1. Perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 dihadapkan pada masalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dan kerangka peraturan yang ada
2. Awalnya industri biofuel banyak mengandalkan CPO untuk biodiesel namun fluktuasi harga CPO menimbulkan ketidakpastian bagi investor
3. Berbagai tantangan seperti persaingan sumber daya untuk pangan dan bahan baku, serta dampak lingkungan masih perlu diatasi untuk me
1. Perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 dihadapkan pada masalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dan kerangka peraturan yang ada
2. Awalnya industri biofuel banyak mengandalkan CPO untuk biodiesel namun fluktuasi harga CPO menimbulkan ketidakpastian bagi investor
3. Berbagai tantangan seperti persaingan sumber daya untuk pangan dan bahan baku, serta dampak lingkungan masih perlu diatasi untuk me
1. Perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 dihadapkan pada masalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dan kerangka peraturan yang ada
2. Awalnya industri biofuel banyak mengandalkan CPO untuk biodiesel namun fluktuasi harga CPO menimbulkan ketidakpastian bagi investor
3. Berbagai tantangan seperti persaingan sumber daya untuk pangan dan bahan baku, serta dampak lingkungan masih perlu diatasi untuk me
Masalah luas terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya
pemerintah pada kebijakan dan kerangka peraturan yang ada.
SEJAK tahun 2005, pemerintah Indonesia telah membuat perencanaan untuk mempromosikan bahan bakar nabati (biofuel). Hal ini sebenarnya lebih ditekankan pada biodiesel dibandingkan dengan bioetanol, untuk pembangkit tenaga listrik dibandingkan untuk kendaraan bermotor. Peluang jangka panjang di Asia untuk biofuel juga termasuk biofuel untuk kendaraan bermotor dibanding untuk pembangkit tenaga listrik dan begitu juga bioetanol dibanding dengan biodiesel, akan sama seperti perkembangan di Brasil. Ketidakseimbangan ini mungkin akan terlihat lebih jelas ketika teknologi biofuel generasi kedua berjalan dalam proses. Sejauh ini industri biofuel di Indonesia dan Malaysia bergantung pada minyak mentah kelapa sawit (CPO) untuk menghasilkan biodiesel. Ini mencerminkan bahwa kedua Negara tersebut menghasilkan 70% dari seluruh hasil CPO di dunia. Secara teori, sekitar 40 % hasil tersebut bisa dijadikan biofuel. Dengan tingkat produksi Industri CPO seperti itu, bukan hal yang mengagetkan apabila Indonesia berencana akan menghasilkan 2,41 juta kiloliter biodiesel di tahun 2010, bersamaan dengan 1,48 juta kiloliter bioetanol, seperti yang diungkapkan oleh Imelda Maidir (The Jakarta Post, 19/1/09). Indonesia telah menandatangani perjanjian investasi senilai US$12,4 miliar dengan 59 investor asing dan lokal untuk mendorong produksi CPO untuk biodiesel. Tetapi, sinyal-sinyal terhadap investor untuk tetap tertarik sedikit terganggu dengan adanya fluktuasi yang liar pada harga CPO yang menimbulkan masalah. Pada Bulan Januari 2008, tingginya harga CPO menjadikan harga biodiesel menjadi teramat mahal. Pemimpin Asosiasi Penghasil Biofuel Purnadi Djojosudiro menjelaskan, hancurnya tingkat permintaanlah yang menyebabkan 17 perusahaan biofuel menunda investasinya. Deputi direktur marketing Pertamina Hanung Budia mengatakan, biodiesel memerlukan subsidi yang sama halnya dengan bahan bakar diesel. Pada akhir tahun 2008, pasar modal dan harga minyak dan harga CPO turun, dengan rendahnya harga minyak menyebabkan CPO biodiesel dan bioetanol tidak dapat bersaing, dan akhirnya penghasil CPO kecil terpaksa keluar/terlempar dari pasar. Awal ketergantungan pada CPO untuk biodiesel boleh jadi merupakan langkah yang tepat terhadap kondisi Indonesia atau bisa jadi suatu awal yang tidak tepat. Ketersediaan pangan yang lain telah terbukti lebih dapat bertahan. Biofuel memang menarik karena bisa berkontribusi untuk pengamanan energi, pembangunan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan dan diharapkan bisa membantu untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan polusi udara. Di negara-negara berkembang mendapat efek gas rumah kaca dan mengikuti naskah perjanjian Kyoto. Di negara-negara berkembang dapat mengurangi jumlah impor minyak. Bagaimanapun juga percepatan pada biofuel bisa tanpa hasil jika tidak mempertimbangkan pada tingkat keberlangsungan produksinya (Lihat Kebijakan Perubahan Iklim di Asia -IGES - 2006). Laporan ini menyimpulkan ada kekhawatiran yang cukup besar bahwa biofuel dapat berdampak buruk pada ketahanan pangan (Graham-Harrison 2005), dapat mengurangi ketersediaan air (AFP 2007), polusi air yang lebih buruk (englehaupt 2007) atau secara nyata meningkatkan dampak gas efek rumah kaca (Searchinger 2008) dan juga berdampak negatif pada biodiversiti (Pearce 2005). Produksi biofuel bisa jadi memerlukan lebih banyak energi daripada energi yang dihasilkan (Lang 2005). Masalah yang lebih luas lagi terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya pemerintah terhadap kebijakan dan kerangka peraturan (termasuk dampak negatif dari subsidi pada bahan bakar fosil), ketidakpastian pada harga dan pasar-terutama pada krisis keuangan global dan fluktuasi pada harga komoditi baru-baru ini. Persaingan antara pasar ekspor dan domestik dan masalah yang terkait pada harga dan kewajiban untuk persediaan domestik, menghadirkan isu yang serupa terhadap sumber energi lainnya di mana ekspor sedang berkompetisi dengan pasar domestik baru (seperti batubara dan gas). Kemungkinan konflik-konflik terhadap penggunaan lahan dan penggunaan bahan pangan untuk menghasilkan biofuel, berpotensi untuk membuat lebih buruk permasalahan pada lingkungan dan kemungkinan untuk kehilangan hutan lindung, kehilangan keanekaragaman hayati dan penurunan dataran juga menjadi penyebab dan juga harus dicari penyelesaiannya. Direktur Jenderal Minyak & Gas Dr Ing Evita Legowo, pada akhir 2007 menjelaskan, pemerintah diharapkan dapat menciptakan 3,5 juta lapangan pekerjaan dari pengembangan biofuel pada tahun 2010, yang akhirnya dapat meningkat menjadi 40 juta lapangan pekerjaan di daerah pedalaman. Biodiesel telah dijual di 200 SPBU di Jakarta. Lebih dari 24 pembangkit tenaga listrik sudah menggunakan biodiesel pada tahun 2007, tetapi untuk terus sebagai penyedia bahan bakar seringkali menjadi masalah. Usaha untuk mempromosikan perkembangan dan keberlangsungan biofuel harus dilakukan dengan memperbaiki koordinasi dari penelitian yang berbasis pada pengembangan biofuel melalui kerja sama antara peneliti, sektor swasta, dan pemerintah tentunya. Keberlangsungan biofuel di Asia sangatlah perlu untuk diperjelas sehingga proses yang berjalan mulai dari persediaaan pangan, produksi dan distribusi ke pasar dengan harga yang wajar, bisa direncanakan dan dipromosikan sebagai satu mata rantai, mengacu pada hubungan yang saling terkait seperti halnya informasi yang diberikan pada keuntungan dan kerugiannya. Penulis adalah ekonom, berdomisili di Jakarta. Menulis tentang modernisasi dalam dunia Muslim, investasi dan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa dan Islamic Banking. Seperti yang diberitakan oleh Bisnis Indonesia Online Senin 22 Oktober 2007 bahwa Industri biofuel (minyak nabati), yang bersumber dari minyak sawit mentah (CPO), nasional terpaksa menghentikan kegiatan produksi mereka sejak 2 bulan terakhir, karena harga bahan baku yang terus bergerak naik hingga melampaui US$800 per ton. Kenapa bias seperti itu? Menurut menurut Bapak Didik Purwadi pengampu mata kuliah kuliah analisa sistem, ternyata kelemahan dari pengembangan bioenergi dari CPO adalah karena bahan baku CPO yang digunakan merupakan bahan baku pangan sehingga persaingan permintaan bahan bakunya bersaing dengan industri pangan seperti industri minyak goreng yang berakibat naiknya harga CPO. Tidak heran akhir-akhir ini pemerintah pusing akan kenaikan harga CPO yang berimbas pada kenaikan harga minyak goreng.Kasus biofuel dari etanol tidak jauh berbeda dengan kasus biofuel dari CPO. Kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati Alhilal Hamdi juga menyatakan, keterbatasan etanol untuk memenuhi bahan bakar menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia, jadi rebutan dengan dengan industri lain. Etanol di Indonesia masih digunakan untuk industri alkohol atau industri lain seperti rokok dan plastik, paparnya (indobic.or.id). Para produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Etanol Indonesia menghasilkan kualitas fuel grade ethanol atau kadar etanolnya 99 persen. Rencananya etanol ditawarkan seharga Rp 5.300 per liter. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan produsen lain. Saat ini, mengacu pada Mid Oil Pods Singapura, harga etanol mencapai Rp 7.000 per liter. Akan tetapi, mengingat volume kebutuhan untuk bahan bakar jauh lebih besar, maka produsen berani menawarkan harga lebih rendah bagi Pertamina. Lalu apa yang terjadi pada bioenergi dari jarak pagar? Saat terjadi lonjakan harga bahan bakar minyak pemerintah mewanti-wanti para peneliti untuk mengembangkan energi alternatif yang bernama biofuel. Tidak tanggung-tanggung, banyak daerah di indonesia yang mempunyai lahan kosong di instruksikan untuk menanam jarak pagar untuk keperluan bioenergi. Tetapi sekarang gaung tentang jarak pagar sebagai energi alternatif semakin melemah bahkan hilang. Ternyata kendala yang saat ini dihadapi antara lain kendala musim, yaitu tanaman jarak pagar hanya bisa dipanen dua kali dalam setahun. Selain itu, minyak yang dihasilkan dari biji jarak cukup sedikit. Setelah diproses, minyak yang dihasilkan dari setiap biji jarak hanya sekitar 30%. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan biodiesel dalam jumlah yang besar dibutuhkan areal penanaman dalam skala yang lebih luas. Dalam setiap hektare, jumlah tanaman jarak pagar sekitar 2.000 2.500 pohon. Lalu?
