau dan aku dalam ngungun waktu Kau dan akul 1973
SURAT Surat ini Kembang merah dalam hijau Di bibir danau
Surat ini Bunga putih dalam biru Mekar di dasar benua Dada penyair yang gelisah
Surat ini Lukisan hari demi hari Bisik riuh sukma kehidupan Ke gigir telaga pualam
Surat ini Untaian kalung khatulistiwa Yang terserak di antara kita 1973
SERENADE HAMPIR PENGHABISAN Dari pantai itu masih terdengar ujung siul Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul
Adalah taman dan bulan mengeras pada padas Dan sepotong sajak dari bait terlepas
Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun 1973
SEPASANG BURUNG (Sepasang burung menyerbu pucuk-pucuk bakau Sepasang burung berlagu menghalau kemarau)
Tinggal gemuruh. Gemuruh hari Tinggal terik yang keluh kesah Sepasang dua sejoli Memandang awan singgah
(Sepasang burung melayah cemara-cemara kota Sepasang burung berkisah tentang senja) 1972
ADAKAH ENGKAU TETAP DI SANA Adakah engkau tetap di sana Memandang awan raib dan pasir penuh bulan Adakah engkau tetap di sana Memandang teka-teki nasib ini Memandang gelepar sayap kata-kata Yang disusun menurut abjad dengan raji dan setia
Adakah engkau tetap di sana Memandang kelabu kota dan bumi yang gempita Memandang burung dan dentur ombak dari rahim telaga Yang menderu tak kenal waktu mendepak bingkai pematang kita
Adakah engkau tetap di sana Memandang dan memandang lagi Memandang bayang-bayang yang dihalau kemarau
Memandang senjakala Dan iringan sayap-sayap kelelawar Yang memintas-mintas senja samar 1972
MENUNGGU MALAM DI SINI Menunggu malam di sini Menunggu laut dan pantai legam menunggu matahari Dan seluruh gambar perwujudan
Menunggu malam di sini menunggu genderang pembebasan Yang ditabuh ruh-ruh Dari puncak seribu menara
Menunggu malam di sini Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa
Menunggu malam di sini Menunggu warna-warna mimpi Yang dipukuli ombak Menunggu malam di sini Menunggu bisik-bisik harap Menunggu langit pijaran api Dan suara-suara gaib Melayah ombak yang dahaga sendiri 1972
CERMIN Ada sejuta serigala Memburu di cermin wajah kita Lapar dan ganas gagak-gagak menyanyi ke arah rimba Seperti menyayat-nyayat daging kita Matahari meratap Dalam remukan-remukan cermin dingin Telaga mengaca darah hitam Ada luka yang mengucur darah Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini Serigala-serigala melulung Gagak-gagak berteriak darah tetap mengucur dari luka demi luka Kita tiba-tiba pecah dan tersentak dalam cermin wajah kita (O, yang ada Kita hanya berteriak aduh dan meraba-raba)
PERJALANAN Bayangan kekasih yang tulus Pergi bersama matahari Bumipun pupus segala tuntas dan aus Juga sunyi nyanyian kudus Siapa yang menyeru dari balik hari Mengetuk lukuk likukan nurani Segala hanyut : jiwa dan hati Tuhanku yang di pintu menanti ? Irama yang salih menyeru malam putih Gadiskukah yang di sana melambai sayup Aku terhenyak aku masih merangkai tasbih Menyisir peluru menyisih dosa hujan yang kuyub Pada meja aku menghabiskan gelas Tuak dan Tuhan dan kekasih yang tak ternoda Menyanyikan keras-keras firman dari kitab pada nabi Seru-Mu dari sunyi : Fajar ! Fajar ! Matahari !
ELEGI Gerimis pun memahat-mahat kaca jendela. Dan di luar pintu kita masih setia menunggu musim tak lalu ! Bunga-bunga. Aromanya mengeras di atas lanyai bumi Dan kematian selalu memanggil-manggil usia ! dari balik jendela nestapa. Mengelupas kita dalam dingin menggigil Betapa pahit dosa dan cinta di mulut kita yang dikunyah : darah Di jendela tinggal matahari. Berahi dan bunga sepi.
AKU MEMILIH Aku memilih tanah Tapi ayahku berang Ia memberiku sungai, Datangi sumbernya di udik sana, Yang mancur di antara akar dan batu-batu.
Aku memilih arus Tapi abang memberiku air Ikuti arusnya sampai muara, Suaranya menghentak jiwa.
Aku ragu saat kudengar suara ibu Yang mana harus kupilih Muara atau sumbernya. Kau harus pilih kehidupan, ibuku tersenyum sambil meraba cahaya harapan
Aku gagu melangkah di antara tasik dan pegunungan Di manakah kehidupan? Adikku berseru, Kau harus pilih hati dan cinta Sumber segala cahaya.
Di antara enggan dan keinginan Aku bertanya rumah cinta Di mana?
Yang bersih hanya kasih, Kakekku berkata menunjukkan benih Aku tengadahkan dada Di sini? aku menunjukkan kepala
Bahagia selalu ada di dalam sepi dan ramai, Nenekku menimpali sambil membersihkan kuali Adakah kehidupan berbiak di antara tungku Di dasar nyala api?
Aku menyusuri segala mula jadi Fajar di kaki: di mataku jalan panjang sekali!
SERULINGMUKAH MENGHANYUTKAN TONGKANG Serulingmukah menghanyutkan tongkang Menggapai sungai Menambur di arus deras Menghamburkan lagu ke cakrawala bebas
Segala perih dini hari Membersihkan beranda Tanpa restu Bayang wajahmu yang menunggu
Kelap-kelip mimpi yang diburu Seperti penantian Seperti perkawinan Rahasia kado kehidupan
Waktu pun memuja Sunyi yang tua Segalanya padang rawa Kematian tanpa kata-kata
Perpisahan tiada Perih nadi, arus, dan air Lidah yang dahaga Duka anyir
Serulingmukah mengalun dalam tongkang Mendarah luka Segala fana menderai sungai Menunjuk-nunjuk pelayaran muara
UPACARA BULAN Upacara bulan di ranting-ranting jiwa Memelihara serangga Lalu matahari esok hari Mendirikan kemah-kemah semut api
Para bidadari menarikan birahi Di gerbang-gerbang kehidupan Kaudengar ketukan demi ketukan Di pintu-pintu hati kita?
Yang diserukan sauh pada lautan Kapal dermaga kita Yang diserukan mercusuar Nyawa cinta yang gemetar!
Adakah kaudengar telepon hati Yang berbicara tentang kejujuran budi Dunia kita Tentang sakit dan derita?
Upacara matahari di pusaran waktu Memelihara padi Di ladang-ladang berdarah Di kota-kota kesangsian
Kecemasan purba melekat di dahi dan ubun kita Tanda di pundak-pundak sejarah Kaulihat langit merendah Menyerbumu dengan kesangsian derita!
ROH ANGIN Roh angin mencari akar pohon Yang tertanam di pusat bumi Sementara pohon-pohon hilang dari rimba Meninggalkan luka zaman
Musik tanah menangisi kuburan Menangisi gurun padang kesuburan Kesetiaan diuji dunia yang tuli dan buta Lewat derita dan kematian
Roh malam memburu sayap rindu Mengejar kereta pulang Sayup lagu gugur bunga Tak alang kepalang
Tangkai-tangkai rahasia Menulisi kegelapan tebing Di nisan-nisan di batu-batu Mengurai kecewa
Di halaman yang beku oleh derita Roh pagi bangkit bersama cinta Memanggilmu dalam doa Mengubur luka
Roh segala roh bersatu dalam jiwa Berenang bersama anak-anak bulan Melepas lambaian keranda ke wilayah gulita Mengusap tolakan gerimis keabadian!
KUALA LUMPUR Suara seperti kehilangan suara Antara lidah melayu dan logat eropa Lift dan tandas Banjir ilusi: hujan kota menderas!
Antara gedung dan oto menderu Antara rumah dan sungai itu Suara pesawat dan kereta api lalu : Kita bertemu
Panjangnya garis sejarah Memintas masa silam Musim demi musim yang runcing : Patah di tengah
Kini banjir kenangan Negeri kuyub waktu Seribu tamu para antrean : Mengetuk pintu!
MANILA Batu tengah kota Air melimpah
Merembes tanah Luka di dada
Gunung api Pelabuhan sepi
Franky* Rayap di tengah buku ------- * Sastrawan F. Sionil Jose
EPITAF kepada (alm) soesilo murti
Serasa masih ada yang berkata-kata Menyeru seperti lagu Seperti sosok wajah tertawa Bayang-bayang yang berlalu di pintu
Datang pada hidup dan pergi Meninggalkan meja ruang hampa Luruh bunga tak kembali Pada rumah dan kawan sekerja
Lugas dalam tugas pekerjaan Perihnya membenih dan menanam Sumringah dalam laku kehidupan Biru langit dan matahari terbenam
Ada kata-kata ada suara tersimpan Ada kenangan ada gairah kerja menanti Ada sepi ada duka tak terucapkan Yang luruh diam-diam pada dataran hati
Yang berdiri depan pintu mengucapkan salam Yang duduk di kursi melukiskan kata diam Yang melangkah sendiri di jalan pulang Yang menanam bunga kuntum-kuntum kasih sayang
Segala silam dalam cinta : Indahnya kehidupan Di atas jalan tak bertabur bunga
KATEKISASI Hatiku yang hitam telah memetik bedil Dengan tangan kekasih Di ujung pelarian aku masih coba memandang: nihil Terlihat dalam diriku pertempuran kaum salih
Dengan hati merah aku membakar matahari Menggulir bola-bola nestapa Tuhan terus memetik kecapi di hutan-hutan sunyi Membungkas jiwa yang diam, o, sang pertapa
Kekasih terus bertanya tentang harga kesetiaan Tentang kejauhan arasy-Mu Aku menunjuk ke puncak terus ke bawah ke dataran Kepada hidup dan jawaban yang tersimpan dalam kalbu
Kita berhenti pada luka Tepi hari-hari mati Kupersembahkan hati, jiwa semesta Ayat-ayat fana, jantung tertidur pagi hari
LETUPAN BAMBU, TAMBUR UPACARA Letupan bambu, tambur upacara Menyala di air Kaki-kaki telanjang Giring-giring Malam menari Bulan
Bulan di langit-langit Lou Seribu ancak Lilin Pisang dan ubi Balai-balai permandian Daun lenjuang Getang Tarian malam Mengupas malam
Yang sakit bawa ke sini Yang muntah dan mandul Yang pekung dan lepra Bawa ke sini Yang kehilangan Seribu satu penyakit badan dan jiwa!
