You are on page 1of 49

Horison Baru Teori Kesantunan

Berbahasa: Membingkai yang Terserak,


Menggugat yang Semu, Menuju
Universalisme yang Hakiki
Posted on February 17, 2012
Pidato Pengukuhan Drs. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph.D. sebagai Guru Besar dalam Bidang
Linguistik pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), Universitas Pendidikan Indonesia, 21
Oktober 2008
Pidato ini kupersembahkan kepada Ema jeung Bapa
yang mengajariku berbahasa dan berpikir
Jazakumullaahu khairan katsiiran.
Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa:
Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu,
Menuju Universalisme yang Hakiki[1]

1. 1. Pengantar

Kajian tentang (teori) kesantunan berbahasa banyak menarik perhatian para peneliti bahasa, budaya,
dan psikologi sosial setelah terbit artikel Hsien Chin Hu yang berjudulThe Chinese concept of
face pada American Anthropologist (1944). Hu menyatakan bahwa konsep wajah pada masyarakat
Cina moderen sebenarnya berakar dari konsep tradisional yang dikembangkan oleh Kung Fu-tzu
(Confucianism) terkait dengan ren (nilai-nilai kemanusiaan). Pada rumusan Hu digambarkan bahwa
yang melekat pada wajah (lian atau mianzi) adalah harga diri yang diperoleh seseorang sebagai
penghargaan dari masyarakat sekitarnya. Sebagai atribut sosial, nilai-nilai sakral wajah akan
senantiasa dipertahankan para pemiliknya. Pada seseorang yang merasa memiliki wajah akan
terbersit rasa malu kalau berbuat salah apalagi nista. Sebagai pinjaman, wajah dapat kapan saja
ditarik kembali oleh masyarakat. Walaupun mengakui bahwa teori kesantunan berbahasa yang
dikembangkannya diambil dari konsep wajah Hu pascaelaborasi oleh Goffman (1959, 1967),
Brown&Levinson (B&L) (1987) merumuskan konsep wajah agak berbeda. Bagi B&L, wajah adalah
atribut pribadi yang ada pada semua masyarakat dan bersifat universal. Setiap orang dengan
sendirinya dituntut untuk memuliakan wajahnya sendiri dan wajah anggota masyarakat lainnya.
Menurut B&L, setiap orang memiliki wajah dan keinginan positif (positive face/want) serta wajah
dan keinginan negatif (negative face/want). Wajah positif terkait dengan nilai-nilai solidaritas,
ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan (camarraderri). Sementara itu, wajah negatif bermuara
pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya
penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu. Salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai
wajah tersebut adalah melalui pola komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kesantunan dan tidak
saling menyerang wajah. Kedua pandangan tentang konsep wajah di atas ternyata tidak menemukan
titik temu, sebab masing-masing berdiri pada kutub yang berbeda. Konsep wajah dari Kung Fu-tzu
lebih memperhatikan aspek-aspek/dimensi sosial, sementara B&L lebih peduli dengan dimensi
kemerdekaan individual. Lalu, Leech (1983) mencoba membuat kompromi melalui pandangannya
yang menempatkan kesantunan sebagai salah satu buah kebijaksanaan sosial seorang individu. Oleh
karenanya, Leech menempatkanTact Maxim pada tempat yang paling tinggi di antara maksim-
maksim yang dirumuskannya. Sayangnya, maksim-maksim dari Leech itu berlaku menurut hukum
tautologis, sehingga secara logika akan mudah dipertanyakan kekokohan salah satu pasangan
maksim-maksim tersebut. Dalam hal ini, Aziz (2000) menyodorkan sebuah alternatif rumusan
konsep kesantunan berbahasa yang tidak tautologis melainkan lebih berpijak pada hukum kausalitas.
Selain mempertimbangkan pre-event politeness dan on-the-spot politeness, model kesantunan
berbahasa dari Aziz dikenal dengan nama Prinsip Saling Tenggang Rasajuga
mempertimbangkan post-event politeness. Kajian lebih cermat menunjukkan bahwa prinsip
kesantunan seperti ini ternyata dibangun berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi individual, sosial
dan ilahiah/syurgawi (Aziz, 2005). Pada kesempatan Pidato Pengukuhan Guru Besar ini, akan
ditunjukkan bagaimana ketiga dimensi tersebut saling terkait dan sebenarnya menjadi dasar dan
sekaligus tujuan dari prinsip kesantunan berbahasa. Bahkan, apabila dikaji lebih jauh, ketiga dimensi
tersebut memiliki landasan teologis (selain epistimologis dan ontologis) yang
kesemestaannya/universalismenya bersifat hakiki.


1. 2. Sebuah ilustrasi

Perhatikanlah cuplikan dialog pendek berikut ini:

1. [Di sebuah terminal angkot, di antara calo dan sopir; November 2000][2]

A: Hy Dn, iraha Adn th sumping ti lembur?
Hey Den, kapan Aden datang dari kampung?
B: Alah goblog siah anjing, ti iraha sia ngalebok sakola? Kamari burit, euy!
Ah, gila kau anjing, sejak kapan kamu makan sekolahan? Kemarin sore!
A: Hahaha. Pdah w ceuk si goblog, manh rk lila di lemburna. Aya naon heueuh?
Hahaha. Itu, kata si kamu mau lama [tinggal] di kampung. Memang, ada apa sih?
B: Ah biasa w, indung budak bbja geus teu boga bekel.
Ah biasa saja, ibunya anak-anak bilang sudah tidak punya bekal.
A: Oh, sugan th aya naon. Manh ayeuna narik k nepi ka sor heueuh?
Oh, dikira ada apa. Kamu hari ini mau bekerja sampai sore, kan?
B: Heueuh
Iya

Bagaimana penilaian atau komentar Anda terhadap cara A dan B berkomunikasi? Ada kemungkinan,
sebagian Anda akan menyatakan bahwa mereka berbicara kasar, ganjil, tidak wajar, dan tidak
menunjukkan tatakrama atau sopan santun yang semestinya dimiliki oleh orang Sunda. Anda yang
memiliki penilaian seperti ini sangat mungkin beralasan dan memiliki keyakinan bahwa orang Sunda
itu lemah lembut, memiliki nilai kesopansantunan yang tinggi, dan sangat beradab. Akan tetapi,
mungkin juga ada di antara Anda yang menilai cara A dan B berkomunikasi itu sangat wajar. Dasar
berpikirnya adalah karena masing-masing antara A dan B adalah dua sahabat dekat, hidup di
lingkungan terminal yang seringkali jauh dari adab berbahasa santun, kecuali apabila bertutur
dengan para (calon) penumpang, dan menduga bahwa mereka umumnya berpendidikan rendah saja.
Tidak ada yang salah dari kedua kutub pemikiran tersebut, sebab masing-masing orang di antara kita
berpikir dan membuat penilaian menurut versi kita sendiri. Pertanyaan adalah: apa sesungguhnya
yang dimaksud dengan bertutur atau berkomunikasi secara sopan dan santun itu? Apa kriteria atau
batas-batasnya? Telah banyak kajian yang dilakukan untuk mengungkap hakikat komunikasi yang
sopan dan santun tersebut. Sejumlah teori telah disajikan. Dukungan dan sanggahan terhadap
masing-masing teori pun telah banyak disampaikan. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar ini, di
hadapan sidang yang amat terhormat ini, perkenankan saya berbagi sedikit pandangan tentang
hakikat dari dimensi kesantunan berbahasa. Gagasan yang saya sampaikan ini merupakan salah satu
hasil kontemplasi yang dilakukan sambil merujuk kepada hasil-hasil kajianyang sesungguhnya
belumpanjang terhadap fenomena berbahasa oleh para penuturnya sejak saya menyibukkan diri
untuk tahu lebih banyak tentang hal ihwal linguistik.

1. 3. Retrospeksi

Perenungan terhadap fenomena berbahasa ini saya mulai secara serius ketika memulai karier sebagai
(bakal calon) linguis di kampung Clayton, Australia. Ketika itu, saya memiliki kesempatan untuk
belajar di Department of Linguistics, Monash University (Master of Arts/MA, 1994-1996, atas
dukungan AusAID, dan Doctor of Philosophy/Ph.D., 1997-2000 atas dukungan Projek PGSM, Ditjen
Dikti, Depdiknas RI ) . Sesungguhnya, masa-masa itu sangat sulit bagi saya dan keluarga. Terutama
saat mengikuti pendidikan Ph.D. ini, keadaan menuntut saya untuk bekerja ekstra keras. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal sekali pun, saya terpaksa menjadi buruh kasar di pabrik
meubel, pabrik plastik, mengedarkan koran lokal, serta mengadu keberuntungan menjadi tukang
bakso. Pekerjaan ini saya lakoni sampai akhirnya mendapat kesempatan menjadi tutor bahasa
Indonesia di Department of Asian Languages and Studies serta tutor Linguistik pada Department of
Linguistics, Monash University. Namun, justru, pekerjaan sampingan menjadi buruh pabrik dan
menjadi tukang bakso inilah yang memberikan kesempatan sangat banyak kepada saya untuk
semakin memahami hakikat komunikasi antarpersonal, yang di dalamnya ada muatan yang layak
untuk dikaji terkait dengan nilai-nilai dalam zona kesantunan berbahasa[3]. Adapun reformulasi dan
penstrukturan pemikiran tentang fenomena dan hakikat kesantunan berbahasa ini saya lakukan lebih
lanjut di sela-sela kegiatan mengikuti program penelitian pascadoktoral di Institute of Sociology,
Shanghai Academy of Social Sciences (SASS), Republik Rakyat Cina[4] dalam periode Maret-
Desember 2004 atas dukungan dana dari Asian Scholarship Foundation (ASF), Bangkok. Untuk
masing-masing pihak yang telah memungkinkan saya dapat mengikuti proses pembelajaran yang
teramat berharga itu, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.


1. 4. Antara Sopan dan Santun

Tidak selalu mudah membedakan konsep sopan dan santun dalam berbahasa dan berprilaku, sebab
keduanya terkait amat erat dan kadang-kadang dipercaya dapat saling dipertukarkan. Walaupun
dalam kajian linguistik kesalahpahaman dalam upaya memahami kedua konsep itu kadang-kadang
juga muncul, kedua istilah yang telah lama memperoleh perhatian para pengkaji tersebut,
sesungguhnya telah dibedakan secara lebih nyata. Istilah sopan lebih banyak digunakan oleh para
linguis untuk merujuk kepada tindakan berbahasa guna menunjukkan rasa hormat penutur terhadap
mitra tutur, setelah mempertimbangkan berbagai hal yang mengharuskan penutur melakukan hal itu.
Penggunaan kata-kata sapaan Bapak, Ibu, Saudara dalam Bahasa Indonesia dan kata-kata sapaan
sejenis dalam bahasa lainnya atau undak usuk basa dalam Bahasa Sunda, misalnya, adalah contoh-
contoh cara sopan berbahasa, yang dalam istilah bahasa Inggris disebut dengan deference. Tindakan
berbahasa seperti ini lebih banyak ditujukan untuk membahagiakan mitra tutur (face-satisfying
act/FSA). Sementara itu, istilah santun[5] (berbahasa) (politeness) lebih banyak digunakan untuk
mengacu pada tindak berbahasa atau komunikasi antarpersonal guna menghindari rasa malu atau
bahkan justru dipermalukannyawajah salah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi
tersebut. Dalam pandangan Brown & Levinson (B&L) (1987), ada sejumlah tindakan yang terkait
dengan realisasi pertuturan (baca: berbahasa) yang secara hakiki memiliki potensi untuk mengancam
wajah (face-threatening act/FTA) baik penutur maupun mitra tutur. Sebut saja misalnya tindak
bahasa meminta, menolak, memohon maaf, dan lain-lain. Perhatikan cuplikan dialog berikut:

2. [Di sebuah kantor, di antara dua teman lama, tetapi yang seorang telah menjadi pimpinan]

P : Jadi, gimana kira-kira? Bisa gak kasih bantuan, pinjam beberapa hari aja lah?
Q: Bukan gak mau ngasih, tapi aku ada tagihan juga, mendesak euy!

Pada contoh b. di atas, kita melihat bahwa P dan Q masing-masing menunjukkan sebuah upaya untuk
tidak saling menekan atau mempermalukan wajah mitra tuturnya. Penutur P, misalnya, tidak
memaksakan keinginan untuk meminjam uang dengan mengungkapkan kalimat imperatif seperti
Pinjami aku uang. Demikian pula penutur Q; dia tidak langsung menolak dengan mengatakan
Tidak bisa. Alih-alih, penutur P menggunakan strategi pemagaran (hedging) gimana kira-kira
dan bisagak yang secara hakiki tidak memiliki kekuatan memaksa, dan tentu saja keputusannya
diserahkan kepada pertimbangan mitra tutur Q. Hal yang sama dilakukan oleh penutur Q. Dia tidak
menggunakan strategi langsung tembak dan mengatakan Tidak bisa, melainkan menggunakan
strategi menyandarkan alasan kepada situasi atau pihak lain yang telah membuatnya tidak bisa
meminjamkan uang kepada P, seorang teman lamanya itu, yakni dengan mengatakan aku ada
tagihan juga, yang diikuti oleh penjelasan tentang kondisi yang mendesak. Penggunaan ungkapan
bukan gak mau ngasih menambah bobot dan tingkat kesantunan penutur Q, sebab hal itu
digunakan untuk menunjukkan adanya niat baik dari penutur Q. Sampai sejauh tertentu, penggunaan
euy pun menunjukkan bahwa sesungguhnya penutur Q dan mitra tuturnya P ada hubungan yang
teramat dekat.

Sementara itu, untuk kasus komunikasi antara A dan B pada contoh a. di atas, kita melihat bahwa
penutur B sangat terkejut dengan cara A bertutur yang dianggap tidak biasa. Ungkapan iraha Cecep
sumping ti lembur dirasa terlalu santun untuk digunakan pada komunikasi antara A dan B, dua
teman dekat, di seting terminal. Oleh karena itu, penutur B langsung merespon dengan ungkapan
yang memang sudah biasa mereka pakai dalam komunikasi sehari-hari di antara mereka. Kebiasaan
ini dapat kita lihat dari cara penutur A merespon terhadap penutur B seperti terdapat pada tuturan
kedua dan ketiga. Pada paparan di sini, hanya konsep santun yang akan dibahas, sebab hal ini
memang lebih banyak mendapat perhatian para peneliti kebahasaan, khususnya bila dikaitkan dengan
komunikasi antarpersonal sehari-hari. Sedangkan istilah dan konsep sopan tidak akan dibahas
mengingat kaitan konsep ini dengan inti masalah penelitian yang telah penulis lakukan tidak terlalu
erat.