Berikut adalah beberapa info menarik mengenai keunggulan dan kelemahan biofuel.
1. Biofuel adalah cairan yang berasal dari biomassa, terutama dari bahan nabati. Bentuk biofuel yang paling populer adalah biodiesel dan bioetanol. Banyak orang melihat biofuel sebagai pengganti sempurna untuk bahan bakar fosil, karena biofuel lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil. Biofuel baru-baru ini mendapatkan popularitas di berbagai belahan dunia. Ada tiga generasi biofuel: biofuel generasi pertama (terbuat dari gula, tepung, minyak makan, atau lemak hewan), biofuel generasi kedua (terbuat dari non-tanaman pangan), dan biofuel generasi ketiga (terbuat dari ganggang). Biofuel merupakan bahan bakar terbarukan yang cukup menjanjikan. Biofuel dapat secara luas didefinisikan sebagai padatan, cairan atau gas bakar yang mengandung atau diturunkan dari biomassa. Definisi yang lebih sempit mendefinisikan biofuel sebagai cairan atau gas yang berfungsi sebagai bahan bakar transportasi yang berasal dari biomasssa. Biofuel dipandang sebagai bahan bakar alternatif yang penting karena dapat mengurangi emisi gas dan meningkatkan ketahanan energi. Penggunaan minyak nabati (BBN) sebagai bahan biofuel sebenaranya sudah dimulai pada tahun 1895 saat Dr. Rudolf Christian Karl Diesel mengembangkan mesin motor yang dijalankan dengan BBN. BBN saat itu adalah minyak yang didapatkan langsung dari pemerasan biji sumber minyak, yang kemudian disaring dan dikeringkan. Bahan bakar minyak nabati mentah yang digunakan pada mesin diesel buatan Dr. Rudolf Christian Karl Diesel tersebut berasal dari minyak sayur. Namun karena pada saat itu produksi minyak bumi berlimpah dan murah, maka BBN untuk mesin diesel tersebut secara perlahan-lahan diganti dengan minyak solar dari minyak bumi. Selain itu BBN yang didominasi oleh trigliserida memiliki viskositas dinamik yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Viskositas bahan bakar yang tinggi akan menyulitkan pengaliran bahan bakar ke ruang bakar sehingga dapat menurunkan kualitas pembakaran dan daya mesin. Oleh karena itu, untuk penggunaan BBN secara langsung mesin diesel harus dimodifikasi terlebih dahulu, misalnya dengan penambahan pemanas BBN untuk menurunkan viskositas. Pemanas dipasang sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar.
Ada beberapa keunggulan penting biofuel dibandingkan bahan bakar fosil, dan salah satu yang sering dibicarakan adalah bahwa 2/\.biofuel merupakan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil, karena biofuel secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan bahan bakar fosil. Bahkan ada yang mengatakan bahwa biofuel bersifat karbon netral, tapi hal ini tak selamanya benar karena dibutuhkan banyak energi untuk menumbuhkan tanaman bahan bakunya dan untuk mengubahnya menjadi bahan bakar, jadi ini pasti agak mengurangi dampak positifnya terhadap lingkungan. Namun biofuel masih jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil konvensional. Generasi kedua biofuel secara signifikan lebih ramah lingkungan daripada yang pertama, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa biofuel generasi pertama dapat mengurangi sampai 60% emisi karbon dibandingkan bahan bakar fosil, sedangkan pada biofuel generasi kedua angka ini telah naik menjadi 80%.
Keuntungan lain dari biofuel adalah keamanan pasokan. Permintaan tinggi untuk minyak bumi telah meningkatkan harga minyak, dan juga adanya masalah tertentu dalam hal pasokan seperti masalah geopolitik. Biofuel memastikan pasokan konstan karena bahan bakunya dapat tumbuh dan diproduksi di dalam negeri, tanpa perlu diimpor. Produksi biofuel juga bisa sangat menguntungkan di banyak negara yang bergantung pada produk minyak suling, bisa mengurangi biaya impor minyak yang terus meningkat, terutama untuk negara-negara berkembang. Biofuel juga memiliki potensi untuk memecahkan masalah energi di negara berkembang karena sebagian besar negara tersebut beralih ke batubara untuk memacu pertumbuhan ekonomi mereka. Batubara adalah sumber energi yang paling murah tetapi batubara juga merupakan sumber energi paling kotor, dan produksi biofuel dalam negeri di negara berkembang berarti menurunkan tingkat polusi pembangkit listrik batu bara, dan mengurangi dampaknya terhadap perubahan iklim.
4. Biofuel juga memiliki kekurangan. Biofuel secara umum memang jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil, tetapi ini tidak berarti bahwa biofuel tidak menyebabkan masalah pada lingkungan. Misalnya beberapa ahli lingkungan khawatir bahwa produksi biofuel akan menciptakan masalah pada keanekaragaman hayati, karena banyak binatang akan kehilangan habitatnya akibat lahan yang semakin banyak digunakan untuk memproduksi biofuel. Biofuel juga bisa menyebabkan masalah deforestasi yang lebih hebat di beberapa negara berkembang karena hutan terus dibuka untuk membuat jalan bagi produksi biofuel.
Biofuel generasi pertama memiliki masalah moral yang serius, berupa pasokan pangan global. Di dunia, dimana hampir satu miliar orang dilanda kelaparan, timbul pertanyaan apakah layak untuk memproduksi bahan bakar dari bahan pangan. Jika biofuel menguntungkan bagi petani, mereka mungkin akan menanam tanaman pangan untuk tujuan bahan baku produksi biofuel, yang berarti akan mengurangi jumlah bahan pangan di pasaran. Berkuranganya bahan pangan berarti harganya akan semakin tinggi, inflasi meningkat, dan tentu saja akan ada lebih banyak orang lapar di dunia. Ini adalah alasan mengapa banyak orang yang menentang produksi biofuel generasi pertama karena produksi pangan harus jauh lebih dipentingkan daripada produksi bahan bakar, terlepas dari keuntungannya yang tinggi.
Biofuel juga membutuhkan sejumlah besar air yang digunakan untuk irigasi bagi tanaman bahan bakunya, dan hal ini bisa menyebabkan masalah kekurangan air. Juga, meskipun terdapat banyak kemajuan di industri mobil, tetapi sebagian besar mobil masih belum benar- benar dirancang untuk berjalan menggunakan bahan bakar biofuel.
