You are on page 1of 16

Tinjauan Pustaka

Sindrom Down pada Anak



Agung Rondonuwu
102010396
C-8

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11470
021-56942061
Email: agungmessi10@hotmail.com



Pendahuluan
Kelainan pertama kali diketahui oleh Seguin dalam tahun 1844, tetapi tanda tanda klinis
tetang kelainan ini mula-mula diuraikan tahun 1866 oleh seorang dokter bangsa inggris
bernama J. Langdon Down. Berdasarkan fenotip dari pasien yang menunjukkan tanda tanda
tuna mental dan adanya lipatan pada kelopak mata, maka kelainan ini semula disebut
mongolisme. Tetapi agar tidak menyakiti hati bangsa Mongol, maka cacat ini kemudian
dinamakan sindroma Down. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa kelainan genetika
ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis kelamin

Anamnesis
Sebelum melakukan diagnosis kita harus melakukan anamnesis kepada pasien terlebih
dahulu, agar kita dapat mencapai hasil yang lebih baik. Anamnesis atau wawancara klinis
merupakan prosedur yang paling umum, namun wawancara tidak hanya sekedar dan
sesederhana penelusuran riwayat. Pada dasarnya, wawancara merupakan gabungan pekerjaan
antara dokter dan penderita, diarahkan pada pertukaran yang urut dari setiap dan semua
informasi relevan secara klinis. Apabila anak belum dapat menjawab jenis pertanyaan
tertentu, maka dapat dibantu menjawab oleh ibunya (alloanamnesis).
2

Identitas pasien
Tanyakan: Nama,Umur/Usia (Neonatus/bayi, balita/prasekolah, Sekolah, Pubertas), jenis
kelamin, nama Orang Tua, alamat, umur/ pendidikan Orang Tua, agama dan suku bangsa.

Selain usia anak, Usia orang tua pada anak dengan sindrom down sangat penting di tanyakan,
hal ini karena Sepertimana yang telah kita ketahui, sindrom Down ini merupakan suatu
kelainan genetik dan penderitanya dapat mengalami retardasi mental. Sejumlah orang tua
memiliki kemungkinan lebih tinggi menghasilkan bayi dengan sindrom Down. Termasuk
dalam faktor risiko adalah usia ibu yang sudah lanjut. Kromosom terbagi dengan tidak benar
dari waktu ke waktu karena wanita terus memproduksi telur dan tersebut menua.
Kemungkinan melahirkan bayi dengan sindrom Down terus meningkat seiring bertambahnya
usia.

Riwayat kehamilan
Ditanyakan sesuai dengan yang terdapat pada etiologi(faktor endogen dan eksogen yang
mempengaruhi, seperti Selama hamil, ibu menderita rubella (campak Jerman) atau infeksi
virus lainnya, gizi yang buruk - Ibu yang alkoholik, usia ibu diatas 40 tahun. Ibu
menderita diabetes. Tetralogi Fallot lebih sering ditemukan pada anak-anak yang menderita
sindroma Down.

Riwayat kelahiran
Yang perlu ditanyakan adalah tanggal lahir, tempat lahir, ditolong oleh siapa, cara kelahiran,
kehamilan ganda, keadaan setelah lahir, pasca lahir, hari-hari 1 kehidupan, masa kehamilan
dan berat badan dan panjang badan lahir (apakah sesuai dengan masa kehamilan, kurang atau
besar, prematur).

Riwayat keluarga
Wanita yang pernah melahirkan anak dengan sindrom Down juga memiliki kemungkinan 1%
akan melahirkan bayi selanjutnya dengan kondisi yang sama. Orang tua pembawa kelainan
genetik sindrom Down juga dapat menurunkan hal ini kepada anak-anak mereka dengan
kemungkinan lebih besar dibandingkan orang tua yang tidak memiliki kelainan ini.

Karena itu
perlu kita tanyakan dikeluarga ada yang menderita suatu kelainan atau tidak seperti
mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, dan retardasi mental.