1. 5. Kajian tentang Kesantunan Berbahasa: Konsep Wajah

Seperti dinyatakan di atas, kajian tentang (teori) kesantunan berbahasa banyak menarik perhatian
para peneliti bahasa, budaya, dan psikologi sosial terutama setelah terbit artikel Hsien Chin Hu
pada The American Anthropologist (1944). Artikel ini mengaitkan konsep kesantunan berbahasa
dengan konsep wajah dalam bingkai nilai-nilai luhur masyarakat Cina tradisional yang ditemukan
dalam ide-ide Kung Fu-tzu (Konghuchu/Confucianism). Hu menyatakan bahwa konsep wajah pada
masyarakat Cina moderen berakar pada konsep tradisional Kung Fu-tzu tentang jen (hakikat
kemanusiaan). Pada rumusan Hu digambarkan bahwa wajah (lian atau mianzi) adalah representasi
dari kemanusiaan itu sendiri, ia terkait erat dan kuat dengan harga diri yang diperoleh seseorang
sebagai penghargaan yang diberikan masyarakat. Sebagai atribut sosial, nilai-nilai sakral wajah akan
senantiasa dipertahankan para pemiliknya. Sebagai pinjaman, wajah dapat kapan saja ditarik kembali
oleh masyarakat manakala masyarakat menghendakinya, yakni ketika pembawa wajah itu sudah
khianat terhadap amanah yang dititipkan masyarakat melalui wajahnya itu.

Pemertahanan dan pemuliaan wajah yang dilakukan oleh seseorang senantiasa paralel dengan
kepentingan untuk menjaga keharmonisan sosial seluruh warga masyarakat tempat mereka hidup dan
bergaul satu sama lain. Hal ini pula yang kemudian dielaborasi oleh Goffman (1967: 5), yang
menyatakan bahwa

The term face may be defined as the positive social value a person effectively claims for himself by
the line others assume he has taken during a particular contact. Face is an image of self delineated in
terms of approved social attributes albeit an image that others may share, as when a person makes
a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself.

Bagi Goffman, pemahaman terhadap konsep wajah di atas sesungguhnya terkait dengan hidup rukun
dalam bermasyarakat. Setiap anggota masyarakat akan dihadapkan pada tiga potensi terkait dengan
wajah tersebut: mendapat wajah (in-face), salah wajah (wrong-face), dan kehilangan wajah (out of
face). Seseorang dikatakan sedang mendapat wajah apabila apa yang dia upayakan untuk meraih
citra diri di hadapan masyarakatnya ternyata memperoleh pengakuan dan penguatan dari warga
masyarakat lainnya. Dalam situasi seperti ini, orang akan senantiasa memiliki rasa percaya diri dan
penuh keyakinan, terutama ketika berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, dia akan merasa aman dan
nyaman ketika dia mampu menyembunyikan atau mengatasi situasi yang memungkinannya salah
wajah sekalipun. Salah wajah akan terjadi manakala seseorang ternyata tidak mampusekalipun
telah berupaya keras, untuk menyelaraskan nilai-nilai yang diyakininya dengan tindakan nyata
yang dilakukannya. Sementara itu, seseorang dimungkinkan kehilangan wajah manakala dalam
sebuah interaksi, ternyata nilai-nilai yang diyakininya bertentangan dengan yang diyakini dan
dituntut oleh masyarakat sekitarnya terhadap dirinya. Dalam situasi salah wajah atau hilang wajah,
seseorang akan menjadi tidak aman dan nyaman, merasa malu, merasa bersalah, dan secara
emosional akan menjadi merasa (sangat) terancam. Situasi seperti ini, menurut Goffman, memiliki
potensi yang sangat kuat dalam mengganggu kerukunan dan keharmonisan komunikasi. Upaya yang
mesti dilakukan, menurut Goffman, adalah berinteraksi secara santun di antara masing-masing, baik
melalui strategi atau taktik menghindar (avoidance tactic/strategy) ataupun melalui strategi atau
taktik pembetulan (correction tactic/strategy). Strategi menghindar dilakukan dengan cara tidak
langsung terlibat dalam suasana yang akan mengancam wajah orang lain, seperti tidak terlibat pada
pembicaraan dalam topik yang sensitif, dan menghindari pertemuan-pertemuan yang memungkinkan
terjadinya ancaman terhadap wajah. Sementara strategi pembetulan ditempuh ketika sebuah
tindakan mengancam wajah orang lain telah terlanjur terjadi. Hal ini dilakukan mengingat tidak serta
mertanya strategi penghindaran dapat ditempuh. Sering kali tidak tersedia cukup waktu dan
peringatan dini yang memungkinkan seseorang dapat bersiap-siap menghindar dari situasi yang akan
mengancam wajah tersebut, sehingga diperlukan sebuah

corrective effort, in which the individual attempts to re-establish a satisfactory ritual state between
her/him and the others, with the result being a ratification of the effects of the incidents he/she may
have encountered. The ratification is expected to be able to bring any misconduct back to the line
adopted by each participant (Aziz, 2003: 171).

Di dalam ajaran Confucianism, wajah dinisbatkan dengan empat sifat, yakni relasional,
komunal/sosial, hirarkis, dan moral (Jia 1997). Sifat relasional wajah terkait dengan mekanisme
yang berlaku dalam mengatur hubungan dan perilaku antarpersonal warga masyarakat dalam
mewujudkan keharmonisan masyarakatnya. Sifat komunal/sosial wajah didasarkan pada gagasan
bahwa wajah adalah perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan serangan
dan cercaan warga masyarakat lainnya tentang perilaku pemiliknya. Kehilangan perisai tersebut
akan berdampak pada hilangnya wajah seseorang di mata anggota masyarakat lainnya. Sementara itu,
wajah dikatakan bersifat hirarkis, karena realisasi penghormatan terhadap wajah (baca: harga diri)
seseorang, seringkali didasarkan atas atribut-atribut sosial yang membeda-bedakan seseorang dengan
lainnya, seperti faktor senioritas dalam usia, asal muasal keturunan, jabatan, harta kekayaan, dan
sejenisnya. Sementara itu, wajah dikatakan berbasis moral mengingat hanya orang yang memiliki
integritas moral yang kuatlah yang akan peduli terhadap kesakralan wajahnya (Lihat Cheng, 1986;
Chang&Holt, 1994; Ho, 1976). Hanya orang yang bermoral yang akan peduli dengan wajah (baca:
harga diri) yang telah diperolehnya dari masyarakat.

Sementara itu, B&L (1987) memiliki pandangan yang relatif berbeda terhadap konsepsi wajah ini,
sekalipun mereka menyatakan bahwa pendapatnya itu didasarkan pada hasil olah pikir terhadap
pandangan yang dikemukakan Goffman sebelumnya. Berbeda dengan Goffman yang percaya bahwa
wajah adalah atribut dan milik sosial, B&L melihat wajah sebagai atribut pribadi (yang hakiki), ada
dan ditemukan pada semua masyarakat dan bersifat universal. Setiap orang memiliki hakdan
bahkan kewajiban untuk memuliakan wajahnya sendiri dan juga wajah anggota masyarakat
lainnya. Menurut B&L, setiap orang memiliki dua wajah dan keinginan, yang masing-masing
disebut dengan wajah dan keinginan positif (positive face/want) serta wajah dan keinginan negatif
(negative face/want). Wajah positif terkait dengan nilai-nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan,
dan kesekoncoan (camaraderie). Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang
untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap
kemandiriannya itu. Salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai wajah tersebut adalah melalui pola
komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kesantunan dan tidak saling menyerang wajah
(formality). Dalam kaitan ini, B&L kemudian merumuskan konsep kesantunan positif (positive
politeness) sebagai turunan dari konsep wajah/keinginan positif, dan kesantunan negatif (negative
politeness) sebagai turunan dari konsep wajah/keinginan negatif. Kedua konsep kesantunan ini
dipercaya sebagai upaya untuk melengkapi konsep kesantunan yang disampaikan oleh Goffman di
atas, yang dalam pandangan B&L hanya memberikan tuntunan pada situasi prainteraksi, yakni
melalui strategi/taktik menghindar dan pada situasi pascainteraksi, melalui strategi/taktik
pembetulan. B&L datang dengan menawarkan gagasan bertutur santun pada saat(at the time)
terjadinya situasi yang mengancam wajah tersebut. Dalam kaitan ini, B&L menunjukkan adanya
empat kemungkinan strategi yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam situasi mendesak tersebut,
yakni:

1) Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol (bald on-record strategies), digunakan untuk
tindakan yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Biasanya strategi ini berformula Lakukan
ini (Do X). Lebih banyak strategi ini digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur
dalam posisi lebih berkuasa tinimbang mitra tuturnya. Misalnya, Ambilkan tas di meja!
2) Kesantunan Positif (positive politeness). Seperti halnya strategi pertama, strategi kesantunan
positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur, tetapi
penutur tidak tega untuk menyatakannya dalam bentuk perintah. Strategi ini banyak digunakan di
antara dua orang teman, kenalan, atau pihak-pihak yang sudah menjalin kedekatan, walaupun belum
terlalu akrab.
3) Kesantunan Negatif (negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya
sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi misalnya pada
tindak bahasa dengan orang yang belum dikenal, di antara atasan dan bawahan, dan orang muda
dengan yang lebih tua.
4) Strategi tak langsung (off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang
lebih serius terhadap wajah mitra tutur.

Menurur B&L, sebelum sebuah pilihan strategi diambil, seorang penutur perlu mempertimbangkan
keseriusan akibat yang ditimbulkan dari tindakan yang mengancam wajah mitra tuturnya itu. Dalam
hal ini, ada tiga variabel yang secara kultural sangat sensitif, yakni (1987: 74):
(i) jarak sosial (social distance), disimbulkan dengan D, antara penutur dengan mitra turunya,
yang dibangun melalui hubungan simetris. Hal ini menunjukkan derajat keakraban dan
solidaritas/pertemanan yang telah dibangun antara penutur dengan mitra tuturnya. Realisasinya
sangat tergantung pada persepsi yang dimiliki oleh mitra tutur terhadap penutur;
(ii) kewenangan relatif (relative power) (disimbulkan dengan P dan bersifat asimetris) yang
dimiliki oleh penutur terhadap mitra tuturnya. Hal ini menunjukkan derajat otoritas/kekuasaan yang
dimiliki oleh penutur untuk diterapkan terhadap mitra tuturnya;
(iii) tingkat imposisi mutlak (absolute ranking of impositions) yang berlaku dalam budaya tertentu
(disimbulkan dengan R). Hal ini dapat diwujudkan baik dalam bentuk pengorbanan barang dan jasa
yang harus dikeluarkan oleh mitra tutur, hak-hak yang dimiliki oleh penutur untuk melakukan sebuah
tindakan, dan derajat kemungkinan mitra tutur dapat menerima imposisi tersebut.

Melalui model ini, B&L menyodorkan formula untuk menghitung derajat keseriusan atau
keumungkinan hilangnya wajah para pihak yang terlibat dalam interaksi komunikasi (disimbulkan
dengan Wx:
Wx = D(S,H) + P(H,S) + Rx

Sebagai variable bebas, D, P and R ditemukan pada setiap partisipan sebagai variabel yang tidak
konstan. Signifikansi sebuah variabel dalam sebuah komunikasi sangat tergantung pada konteks
kejadiannya, yang melibatkan penutur dengan mitranya. Seorang polisi, misalnya, dikatakan
memiliki otoritas/kewenangan (P) penuh untuk menghentikan seorang dokter yang mengendarai
mobilnya secara serampangan. Akan tetapi, situasi akan berbalik manakala petugas polisi tersebut
datang ke tempat praktek dokter tadi untuk kepentingan memeriksakan kesehatan. Padahal, kita
saksikan bahwa jarak sosial di antara keduanya tetap. Demikian pula seorang tukang cukur yang
ketiban mencukur seorang gubernur atau presiden sekalipun. Gubernur dan presiden tidak
memiliki kekuasaan apa-apa kecuali menuruti perintah tukang cukur ketika sedang duduk di bangku
pesakitan tukang cukur. Padahal, dalam kesehariannya, tukang cukur tidak memiliki kekuasaan apa-
apa bila dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki oleh seorang gubernur atau presiden dalam
memerintah rakyatnya.

Demikian pula, pengaruh derajat imposisi terhadap pilihan strategi yang mungkin diambil akan
sangat tergantung pada derajat variabel D (jarak sosial) yang dipersepsi oleh penutur dengan mitra
tuturnya. Sebuah undangan makan malam, misalnya, akan diungkapkan secara berbeda, tergantung
kepada siapa undangan itu disampaikan, apakah kepada teman akrab atau kepada seorang atasan.
Berbeda dengan situasi polisi/dokter atau tukang cukur/gubernur-presiden di atas, di mana nilai Wx
lebih ditentukan oleh variabel P, nilai Wx pada situasi undangan makan malam ini lebih banyak
ditentukan oleh variabel D, yang secara kultural menentukan formulasi tuturan yang mesti dibuat
untuk mengundang mitra tutur hadir dalam makan malam tersebut. B&L sangat yakin bahwa derajat
kesantunan yang ditunjukkan oleh seorang penutur dalam mengkomunikasikan sebuat tindak bahasa
X tergambarkan dari derajat Wxyang diperoleh. Akan tetapi, ada langkah-langkah yang dapat
ditempuh oleh seorang penutur sebelum sebuah tindakan penyelamatan wajah (baca: bersantun
bahasa) dilakukan, yakni:

(a) Kecuali jika penutur ingin melakukan tindak bahasa yang mengancam wajah dengan santun
(FTA) secara efisien, maka dia mesti yakin bahwa mitra tuturnya dapat memenuhi keinginannya
secara kooperatif dan rasional, dan tindakan itu dipandang sebagai keinginan bersama.
(b) Penutur mesti menghitung derajat ancaman dari sebuah tindakan, termasuk besarnya
kemungkinan hilangnya wajah masing-masing pihak.
(c) Penutur mesti memilih strategi yang mengakomodasi derajat kesantunan yang selaras dengan
langkah (b) di atas. Strategi ini mesti diyakini sebagai bentuk retensi terhadap tingkat keinginan
masing-masing pihak untuk tetap bersifat kooperatif pada saat transaksi komunikasi itu terjadi.
(d) Penutur mesti dapat menentukan formulasi kebahasaan yang akan memenuhi tujuan akhir dari
komunikasinya (dalam istilah Sunda dikenal dengan istilah caina herang laukna beunang).