Demikian keunggulan dan kekurangan biofuel. Riset dan penelitian mengenai biofuel terus dilakukan. Dan kita berharap masalah-masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan biofuel akan dapat dipecahkan dan biofuel menjadi alternatif energi yang makin layak untuk umat manusia. Keinginan pemerintah menaikkan pamor biofuel untuk menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bukan langkah mustahil. Syaratnya, memberikan sejumlah insentif dari hulu-hilir sepertihalnya dilakukan Brazil yang dinilai berhasil mengembangkan energi tidak lagi pada fosil. Hal itu diungkapkan Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Djoko Supriyono di Jakarta, Selasa (24/9/2013). Menurut Djoko, energi biofuel tidak akan mati suri apabila pemerintah memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan industri sawit nasional. Cakupannya, mulai dari hulu (perkebunan) hingga hilir (pengolahan red). Menurutnya,Brazil menjadi salah satu contoh, bagaimana negara tersebut serius menerapkan biofuel dalam hal ini bioethanol (bahan bakar alkohol erbasis gula tebu) .Kebijakan yang ditindaklanjuti penerapannya menyentuh industri otomotif. Menurut Djoko,kebijakan seperti itu tentunya memberi konsekuensi terhadap potensi penerimaan fiskal pemerintah. Brazil,sebut Joko,untuk memajukan industri biofuel, menerapkan whell flexible insentif, alhasil industri semangat melakukannya.Belum cukup disitu, insentif fiskal lain yang disodorkan kepada dunia usaha lain seperti guarantaed low interest (penjaminan bunga kredit rendah), favourable ethanol prices (harga ethanol yang memberi keuntungan cukup memadai kepada dunia usaha). Joko menambahkan, pemerintah Brazil juga menerapkan pada industri penunjang.Hanya saja,dia menolak apabila pemerintah mengimplementasikan penaikkan pajak ekspor untuk memastikan produsen mendistribusikan Crude Palm Oil (CPO) . Dari hulu yang penting sebagai bahan baku kita suplai dengan harga pasr. Jadi tidak masalalah.Hanya, jangan sampai biodisel berjalan, kemudian pajak ekspor dinaikkan. Itu menjadi disinsentif di hulu, terang dia.kbc11
Biomassa adalah material yang berasal dari organisma hidup yang meliputi tumbuh-tumbuhan, hewan dan produk sampingnya seperti sampah kebun, hasil panen dan sebagainya. Tidak seperti sumber-sumber alamiah lain seperti petroleum, batubara dan bahan bakar nuklir, biomassa adalah sumber energi terbarukan yang berbasis pada siklus karbon.Biomassa bisa digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar. Briket arang, briket sekam padi, briket ranting dan daun kering adalah contoh bahan bakar biomassa yang dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar pemanas atau sumber tenaga. Nilai kalor bakar biomassa bervariasi tergantung kepada sumbernya. Pemakaian biomassa dapat memberi kontribusi yang signifikan kepada managemen sampah, ketahanan bahan bakar dan perubahan iklim. Di pedesaan, utamanya di negara-negara berkembang, biomassa dari kayu, daun, sekam padi dan jerami merupakan bahan bakar utama untuk pemanasan dan memasak. Catatan dari International Energy Agency menunjukkan bahwa energi biomassa menyediakan 30% dari suplai energi utama di beberapa berkembang. Dewasa ini lebih dari 2 juta penduduk dunia masih tergantung kepada bahan bakar biomassa sebagai sumber energi primer. Pemakaian biomassa secara langsung dapat menghemat bahan bakar fosil, akan tetapi disisi lain jika dipakai dalam ruang tanpa ventilasi yang memadai bahan bakar biomassa yang digunakan secara langsung dapat membahayakan kesehatan. LaporanInternational Energy Agency dalam World energy Outlook 2006 menyebutkan bahwa 1.3 juta orang di seluruh dunia meninggal karena pemakaian biomassa secara langsung. Selain pennggunaan secara langsung sebagai bahan bakar padat, biomassa dapat diolah menjadi berbagai jenis biofuel cair dan gas. Saat ini biofuel telah digunakan di berbagai negara, industri biofuel tersebar di Eropa, Amerika dan Asia. India, misalnya mengembangkan biodiesel dari tanaman jarak pagar (Jatropha). Kebanyakan biofuel dipakai untuk transportasi otomotif. India mentargetkan penggunaan 5% bioetanol sebagai bahan bakar transportasi, sementara cina sebagai prodesen utama etanol di Asia mentargetkan 15% bioetanol sebagai bahan bakar transportasinya pada tahun 2010. Biofuel dapat diproduksi dari sumber-sumber karbon dan dapat diproduksi dengan cepat dari biomassa.
Sebagai Negara agraris Indonesia sangat potensial mengembangkan industri biofuel nya sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman energi tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Produksi tanaman energi dari tahun ke tahun juga cenderung meningkat sehingga kita tidak perlu kawatir kekurangan sumber energi nabati ini. Sebagai contoh luas perkebunan tebu dan ubi kayu dari tahu ketahun meningkat dengan tajam. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan bahan baku pembuatan bioetanol.
Tabel 1. Potensi EBT (Biofuel) di Indonesia (diolah dari Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 2025, Lampiran B, Jakarta, 2005)
Bioetanol Bioetanol saat ini merupakan biofuel yang paling banyak digunakan. Di USA pada tahun 2004 produksi etanol (termasuk bioetanol) mencapai 3 sampai dengan 4 billion gallons dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Bioetanol adalah bahan bakar alternatif yang prospektif karena beberapa alasan seperti tidak member kontribusi pada pemanasan global, dapat dicampur dengan gasoline sampai 10% (E10) dapat dibuat dari bahan-bahan alami (biomassa) yang dapat diperbaharui (renewable) seperti ubi kayu, jagung dan buah-buahan. Sebagai pengganti MTBE (methyl tertiary butyl ether) yang potensial. MTBE adalah aditif bahan bakar (fuel additive) yang bersifat toksik dan dewasa ini banyak digunakan di beberapa negara. Bioetanol pada prinsipnya adalah etanol yang diperoleh melalui proses fermentasi sehingga dinamakan bioetanol. Bioetanol dihasilkan dari distilasi bir hasil fermentasi. Bioetanol merupakan bahan bakar nabati yang relatif mudah dan murah diproduksi sehingga industri rumahan sederhana pun mampu membuatnya. Biasanya bioetanol dibuat dengan teknik fermentasi biomassa seperti umbi-umbian, jagung atau tebu dan dilanjutkan dengan destilasi. Bioetanol dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar. Untuk bahan bakar kendaraan bermotor terlebih dahulu bioetanol harus dicampur dengan premium dengan perbandingan tertentu. Hasil pencampuran ini kemudian disebut dengan Gasohol (Gasoline Alcohol). Gasohol memiliki performa yang lebih baik daripada premium karena angka oktan etanol lebih tinggi daripada premium. Selain itu gasohol juga lebih ramah lingkungan daripada premium. Penguapan bioetanol dari cair ke gas juga tidak secepat bensin. Karena itu pemakaian bioetanol murni pada kendaraan dapat menimbulkan masalah. Tetapi masalah dapat diatasi dengan mengubah desain mesin dan reformulasi bahan bakar.
Biodiesel Biodiesel atau alkil ester bersifat sama dengan solar, bahkan lebih baik nilai cetanenya. Riset tentang biodiesel telah dilakukan di seluruh dunia khususnya di Austria, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Bahan baku utamanya antara lain minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Di Hawaii biodiesel dibuat dari minyak goreng bekas dan di Nagano, Jepang bahan baku dari restoran-restoran cepat saji telah dipakai sebagai bahan baku biodiesel. Saat ini biodiesel telah merebut 5% pangsa pasar ADO (automotive diesel oil) di Eropa. Pada tahun 2010 Uni-Eropa mentargetkan pencapaian sampai 12%. Malaysia telah mengembangkan pilot plant biodiesel berbahan baku minyak sawit dengan kapasitas berkisar 3000 ton/hari yang telah siap memenuhi kebutuhan solar transportasi. Secara keseluruhan Saat ini di dunia telah terdapat lebih dari 85 pabrik biodiesel berkapasitas 500 120.000 ton/tahun dan pada 7 tahun terakhir ini 28 negara telah menguji-coba biodiesel sebagai pengganti BBM, 21 di antaranya kemudian memproduksi. Amerika dan beberapa negara Eropa bahkan telah menetapkan Standar Biodiesel yang kemudian diadopsi di beberpa Negara berkembang. Di Indonesia biodiesel biasanya menggunakan bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil), minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, palm fatty acid distillate (PFAD) dan minyak ikan. Biodiesel dapat digunakan pada mesin diesel tanpa modifikasi. Biodiesel dibuat dengan berbagai metode. Transesterifikasi adalah salah satu teknik pembuatan biodiesel yang paling popular dewasa ini karena aman, murah dan mudah dilakukan. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena tidak memberi kontribusi kepada pemanasan global, mudah didegradasi, mengandung sekitar 10% oksigen alamiah yang bermanfaat dalam pembakaran dan dapat melumasi mesin. Keuntungan-keuntungan lain pada penggunaan biodiesel adalah mudah dibuat sekalipun dalam sekala rumah tangga (home industry) dan menghemat sumber energi yang tidak terbarukan (bahan bakar fosil) serta dapat mengurang biaya biaya kesehatan akibat pencemaran udara. Pemanfaatan sumber-sumber nabati seperti minyak kelapa dan CPO (Crude Palm Oil) baik minyak segar maupun bekas (jelantah) sebagai bahan baku produksi biodiesel juga merupakan keuntungan karena dapat membuka peluang usaha bagi petani dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM).
Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan- bahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik, sampah atau limbah biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan maupun untuk menghasilkan listrik. Metana yang terkandung di dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada batu bara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksida yang lebih sedikit. Pemanfaatan biogas memegang peranan penting dalam manajemen limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dalam pemanasan global bila dibandingkan dengan karbon dioksida. Saat ini, banyak negara maju mulai meningkatkan penggunaan biogas yang dihasilkan baik dari limbah cair, padat atau yang dihasilkan dari sistem pengolahan limbah. Komposisi gas di dalam biogas yang dihasilkan bervariasi tergantung dengan asal proses anaerobik yang terjadi. Rata-rata biogas memiliki konsentrasi metana sekitar 50%, sedangkan sistem pengolahan limbah modern dapat menghasilkan biogas dengan kadar metana berkisar dari 55-75%. Biofuel dalam waktu dekat mungkin tidak dapat menggantikan sepenuhnya energi fosil, Namun biofuel tetap akan menjadi sumber energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Pengembangan biofuel melalui penggunaan produk samping industri pertanian atau sampah menjadi energi melalui pembakaran langsung atau dikonversi menjadi biofuel tidak saja menyediakan energi alternatif terbarukan namun juga dapat membuka lapangan kerja baru. Sebagai respon terhadap perubahan kondisi global, beberapa negara membangun target konsumsi dan produksi biofuel sebagai bagian sebuah pergeseran menuju penggabungan lebih besar sumber energi terbarukan menuju bauran energi dan peningkatan ekonomi rendah karbon. Pasar besar seperti Uni Eropa, AS, dan akhir-akhir ini Brasil mewajibkan campuran biofuel. Untuk menjamin campuran biofuel memenuhi tujuan lingkungan di Uni Eropa dan AS, mereka harus memenuhi kriteria ketat keberlanjutan. Bagaimanapun, kritikus menyatakan bahwa tindakan tersebut belum memadai sebagai perlindungan terhadap seluruh rentang potensi dampak merugikan kebijakan seperti itu. Contohnya, dengan merangsang permintaan untuk apa yang disebut tanaman-pertanian-flex (yaitu tanaman yang bisa digunakan untuk beragam kegunaan, termasuk pangan), hal ini dinyatakan bisa mengalihkan pertanian pangan untuk konsumsi energi, mengancam pemenuhan pangan dan stabilitas harga. Sebagai tambahan, banyak yang berpendapat bahwa ketika perubahan lahan tidak langsung (iLUC) terjadi, banyak biofuel tidak akan memenuhi target reduksi gas rumah kaca (GRK), yang biasanya hanya dipertimbangkan terhadap perubahan lahan langsung. Sebagai respon terhadap kritik ini, pada 2013 Uni Eropa menerapkan pendekatan baru, termasuk membatasi jumlah biofuel berbasis-pangan yang bisa digunakan dan sebagai kriteria tambahan berkaitan dengan GRK yang diemisi dari iLUC. Lebih jauh lagi, banyak negara mulai mempertanyakan keberlangsungan ekonomi biofuel, sejalan dengan rendahnya harga bahan bakar seringkali membutuhkan subsidi substansial untuk menjamin bahwa produsen biofuel tidak malah mengincar pasar pangan yang lebih menguntungkan, di tengah ekspansi besar tuntutan pasar pangan. BIOFUEL HANYA MENAMBAH TEKANAN YANG ADA TERHADAP HUTAN Kekhawatiran ini, seharusnya dipandang sebagai satu perspektif. Walaupun produksi total biofuel berkembang lebih dari sepuluh kali lipat antara 2000 dan 2010, hanya 9 persen minyak sayuran produksi global digunakan untuk membuat biofuel. Di banyak negara, ethanol banyak diproduksi dari sisa molases dan bukan dari jus tebu. Oleh karena itu, hubungan antara biofuel dan jenis perubahan penggunaan lahan yang tidak diinginkan seperti deforestasi seringkali tidak langsung dan tidak dalam proporsi untuk memberi tekanan dari ujung lain pasar. Yang terakhir mendapat dorongan kuat dari tuntutan manfaat pangan mereka dan meningkatnya konsumsi daging di negara yang ekonominya bangkit seperti India dan China. Mengingat batasan penggunaan tanaman kunci bagi produksi biofuel, debat mengenai dampak terbesar ada di wilayah proyeksi. Lebih jauh, walaupun upaya analitis penting telah dilakukan sejauh ini, menduga dampak iLUC terhadap konversi hutan masih sulit dibangun dalam praktik dan masih membutuhkan perbaikan metodologis secara substansial. Sebagai tambahan, penelitian menyarankan bahwa emisi GRK yang dikembangkan dari konversi lahan untuk bahan baku biofuel bisa memerlukan beberapa dekade atau bahkan abad untuk dibalikkan. Hingga saat ini, bagaimanpun, jejak lingkungan rinci mengenai biofuel masih belum jelas. DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI BIOFUEL Dampak sosio-ekonomi lokal panen bahan baku biofuel masih sangat bervariasi dan sering bergantung pada jeni bahan baku serta besaran dan kealamian penggunaan lahan yang digantikan. Contohnya, perkebunan besar membangun lapangan kerja baru dan peluang penghasilan serta menawarkan petani kecil peluang untuk berpartisipasi dalam pasar komoditas global melalui skema pertanian kontrak. Di sisi lain, banyak perkebunan cenderung memindahkan sistem produksi lokal di wilayah di mana hak kepemilikan tidak sepenuhnya aman, memperburuk penghasilan lokal dan ketidakamanan pangan serta mengganggu relasi sosial tradisional. Menghitung dampak-dampak ini, seperti dampak lingkungan, hingga dampak spesifik pasar seperti ini sulit. Walaupun Uni Eropa dan AS telah mengadopsi persyaratan ketat keberlanjutan lingkungan, kriteria sosial masih absen. Komisi Eropa, misalnya, berpendapat bahwa inklusi kriteria sosial memunculkan isu teknis, isu administrasi dan isu terkait hukum internasional (dan oleh karena itu) tidak direkomendasikan memasukkan kriteria sosial dalam skema keberlanjutan. Argumen yang mendasari pengecualian berdasar pada asumsi bahwa dampak sosial tidak bisa dengan mudah dikaitkan terhadap muatan spesifik biofuel dan, oleh karena itu, setiap interferensi bisa memunculkan kebocoran aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini menunjukkan kompleksitas politik dan legal memperkenalkan panduan sosial dalam komoditas terkait perdagangan. Hasil dari keengganan mengatur isu sosial ekstra-teritorial, bisa menciptakan ancaman ketidakseimbangan ketika kriteria lingkungan ketat akan mendorong produsen mencari lahan yang memiliki signifikansi lingkungan lebih rendah, yang bisa berarti memiliki penggunaan lahan bernilai sosio-ekonomis. JALAN BERBEDA DIMUNGKINKAN TETAPI TIDAK SEMUANYA MEMILIKI KELAYAKAN SETARA Dalam kondisi saat ini, masih terdapat pertanyaan tak terjawab mengenai keberlanjutan biofuel dan kesulitan timbal balik antara pilihan kebijakan. Bagaimanapun, jalan baru yang tengah dieksplorasi bisa meredakan ketidakpastian dan dilema. Di bawah teknologi generasi pertama (1G), emisi dari perubahan penggunaan lahan mendominasi jejak emisi, jika emisi terjadi, sementara jejak emisi lebih rendah menggunakan kayu dan residu pertanian sebagai bahan baku. Kebutuhan berikut, teknologi konversi generasi kedua (2G) masih terlalu mahal. Biofuel 2G diturunkan tidak dari tanaman pangan seperti 1G, tetapi dari tanaman berkayu, residu pertanian, sampah dan tanaman seperti rumput. Ini bisa mengurangi kompetisi pangan- melawan-bahan bakar dan di banyak kasus tidak akan mengganti signifikansi sosio-ekonomi penggunaan lahan secara signifikan. Bagaimanapun, sementara biofuel 2G bisa berkontribusi terhadap reduksi emisi GRK, mereka masih memberi tekanan pada hutan. Lebih jauh, biofuel 2G tidak kompetitif-harga karena biaya tinggi mengubah kayu, produk tak dimakan menjadi bahan bakar. Sementara tidak menawarkan solusi sederhana, dengan kemajuan teknologi jangka-pendek, biofuel 2G pada waktunya bisa memperbaiki beberapa risiko lingkungan dan sosial terkait pengembangan biofuel 1G. TEKA-TEKI RUMIT DALAM MENINGKATKAN TATA KELOLA PENGGUNAAN LAHAN Kerumitan teknis, politik, dan ekonomi dalam mengembangkan ekonomi biofuel yang bisa berjalan dan benar-benar berlanjut mengungkap keterkaitan isu soial dan lingkungan global, ketidakstabilan pasar komoditas internasional, dan khususnya kebutuhan untuk meningkatkan tata kelola lahan dan hutan di seluruh skala berbeda. Salah satu kebutuhan utama dalam pertimbangan ini adalah untuk menghubungkan dengan lebih efektif inisitatif tata kelola publik dan perusahaan, serta kedua menghubungkan realitas lokal dalam proses global, sebagai satu jalan maju untuk membangun tata kelola inklusif multi- pemangku kepentingan dan multi-skala. Meskipun penekanan kebijakan dalam masyarakat konsumen seperti UE dan AS, beberapa negara produser mulai memainkan peranan penting, seperti dibuktikan, contohnya, dengan kemajuan di Brasil meningkatkan hukum manajemen lahan dan meningkatnya insentif kebijakan untuk pengurangan deforestasi di Amazon. Sayangnya, dalam banyak kasus, sistem tata kelola nasional di negara produsen kurang dilengkapi untuk secara efektif menangani tekanan pasar dan kelompok investor berpengaruh, dan menghadapi isu yang membutuhkan adopsi reformasi manajemen penggunaan lahan yang rumit serta struktur insentif mahal. Defisiensi ini bisa berpotensi dikompensasi oleh tata kelola perusahaan yang baik, dengan beberapa aktor swasta mengatur diri sendiri melalui sertifikasi sukarela. Komplementaritas lebih luas perlu dieksplorasi untuk memperkokoh sinergi antar sektor publik dan swasta, sejalan upaya menjamin bahwa proses global secara simultan mendukung pembangunan berkelanjutan dan pelibatan lokal.