Riwayat anak
Anamnesis harus menyangkut faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak.
Misalnya untuk meneliti perkembangan motorik pada anak, harus ditanyakan berat badannya
karena erat hubungannya dengan perkembangan motorik tersebut. Untuk menanyakan
kemampuan menolong diri sendiri, misalnya makan, berpakaian, dan lain-lain harus pula
ditanyakan apakan ibunya memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar itu.

Penyakit-
penyakit yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang dan malnutrisi.Anamnesis kecepatan
pertumbuhan anak. Merupakan informasi yang sangat penting yang harus ditanyakan pada
ibunya pada saat pertama kali datang. Anamnesis yang teliti tentang milestone
perkembangan anak, dapat mengetahui tingkat perkembangan anak tersebut. Tidak selalu
perkembangan anak mulus seperti pada teori, ada kalanya perkembangan anak mulus sampai
umur tertentu, kemudian mengalami keterlambatan. Ada juga yang mulainya terlambat atau
karena sakit, perkembangan terhenti yang kemudian normal kembali. Dapat juga
perkembangan yang langsung pesat, misalnya pada perkembangan bicara.

Pola perkembangan anak dalam keluarga. Anamnesis tentang perkembangan anggota
keluarga lainnya, karena ada kalanya perkembangan motorik dalam keluarga tersebut lebih
cepat/lambat, demikian pula dengan perkembangan bicara atau kemampuan mengontrol
buang air besar/kecilnya.

Pada sindrom down biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena
sulit untuk makan (ketika makan terasa sesak) sehingga asupan kalorinya sanga tsedikit.
Apakah saat beraktifitas mengalami dispneu atau takipneu (karena inadekuat O2 ke jaringan).
Ortopneu biasanya diakibatkan kongesti vena pulmonary. Apakah pernah mengalami sianosis
waktu nangis? Selain itu perlu ditanyakan juga tentang perkembangan belajar pasien. Hal ini
karena kanak-kanak dengan sindrom Down secara keseluruhannya mengalami
keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal. Seiring dengan perkembangan mereka
mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan,
perkembangan motor halus dan bercakap.

Perkembangan sosial mereka agak menyulitkan menjadikan mereka tetap berada dengan
keluarga. Mereka juga mempunyai sifat periang. Perkembangan motor kasar mereka lambat
disebabkan otot-otot yang lembek tetapi mereka akhirnya berjaya melakukan hampir semua
pergerakan kasar. Penderita sindrom Down juga dikatakan sering mengalami gangguan pada
sistem kardiovaskular dan gastrointestinal. gastrointestinal pula dapat dikesan pada awal
kelahiran seperti: Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama
sekali di bahagian tertentu esofagus. Biasanya ia dapat dikesan semasa berumur 1-2 hari di
mana bayi mengalami masalah menelan air liurnya.Saluran usus rektum atau bagian usus
yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau penyempitan yang dinamakan
"Hirschprung Disease". Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian
rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas
kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar.
2-4

Pemeriksaan Fisik
Penderita sindrom Down biasanya mempunyai rangka tubuh yang pendek. Tulang rangka
tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan
melebar adanya kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai
satu lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua
yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%). Kaki kadang kadang bengkok, kepala
membesar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar,
kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antara kedua mata, kelopak mata mempunyai
lipatan epikantus sehingga mirip dengan orang oriental. Iris mata kadang kadang berbintik
yang disebut bintik bintik Brushfield.

Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerapkali memiliki garis tangan
yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja. Ibu jari dan jari
kedua ada kalanya tidak rapat.

Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis transversal pada telapak tangan, hanya satu
lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren.

Mata, hidung dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena ia
tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri. Retardasi mental yang ringan hingga
berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-
rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering
mendapat gangguan artikulasi. Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten
terhadap penyakit. Karena itu dahulu penderita biasanya berumur maksimal 20 tahun, akan
tetapi dengan tersedianya berbagai macam antibiotika, maka usia mereka kini dapat
diperpanjang.

Pada umumnya penderita sindrom Down mempunyai sikap atau perilaku yang spontan, sikap
ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi, mereka tidak sadar akan cacat yang dideritanya.
Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang
tinggi.

Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak anak sindrom
Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit
yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang
meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita
sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang orang lanjut usia.
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang rata,
occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang
lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris. Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting)
karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik titik
Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis
(33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema,
spasma nutans dan keratoconus.

Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung dan
jembatan hidung yang rata. Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah
yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir
bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan
sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder,
maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas.

Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis media
yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira 6080% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga.

Penderita pria rupa rupanya steril, walaupun dari hasil penelitian di Panti Asih (tempat
asuhan anak anak penderita sindrom Down titipan berbagai keluarga, yang terletak di
Pakem, DI Yogyakarta) dapat diketahui bahwa cukup banyak penderita pria melakukan
onani, suatu tanda bahwa mereka sebenarnya mempunyai kesadaran seksual. Sebaliknya ada
penderita wanita yang dilaporkan melahirkan anak (bukan di Pakem). Risiko mendapatkan
anak sindrom Down tidak tergantung dari bangsa, kedudukan atau keadaan social orang tua.
Pada saat ini sindrom Down merupakan cacat (abnormalitas) kelahiran yang paling banyak
dijumpai dengan frekuensi satu dalam 600 kelahiran hidup.
1

Gambar 1. Sindrom Down (http://www.tanyadok.com/anak/17-tanda-anak-menderita-
sindroma-down)

Pemeriksaan Penunjang
Amniocentesis
Amniosentesis adalah aspirasi cairan amnion. Amniosentesis berguna untukdiagnosis
antenatal, pengujian kematangan fisiologis dan pemeriksaan berbagai kelainan (misal,
isoimunisasi). Amniosentesis hampir selalu dikerjakan secara transabdomen karena besarnya
resiko infeksi jika dilakukan secara transvaginal. Kadang-kadang amniosentesis digunakan
untuk terapi (misal, hidramnion).

Amniosentesis merupakan teknik mengambil sampel cairan amnion yang mengelilingi fetus
dengan menggunakan jarum aspirasi. Melalui cairan ini dapat dianalisis kandungan enzim
dan alfa fetoprotein (AFP) yang membantu mendeteksi defek tabung neural seperti spina
bifida. Sel-sel fetus pada cairan ini dianalisis untuk didapatkan urutan DNA spesifiknnya atau
dibiakkan pada media kultur untuk analisis kromosom (kariotipe).

Di antara semua teknik tes genetik yang invasif, amniosentesis merupakan teknik yang paling
aman dan telah mempunyai banyak pengalaman medis. Kerugian metode ini baru dapat
dilakukan pada minggu ke 16-20, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk mengulang tes dan
menentukan keputusan orang tua.

Cairan amnion dan sel-sel bebas dari fetus diambil sebanyak 10-20 cc dengan menggunakan
jarum injeksi. Waktu yang paling baik untuk melakukan amniosentesis ialah pada kehamilan
14-16 minggu. Jika terlalu awal dilakukan, cairan amnion belum cukup banyak, sedang jika
terlambat melakukannya, maka akan lebih sulit untuk membuat kultur dari sel-sel fetus yang
ikut terbawa cairan amnion.

Sel-sel fetus setelah melalui suatu prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian
diperiksa kromosomnya untuk dibuat karyotipenya. Apabila pada karyotipe terlihat adanya 3
buah autosom no.21, maka secara prenatal sindrom down sudah dapat dipastikan pada bayi
itu. Risiko adanya bayi sindrom down bagi ibu-ibu berumur kurang dari 25 tahun ialah kira-
kira 1 dalam 1500 kelahiran, pada usia 40 tahun 1 dari 100 kelahiran, sedangkan pada usia 45
tahun 1 dalam 45 kelahiran. Ini berarti bahwa apabila ibu-ibu hamil pada usia 45 tahun
diperiksa, maka 1 dari 40 ibu dapat diduga mengandung bayi trisomi-21.
12,13