Tambur mengeras Dalam malam keras, Segala penyakit pergi Encok, koreng gatal Lumpuh dan penyakit mata Jantung demam kura Pergi semua Ke hutan-hutan tak bertuan!
Sepuluh penari Sepuluh mangkuk lilin Menari dalam gelap
Beras kuning Terbang ke udara Beras putih-hitam Terbang ke udara Sukma pulang ke sukma
Ancak piring upacara Tambur leluhur Lemang ketupat tumpi Dibagi baki Panggang ayam panggang babi Salawat api Yang merecik di dapur dupa Akar wangi Yang menutup serapah upacara Balian mulut waktu, Pulang semua pulang Yang tinggal punggawa Penjaga badan jiwa!
Malam mengucapkan tanah Hari! Hari!
ADA Ada belantara dalam diri kita Durinya amat lebat Ada laut dalam diri kita Derunya tak kenal waktu Ada api dalam diri kita Nyalanya membakar segala Ada dengki dan cemburu dalam diri kita Perihnya mengiris dinding hati Ada cinta dalam diri kita Tumbuh dalam taman bunga-bunga terlarang Ada yang tak terkatakan dalam diri kita Ada: !
KUBIARKAN Kubiarkan tulang-belulangku Mengadu kepada langit Kubiarkan kuku dan rambutku Mengadu kepada bulan Kubiarkan mataku Mengadu kepada matahari Kubiarkan darahku Mengadu kepada bumi
Kubiarkan! (adikku terus menari!)
Segala mengadu kepada tiada Celaka! Gerak batin dan jiwa Mengadu kepada cuaca Segala mengadu kepada keabadian
Kubiarkan! (hanya secercah isyarat dian!)
Segala gerhana di mulut Segala gempa di telinga Segala kerongkongan dahaga
Kubiarkan segala!
Kota-kota tak henti berjudi Perawan kehilangan angin Lalu matahari membela hawa
Terbakar jurang kehidupan!
Siapa namamu? Kesunyian? Siapa namamu? Kematian?
Serempak segala mengadu pada darah Siapkah? Ibu atau wanita pujaan dunia?
Siapkah? Kubiarkan! Kau atau aku?
SISI MALAM Sisi malam seperti belati Seperti rampok Mabuk kelaparan Gadis yang ngidam tanpa suami
Perempuan yang memahat-mahat bahagia Mengasah rahasia bunga Menertawakan kesedihan Di pintu marabencana
Sisi kehidupan yang tajam Setajam pasar dan rupiah Roh layang-layang kehidupan Kecambah puisi para bedebah!
Lagu kabut derita yang padat Mempermalam kota Rahasia hitam di lorong-lorong Menanak kengerian di ruang-ruang jiwa
Lalu cakrawala dan bintang kejora Lalu lautan dan gelombang dunia Tumpah di ladang-ladang minyak terbakar Tahun-tahun tanpa akar
Sisi hari yang tajam Lumpur gerak cahaya Perjalanan di atas duri Gadis yang ngidam tanpa suami
MANTRA PERKAWINAN ANYEQ HALING UBUNG DO DENGAN WAU NUKING UNG* Inilah adat aveq, upacara perkawinan Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung Putra yang diturunkan Tamai Tingai Buring Aring Dengan putri kayangan Yang menjelja jadi manusia Seperti kita.
Tamai Tingai Buring Aring Dan semua arwah leluhur seperti kakek dan nenek Datuk dan buyut kita Sampai ke atas ke silsilah ketujuh belas Yang memandang dari kejauhan Ini kami menyapa dengan beras Nyawa yang menjelma dari alam raya Sumber kekuatan di dalam kehidupan Beras yang berasal darimu Kami hitung sampai delapan
Dengan daun savang akan menghilangkan Dengan daun ureu akan melenyapkan Noda dan beban yang melekat Daki yang mengotori Badan dan pernikahan agung Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung
Segala kesialan dan derita, Segala sakit penyakit dan malapetaka Lepas dan lenyaplah bersama mendung hilang, Seiring terbenamnya matahari Yang pergi ke balik bumi Kami dipulihkan menjadi putih bersih Murni kembali seperti sediakala
Ini saya mengait dengan kawit aveng Saya kait dengan kawit deset Harap kami pada Tamai Tingai Buring Aring Nasib dan kehidupan baik Kelayakan sempurna dalam kehidupan Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung Kekal selama-lamanya ****** Minumlah dari tuwung bambu Air yang diciptakan Tamai Tingai Buring Aring Air yang menyejukkan badan Air yang memberi kehidupan Air yang sejuk dan dingin Yang mendinginkan sendi-sendi kehidupan Agar Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung Damai bahagia selama-lamanya Bersama damai bumi yang setia Menerima segala tiba ****** Kini saatnya mengikat gelang manic Pada pergelangan tangan pengantin Ini ikatan nasib mujur kebaikan Mengikat suasana kekeluargaan Semuanya menyatu dalam kehidupan Kukuh kuat tegar Seperti manik yang indah Melingkar di pergelangan tangan Pengantin kehidupan
Tiba masa pengantin untuk menyantap Nasi dan garam Nasi yang memberi napas Garam yang mengawetkan Sehingga hidup jadi kekal kebajikan Karena terlepas dari ketidakpastian Semua keturunan lebih berarti Laksana cahaya suar di gelap malam Tak akan pudar Seperti cahaya lentera damar api Abadi Selama-lamanya ***** Inilah waktu kehadiran yang ditunggu Bagi keluarga Anyeq Haling Ubung Do Dengan Wau Nuking Ung Menginjakkan telur Menginjakkan dupa wangi Menginjakkan kaki di tanah leluhur Yang penuh rezeki Gembur subur Manusia dan tanah menyatu Dalam kehidupan Seperti tapak kaki Menandai kehadiran Di muka bumi pemberian para dewa Bersatu untuk menerima berkat Yang ditarik dari darat Yang dihela dari sungai kita Dari huma leluhur semua Untuk kebaikan kehidupan
Seperti doa yang manjur Kami sampaikan nasar Demi umur Bersama kehadiran Tamai Tingai Buring Aring Pengantin menerima kemaslahatan Yang abadi Tanah ini adalah tanah janjian Yang mengalirkan harapan Kebajikan Pengantin telah menyatu Dalam kehidupan Seperti awan menyatu dengan lautan Seperti asap menyatu dengan api Semuanya senasib sepenanggungan Bersama berkat yang berlimpah Tumpah ruah Di dalam kehidupan Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung Hadir kesejukan abadi Seperti aliran sungai kekal Dalam kerukunan dan kedamaian Yang terikat di bumi Dan di langit keabadian Tuhan.
*Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung diyakini merupakan cikal bakal suku Dayak Bahau yang kini mendiami pehuluan Sungai Mahakam, Kutai Barat, Kaltim.
MATA isyarat yang menikam jantung hari pisau, panah, pedang api firdausi laut: kolam yang dasar tiada cahaya yang diam-diam mengintip kita
ZIARAH telah kutempuh ziarahku setiap waktu antara pulau kenangan dan jiwa yang bisu telah kubangun rumah di bibir gelombang dan dada kota kubangun jembatan antara kebeliaan tua jauhari
hari-hari menepi melawat bersama sauh siapakah lagi yang mati di sekitar kampung jauh memanggil bunyian alam dan gong penghabisan memanggil tangis dan duka yang redam
sebuah legenda mimpi laut tualang padang akal kanak-kanak tertawa mengusap mainan mimpi pertama babak lakon yang bengal
ziarah panjang kekasih sajak di sini telaga matahari: duniaku terserak!
MAZMUR PAGI wangi pengantin napas hayat : pelaminan
harum kehidupan mengemaskan fajar : lembah
merdunya nyanyian tanah air lagu leluhur kita : lapar! lapar yang baka!
PINTU bunyian termanis dari kata ialah kecantikan sebagai keindahan yang dapat menaklukkan segala kekuatan
siapa yang lebih bijak dari alam Tuhan? Tuhan adalah keabadian cinta yang menciptakan kedamaian
siapa yang lebih dari aku ialah mau syahwat yang memikul beban zaman yang tak sampai jalan
apakah yang bernama nilai dan harga emas? jiwa? atau yang bernama kejayaan perasaan yang berjalan likuan maya?
bunyian terpahit dari kata ialah kecantikan karena nasib ia menggorok leher sendiri ketika diri kehilangan diri
diri yang berjalan menyongsong kehidupan bernyanyi dari ufuk-ufuk hidup kasih, ini alam murni lagu tak sampai menyeru dari balik pintu-pintu tertutup!
SAJAK 2 segala memberat dalam warna transparan lambang, tema, kerinduan-mu menyapa jalan berujung cakrawala, titian keabadian gerak kehidupan, napas, kecintaan penyair tanpa batas
SKETSA di luar gerbang hingar, lagu-lagu liar, bendera kain rombeng hari-hari mengandung lapar, musim berdenyar, lonceng berkeloneng bapa! bapa! petaka apakah ini, atau gethsemani duka firdausi?
RUMAH SAKIT CIKINI 29 APRIL 1978 yang bangkit dalam waktu dalam sabda riang suara-suara gembira
kami berpaling kami menatap ke depan dinding dan pilar-pilar pualam jajaran firman dahulu kala
yang terjadi dari kata cinta yang dulu juga lubuk kasih setia temali jiwa
kami melangkah kami memasang arah jalanan dalam arus damai yang kudus
yang mekar dari tanah janjian bunga pohon-pohon hidup khuldi keabadian
ROH YANG PERGI KE SWARGA roh yang pergi ke swarga dari lepasan derita kerbau ditombak di belontakng ayam disabung di halaman babi disembelih tuak-tuak mengalir keringat mengalir!
irama titi dan tangis menciptakan tangga desahan napas kerbau menciptakan pintu yang menuju ke dunia atas
dalam kelahiran hidup dimulai upacara bayi merah dalam perkawinan
hidup dimulai dalam hidup pelahiran generasi dalam kematian hidup dimulai di dunia baru dalam hidup baru
roh berjalan ke swarga meniti benang-benang upacara napas warisan leluhur
**** Belontankng: patung ulin untuk mengikat kerbau dalam suatu upacara tradeisional dayak Titi: suara gong ditabuh sebagi tanda kematian Swarga: surga, menurut kepercayaan dayak benuaq, orang yang meninggal harus dibuat suatu upacara agar roh atau jiwanya bisa masuk ke swarga.