urunnya sediaan minyak bumi memberi stimulasi signifikan bagi proses pencarian sediaan energi alternatif secara global. Fenomena ini juga mendorong banyak negara menetapkan target tentang seberapa besar energi terbarukan menjadi bagian dari geliat pembangunannya.
Sebagai teladan, negara-negara Eropa menetapkan bahwa pada tahun 2020, 10% dari bahan bakar untuk transportasi akan berasal dari biofuel (bahan bakar nabati), sedangkan Amerika Serikat mempunyai target untuk menurunkan konsumsi minyak bumi sebesar 30% dan menggantinya dengan biofuel cair berbasis biomasa.
Target-target ini memberi gambaran meningkatnya proporsi penggunaan energi terbarukan yang berasal dari biofuel. Awalnya, transisi dari minyak bumi (energi/bahan bakar fosil) ke biofuel telah dipromosikan sebagai langkah untuk menghilangkan masalah-masalah terkait minimnya sediaan minyak bumi, gas rumah kaca, dan perubahan iklim. Namun demikian, baru-baru ini, berbagai negara semakin berhati-hati dalam melaksanakan pencapaian tujuan- tujuan awal tersebut. Mereka mulai mempertanyakan kaitan antara tatalaksana proses produksi biofuel dengan potensi dampak buruk yand ditimbulkannya.
Kemudian timbul pertanyaan, apa yang salah dan mengapa target-target pengalihan dari minyak bumi ke minyak nabati dipertanyakan sebelum kemungkinan potensinya diuji dengan baik? Apakah karena ada kesalahan dalam penentuan bahan bakunya? Atau kesalahan terletak pada strategi yang kurang tepat?
Evaluasi ulang secara kritis atas manfaat dan biaya pengembangan energi terbarukan seperti dijelaskan di atas didorong oleh fakta digunakannya bahan pangan sebagai bahan baku energi dan akibat sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari pilihan tersebut.
Pemilihan bahan pangan untuk energi ini telah melahirkan situasi yang kompleks, ditambah kenyataan bahwa untuk memproduksi bahan baku energi ini beberapa pemerintah di negara berkembang memberi peluang para pengusaha untuk mengkonversi hutan alam dan mengubahnya menjadi kebun energi berbasis pertanian. Indonesia mempunyai teladan yang terang benderang mengenai ini, berjuta hektar hutan telah dialokasikan dan dibuka untuk penanaman kelapa sawit bagi kepentingan makanan dan energi. Pemerintah daerah dan institusi terkait selalu menghadapi situasi sulit antara mengembangkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau mengubahnya menjadi perkebunan sawit.
Tema-tema terkait biofuel sepertinya lebih mengemuka dalam diskusi tentang keamanan energi dan keamanan pangan dibanding dipromosikan sebagai alternatif yang lebih baik dalam program penyelamatan lingkungan. Banyak pihak di tanah air mengasumsikan bahwa semua biofuel berasal dari sawit dan bahan pangan, sehingga ramai-ramai pula menolaknya. Padahal biofuel dapat dijadikan sebagai alternatif energi yang murah dan secara bersamaan dapat menyelamatkan lingkungan.
Situasi ini telah menghambat proses pencarian dan promosi biofuel yang menyediakan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan signifikan bagi para pendukung, aktifis, dan praktisi biofuel, bahkan pada gilirannya masyarakat dan negara secara umum.
Beberapa negara, terutama anggota Uni Eropa, telah menimbang ulang tentang seberapa cepat sebaiknya mereka menggunakan biofuel sebagai pengganti minyak bumi. Penyebabnya? Karena sejuah ini belum tersedia informasi yang dapat menjawab tentang persoalan sosial dan lingkungan akibat dari pengembangan biofuel secara global. Negara-negara tersebut lantas meminta langkah-langkah verifikasi untuk memastikan bahwa biofuel yang mereka gunakan diproduksi secara berkelanjutan. Secara khusus, perhatian utama mereka difokuskan pada langkah-langkah:
* Seberapa besar penurunan emisi karbon dimungkinkan dari proses produksi etanol berbahan baku tanaman pangan (pertanian) * Besaran energi yang dibutuhkan dalam proses menanam dan memanen tanaman dibanding dengan jumlah energi terbarukan yang dihasilkan * Sejauh mana perubahan tata guna lahan terkait tingkat produksi yang cukup untuk menghasilkan makanan dan energi (yang sebelumnya berupa lahan hutan) dapat ditolerir tanpa menambah persoalan erosi dan polusi air. * Secara global, seberapa tinggi harga makanan yang dapat ditolerir ketika bahan pangan tersebut juga digunakan untuk biofuel?, dan * Jenis tanaman pangan apa saja yang akan hilang ketika para petani mengubah jenis tanamannya menjadi tanaman yang cocok untuk energi? Sejauh ini, penggunaan tanaman pangan untuk energi telah menyebabkan kekurangan pangan sekaligus menyebabkan harganya melambung tinggi. Pengaruh signifikan dari penggunaan pangan untuk energi di pasar internasional adalah tidak amannya sediaan pangan di tingkat lokal dan regional. Laporan Bank Dunia, yang diterbitkan akhir-akhir ini, menyebutkan bahwa tiga perempat dari total naiknya harga pangan di dunia disebabkan oleh penggunaan bahan pangan bagi produksi biofuel
Jika biofuel tetap dipertahankan sebagai bagian dari solusi global dalam proses penyediaan energi, terdapat kebutuhan untuk mengkaji ulang proses penetapan fokus perhatian dalam pengembangnya. Programnya perlu dilaksanakan secara lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan serta mempertahankan keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi baik di tingkat lokal maupun global.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperluas material/bahan baku yang dapat digunakan untuk memproduksi energi terbarukan. Jika proses pencarian bahan baku ini hanya difokuskan pada tanaman pertanian, akan membuat kita lalai pada fakta bahwa semua tipe biomasa dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel. Selain itu, memfokuskan diri pada jenis bahan baku tertentu akan membuat pilihan kita terbatas dan kurang dapat mencukupi kebutuhan yang ada. Situasi ini sebetulnya mudah diterima dan dicerna. Sebagai teladan, jika seluruh produksi jagung dan kedelai di Amerika Serikat dialihkan dari rantai makanan dan dibaktikan untuk memproduksi biofuel, hasilnya hanya akan menggantikan kebutuhan bensin sebesar 12% dan minyak solar sebesar 6% dari total kebutuhan.
Jelas terlihat bahwa memfokuskan diri pada penggunaan tanaman pertanian untuk memproduksi biofuel seperti teladan di atas sangatlah riskan, kita tidak akan dapat mencukupi kebutuhan energi seperti yang sekarang ini dipenuhi oleh minyak bumi. Dengan semakin naiknya kebutuhan bensin, solar, dan bahan bakar lainnya, skenario menggunakan bahan makanan sebagai pilihan dalam memproduksi biofuel menjadi kurang bijaksana. Dan karena pengembangan industri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya populasi di Indonesia, kebutuhan akan sediaan pangan meningkat pula.
Sayangnya, fokus perhatian saat ini menunjukan kecenderungan pemilihan satu jenis biomass untuk diterapkan di berbagai kawasan di dunia. Sebagai teladan, saat ini rumput-rumputan menjadi tanaman pilihan dalam memproduksi biofuel.
Terdapat beberapa alasan kenapa rumput menjadi pilihan: rumput tumbuh dengan pesat dan mampu memproduksi biomasa dua kali lipat pertahunnya dibanding dengan jenis tanaman lain, selain itu hanya sedikit material minyak bumi yang diperlukan untuk menumbuhkan sebagian besar spesies rumput-rumputan, sehingga pengurangan emisi karbonnya lebih tinggi dibanding tanaman lain.