Biopsi Vili Korialis
Merupakan teknik diagnostik pranatal invasif trimester pertama yang paling sering dikerjakan
untuk menilai gangguan kromosom, molekuler, dan biokimiawi janin. Biopsi ini dilakukan
pada akhir kehamilan trimester pertama, antara 10-13 minggu, dan dilakukan di bawah
tuntunan USG. Meskipun pada awalnya teknik ini dikerjakan transvaginal, saat ini teknik
transvaginal dan transabdominam keduanya dikerjakan. Yang diambil adalah jaringan korion
dari plasenta yang sedang tumbuh. Prosedur biopsi ini memiliki risiko abortus lebih tinggi
dibanding amniosentesis yaitu sebesar 1-2%. Penyulit lain seperti perdarahan pervaginam,
nyeri perut, dan infeksi juga lebih sering terjadi pada teknik biopsi vili korialis dibanding
amniosentesis.

Keuntungan pemeriksaan ini ialah pemeriksaan ini dapat dilaksanakan pada trimester pertama
kehamilan, sehingga akan segera memberi kenyamanan pada keluarga penderita jika hasil
pemeriksaan tidak mendapatkan adanya kelainan. Sebaliknya, jika hasil pemeriksaan
mendapatkan adanya kelainan, maka dapat segera dilakukan koreksi jika kelainan tersebut
memang dapat dikoreksi, atau bila akan dilakukan terminasi kehamilan, prosedur tersebut
dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih aman.

Skrining Petanda Serum Maternal
Kombinasi tiga penanda (triple screening) yang berbeda telah terbukti bermanfaat untuk
menilai risiko sindrom Down pada kehamilan. Ketiga pengukuran tersebut adalah AFP (alfa-
fetoprotein), hCG (human chorionic gonadotropin), dan uE3 (unconjugated estriol) dalam
serum perempuan hamil. Pada kasus sindrom Down, AFP ibu cenderung rendah pada sekitar
30%, hCG cenderung sekitar dua kali lipat daripada yang diperkirakan, dan estriol cenderung
menurun. Hasil dari masing-masing pengukuran dikombinasikan dengan faktor lain seperti
usia ibu, riwayat keluarga, diabetes melitus, dan usia gestasi untuk menghasilkan risiko
gabungan untuk sindrom Down.

Ultrasonografi
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT test).
Pemeriksaan USG yang dapat dilakukan untuk skrining adanya kelainan sindrom Down
adalah dengan mencari nuchal fold yaitu melihat ukuran kantong yang terisi cairan pada
bagian belakang leher janin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kehamilan 11-13 minggu.
Sekitar 60% bayi dengan kelainan ini didapatkan nuchal fold translucency yang positif yaitu
lebih dari 3 milimeter.

Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang
disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan
hormone human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi
bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung.
1,5

Sindrom Down
Sindrom Down (SD) atau trisomi 21 (47, XX, +21 untuk perempuan atau 47, XY, +21 untuk
laki-laki) adalah gangguan kromosom tersering pada kelahiran hidup. Sekitar 1 dari 800
sampai 1 dari 900 kelahiran hidup mengidap SD. Nondisjunction kromosom 21 saat meiosis
adalah penyebab SD pada 95% kasus. Dari kasus-kasus ini, 95% dari kromosom 21 tambahan
berasal dari ibu. Usia ibu adalah suatu faktor risiko yang besar pada SD. Sebagai contoh,
perempuan berusia kurang dari 30 tahun memiliki risiko 1 dalam 1000 mengandung janin
dengan trisomi 21 dibandingkan dengan perempuan berusia 40 tahun, yang risikonya adalah
1 dalam 100. Salah satu hipotesis untuk menjelaskan fenomena ini adalah kenyataan bahwa
semua oosit perempuan terbentuk saat lahir. Sel-sel ini terhenti dalam meiosis sampai saat
ovulasi, saat mana sel-sel tersebut menyelesaikan pembelahan meiotiknya. Meningkatnya
usia oosit mungkin berperan menimbulkan nondisjunction.