Perhatikan beberapa contoh dari realisasi kesantunan positif dan kesantunan negatif pada tabel
berikut ini:

Kesantunan Positif
(Positive Politeness)
Kesantunan
Negatif
(Negative
Politeness)
Strategi Tak
Langsung
(Off-record
Strategies)
Waduh, bajunya bagus banget tuh!
(menunjukkan apresiasi/pujian
terhadap milik/prestasi seseorang)
Sekarang sudah baikan, kan?
(menunjukkan empati dan solidaritas)
Kita memang orang-orang hebat dan
layak terpilih. (ungkapan inklusif,
mengakui adanya kebersamaan bagi
semua)
Kita pasti bisamenyelesaikan tugas
berat itu pada waktunya dan pasti
berhasil dengan baik. (menunjukkan
optimisme)
Hati-hati di jalan ya? (memberikan
perhatian; bersifat sok akrab)
Saya nggak tahu, apakah
Ibu lebih suka jengkol atau
petai? (tidak memaksakan;
memberikan pilihan)
Maunya sihBapak berkenan
hadir pada acara kami itu.
Tapi,kalau terlalu sibuk,
yagimana lagi. (tidak ingin

mengganggu kebebasan pihak
lain; menghargai komitmen
pihak lain)
Maaf ya mau nanya, kalau bis
kota ke alun-alun lewat
sininggak? (mengakui bahwa
tindakan ini mengganggu pihak
lain)
Keputusannya saya serahkan
kepada Bapak saja.
(memberikan kewenangan
penuh dan kebebasan kepada
pihak lain).
Sepertinya di dalam ruang
ini panas sekali ya?
(meminta agar mitra tutur
menghidupkan kipas
angin, membuka jendela,
atau pengatur suhu
ruang/AC)
Tidak ada alasan untuk
tidak memberi maaf. Saya
tidak sejahat yang dikira
orang lain. (ungkapan
menerima permohonan
maaf dari mitra tutur)
Alangkah bijaksana dan
terhormat Anda apabila
tidak menambah polusi di
ruang ini (larangan untuk
tidak merokok).
Sudah beberapa bulan ini
saya belum bisa
membayar SPP anak-
anak. (permintaan untuk
dipinjami uang)
Tabel 1:
Contoh realisasi Kesantunan Positif, Kesantunan Negatif, dan Strategi Tak Langsung

1. 6. Konsep Sosialisme vs Individualisme tentang Wajah dan Kesantunan

Dalam khazanah literatur tentang konsep kesantunan berbahasa ditemukan adanya dua pandangan
yang sangat kontras dan berada dalam dua kutub berlawanan; pandangan yang mengedepankan
penciptaan keharmonisan sosial (Hu, 1944; Goffman, 1959; 1967; Matsumoto, 1988; Gu, 1991; Mao,
1994) di satu sisi, dan pandangan yang lebih menghargai kebebasan individual (Brown&Levinson,
1987) di sisi lain. Perbedaan pandangan tersebut sangat mungkin terjadi mengingat masing-masing
konseptor melihat sumber dan inti masalah, yakni konsep wajah, secara berbeda; walaupun keduanya
sama-sama meyakini bahwa kesantunan berbahasa adalah upaya untuk memuliakan wajah yang
sakral. Selain dipercaya sebagai konsep yang mendasari realisasi kesantunan berbahasa, wajah juga
menjadi tujuan dari tindakan kesantunan berbahasa. Konsepsi dan realisasi wajah dan kesantunan
berbahasa kelompok pertama banyak ditemukan di dalam masyarakat oriental seperti Cina, Jepang,
Korea, dan Asia pada umumnya, sedangkan pandangan kelompok kedua lebih dominan ditemukan
pada masyarakat Barat. Kalau kita gambarkan kedua kutub pandangan tersebut, maka kita akan
memperoleh ilustrasi berikut ini:


Individualisme Sosialisme
(Brown&Levinson) (Kung Fu
Tzu)
Gambar 1:
Dua kutub konsep wajah

Sosialisme digambarkan menuju ke arah sebelah kanan (arah Timur menurut kompas) dengan
pengertian bahwa ide itu lahir dari masyarakat Cina (ideologi Kung Fu Tzu) yang oleh para
sosiolog/antropolog sering dikategorikan sebagai masyarakat oriental/Timur. Sementara itu, ke arah
sebelah kiri (Barat menurut kompas) kita memperoleh ide individualisme dengan catatan bahwa ide
itu berkembang di kalangan masyarakat Barat pada umumnya.

Menurut kelompok pertama (pendukung ide sosialisme/keharmonisan sosial), upaya memuliakan dan
mempertahankan kesakralan wajah seperti ditemukan dalam komunikasi antarpersonal bukan
semata-mata karena (calon) penutur ingin menghargai mitra tuturnya, melainkan juga karena norma-
norma masyarakat tempat hidupnya meniscayakan keharusan warganya agar berbuat demikian. Alih-
alih, yakni apabila norma-norma dalam masyarakat tidak diperhatikan, dia akan memperoleh sanksi
dari warga masyarakat lainnya; hal ini dapat berakibat pada pencabutan kesakralan wajahnya oleh
masyarakat itu sendiri. Sementara itu, dalam pandangan kelompok kedua, wajah adalah hak milik
individumungkin besifat sangat hakiki, bersifat universal, ditemukan di mana-mana, dan harus
dijaga dengan baik oleh dirinya dan menjadi kewajiban bagi anggota masyarakat lainnya untuk
memperhatikan, menghargai, dan menghormati hak-hak individu ini. Tidak dapat dipungkiri, seperti
disampaikan pada bagian di atas tadi, pandangan kelompok pertama ini didasarkan pada ajaran
tradisional yang dikembangkan oleh Kung Fu Tzu (Konghuchu), yang memandang masyarakat
secara kolektif sebagai sentral/pusatnya. Di lain pihak, kelompok kedua lebih melihat individu/ego
pribadi sebagai sentral. Apabila kita rangkum, perbedaan kedua kutub konsep tentang wajah ini,
maka dapat kita peroleh gambaran seperti tertera pada tabel 2 (bandingkan juga dengan pendapat
Mao, 1994).

Dalam ajaran Kung Fu Tzu, konsep wajah disandarkan pada konsep tentang hakikat manusia dan
kemanusiaan itu sendiri (jen). Di dalam jen ini terkandung kehangatan dan hakikat dari makna
sebagai manusiadan sejauh tertentu dapat berupa gejolak kegelisahan seorang manusia ideal
yang senantiasa peduli terhadap (nasib) orang lain. Oleh karenanya, pemahaman terhadap konsep
hakikat manusia dapat melahirkan kesadaran akan hubungan timbal balik dan saling menghargai
sesama manusia. Puncak dari kesadaran tersebut adalah kemampuan untuk menunjukkan empati
manusiawi dalam pergaulan keseharian (bandingkan dengan Aziz, 2000: 203).


Konsep wajah dari Brown and Levinson

Konsep wajah menurut ajaran Kung Fu
Tzu
1. berpusat pada aspek wajah yang
dimiliki oleh individu,

1. berpusat pada aspek wajah yang dimiliki
oleh masyarakat,
2. berusaha mengakomodasi keinginan
dan harapan individu. Wajah diperlakukan
sebagai bentuk keinginan,
2. berusaha mengakomodasi keharmonisan
perilaku individu berdasarkan penilaian
masyarakat. Wajah diperlakukan sebagai
tantangan normatif dalam masyarakat,

3. terdiri dari wajah positif dan wajah
negatif. Wajah negatif merujuk pada
kebutuhan individu untuk bebas dari
imposisi/tekanan eksternal.

3. terdiri
dari lian and mianzi. Mianzitidak dapat
dipersamakan atau difahami dalam
kaitannya dengan wajah negatif.

Tabel 2:
Perbandingan antara konsep wajah menurut Brown&Levinson dan Kung Fu Tzu
Menurut ajaran Kung Fu Tzu, seperti dinyatakan dalam Cheng (1986), sosok manusia ideal
diperoleh melalui upaya pembinaan diri, setelah mampu memahami lima jenis hubungan
kemanusiaan, yakni berupa 1) hubungan kedekatan (relation of closeness); seperti dalam hubungan
anak dan orang tua; 2) hubungan penghambaan (relation of righteousness); seperti dalam hubungan
raja dengan rakyat; 3) hubungan keberlainan (relation of distinction) seperti dalam hubungan suami
dan istri; 4) hubungan hirarkis (relation of hierarchy); seperti dalam hubungan tua dan muda; dan 5)
hubungan kesetiaan (relation of faithfulness); seperti ditemukan dalam hubungan persahabatan. Bagi
masyarakat Cina khususnya dan masyarakat dengan budaya oriental pada umumnya, pemahaman
hubungan relasional seperti ini menjadi sangat penting karena hal itu akan menjadi penentu pola
prilaku seseorang di dalam masyarakat, dan yang akan menentukan apakah interaksi warga
masyarakat itu berujung pada keharmonisan sosial atau bahkan sebaliknya. Dipercaya bahwa pola
hubungan relasional inilah yang membedakan konsep wajah yang diadopsi oleh masyarakat Cina
khususnya dan masyarakat Asia pada umumnya dengan konsep yang diadopsi oleh masyarakat Barat
yang justru lebih mengedepankan nilai-nilai rasional (Brown&Levinson, 1987), berorientasi
transaksional (untung-rugi) (Scollon&Scollon, 1994), dan menjunjung individualisme kepada tempat
tertinggi (Chang&Holt, 1994; Gu 1990; Matsumoto, 1988). Bahkan, Ho (1976: 882) menyatakan
bahwa the Western mentality, deeply ingrained with the values of individuality, is not one which is
favourably disposed to the idea of face, for face is never a purely individual thing (bandingkan Mao,
1994), dan menurut Jia, konsep wajah dalam masyarakat Timur itu both the goal and the means for
strengthening and expressing harmonisation of human relationships among men in society (1997)
yang sasaran utamanya adalah pada the human relationship instead of impression management
(Chang&Holt, 1994: 127).

Di lain pihak, upaya pembinaan diri itu sendiri dikendalikan oleh tingkat ketaatan (xiao), kesadaran
akan pentingnya nilai persaudaraan (di), kepatutan dalam bertindak dan bertutur (li), dan integritas
moral (de). Dalam konteks ini, kesantunan berbahasa dilekatkan pada nilai li (yang kemudian
dirumuskan sebagai limao), yang mengakomodasi konsep lian dan mianzi. Walaupun keduanya
bermakna wajah, ada perbedaan mendasar dari kedua konsep ini. Lian menyiratkan penghargaan
yang diberikan oleh warga masyarakat terhadap a man with a good moral reputation, selain juga
menunjukkan the confidence of society in the integrity of egos moral character, serta it is both a
social sanction for enforcing moral standards and an internalized sanction (Hu, 1944:45). Di sini
kita melihat bahwa lian lebih dekat dengan konsep kewibawaan akan wajah yang dimiliki seseorang
karena tingginya integritas moral yang dimilikinya sehingga orang lain menaruh hormat atasnya.
Masyarakat akan menaruh rasa hormat yang tinggi kepada orang yang memiliki lian. Apabila
kemudian orang itu melakukan pelanggaran sosial atau melakukan tindakan amoral seperti
mengkhianati janji, berbohong, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya, maka ia sebenarnya
telah kehilangan lian. Karena kegiatan bermasyarakat di Cina kebanyakan berbasis kepercayaan,
kehilangan lian merupakan hal yang sangat mereka takuti karena konsekuensi yang akan mereka
terima adalah kecaman sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin keras mereka
mempertahankan harga diri, dan semakin berhargalah lian (Hu 1944:47).

Sementara itu, mianzi dimaknai sebagai prestige or reputation, which is either achieved through
getting on life or ascribed (or even imagined) by other members of ones own community (Hu
1944:45). Bagaimanapun, mianzi merupakan prestise atau reputasi yang dicapai seseorang melalui
kerja keras atau anugrah dari masyarakat. Walaupun nampak seperti berbeda kualitasnya,
nilai lian dan mianzibagaikan sisi-sisi dari sebuah mata uang. Setiap orang dalam masyarakat akan
menunjukkan kepeduliannya terhadap upaya pemuliaan lian dan mianzi ini, walaupun tingkatnnya
akan relatif berbeda-beda. (Hu 1944:45). Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat adalah bahwa
dalam masyarakat Cina diyakini bahwa kehilangan lianlebih berbahaya daripada
kehilangan mianzi karena ketika lian hilang akan sangat sulit untuk
mempertahankan mianzi. Kehilangan mianzi berarti kehilangan prestise atau reputasi yang sudah
dimiliki karena kegagalan tertentu atau faktor ketidakberuntungan. Konsekuensi yang terparah dari
hilangnya mainzi adalah berupashock pada kejiwaan seseorang. Orang yang memiliki sifat tipis
muka lebih disukai oleh masyarakat Cina karena lebih sensitif terhadap opini publik dan lebih
mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat dibandingkan mereka yang tebal muka.

Dalam Aziz (2005) disebutkan bahwa seorang penutur dikatakan santun atau sopan apabila ia mampu
memuliakan lian dan mianzi mitra tuturnya dan realisasi tindak tuturnya sesuai dengan harapan
masyarakat padanya (bandingkan dengan Mao 1994). Di sini, nilai-nilai sosial yang dianut oleh
masyarakat menjadi sangat penting bahkan menjadi parameter utama keberterimaan sebuah tindakan
dan tuturan seorang warga masyarakat, mengingat keseluruhan pola tindak dan tutur seseorang akan
harus selalu diukur oleh parameter nilai-nilai tersebut. Artinya, ketidakpedulian seseorang untuk
mematuhi nilai-nilai kemasyarakatan tadi akan senantiasa dipandang sebagai sebuah gangguan
terhadap keharmonisan masyarakat. Apabila hal itu terjadi, maka masyarakat akan secara kolektif
menjatuhkan sanksi untuk mencabut rasa percaya terhadap orang tersebut, dan secara hakikat orang
tersebut sebenarnya dapat dikatakan tidak lagi memiliki wajah di dalam masyarakat.

Pada masyarakat Jepang, konsep konsep kesantunan dikenal dengan istilahwakimae. Di dalam
konsep tersebut terdapat konvensi sosial yang harus difahami dan dipraktekkan oleh seorang warga
masyarakat. Konvensi tersebut mengharuskan warga masyarakat bertutur dan bertindak sesuai
dengan peran dan derajat sosialnya di dalam kehidupan masyarakat. Ada empat konvensi yang
ditemukan dalam tatanan masyarakat Jepang tersebut, yakni: a) santun terhadap orang yang lebih
tinggi derajat sosialnya, b) santun terhadap pemimpin/penguasa, c) santun terhadap orang yang lebih
tua, dan d) santun dalam situasi yang formal (lihat Ide 1989). Seperti halnya konsep kesantunan
dalam masyarakat Jepang (wakimae), konsep kesantunan dalam masyarakat Cina (limao) pun
mensyaratkan agar para penuturnya dapat menunjukkan rasa hormatnya kepada orang lain dengan
cara merendahkan hati dan menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah (Matsumoto 1988).

Konsep kesantunan berbahasa dalam masyarakat Cina moderen dikemukakan Gu (1990). Konsep Gu
memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan konsep kesantunan dari Leech (1983). Hanya saja,
dalam pandangan Gu, prinsip kesantunan tidaklah bersifat regulatif bahkan menafikan hakikat moral
dan etika yang menyertainya seperti yang diyakini oleh Leech. Justru, bagi masyarakat Cina, makna
wajah tidaklah semata-mata merupakan hasrat psikologis yang dimiliki individual
(Brown&Levinson 1987), tetapi lebih merupakan norma sosial. Kesantunan tidaklah semata-mata
instrumental, yakni mengatur warga masyarakat untuk bertutur dan berprilaku menurut
keharusannya, tetapi terlebih dari itu, kesantunan adalah norma sosial. Menurut Gu, wajah seseorang
akan terancam bukan apabila keinginannya tidak terpenuhi, tapi apabila ia justru tidak mampu
melihat dan memenuhi keinginan masyarakat secara keseluruhan melalui standar yang sudah
diketahui bersama.