Namun, terdapat beberapa masalah signifikan dalam penggunaan rumput sebagai bahan baku biofuel. Banyak spesies rumput dikenal sebagai invasive species dan kemampuan mereka berkembangan dengan cepat menunjukkan kedigjayaannya sebagai tanaman yang cepat beradaptasi. Situasi ini membahayakan tanaman asli lokal, yang dapat tersingkir oleh rumput tersebut di habitat aslinya. Di sisi lain, persoalan meningkatnya konversi hutan tidak dapat dihilangkan hanya karena pertumbuhan rumput ini cepat. Fakta lain menunjukkan bahwa tidak seluruh area di dunia ini cocok untuk menjadi media tanam bagi rumput.
Kunci utama dari penyelesaian masalah ini adalah bahwa seluruh sumber potensi biomass yang dikelola secara berkelanjutan sebaiknya dapat didayagunakan bagi pengembangan energi terbarukan. Pertimbangan utama lainnya terletak pada ketersediaan biomass tersebut secara lokal.
Kita selayaknya mengubah haluan; dari menggunakan tanaman pangan atau rumput ke arah penggunaan biomass dari hutan dan/atau tanaman perdu yang proses pemanenannya tidak perlu melalui konversi hutan dan tidak menggangu rantai makanan.
Meskipun penggunaan kayu (biomasa hutan) untuk energi meningkat, para pengambil keputusan masih ragu-ragu untuk mengusulkan penggunaan biomasa hutan dan perdu untuk memproduksi biofuel. Penyebab utamanya terletak pada kenyataan bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk di dunia masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Selain itu, FAO pada tahun 1998 melaporkan bahwa sediaan kayu bakar sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan riil di negara-negara tropis.
Dengan tersedianya teknologi lanjutan, biomasa hutan dapat diubah menjadi bahan bakar cair. Efisiensi produksinya pun tinggi, produksi metanol dari biomasa hutan bervariasi dari 45- 57%. Prosentasi ini jauh melampaui prosentasi yang dapat dicapai oleh energi yang dihasilkan dari kayu bakar. Situasi ini memberi sinyal bahwa kita dapat mengganti kayu bakar yang tidak efisien dengan sistem yang dapat menyediakan energi lebih tinggi per ton biomasa yang tersedia. Keamanan energi dapat terjamin ketika produksi energi diubah dari sistem yang tidak efisien (efisiensi ~10%) ke sistem yang dapat memberi keamanan dan ketersediaan energi bagi para pihak yang tergantung pada kayu bakar.
Sebagian literature yang tersaji sampai sejauh ini banyak menulis tentang aspek negatif dari biofuel. Argumentasi ini syah adanya sesuai dengan konteks yang dikondisikan dalam proses penulisannya. Secara global, biofuel (etanol, metanol, biodiesel, dll) memberi isyarat menjanjikan sebagai pengganti minyak bumi untuk sektor transportasi dan mengurangi terjadinya perubahan iklim. Karena bahan bakar fosil yang digunakan untuk transportasi bertanggungjawab atas hampir seperempat emisi karbon, mengganti bahan bakar fosil dengan biofuel menjadi pilihan yang masuk akal dan menarik untuk dicapai. Brazil adalah negara teladan yang sukses dalam mengubah tebu menjadi etanol yang dialokasikan bagi penunjang sektor transportasi. Mengadopsi pendekatan Brazil dengan penyempurnaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal negara masing-masing dapat menjadi pilihan strategi ke depan.
Emisi karbon dari bahan bakar fosil meningkat lebih dari 20% di antara tahun 1990 dan 2004; dan proporsi bahan bakar fosil untuk menunjang kebutuhan energi campuran (energy mix) di dunia meningkat antara tahun 2000 dan 2004. Terdapat kebutuhan mendesak untuk menggeser pola produksi energi ke sebuah sistem yang dapat mengurangi emisi karbon dan secara bersamaan bertanggung jawab secara social.
Proses pencampuran bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati belum sepenuhnya sukses memberi tempat bagi penggunaan bahan bakar nabati secara signifikan, porsi bahan bakar nabatinya masih rendah. Di sisi lain, praktek ini juga belum berhasil dalam menurunkan emisi karbon dalam proses produksi maupun pemanfaatan biofuelnya.
Pengubahan tren yang berbeda dengan praktek saat ini dapat memberi rasa optimisme dalam pengembangan dan penggunaan biofuel, namun situasi ini hanya mungkin terjadi jika bahan bakunya berasal dari biomasa yang berdampak negatif kecil terhadap sosial dan lingkungan. Selain itu, perlu diingat bahwa biomass yang cocok di suatu daerah belum tentu sesuai ditanam di daerah lain. Setiap daerah mempunyai kekhasan tersendiri dalam proses penentuan jenis biomasa dan masalah-masalah yang terkait langsung dengannya.
Dalam makalah yang diterbitkan journal Renewable Energy, potensi peran biofuel (bio- methanol) yang diproduksi dari kayu dan dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dipaparkan dan didemonstrasikan di Amerika Serikat bagian barat. Ketika bio-metanol digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil, total emisi karbon dapat dikurangi sebesar 22,8% sampai 80,7%. Penggunaan biometanol dari kayu (biomasa hutan) juga akan mengurangi potensi kebakaran hutan dan sekaligus dapat menjadi alternatif menarik sediaan listrik murah di pedesaan.
Akhir-akhir ini, pergolakan sosial terjadi di Meksiko karena jagung yang diproduksi di sana diekspor ke Amerika Serikat untuk kepentingan industri etanol. Hal ini terjadi karena harga jual jagung di Amerika Serikat lebih tinggi dibanding di Meksiko. Pada tahun 2007, Uni Eropa memutuskan untuk mengevaluasi kebijakan impor CPO (crude palm oil) dari Malaysia bagi karena dikhawatirkan terjadi kaitan yang erat antara peningkatan deforestasi dengan penyediaan bahan baku untuk industri biodiesel mereka. Keputusan ini juga didorong oleh perhatian atas sintasan (daya survival) masyarakat tempatan yang hidupnya tergantung kepada kepada sumber daya hutan secara langsung.
Dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam proses produksi biofuel akan menentukan peran bioful dalam sediaan energi di masa depan. Biofuel yang diproduksi dari bahan makanan penting atau menyebabkan kehancuran hutan kurang dapat diterima, baik oleh masyarakat tempatan maupun oleh masyarakat dunia
Kuntum) - Penantian masyarakat Indonesia akan semakin lama dalam menunggu biofuel sebagai sumber bahan bakar utama di tengah ketidaksiapan pemerintah dalam mempersiapkan sumber energi nabati itu Terdapat dilema antara menyediakan ladang sebagai biofuel atau pemenuhan bahan pangan, kata Unggul Priyanto, Deputi Kepala Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Harga jual bahan mentah biofuel lebih tinggi bila diekspor daripada dijual di dalam negeri. Itulah yang menyebabkan produsen biofuel lebih tertarik mengekspor daripada menjualnya di negeri sendiri. Kenyataan itu membuat suplai biofuel dalam negeri sedikit. Harga bahan baku biofuel bergantung pada harga BBM, bila naik maka biofuel otomatis naik, kata Unggul. Belum lagi, harga biofuel tidak akan menjadi lebih murah karena selalu bersaing dengan bahan pangan seperti tebu, bahan baku gula dan penyedap masakan. Dibutuhkan campur tangan pemerintah bila memang ingin mengembangkan biofuel sebagai sumber energi utama. Seperti pemberian subsidi bagi produsen minyak nabati itu agar mau menjual produk mereka di dalam negeri. Pilihan sulit bagi pemerintah mengingat harga bahan bakar minyak lemak nabati yang relatif mahal dari pada bahan bakar fosil. Tentu saja subsidi akan semakin ulit dilakukan. Selama ini, bahan bakar fosil masih menjadi pilihan utama penggerak energi nasional karena sudah terlanjur tergantung. Indonesia harus bisa belajar dari Brasil yang mampu memproduksi biofuel secara mandiri. Negara di Benua Amerika Selatan itu mampu meningkatkan produksi tebu sebagai bahan mentah biofuel. Negeri Samba itu dapat memciptakan sumber energi secara mandiri dari tebu. Sampai mereka menyingkirkan bahan bakar fosil dari peredaran diganti dengan biofuel. Pemberian subsidi Pemerintah Brasil mampu membuat produksi biofuel dalam negerinya berkembang. Bagi Indonesia sendiri, mensubsidi biofuel merupakan pilihan sulit mengingat harga bahan bakar minyak lemak nabati yang relatif mahal dari pada bahan bakar fosil. Bahan bakar nabati patut disambut baik untuk dikembangkan sebagai energi alternatif, namun terdapat beberapa catatan penting, kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Pusat. Pemerintah sendiri tidak berada dalam posisi siap untuk