Pengidap SD memperlihatkan gambaran wajah yang khas, berupa mata menyipit ke atas,
wajah rata, lipatan epikantus, dan membesarnya lidah. Populasi pasien ini memperlihatkan
retardasi pertumbuhan dan mental dengan derajat bervariasi. Pasien SD juga berisiko
mengidap penyakit lain, seperti cacat jantung bawaan, gangguan pendengaran, stenosis
duodenum, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
6

Dari sudut sitologi dapat dibedakan dua tipe sindrom Down:
1. Sindrom Down Triplo-21 atau Trisomi 21, sehingga penderita memliki 47 kromosom.
Penderita laki-laki = 47, XY, +21 sedang penderita perempuan = 47, XX, +21. Kira-
kira 92,5% dari semua kasus sindroma Down tergolong dalam tipe ini.
2. Sindrom Down Translokasi. Translokasi ialah peristiwa terjadinya perubahan struktur
kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan
potongan kromosom lainnya yang bukan homolognya. Pada sindroma down
translokasi, lengan panjang dari autosom nomor 21 melekat pada autosom lain,
kadang-kadang dengan autosom nomor 15 tetapi yang lebih sering dengan autosom
nomor 14. Dengan demikian individu yang menderita sindroma down translokasi
memiliki 46 kromosom. Kromosom yang mengalami translokasi dinyatakan dengan
tulisan: t(14q21q) yang dapat diartikan t = translokasi; 14q = lengan panjang dari
autosom 14; 21q = lengan panjang dari autosom 21 (lengan pendek dari sebuah
kromosom dinyatakan dengan huruf p). Penderita dari kedua tipe sindroma down itu
identik.

Semua individu dengan sindrom down memiliki 3 salinan kromosom 21. Sekitar 95%
memiliki 3 salinan kromosom 21. Sekitar 1% individu bersifat mosaik dengan
beberapa sel normal. Sekitar 4% penderita sindrom down mengalami translokasi pada
kromosom 21. Translokasi terdapat sekitar 9% anak dengan sindrom down yang
dilahirkan oleh ibu berumur di bawah 30 tahun. Setengah dari translokasi muncul lagi
pada individu yang terkena, sedang separuh berikutnya diwariskan dari translokasi
orang tua pengidap. Orang tua yang merupakan pengidap translokasi pada kromosom
21 menghasilkan 3 tipe keturunan yang hidup; fenotip dan kariotip normal, pengidap
translokasi yang secara fenotip normal, dan translokasi trisomi 21. Kebanyakan
translokasi yang mengakibatkan sindrom down merupakan gabungan pada sentromer
antara kromosom 13,14,15 atau 21t(21q,21q). Fenotip pada translokasi sindrom down
tidak dapat dibedakan dengan trisomi 21 sindrom down reguler. Studi kromosom
harus dilakukan pada setiap individu sindrom down. Jika suatu translokasi berhasil
diidentifikasi, studi orang tua harus dilakukan untuk mengidentifikasi individu normal
dengan risiko tinggi mendapatkan anak abnormal.
1,6

Etiologi
Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko tinggi), ibu-ibu di atas 35
tahun harus waspada akan kemungkinan ini. Angka kejadian Sindrom Down meningkat jelas
pada wanita yang melahirkan anak setelah berusia 35 tahun ke atas. Sel telur wanita telah
dibentuk pada saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per
satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik.

Pada saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi kurang baik
dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami pembelahan yang
kurang sempurna. Penyebab timbulnya kelebihan kromosom 21 bisa pula karena bawaan
lahir dari ibu atau bapak yang mempunyai dua buah kromosom 21, tetapi terletak tidak pada
tempat yang sebenarnya, misalnya salah satu kromosom 21 tersebut menempel pada
kromosom lain sehingga pada waktu pembelahan sel kromosom 21 tersebut tidak membelah
dengan sempurna.

Faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom adalah:
1. Umur ibu: biasanya pada ibu berumur lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu
ketidak seimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh
2. Kelainan kehamilan
3. Kelainan endokrin pada ibu: pada usia tua dapat terjadi infertilitas relative, kelainan
tiroid.
7,14


Epidemilogi
Frekuensi sindrom down berkorelasi dengan umur si ibu. Sindrom down terjadi pada 0,04%
anak yang dilahirkan oleh wanita yang berumur di bawah 30 tahun. Resiko tersebut
bertambah menjadi 1,25% terhadap ibu yang berumur sedikit di atas 30 tahun dan bahkan
lebih tinggi lagi terhadap ibu yang berumur lebih tua.