AMUNTAI 16 DESEMBER 2007 Untuk Syarifuddin R dan Y.S. Agus Suseno
berdiri di tepi sungai ini berdiri di tepi waktu tepi tahun-tahun pergi jembatan masa lalu
riak-riak sastra di kota pangeran riak kisah-kisah dilupa kapal atau perawan atau adzan bersaing dengan jiwa bangsawan raja-raja
lalu pagi lalu siang bersaing dengan hujan dan terik matahari lalu sajak lalu kisah rancangan lama menyelam di kedalaman sanubari
siapa membangkitkan batang terendam cemas anggaraini antemas perih nyeri burhanuddin soebely zaman tanpa peduli?
air dan arus dan kapal angkutan berlaju menembus waktu masihkah kau di situ memerih sedu tertahan-tahan?
yang berkhalwat dalam musim berzikir melepas jisim adakah masih rumah puisi tumbuh kata-katamu baiduri?
PUISI-PUISI KUNTOWIJOYO Sabtu, 15/02/2014 - 09:34 Sastra Seratus ... Lain-lain | Koleksi | Puisi | Kuntowijoyo ALAM SEDANG BERDANDAN Tangan yang tak nampak Menjentikkan kasih ke pohonan Semi di cabang-cabang Adapun di rumputan Seribu warna jambon Memberikan madunya Pada lebah dan kupu-kupu
Wahai yang menghias diri di air sungai Simpanlah senja di bawah batu-batu Angsa putih ingin mencelupkan bulu Menuai ikan-ikanmu
Perawan mencuci mukanya Masih tertinggal wangi kulitnya di permukaan Ketika burung mandi dan menyanyi
Terdengar bagai engkau bangkit kembali Tangan yang tak nampak Mendandani.
PERJALANAN KE LANGIT Bagi yang merindukan Tuhan menyediakan Kereta cahaya ke langit Kata sudah membujuk Bumi untuk menanti
Sudah disiapkan Awan putih di bukit Berikan tanda Angin membawamu pergi Dari pusat samudera
Tidak cepat atau lambat Karena menit dan jam Menggeletak di meja Tangan gaib mengubah jarum-jarumnya Berputar kembali ke-0
Waktu bagi salju Membeku di rumputan Selagi kaulakukan perjalanan.
MALAM Bayang-bayang bumi Memalingkan tubuh Memejam lelah Meletakkan beban ke tanah
Maka malam pun turun Memaksa kucing putih Mengeong di pojok rumah Memanggil pungguk Yang sanggup mengundang bulan
Karena hari sedang istirahat Di ladang angin mengendap Tidur bersama ibu bumi Dari kasih mereka Ilalang berisik Ditingkah suara jangkrik Di sungai, air Pelan-pelan Melanda pasir
Justru pada tengah malam Rahasia diungkapkan.
KELAHIRAN Setelah benih disemaikan Di pagi pupus menggeliat Bayi meninggalkan rahim Memaklumkan kehadiran
Cempaka di jambangan Menyambut bidadari Turun memandikan Bahkan hari menanti Sampai selesai ia mengeluskan jari Merestu kelahiran Membungkus dengan sari Mendendangkan kehidupan
Para perempuan Berdandan serba kuning Pucuk mawar di tangan Duduk bersila Menggumam doa-doa
Hari yang semalam dikuburkan sudah tiba kembali
Selalu kelahiran baru.
LELAKI Ketika kentong dipukul bintang-bintang berebut menenun pagi jadi samudra
Di laut naga memukul ombak perahu tergoyang bagai mainan Dua ribu tangan menjinakkan air menahan gelombang Halilintar di kepala bagai isyarat memaksa laut menyerahkan diri untuk dijamah Pelaut sudah turun jaring-jaring perkasa menangkap duyung yang menggoda cinta Para lelaki berdiri di pinggir kapal mengagumi wajahnya menarik napas Lelaki: yang hanya bercinta di malam hari
YANG TERASING Ada dinding-dinding di gedung membagi ruang jadi dua: engkau dan semesta Kamar-kamar raksasa menyimpan hidup dalam kotak-kotak Engkau terkapar di sana terpaku di kursi tangan ke lantai dilingkar tembok baja yang membungkus napasmu
Sedang di luar hari berjalan sebagai biasa lewat lorong luas yang indah hiasannya mengirim berkas matahari ke kamarmu memancing duka.
SUASANA (1) Yang serba kaca sudah ditanam di kamar cangkir dengan kopi di dalam mengawasi pagi membiarkan uap menyedap kamar
Bapa sedang memandikan bocah terdengar air berkecibak Ibu menyiapkan rahmat pagi memerintah burung di luar untuk menyanyi dan angin pagi melompat jendela mendandani pipinya
Ingatlah, Ibu menyediakan kopi dan pipi - untuk dicium ketika bapa pergi lunak kulitnya terasa bagai tangan halus menghapus sisa duka
Pagi semerbak oleh wangi tubuhnya mengantar bapa pergi bekerja.
SUASANA (2) Seekor mainan kijang duduk di atas kursi hari itu sudah dijanjikan sebuah tamasa
Sedang bocah lelaki diajar ibunya mengucap selamat datang ketika Bapa pulang
Diam-diam mawar kembang di halaman rumput mencat mukanya hijau dan cantik
Sebentar, waktu Bapa kembali pintu terbuka vas di meja mekar merah warna selapis taplak sulam sutera melambai tepinya: Senyum di mana-mana.
MENARA angin selatan mendaki pucuk menara meliukkan puncaknya dua meter dari tanah
orang berkerumun dengan mata silau mengagumi kubah alangkah indahnya sungguhkah ini terjadi
dua puluh jari meraba dua puluh ribu jari meraba sebenarnya,sebenarnya
beginilah kalau sudah tiba waktunya menara pun merendahkan diri mencium tanganmu.
SANG UTUSAN Dikabarkan pada tanggal satu bulan Muharam akan tiba Sang Utusan dalam perjalanan kembali menjenguk warganya
Mereka keluar dari rumah-rumah berdiri di taman menantikan Bunga-bunga mawar di tangan nyanyi kudus dan detak-detak harapan
Tidak. la tidak mengikuti angin utara ia lewat menurut ilhamnya. Pulang, ia akan mengetuk pintumu.
Mereka saling memandang barangkali itu benar lalu kembali ke rumah menaburkan mawar di ambang menyimpan nyanyian
Malam tidak tidur untuk di pagi hari mereka temukan jejak Sang Utusan di halaman.
HARI KE-N Hari ke n dari Adam dilahirkan mega putih menyingkir ke tepi langit terbuka sederet burung undan terbang di garis cakrawala
Tidak habisnya engkau memuji hari itu di hutan serigala mencumbu kijang yang berubah jadi kencana engkau duduk di tepi telaga mengaca bahkan engkau heran, mengapa bibirmu tersenyum.
PEMANDANGAN SENJA Dua ekor ikan Menutup mata Mereka lihat tanda Air berhenti mengalir Maka gugurlah kepercayaan Perempuan menangis di jendela Menghentikan pejalan Lelaki tidak juga datang Merpati di pucuk atap Kesal menunggu senja Menahan dingin Mengharapkan bintang turun menyapa Jauh di langit Kelompok pipit mencari pohonan Adakah masih tersedia daunan? Mereka hanya berputar-putar.
Terasa juga malam ini Lelaki tidak akan pulang Barangkali sore harus dibatalkan Tidak ada lagi: Merpati harus tidur di awan Pohonan sudah ditebang Tidakkah kaudengar tidak ada lagi peradaban?
PINA Di atas pohon pina surya mempersembahkan sinarnya pada semesta
Seseorang tertidur sangat lelap di bawahnya tidak tahu bahwa Waktu sudah berjalan sampai di tikungan dan berhenti: Sebagai ada yang tertinggal
Seseorang yang dikasih sedang menikmati istirahat sangat sayang membangunkan.
PEPOHONAN Sebagai layaknya pepohonan menampung kenangan dunia yang tergantung di awan sudah sampai di simpang
Ada kubu terbungkus daunan mengeluh pelan memanjakan impian Ayolah kubur dukamu di rumputan senja sudah mendekat malam berjalan merayap engkau tentu mengharap bulan
Dalam pepohonan yang berbuah rindu aku mendengar sesuatu yang tak kutahu Namun aku suka padamu.
PADA HARI YANG LAIN Pada hari yang lain di angkasa seribu gagak raksasa menyerbu matahari menggugurkan batu-batu terbang menutup ruang
Malaikat langit ketujuh turun menghalau perusuh menghunus pedang guntur berkilat-kilat darah mengucur hujan langit amis kemerahan
Engkau di sini di kebun semangka pinggir desa bersama lima bidadari mengajarmu menyanyi dan merangkai puisi.
ENGKAU, SUKMA Sukmamu bangkit Bagai bianglala Berdiri Di cakrawala Merenda siang dalam impian Gemerlap warna-warni benang sutra.
Badai tidak datang Angin pulang ke pangkalan Istirahat panjang.
Langit menyerah padamu Menggagalkan lingkaran Surya kabur kembali ke timur.
Sepi. Hanya napasmu yang tenang Terdengar bagai nyanyian.
PABRIK Di sini dilahirkan raksasa bertulang besi bersaraf baja tidak perlu nyanyi dan ninabobo bidadari Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan melambaikan tangan Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar Laki-laki dan perempuan datang menghormat ia pun mengulurkan tangan untuk dicium.
Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi oleh tangan lelaki Sesungguhnya ia dicipta dari tanah untuk membantu ayah menggembala kambing dan menyabit rumputan. Sayang, mereka sangat memanjakannya hingga raksasa itu jadi anak nakal mengganggu ketenteraman tidur.
Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan anak-anak yang bakal jadi pembunuhmu.
MOBIL Mobil-mobil sudah berangkat pergi ke tengah kota meninggalkan gas dan debu terdengar mereka tertawa karavan yang sempurna Di pusat kota di muara yang deras airnya mereka labuh waktu
Aku menutup mata tidak karena debu-debu aku ingin melihat rumahku dalam sunyi di tengah rimba kunang-kunang Alangkah jelasnya, Tuhan, alangkah jelasnya.
MUSIM PANEN Setelah semusim tangan-tangan sibuk memotong pohonan di kampung halaman pak tani mengundang anak-anaknya memanen kolam sudah waktu ikan dinaikkan
Segunduk matahari menyingkirkan sepi dari danau mendorong sampan berlayar dua-dua
Di bukit batu sudah dipecah sekejap saja, bagai hanya main-main rumah-rumah berdiri melindungi perempuan melahirkan bayi
Hari itu derita dihapuskan Keluarlah lelaki-perempuan memainkan udara dengan selendang menyulap siang dalam impian warna-warni dan wewangi
Anak lelaki-perempuan menabuh genderang menyebar kenanga memaksa matahari berhenti di balik daunan
Malaikat dan bidadari menonton tarian senyum mereka menyentuh pohonan
Semesta berpesta di tengah hari pada musim panen abadi.