mengembangkan biofuel. Lahan pemroduksi CPO (minyak sawit) misalnya dikuasai oleh perusahaan luar seperti Astra Agro Lestari (Inggris) atau Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART dari Singapura). Harus dioptimalkan dari PT Perkebunan Nusantara sebagai BUMN yang mengurusi produksi bahan mentah biofuel, kata Direktur Eksekutif Walhi. Abetnego mengatakan, pengembangan produksi biofuel masal harus dibangun secara seksama. Karena kemungkinan besar akan terjadi proses alih fungsi hutan menjadi kebun energi secara besar-besaran. Akibatnya, luas hutan akan semakin sempit seperti terjadi pada masa kini yang banyak dibabat untuk permukiman. Pembangunan biofuel yang tidak seimbang dengan pemeliharaan hutan dikhawatirkan memunculkan masalah terganggunya keseimbangan alam. Memang maksudnya baik, tapi disayangkan bila nanti hutan terlalu banyak diubah menjadi ladang pangan ataupun biofuel, kata Abetnego. Hutan merupakan paru-paru alam yang didalamnya terdapat kekayaan hayati. Alih lahan demi ladang biofuel dapat berarti merusak hutan jika tidak ditangani secara strategis. Indonesia harus siap dengan berbagai kendala mengembangkan produksi biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil yang dapat habis karena tidak dapat diperbarui dan mencemari alam. Diperlukan desentralisasi pengelolaan lahan dan hasilnya. Sebagai contoh Kalimantan Timur (Kaltim) yang belum rata distribusi listriknya. Padahal kaltim adalah propinsi penghasil minyak bumi, kata Abetnego. Maka dari itu, tiap daerah harus mendapatkan porsi bagi hasil yang besar agar jangan sampai daerah kaya penghasil bahan baku malah tidak dapat membangun daerahnya sendiri. Perlu kedaulatan ekonomi bagi daerah, sehingga tidak ada masalah pembangunan daerah penghasil sumber daya alam, kata Abetnego. Abetnego mengatakan kedaulatan ekonomi itu berupa pembangunan ladang biofuel dari dan untuk daerah itu sendiri. Jangan sampai hasil biofuel dari propinsi di daerah malah diperuntukkan bagi Jakarta atau daerah lain. Sehingga kasus seperti Kalimantan Timur di atas tidak terjadi lagi. Bahan bakar fosil merupakan sumber energi utama bagi banyak kendaraan bermotor dan mesin yang siap atau tidak masyarakat dunia harus segera mengakhiri ketergantungan terhadap bahan bakar yang tidak dapat diperbarui itu. (Tulisan kuntum : Anom Prihantoro, Ilustrasi : Hilda)
biofuel adalah bahan bakar yang berasal dari bahan organik. contohnya jagung, keledai kedelai, gandum, sawit, tebu, dll. Biofuel dinilai cocok menggantikan minyak karena hasil gas buangannya lebih ramah lingkungan dan biofuel ini gampang diperbaharui, karena tinggal tanem aja kan tumbuhannya. Karena keungggulannya, pemakaian biofuel meningkat. Di Eropa campuran biofuel banyak dipake, sedangkan di Amerika lebih dari 80% truk dan bis kota udah mulai pakai biofuel. Biofuel mulaifamous, SPBU nya udah mulai bertebaran juga dan kendaraan khusus biofuel pun juga banyak diproduksi. Tapi penelitian berkata lain. Menurut penelitian dari Princeton University dan Nature Conservancy, biofuel yang digunakan sekarang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bbm. Selain itu biofuel juga bikin harga pangan jadi naik. Lahan-lahan yang biasanya digunakan untuk menanam tanaman pangan diganti untuk menanam tanaman penghasil biofuel. Para petani lebih memilih menanam biofuel karena lebih menguntungkan.Nah, gara-gara hal ini juga, produksi biofuel juga mengancam kelaparan di dunia. Karena naiknya harga makanan pokok, tejadi beberapa kasus bencana kelaparan yang terjadi di Bangladesh, India, dan Cina. Di Meksiko harga Tortila (makanan dari jagung) naik, di Argentina harga tomat lebih mahal dari daging. Harga susu di beberapa negara juga naik 2 kali lipat. Indonesia juga kena getahnya karena kita masih ngimpor gandum dan kedelai. Gandum adalah bahan dasar mie sedangkan kedelai untuk membuat tempe, tahu, kecap, dll. In the end, biofuel malah bikin krisis pangan gobal.
Selain krisis pangan global, biofuel juga menyebabkan berkurangnya hutan. Karena permintaan biofuel meningkat, lahan yang dibutuhkan juga meningkat. Ini menyebabkan terjadinya pembabatan hutan. Banyak hutan yang ditebang dan dibakar. Sekitar 37% hutan di negaranya Upin dan Ipin ditebang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit (penghasil biofuel). Hutan di Amazon, Kalimantan dan Sumatera juga dibakar sebagai lahan biofuel. Paru-paru dunia kita mulai berkurang, dan parahnya lagi, gas dari pembakaran hutan menambah emisi.
Sebenarnya masih ada satu solusi bahan bakar biofuel. Yaitu menggunakan limbah organik seperti tangkai jagung, dan sebagainya. Hanya saja teknologi untuk membuat biofuel dari bahan tersebut masih dalam masa pertumbuhan. Yah, semoga aja itu jadi solusi.
Bahan Kimia Terbarukan, Solusi Baru Tingkatkan Biofuel 21 Jan 2014 Biofuel masa depan mungkin akan terus disempurnakan, baru-baru ini ilmuwan menemukan kimia terbarukan yang diperoleh dari bahan tanaman. Peneliti dari University of Wiconsin berhasil mengembangkan suatu proses untuk menciptakan aliran gula matang terkonsentrasi yang akan digunakan untuk biofuel.
Energi kimia terbarukan itu ternyata berasal dari platform gula, rencana berkelanjutan akan menjadi sumber energi terbarukan di masa mendatang. Mungkin sebagian besar konsumen bahan bakar akan mengalami kesulitan dalam menjalani masa konversi, tentunya akan ada biaya tambahan atau mungkin peralatan usang tidak akan mampu menggunakan energi terbarukan. Setidaknya produk-produk mesin mendatang juga ikut menyarankan bahan bakar Biofuel seperti etanol selulosa.
Valerolactone Gamma (GVL), Bahan Kimia Terbarukan Biofuel
Beberapa tahun terakhir beberapa negera telah mengkonversi lahan pertanian untuk digunakan sebagai sumber bahan baku biofuel. Diantaranya Jerman yang telah mengeluarkan kriteria untuk memperketat pengembangan, penggunaan tanah dan produksi bahan baku organik. Kriteri Uni Eropa menyebutkan penggunaan biomassa menyepakati 25 kriteria ekologis, sehingga hutan tropis, rawa dan sabana tidak boleh diambil alih fungsinya untuk dijadikan lahan pertanian.
Penetepan ini disebabkan semakin banyak produsen yang menebang hutan guna untuk meningkatkan produk biofuel karena tingginya permintaan. Salah satunya pengembangan lahan kelapa sawit dan perkebunan tebu tetapi juga merusak merusak kualitas tanah dan merugikan lingkungan manusia. Diharapkan dengan pengembangan kimia terbarukan mampu meningkatkan produksi biofuel tanpa harus memperluas lahan pertanian, terlebih mempercepat pertumbuhan tanaman dengan merusak kualitas tanah.
Pengembangan teknologi kimia terbarukan untuk mengembangkan biofuel didanai oleh National Science Foundation dan Departemen Energi AS (Great Lakes Bioenergi Research Center). Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Science pada 17 januari 2014 yang menjelaskan bagaimana mereka mengembangkan Valerolactone Gamma (GVL) untuk mendekonstruksi tanaman dan menghasilkan kimia gula yang secara biologis dapat ditingkatkan menjadi biofuel. Rencananya pada akhir tahun ini kimia terbarukan siap dikembangkan untuk biofuel.
Sumber : http://www.isains.com/2014/01/bahan-kimia-terbarukan-solusi- baru.html#ixzz3EFF228SJ Follow us: @idsains on Twitter | misterialam on Facebook Oleh karena GCL terbuat dari bahan tanaman, khususnya sumber terbarukan dan lebih terjangkau daripada metode konversi yang membutuhkan bahan kimia mahal, atau sering menggunaan enzim. Mendaur ulang GVL sangat mudah hanya dengan pemisahan energi rendah, larutan gula dihasilkan dari mikroorganisme sehingga bahan kimia sampingan tidak menghambat ragi dan tidak membuatnya beracun. Proses penggunaan kimia terbarukan mampu mengubah bahan awal 85 hingga 95 persen yang dapat diberikan pada ragi sebagai zat pembantu proses fermentasi entanol. Tim peneliti menggunakan bahan aditif karbon dioksida cair untuk membuat solusi pemisahan, hal ini terlihat seperti minyak dan cuka. Kimia terbarukan ini dianggap aman dan tidak beracun sehingga aditif bisa dipisahkan dengan cara sederhana, kemudian GVL bisa digunakan kembali. Dari segi ekonomi, proses ini menunjukkan teknologi kedepan bisa menghasilkan etanol dengan penghematan biaya sekitar 10 persen dibandingkan metode pengembangan biofuel saat ini.
