You are on page 1of 2

Memancing

Hari Minggu, cuaca cerah, udara pun bersih dan segar. Awan di langit
bergerak berirama bak bulu biri-biri. Didin sedang di depan rumah dengan
menimang-nimang joran pancingnya yang di buat sejak pagi.
Sambil menanti Dimin yang kemarin mengajaknya pergi memancing bersama
di kolam pemancingan yang letaknya agak jauh dari rumah. Sudah siap Din?
Dimin secara tiba-tiba muncul dari balik pagar.
Siap Ndan, lets go! balas Didin dengan semangat. Didin pun bangkit dan
mengambil ember cat yang telah disiapkannya untuk menaruh hasil pancingan,
sambil membawa joran pancing bak prajurit yang akan pergi ke medan perang.
Pak, saya berangkat ya! pamit Didin kepada ayahnya. Ya!, nanti kalau
embermu kepenuhan ikan akan ayah jemput, untuk membantumu membawanya.
Ledek ayahnya kepada Didin.
Didin hanya tersenyum kecil mendengar ledekan ayahnya tersebut, lalu
Didin dan Dimin bergegas berangkat dengan mengendarai si Blacky, sebutan untuk
sepeda reotnya yang setia menemani sejak ia masih kecil hingga kini.
Setibanya di kolam pemancingan, keduanya segera mencari posisi yang
mereka anggap paling nyaman untuk memancing. Setelah mata kail dipasangi
umpan, pancing pun di lemparkan ke air.
Dengan sabara keduanya mengamati setiap gerakan joran pancingnya.
Pelampung pun tak luput dari pelototan matanya.
Tak terasa matahari telah condong ke barat. Namun, belum seekor ikan pun
yang memakan umpannya, melainkan hanya seekor ikan uceng kecil yang berhasil
Dimin peroleh, Didin sendiri juga belum mendapat apa-apa. Padahal panansnya
terik matahari seakan-akan hendak memecahkan kepala, hingga kulit kedua anak
tersebut terasa seperti terbakar karenanya.
Siaaalll..! tak seekor ikan pun yang mau mendekat gerutu Didin
Apa kita tetap bertahan sampai matahari terbenam? Tanya Dimin
kebosanannya
Tapi apa kita tidak malu, kalau harus pulang dengan tangan hampa? sela
Didin
Mungkin umpan kita salah kali ya? Dimin balik menanya
Ah gak mungkin, tapi apa kata orang di rumah nanti, jika kita pulang
dengan tangan hampa? jawab Didin seakan tidak mau dialihkan pembicaraannya.
Kalau soal itu mudah Din, kita tinggal beli aja ikan di pasar untuk dibawa
pulang! tiba-tiba akal bulus Dimin muncul.
Hhaaaa..?? apa katamu? kata Didin terkejut.
Apa boleh buat? Daripada pulang menanggung malu? Dimin mencoba
mendamaikan keadaan.
Kedua anak tersebut pun beranjak pulang, namun di perjalanan, mereka
singgah ke pasar terlebih dahulu. Di pasar mereka memilih beberapa ekor ikan segar
yang dianggap patut untuk dibawa pulang. Belum selesai mereka memilih ikan,
tanpa mereka sadari Ayah didin muncul dari belakang. waahh, rupa-rupanya kau
baru saja menjual ikan hasilmu memancing tadi ya Din? ledek Ayah didin.
Eeh Ayah, kok Ayah dan Ibu disini? Didin tersenyum sambil
menyembunyikan rasa malunya.
Kebetulan sore itu Ayah didin mengantar Ibu didin untuk berbelanja guna
hajatan besok malam. Kemudian mereka pun pulang bersama dengan membawa
beberapa ekor ikan. Akan tetapi, bukan hasil memancing dan bukan pula dibeli oleh
Didin, melainkan ikan belanjaan Ayah dan Ibunya. Didin sangat malu sore itu
karena ketahuan ayahnya membeli ikan di pasar yang ingin di akuinya sebagai ikan
hasil pancingan.

You might also like