PEJALAN Pejalan sudah kembali mukanya pucat pasi terbungkuk di bawah kain lusuh tak ada lagi cahya matanya bergegas pulang ke rumah yang tak jelas di mana berhasrat keras melepas beban yang lama mendera punggungnya
(rumahmu tidak di sini tetapi jauh di dasar mimpi)
ia tercengang tidak ada jalan balik lagi musnah dihamburkan angin hanya debu-debu
ia merintih pelan takut membangunkan derita menahan lelah yang sangat sempoyongan, dan terbatuk-batuk ah, alangkah penat (ternyata ia hanya harus berjalan atas putusan sendiri di pagi hari)
KOTA Kotaku yang jauh padam lampu-lampunya angin menerpa lorong-lorong jelaga
Kotaku yang jauh menyerah pada malam seperti di siang hari ia menyerah pada kekosongan
Tuhan nyalakanlah neon-neon itu.
IN MEMORIAM: YANG TERBUNUH Sekali, hutan tidak menumbuhkan pohon Burung melayap-layap, terbakar bulu-bulunya Bumi mengaduh, menggapai bebannya Pemburu tidak pulang sesudah petang tiba Lampu malam dipetik dari gunung api.
Malaikat di angkasa menyilang tangan di dada Menyesali dendam yang tumpah Memalingkan muka tiap kali darah menetes di tanah.
"Mengapa kaubunuh saudara kandungmu?"
SUARA Ada suara menderu dan warna ungu. Terserap jasadku. Kukira akan padan juga. Tetapi tidak. Adakah engkau juga menangkap makna itu? Di luar, sebagai sediakala. Langit bersatu dengan birunya menyelimuti bumi yang diam. Pelan udara merayap, menggosok-gosok di pohonan. Engkau pasti tak mendengar suara itu. Ada gemuruh di tubuhmu. Barangkali ruhmu sedang mempersoalkan gelombang yang tak mau berhenti itu. Gelombang-gelombang suara. Gelombang-gelombang warna. Bercahaya- cahaya! Membuatku lupa bahwa hari sudah malam, sudah waktunya pergi tidur. Tidak, ia bergerak- gerak. Menuntunku ke mimpi yang lena sebelum bahkan mata berhasrat memejam. Hai! la mengucapkan sesuatu yang sempurna. KATA. Aku tak paham apa. Terasa bagai buaian. Mengayun- ayun. Sebagai di benua asing aku keheranan. Tenggelam di garis batas, yang sayup-sayup. Jauh, jauh. Ada jalan dari berkas cahaya, sangat licinnya. Bagai meniti benang sutra, aku berjalan di atasnya. Berjalan, tidak ada ujungnya. Kekosongan dari tepi ke tepi. Aku kehilangan jejak sudah. Namun, aku berjalan juga. Alangkah nikmat jadinya! Suara itu masih menderu. Warna masih ungu. Tiba-tiba aku kenal benar. Tiba-tiba saja aku tahu. Sudah lama aku merindukannya.
MUSIUM PERJUANGAN Susunan batu yang bulat bentuknya berdiri kukuh menjaga senapan tua peluru menggeletak di atas meja menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya tersimpan darah dan air mata kekasih Aku tahu sudah, di bawahnya terkubur kenangan dan impian Aku tahu sudah, suatu kali ibu-ibu direnggut cintanya dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya senapan akan kembali berbunyi meneriakkan semboyan Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang selalu pertempuran yang baru melawan dirimu.
WAKTU Engkau dibunuh waktu Sekali lupa mengucap selamat pagi tiba-tiba engkau sudah bukan engkau lagi Waktu membantai bajingan dan para nabi kerajaan-kerajaan kitab suci peradaban di buku sejarah Semua harus menyerah.
Engkau sibuk memuji namanya selagi ia berusaha menghinakanmu memendammu di bawah batu-batu (Engkau tak bisa berteriak ia juga melahirkan koor yang berisik dan keras)
Seperti singa lapar ia duduk di meja sudah mencakarmu selagi engkau bersantap
Ssst, pikirkanlah bagaimana engkau bisa membunuhnya sebelum sempat ia menerkammu.
SESUDAH PERJALANAN Sesampai di ujung engkau menengadah ke langit kekosongan yang lembayung
Ayolah, Ruh tiba saatnya engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah di balik awang-uwung di mana engkau istirahat sesudah perjalanan yang jauh
KABUT Ada kabut di atas bukit Pergi kesana daerah samar tak bertepi di lindung hutan kenangan bayang-bayang purba (Kaujamah puncaknya tiba-tiba terlepas rindumu) Bidadari kuning rupanya menguntai permata melempar mawar membagi rahasia
Ada kabut di atas bukit Bersumpahlah Demi impian terpendam mendaki punggungnya berdiri di tengah-tengah dan berseru: Kutemukan daerah baru. (Sebenarnya daerah yang dulu tetapi engkau melupakannya ingatanmu terkubur waktu)
Ada kabut di atas bukit Remang-remang saja selangkah maju Surya menyala di ubunmu.
SEPI Jangan ditinggalkan sepi karena ia adik kandungmu ketika di rahim ibu
Jangan dibunuh sepi karena ia kawan jalanmu ketika di selubung mimpi
Di subuh pagi itu ia menunggu mengalungkan bunga ke lehermu mengucap doa-doa menyanyikan mantra.
Aduh engkau sungguh berbahagia karena hari ini ia meluangkan waktu bersamamu sendiri.
BATU PUALAM Di batu pualam jejak para nabi aku berjalan berjingkatan menyongsong nyanyian
Cahya redup bianglala menghampiri pucuk menara wahai angin utara menghembus burung ke angkasa
Pelan bagai belaian malaikat bersujud pada Adam
Tuhan mengangkatmu sedepa di atas ujung karang guntur terdengar bagai nyanyian
Di batu pualam jejak para nabi aku bangkit menuju pada Mu.
BANGUN, BANGUN Barangkali Engkau ingin berkata kali ini pada gugus awan: Bangun. Hujan akan datang juga hutan pina itu menggeliat menengadah pada-Mu.
barangkali sudah selesai kitab-Mu dibacakan pendengar berkemas pulang gelap menyapu ujung padang mereka kembali ke rumah menutup pintu-pintu. Tiba-tiba Engkau campakkan isyarat: Bangun
Apakah maksud-Mu (Pohon randu menggugurkan daun berlayangan di udara kudengar risiknya) Apalagi. Engkau masih memanggilku juga serasa begitu. Serasa begitu Engkau selalu menggodaku.
Aku cinta kepada-Mu.
VAGINA Lewat celah ini engkau mengintip kehidupan. Samar-samar dari balik sepi bisik malam menembangkan bumi. Engkau tidak paham mengapa laut tidak bertepi padahal engkau berlayar setiap hari. Tutup kelopak matamu bulan mengambang di balik semak-semak. Menantimu. Misteri itu gugur satu-satu setiba engkau di sana merebahkan diri.
LAUT Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani? Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa. Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata. Tidak. Di pagi hari kautemukan bahwa engkau di sini. Segar bugar. Kita punya tangan dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi pemenang. Dan engkau berjalan ke sana. Menerjang ombak yang memukul dadamu. Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut. Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu adalah Dewa Ruci. Engkau menatapnya: menatap dirimu. Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu. Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya: Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya. Sebentar kemudian, sebuah debur gelombang yang jauh menghiburmu. Saksikanlah. Tidak ada batasnya bukan?
ANGIN LAUT Perahu yang membawamu telah kembali entah ke mana angin laut mendorongnya ke ujung dunia Engkau tidak mengerti juga Duduklah Ombak yang selalu pulang dan pergi. Seperti engkau mereka berdiri di pantai menantikan barangkali seseorang akan datang dan menebak teka-teki itu.
DANAU Kutemukan danau baru pada musim kering jerih dan mengaca menjamu burung masih terdengar tetes air yang jatuh kembali.
Impian lama pun berdesakan aduh tidak kuasa aku menahannya sudikah Engkah menolongku.
ISYARAT Angin gemuruh di hutan Memukul ranting Yang lama juga. Tak terhitung jumlahnya Mobil di jalan Dari ujung ke ujung. Aku ingin menekan tombol Hingga lampu merah itu Abadi. Angin, mobil dan para pejalan Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
KUPU-KUPU Keahlian kupu-kupu Menggugurkan kuning sayapnya Menenun jaring-jaring halus Tinggal di dalamnya Mendengarkan pohon bersemi. Yang berubah warna Hanya sayap kupu-kupu. Kemanakah warna-warna? Karena kuning adalah bulan, ia tinggal di sana Menanti hari terang. Kadang-kadang hinggap Di wajah perempuan. Lalu para tetangga Berbisik: gadis kecil sudah perawan Ya Tuhan. Karena kupu-kupu tinggal di sarang Bunga-bunga berkembang!
GELAS Itulah yang kukerjakan. Mengumpulkan gelas Kembali. Sambil mengenangkan bahwa bibir Lembut telah menyentuh tepinya. Kuhapus dengan Pelan-pelan sebagai meraba yang halus, Takut ia terkejut. Ah, jari-jariku terlalu Kasar rasanya. Pelan-pelan kudekatkan ke Bibirku. Aneh! Gelas itu selalu menghilang. Kacanya melunak dan mengabur bersama bayang- Bayang. Ia selalu menolakku. Kapankah kauperkenankan aku duduk di meja. Meninggalkan gelas, lalu gadis penjaga mencium Bekas gelasku? Aku malu dengan pikiran ini Sesungguhnya, tetapi biarlah. Sebenarnya, Hatiku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti
HARI Rangkaian bunga dari lampu neon Di sekitar meja berenda impian pagi Memantulkan bening Sepatu yang mengetuk lantai Musik memainkan buah apel Yang belum habis dibagi Senja menyongsong terompet Bagai bibir lembut membisik Mengabaikan lilin sudah dipasang. Di jendela yang lain Seseorang sedang mengharap napasnya berhenti Pada detik yang sama. Mencekik leher sendiri Tangan hari yang ajaib Menampung banyak warna
ISYARAT Angin gemuruh di hutan Memukul ranting Yang lama juga. Tak terhitung jumlahnya Mobil di jalan Dari ujung ke ujung Aku ingin menekan tombol Hingga lampu merah itu Abadi. Angin, mobil dan para pejalan Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
KOTA Kotaku yang jauh padam lampu-lampunya angin menerpa lorong-lorong jelaga
Kotaku yang jauh menyerah pada malam seperti di siang hari ia menyerah pada kekosongan
Tuhan nyalakanlah neon-neon itu
LAUT Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani? Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa. Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata. Tidak. Di pagi hari kau temukan bahwa engkau di sini. Segar bugar. Kita punya tangan dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi pemenang. Dan engkau berjalan ke sana. Menerjang ombak yang memukul dadamu. Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut. Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu adalah Dewa Ruci. Engkau nmenatapnya: menatap dirimu. Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu. Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya: Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya. Sebentar kemudian, sebuah debur gelombang yang jauh menghiburmu. saksikanlah Tidak ada batasnya bukan?
