You are on page 1of 9

Etika Islam dalam bidang Konsumsi

Posted: June 28, 2011 in makalah, Perbankan (Syariah dan Konvensional)


Tags: banks, bisnis islam, boros, etika islam, hadits, lembaga keuangan, manajemen, manajemen perbankan syariah,
mps, perusahaan, riwayat, syariah, syariah islam, tata cara islam, unsri
4
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda
perekonomian. Bayangkan ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan membayar pada suatu
barang yang diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang mereka sesuai dengan need
konsumen, tetap tidak akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi
akan terhenti, dan ekonomi mati!
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap prilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana
manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi
kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-
Quran dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Quran dan as-Sunnah
ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Konsumsi adalah satu kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling
penting. Dalam ekonomi konvensional prilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu
rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu prilaku
konsumsi yang hedenostik materialistik, individualistik, serta boros (wastefull). Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah saya akan mengkonsumsi
apa saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang : anggaran saya memenuhi dan saya
memperoleh kepuasan maksimum.

Dasar Hukum Prilaku Konsumen
1. a. Sumber yang Berasal dari al-Quran dan Sunnah Rasul
1. Sumber yang ada dalam al-Quran


Artinya : Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[1]
1. Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul[2], yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a
berkata :
Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan,
sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda
Nabi SAW : Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak
memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada
orang yang tidak berbekal. kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan
hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan
hajatnya. (H.R. Muslim).

1. b. Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan
suatu persoalan syariat. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum ekonomi islam (termasuk di
dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku konsumen) yaitu; al-Quran, as-Sunnah, ijma,
serta qiyas dan ijtihad.
Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya Ekonomi Mikro Islam (2005:
165); konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan/penawaran.
Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif
pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap
pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya para ahli
ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip
produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-
hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam dalam hal
konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak
mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modren.[3]
Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban, semakin kita
terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni,
keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin
dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita.
Dalam suatu masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat
sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manis akan
kebutuhan-kabutuhan ini.[4]

Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan orang-orang tertentu
tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri.
Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak
memperolehnya. Dalam Al-Quran Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang
dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau
miliknya ini.[5]
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk
manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu
Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran


Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.[6]

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mngurangi kebutuhan material yang luar biasa
sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya.
Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan lahiriah, telah dijadikan cita-cita tertinggi
manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren dunia barat, sekalipun tidak merendahkan nilai
kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah
perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan
oleh lima prinsip dasar[7].
1. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak
dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darh, daging binatang
yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama
selain Allah, (Q.S 2. 173),


1. Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Quran maupun Sunnah tentang makanan.
Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
1. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak
berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas [8]..

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan
jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada
pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak
dibolehkan dalam Islam.

1. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan
meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama
maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan
menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil
sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.


Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan
atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah
kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.[9]

1. Prinsip Moralitas.
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya, yakni
untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan
untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah
makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai
hidup material dan spiritual yang berbahagia.


Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah, pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya[10]



Teori Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat
didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi
kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-
barang mewah sendiri dapat didefenisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik
untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan
berarti bagi kehidupan konsumen[11].
Lebih lanjut Chapra (2002 : 309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin
memiliki proporsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda (C = Cn + C1), dan
tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya
yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya
masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin
sedikit sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian,
meski terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan masyarakat
tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin (Cn),
jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk
pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan
komponen-komponen konsumsi agregat ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak dibicarakan dalam
ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan
pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga
dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang substansi dalam menentukan konsumsi
agregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang mempengaruhi
pengalokasiaannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan demikian,
faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan kekayaan,
perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam
analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya adalah Zarqa (1980 dan 1982 ), Monzer Kahf (1978 dan
1980 ), M.M. Metwally ( 1981 ), Fahim Khan ( 1988 ), M.A. Manan ( 1986 ), M.A Choudhury (
1986 ), Munawar Iqbal ( 1986 ), Bnedjilali dan Al-Zamil ( 1993 ) dan Ausaf Ahmad ( 1992 )
telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor tambahan
ini meski tidak seluruhnya, mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk
mengurangi tingkat konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya.
Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat,
serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (C1).
Disamping itu perlu pula untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna
meningkatkan daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar
(Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma relegius, khususnya Islam, dengan
menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan (dalam
Chapra, 2002 ; 310 ).
Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi individual
yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan jaring pengaman
sosial, zakat, serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya
yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn).
Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang
lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).