Seraya mengkritisi pandangan Leech dengan Prinsip Kesantunannya (Politeness Principle), Gu
menyatakan bahwa pandangan Leech tersebut (atau limao dalam konteks masyarakat Cina) harus
dibaca sebagai a sanctioned belief that an individuals behaviour ought to live up to the expectations
of respectfulness, modesty, attitudinal warmth, and refinement (1990:
245). Respectfulness (kehormatan) mengacu pada sikap menghargai orang lain secara positif atau
menghormati wajah dan status orang lain; modesty (kerendah-hatian) mencerminkan sikap kehati-
hatian terhadap orang lain; attitudinal warmth (kehangatan sikap) menunjukkan perhatian dan
keramahan pada orang lain; dan refinement (kehalus-budi-bahasaan) yaitu bersikap pada orang lain
dengan mengikuti standar tertentu. Kegagalan untuk mematuhi prinsip kesantunan seperti itu bisa
mendatangkan sanksi sosial.

Apabila dicermati, konsepsi dan realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat Timur didasari
dan diorientasikan kepada upaya penyelamatan dan pemuliaan wajah individu sebagai atribut sosial
dalam rangka pemertahanan keharmonisan sosial. Konsepsi dan realisasi seperti ini bagaimanapun
memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Bahkan dapat kita katakan bahwa nilai-nilai dan kewajiban
sosial jauh melampaui hak-hak individual. Sesungguhnya, dimensi inilah yang jelas-jelas
mewarnai seluruh diskusi tentang konsep wajah dan kesantunan berbahasa dalam masyarakat Timur.

Seperti dinyatakan di atas, konsep wajah dan kesantunan berbahasa dalam masyarakat Barat pada
umumnya lebih diwarnai dan diorientasikan pada penyelamatan dan pemuliaan wajah sebagai hak
yang lebih melekat kepada individu daripada kepada masyarakat. Hal itulah setidaknya yang dapat
kita fahami dari konsep yang dikemukakan oleh Brown&Levinson (B&L) (1987). Teori B&L
menyiratkan adanya dua sentral isu, yakni terkait dengan rasionalitas sebagai a means-ends
reasoning or logic (Eelen, 2001: 3) dan wajah sebagai entitas yang memiliki dua hasrat/keinginan
yang sering kali saling berlawanan. Di satu sisi, keinginan tersebut dapat berupa hasrat agar
tindakannya tidak memperoleh gangguan atau hambatan pihak luar (yang oleh Brown&Levinson
disebut dengan keinginan negatif/negative wants). Sementara itu, di sisi lain ada hasrat yang dimiliki
seseorang agar apa yang memang diinginkannya memperoleh tanggapan yang sama dari pihak luar
(diistilahkan dengan keinginan positif/positive wants).

Perhatikan ungkapan yang sering kita dengar dalam percakapan informal sehari-hari berikut ini:

1. Sorry to bother you, but can you tell me the time, please?
2. What do you like to drink?

Ungkapan pada contoh a. dipakai untuk bertanya tentang waktu sedangkan ungkapan contoh b.
biasanya digunakan untuk menawari minuman kepada tamu atau seseorang yang diajak makan
bersama di restoran. Dalam pandangan B&L, kedua contoh tersebut dikategorikan sebagai strategi
kesantunan negatif, karena pada contoh a., penutur menyadari betul bahwa pertanyaan yang
dikemukakannya mengancam wajah dan kebebasan mitra tutur. Menyadari hal tersebut, maka ia
menggunakan ungkapan Sorry to bother you dan diakhiri dengan please sebagai upaya mengurangi
gangguan ancaman yang mungkin ditimbulkan. Sementara itu, pada contoh b., penutur secara sadar
memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk menentukan minuman yang dimauinya.

Kedua contoh di atas, secara jelas menempatkan kebebasan individu untuk menentukan apa yang
diinginkannya sesuai dengan hak pribadi yang dimilikinya tanpa harus dipaksa oleh pihak lain.
Bagaimanapun, ungkapan pertanyaan oleh penutur seperti pada kedua contoh di atas tidak dapat
dipandang sebagai bentuk idiosinkrasi seorang penutur yang serta merta dapat diungkapkan siapa
saja menurut perasaan dangkalnya. Justru, ungkapan seperti itu harus dipandang sebagai sebuah
bentuk internalisasi seorang warga dari masyarakat pertuturan terhadap nilai-nilai dan norma
berbahasa yang harus diungkapkan ketika berkomunikasi secara wajar. Dengan kata lain, nilai-nilai
tersebut (yang dalam hal ini berupa penghargaan terhadap kebebasan individual) sudah terfahamkan
dengan baik oleh penutur. Kalau kita kemudian menemukan fakta bahwa mayoritas anggota
masyarakat pertuturan menggunakan pola ungkapan seperti pada kedua contoh di atas, yakni strategi
kesantunan negatif, untuk realisasi pertuturan lainnya, maka artinya nilai dasar dari strategi
kesantunan negatif tadi sudah menjadi norma yang konvensional dari masyarakat tersebut. Sejumlah
hasil riset mutakhir tentang realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat berbudaya Barat (lihat
misalnya Barnlund&Araki, 1985; Barnlund&Yoshioka, 1990; Chen, 1993; Kasper&Blum-Kulka,
1993) menujukkan bukti bahwa secara umum para responden lebih memilih strategi kesantunan
negatif tinimbang kesantunan positif dalam situasi yang (lebih) formal bahkan dalam situasi yang
kasual sekali pun. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa memang strategi kesantunan
negatif yang hakikatnya menempatkan kebebasan individual (individualisme) pada tempat yang
sangat penting adalah norma dari masyarakat berbudaya Barat.

1. 7. Upaya Kompromi

Kedua pandangan tentang konsep wajah di atas dan teori kesantunan yang diturunkannya
ternyata tidak menemukan titik temu, sebab masing-masing berdiri pada kutub yang berbeda. Konsep
wajah dari Kung Fu-tzu lebih memperhatikan aspek-aspek sosial, sementara B&L lebih peduli
dengan kemerdekaan individual. Perbedaan pandangan ini memunculkan spekulasi apakah nilai-nilai
dan norma sosialisme yang perlu lebih dikedepankan atau justru hak-hak dasar individu yang mesti
lebih diperhatikan, mengingat kesantunan hakikatnya adalah realisasi dari komunikasi antarpribadi.
Dalam kaitan ini, Leech muncul dengan gagasan bahwa sesungguhnya kesantunan berbahasa adalah
salah satu wujud dari kebijakan sosial individu yang diperoleh dari hasil pergumulan interaksi
sosialnya di dalam masyarakat. Berpijak pada pemikiran seperti itu, maka Leech menempatkan Tact
Maxim pada tempat yang paling tinggi di antara enam maksim yang dirumuskannya. Keenam
maksim itu adalah (1983: 132):

(i) Maksim kebijaksanaan (Tact maxim)
(a) Minimalkan kerugian kepada orang lain
(b) Maksimalkan keuntungan bagi orang lain
(ii) Maksim kemurah-hatian (Generosity maxim)
(a) Minimalkan keuntungan untuk diri sendiri
(b) Maksimalkan kerugian untuk diri sendiri
(iii) Maksim Pujian (Approbation maxim)
(a) Minimalkan cacian kepada orang lain
(b) Maksimalkan cacian kepada diri sendiri
(iv) Maksim Kesederhanaan (Modesty maxim)
(a) Minimalkan pujian untuk diri sendiri
(b) Maksimalkan cacian untuk diri sendiri
(v) Maksim Kesepahaman (Agreement maxim)
(a) Minimalkan ketidaksepahaman antara diri sendiri dan orang lain
(b) Maksimalkan kesepahaman antara diri sendiri dan orang lain
(vi) Maksim Simpati (Sympathy maxim)
(a) Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang lain
(b) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan orang lain

Keenam maksim di atas ditempatkan Leech dalam satu kawasan komunikasi sebagai retorika
antarpersonal (interpersonal rhetoric), sementara prinsip kesantunannya sendiri (Politeness
Principle/PP) ditempatkan setara dengan Prinsip Kerja Sama dari Grice (1975). Sayangnya, seperti
dapat dilihat di atas, maksim-maksim dari Leech itu berlaku menurut hukum tautologis, sehingga
secara logika akan mudah dipertanyakan kekokohan salah satu pasangan maksim-maksim tersebut.
Layaknya sebuah hukum tautologis, manakala sebuah postulat sudah disebutkan dalam rumusan
yang berskala positif, misalnya, maka lawan dari postulat itu sudah pasti yang kebalikannya, yakni
negatif. Apabila sebuah premis pernyataan menunjukkan keharusan agar seseorang melangkah ke
arah Barat, misalnya, maka artinya dalam pernyataan tersebut tersirat larangan untuk berjalan
menuju arah Timur sebagai arah berlawanan. Logika tautologis seperti ini tentu saja menjadi lemah
landasan berpikirnya. Dalam Generosity maxim, misalnya, seorang penutur diharuskan (disarankan?)
untuk meminimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Kalau keuntungan pribadi harus minimal
(dibuat sekecil-kecilnya), artinya yang harus dimaksimalkan adalah keuntungan untuk orang lain.
Artinya, yang bersangkutan, apabila mengikuti maksim dari Leech tadi, juga memiliki keharusan
untuk memperbesar kerugian untuk diri sendiri. Dengan demikian, sesungguhnya maksim-maksim
yang dirumuskan Leech di atas cukup hanya dalam salah satu dari kedua rumusan butir (a) atau (b).
Bahkan, maksim (1) dan (ii) dan maksim (iii) dan (iv) nampak seperti dipaksakan; isi dari masing-
masing pasangan maksim (i) + (ii) dan (iii) + (iv) dapat digabungkan masing-masing menjadi satu
maksim saja. Ini tersirat dalam pernyataan Leech sendiri, yang menyatakan bahwa maksim (i) dan
(ii) terealisasikan dalam tindak tutur impositif dan komisif, sedangkan maksim (iii) dan (iv) dalam
ekspresif dan asertif. Dengan demikian, sebanyak-banyaknya hanya akan diperoleh empat maksim
saja.

1. 8. Dimensi lain

Dua dimensi dari konsep wajah dan kesantunan berbahasa sudah dikemukakan di atas, yakni dimensi
yang lebih menjaga keharmonisan sosial (dalam faham/dimensi sosialisme) dan dimensi yang lebih
menghargai kebebasan individual (dalam faham/dimensi individualisme). Walaupun kompromi
untuk mendapatkan rumusan yang lebih baik daripada cara pandang parsial seperti itu telah
dilakukan, nampaknya titik temu agak sulit dicapai. Hal ini mengingat dasar pijakan kedua
pandangan tersebut memang berbeda, walaupun orientasi akhirnya mungkin saja bisa sama, yakni
pemertahanan dan pemuliaan wajah bersama (penutur dan mitra tutur).


Memang benar bahwa Goffman menawarkan strategi penghindaran (avoidance strategy) dari
interaksi komunikasi yang berpotensi menimbulkan konflik dan berakibat menghilangkan wajah
pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi komunikasi tersebut. Selain itu, ada juga strategi
pembetulan apabila konflik dan hilang wajah telah terlanjur terjadi. Di sisi lain, tawaran dari B&L
lebih kepada upaya bertindak santun ketika sebuah face-threatening act (FTA) sedang terjadi.
Bagaimanapun, seperti dinyatakan dalam Aziz (2003), Goffman telah berhasil menunjukkan
bagaimana seseorang akan berhasil mengelola wajahnya. Akan tetapi, mengutip Lerner, bagi Aziz,
hal tersebut tidak memuaskan, mengingat he has [unfortunately] not given us much of a road map,
let alone a topographical rendering of the terrain dan kehadiran Brown and Levinson adalah untuk
menawarkan a useful road map for [the] speech acts (1996: 303).

Namun demikian, keberadaan konsep Goffman yang hanya mempertimbangkan pemuliaan wajah
berdasarkan strategi penghindaran dan/atau pembetulan adalah kenyataan dari sebuah teori yang
tidak lengkap. Hal ini karena tidak mungkin semua kondisi yang mengharuskan seseorang
berinteraksi dengan pihak lain justru dipaksa dihindari. Apabila hal tersebut kemudian dipaksakan,
maka yang muncul adalah kemunafikan seseorang karena tidak berani menghadapi kenyataan.
Sedangkan strategi pembetulan sebenarnya hanya merupakan tindakan yang terpaksa dilakukan
sebagai dampak dari tindakan sebelumnya yang tidak hati-hati. Sementara itu, kemunculan B&L
yang menawarkan strategi yang lebih on-the-spot tidak dapat dianggap sebagai pelengkap yang
sempurna. Memang benar bahwa seorang penutur harus mampu menjaga kesan baik (baca: santun)
saat komunikasi terjadi. Akan tetapi, hal itu bagaimanapun belumlah cukup, mengingat situasi dalam
komunikasi itu ada momen awal dan momen akhir. Dengan demikian, upaya menunjukkan
kesantunan yang hanya dilakukan di tengah-tengah komunikasi, sesungguhnya, hanya menyentuh
sebagian kecil saja dari keseluruhan persoalan komunikasi itu sendiri. Artinya, akan lebih banyak
persoalan yang belum tersentuh apabila seorang penutur justru hanya melihat dan
mempertimbangkan sebagian kecil persoalannya tersebut.