DESA Yang berjalan di lorong hanya suara-suara barangkali kaki orang atau malaikat atau bidadari atau hantu mereka sama-sama menghuni desa di malam hari
Kadang-kadang kentong berjalan dipukul tangan hitam dari pojok ke pojok menyalakan kunang-kunang di sela bayang-bayang
Kalau ingin melihat hidup pandanglah bintang-bintang yang turun rendah menyentuh ujung kelapa atau berhenti di bawah rumpun bambu mendengarkan tanah menyanyi
Tunggulah, engkau tak akan percaya Siapakah mengerang dari balik dinding bambu Barangkali ibu yang kehabisan air susu Ya Tuhan!
PENYUCIAN Sebelum dihinakan kalungkan daun bodi dalam benang emas di pagi hari tuliskan huruf-huruf Abadi menandakan engkau lahir kembali
Di tengah yang serba empat tersembunyi pusat di mana hidup mengendap ambil air dari dasarnya satu teguk untuk ragamu satu teguk untuk ruhmu.
Sempurnalah wujudmu Pergi ke utara mereka siapkan puji-pujian untukmu.
Ada pun Kalimat ialah hakikatmu yang pertama. Ada pun Laku ialah hakikatmu yang kedua.
PETUAH Langkah tidak untuk dihitung ia musnah disapu hujan Ketika engkau sampai pangkalan ingatlah, itu bukan tujuan Cakrawala selalu menjauh tak pernah meninggalkan pesan di mana ia tinggal Hanya matamu yang tajam menangkap berkas-berkasnya di pasir, sebelum engkau melangkah Tanpa tanda-tanda engkau sesat di jalan kabut menutupmu menggoda untuk diam Karena kabut lebih pekat dari udara engkau bisa terlupa.
KENANGAN Yang tergantung di udara: jari menunjuk ke bulan mengingatkan kenangan Kapas-kapas ladang dipanen angin malam melayang-layang putih bersaing dengan bintang pergi ke utara menyongsong rumpun bambu kuning yang berubah jadi seruling Dengan sukarela, waktu mengikut bujukan anjing menyalak ringan dari temaram.
Lima pasang sejoli berjalan-jalan di taman membiarkan rambut terayun mandi cahaya.
Bulan adalah guna-guna penyubur cinta.
SESUDAH PERJALANAN Sesampai di ujung engkau menengadah ke langit kekosongan yang lembayung
Ayolah, ruh tiba saatnya engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah di balik awang-uwung di mana engkau istirahat sesudah perjalanan yang jauh.
SEPI Jangan sepi ditinggalkan karena ia adik kandungmu ketika di rahim ibu
Jangan dibunuh sepi karena ia kawan jalanmu ketika diselubung mimpi
Di subuh pagi itu ia menunggu mengalungkan bunga ke lehermu mengucap doa-doa menyanyikan mantra.
Aduh engkau sungguh berbahagia karena hari ini ia meluangkan waktu bersamamu sendiri.
BENCANA Toko-toko di kota sudah ditutup. Anjing menjajakan gonggongnya pada yang bergegas lewat. Tak seorang tahu sekarang jam berapa. Hari sudah jadi kemarin. Nyanyian sudah berhenti di night-club. Polisi kembali ke pos, menyerahkan pestol dan tanda pangkat pada bajingan. Yang serba hitam mengambil alih pasar-pasar. Menawan wali kota. Mendudukkan kucing di pos-pos penjagaan. Mereka tahu, semua sudah jadi tikus. Sia-sia! Rumah-rumah tertutup rapat. Tidak peduli hari menggelap, lampu jalan memecah bola-bolanya karena sedikit gerimis, terdengar retaknya. Kertas-kertas koran, coklat dan lusuh menggulung kotoran kuda. Besi-besi berkarat memainkan sebabak silat di jalanan, lalu diam mengancam. Terdengar gemuruh tapak kuda di setiap muka rumah, merebut darah dari jantung. Detak darah tidak karena urutan, tapi diperintah ringkikan kuda. Nyanyian sudah berhenti, dihapus dari ingatan.
DIAM Diam itu udara mengendap di pohon menidurkan derkuku menjentik ranting patah menyulam rumah laba-laba
Yang petapa menutup mata Ketika angin membisik duka mengusap halus ruang dengan isyarat jantungnya Serangga berjalan biasa seolah ia tak di sana
Yang petapa menutup mata ketika udara menggoda dendam hanya napas yang lembut menghembus cinta Daun pun mengerti menghapus debu di dahinya
Yang diam. Yang petapa. Yang sahabat. Yang cinta.
NAMA-NAMA Nenek moyang mencipta nama-nama Mereka tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki Seolah sempurna isi kamus Ketika hari mendung dan engkau perlu mantel Tidak lagi kautemukan di halamannya Berceceran. Hujan bahkan melepas sampul Sesudah leluhur dikuburkan Alangkah mudahnya mereka larut Sebagai campuran kimia yang belum jadi Terserap habis ke tanah.
Karena hari selalu punya matahari Nama-nama terpanggil kembali Dengan malu mereka datang Telanjang sampai ke tulang Tiba di meja mencatatkan nomor-nomor kartu Menandatangani perjanjian baru
PEPOHONAN Sebagai layaknya pepohonan menampung kenangan dunia yang tergantung di awan sudah sampai di simpang
Ada kubu terbungkus daunan mengeluh pelan memanjakan impian Ayolah kubur dukamu di rumputan senja sudah mendekat malam berjalan merayap engkau tentu mengharap bulan
Dalam pepohonan yang berbuah rindu aku mendengar sesuatu yang tak kutahu Namun aku suka padamu.
TENTANG KUNTOWIJOYO Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Gelar strata 1 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Univ. Gadjah Mada (1969). Gelar MA di Univ. Connectitut (1975), Gelar Ph.D di Univ. Colombia dalam ilmu sejarah. Bukunya antara lain: Dilarang mencintai bunga- bunga (kumcer), Impian Amerika, Mengusir Matahari (kumpulan fabel politik, 1999) . Novelnya: Kreta Api yang Berangkat Pagi Hari, Khotbah di atas Bukit (1976), Pasar (1972). Kumpulan puisinya yang pertama adalah Suluk Awang-Uwung (1975).
PUISI-PUISI AGUS R. SARDJONO Selasa, 11/02/2014 - 14:49 Sastra Seratus ... Lain-lain | Agus R. Sardjono | Koleksi | Puisi Agus R. Sarjono lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Menulis sajak, cerpen, esai, kritik, dan drama. Buku puisinya: Kenduri Airmata (1994), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001), Diterbangkan Kata-kata (2006). Buku esainya Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Dramanya: Atas Nama Cinta (2006). Pernah menjadi sastrawan dan peneliti tamu di International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden (2001), sastrawan tamu Heinrich-Boll_Haus, Langen-broich (2002-2003) dan ilmuwan tamu Universitas Bonn (2010-2011). Juga sebagai Dosen jurusan teater STSI Bandung dan redaktur majalah Horison.
RANGGAWARSITA
Zaman edan yang bahagia, di manakah gerangan Ranggawarsita?
Sunya ruri seisi negeri. Siapa bertahta di ujung harta? Tanduk-tanduk partai, mengusung dua ratus juta telur sangsai ke rumah gadai. Alangkah eling dan waspada bagi setiap peluang yang ada.
Sunya ruri segala mimpi. Harapan lama bagai bendera di malam badai: berkibaran dan kusut masai. Pengadilan dan gunung api melontarkan magma dan debu ke udara lantas mengendap di paru-paru negara : pengap dan menyesakkan dada.
Zaman edan yang bahagia, di manakah gerangan Ranggawarsita?
SAINT-EXUPERY
Seorang penulis buku anak dengan indah telah meminta maaf pada anak-anak, karena cerita untuk mereka dengan terpaksa, pada orang dewasa dipersembahkan. Ada sekian alasan dan sebab: yang utama, tentunya karena orang dewasa paling banyak kehilangan. Misalnya saja warna-warna di alam semesta. Makin dewasa makin sedikit warna tersisa bagi manusia yakni warna-warna dasar yang sederhana karena warna pelangi, warna berseri warna terang, cerah, dan norak hanya milik dunia anak-anak.
Belum lagi kehilangan yang lebih mencekam : otot, gairah, mimpi, usia muda, rasa ingin tahu, khayalan, rasa heran, kekaguman paripurna pada dunia yang masih segar dicipta belum diterjemahkan jadi angka-angka kering dan kejam di pasar saham.
Setiap anak dilahirkan sebagai pangeran kecil gemilang dalam cahaya gemintang mungil Mereka segera jadi kaum papa jelata begitu ia menjelma jadi dewasa, tak peduli berapa istana ia punya, berapa timbunan harta dalam simpanan. Karena hanya pada kanak, bintang di angkasa merasa punya hubungan rubah di hutan merasa berteman.
Orang dewasa berdiam di jauhan dengan bedil di tangan: lelah, cemas, dan siaga. Tak melihat hubungan lain dengan kehidupan selain jadi pemburu atau diburu. Tak putus-putus mabuk untuk menghapus rasa malu karena telah menjadi pemabuk.
Maka kepada anak-anak tolong maafkan bila bahkan buku untuk kalian kepada orang dewasa dipersembahkan. Kasihanilah kami orang dewasa yang begitu banyak kehilangan. Yang terbesar dan tak tergantikan adalah hilangnya masa kanak anugerah terindah dari kehidupan yang begitu lekas musnah dan menyilam.
SINGER
Seorang lelaki berkutat bebaskan budak dalam diri, menulis musuh dalam kisah cinta sejati. Tapi trauma dan masa lalu bagai mantan istri yang selalu memaksa untuk rujuk kembali.
Dalih adalah Sang Tuan dari rembang ingatan. Bahkan di detik jingga di nadi hidup yang berdegup mesra, selalu ada dalih bagi kita untuk tetap tak bahagia.
SARTRE
Neraka keberadaan tak lain adalah orang lain, ucapmu dalam sebuah pintu tertutup pada sebuah drama canggung dari sebuah zaman yang murung.