Prioritas Konsumsi
Islam mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan mengalami tahapan-tahapan dalam
kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat di kelompokkan menjadi dua tahapan yaitu
dunia dan akhirat. Oleh Karena itu Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini berarti pada saat seseorang melakukan konsumsi harus
memiliki dunia dan akhirat. Dengan demikian maka yang lebih diutamakan adalah konsumsi
untuk dunia dan konsumsi untuk akhirat. Sebagai mahluk pribadi dan social, maka manusia juga
memiliki sasaran konsumsi. Sasaran konsumsi tersebut adalah untuk: Konsumsi untuk diri
sendiri dan keluarga, Konsumsi sebagai tanggung jawab social, Tabungan, Investasi.
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan,
dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-
hamburkan uang/harta tanpa guna).
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu
tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri;
sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah
yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka
tidak memperolehnya. Dalam Al-Quran Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang
dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau
miliknya ini.
Bila dikatakan kepada mereka, Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya
kepadamu, orang-orang kafir itu berkata, Apakah kami harus memberi makan orang-orang
yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk
manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu
Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran: dan makanlah barang-barang
yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu , dan yang menyuruh
semua umat manusia: Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang
sah dan baik. Karena itu, orang Mumin berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati
perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-
anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak
dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-
anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang
bersih dan suci (yang Dia sediakan?).
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan,
dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrf (pemborosan) atau tabzr (menghambur-
hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah,
yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar
hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis
penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi
konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang
melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah.
Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan
berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan
melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk
mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas
Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan
atau tabzr. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-
pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta
miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarah dia seharusnya diperlakukan sebagai orang tidak
mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.

Perilaku Konsumsi dalam Islam
Sebagai agama yang syamil, Islam telah memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan serta
arahan-arahan positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini.

1. pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu
yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus
dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi.. Seorang muslim haruslah
senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga
jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang
dalam islam (QS. 17 : 27)

1. pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya berlaku
kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka.
Namun Allah juga tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara
berlebih-lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi, Islam
sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan kebutuhan. Dalam
bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya(QS. 17 : 29).
Adapun arahan Islam dalam berkonsumsi paling tidak ada tiga hal.

1. jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya.
Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat dari
kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang
pemasar sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah sangat
dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang tidak terlalu membutuhkannya.
Namun karena perusahaan rajin memprovokasi pasar, kini hampir di setiap rumah kita
ada air mineral.

1. seimbangkan pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu
menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin
tidak berutang. Karena utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan di
malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya
beli, kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah memaksakan diri
sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu bertentangan dengan perilaku produktif.
Kita telah merasakan: keresahan, kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu
bangsa akibat jerat utang.
2. tidak bermewah-mewah. Islam juga melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56
: 41-46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam
dalam kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.

Perilaku konsumsi, sesuai dengan arahan Islam di atas menjadi lebih terasa urgensinya pada
kehidupan kita saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu dengan harga-harga yang
melambung tinggi selama bulan puasa, menuntut kita untuk selektif dalam berbelanja. Islam
tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk mengkonsumsi secara berlebihan
apalagi di luar batas kemampuan, termasuk Ramadhan dan Idul Fitri. Bahkan Rasulullah
merayakan idul fitri dengan penuh kesederhanaan.

Bagi mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus membatasi
hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam mengkonsumsi rezeki
yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya tidak mengganggu kepentingan
umum. Dalam riwayat, Khalifah Umar bin Khattab pernah melarang konsumsi daging dua hari
berturut-turut dalam sepekan, karena persediaan daging tidak mencukupi semua orang di
Madinah. Demikian pula terjadi pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama
tujuh tahun, masyarakat tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48).
Pembatasan di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin
terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya kuasa atas harta tidak bisa secara
sewenang-wenang menimbun bahan pangan di rumahnya.


Dokumen makalah
Manajemen perbankan Syariah
Program Diploma III Fakultas Ekonomi
Universitas Sriwijaya

You might also like