Mengingat kondisi di atas, maka Aziz (2000; 2005; 2007) yakin benar bahwa rumusan sebuah teori
kesantunan berbahasa yang lebih komprehensif haruslah memuat setidak-tidaknya tiga jenis
kesantunan, yakni kesantunan sebelum terjadinya transaksi komunikasi (pre-communicative
politeness), kesantunan pada saat terjadinya transaksi komunikasi (on-the-spot politeness), dan
kesantunan pascatransaksi komunikasi (post communicative politeness). Beranjak dari pemikiran
seperti itu, maka Aziz merumuskan teori kesantunan yang disebut dengan Prinsip Saling Tenggang
Rasa (PSTR) atau Principle of Mutual Consideration (PMC), yang tidak tautologis melainkan lebih
berpijak pada hukum kausalitas. Rumusan itu dikemas dalam pernyataan prinsip sebagai berikut:

Terhadap mitra tutur Anda, gunakanlah tuturan yang Anda sendiri pasti akan senang mendengarnya
apabila tuturan tersebut digunakan orang lain kepada Anda

yang makna atau pengertian sebaliknya (mafhum mukhalafahnya) adalah

Terhadap mitra tutur Anda, jangan gunakan tuturan yang Anda sendiri pasti tidak akan
menyukainya apabila tuturan tersebut digunakan orang lain kepada Anda

PSTR/PMC dibangun di atas empat buah nilai dasar, yakni:

a) Daya sanjung dan daya luka (harm and favour potentials)
Nilai dasar ini menyiratkan bahwa sebuah tuturan, sekecil apapun ia, memiliki potensi untuk
membuat mitra tutur akan merasa tersanjung atau sebaliknya, terluka. Tidak ada tuturan yang bebas
nilai, termasuk tindak tutur ekspresif seperti Selamat pagiatau tindak tutur eksklamatif
seperti Aduh! sekalipun. Dengan demikian, nilai dasar yang pertama ini menyiratkan perlunya unsur
kehati-hatian dalam bertutur.
b) Prinsip berbagi rasa (shared-feeling principle)
Nilai dasar kedua ini mengingatkan penutur akan keharusan untuk senantiasa memperhatikan
perasaan mitra tuturnya seperti halnya dia memperhatikan perasannya sendiri. Dengan cara seperti
ini, penutur akan dibimbing untuk memiliki perasaan yang halus, baik terhadap dirinya sendiri,
apatah lagi terhadap orang lain. Bagaimanapun, sesungguhnya nilai dasar kedua inilah yang menjadi
titik sentral dari rumusan prinsip kesantunan berbahasa PSTR.
c) Prinsip kesan pertama (prima facie principle)
Evaluasi yang diberikan oleh mitra tutur terhadap seorang penutur, apakah dia kooperatif, santun,
atau bahkan sebaliknya, sangat ditentukan oleh kesan awal yang diperoleh mitra tutur ketika mereka
berinteraksi untuk pertama kalinya. Hal ini menyiratkan perlunya kehati-hatian dari setiap penutur
dalam berinteraksi untuk pertama kalinya. Ini akan menentukan tingkat keberhasilan komunikasi
pada tahap berikutnya. Apabila seorang mitra tutur memperoleh kesan kurang baik tentang penutur,
maka sangat mungkin dia memiliki keengganan untuk melanjutkan komunikasi. Dan ini membawa
konsekuensi terhadap tercapainya prinsip yang keempat di bawah ini.
d) Prinsip keberlanjutan (continuity principle)
Melalui prinsip ini, penutur diingatkan tentang keberlanjutan komunikasi tahap berikutnya yang
justru sangat tergantung pada keberhasilan menjamin kenyamanan komunikasi saat ini. Oleh
karenanya, perlu ada upaya untuk membangun rasa saling percaya (mutual trust) di antara penutur
dengan mitra tutur.

Tidak seperti PP dari Leech, PMC dirumuskan tidak dalam logika tautologis, melainkan lebih
bertumpu pada hukum kausalitas. Artinya, sebuah keputusan yang diambil seorang penutur untuk
melakukan (atau tidak melakukan) tindakan komunikasi dengan memilih/menggunakan ungkapan
tertentu dimulai dari pertimbangan yang bersangkutan akan muatan dari ungkapan tersebut. Apabila
orang tersebut sejak awal sudah berniat untuk melakukan tindakan komunikasi yang (tak) santun,
maka akibat yang muncul adalah ke(tak)santunan yang berkepanjangan. Kita mungkin akan berpikir
bahwa kesantunan, sesungguhnya, adalah kejadian yang kasat mata dan tersimak oleh mitra tutur
(bandingkan dengan Fraser 1980) pada saat transaksi komunikasi terjadi (on-the-spot politeness),
sehingga abai terhadap pratindakan dan pascatindakan komunikasi itu sendiri. Hal ini tentu saja
berbeda dengan konsep kesantunan yang dikemukakan oleh Goffman (1967) yang hanya
mempertimbangkan strategi pengingkaran (avoidance strategy) yang dilakukansebelum tindakan
transaksi komunikasi terjadi dan strategi pembetulan (correction strategy) yang dilakukan setelah
transaksi komunikasi tak santun terjadi dan berbeda pula dengan pendapat B&L yang lebih bertumpu
pada upaya bertindak santun pada saat transaksi komunikasi sedang terjadi.

Kalau kita amati secara cermat, prinsip dan nilai-nilai yang dikandung dalam PMC tidak hanya
memiliki dimensi individual dan sosial. Dimensi individual dapat ditemukan pada adanya prinsip
yang mengharuskan setiap penutur untuk mempertimbangkan perasaan mitra tutur (shared- feeling
principle). Di satu pihak, penutur memiliki kebebasan untuk membuat tuturan yang dia kehendaki,
tetapi di lain pihak juga mitra tutur adalah pihak yang juga memiliki kebebasan untuk tidak
diganggu. Oleh karenanya, penutur perlu mempertimbangkan dimensi kebebasan individu ini, dan di
sinilah dimensi penghargaan terhadap kebebasan individu dari konsep PMC nampak jelas. Dimensi
sosial dari PMC sesungguhnya merupakan dampak dari dipenuhi dan difahaminya nilai-nilai dan
prinsip dalam PMC oleh anggota sebuah masyarakat pertuturan. Artinya, dimensi sosial berupa
keharmonisan di antara seluruh warga masyarakat akan dijamin terwujud apabila setiap individu
memahami pentingnya nilai dan prinsip dalam PMC itu. Inilah logika dan hukum kausalitas kedua
dari PMC.

Dari paparan di atas, kita dapat memahami bahwa tujuan bertutur dan bertindak santun adalah tidak
semata-mata menciptakan keharmonisan sosial dan menjunjung nilai-nilai kebebasan individual.
Lebih dari itu, sebenarnya ada dimensi lain yang muncul (atau dimunculkan) dari prilaku santun itu,
yakni untuk mewujudkan tujuan hakiki sebuah prilaku santun, yakni kepuasan ilahiyah/syurgawi.
Dengan mengikuti pemikiran Kung Fu Tzu tentang kesantunan berbahasa yang lebih sosialis, maka
tatanan kehidupan sosial akan relatif terjaga. Dalam situasi seperti ini, maka kepuasan sosial dicapai,
sementara hak-hak dan kebebasan individu dikesampingkan. Sebaliknya, apabila penghargaan
terhadap kebebasan individu terlalu ditonjolkan, maka yang akan tercapai hanyalah kepuasan
individual, sedangkan (kehidupan dan) interaksi komunikasi terasa sangat egoistik. Dengan
memperhatikan hal tersebut, maka PMC juga memuat prinsip yang mempertimbangkan pentingnya
kelanggengan (continuity principle) kesan santun di dalam pandangan mitra tutur khususnya dan
warga masyarakat pada umumnya. Kelanggengan ini muncul dari adanya niat yang mengawali
sebuah tindakan/transaksi komunikasi.

Menilik empat subprinsip/nilai yang ditawarkan di atas, dan dengan asumsi bahwa sebuah tindak
komunikasi itu memiliki momen awal, tengah, dan momen akhir, maka kita kini dapat menengok
landasan teologis dari keempat subprinsip PSTR di atas. Upaya ini dilakukan untuk menunjukkan
esensi dan benang merah dari PSTR ini dalam kedudukan dan targetnya mengetengahkan konsep
kesantunan berbahasa dengan ciri universalisme yang hakiki. Hal ini tentu saja dengan asumsi bahwa
nilai-nilai teologis itu sendiri memang memiliki sifat-sifat universalisme hakiki itu. Selain itu, dapat
ditegaskan di sini, upaya melandaskan sub-subprinsip PSTR di atas kepada dimensi teologis ini
akhirnya dilakukan sebagai bentuk kepasrahan (baca: tawakkal) penulis setelah proses analisis untuk
mencari nilai-nilai hakiki terhadap prinsip-prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan para
peneliti bidang ini tidak memberikan kepuasan dan hanya menemukan jalan buntu. Yang ditemukan
adalah ketidakajegan dan nisbinya seluruh prinsip yang dicoba diketengahkan itu. Dengan demikian,
upaya terakhir ini dapat penulis anggap sebagai keberhasilan menemukan air di tengah padang pasir
untuk memenuhi dahaga berkepanjangan selama mencari dan merumuskan makna universlisme
hakiki ini. Insya Allah.

Pertama, subprinsip daya luka dan daya sanjung. Sebagai dinyatakan di atas, subprinsip ini akan
mengawali sebuah niat untuk berinteraksi dalam komunikasi. Dengan mengingat bahwa seluruh
tuturan yang keluar dari mulut seorang penutur itu memiliki daya luka dan daya sanjung, maka ia
akan berhati-hati dengan tuturannya itu. Sabda Rasulullah SAW terkait dengan hal ini adalah



Artinya: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik, atau
(jika tidak bisa) maka diamlah. HR Muttafaq alaih dari Abi Hurairah ra

Bagaimanapun, hadits di atas merupakan peringatan yang sangat keras terhadap seluruh manusia
yang ingin termasuk kelompok beriman kepada Allah dan hari kiamat. Dua alternatif yang diberikan
Rasulullah SAW di atas adalah sangat pasti: berbicara yang baik-baik saja (dengan mafhum
mukhalafah tidak boleh berbicara yang tidak baik) ATAU tetap diam saja. Bagian pertama dari
strategi Rasulullah ini secara nyata berlawanan dengan teori yang dikemukakan oleh Goffman di
atas, yang menyebutkan pilihan strategi menghindar dari situasi komunikasi yang berpotensi
menimbulkan konflik. Teori Goffman ini secara lebih jauh berlawanan dengan hakikat manusia
sebagai makhluk yang bernaluri komunikatif. Dengan menyarankan seseorang untuk menghindar,
artinya sama dengan mencegah seseorang dari interaksi komunikasi. Apabila hal ini justru yang
dilakukan, maka bukan hal yang tidak mungkin ia akan menjadi manusia yang terisolir dari
komunitasnya. Ini adalah kondisi yang tidak sejalan dengan hakikat manusia itu sendiri sebagai
makhluk sosial. Sementara itu, Rasulullah menyuruh DIAM sebagai alternatif kedua, yakni sebuah
pilihan yang boleh diambil apabila berbicara yang baik tidak bisa dilakukan. Hal ini mengisyaratkan
adanya keharusan bagi setiap orang yang akan berkomunikasi untuk senantiasa memformulasikan
setiap tuturan yang akan diujarkannya menjadi sesuatu yang baik. Ini baru akan terjadi manakala ia
ingat bahwa dalam tuturan itu ada potensi/daya luka dan daya sanjung tersebut.

Kita pun dapat menemukan landasan teologis dari subprinsip pertama ini pada hadits Nabi SAW
berikut




Artinya: Aku bertanya pada Rasulullah saw, Siapakah orang Islam yang paling utama? Beliau
menjawab, Orang-orang Islam yang orang lain merasa selamat dari lisan dan tangannya. HR
Muttafaq alaih dar Abi Musa ra

Kedua, subprinsip berbagi rasa. Pemahaman terhadap dan realisasi dari subprinsip ini merupakan
kelanjutan dari subprinsip pertama, yaitu setelah seseorang memahami potensi yang dimiliki setiap
ujaran yang meluncur dari mulutnya. Dengan mempertimbangkan potensi tersebut, maka ia akan
berupaya memformulasikan tuturannya kepada orang lain agar sama-enak-terasanya dengan yang
diharapkan akan diterimanya dari orang lain. Di sini nampak bahwa subprinsip kedua ini merupakan
inti dari PSTR, sebab memahami untuk kemudian merealisasikan kaidahmenenggang rasa orang
lain seperti halnya menenggang diri sendiri adalah upaya penyatuan orang lain terhadap diri
sendiri. Artinya, apabila orang lain sudah kita pandang sebagaimana kita memandang diri sendiri,
maka ia akan kita perlakukan sebaik semulia ketika kita memperlakukan diri kita sendiri. Landasan
untuk subprinsip ini, misalnya, dapat kita temukan pada hadits Nabi SAW berikut

Laa yuminu ahadukum hatta yuhibbu li akhiihi kamaa yuhibbu linafsih

Artinya: Tidaklah seseorang dikatakan beriman sebelum dia mencintai orang lain sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri (HR Muttafaq Alaih)

Perhatikanlah struktur ungkapan Rasulullah SAW di atas, yang secara nyata lebih mendahulukan
pengungkapan tentang orang lain ketimbang pengungkapan untuk diri sendiri. Alih-alih menyatakan
berita berisi perintah untuk mencintai diri sendiri pada awal ungkapan, beliau lebih menonjolkan
kabar keharusan agar ummatnya berupaya mencintai orang lain. Memang benar bahwa sejumlah ahli
hadits menyatakan perlunya kehati-hatian dalam menyikapi hadits ini agar kita terhindar dari
melabeli orang lain sebagai kelompok manusia yang tidak beriman gara-gara mereka tidak
menunjukkan cinta kepada orang lain sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri. Sekalipun
demikian, para ahli hadits bersepakat bahwa kesempurnaan iman seseorang belum akan tercapai
manakala dia belum mampu mencintai, membanggakan, dan memperlakukan orang lain dengan
sebaik-baiknya seperti ia mencintai, membanggakan, dan memperlakukan dirinya sendiri. Jadi,
dalam hal ini, kita tidak berbicara ketiadaan iman melainkan kesempurnaan iman; masih ada iman
pada orang-orang yang tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada orang lain itu, namun iman
mereka tidak sempurna. Padahal, setiap manusia (beriman) pasti memiliki keinginan untuk meraih
kesempurnaan iman yang diyakininya. Maka, beranalogi terhadap perintah Allah Yang Maha Agung
agar setiap orang masuk ke dalam Islam secara paripurna (al Baqarah: 208), di sini kita pun dapat
beranalogi tentang mutlaknya berjuang untuk memiliki iman yang paripurna pula.

Ketiga, subprinsip kesan pertama. Subprinsip ini sesungguhnya terkait dengan aktualisasi riil tuturan
yang dibuat pertama kali oleh seorang penutur. Diyakini bahwa tuturan pertama ini akan memiliki
kesan yang sangat kuat dalam diri dan ingatan mitra tutur, dan oleh karenanya perlu memperoleh
perhatian khusus dari penutur. Tuturan ini akan menentukan tingkat kesiapan mitra tutur untuk
melanjutkan interaksi komunikasi dengan penutur pertama tadi (lihat penjelasan tentang subprinsip
keberlanjutan di bawah).

Kalau kita tengok sejarah perkembangan penyebaran agama-agama besar seperti Islam, Kristen,
Budha, Hindu, Konghucu, dan lain sebagianya, dapat diketahui bahwa keberhasilan penyebarannya
sangat ditentukan oleh kesan pertama yang diperoleh oleh (calon) ummat pengikutnya tentang
karakter mulia para pembawa ajaran tersebut. Secara khusus di sini dapat dikemukakan bahwa Nabi
Muhammad SAW telah berhasil mengubah peradaban dunia dan meyakinkan ummat manusia sejagat
tentang kebenaran ajaran yang dibawanya dalam waktu yang teramat singkat (23 tahun) adalah
karena sejak awal manusia percaya akan kejujurannya dan karakternya yang mulia[6]. Perhatikan dua
ayat berikut:

Wainnaka laalaa khukuqin adhiim
Artinya: Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung (al Qalam: 4)

Walau kunta fadh-dhan ghaliidlal qalbi, lanfadl-dluu min haulik
Artinya: Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu (Ali Imran: 159)

Kita juga dapat menemukan pengakuan seorang tokoh besar suku Quraisy, Abu Jahal, tentang
kemuliaan karakter Rasulullah SAW ini pada kisah yang diriwayatkan Ibnu Jarir berikut ini. Beliau
bertutur: Tatkala terjadi peperangan Badar, berhadapanlah empat mata di antara al-Akhnas dengan
Abu Jahal. Lalu berkatalah al-Akhnas: Hai Abu Hakam, katakanlah kepadaku betapa sebenarnya
Muhammad itu, apakah dia seorang yang benar atau seorang pendusta? Katakanlah yang sebenarnya.
Di sini tidak ada orang Quraisy selain kita berdua yang akan mendengar percakapan kita ini! Maka
berkatalah Abu Jahal: Bagaimana engkau ini! Demi Allah, sesungguhnya Muhammad itu seorang
yang benar. Sedikit pun Muhammad itu tidak berdusta. Tetapi kalau keturunan Quraisy telah
memegang bendera di medan perang, dan mereka pula yang memberi minum orang haji dan mereka
yang memegang kunci Kabah, sekarang ditambah lagi, dari kalangan mereka pula timbul nubuwwat
(kenabian), apa sisanya yang tinggal untuk orang Quraisy? (Hamka, 1983: 252)[7].

Keempat, subprinsip keberlanjutan. Di atas disebutkan bahwa subprinsip kesan pertama yang positif
dan impresif akan menjamin keberlanjutan interaksi komunikasi antara penutur dengan mitra
tuturnya. Demikian pula sebaliknya. Apabila seseorang telah memperoleh kesan buruk terhadap
kemunculan pertama (dalam hal ini tuturan-tuturan pertama yang diujarkannya) ketika mereka saling
berinteraksi komunikasi, maka yang bersangkutan akan enggan untuk melanjutkan interaksi
komunikasinya. Akan tetapi, sesungguhnya, subprinsip keberlanjutan ini bermakna jauh lebih
daripada sekedar keberlanjutan interaksi itu. Ia menjangkau masa yang bukan hanya saat terjadinya
interaksi komunikasi tersebut, tetapi juga menjangkau masa yang akan datang. Dengan asumsi bahwa
masa yang akan datang itu adalah masa yang sangat panjang (indefinite), maka peluang untuk
berinteraksi pada masa datang itu pun tentunya juga jauh lebih banyak. Apabila hal ini terjadi, maka
nilai-nilai kebaikan hasil interaksi komunikasi yang terjadi pada tahap awal akan sangat dirasakan
pada masa berikutnya ini. Nilai kebaikan inilah yang sesungguhnya lebih abadi, sebab ia memberikan
faedah langsung kepada seseorang. Dengan pemikiran seperti ini, maka kita dapat memahami betapa
kebenaran yang ditemukan pada dua ayat di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk menyokong
subprinsip keberlanjutan dari PSTR.

Wal-aakhiratu khairan wa abqaa
Artinya: Dan sesungguhnya akhir itu lebih kekal abadi (al- Alaa: 17)

Walal-aakhiratu khairan laka minal uulaa.
Artinya: Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik dari awal (adl-Dluhaa: 4)

Makna dua ayat di atas dapat kita temukan pula dalam peribahasa Latin yang menyatakan
bahwa Finis coronat opus nostram akhir memahkotai pekerjaan kita.

Tidak ada manusia yang tidak meyakini akan kehadiran masa depan, sekalipun tidak semua manusia
percaya akan hadirnya masa depan yang hakiki, yakni kehidupan setelah kematian. Dalam konteks
PSTR, justru tersirat nilai bahwa realisasi interaksi kesantunan itu tidak boleh hanya untuk
kepentingan sesaat yakni untuk masa kini, tetapi ia sejak awal mesti diniatkan untuk menjadi
kebaikan di masa yang akan datang. Berdasarkan pada dua ayat yang dijadikan landasan teologis di
atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan akhir interaksi komunikasi yang sesungguhnya adalah
tercapainya kebaikan yang berkelanjutan (terus-menerus) pada masa datang yang diawali dengan
kebaikan pada permulaan.

Dari paparan di atas terlihat bahwa interaksi komunikasi santun ternyata bukanlah sebuah proses
yang tiba-tiba saja terjadi. Ia merupakan sebuah rangkaian proses yang diawali dengan niat baik,
menenggang perasaan pihak mitra tutur, yang secara bersamaan terjadi proses mental (batiniah)
yakni memformulasikan tuturan, lalu mewujudlah tuturan tersebut sejak tuturan paling awal hingga
akhir yang disertai dengan segala macam prosodinya. Kondisi ini akan baik dan terus terjaga dengan
baik (berkelanjutan) apabila mitra tutur merasa nyaman dan memperoleh kesan baik sejak awal. Di
sini kita percaya bahwa memang benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa segala amal
itu akan sangat tergantung kepada niatnya[8]. Dalam kaitan ini, kita melihat interaksi komunikasi
sebagai salah satu amal, yang dalam istilah Austin disebut dengan (speech) acts. Semakin jelaslah
bahwa konsep kesantunan yang komprehensif mengharuskan adanya tiga tahap itu, yakni kesantunan
sebelum terjadiya komunikasi (pre-event politeness), kesantunan pada saat terjadinya interaksi
komunikasi (on-the-spot politeness), dan kesantunan pascainteraksi komunikasi (post-event
politeness).

Sebagai sebuah konsep yang diyakini memiliki keunggulan dalam halcomprehensiveness (sebab ia
melibatkan tiga tahap), dan dalam keuniversalannya(sebab ia mengakomodasi tiga dimensi
kesantunan), maka PSTR dapat kita gambarkan sebagai berikut:


Gambar 2:
Proses interaksi komunikasi dalam bingkai PSTR beserta ketiga
dimensi yang menjadi target kepuasannya

Ada beberapa catatan yang dapat kita buat tentang dari Gambar 2 di atas. Pertama, lingkaran-
lingkaran itu memiliki batas garis putus-putus. Ini menunjukkan bahwa keempat proses tersebut
bersifat dinamis, tidak kaku. Niat kadang-kadang dapat berubah, demikian pula proses formulasi
ujaran, realisasinya, dan keberlanjutannya. Namun demikian, warna lingkaran untuk niat jahu
lebih solid ketimbang warna pada lingkaran yang lebih luar; ia seperti spektrum warna. Inilah yang
dalam kajian pragmatik dikenal dengan context of situations. Keyakinan akan dinamika konteks
situasi ini memunculkan gagasan tentang tuturan yang layak (appropriate) dan tidak layak untuk
diujarkan. Untuk menunjukkan adanya dinamika tersebut, Hymes (1972: 65) kemudian mengajukan
gagasannya yang dikemas dalam mnemonik SPEAKING (Setting, Participants, End, Act, Key,
Instumentalities, Norms, dan Genre). Kedua,sebagai sebuah proses mental, keberadaan empat
komponen komunikasi itu tidak kasat mata (intangible) sejauh dikaitkan dengan ketiga dimensi
kesantunan berbahasa. Namun demikian, ia tetap berada di dalam bingkai-bingkai target komunikasi
santun, baik yang berdimensi keharmonisan sosial, kebebasan individual, maupun ilahiyah. Hal ini
muncul karena memang tujuan utama interaksi komunikasi santun itu sendiri adalah untuk mencapai
kepuasan-kepuasan itu sendiri. Ketiga,dimensi kebebasan individual dan keharmonisan sosial dapat
digambarkan sebagai sebuah kontinum yang masing-masing berada pada kutub-kutubnya. Mengikuti
pemikiran yang disampaikan pada bagian 6 (Gambar 1) di atas, maka kepuasan sosial (dengan
dimensi keharmonisan sosialnya), kita tempatkan pada kutub yang mengarah ke sebelah kanan
(Timur), sedangkan kepuasan pribadi (dengan dimensi kebebasan individualnya) kita tempatkan pada
kutub yang mengarah ke sebelah kiri/Barat. Sementara itu, kepuasan tertinggi, yakni kepuasan
syurgawi (dengan dimensi ilahiyahnya) kita posisikan ada di bagian atas. Kepuasan pribadi dan
kepuasan sosial tidak akan pernah tercapai secara sempurna manakala hanya salah satu kepuasan saja
yang terwujud. Apabila memang akhirnya tercapai, maka kepuasan sosial harus juga menjamin
bahwa setiap individu merasa puas juga. Sebaliknya, kepuasan individu tidak boleh mengabaikan
keharmonisan sosial.Keempat, gambar di atas juga menunjukkan bahwa target utama dari realisasi
kesantunan berbahasa, baik yang berdimensi kebebasan individual maupun yang berdimensi
keharmonisan sosial, sebenarnya adalah untuk mencapai kepuasan hakiki berupa kepuasan syurgawi
yang memiliki dimensi ilahiyah. Sebagai balikannya, dimensi ilahiyah akan mewarnai realisasi
kesantunan berbahasa yang awalnya hanya ditujukan untuk mencapai kebebasan individual dan/atau
hanya untuk menjaga keharmonisan sosial. Melalui gambaran seperti ini, maka di sini kita
mendapatkan satu model kesantunan berbahasa yang lebih komprehensif, yang tidak hanya
memperhitungkan aspek hubungan horisontal manusiawi tetapi juga menyertakan adanya hubungan
vertikal ilahiyah.

Konsep kepuasan syurgawi dapat dipandang sebagai bentuk yang transendental, yakni memiliki nilai
intrinsik terdalam dan sekaligus tertinggi dari dimensi kepuasan. Ia universal dengan sendirinya,
dalam arti dapat diterapkan kepada setiap kelompok masyarakat, bahkan kepada kelompok yang
atheis sekali pun. Perhatikan petikan episode berikut ini yang penulis alami langsung dalam sejumlah
pembicaraan dengan beberapa pihak yang mengakui sebagai kelompok atheis ketika penulis berada
di Shanghai. Ketika dalam beberapa kesempatan penulis berseru dengan Oh my Godness Masya
Allah, kawan-kawan penulis yang atheis itu sering kali menjadi kebingungan. Akhirnya mereka
bertanya apa yang penulis ketahui dan yakini tentang Tuhan itu. Setelah beberapa kali diberikan
penjelasan, nampaknya mereka mengerti apa yang penulis yakini tentang Tuhan itu. Tibalah
giliran penulis bertanya kepada mereka dengan beberapa pertanyaan sederhana seperti, Mengapa
mereka mau berbuat baik kepada orang lain? Mengapa mereka menyayangi binatang? Mengapa
mereka tidak mau mengganggu ketertiban umum? Dan sejumlah pertanyaan lainnya. Inti jawaban
mereka adalah bahwa mereka melakukan itu karena di dalam hati mereka ada cinta dan kasih
sayang kepada pihak lain. Dan nampaknya, cinta dan kasih sayang inilah yang menjadi pendorong
terkuat dari segala tujuan perilaku hidup mereka. Dengan kata lain, cinta dan kasih sayang adalah hal
yang mereka pertuhankan, cinta dan kasih sayang telah menjadi ilah mereka. Cinta dan kasih
sayang itulah yang menggiring mereka dalam bertindak. Mencari perwujudkan cinta itulah yang
menjadi tujuan mereka. Kepuasan tertinggi seperti inilah yang kita katakan sebagai kepuasan
syurgawi, yang kita yakini akan ditemukan pada kelompok masyarakat manapun, dengan apapun
namanya.

1. 9. Bagian Penutup

Perbedaan konsep kesantunan berbahasa yang ditemukan pada masyarakat kita saat ini bermula dari
adanya perbedaan dalam melihat dan merumuskan konsep wajah. Wajah adalah representasi dari
harga diri dan reputasi seseorang, yang akan senantiasa dijaga kesakralannya. Rumusan Kung Fu
Tzu dalam budaya tradisional Cina menyiratkan bahwa wajah adalah atribut sosial yang diperoleh
seseorang sebagai pinjaman dari masyarakat, yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali apabila
masyarakat tidak lagi menaruh percaya atas seseorang. Sementara itu, dalam pandangan Brown &
Levinson, wajah adalah atribut sosial yang dimiliki (secara hakiki) oleh seseorang dan ia bersifat
universal. Kedua pandangan tentang konsepsi wajah ini telah menghasilkan dua model kesantunan
berbahasa dengan dimenasinya masing-masing. Pandangan kelompok pertama merumuskan
kesantunan berbahasa sebagai salah satu upaya untuk menjaga dan mewujudkan keharmonisan
sosial, sedangkan kelompok kedua lebih memandangnya sebagai upaya untuk memberikan
penghargaan kepada individu.

Bagaimanapun, dua dimensi konsep kesantunan berbahasa yang ada tersebut tidaklah lengkap, selain
memang masing-masing tidak dapat dipertemukan. Keberadaan yang satu memungkinkan
meniadakan yang lain. Walaupun Leech telah mencoba membuat rumusan model yang lebih
kompromistis, upaya tersebut gagal karena model yang ditawarkan Leech lemah secara logika. Oleh
karena itu, Aziz (2000; 2003) menyodorkan model alternatif tentang kesantunan berbahasa yang
lebih universal. Model konsepsi ini, dikenal dengan Prinsip Saling Tenggang Rasa (PSTR), selain
dirumuskan dalam hukum kausalitas, juga mempertimbangkan tiga jenis kesantunan. Lebih dari itu,
model konsepsi kesantunan ini juga sekaligus memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi sosialisme
(keharmonisan sosial), dimensi individual (kebebasan individual), dan dimensi ilahiyah (kepuasan
syurgawi).

1. 10. Terminal Transit dari Sebuah Perenungan: Sebuah Contoh

Sebagai tindak lanjut dari perenungan itu, mari kita perhatikan secara seksama kandungan surat al
Ftihah, surat Pembuka dari keseluruhan isi al Quran, dan ia berstatus sebagai Ummul Quran[9].
Saya tidak akan berpura-pura, punya pretensi menjadi ahli tafsir al Quran sebagaimana
layaknya mufassiriin dalam berbagai zaman membuat tafsiran terhadap al Quran. Alih-alih, saya
hanya bermaksud berbagi pandangan dengan para pembaca yang budiman bahwa ada sebuah
tuntunan dari Yang Maha Pencipta yang diwujudkan dalam konstruksi wacana di dalam surat al
Ftihah. Pada surat pendek ini terkandung sebuah contoh bagaimana Allah swt menunjukkan tingkat
kesopanan yang Amat Tinggi, yang mesti menjadi perhatian seluruh makhluq-Nya.