Di tanah airku, ada dan ketiadaan karcis menjadi tema utama setiap hari raya. Stasiun dan terminal tersengal oleh antrian: panjang dan rapat seperti kalimat filsafat. Kerumunan yang berdebar tak sabar ingin memudikkan jiwa dan badan ke surga kebersamaan kerabat dan keluarga karena neraka tak lain adalah tanpa orang lain.
CERVANTES
Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra menerjang kincir keramat hikayat bangsawan dan raja-raja hingga porak-poranda dan menjelma jadi gelak tawa
Di negeri-negeri yang jidatnya sempit dan muram, tank, panser, dan penjara tersedia bagi Don Quixote dan keledai sastra yang menggoyang kebajikan mapan bungkus mulia bagi jiwa-jiwa deksura.
Adakah ksatria gelak tawa berbahaya bagi negara, serupa ular berbisa di belukar mendesis merayap menyusun makar? Dia yang bijaksana tahu tak ada mahkota dimakzulkan oleh cerita jika ke dalamnya penguasa sedia berkaca.
Keledai sastra yang dungu bestari senantiasa menggergaji satu kaki singgasana agar sang raja belajar bijaksana di atasnya. Atau mengecat tembok istana dengan warna ganjil tak biasa biar angker kekuasaan sedikit belajar menertawakan diri dan agak jenaka.
Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra menerjang kincir keramat hikayat bangsawan dan raja-raja hingga porak-poranda dan menjelma jadi gelak tawa
Kisah sehari-hari dan orang biasa sejak itu berhak juga menjelma cerita.
GORKY
Di sebuah negeri gamang dan pilu Gorky yang piatu melahirkan seorang ibu untuk membuka hati dan mengasuh hari-hari jelata yang rusuh. Bagai Musa Ia menuntun jelata pekerja untuk berhijrah dari kubangan vodka. Di kerontang akar rumputan, kesadaran konon tumbuh merimbun bagai palawija berbuah mesra penuh janji untuk dipanen kelak selepas fajar pagi. Tapi sejarah selalu milik ayah. Mereka memanennya malam-malam hingga tak banyak yang tersisa di ladang selain warna merah dari jejak-jejak amarah.
Di lorong gelap jelata, di kedalaman terbawah, ada pelacur dan pencuri merayapi mimpi mengharap cerlang matahari. Dan bangsawan afkiran, buruh harian, pedagang asongan, sibuk menanam diri dalam cerita warna-warni karena sesekali, orang-orang merasa perlu menyentuh jiwa papa kelabu dengan sedikit warna ungu.
Dalam gairah, Gorky menyusun masyarakat dari lembar-lembar kertas dan penguasa melemparnya ke tungku biar revolusi berkobar selalu.
Waktu berganti rezim berlalu di tanah yang merah dan tak merah semua berubah, kecuali pelaminan tempat penguasa penuh gairah menjamin jelata dan kemiskinan agar senantiasa bisa menikah.
Tinggal Gorky: masai dan terlunta dijahit penguasa menjadi bendera berkibar-kibar seperti sejarah tempat jelata terbungkam pasrah.
PAMUK
Adalah salju yang mempertemukan orang sunyi dengan puisi ketika perempuan yang tertindas menghidupkan emansipasi dengan bunuh diri
Bisakah manusia bahagia sebagai pasangan cinta menghuni rumah mungil berdua tanpa direcoki perabot-perabot berat dan sulit diangkat seperti negara atau perkakas keras tajam dan bergerigi seperti ideologi?
Di Kars atau Tanjung Priok di Kabul atau Istambul, sandiwara bisa saja mengkudeta fakta ketika remaja-remaja yang rindu dan mereka yang mengusir pilu dalam sebuah pertunjukan terburai diserbu serdadu hanya karena seorang komandan yang bosan dan putus asa mendadak ingin jadi sutradara.
Namaku merah, seperti darah warna termegah dalam sejarah. layar terpintal di sunyi Pamuk membungkus puing-puing Attaturk
Negeri-negeri salju kastil-kastil kertas sejarah mengeras di tapal batas hari-hari timur hari-hari barat hamba dan tuan bertukar tempat.
Musim mengeras di tapal batas. Ada yang diam-diam bergegas melaju di atas seribu bus seperti Pamuk atau Osman atau Mehmet atau kau memburu cinta, kematian, atau malaikat dan tak mendapat apa-apa kecuali identitas yang meranggas dan sekarat antara masa kanak yang terkoyak dan masa depan yang lembam. Antara timur yang mendengkur dan barat yang berkarat.
Dari Herat menuju ke Barat merana tersungkur di Indonesia ingatan adalah rakyat berkarat menetas sia-sia dari telur amnesia.
Sambil menyusuri kota kelahiran dalam ingatan silam, ditentengnya hidup baru seperti menenteng kopor ayah tempat istana salju dan buku hitam catatan harian menyembul diam-diam bagai kenangan: bacaan-bacaan masa muda yang menggendong sukma ke Eropa, dan hikayat-hikayat keramat yang menuntun gelisah kembali pulang ke rumah.
Di luar masih terhampar dunia-dunia yang membenci sebesar mencinta, yang bercumbu sekerap bertengkar, bagai hujan salju yang indah dan memisah hingga selalu susah untuk bertegur sapa. Tapi akan selalu ada yang sabar seperti Orhan, menyalakan lilin untuk mencairkan salju yang membeku di jembatan perjumpaan biar segala yang lindap dan tak terucap dapat bersijingkat temukan jalan.
CHAIRIL
Pada kereta senja Chairil menebal jendela cinta dan bahagia makin jauh saja mendengking Chairil mendengking kereta sayatan terus ke dada.
Pada senja di pelabuhan kecil kau datang padaku: Chairil cinta insani di tangan kiri, Amir Hamzah cinta Ilahi di tangan kanan dengan pandang memastikan : untukku. Aku membisu dicakar gairah dan cemas bertukar tangkap dengan lepas. Aku hilang bentuk remuk. Seharian itu kita tak bersapaan. Oh puisi yang enggan memberi mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Kekasih, dengan apakah kita perbandingkan pertemuan kita : dengan Amir sepoi sepi atau Chairil menderai sampai jauh? Kini habis kikis segala cintaku hilang terbang, kembali sangsai seperti dahulu di nyanyi sunyi di buah rindu.
Amirlah kandil kemerlap pelita Chairil di malam gelap ketika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.
Aku sendiri, menyusur kata-kata masih pengap harap. Apatah kekal kekasihku, airmata yang kenduri di riuh nadi di gamang jiwa sedang cerlang matamu tinggal kerlip puisi di malam sunyi.
Chairil dan Amir di pintumu puisi negeriku mengetuk. Mereka tak bisa berpaling.
PENYAIR ANWAR
Aku mengaji, anwar anwar Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar Berlari seperti kura tak henti membawa jagat Irama abad, anwar anwar Berdentang-dentang dalam dagingku Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi Jadi penyair seribu tahun. O Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
EKSTASE WAKTU
Dunia membuka dunia menutup tak jadi manusia Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar Dunia sendiri tanpa manusia Berlari Seperti perahu tak berkemudi Terlepas dari jarak: Beri aku orang! Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar Sampai mabuk ketinggian makhluk Direguk sampai habis tenggorok Jiwa membuka Seperti api menghabiskan nyala
BERI AKU KEKUASAAN
Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa. Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman. Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu. Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata............
1991
DAFTAR INDEKS
dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan. Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men- girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.
ANTRI UANG DI BANK
Seseorang datang menemui punggungku Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu, seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai. Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku
SEMINAR PUISI DI SELAT SUNDA Untuk Goenawan Mohamad
Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama. Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki kanan buntung kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu, atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi, di pangkuan seorang perempuan.
Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian seorang ibu.
Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me- nyimpan kartu pos patung liberty di saku mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard Cohen yang parau: Dance me to the end of love. Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah restoran. Aku melangkah dari sebuah koran lokal, sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi 3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.
Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah, Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula membenamkan akal sehat ke dalam keuangan negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri yang masih tertidur di sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen- dela kaca. Sebuah kantor majalah yang kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau mengubah kenangan tentang mantel yang dikena- kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng- gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.
Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.
Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar. Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti. Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya. Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang. Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri. Langkah yang menciptakan anak-anak tangga daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri. Apakah dia sedang turun apakah dia sedang naik. Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk tidak mengatakan apapun tentang luka yang tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan. Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan seperti dengan suara kertas koran yang diremas. Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.
Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah luka di mulut seekor harimau. Untuk para sahabat, dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin yang mengirim garam, menjaga musim hujan di Utara. Di sini.
MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU
Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat. Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata tidur. Aku tidak berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat. Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke- adaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan. Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar terbangmu. Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.
DI SEBERANG SELEMBAR DAUN
Aku bukan seluruh daun di pohon ini. Aku hanya selembar daun di pohon ini. Hanya pohon ini dan hanya selembar daun. Aku hanya selembar daun yang tumbuh di leherku. Hanya berwarna hijau sep- erti selembar daun. Aku hanya selembar daun yang berbicara menggunakan mulutku. Maksudku, mulutku adalah selembar daun yang berbicara menggunakan mulutku. Maksudku, aku hanya selembar daun yang selembar daun. Jangan rayu aku untuk menjadi pohon walau kau berikan tuhan kepa- daku. Jangan rayu aku untuk menjadi seluruh daun pada pohon ini walau kau berikan janji kematian pa- daku. Aku bukan soal kematian dan soal tuhan. Aku mirip, maksudku mirip dengan pertanyaan aku hidup bukan untuk seluruh yang kau katakan setelah kematian. Setelah kematian aku bukan hidup dan ke- matian bukan selembar daun yang mewakili seluruh daun di pohon ini.
Aku hanya selembar warna hijau dari pohon yang aku tak tahu namanya. Pohon yang membuat aku tahu aku berada di sini dan hidup di sini. Maksudku, jangan kau takuti aku seperti kanak-kanak yang berlari di seberang kematian. Aku mengingatnya, waktu-waktu, dan, lihatlah di luar sana, lihatlah orang-orang berjalan dengan kakinya, pohon-pohon tumbuh, anak-anak bermain merasakan kebahagiaan memiliki tawa, langit yang dibuat dari rambut perempuan. Aku adalah selembar daun yang dijahit pada sebatang pohon.
PROPOSAL POLITIK UNTUK POLISI
Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang- sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir 1900, muntjul sematjam gerakan terorisme ataoepoen gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini semua. (P.J.F. van Heutsz, 1904-06)
Aku dilanda kedatangan diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat kegagalan yang terus-terang di setiap yang kuciptakan. Antara mesin-mesin dan sistem dalam lubang kesunyian, pembelian dan penjualan yang saling membuang. Hiburan dan barang-barang yang dibeli di sana dan di sini. Kenangan dalam puing-puing perubahan. Sisa-sisa hutang dalam peti mati tak terkunci. Pidato musim hujan di semua saluran keadilan yang tenggelam. Tanah dan suara api di atas meja makan. Kau dan aku berdiri di sini. Tetapi tidak pernah berdiri bersama.