Trisomi 21 terjadi pada semua daerah di dunia dan pada semua kelompok ras. Prevalensinya
adalah 1 dalam 700 kelahiran hidup. Insidensi ini dan aneuploidi kromosom lain meningkat
seiring dengan meningkatnya usia ibu; insidennya adalah 1:2.000 pada usia 20 tahun dan 2-
5% sesudah usia 40 tahun. Pada baak konsepsi, trisomi 21 menyebabkan aborsi spontan. Pada
kehamilan 20 minggu, janin dengan trisomi 21 hanya mempunyai sedikit temuan-temuan
fenotip yang mendukung diagnosis; namun pada bayi cukup bulan, kebanyakan bayi yang
terkena mempunyai manifestasi klinis yang memberi kesan diagnosis.
8

Patofisiologi
Untuk trisomi 21 (47, XX+21 atau 47,XY+21), penanda sitogenik atau molekular yang
membedakan antara salinan kromosom 21 dari ibu atau ayah dapat digunakan untuk
membedakan apakah salinan tambahan kromosom 21 berasal dari sel terlur atau sel sperma.
Tidak terdapat perbedaan klinis yang nyata antara dua tipe individu trisomi 21 ini, yang
mengisyaratkan bahwa gametic imprinting tidak berperan penting dalam patogenesis sindrom
down. Jika kedua salinan kromosom 21 yang dibawa oleh masing-masing orang tua dapat
dibedakan, biasanya dapat diketahui apakah proses nondisjunction yang menyebabkan
kelainan gamet, terjadi selama anafese meiosis I atau meiosis II. Studi-studi semacam ini
memperlihatkan bahwa sekitar 75% kasus trisomi 21 disebabkan oleh tambahan kromosom
ibu, dan bahwa selotar 75% proses nondisjunctuon (baik dari ibu maupun ayah) terjadi
selama meiosis I, dan bahwa proses nondisjunction dari ibu dan ayah meningkat seiring
dengan pertambahan usia ibu.

Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mengapa insidens sindrom down meningkat
seiring dengan pertambahan usia ibu. Sebagian besar perkembangan sel benih pada wanita
terselesaikan sebelum lahir; oosit terhenti perkembangannya pada profase meiosis I (stadium
dictyotene) selama trimester kedua gestasi. Salah satu teori menyatakan bahwa kelainan
biokimiawi yang mempengaruhi kemampuan pasangan kromosom untuk memisah secara
normal, menumpuk di sel-sel ini seiring dengan waktu dan bahwa, tanpa sumber sel terlur
baru yang segar, proporsi telur yang mengalami nondisjunction meningkat seiring dengan
pertambahan usia ibu. Namun, hipotesis ini tidak menjelaskan mengapa insidens trisomi 21
dan peningkatan usia ibu juga berlaku untuk proses nondisjunction pada ayah.

Hipotesis lain mengusulkan bahwa perubahan struktural, hormonal, dan imunologis yang
terjadi di uterus seiring dengan pertambahan usia menghasilkan lingkungan yang tidak
mampu menolak pertumbuhan mudigah yang cacat. Karena itu, uterus yang tua lebih besar
kemungkinannya menunjang konseptis trisomi 21 hingga aterm tanpa bergantung pada siapa
(ibu atau ayah) yang memberi tambahan kromosom. Hipotesis ini dapat menjelaskan
mengapa kesalahan nondisjunction ayah meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu.
Namun, hipotesis ini tidak menjelaskan mengapa insidens sindrom down akibat tata-ulang
kromosom tidak meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu.