Menurut James Dumesic dan Michel Boudart, mereka telah meneliti penggunaan GVL sebagai pelarut dalam konversi biomassa bahan kimia terbarukan (furan) selama beberapa tahun terakhir. Studi ini memberikan kondtribusi baru untuk landskap biofuel yang menghasilkan empat aplikasi paten dan memperoleh pengakuan atas potensi komersial GVL dari Program Accelerator WRF. Program uji ini juga membantu lisensi teknologi tinggi potensial lebih cepat dengan mengatasi rintangan tertentu dengan menargetkan dana dan saran ahli dari mentor bisnis berpengalam dibidang terkait.
Pengujian ini akan berlangsung, Program Accelerator berfungsi sebagai peneliti utama untuk proyek 18 bulan yang melibatkan pembangunan reaktor biomassa efisiensi tinggi. Tentunya pembangunan reaktor menggunakan GVL agar mampu menghasilkan aliran gula konsentrasi tinggi dan Lignin. Karbohidrat dan Lignin yang dihasilkan dari reaktor akan dikirimkan ke kolaborator ilmiah, kemudian diubah menjadi bahan kimia terbarukan berharga dan bahan bakar biofuel.
Jika proyek ini nantinya berhasil mencapai target pengurangan biaya dalam produksi gula, lignin dan etanol, banyak produsen biofuel berharap bahwa hal ini mampu membantu sektor ekonomi konsumen (khususnya daya beli) jauh dibawah harga bahan bakar fosil.
Sumber : http://www.isains.com/2014/01/bahan-kimia-terbarukan-solusi- baru.html#ixzz3EFF9yG3d Follow us: @idsains on Twitter | misterialam on Facebook Pro kontra biofuel (bahan baker nabati) nampaknya berlanjut. Tidak sedikit yang meragukan efektivitas, keekonomian dan kesinambungan lingkungan sumber energi terbarukan (ET) satu ini. Namun banyak juga yang optimis. (Foto kiri: tebu bahan bakan biofuel) Berikut adalah kisah yang mengelaborasi kedua pendapat, dicuplik secara bebas dari sebuah artikel di Worldofrenewables (http://www.worldofrenewables.com/index.php?s=4213a4e5221705fa304b4b5452529362&do=viewar ticle&artid=910&title=biofuels-and-sustainability-biofuels-boom-or-bust). Biofuel (terutama ethanol dan biodiesel) diperkirakan booming di Amerika Latin. Kawasan ini secara alamiah memiliki prospek bagus untuk pengembangan biofuel; kawasan pertanian luas, tanah subur, tenaga kerja murah. Jenis tanaman utama yang prospek adalah tebu dan kacang kedelai. Pemerintah Brazil mengembangkan biofuel sejak tahun 70an ketika harga minyak mentah melambung. Sebuah terobosan berani. Kini, 8 dari 10 mobil baru di Brazil memiki mesin fleksibel, alias dapat menggunakan BBM biasa sekaligus ethanol. Di kawasan selatan Brazil, yang merupakan pusat perkebunan tebu, kini beroperasi 400an pabrik ethanol. Konsumsi ethanol di Brazil diupayakan meningkat dari 14 Miliar liter tahun 2006 menjadi 39 Miliar liter tahun 2012. Isu ini juga merambah ke dunia olah raga. Pada musim perlombaan Formula 1 tahun 2008 ini, tim AT&T William akan menggunakan mobil menggunakan campuran biofuel, disponsori oleh Petrobras, produsen biofuel Brazil. Petrobras menyebut biofuel sebagai green gold. Selain Brazil, beberapa negara di kawasan tersebut juga mengikuti langkah sukses Brazil. Awal 2007 Argentina membuat peraturan yang menawarkan keringanan pajak dan insentif lain kepada produsen biofuel. Negara-negara Costa Rica, Colombia, El Salvador, Jamaica, Venezuela, Peru,Paraguay, Ecuador, Cuba dan Venezuela sedang memulai pengembanganbiofuel. Satu-satunya negara yang menutup pintu di kawasan ini adalahMexico. Apa kata kritikus? Pemanfaatan lahan untuk pengembangan biofuel akan menaikkan harga-harga bahan makanan yang ujung-ujungnya dapat menyebabkan kelangkaan pangan. Yang lain mengatakan upaya ini akan mempercepat deforestasi, kesulitan air dan erosi. (Foto kiri: kacang kedelai bahan baku biofuel. Sumber:http://cropwatch.unl.edu/photos/cwphoto/crop05-6soybean.jpg) Oktober 2007 Pelapor Khusus untuk PBB (UN Special Rapporteu) menyebut pengembangan biofuel sebagai kejahatan kemanusiaan karena mendorong melambungnya harga-harga sereal dan bahan makanan lain. Dia mengusulkan moratorium biofuel dalam 5 tahun ke depan dan mendesak ilmuwan mencari cara lain memproduksi ethanol selain dari tumbuhan. Seiring meningkatnya harga bahan baku pertanian, harga biofuel juga naik. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi negara-negara maju yang amat berpengaruh melaporkan kenaikan hargabiofuel 20-50 % hingga 2016. Artinya, terbuka kemungkinan harga biofueltidak jauh beda dibanding harga BBM. Jika tidak ada regulasi yang bagus, persoalan ini, plus persoalan oversupply tak dapat dihindari. Komentar saya. Keunggulan utama biofuel adalah karena dia terbarukan. Jika dikelola dengan baik, maka ketersediaannya tidak putus-putus. (Foto kiri: Jarak pagar bahan baku biofuel. Sumber:http://www.rain-tree.com/Plant- Images/Jatropha_curcas_p2.jpg) Menggantikan semua BBM dengan biofuel memang merupakan keinginan yang terlalu ambisius. Menurut saya, minimal 20 tahun ke depan, biofuel dapat memainkan peran penting dalam struktur energy mix nasional. Katakanlah sector industri diwajibkan beralih dari BBM ke biofuel. Ini baru keinginan yang realistis. Pertumbuhan penduduk yang cepat memberi tekanan pada kebutuhan ruang hidup yang lebih luas, dan pada gilirannya membutuhkan lahan yang lebih luas pula untuk memproduksi makanan. Pengembanggan biofuel secara massive memang akan bentrok dengan kebutuhan di atas. Solusinya, karena biofuel hanya akan menjadi komponen dalam energy mix, lahannya dapat menggunakan lahan kritis atau lahan marginal. Sebab sebagian besar tanaman biofuel dapat tumbuh di lahan seperti itu.
Biofuel, solusi atau menjadi masalah baru ? Akhir akhir ini kita sering mendengar & membaca Pro - Kontra tentang Biofuel, di satu sisi Biofuel dipandang sbg solusi positive (Green products, BB ramah lingkungan, etc.) & di satu sisi Biofuel dianggap menjadi masalah baru, dimana menyebabkan semakin mahalnya harga pangan & turut menyumbang emisi rumah kaca karena kebun tanaman penghasil biofuel yang didapat dari penggusuran hutan alam.
Hal ini sebetulnya tergantung bagaimana sumber Biofuel dan jenis tanamannya.
Jikalau Biofuel menggunakan bahan baku yg berasal dr tanaman / perkebunan yg dikembangkan dari konversi hutan alam maka sebetulnya ia tidak termasuk "Green item"
Idealnya Biofuel berasal dari :
1. Tanaman yg ditanam di wasteland, bukan ditanam di lahan bekas konversi hutan alam
2. Tanaman yg sifatnya non edible / bukan tanaman pangan.
BioDiesel / BioKerosene bisa disintesa dari jarak Pagar / Castor yg non edible krn bersifat racun dan juga Jarak pagar yg dapat ditanam di wasteland, dari biji kemiri dimana pohon kemiri merupakan salah 1 pohon hutan / berakar tunggang dan masih banyak lagi tanaman non edible / tanaman hutan lain yg dapat disintesa menjadi BioDiesel / BioKerosene.
Bioethanol dapat disintesa dari Nipah (palm mangrove) dimana pohon Nipah dapat ditanam di pesisir pantai yg "tandus" dalam upaya menghijaukan kembali daerah pesisir, tidak tertutup kemungkinan "Tumpang sari" antara Nipah dengan budidaya kepiting / udang / ikan air payau.
Tetapi nanti sebetulnya yg paling diharapkan adalah produksi veggie oil dari Green algae, dimana tidak membutuhkan lahan yg luas krn yield per hektarnya jauh lebih tinggi termasuk dibandingkan yield CPO sekalipun, saat ini di berbagai negara banyak riset utk pengembangan BioDiesel dr green algae yg dikombinasikan dgn proyek CO2 sequestriant dimana sumber nutrisi bagi si algae yaitu CO2 & NOx didapat dari sisa gas pembuangan PLTU .
Semoga hal2 yg baik bisa terus berkembang & bermanfaat bagi umat manusia tanpa harus menganggu keseimbangan alam & menyusahkan kaum papa.