Aku memotret telapak tanganku sendiri, seperti memotret sebuah kepulauan terbuat dari bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus di sana dan di sini, lebih panjang dari jalan yang kulalui ke depan dan ke belakang. Suara gesekan butir-butir beras dalam panci, seperti data-data ekonomi yang kehilangan mesin hitung. Hatiku tenggelam dalam permainan sejarah dan baju untuk masuk surga. Laporan keuangan yang berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup yang menjadi puing-puing dalam perdagangan ilmu pengetahuan, data-data di sana dan di sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C dan sikat gigi. Aku dilanda kedatangan diriku sendiri, untuk membeli kesunyian, udara bersih dan lapangan kerja.
Tuan-tuan, bisakah kegagalan dipotret, untuk melihat bagaimana caranya kita tertawa dan tersenyum. Bisakah kita memotret sikat gigi di tengah puing- puing daya hidup yang terus digempur dari sana dan dari sini. Daya hidup yang menjadi mainan pendaya- gunaan kekerasan. Laporan pertumbuhan penduduk yang menjadi api pada jam makan malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita membaca sekali lagi, dari huruf-huruf tak bermakna. Dan mereka menciptakan bahasa, dari setiap kegagalan, dari setiap sejarah luka di sana dan di sini, dari dansa perpisahan di malam minggu. Berdirilah kita di sini, seperti tanaman yang menunggu tukang kebun. Tidak membiarkan sebuah kepulauan menjadi saluran got bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di sini. Musim hujan yang telah berwarna biru di kotamu.
MESIN PENGHANCUR DOKUMEN
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar, kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV. Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk- lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu. Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu. Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan kembali lagi bosan yang kemarin. Apa tata bahasa harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung dalam mulut mayat seorang penyair. Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang sendirian dalam kisah-kisahmu.
MANTEL HUJAN DUA KOTA
Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.
Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham- saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji-janji. Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
TEKNIK MENGHIBUR PENONTON
Kebahagiaan peti mati mengucapkan selamat tahun baru. Maksudku, peti mati dan tahun baru. Kata-kata melintasinya dan jatuh seperti burung yang ditembaki dalam mata pelajaran biologi. Intelektualitas yang merasa bisa menjadi mediator antara tubuh dan realitas, terjungkal dari rak buku. Maksudku terjungkal dan rak buku. Titik dan koma tersesat dalam perangkap titik dan koma. Kata-kata telah ditundukkan oleh badai kamus. Dipisahkan lagi antara badai dan kamus. Sebuah bossanoba di tengah api perpustakaan. Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan. Tuan penghibur, kataku, untuk melihat rohku di antara kumpulan harga apartemen dan tiket pertandingan sepak bola. Baskom dalam timbunan penduduk kota. Tepuk tangan para pembuat parfum dan mesin pencetak dari rumah sakit.
Thank you. Tuan penghibur. Thank you.
TUBUH LUBLINSKIE DI LORONG ES HITAM Untuk gas
Musim panas berjalan-jalan di luar bajumu. Dari seluruh warna merah yang dipadatkan. Baju dengan jahitan tentang ketakutan dan kesedihan. Lorong es hitam pelarian Yahudi di Grodzka, jadi jalan turis. Musim panas yang masih menjahit gerimis, setiap jendela cuaca dibukan dan ditutup. Tidak tentang yang terkunci di luar atau di dalam. Tentang bibirmu meninggalkan biji cengkeh di lidahku. Membisikkan puisi-puisi Wislawa Szymborska, dengan tas koper terus memunguti bayangan kita di belakang. Tidak memisahkan kalimat dengan koma, setelah masa lalu dan masa kini. Kita meminjam sayap burung untuk tidak berbahasa lagi seperti manusia. Terbang. Seperti dalam ruang di luar suhu kematian. Seperti matahari menawarkan ilusi tentang bayangan, dan sebuah bis yang membawa malam ke Warsawa.
Malam yang terus direnovasi dalam lampu-lampu kota yang sedih. Menggeser musim panas ke tangga menuju kastil-kastil kesunyian, kafe-kafe yang menyembunyikan teriakan dari tenggorokan terluka. Mata lelaki dalam kantong plastik mulai berkerumun di taman kota. Pelayan kafe membawa menu sejarah, secangkir kopi dan ice cream tentang kita. Lukisan sejarah perang dan kunci besi di Museum Lublinskie. Kita berjalan di sebuah kota yang telah menjadi selembar menu makanan.
Deru pesawat dan kereta masih merenovasi pelukan kita, antara passport, peta perjalanan dan gereja- gereja tua. Aku tidak tahu lagi bedanya antara memeluk dan bersujud memuja kesedihanmu. Di tas koperku masih peti mati yang meminta visa untuk kebebasan bernapas.
Sayangku, tidur tidak bisa mengecat mimpi kita. Lublin telah menjadi piano kesunyian di luar malam.
WORKSHOP 5: TAWANAN AKU
gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi dari suaranya berdiri melingkar di depan bulatan penuh perangkap waktu jari-jari yang menggenggam tikus dan perangkapnya di belakang membuat makan malam seperti bayangan yang meninggalkan bentuknya memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang dimuntahkan kembali dari ketakutannya cermin yang menjadi buta ketika melihat dinding di dalamnya dan selembar rambut di atas koran pagi air yang menyeberang di atas jembatan melintasi sungai melintasi tetesannya tanpa prasangka di hadapan daun kering yang menyimpan gema dari
hutannya
JEMBATAN REMPAH-REMPAH
Adas manis Akar wangi Andaliman Asam jawa Asam kandis Bangle Bawang bombay Bunga la- wang Bawang merah Bawang putih Cabe Ceng- keh Cendana Damar Daun bawang Daun pandan Daun salam Jembatan dari bumbu dapur ke darah Colombus Gaharu Gambir Jahe Jeruk limo Jeruk nipis Jeruk purut Jintan Kapulaga Kayu manis Kayu putih Kayu mesoyi Kecombrang Kemenyan Kemiri Kenanga Kencur Kesumba Ketumbar Ko- pal Kunyit Lada Jembatan dari parfum ke darah Vasco da Gama Tabasco Laurel Lempuyang Leng- kuas Mawar Merica Mustar Pala Pandan wangi Secang Selasih Serai Suji Tarum Temu giring Temu hitam Temu kunci Temu lawak Temu mang- ga Temu putih Temu putri Temu rapet Jembatan dari obat-obatan ke benteng perempuan berkalung mawar merah Adas manis Akar wangi Andaliman Asam jawa Asam kandis Bangle Bunga lawang Bawang putih Cabe Cengkeh Cendana Damar Temu tis Vanila Wijen Jembatan dari Diogo Lopes de Mesquita ke darah Ternate Gaharu Gambir Jahe Jeruk nipis Jintan Kapulaga Kayu manis Kayu putih Kemenyan Kemiri Kenanga Kencur Kesumba Ketumbar Kunyit Lada Jembatan api yang terus mengirim kapal ke arsip-arsipmu.
CHANEL OO
Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar, Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.
1983
KEBIASAAN KECIL MAKAN COKLAT
Aku tak suka kakimu berbunyi. Ini coklat, seperti cintaku padamu.
James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
1994
WARISAN KITA
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, to- piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
1989
MASYARAKAT ROSA
Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi se- jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku. Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
1989
LEMBU YANG BERJALAN
Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.
1984
MITOS-MITOS KECEMASAN
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.
1985
MIGRASI DARI KAMAR MANDI
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke- matian dalam pikiran: Neraka adalah orang-orang lain. Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993
GADIS KITA
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985
BUKU HARIAN DARI GURINDAM DUABELAS
Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam. Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. Puan-puan dan Tuan-tuan, kata Siti,aku melayu dari Pejanggi. ... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.
1993
ASIA MEMBACA
Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal- kapal membuka pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.
Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan- jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.
Asia.
1985
TENTANG AFRIZAL MALNA
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun, Afrizal Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta PUISI-PUISI AHDA IMRAN Selasa, 11/02/2014 - 14:53 Sastra Seratus ... Lain-lain | Puisi | Koleksi | Ahda Imran ANJING HITAM MATA SATU
Ini leherku tapi, katakan,
siapa yang mengutusmu?
2007
SEPANJANG JALANAN
Kutulis sajak ini di atas seekor kuda ketika lorong-lorong angin menghembuskan suaramu jauh ke ruang-ruang bawah tanah di kejauhan mereka membuat senja dari tanah air penuh bendera. Malam seperti mulut para penghasut
Ketahuilah, sayang, kafe-kafe yang tenang bukan lagi rumahku. Akulah penunggang kuda dari negeri malam itu. Negeri di mana dendam mesti dinyatakan, menjadi hasrat untuk menemukan kata-kata dari setiap butir debu di rambut anakku
Kuserahkan tubuhku pada semesta kesedihan, seperti kegembiraan yang juga datang padaku. Kuhadiri makan malam para pejabat, anggota parlemen dan panglima militer, rapat-rapat partai, dan pertunjukan teater. Kau tahu, mereka menganiayaku, hanya karena aku masih punya telinga
Juga ketahuilah, sayang, ketika sampai aku pada bait ini, kudaku sedang berlari kencang melebihi kata-kata yang menjemput para penyair dan paderi di ruang-ruang bawah tanah itu kumasuki kota dan perkampungan dari sudut yang paling tak terduga, ketika orang-orang berkomplot membuat tanah air yang lain dari sejarah
yang tak pernah punya telinga
2004
SUNGAI BARITO
Sungai ini seolah tak bergerak tak mengingatkanku pada negeri di mana pun di Muara Kuin aku menemukan tubuh perempuan adalah perahu. Membawa limau, pisang, kelapa, semangka, dan labu. Mereka berkerumun, bergumam, mendayung
Keringatnya jatuh di air
Alun sungai, perahu beradu dan bergesekan, terapung. Di kejauhan deretan gudang-gudang kayu, ibu yang menyabuni anaknya, lelaki yang menggosok gigi, dan seorang gadis yang keluar dari dalam air
Sungai ini tak membawaku ke mana pun Oyos dan Ari berdiri di atap perahu dengan tustelnya. Di perahu yang lain Joni melambai. Saut berdiri dengan rambut gimbal, mirip hantu sungai. Seiko, gadis Jepang itu, sibuk mencatat hikayat Suriansyah, leluhur negeri Banjar. Katrin menelepon Oma-nya di Jerman
"Kata Oma, di Meksiko ada juga pasar seperti ini."