Tiga ayat pertama dari al Ftihah berisi pernyataan tentang sombong-nya Allah swt sendiri tentang
apa-apa yang dimiliki-Nya, yang meliput keseluruhan sarwaning alam. Sampai-sampai, dimulailah
segala pengakuan terkait apapun jua hanya dengan menyatakan bahwa secara hakiki adalah milik
Allah. Pengakuan ini diwujudkan dengan pembacaan pernyataan beratas-nama dan menggunakan
nama Allah. Allah swt menyombongkan diri-Nya dengan deklarasi bulat bahwa hanya nama-Nya
yang berhak digunakan makhluq-nya dalam memulai segala tindakan. Maka, keberadaan makhluk,
apapun namanya, termasuk manusia, sesungguhnya tidak bernilai apa-apa, sebab semuanya, puja-
puji, kasih-sayang, kekuasaan, penghambaan adalah milik-Nya secara mutlak. Tak ada yang berhak
untuk turut serta atau neko-neko mengganggu gugat hak-hak otoritatif Allah swt dalam segala
aspeknya, karena Dia memang Khaliq. Tak ada yang berhak mempertanyakan mengapa makhluq
mesti beribadah kepada-Nya, karena Dia memang Yang Maha Kuasa dan Pemilik semua alam
beserta segal isinya ini, baik dulu, kini, maupun nanti di akhirat. Kita, di sini bisa mempersamakan
konsep individualismenya Allah dengan apa yang dikaji oleh Brown dan Levinson di atas. Dengan
mengakui ke-Maha Digdaya-an Allah, tidaklah mungkin manusia bersikap sombong, adigung
adiguna terhadap Allah. Dan oleh karenanya, layaklah kalau pada akhirnya manusia dan makhluq
seluruhnya beribadah dan menghamba kepada Allah yang memiliki segalanya itu. Faham
individualisme yang ditunjukkan pada tiga ayat pertama surat al Ftihah ini sampai sejauh tertentu
sejalan dengan ide tentang dimensi individualisme dalam kesantunan berbahasa. Artinya, kalau kita
mengakui akan adanya hak-hak individu terkait dengan kepemilikan wajahnya yang menurut
Brown&Levinson bersifat mutlak, maka pada ayat-ayat ini kepemilikan itu bersifat Maha Absolut.
Ego yang dimiliki Allah swt secara nyata tercermin dalam tiga ayat pertama al Ftihah ini.

Akan tetapi, sekalipun memiliki hak yang mutlak terhadap apapun, ternyata Allah swt tidaklah kikir
atau individualistis. Allah tidak rela kalau harus membiarkan makhluq-Nya merana begitu saja tanpa
memberikan arah pegangan dengan menunjukkan haluan yang jelas. Dalam kaitan inilah lalu Allah
memunculkan konsep ibadah. Konsep peribadatan, sesungguhnya, merupakan upaya untuk menjalin
dan menciptakan harmoni antara pihak yang satu dan pihak yang lain, yang dalam hal ini antara
makhluk dan Khaliq-nya. Dalam tiga ayat terakhir al Ftihah ditunjukkan bagaimana upaya
harmonisasi itu mesti dilakukan. Pertama, diakui bahwa tak ada yang diperhambai sehingga layak
diibadahi kecuali Allah. Pernyataan yang diikuti dengan ikrar permintaan tolong hanya kepada Allah
adalah upaya untuk tidak mendua. Bagaimanapun, ini adalah bentuk kesetiaan tertinggi dari manusia
apabila dapat diwujudkan. Seraya mengakui kelemahannya, maka manusia memohon ditunjuki jalan
yang sesuai dengan keinginan Yang Maha Memiliki, dalam template yang sudah diciptakan-Nya agar
tidak tersesat ke mana arah yang tak menentu. Terjadinya kutukan dan penyimpangan (baca:
disharmoni antara makhluq dan Khaliq-nya) seperti digambarkan dalam ayat terakhir, sesungguhnya
adalah karena makhluk tidak mampu mengapresiasi kehendak Allah swt sebagai Khaliq. Kalau kita
tilik dari sudut pandang teori kesantunan yang ada, maka kita dapat mengatakan bahwa hal tersebut
terjadi karena manusia tidak mampu melihat dan memperhatikan wajah Allah. Jalan inilah yang
kemudian kita temukan dalam rumusan konsep kesantunan yang dikembangkan oleh Kung Fu Tzu
(dimensi kerukunan/harmonisme sosial). Melalui ketiga ayat terakhir ini, seolah-olah ditunjukkan
kepada kita bagaimana kita mesti membangun kerukunan di antara dua pihak. Apabila Kung Fu Tzu
lebih peduli terhadap penciptaan kerukunan di antara sesama warga masyarakat, maka dalam tiga
ayat terakhir ini digambarkan kerukunan hakiki, yakni di antara Khaliq dengan makhluq-Nya. Dan
itulah alasan mengapa makhluq beribadah kepada Khaliq, yang sesungguhnya bagi Khaliq sendiri
tidak merasa perlu, sebab Dia sangat otoritatif. Makhluqlah yang memerlukan adanya
harmoni/kerukunan itu, agar di akhir kelak tidak mendapat murka.

Kini muncul pertanyaan di benak kita. Bagaimana dengan ayat keempat dalam al Ftihah,
yakni Maaliki yaumiddiiin? Saya punya keyakinan bahwa ayat ini adalah titik kesetimbangan dari
surat al Ftihah. Ia poros sentral yang ngajagang[10], meliput kedua watak yang digambarkan:
individualisme dan harmonisme. Penggalan kataMaaliki pada Maaliki yaumiddiin menyiratkan
makna hakikat dari individualisme, mengikat tiga ayat pertama yang mendahuluinya (referensi
anaforik). Sedangkan penggalan kata yaumiddiin lebih kataforik, dalam arti menunjukkan makna
yang lebih ke hubungan dua pihak, yang dalam hal ini hubungan sosial antara Khaliq dan makhluq-
Nya pada sebuah hari nanti.

Selain posisinya yang memang ada di tengah (ada tiga ayat yang mendahului dan tiga ayat yang
mengikuti), ayat keempat ini berisi pula deklarasi tentang hakikat kepenguasaan. Kita, dalam
berbagai kesempatan diberi tahu Allah swt bahwa hidup yang hakiki adalah akhirat. Artinya, akhirat
adalah orientasi hidup kita, kampung tujuan akhir seluruh makhluq. Di sini, seolah-olah Allah swt
hendak menyatakan bahwa silakan di bumi ini siapapun boleh mengakui berkuasa, mengklaim punya
dan bisa mengecap kenikmatan. Akan tetapi, semua itu adalah semu belaka, sebab kekuasaan,
nikmat, kasih sayang yang hakiki adalah Allah itu sendiri. Dengan deklarasi yang amat jelas ini,
Allah swt memperoleh dan menujukkan kepuasan mutlak-Nya. Hal ini sejalan dengan gagasan dari
dimensi ketiga, yakni kepuasan syurgawi/ilahiah.

Dari cuplikan terhadap upaya reinterpretasi atau penafsiran ulang terhadap kandungan surat al
Ftihah ini, maka kita memperoleh banyak pelajaran/itibar.Pertama, Allah swt menempatkan Surat
al Ftihah sebagai pembuka surat-surat al Quran untuk memberikan pelajaran kepada pembacanya
bahwa dia benar-benar merupakan contoh riil dari Allah swt tentang bagaimana dia berfungsi sebagai
Ummul Quran. Kedua, dimensi-dimensi hubungan kehidupan yang ditemukan dalam dunia ini tidak
akan terlepas dari adanya keinginan individual, kepentingan sosial, dan tujuan final dari hidup itu
sendiri (ingat segitiga individual-sosial-ilahiah yang digambarkan di atas). Ketiga, pemberian contoh
ini semakin mengokohkan kepercayaan kita akan firman Allah swt bahwa tidak ada sesuatupun yang
diciptakan Allah itu sia-sia. Yang seperti inilah sebenarnya hakikat dari UNIVERSALISME sebuah
konsep, yakni mewadahi dimensi individual, dimensi sosial, dan dimensi ilahiah. Lebih jauhnya, di
sinilah kita akan semakin memahami salah satu makna dari firman Allah swt yang menyatakan
bahwa ummat Islam diciptakan sebagai ummat poros tengah, yang tidak condong ke Barat dan/atau
ke Timur. Wallahu alam bish-shawaab!

Demikianlah paparan gagasan yang dapat saya kemukakan sebagai puncak pertama dari hasil
perenungan saya selama ini tentang hakikat kesantunan berbahasa. Kalau saja Allah swt telah
memberikan contoh tentang bagaimana Dia telah merealisasikan ketiga dimensi universal tadi, tak
ada alasan bagi kita sebagai makhluq untuk tidak mencontoh dan menaati apa yang secara nyata
ditunjukkan melalui apa-apa yang telah difirmankan-Nya. Mudah-mudahan, derajat ulul-
albab sebagaimana tercantum dalam Ali Imran: 191-194 itu (alladziina yadzkuruunallaaha
qiyaaman wa quuudan...), dapatlah saya gapai adanya. Aamiiiin.

1. 11. Ucapan Terima Kasih

Selain kepada pihak yang telah saya sebutkan di atas, secara khusus dan penuh ikhlas, saya ingin
menyampaikan sejumput ungkapan terima kasih, sebagai tanda kasih saya kepada mereka. Secara
sosio-kultural-emosional, saya ingin menyatakan rasa terima kasih ini kepada:
Pertama dan utama, seperti saya ungkapkan di halaman paling awal, pidato ini secara khusus
saya persembahkan kepada Ema jeung Bapa yang telah mengajari saya berbahasa dan
berpikir. Ema yang kini mulai renta sekalipun (di usianya yang mencapai hampir 88 tahun),
dan Bapa yang kini telah tiada, di kala hidup mereka, tak pernah senafas pun berhenti berdoa
untuk kebaikan saya. Sejumlah prinsip hidup yang telah Bapa tanamkan dan secara
langsungBapa praktekkan di hadapanku telah menjadi fondasi yang teramat kokoh bagiku
untuk dijadikan pegangan agar aku tidak tagiweur galideur. Namun sayang, Bapa tidak
sempat menyaksikan momen penting ini, padahal saya haqqul yakin bahwa hal ini akan
memberikan segenggam kebahagiaan bagiBapa. Untuk Bapa yang kini tengah berbaring
tenang di alam kuburnya, saya panjatkan doa tulus walaupun hanya beberapa penggalan kata,
mudah-mudahan Allah swt menerima segala amal ibadah Bapa. Kepergian Bapa ketika saya
tak sempat menyaksikan saat-saat terakhir, sungguh memilukan, walaupun kemudian saya
dapat rada-rada tenang karena kabar dari orang sekeliling yang menyaksikan Bapa berangkat
menghadap Ilahi Rabbi ketikaBapa asyik masyuk bersujud shalat di hari Jumat terakhir itu.
Terlalu banyakatikan Ema jeung Bapa yang saya terima dan ternyata teramat mahal untuk
dibalas dengan bentuk apapun oleh anakmu ini. Hanya Allah-lah yang kuasa membalas
kebaikan Ema jeung Bapa. Wajah Bapa yang penuh wibawa menjadikan sumber inspirasi
bagiku bagaimana caranya menempuh hidup.
Yang kedua, kepada istriku tercinta, Teti Herawati binti Sardjo, yang telah dengan penuh kasih
sayang, kesetiaan, dan kesabaran mendampingi saya selama lebih dari 16 tahun, dalam suka
dan dukanya mengarungi kehidupan rumah tangga. Berkat cinta kasih dan saling pengertian
yang telah dibangun bersama ini, telah kita wujudkan keluarga yang lulus mulus rahayu yang
lebih banyak diwarnai dengan ungkapan bahagia tinimbang duka. Di kala orang-orang banyak
menggunjingkan tentangku, justru istrikulah yang telah sabar dan dengan penuh keyakinan
membesarkan hatiku. Dengan dasar cinta kasih itu pula telah kita didik anak-anak kita, Thariq,
Anne, dan Rin, yang kini mulai tumbuh dewasa. Berkat dorongan doa yang kerap kali
dipanjatkan di kala malam sepi itulah, ternyata kita telah diberi-Nya bimbingan agar kita tetap
tawakkal. Untuk itu, terimalah ungkapan tulus tanda terima kasih ini, sebagai bagian dari
perjuangan hidup yang telah dan akan terus kita bina. Kepada anak-anakku itu, saya ingin
menyampaikan terima kasih, karena berkat merekalah hidup saya semakin tangguh tidak cepat
putus asa, penuh dengan harapan baik, dan punya makna. Anak-anakku, sesuai usia yang
dimilikinya dan lingkungan yang dilakoninya, telah mulai menunjukkan siapa jati dirinya. Aku
bangga terhadap kalian.
Almarhum Bapak Mertuaku, Sardjo bin Suharma, yang di kala hidupnya menjadi bagian dari
kelengkapan doa yang kerap dipanjatkan dan langkah yang diayunkan. Dorongan semangat
yang senantiasa ditiupkan ke dalam roh perjuanganku, ternyata mampu membangun
kekokohanku dalam menjalani berbagai ujian hidup. Kepergian Bapak saat kami masih
berjuang menyelesaikan pelajaran di kota Melbourne sungguh mengagetkan kami. Kami tak
sempat berjumpa dan melihat kembali wajah Bapak yang senantiasamarahmay kala
berhadapan dengan kami. Dan wajah itu pula yang Bapak bawa kala Bapak harus menghadap
Sang Pencipta. Semangat yang sama ditambah kesabaran yang luar biasa, telah pula diberikan
oleh Ibu Mertuaku, Isah Aisyah binti Kosasih. Untuk mereka berdua, saya haturkan
persembahan terima kasih dan doa tulus mudah-mudahan rahmat dan maghfirah Allah swt
senantiasa terlimpah kepada keduanya.
Saudara-saudaraku, Akang, Teteh, jeung Ceuceu yang dalam kondisi apapun ternyata tetap
sabar dan penuh kasih sayang mengasuh dan ngokolakeunadikmu yang panungtung ini.
Berdirinya aku di mimbar ini adalah hasil karya dan perjuangan Akang,
Teteh, jeung Ceuceu dalam ngokolakeun si bungsu. Terimalah ini sebagai kado terindah yang
mudah-mudahan memberikan kebahagiaan bagi Akang, Teteh, jeung Ceuceu. Demikian pula
bagi Saudara-saudara iparku. Dukungan dan doa mereka tak pernah surut, dan ternyata cara
kita membangun persaudaraan selama ini telah memberikan warna tersendiri dalam hidupku
ini. Bagi mereka Saudara-sauadara kandungku dan suadara iparku, aku persembahkan
ungkapan terima kasih yang sangat mendalam. Ucapan yang sama saya ingin sampaikan
kepada semua Uwa, Mamang jeung Bibi di lembur, yang tak henti-henti berdoa untuk saya.
Keponakanku yang jumlahnya puluhan, sungguh sangat memberiku kebahagiaan di kala
semua berkumpul dan bercengkrama. Kalian banyak memberiku inspirasi.
Para guru ngajiku di tajug dan di kobong, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga, karena berkat merekalah saya dapat melek hurup a-ba-ta-tsa. Begitu pula para guru
di SD Giritaruna, khususnya Pak Empud, yang paling awal mengajariku a-be-ce-
de dan babantunan-tatambahan. Sementara itu, Ibu Rd. Titi Gandaryati dan Ibu Umi Siswati
guru bahasa Inggris di SMPN Cikoneng yang kemudian sesekali diselingi oleh Pak Moch.
Rakhmat (alm), adalah guru-guru yang mem(per/ber)dayakanku dengan bahasa Inggris.
Berkat penistaan yang mereka lakukan kepadaku tentang Past Tense yang tidak sempat aku
ikuti karena aku harus bed rest selama satu bulan gara-gara sakit parah, aku kini jadi melek
dan tahu persis apa makna Tenses yang sesungguhnya. Mereka semua, dan juga guru-guru lain
pada tingkat awal ini, layak memperoleh ungkapan terimakasih dan doa tulus semoga amal
ibadah mereka mendapat balasan yang jauh lebih baik dari Allah swt. Aamiiin.
Para dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, khususnya Ibu Dra. Hj. Lailahanoum
Hasyim yang paling awal memberikan kesempatan kepadaku untuk membuka mata terhadap
Linguistik, sangat berperan dalam membentuk sudut pandangku di awal-awal aku belajar
Linguistik. Selanjutnya, Prof. Dr. Fuad Abdul Hamied, M.A. adalah orang yang sangat
berperan dalam perjalananku di UPI, yang dulu bernama IKIP Bandung. Aku sempat
dibedol untuk bekerja bersama Pak Fuad di UPT Hubungan dan Pendidikan Internasional
dengan gaji yang sangat tidak sepadan, padahal waktu itu aku sudah bekerja di tempat lain
dengan gaji yang lebih dari 25 kali lipat, dan telah siap untuk menuju pelaminan. Pak Fuad-lah
yang mengajariku bagaimana menjadi seorang manajer hidup dan membangun percaya diri
kalau harus berhadapan dengan orang-orang pintar di kampus. Sementara itu, Prof. Dr. A.
Chaedar Alwasilah, M.A. sangat berperan dalam membentuk perjalanan hidupku dalam
berbudaya ilmiah dan berkarya ilmiah. Prof. Dr. Nenden Sri Lengkanawati, M.Pd. adalah salah
seorang inspirator dalam perjalanan hidupku sejak awal pergaulan kami. Hanya kepadanyalah
aku berani memanggil Aceukkarena saking akrabna di kala orang lain tak terdengar
menggunakan sapaan itu. Dalam dugaanku (maaf Ceuk kalau ternyata salah)
sepertinya AceukNenden sangat menikmati suasana berkomunikasi kami kala itu. Ketiga orang
ini pulalah yang kemudian bertindak sebagai Peer Group untuk kegurubesaran saya, sebab
merekalah yang memang akrab dengan kiprah saya selama ini. Tentu saja, tak adil kalau saya
tidak menyebutkan peran besar orang-orang di sekeliling saya di Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris yang telah membentuk dan mendukung perjalanan karir saya di sini. Drs. Mulyana
Sugandi dan Drs. M. Jusuf Lani adalah dua pembimbing yang memoles skripsiku yang waktu
itu penuh dengan kesalahan berbahasa. Dr. Iwa Lukmana, M.A. sebagai sparing partner dalam
kajian Linguistik, yang sesekali dilengkapi dengan kehadiran Dr. Dadang Sudana, M.A., Dr.
Emi Emilia, M.A., dalam berdebat bicara topic-topik linguistic; dan asisten-asisten yang
sangat setia membantuku R. Dian D. Muniroh, S.Pd., Sri Harto, S.Pd., M.Pd., Yanty Wirza,
S.Pd., M.Pd. Akhirnya,kum kepada semua kolega dan pimpinan di Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris (Drs. Wachyu Sundayana, M.A. dan Fazry Nur Yusuf, S.Pd., M.Pd.), Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris (Dr. Didi Suherdi, M.Ed.) dan Program Studi Bahasa dan Sastra
Inggris (Ahmad Bukhori Muslim, S.Pd., M.Ed.). Berkat dorongan dan kerja sama Bapak dan
Ibu sekalian, saya merasa nyaman berkiprah secara akademik dan nonakademik di lingkungan
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Peran Pak Engkus, Pak Endjo, Pak Eko, Pak Ahmad
Mauludin dan belakangan Sdr Farhan dan Irvan di jajaran Tatausaha Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris sangat membantu saya dalam menjalankan tugas-tugas sebagai dosen di sini.
Bagi mereka, saya panjatkan doa mudah-mudahan segenap kebaikan mereka itu memperoleh
balasan yang jauh lebih baik dari apa yang telah mereka berikan kepada saya.
Peran Professor Keith Allan sebagai Supervisor saya selama mengikuti pendidikan Master dan
Doktor di Department of Linguistics, Monash University sangat berbekas dalam benak saya.
Ungkapan yang sangat membuat saya tersentak adalah kamu jangan bermimpi dapat
dibimbing saya kalau tidak bisa kritis dan mampu membuat perubahan terhadap teori yang
sudah mapan. Hal itulah yang memacu saya untuk berpikir keras dan bercita-cita menjadi
filsuf bahasa berlabel ordinary language philosopher seperti sempat dinyatakan John
Langshaw Austin dan John Searle. Bisa jadi, apa yang dikatakan oleh Keith tadi, kini menjadi
kenyataan. Sementara itu, peran Prof. Stuart O. Robson dan Mr. Bas Koesasi dari Indonesian
Program, Department of Asian Languages and Studies, Monash University, sangat berarti
dalam rangka saya dan keluarga bisa bertahan hidup di kampung Clayton. Untuk mereka ini,
atas hubungan persahabatan yang juga telah kami bangun dengan cara sedemikian baiknya,
saya sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Teman-teman sepermainan di kala kecil dan beranjak remaja yang ternyata sampai kini masih
menjadi sobat dalit Iman, Enuh, Hendra, dan Asepdimana mereka telah ikut membentuk
kepribadianku agar semakin mencintai alam, hal mana dibuktikan dengan kebiasaan kita dulu
kemah di gunung dan kegiatan tadabbur alam lainnya.

Selanjutnya, secara struktural, saya ingin pula menyampaikan ungkapan terima kasih yang amat
tinggi kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut membantu
perjalanan karir saya di UPI.

Pertama, Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., Rektor Universitas Pendidikan Indonesia yang
sabar dan dengan penuh kepercayaan memberikan amanah kepada saya untuk terus berkiprah
bersama-sama membangun dan mengembangkan UPI menuju masa depan yang lebih baik.
Walau saya terkadang geregetan melihat kondisi riil yang tak kunjung segera berubah, Pak
Rektor dengan sikap ke-bapak-an tetap sabar membimbing saya untuk lebih realistis.
Kesempatan yang diberikan Pak Rektor Sunaryo kepada saya untuk improvisasi dalam rangka
aktualisasi diri ternyata sarat dengan nilai-nilai yang teramat berharga. Saya tidak mampu
membayangkan kalau Rektornya bukan Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., mungkin saya
sudah segera patah arang.
Para Pembantu Rektor UPI, para Dekan dan Pembantu Dekan, Direktur dan para Asisten
Direktur Sekolah Pascasarjana, Ketua dan Sekretaris Lembaga, para Direktur dan Sekretaris
UPI Kampus Daerah, Kepada Biro dan seluruh jajaran pimpinan dan staf di lingkungan UPI
yang kerap harus berinteraksi dengan saya dalam rangka penyelesaian tugas-tugas
kelembagaan, saya menyampaikan terima kasih atas dukungan Bapak, Ibu dan Saudara-
saudara sekalian. Bapak Drs. H. Akhlan Husein (mantan Dekan FPBS), di kala saya masih
mahasiswa dan kemudian diterima menjadi CPNS pada FPBS setelah lulus, sangat membantu
dan memberikan dorongan yang luar biasa agar saya dapat berkiprah lebih banyak di dunia
akademik. Secara khusus, saya ingin sampaikan ucapan terima kasih kepada jajaran staf di
Sekretariat Universitas (Pak Endang, S.H. dkk.) dan di Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan (Pak Drs. A. Budhi Salira, S.Pd., M.Si. dkk) beserta Tim Sangkuriangan yang
tidak mengenal lelah dalam bekerja secara bersama-sama (di antaranya Prof. Dr. Astim
Riyanto, Dr. Asep Kadarohman, Dr. Agus Rahayu, Dr. Agus Setiabudi, Dr. Agus Setiawan,
Drs. Harry Firman, M.Pd., Dr. Karim Suryadi, dan lain-lain). Bantuan Sdr. Andika Dutha
Bachari, S.Pd. dalam berbagai kesempatan saya menjalankan tugas pantas saya apresiasi pula.
Prof. Dr. H. Mohammad Fakry Gaffar, M.Ed. layak memperoleh ucapan terimakasih secara
khusus dari saya. Beliaulah yang telah banyak mempengaruhi saya dalam meniti karir di UPI,
baik ketika beliau sedang menjabat sebagai Pembantu Rektor I maupun ketika menjadi Rektor.
Bersama-sama dengan motivasi yang diberikan oleh Pak Fuad, ternyata dorongan beliau yang
sangat kuat agar saya dapat go international telah membuka wawasan saya supaya teu kurung
batokeun alias tidak menjadi katak di bawah tempurung.
Prof. Ilyas Purakusumah adalah orang yang saya tuakan, yang benar-benar telah berperan
sebagai pengganti orang tua ketika saya harus jauh dari keluarga. Beliau sangat pantas untuk
saya jadikan teladan dalam cara bagaimana mengayomi sesama. Beliau pula yang secara
kebetulan melalui telepatinya sempat mengatakan kepada saya setelah saya beberapa hari
menikah dan sowan kepadanya bahwa saya akan segera pergi ke luar negeri untuk belajar dan
dalam waktu singkat akan menjadi guru besar.
Para mahasiswa pada semua tingkatan yang secara terus-menerus memberikan inspirasi
kepada saya dalam cara saya mengembangkan pemikiran-pemikiran baru. Pertemuan tatap
muka di perkuliahan dan ketika mengoreksi tugas-tugas mereka, sungguh menjadi wahana
pembelajaran yang sangat membahagiakan saya. Oleh karenanya, saya sangat merasa
kesepian dan tersiksa ketika selama beberapa waktu harus berpisah dan tidak berinteraksi
dengan para mahasiswa.

Akhirnya, kepada semua pihak baik secara individu maupun secara kolektif yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu, dan mungkin sangat besar kontribusinya terhadap keberhasilan saya selama
ini, saya mohon maaf dan tentu saja terima kasih atas sumbangsih Bapak, Ibu, Saudara semua.
Yakinlah bahwa Allah swt tidak akan pernah lalai menuliskan amal baik Bapak, Ibu, Saudara
sekalian. Jazakumullahu khairan katsiiran.


1. 12. Daftar Pustaka

Aziz, E. A. 2000. Refusing in Indonesian: strategies and politeness implications.Tesis Ph.D. (Tidak
diterbitkan). Department of Linguistics, Monash University.

__________. 2003. Theorizing linguistic politeness in Indonesian society, Linguistik Indonesia,
21(2): 167-186.

____________ . 2005. Face facing dilemma: a study on the concepts of face and politeness
phenomena in the changing China. Makalah Disajikan pada The ASF China Alumni Fellows
Conference, di Beijing, 13-14 November 2005.

Barnlund, Dean C. & S. Araki. 1985. Intercultural encounters: the management of compliments by
Japanese and Americans. Journal of Cross-cultural Psychology, 16/1: 9-26.

Barnlund, Dean C. & M. Yoshioka. 1990. Apologies: Japanese and American styles,International
Journal of Intercultural Relations, 14: 193-206.

Brown, P. & S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage.Cambridge: CUP.

Chang, H. & R. Holt. 1994. A Chinese perspective on face as inter-relational concern. Dalam S.
Ting-Toomey (ed.). The challenge of facework. Albany: SUNY. Pp 133-158.

Chen, Rong. 1993. Responding to compliments: a contrastive study of politeness strategies between
American English and Chinese speakers, Journal of Pragmatics, 20: 49-75.

Cheng, Chung-ying. 1986. The concept of face and its Confucius roots. Journal of Chinese
Philosophy. 13, 329-348.

Eelen, G. 2001. A critique of politeness theories. Manchester: St Jerome.

Fraser, Bruce. 1990. Perspective on politeness. Journal of Pragmatics, 14:219-236.

Goffman, Erving. 1959. The presentation of self in everyday life. New York: Doubleday.

_________. 1967. Interaction ritual: Essays in face-to-face behavior. New York: Pantheon Books.

Grice, H.P. 1975. Logic and conversation. Dalam P. Cole & J.L. Morgan (ed.).Syntax and
Semantics 3: speech acts. NY: Academic Press.

Gu, Yueguo. 1990. Politeness Phenomena in Modern Chinese. Journal of Pragmatics 14:237-257.


Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar Juz VII. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ho, D.Y. 1976. On the concept of face. American Journal of Sociologist, 81, 867-884.

Hu, Hsien Chin. 1944. The Chinese Concept of Face. American Anthropologist 46(1): 45-64.

Hymes, D. 1972. Model of the Interaction of language and social life. Dalam John J. Gumperz &
D. Hymes (ed.). 1972. Directions in Sociolinguistics: the ethnography of communication. NY: Holt,
Rinehart and Winston.

Ide, Sachiko. 1989. Formal form and discernment: Two neglected aspects of universals of linguistic
politeness. Multilingua 8/2-3:223-248.

Jia, Wenshan. 1997. Facework as a Chinese conflict-preventive mechanisma cultural/discourse
analysis. Intercultural Communication Studies VII: 1. Available
online: http://www.trinity.edu/org/ics/ICS%20VII/ICS-VII-1-JIA.pdf

Kasper, G. & S. Blum-Kulka (ed.). 1993. Interlanguage pragmatics. NY, Oxford: OUP.

Leech, G. N. 1983. Principles of pragmatics. London: Longman.

Lerner, G.H. 1996. Finding face in the preference structures of talk-in-interaction.Social
Psychology Quarterly, 59,4, 303-321.

Mao, Robert LuMing. 1994. Beyond politeness theory: Face revisited and renewed.Journal of
Pragmatics 21:451-486.

Matsumoto, Yoshiko. 1988. Reexamination of the universality of face: Politeness phenomena in
Japanese. Journal of Pragmatics 12(4):403-426.

_________. 1989. Questions on politeness and conversational universals: Observations from
Japanese. Multilingua 8-2/3:207-221.
Scollon, R. & S. Scollon. 1994. The parameters in East-West discourse. In S. Ting-Toomey
(ed.). The challenge of facework. Albany: SUNY. Pp. 133-158.

Watts, R., S. Ide, dan K. Ehlich (ed.). 1992. Politeness in language: studies in its history, theory, dan
practice. Berlin: Mouton de Gruyter.


Lampiran: Daftar Riwayat Hidup


L.1. DATA PRIBADI


Nama lengkap : Prof. Endang Aminudin Aziz, Drs. (UPI), M.A. (Monash), Ph.D.
(Monash)
Tempat/Tgl lahir : Ciamis, 16 November 1967
Alamat : Jl. Pangkalan no 3 RT 01 Rw 10 Sariwangi Bandung 40559
Telepon/HP : 022 2000 780 / 0812 212 5630
Email : aminudin@upi.edu
Pekerjaan : Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI, tmt 1 Maret 1992
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda/IV-b
Jabatan : Guru Besar (Linguistik), tmt 1 September 2007
Alamat Kantor : Jl. Setiabudhi no 229 Bandung 40154
Nama Istri : Teti Herawati binti Sardjo
Nama Anak : 1. Thariq Abdullah Muhammad Iqbal Aziz
2. Anne Shafira Purnama Claytonia Aziz
3. Rin Floria Villanita Aurora Aziz
Agama : Islam
Nama Ayah : E. Muslih bin H. Bakri (alm)
Nama Ibu : Hj. Isoh Aisyah binti Djamhoedi

You might also like