Berbagai hipotesis ini tidak saling menjatuhkan, dan kombinasi berbagai faktor dapat
berperan dalam hubungan antara insidens trisomi 21 dan peningkatan usia ibu. Sejumlah
faktor lingkungan ddan genetik diduga berperan dalam pembentukan sindrom down,
termasuk pajanan kafein, alkohol, tembakau, radiasi, dan kemungkinan adanya satu atau lebih
gen yang mempermudah terjadinya nondisjunction. Meskipun kemungkinan-kemungkinan ini
sulit disingkirkan dari pertimbangan sebagai faktor minor, tetapi tidak terdapat bukti bawah
salah satu dari faktor ini berperan dalam sindrom down.

Risiko rekurensi untuk trisomi 21 tidak berubah bermakna dengan pernah memiliki anak
yang mengidap kelainan ini. Namun sekitar 5% kariotipe sindrom down memiliki 46, dan
bukan 47, kromosom akibat translokasi robertsonian yang biasanya mengenai kromosom 14
atau 22. Seperti telah dijelaskan, jenis kelainan ini tidak berkaitan dengan peningkatan usia
ibu; namun, pada sekitar 30% individu tersebut, evaluasi sitogenik atas orang tua
memperlihatkan apa yang disebut sebagai tata-ulang seimbang (balanced rearrangements)
seperti 45,XX,+t(14q;21q). Karena kromosom translokasi robertsonian dapat berpasangan
dengan kedua komponennya. Kedua kromosom akrosentrik tunggal. Kemungkinan segregasi
yang menghasilkan gamet tak seimbang menjadi bermakna dan resiko rekurensi bagi orang
tua dengan kariotipe abnormal jauh lebih besar daripada resiko tersebut untuk trisomi 21.
11

Gambaran klinis
Penyakit ini biasanya dicurigai pada periode perinatal oleh adanya gambaran wajah yang
khas dan dismorfik seperti brakisefali, lipatan epikantus, telinga kecil, alur transversal di
telapak tangan, dan hipotonia. Sekitar 50% anak yang terkena mengalami defek jantung
kongenital, yang datang berobat pada periode perinatal dini karena masalah kardiorespirasi.
Kecurigaan kuat akan penyakit ini berdasarkan pengamatan klinis biasanya dipastikan dengan
penentuan kariotipe dalam 2-3 hari .

Banyak kelainan minor dan mayor dijumpai pada sindrom down, tetapi dua pasien yang
terkena jarang mengalami rangkaian kelainan yang sama, dan banyak kelaian tunggal yang
dijumpai pada orang yang tidak mengidap sindrom down. Contohnya, insidens alur
transversal di telapak tangan pada sindrom down adalah sekitar 50%, yaitu sepuluh kali lipat
insidens tersebut pada populasi umum, tetapi sebagian besar orang yang memiliki hanya alur
transversal di telapak tangan tidak mengidap sindrom down atau penyakit genetika lain.

Riwayat alami sindrom down pada masa kanak-kanak terutama ditandai oleh keterlambatan
perkembangan, retardasi pertumbuhan, dan imunodefisiensi. Keterlambatan perkembangan
biasanya sudah tampak pada usia 3-6 bulan sebagai kegagalan mencapai tahapan-tahapan
penting perkembangan sesuai usia dan mempengaruhi semua aspek fungsi motorik dan
kognitif. IQ rata-rata antara 30 sampai 70 dan menurun seiring dengan pertambahan usia.
Namun, derajat retardasi mental pada orang dewasa dengan sindrom Down cukup bervariasi,
dan banyak pengidap dapat hidup semi-independen.

Salah satu gambaran klinis yang paling prevalen dan dramatis pada sindrom Down adalah
kemunculan dini penyakit Alzheimer, namun belum terlihat sampai masa dewasa. Meskipun
demensia yang nyata tidak seccara klinis dapat terdeteksi pada semua orang dewasa dengan
sindrom down, tetapi insidens kelainan neuropatologis yang khas seperti plak senilis dan
neurofibrillary tangles mendekati 100% pada usia 35 tahun.

Kausa utama morbiditas pada sindrom down adalah penyakit jantung kongenital, infeksi dan
leukemia. Usia harapan hidup sebagian besar bergantung pada adanya penyakit jantung
kongenital; kelangsungan hidup hingga usia 10 sampai 30 tahun masing-masing adalah
sekitar 60% dan 50% untuk pasien dengan penyakit jantung kongenital dan masing-masing
sekitar 85% dan 80% untuk mereka yang tidak mengidap penyakit jantung kongenital.
8,11

Komplikasi
Defek congenital jantung atau organ lain sering terjadi berkaitan dengan sindrom Down.
Risiko leukemia dapat meningkat pada anak pengidap sindrom Down. Hal ini berkaitan
dengan pengamatan bahwa sebagian bentuk leukemia tampaknya diwariskan melalui
kromosom 21.
Timbulnya penyakit Alzheimer pada decade ke4 atau ke5 kehidupan, sering dijumpai
pada pengidap sindrom Down. Hal ini berkaitan dengan pengamatan bahwa Alzheimer
dapat timbul secara parsial akibat defek pada kromosom 21.
6


Tatalaksana
Penanganan sindrom Down meliputi pembedahan untuk mengoreksi defek jantung dan
kelainan kongenital terkait, pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang kambuhan,
pembedahan plastik untuk mengoreksi trait fasial yang khas (khususnya untuk mengoreksi
lidah yang menjulur keluar; kemungkinan memperbaiki wicara, menurunkan kerentanan
terhadap karies dentis, dan mengurangi frekuensi terjadi persoalan ortodonsi), program
intervensi yang dini dan terapi suportif untuk memaksimalkan kemampuan mental serta fisik,
terapi penggantian hormon tiroid untuk mengatasi hipotiroidisme.

Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat diatasi dengan pengurangan
konsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik.

Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia, kejang dan stroke.
Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan
memberi perhatian pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak.

Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan pergaulan. Yaitu dengan
memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk memberi
pendidikan dasar juga harus diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan
sebagainya. Halhal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu diperhatikan,
contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas.
10

Pencegahan
Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan sangat
membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga
sebagai homologous recombination sebuah gen dapat dinonaktifkan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan.
Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau
mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau
perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan
sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan
kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang
harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat
disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk
terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan
analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin
pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air
ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
10


Prognosis
44 % syndrom down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14 % hidup sampai 68 tahun.
Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan
80 % kematian. Meningkatnya resiko terkena leukimia pada syndrom down adalah 15 kali
dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup
setelah umur 44 tahun.
9

Kesimpulan
Hipotesis diterima. Anak ibu A gestasi 6 minggu itu menderita sindrom down. Hal ini
dipertegas karena saudara perempuan ibu A tersebut melahirkan bayi perempuan dengan
sindrom down. Untuk mengetahui jenis sindrom down yang diderita perlu dilakukan analisa
tes kromosom. Jenis sindrom down dibagi menjadi dua, yaitu sindrom down trisomi 21 dan
sindrom down translokasi.

Daftar Pustaka
1. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom. Dalam: Genetika manusia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2008. h. 259-71.
2. Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi 20. Volume
1. Jakarta: EGC; 2006. h. 340-2.
3. Behrman RE, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi.15. Volume 1. Jakarta: EGC;
2000. h. 392-33.
4. Matondang C S, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisik pada anak. Edisi 2.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2003. h. 3-8, 29-36.
5. Purwaka BT, Aditiawarman. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan janin.
Dalam: Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo. Edisi 4. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo; 2009. h. 736-44.
6. Price SA. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume 1.
Jakarta: EGC; 2005. h. 26-7.
7. Alpers A. buku ajar pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 3. Jakarta: EGC; 2006. h.
1857-8.
8. Behrman RE, Kiegman M. Esensi pediatri nelson. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2010. h.
791-2.
9. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2008. h. 240-1.
10. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2000. h. 49-50.
11. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis.
Edisi 5. Jakarta: EGC; 2010. h. 25-8
12. Benson RC. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2008. h. 224-5.
13. James J, Baker C, Swain H. Prinsip-prinsip sains untuk keperawatan. Jakarta:
Erlangga; 2008. h. 104-5
14. Campbell NA, Reece JB. Biologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2010. h. 323.

You might also like