Aku memesan kopi dan mengunyah pundut dari warung perahu yang mencuci gelas dan piringnya ke dalam sungai kubayangkan keringat perempuan-perempuan atas perahu itu masuk ke dalam tubuhku,
mendayung rohku ke lubuk air
Oyos dan Ari masih memotret. Seiko masih mencatat Suriansyah. Katrin masih bercerita tentang Oma-nya, tentang sungai di Meksiko. Tapi sungai ini tak mengingatkanku pada siapa dan pada tempat di mana pun perempuan-perempuan atas perahu itu telah membawaku ke dalam tubuhnya
Di Muara Kuin, keringat kami jatuh di air ...
2007
AKU MENULIS
Ketika malam menarik senja dengan kasar ketika hujan tak sampai ke sungai ketika ikan-ikan yang menggelepar ditinggalkan
Aku menulis dengan tangan yang sakit. Orang-orang terus bicara, seperti ada tikus dalam mulutnya setiap malam, mereka mencuri sebatang pohon dari tubuh anakku setiap pagi, mereka membuat komplotan-komplotan baru
Aku menulis dengan tangan yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki jembatan mengelupak. Kota penuh bendera, suara telepon genggam, dan anak-anak muda yang menginjak-injak potret presiden
Aku menulis dalam tahun-tahun yang genting. Hari dan angin menderu, menghembuskan abu dan patahan-patahan gigi mayat. Kota perlahan tenggelam ke dalam malam, seperti peti mati yang mulai diturunkan, ketika mereka membakar
seluruh pohon di tubuh anakku
2003
SEMANGGI
Meminjam tubuhmu dari jalanan penuh tentara dan mahasiswa: Aku penari dengan kening yang retak. Ranting angin tumbuh dan menjulur dari gelap yang bergesekan, mengirimkan ribuan tubuhmu yang lain, menjadi daun, kolam, dan mayat-mayat. Seorang anak menemuiku pada siang yang membosankan, membawa air susu ibunya yang telah berubah menjadi mesiu
Meminjam perasaanmu ketika orang-orang membawa besi, belati, dan batu. Aku menari memunguti jemari tangan dan ali matamu yang hancur. Bukit-bukit jauh mengepung senja, menariknya dengan kasar gelap bergesekan di daun telinga dan kulit kepalamu angin menjulur dari ranting dan pepohonan yang murung, mengirimkan seorang ibu padaku, dengan helai-helai rambutnya yang berubah
menjadi ribuan ular
1998
PAPUA
Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya sakit yang sampai ke lubuk sungai. Pulau-pulau karang berwarna toska, padang-padang rumput, danau, dan pegunungan yang menjulang
Rumbewas mengunyah pinang, meludahkan airnya pada batu, seperti percik darah tubuhnya penuh hutan-hutan sagu yang terbakar
Kapal mereka terus datang membawa beras, perempuan dan minuman keras, lalu mengangkut kami punya gaharu dan emas
Tapi ia terus memukul tifa irama derap kaki dan bumi
Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai berfoto bersamamu untuk kenang-kenangan, lalu kami mencari patung antik, tombak, tifa, panah, dan membeli koteka sambil tertawa di toko-toko milik orang Bugis
Di langit yang kosong seekor burung melayang, menukik, dan membenturkan tubuhnya ke batu karang tapi Rumbewas terus menari, membuat putaran dan jeritan. Bulu-bulu burung kaswari di tubuhnya meneteskan darah, dan hari yang selalu malam
Ketika purnama naik, ketika orang-orang terus membakar pohon-pohon di tubuh anaknya, dengar pekiknya di lubuk sungai!
Lembah-lembah yang dingin, pegunungan yang menjulang,
dan sebuah tarian perang
2005
PIDIE buat Cut Fatmah Hassan
Daun-daun menulis di kerudungmu, Inong syair-syair ratusan tahun ketika kata-kata menjelma ribuan rencong, mengubah hujan menjadi hidup yang sesungguhnya, menjadi angin yang mengelus punggungmu, lenyap ke dalam rimba-rimba jauh. Ada banyak malam pepohonan menyimpan nafasmu, menyerahkannya pada sungai nan gaduh berkata dingin dan parau
Tuan-tuan dari Jawa ...
Ada banyak malam tubuhmu meliuk bersama seluruh kesedihan, melayang ke dalam rentak hujan, garis-garis yang bergelombang, melepas kain bajumu, menjadi syair ratusan tahun ketika hidup yang sesungguhnya adalah menyihir air mata menjadi ribuan rencong
Sungai-sungai menangis di kerudungmu, Inong membawa sejarah itu kembali, tiang-tiang meunasah yang terbakar, juga percakapan yang penuh penipuan, seperti Pang Laot. Lenyap ke dalam rimba-rimba jauh, kau sembahyang bersama para leluhur. Dan lubang peluru di tengkorak kepala itu mengeluarkan gema yang dibawa sungai-sungai
Tuan-tuan dari Jawa ...
1999
PERNYATAAN
Ini wajahku. Bawa ke laut, lalu kenanglah!
Sepanjang abad perut ikan-ikan menyimpannya. Menyerahkannya pada nafas para nelayan.
Jangan menjemputku di pulau dengan rindu karena rindu telah kuserahkan pada suara laut paling jauh
Ini tubuhku bawa ke dalam kabut lalu catatlah!
Burung-burung menjeritkannya, angin mengurainya para pemberontak menyebutnya cahaya!
Jangan memanggilku dari keheningan karena rumahku adalah percik api dari ribuan kaki-kaki kuda!
Ini seluruhnya untukmu tapi pulanglah padaku, seperti juga aku datang padamu
Atau kita sama-sama membakar saja rumah ini!
2003
KUTULIS LAGI SEBUAH PUISI
Kutulis lagi sebuah puisi mungkin untukmu, mungkin juga bukan kata-kata selalu punya banyak kemungkinan, seperti waktu, seperti tubuhmu. Banyak hari yang tak bisa lagi kuingat padahal aku mesti segera berangkat. Kupastikan aku akan sampai di pulau berikutnya, tepat ketika kau sampai di seberang sungai
Kupastikan juga ada sebuah kesedihan yang aneh menempel di setiap helai rambutku tapi entah apa. Mungkin ingatan pada mereka yang meninggalkanku karena kebencian atau kematian
Kutulis lagi sebuah puisi mungkin untukmu, mungkin juga bukan dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak pergi. Tidak bersama siapa pun, aku telah berada di lubuk malam. Ingatan padamu menjadi air yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun tapi telah lama kupastikan, aku akan sampai di sebuah pulau berikutnya, kampung halaman dari seluruh ingatan. Tepat setelah kau membaca puisi ini
dari seberang sungai
2007
DI PINTU ANGIN
Di pintu angin orang-orang menari di permukaan air gemerincing gelang kaki mereka menahan perpindahan burung-burung. Ikan dan ular-ular air melepas seluruh sisiknya, sebelum sampai sungai ke pusat muara. Sebelum tanganku
menyentuh rambutmu
Di seberang air di atas padang-padang lengang, aku melihat tubuhmu terurai. Garis pembatas surut, pulau-pulau menetes, lalu dentang lonceng mengirim kembali hujan ke seluruh lembah dan ngarai
Di pintu angin orang-orang masuk ke dalam air gemerincing gelang kaki mereka tertinggal di tubuhku. Di padang-padang lengang, dalam kabut yang ganas, aku menari bersama arwah ibu dan bapakku. Tapi perpindahan burung-burung tak pernah sampai ke seberang air. Sedang tanganku masih terulur
ke arah rambutmu
2008
SESUATU SEDANG TERJADI
Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang berkumpul di dermaga, bersiap berangkat tapi entah hendak ke mana dan entah untuk apa. Seperti hujan yang terus turun berhari-hari, pertanyaan-pertanyaan membuat mereka menjadi bosan, cepat merasa lelah dan selalu menggerutu
Malam menyimpan tubuhnya di punggungku, bersama pepohonan yang rebah. Di permukaan danau seekor ular melintas, membelah bayang bulan
Sesuatu sedang terjadi. Bayi-bayi lahir dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah burung-burung gagak. Tengah hari, di sebuah kota, pertanyaan-pertanyaan memandangku dengan gelisah. Lalu seperti biasanya seorang terbunuh, dan seperti biasanya juga: Kami membakarnya. Entah mengapa dan entah untuk apa
Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang meninggalkan bayi mereka di tengah hutan dalam sepatuku bayi-bayi itu terus menangis dan kedua tangannya lumpuh
Hari selalu menjadi malam. Orang-orang masih berkumpul di dermaga. Entah hendak ke mana dan entah untuk apa. Mata mereka berlubang
seperti kuburan
1999-2006
HUJAN SEGERA DATANG
Hujan segera datang dengan bunga di sepatunya bukit-bukit memberi jalan,
burung-burung menjemputnya
Dengan tenang, aku menulis puisi menemui nama-nama
Hujan segera datang dengan bunga di sepatunya padang rumput terbelah tubuhkku penuh gemerincing
Dengan tenang, aku menulis puisi menyembahyangkan
nama-nama
1999-2006
DI LUAR PERCAKAPAN
Bayangkan sebuah hari ketika kita berpisah, ketika angin tertumbuk di kamar lengang, ketika sebuah pintu
dihempaskan
Jika masih kau di sini, pergilah ke balik suara-suara malam. Di situ, di bawah tanah, kusimpan sebuah kamar dan seorang perempuan yang muncul dari cermin. Di situ, akan kau temukan separuh tubuhku yang lain, menjadi penduduk sebuah negeri yang selalu ramai dengan kata-kata, para budak, dan majikan yang menyebalkan
Ketahuilah, banyak hari yang tak bisa kaukisahkan padamu. Kusimpan dalam gelap perut ikan-ikan. Banyak hari di mana aku telah pergi diam-diam, mengeluh di sebuah kamar, menyalakan lampu, dan kutemukan sejarah yang lain dalam tubuhmu, di luar percakapan kita
Bayangkan sebuah hari ketika kita terpisah, ketika kau temukan separuh tubuhku yang lain, menjadi budak yang malang di negeri kata-kata
yang selalu kehilangan manusia
2006
TENTANG AHDA IMRAN
AHDA IMRAN lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, namun tumbuh dan besar di Cimahi. Kumpulan puisinya Dunia Perkawinan (1999). Sejumlah puisinya juga diterbitkan dalam antologi puisi bersama. Setiap pekan menulis repotase budaya, ulasan, kritik, esai, dan kolom, di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung